SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 226
Downloaden Sie, um offline zu lesen
PEMBANGUNAN UNTUK RAKYAT :
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
oleh: Ginandjar Kartasasmita
Penerbit :
PT. Pustaka CIDESINDO
Jl. Kebon Sirih No. 85, Jakarta 10340
Disain Sampul : Drs. Bambang Sidharta,
Tata Letak : MAZ Disain Artistik : Arjoni
Pertama kali diterbitkan oleh Penerbit PT. Pustaka
CIDESINDO,
Jakarta, Oktober 1996.
PENGANTAR i - iv
PRAKATA v - vi
Sambutan Peluncuran Buku vii - x
BAB I PENDAHULUAN 1 - 3
BAB II WAWASAN PEMBANGUNAN 4 - 19
1. Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsaan 4 - 8
2. Dimensi Akhlak dalam Pembangunan Nasional 4 - 15
3. Kepemimpinan dalam Wawasan Kebangsaan 15 - 19
BAB III ARAH PEMBANGUNAN 20 - 43
1. Pembangunan menuju Bangsa yang Maju dan Mandiri 20 - 27
2. Transformasi Masyarakat Indonesia dalam PJP II 27 - 35
3. Beberapa Masalah Pembangunan Ekonomi Indonesia menjelang
Abad ke-21
35 - 43
BAB IV PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT 44 - 114
1. Demokrasi Ekonomi: sebuah Tinjauan Institusional 44 - 57
2. Pemberdayaan Masyarakat: Strategi Pembangunan yang
Berakarkan Kerakyatan
57 – 66
3. Pemberdayaan Masyarakat: sebuah Tinjauan Administrasi 66 – 78
4. Beberapa Pokok Pikiran tentang Pembangunan Koperasi 78 – 82
5. Kemitraan Usaha 82 – 89
6. Membangun Kemitrasejajaran Pria dan Wanita melalui Konsep
Pemberdayaan
89 – 97
7. Globalisasi dan Strategi Pengembangan Ekonomi Rakyat 97 – 103
8. Strategi Pengentasan Penduduk dari Kemiskinan 103-109
9. Penanggulangan Kemiskinan melalui Program IDT 109-114
Perpustakan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Kartasasmita, Ginandjar, 1941-
PEMBANGUNAN UNTUK RAKYAT : Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan / Ginandjar Kartasasmita. -- Cet. 1,
-- Jakarta :
PT. Pustaka CIDESINDO, 1996
xx + 519 hlm. : 15 x 22,5 cm
ISBN 979-638-021-8
1. Pembangunan ekonomi - Indonesia I. Judul.
338.959 8
BAB V PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA 115-147
1. Tinjauan tentang Teknologi, Kebudayaan, dan Pendidikan dalam
Pembangunan Nasional
115 - 126
2. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Industrialisasi 126-138
3. Strategi dan Kebijaksanaan Ketenagakerjaan 139 - 147
BAB VI PEMBANGUNAN DAERAH 148 - 192
1. Berbagai Aspek Pembangunan Daerah 148 - 149
2. Penyelenggaraan Otonomi Daerah 150 - 159
3. Pemerataan Pembangunan Antardaerah, Khususnya Pembangunan
KTI
159 - 166
4. Pembangunan Perkotaan dan Pembangunan Perdesaan 166 - 183
5. Penataan Ruang 183 - 192
BAB VII PENUTUP 193 - 197
Agenda Pembangunan 193 -197
SINGKATAN dan AKRONIM 198 - 201
DAFTAR PUSTAKA 202 - 212
CATATAN TENTANG PENULIS 2013
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
i
Pengantar
Pembangunan ekonomi Indonesia yang kini memasuki jangka panjang kedua, bukannya tidak
dipersiapkan. Beberapa peristiwa bisa dicatat: seminar Trase Baru yang diselenggarakan di
Universitas Indonesia pada tahun 1966. Lebih awal lagi seminar Angkatan Darat I di Bandung
yang dalam kaitan itu juga senantiasa disebut peranan para ahli ekonomi yang mengajar di
lembaga pendidikan ABRI. Dalam forum-forum itu dibicarakan bagaimana masa depan
Indonesia dan bagaimana pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi, agar
diselenggarakan. Bahan-bahan pemikiran itu kemudian dituangkan dan dijabarkan dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara.
Penyusunan Garis-garis Besar Haluan Negara, yang semula diprakarsai oleh
pemerintah makin diserahkan kepada masyarakat. Dilakukan persiapan lama, pengumpulan
bahan, pengalaman di lapangan, menyerap aspirasi masyarakat. Prosesnya mengikuti jalur
konstitusional sampai akhirnya diputuskan oleh Sidang Umum MPR sebagai Garis-garis
Besar Haluan Negara.
Dengan berpedoman dan mengacu kepada Garis-garis Besar Haluan Negara itulah
pembangunan dilaksanakan melalui program yang konsisten dalam anggaran belanja tahunan,
melalui repelita-repelita.
Penyesuaian terhadap perkembangan terus dilaksanakan. Perkembangan itu disebabkan
oleh keberhasilan pembangunan seperti yang direncanakan dan dikehendaki maupun oleh
hasil-hasil samping yang tidak dimaksudkan.
Demikianlah misalnya, perubahan pokok yang terjadi dalam urutan strategi Trilogi
Pembangunan. Pada mulanya, urutannya ialah pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas.
Kemudian sejak Repelita III diubah menjadi pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas.
Perubahan urut-urutan dalam Trilogi disebabkan oleh proses pembangunan,
keberhasilan maupun ketidakberhasilannya. Perubahan itu juga sesuai dengan aspirasi yang
makin hidup dalam masyarakat.
Pembangunan ekonomi Indonesia sejak Repelita I, tahun 1969, mengikuti jalan
ekonomi pasar. Jalan ekonomi pasar itu tetap mengacu kepada paham ekonomi Indonesia,
yakni paham ekonomi seperti yang diamanatkan oleh Pancasila, Undang-undang Dasar 1945,
secara eksplisit pasal 33 UUD.
Jalan ekonomi pasar membuka peluang untuk berperannya usaha ekonomi swasta dari
dalam negeri maupun dari luar negeri. Kebijakan, iklim dan kemudahan diberikan dan dise-
lenggarakan untuk merangsang berkembangnya usaha swasta. Hasilnya luar biasa.
Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata 7 persen per tahun cukup pesat. Dampak
berlipatgandanya terjadi dan merangsang perkembangan lebih lanjut.
Dengan menempuh ekonomi pasar, Indonesia sekaligus membuka dirinya dan menjadi
bagian yang aktif dari kegiatan ekonomi dunia. Modal dan teknologi masuk, demikian pula
jaringan pasar ke dalam maupun ke luar.
Indonesia membuka pintu, tepat pada saat dunia makin mengacu kepada globalisasi dan
arus informasi. Pola hidup ekonomi pasar yang bertahap oleh arus informasi dan globalisasi,
serentak memperoleh rangsangan yang membangkitkan serba keserentakan.
Pola gaya hidup, perilaku dan pandangan hidup konsumerisme ikut tumbuh amat subur.
Bukan hanya kebutuhan-kebutuhan pokok yang dipenuhi, sekaligus dengan itu juga dicipta-
kan kebutuhan-kebutuhan baru yang perlu maupun yang tidak perlu. Kebutuhan masyarakat
konsumen menjadi tidak ada habis-habisnya dan kondisi itu ikut membangkitkan sikap
ambivalen.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
ii
Kemajuan ekonomi Indonesia diakui dan disyukuri, bahkan juga oleh bangsa lain.
Kemakmuran meningkat. Akan tetapi melaju pula kesenjangan, perbedaan antara yang kaya
dan yang miskin, antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah. Dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk, serta sebagai akibat warisan sejarah masa kolonial, perbedaan dan kesenjangan itu
merupakan masalah serius.
Kecuali kesenjangan, dinamika ekonomi pasar yang adakalanya tidak terkendali
mengundang munculnya masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan tanah, penggusuran,
dan rasa keadilan.
Talitemali persoalan yang menyertai pembangunan ekonomi itu seakan-akan
menimbulkan dualisme; dualisme antara ekonomi sebut saja Garis-garis Besar Haluan Negara
dan ekonomi pasar yang mengikuti dinamikanya sendiri, dualisme antara pertumbuhan dan
pemerataan.
Lebih jauh, adakalanya keadaan itu merangsang pertanyaan, apakah pembangunan
ekonomi masih pada relnya, yakni ekonomi pasar yang mengacu kepada paham kemakmuran
dan kesejahteraan bersama, seperti termaktub dan diamanatkan oleh UUD 1945.
Bagaimana sebenarnya duduknya perkara antara ekonomi negara, ekonomi koperasi,
dan ekonomi swasta.
Berbagai kebijakan, bahkan perubahan urutan Trilogi, kebijakan koreksi dan
komplementasi dilakukan oleh pemerintah. Begitu seringnya campur tangan itu sehingga
konsistensi kebijakan pemerintah dipertanyakan, sehingga acapkali kita mendengar anggapan
tentang kurangnya kepastian usaha.
Pemikiran-pemikiran yang menggugat pertumbuhan dan membela pemerataan
dilontarkan oleh berbagai ilmuwan ekonomi. Bertambah ramailah medan adu pandangan dan
adu argumentasi. Adakalanya gambaran yang dihasilkan bukanlah peta yang jelas, melainkan
lebih menyerupai hutan belantara. Untuk keperluan debat akademis, tidak mengapalah, hutan
belantara itu. Malahan makin mengasyikkan diskusi.
Menjadi lain persoalannya, jika juga dipertimbangkan bahwa seraya dialog dan diskusi,
kita juga harus tetap melangkah secara pasti. Diperlukan suatu gambaran pemikiran yang
kecuali berada dalam tataran akademis, cukup pula terurai sehingga memberikan arah,
kemana suatu kebijakan umum dan suatu langkah dapat diayunkan.
Sampailah kita pada buku Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita: Pembangunan untuk
Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Suatu kehormatan bagi saya untuk ikut
memberikan kata pengantar. Sekaligus juga suatu tantangan, bagaimana menempatkan
kumpulan karangan pemikir, yang adalah juga pejabat negara.
Buku kumpulan karangan Ketua Bappenas ini, merupakan suatu unikum. Letak
keunikan itu pertama-tama pada kemampuan dan keberaniannya untuk mencoba menyajikan
persoalan pembangunan ekonomi dalam suatu pola pemikiran yang menyeluruh, yang
komprehensif.
Pendekatan demikian jarang dilakukan. Kebanyakan pemikiran dan penulisan
mendekatinya secara parsial. Kepada seorang ilmuwan ekonomi terkemuka, hal itu pernah
saya tanyakan sepuluh tahun yang lalu. Dijawabnya, pembahasan semacam itu memerlukan
pemikir ulung.
Itulah sebabnya, menurut pandangan saya, karya yang dikerjakan dalam kumpulan
karangan ini merupakan suatu keberanian. Kapan akan dimulai jika tidak ada yang memulai.
Kapan akan ada bahan tertulis yang bisa dikaji lebih lanjut, jika bahan itu tidak tersaji.
Biarlah mereka yang mempunyai keahlian dalam bidangnya, membuat penilaian secara
kritis terhadap buku ini. Jasa paparan ini adalah tersajinya bahan tertulis, suatu pemikiran, dan
pendekatan yang mencakup perihal pembangunan ekonomi Indonesia, terutama ditinjau dari
usaha menyerasikan pertumbuhan dan pemerataan. Dua dimensi pembangunan itu menjadi
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
iii
topik utama bangsa kita. Topik itu menjadi bahan diskusi di kalangan cendekiawan, di
kalangan orsospol dan ormas, di kalangan LSM, di kalangan khalayak ramai.
Sejauh kita bisa menangkap, pendekatan Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita bukanlah
pendekatan menang-kalah, satu pihak menang, pihak lain kalah. Pendekatannya lebih win-win
position, kedua pihak menang, kedua pihak diuntungkan, kedua pihak diberi kesempatan.
Namun karena kekuatan serta posisi kedua pihak tidaklah sama, yang satu kuat, yang
lain lemah, diperlukan intervensi pemerintah. Intervensi itu dalam strategi, dalam kebijakan,
dalam alokasi biaya, dalam perlindungan dan pengembangan terhadap yang lemah.
Keunikan kedua, pemikiran dan pendekatannya terletak pada usahanya untuk
mengaitkan pemikiran dengan strategi serta kebijakan dan sekaligus juga dengan arah serta
program aksi. Dengan demikian, buah pemikirannya bukan sekadar suatu paparan akademis,
melainkan suatu pandangan yang dikaitkan dengan keharusan dan keperluannya untuk
dijabarkan dalam kebijakan dan dalam implementasinya.
Dengan kata lain, pemikirannya bukanlah suatu pandangan teoretis ilmiah. Buku
semacam itu sangat diperlukan. Namun buku kumpulan karangan ini, menurut hemat saya,
tidak masuk dalam kategori itu dan barangkali memang juga tidak dimaksudkan demikian.
Pandangan dan pendekatannya lebih bermotifkan menjawab tantangan secara menyeluruh:
dalam tataran pandangan hidup, dalam tataran referensi konstitusional, dalam pandangan
kebijakan serta arah implementasi.
Sebaliknya, paparannya tidak terbatas sebagai program aksi atau rencana. Ditarik lebih
ke atas, pada tataran penjabaran falsafah pembangunan seperti dinyatakan dan diamanatkan o-
leh konstitusi dan setiap lima tahun sekali diadaptasikan dengan perkembangan.
Karena itu, tampak jelas alur pokok dan semangatnya. Bagaimana membangun untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bagaimana menyelenggarakan ekonomi rakyat, sesung-
guhnya pada tingkat pemikiran akademis pun, persoalan ini menarik.
Bagaimana secara sengaja dan secara khusus mengembangkan ekonomi pasar yang
sasarannya bukan sekadar kemajuan dan kemakmuran para pelaku ekonomi, melainkan juga
rakyat banyak. Bahkan kemakmuran mereka itulah tujuan utamanya.
Kecuali kebijakan dan arah yang juga menyediakan sarana-sarananya, terutama modal,
iklim, pengembangan, seperti terurai dalam buku ini sangatlah menentukan peran birokrasi.
Dipakainya istilah birokrasi, yakni birokrasi yang mengacu ke pemerintahan, governance.
Karena kalau akan efektif, demikianlah letak posisinya, bukan birokrasi masing-masing atau
perorangan melainkan sebagai lembaga pemerintahan eksekutif.
Birokrasi  pemerintah  agar membangun partisipasi rakyat. Agar dilibatkan
masyarakat sampai ke tingkat akar rumput (grassroots). Dengan sadar dan dengan sengaja,
birokrasi memihak yang lemah, bukan yang kuat. Ini suatu pilihan politik yang harus dibuat
imperatif dan operatif. Bahkan dikatakan, yang kuat sudah bisa mengurus dirinya sendiri,
yang lemah belum.
Usaha pemberdayaan rakyat yang terutama dibahas adalah pemberdayaan dalam bidang
ekonomi. Sementara itu, pengalaman makin menunjukkan pemberdayaan ekonomi yang
diprioritaskan, agar berhasil, memerlukan pemberdayaan masyarakat dalam bidang-bidang
lain, sosial, budaya, hukum, politik. Pemberdayaan dalam bidang nonekonomi, bahkan makin
minta perhatian. Hasrat itu hidup kuat dalam masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat juga masuk komitmen birokrasi. Demikian pula
terselenggaranya kebijakan, prosedur dan implementasi yang terbuka, transparan, sehingga
pertanggungjawaban lebih mudah diberikan. Pertanggungjawaban birokrasi berarti
pertanggungjawaban penyelenggaraan kekuasaan.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
iv
Sekalipun dengan bahasa yang lugas dan santun, peran birokrasi alias pemerintahan,
menentukan. Demikian vitalnya peranan pemerintah, sehingga seorang ilmuwan menegaskan:
ekonomi pasar tidak mungkin dapat menimbulkan keadilan, pemerintahlah yang dapat.
Sepanjang dapat diikuti dan dirasakan berbagai persoalan dalam masyarakat, masalah
itu juga yang mencuat kuat: harapan bahkan desakan agar pemerintah tidak hanya mendorong
pembangunan ekonomi, tetapi juga dalam menyelenggarakan keadilan, baik rasa keadilan
maupun keadilan sosial. Disadari bahkan oleh pemerintah, syaratnya adalah pemerintahan
yang bersih, berwibawa, dan efektif.
Betapapun, pemerintahan memegang peranan kunci, para pelaku ekonomi yang adalah
juga bagian masyarakat, tidak kalah pentingnya. Karena itu, para pelaku, terutama mereka
yang sudah lebih dulu maju dan kuat, agar juga mempunyai pandangan dan sikap yang sama.
Bukan hanya ekonomi negara dan ekonomi koperasi yang terikat pada komitmen dan impera-
tif konstitusi, juga ekonomi swasta.
Perhatian ke sana bukankah perlu juga lebih besar dan lebih mencakup. Kesadaran dan
pemahaman jangan terbatas pada pemikiran kuantitatif saja, berapa persen membantu mi-
salnya. Pemikiran mengacu kepada rasa perasaan dan pertanggungjawaban sebagai warga
negara, bahkan warga negara yang maju. Karena itu, pemahaman dan kesadaran itu menjadi
bagian dari usaha pembangunan bangsa, watak dan integrasinya yang makin kukuh dan
kenyal.
Dengan pemahaman dan kesadaran itu, jika dilaksanakan oleh semua pihak,
pembangunan ekonomi, bagi bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk ini sekaligus
merupakan usaha memperkukuh serta memberi makna wawasan kebangsaan kepada seluruh
masyarakat yang majemuk itu.
Itu juga unsur kuat dalam alur pemikiran Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, bahwa
pembangunan ekonomi adalah juga pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Justru di
tengah arus gelombang perubahan serba serentak dan global sekarang ini, pemahaman dan
kesadaran tentang bangsa dan negara Indonesia harus disegarkan kembali dengan pandangan
dan sikap yang adaptif, kritis inovatif, tetapi tetap on our terms, seperti yang kita kehendaki,
dalam ukuran dan format Indonesia yang terbuka, lincah, kenyal.
Semangat itu pula yang menjadi nafas buku, kumpulan karangan Pembangunan untuk
Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan.
Jakarta, Oktober 1996
Jakob Oetama
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
v
Prakata
Lima puluh tahun lebih telah kita lalui sebagai bangsa merdeka. Dalam kurun waktu itu
bangsa Indonesia telah berhasil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan
mengisinya dengan pembangunan yang berhasil meningkatkan taraf kehidupan rakyat dan
menempatkan bangsa Indonesia dalam kedudukan yang terhormat dalam pergaulan
antarbangsa. Bahkan pembangunan Indonesia dinilai masyarakat dunia sebagai salah satu
pembangunan yang paling berhasil dan sering kali dijadikan contoh dalam berbagai literatur
pembangunan masa kini. Namun, dengan keberhasilan itu kita masih berhadapan dengan
berbagai permasalahan yang harus kita pecahkan dalam rangka membangun masyarakat
sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan latar belakang demikian buku ini diterbitkan dengan maksud menghaturkan
sumbangan pemikiran kepada bangsa dan negara dalam rangka mengisi dan mensukseskan
pembangunan nasional pasca-lima puluh tahun Indonesia merdeka. Buku ini sumber
pokoknya adalah kumpulan tulisan dan pandangan di berbagai kesempatan yang saya
sampaikan pada masa jabatan saya sekarang ini sebagai menteri yang bertanggung jawab atas
perencanaan pembangunan nasional. Isinya merupakan refleksi pemikiran dan pengalaman
saya bergelut dengan permasalahan-permasalahan pembangunan. Dalam buku ini saya
tekankan pentingnya tanggung jawab kita sebagai golongan terpelajar untuk memahami dan
menjabarkan amanat rakyat yang dituangkan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan
Negara) ke dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan pembangunan. Saya tekankan juga bahwa
walaupun keadaan dan tantangan telah banyak berubah, dalam menetapkan langkah-langkah
untuk menghadapi tantangan di masa depan kita semestinya tetap mengacu pada konstitusi
dan amanat rakyat untuk memastikan bahwa pembangunan yang kita laksanakan adalah bagi
kepentingan rakyat.
Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
berpihak pada kepentingan rakyat tidak berarti akan menghambat upaya mempertahankan
atau bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan hanya akan
sinambung dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat sendiri, baik itu
berupa produktivitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan rakyat. Makin kita
tumbuh dan berkembang atas daya rakyat sendiri, makin kukuh kemandirian kita sebagai
bangsa. Kemandirian yang kita bangun adalah dengan rasa percaya diri dan dalam
keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan
kemandekan.
Dalam kecenderungan liberalisasi, regionalisasi, dan globalisasi yang memberi ciri
pada interaksi perekonomian sekarang ini, kita membutuhkan daya tahan dan daya saing
nasional yang harus kita bangun dari dalam. Ketangguhan perekonomian nasional tidak dapat
berkembang hanya dengan membuka perekonomian kita pada persaingan internasional, tetapi
kita harus membangunnya dengan dukungan sumber daya manusia kita sendiri dan dengan
kemampuan kita di dalam negeri. Dengan demikian, maka persaingan internasional akan me-
lengkapi dan memperkuat kemampuan yang telah kita bangun terlebih dahulu.
Buku ini membahas mulai dari upaya menerjemahkan GBHN ke dalam strategi dan
kebijaksanaan pembangunan; membangun ekonomi rakyat yang ditopang oleh usaha kecil
dan menengah yang menampung sebagian besar tenaga kerja kita; upaya mengembangkan
sumber utama pembangunan yaitu sumber daya manusia dan teknologi; memecahkan ber-
bagai permasalahan pembangunan seperti kemiskinan, kesempatan kerja produktif, dan
pembangunan regional; sampai pada apa yang ingin kita capai pada masa mendatang sebagai
bangsa yang merdeka. Harapan saya adalah bahwa buku ini dapat bermanfaat bagi para
penentu kebijaksanaan di pusat dan daerah, para peneliti dan pemerhati pembangunan, para
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
vi
mahasiswa studi pembangunan, dan masyarakat luas yang berminat mengikuti arah gerak
pembangunan kita.
Dalam mengembangkan pemikiran dan menerjemahkannya menjadi kebijaksanaan
pembangunan, saya mendapat arahan dari Bapak Presiden Republik Indonesia Soeharto. Ke-
pada beliau saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas pengarahan beliau yang
membuat saya makin memahami akan makna pembangunan yang kita laksanakan bersama
ini.
Sampainya buku ini ke tangan pembaca dalam bentuknya sekarang ini adalah berkat
bantuan rekan-rekan saya. Saya harus mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Umar Juoro
yang bertindak sebagai editor dalam membuat bentuk yang semula mungkin di sana-sini agak
retorik ke dalam buku yang rangkaian pembahasannya menjadi lebih urut. Saya juga meng-
ucapkan terima kasih kepada Sdr. Muslimin Nasution, Sdr. Sukarno Wirokartono yang
bersama-sama Sdr. Umar Juoro menentukan susunan pembahasan dalam buku ini. Saya
sampaikan pula terima kasih kepada Sdr. Benny Hoedoro Hoed dan Sdr. Gunawan
Sumodiningrat yang telah meluangkan waktu membaca keseluruhan naskah buku ini dan me-
meriksa ulang redaksinya. Terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan saya di
Bappenas yang banyak memberikan masukan dalam merumuskan berbagai pandangan di
berbagai kesempatan sebagai sumber utama penulisan buku ini. Kepada Sdr. Adi Sasono dan
staf CIDES, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaannya menerbitkan buku ini, yang
semula sebetulnya dimaksudkan sebagai sumbangsih pada peringatan emas kemerdekaan
bangsa Indonesia tahun yang lalu. Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih pula kepada
kawan saya, yang pandangan, sikap, dan integritasnya saya hormati, yakni Sdr. Jakob Oetama
yang telah bersedia memberikan pengantar.
Jakarta, Oktober 1996
Ginandjar Kartasasmita
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
vii
Sambutan pada
Peluncuran Buku “Pembangunan untuk Rakyat”
Ketika Gutenberg pada abad pertengahan di Eropa menciptakan mesin cetak, sejak itu buku,
sebagai sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan, menjadi mudah diperoleh karena dapat
diproduksi dalam jumlah berganda. Dengan demikian, akses pada pengetahuan dan ilmu
pengetahuan menjadi terbuka lebar melalui buku.
Kita memang bergembira sekarang ini sudah makin mudah memperoleh buku-buku
untuk menambah dan memperluas pengetahuan dan wawasan kita. Akan tetapi, kita pun
sepatutnya prihatin bahwa karangan asli penulis kita sendiri masih terbatas jumlahnya
sehingga para mahasiswa dan cendekiawan termasuk kita-kita sendiri masih harus banyak
mengandalkan pada buku-buku asing. Memang pengetahuan tidak dibatasi oleh tapal batas
negara, tetapi untuk kepentingan bangsa kita sendiri, perlu pula penulisan-penulisan yang
bersumber dari dalam diri kita sendiri.
Ketika Cides menawarkan untuk membukukan berbagai tulisan saya yang berupa
esei, makalah, dan kuliah, saya sambut dengan gembira karena dengan demikian saya
memperoleh kesempatan untuk memberikan sumbangan pada kelangkaan tulisan dari kalang-
an kita sendiri. Saya tidak berpretensi bahwa seluruh apa yang saya ungkapkan dalam buku
ini benar. Dalam ilmu pengetahuan, tidak ada kebenaran yang mutlak. Ilmu pengetahuan
berkembang secara kumulatif dalam suatu proses yang panjang. Teori, konsep, dan gagasan
akan selalu berinteraksi dengan teori, konsep, dan gagasan yang lain, dan dari dialog itu
biasanya lahir gagasan, konsep, atau bahkan teori baru. Bagi kita sebagai bangsa dan negara
yang sedang berkembang, dialog serupa itu penting karena kita sangat membutuhkan
gagasan-gagasan baru yang lahir dari permasalahan di negeri kita sendiri.
Dengan latar belakang demikian buku ini diterbitkan dengan maksud memberikan
sumbangan pemikiran dalam rangka mengisi dan mensukseskan pembangunan nasional
pasca-lima puluh tahun Indonesia merdeka. Buku ini sumber pokoknya adalah kumpulan
tulisan dan pandangan yang pernah saya sampaikan di berbagai kesempatan, dan isinya
merupakan refleksi pemikiran dan pengalaman saya bergelut dengan permasalahan-
permasalahan pembangunan selama ini.
Sebagai latar belakang pemikiran, pembangunan kita pahami sebagai upaya mencip-
takan kehidupan yang sejahtera, yang sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pada dekade-dekade awal, yaitu tahun 1950-an dan 1960-an perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang sangat tergantung pada para ahli
dari negara-negara maju serta tenaga ahli dari negara berkembang yang mengikuti pendidikan
di negara maju. Mereka pada umumnya merumuskan konsep-konsep pembangunan
berdasarkan pengalaman empiris negara-negara maju dan teori-teori yang dikembangkan atas
dasar pengalaman tersebut. Pendekatan pembangunan tersebut terutama bertitik berat pada
pembangunan ekonomi dengan asumsi bahwa hasil pembangunan ekonomi akan
meningkatkan kesejahteraan dan menghapus kemiskinan.
Berdasarkan pandangan tersebut penanaman modal dan penerapan teknologi modern
diharapkan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, menyerap angkatan kerja di sektor
subsisten ke lapangan kerja modern atas dasar upah, dan dengan sendirinya akan
menghilangkan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Pola yang ditempuh adalah
proses industrialisasi, sebagaimana yang dialami negara-negara maju yang telah
menghasilkan peningkatan taraf hidup yang cepat dan telah menghilangkan kemiskinan di
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
viii
sektor subsisten. Sasaran awal yang penting adalah mencapai kemampuan untuk mandiri
dalam melanjutkan pembangunan, atau mencapai kondisi yang disebut “take-off “ atau “lepas
landas.”
Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak negara, meskipun dengan
penanaman modal dan penerapan teknologi modern, tidak mampu menghasilkan pertumbuhan
pada tingkat yang cukup memadai untuk mencapai tahapan lepas landas itu. Bahkan di bebe-
rapa negara yang mencatat pertumbuhan tinggi sekali pun, kondisi kemandirian tidak
wujudkan. Yang terjadi adalah ketergantungan atau keterikatan akan hutang yang makin
besar.
Dampak yang lebih buruk lagi tercermin pada makin melebarnya kesenjangan. Hal
ini karena kegiatan yang menghasilkan pertumbuhan itu hanya melibatkan sebagian kecil
masyarakat dan umumnya di wilayah terbatas. Akibatnya, hasil yang diperoleh dari pertum-
buhan itu hanya dinikmati sejumlah kecil orang dan di wilayah tertentu saja. Dunia juga
makin menyadari akan adanya bahaya kerusakan alam yang dapat mengganggu kelanjutan
kehidupan manusia di muka bumi ini akibat pembangunan yang memberi penekanan yang
berlebihan kepada pertumbuhan. Dengan pengalaman-pengalaman tersebut telah
dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan ekonomi yang bertumpu
pada pertumbuhan.
Berkembanglah cara pandang bahwa dalam memecahkan masalah-masalah
pembangunan, selain upaya pertumbuhan ekonomi, diperlukan juga pembangunan yang
berorientasi kepada manusia, yang dikenal dengan berbagai nama. Pertumbuhan ekonomi
diyakini tetap diperlukan tetapi disadari bahwa bukanlah satu-satunya kriteria dan juga tidak
selalu harus yang paling utama, karena harus serasi dengan pembangunan sosial yang
fokusnya adalah pada manusia dan kualitas dan kesinambungan kehidupannya.
Semua konsep pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia. Namun, kesejahteraan tersebut ingin dicapai dengan membangun
harkat dan sesuai dengan martabat kemanusiaan, karena pada dasarnya manusia berkeinginan
untuk membangun kehidupan dan meningkatkan kesejahteraannya dengan berlandaskan
kepada kemampuannya sendiri dan dengan mengembangkan potensi yang dimilikinya secara
optimal.
Manusia yang bermartabat tidak akan puas dengan kehidupan karena belas kasihan
orang lain, dan tidak ingin tergantung kepada bantuan orang lain. Oleh karena itu, satu
paradigma yang tidak pernah berubah sepanjang sejarah manusia adalah kebutuhan manusia
akan lapangan pekerjaan.
Pengangguran dengan demikian merupakan tantangan utama pembangunan, dan
merupakan masalah pertama yang selalu menjadi pusat perhatian ilmu ekonomi dan ekonomi
pembangunan, dan merupakan penyebab masalah sosial yang utama. Khususnya di negara
berkembang keterbatasan lapangan pekerjaan, disertai pula dengan kondisi kemiskinan, yang
disebabkan antara lain oleh eksploitasi dalam masa penjajahan. Keadaan miskin ini setelah
kemerdekaan tidak otomatis teratasi, dan seperti telah dikemukakan di atas ada
kecenderungan di negara berkembang keadaannya menjadi makin buruk.
Kemiskinan dengan demikian merupakan masalah kedua yang menjadi pusat
perhatian pembangunan, dan merupakan masalah ekonomi dan masalah sosial. Kita
mengenal berbagai bentuk kemiskinan. Kemiskinan absolut, yaitu taraf kehidupan miskin di
bawah suatu garis pendapatan (atau konsumsi) tertentu yang menjadi batas minimum untuk
manusia dapat hidup secara layak. Selain itu ada juga kemiskinan relatif, yakni perbandingan
tingkat pendapatan antara berbagai golongan pendapatan. Hal ini terkait dengan masalah
ketimpangan. Perbedaan pendapatan tentu selalu ada karena adanya perbedaan dalam potensi
atau endowments manusia, masyarakat, atau bangsa. Akan tetapi apabila perbedaan tersebut
terlalu jauh, maka terjadilah ketimpangan.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
ix
Oleh karena itu ketimpangan adalah masalah sosial yang ketiga, yang juga ingin
diatasi dengan upaya pembangunan. Ketimpangan memiliki berbagai wujud. Pertama,
ketimpangan antargolongan pendapatan seperti yang telah disebut di muka. Kedua,
ketimpangan antardaerah dan dapat juga antarkelompok etnis atau agama (di negara-negara
tertentu). Ketiga, ketimpangan antarsektor, seperti sektor pertanian dan industri atau sektor
perkotaan (urban) dan perdesaan (rural). Keempat, ketimpangan jender, yakni antara pria dan
wanita. Kelima, yang sebetulnya dapat dikatakan menjadi penyebab dari berbagai bentuk
ketimpangan di atas adalah ketimpangan dalam kesempatan. Keenam, ketimpangan
antarmasyarakat di dunia maju dan di dunia berkembang. Hal ini yang menimbulkan gejala
yang disebut keterbelakangan, dan melahirkan ketergantungan (dependency), yang
merupakan masalah pembangunan yang keempat.
Keterbatasan lapangan kerja, kemiskinan, ketimpangan dan keterbelakangan, adalah
empat masalah dasar yang ingin dipecahkan dengan pembangunan. Keempat hal tersebut,
selain merupakan lawan dari keadaan sejahtera, juga merupakan penghalang bagi upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan. Akan tetapi juga mencerminkan ketidakadilan, dan dengan
demikian, bertentangan dengan nilai kemanusiaan.
Konsep pembangunan kita sejak beberapa waktu yang lalu sudah memperhatikan
berbagai paradigma tersebut. Kalau kita pelajari konsep-konsep pembangunan pada beberapa
repelita terakhir selama PJP I, kita akan melihat adanya benang merah itu, seperti tercermin
dalam Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Dalam PJP II, kita ingin lebih
menegaskan komitmen dan keberpihakan kita kepada upaya pembangunan yang berakarkan
kerakyatan itu. Dasar-dasarnya telah ada yaitu Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1993
(GBHN 1993), yang sangat jelas memberikan tekanan kepada tujuan keadilan sosial dari
pembangunan.
Dalam buku ini saya tekankan pentingnya tanggung jawab kita sebagai golongan
terpelajar untuk memahami dan menjabarkan amanat rakyat yang dituangkan dalam GBHN
1993 ke dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan pembangunan. Saya tekankan juga bahwa
walaupun keadaan dan tantangan telah banyak berubah, dalam menetapkan langkah-langkah
untuk menghadapi tantangan di masa depan kita semestinya tetap mengacu pada konstitusi
dan amanat rakyat untuk memastikan bahwa pembangunan yang kita laksanakan adalah bagi
kepentingan rakyat.
Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan yang berpihak
pada kepentingan rakyat tidak berarti akan menghambat upaya mempertahankan atau bahkan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan hanya akan sinambung dalam
jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat sendiri, baik itu berupa pro-
duktivitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan rakyat. Makin kita tumbuh
dan berkembang atas daya rakyat sendiri, makin kukuh kemandirian kita sebagai bangsa.
Kemandirian yang kita bangun adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan
pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandekan.
Dalam kecenderungan liberalisasi, regionalisasi, dan globalisasi yang memberikan ciri
pada interaksi perekonomian sekarang ini, kita membutuhkan daya tahan dan daya saing
nasional yang harus kita bangun dari dalam. Ketangguhan perekonomian nasional tidak dapat
berkembang hanya dengan membuka perekonomian kita pada persaingan internasional, tetapi
kita harus membangunnya dengan dukungan sumber daya manusia kita sendiri dan dengan
kemampuan kita di dalam negeri. Dengan demikian, maka persaingan internasional akan me-
lengkapi dan memperkuat kemampuan yang telah kita bangun terlebih dahulu.
Buku ini membahas mulai dari upaya menerjemahkan GBHN ke dalam strategi dan
kebijaksanaan pembangunan; membangun ekonomi rakyat yang ditopang oleh usaha kecil
dan menengah yang menampung sebagian besar tenaga kerja kita; upaya mengembangkan
sumber utama pembangunan yaitu sumber daya manusia dan teknologi; memecahkan ber-
bagai permasalahan pembangunan yang disebut di atas, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan
kesempatan kerja produktif, serta pembangunan regional; sampai pada apa yang ingin kita
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
x
capai pada masa mendatang sebagai bangsa yang maju. Pemikiran yang sangat mendasari dan
mewarnai pandangan-pandangan dalam buku ini adalah konsep pemberdayaan.
Pembangunan juga harus diawali dan dilandaskan pada pemahaman kita yang kuat sebagai
bangsa, oleh karena itu wawasan kebangsaan adalah semangat yang ada dalam buku ini.
Buku ini diakhiri dengan renungan mengenai tantangan pembangunan masa depan dan
agenda-agenda pembangunan untuk mengatasinya. Salah satu di antaranya adalah penguatan
kebudayaan bangsa.
Harapan saya adalah bahwa karya yang kecil ini dapat bermanfaat bagi mereka yang
terlibat (stakeholders) dalam pembangunan, yakni para peneliti dan pemerhati pembangunan,
para mahasiswa studi pembangunan, serta masyarakat luas yang berminat mengikuti arah
gerak pembangunan kita.
Sampainya buku ini dalam bentuknya sekarang ini adalah berkat bantuan rekan-rekan
saya di Bappenas, dan untuk itu saya sangat berterima kasih. Saya harus mengucapkan terima
kasih secara khusus kepada Sdr. Umar Juoro yang bertindak sebagai editor sehingga membuat
rangkaian pembahasan buku ini menjadi lebih urut. Kepada Sdr. Adi Sasono dan staf CIDES,
terutama kepada Sdr. Djumhur Hidayat, saya mengucapkan terima kasih atas prakarsanya
menerbitkan buku ini. Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
kawan saya, Sdr. Jakob Oetama yang telah bersedia memberikan kata pengantar, dan kepada
Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, serta Prof. Dawam Rahardjo, yang telah bersedia
mengulasnya.
Jakarta, 28 Oktober 1996
Ginandjar Kartasasmita
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
1
Bab I :
PENDAHULUAN
Melewati usia kemerdekaan yang ke-50, bangsa Indonesia menapak ke Pembangunan Jangka
Panjang II yang merupakan bagian dari rangkaian panjang perjalanan bangsa dalam mewujudkan
cita-citanya menuju masyarakat yang adil dan makmur. Menurut sistem konstitusi Indonesia,
rakyat sendirilah yang menentukan masa depan yang dikehendakinya. Hal ini dilaksanakan
melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan rakyat yang memegang
kedaulatan negara. Dengan memperhatikan perkembangan, MPR menentukan haluan-haluan
negara dalam garis besar yang disebut dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Presiden sebagai mandataris MPR berkewajiban melaksanakan GBHN tersebut. GBHN pada
dasarnya adalah kehendak politik, dan lebih bersifat menunjukkan arah. Untuk pelaksanaannya,
GBHN kemudian dijabarkan dalam sebuah sistem perencanaan lima tahunan yang dinamakan
Repelita.
Repelita, dengan berdasarkan pada arahan-arahan GBHN, mengandung sasaran-sasaran
dan upaya untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Repelita tidak hanya berisi sasaran-sasaran
kualitatif, tetapi juga mengandung sasaran-sasaran kuantitatif yang dapat digunakan untuk
mengukur seberapa jauh berbagai aspirasi mengenai masa depan itu telah dapat dicapai. Selain
merumuskan apa yang ingin diwujudkan, repelita juga mengenali tantangan-tantangan yang
dihadapi serta kendala-kendala dan peluang-peluang untuk mengatasi tantangan itu. Jadi, repelita
mengandung visi mengenai masa depan dan cara mewujudkannya. Repelita, meskipun disusun
oleh pemerintah, dalam proses penyusunannya telah menampung pendapat dan masukan dari
kalangan masyarakat luas. Selain itu, sebelum ditetapkan, naskah repelita dibahas dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan berdasarkan pembahasan tersebut, diperbaiki lebih lanjut sehingga
menjadi suatu dokumen perencanaan pembangunan nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa repelita adalah kesepakatan nasional mengenai upaya pembangunan lima tahun ke depan.
Selanjutnya Presiden melaksanakan repelita, sebagai pengejawantahan pelaksanaan GBHN
yang menjadi tugas dan tanggung jawab konstitusionalnya. Pada akhir masa jabatannya, Presiden
mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada MPR. Pelaksanaan repelita dalam setiap
tahunnya, untuk kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, diwujudkan dalam
bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selama pelaksanaannya, DPR
mengawasi jalannya pembangunan. Dengan demikian, sambil berjalan dapat diadakan perbaikan-
perbaikan dan koreksi-koreksi. Inilah sistem pembangunan nasional bangsa Indonesia.
Dalam sistem tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) berperan
dalam mengkoordinasikan penyusunan repelita dan perencanaan anggaran pembangunan negara
yang merupakan bagian dari APBN. Kebijaksanaan pembangunan yang merupakan implementasi
dari rencana pembangunan itu dilaksanakan oleh departemen-departemen dan lembaga-lembaga
pemerintah nondepartemen (LPND) selain Bappenas. Sebagian terbesar dari kegiatan
pembangunan dilaksanakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, Bappenas berupaya
menyumbangkan pemikiran-pemikiran (moral voices) mengenai pembangunan nasional,
termasuk dalam pelaksanaannya, tidak saja kepada departemen dan LPND tetapi juga kepada
masyarakat, melalui berbagai forum. Beberapa pokok pemikiran yang telah disampaikan dalam
berbagai kesempatan tersebut disarikan dalam buku ini.
Pokok-pokok pikiran tersebut disajikan dalam tujuh bab yang keseluruhannya mencakup
duapuluh lima topik. Bab pendahuluan menguraikan penjelasan singkat mengenai keseluruhan isi
pada masing-masing topik. Di bab kedua, dibahas wawasan pembangunan yang mencakup
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
2
wawasan kebangsaan dan dimensi akhlak dalam pembangunan nasional serta kepemimpinan
dalam wawasan kebangsaan. Pokok bahasan ini menggambarkan kaidah-kaidah yang dianut
dalam membangun bangsa. Kaidah-kaidah tersebut merupakan dasar-dasar bagi perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan nasional yang sesuai dengan jiwa dan jatidiri bangsa Indonesia.
Bab ketiga adalah mengenai arah pembangunan, yang terdiri dari tiga topik. Pembahasan
diawali dengan berbagai paradigma pembangunan secara umum, dilanjutkan dengan tinjauan
mengenai perkembangan paradigma dan kinerja pembangunan nasional. Uraian dalam bab awal
tersebut ditutup dengan mengetengahkan kemajuan, kemandirian, dan keadilan sebagai
paradigma pembangunan. Dalam proses pembangunan menuju bangsa yang maju dan mandiri,
masyarakat Indonesia akan mengalami suatu transformasi. Proses transformasi tersebut
merupakan proses pembangunan dalam jangka panjang. Dalam jangka yang lebih pendek,
Indonesia menghadapi berbagai tantangan pembangunan yang utamanya adalah dalam bidang
ekonomi. Oleh karena itu, sebagai penutup dalam bagian ini disajikan beberapa masalah dalam
perekonomian memasuki abad ke-21, yang menyiratkan ke mana arah pembangunan menuju.
Pembangunan pada hakikatnya adalah dari dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian,
dalam upaya mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada
gilirannya dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Tuntutan ini sesungguhnya
bertepatan atau sesuai dengan konsep pembangunan yang berkesinambungan (sustainable deve-
lopment). Suatu pembangunan dapat berkesinambungan apabila ekonomi rakyat berkembang.
Dengan basis perekonomian yang lebih luas (tidak terpusat pada perorangan, sekelompok orang
atau perusahaan tertentu), ketahanan perekonomian nasional terhadap goncangan-goncangan
ekonomi eksternal dan internal menjadi lebih kukuh. Inti dari semua itu adalah pentingnya untuk
mengembangkan ekonomi rakyat sesuai dengan amanat rakyat dalam GBHN, dan sekaligus
mengamankan keberlangsungan pembangunan nasional. Posisi penting pengembangan ekonomi
rakyat bagi pembangunan yang berkelanjutan menunjukkan adanya keterpaduan antara pemerata-
an dan pertumbuhan.
Mengingat pengembangan ekonomi rakyat merupakan pokok permasalahan yang sangat
menentukan keberhasilan pembangunan nasional, maka bab keempat menyajikan hal ini dengan
pembahasan yang cukup panjang meliputi sembilan topik. Pertama-tama dibahas terlebih dahulu
landasan pengembangan ekonomi rakyat, yaitu demokrasi ekonomi. Pembahasan mengenai
ekonomi rakyat ini berturut-turut dilanjutkan dengan pemberdayaan masyarakat sebagai strategi
pembangunan yang berakarkan kerakyatan, dengan tinjauan khusus mengenai administrasi dalam
upaya pemberdayaan masyarakat, dan kemudian diuraikan pokok-pokok pikiran tentang koperasi
sebagai soko guru perekonomian nasional serta pengembangan kemitraan usaha, dengan tinjauan
khusus mengenai membangun kemitrasejajaran pria dan wanita. Rangkaian strategi dan program
pemberdayaan masyarakat, yang meliputi globalisasi dan strategi pengembangan ekonomi rakyat,
strategi pengentasan penduduk dari kemiskinan, dan program Inpres Desa Tertinggal, merupakan
topik-topik akhir dalam bab empat ini.
Bab kelima membahas salah satu unsur utama dalam mengembangkan ekonomi rakyat
yaitu pengembangan sumber daya manusianya. Upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber
daya manusia menjadi semakin penting dalam era industrialisasi yang diwarnai dengan
perubahan-perubahan yang cepat, yang terutama ditunjang oleh perubahan teknologi yang pesat.
Upaya meningkatkan kemampuan sumber daya manusia tersebut perlu disertai dengan strategi
ketenagakerjaan yang tepat. Dengan demikian, kemampuan sumber daya manusia yang sudah
berhasil ditingkatkan tadi dapat dimanfaatkan dalam pasar tenaga kerja secara produktif. Perlu di-
catat bahwa pemanfaatan sumber daya manusia sebagai faktor produksi adalah merupakan satu
sisi dari upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dari sisi lain, peningkatan kemampuan,
pengetahuan dan keterampilan masyarakat akan meningkatkan apresiasi rakyat terhadap
kehidupan yang dijalani, yang juga merupakan suatu bagian dari peningkatan kesejahteraan
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
3
rakyat. Pembahasan dalam bab lima mengenai pengembangan sumber daya manusia ini terdiri
atas tiga topik, yaitu topik tinjauan tentang teknologi, kebudayaan, dan pendidikan dalam pem-
bangunan nasional, topik mengenai pengembangan sumber daya manusia dalam era
industrialisasi dan topik mengenai strategi dan kebijaksanaan ketenagakerjaan.
Selanjutnya dalam bab keenam dibahas pembangunan daerah, yang juga harus diperhatikan
sebagai salah satu aspek penting pembangunan nasional dan salah satu dasar penting pe-
ngembangan ekonomi rakyat. Dalam pembangunan daerah, masalah pemerataan dan otonomi
daerah serta ketimpangan antarkawasan, terutama antara kawasan barat dan kawasan timur
Indonesia, merupakan masalah yang sudah lama dihadapi. Uraian mengenai kedua hal tersebut
merupakan sumbangan pemikiran melengkapi berbagai pemikiran yang sudah banyak
dikemukakan oleh berbagai kalangan.
Seluruh rangkaian uraian dalam buku ini akan diakhiri dalam bab penutup, yang
merumuskan agenda pembangunan yang penting untuk diperhatikan di masa mendatang, khusus-
nya yang berkaitan dengan hal-hal yang dibahas dalam buku ini.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
4
Bab II :
WAWASAN PEMBANGUNAN
1. Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsaan
Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJP II) merupakan masa kebangkitan nasional
kedua sehingga merupakan saat yang tepat untuk mengkaji kembali berbagai pandangan
mengenai wawasan kebangsaan, serta memantapkan dan memperbaharuinya sesuai dengan
tuntutan zaman. Dalam memasuki abad ke-21, abad yang penuh dengan harapan dan tantangan,
tetapi juga dengan tempo perubahan yang tinggi, ada baiknya kita menyegarkan kembali
pandangan mengenai paham kebangsaan dan perannya dalam pembangunan pada abad yang akan
datang itu.
Wawasan Kebangsaan dalam Perspektif Sejarah
Pembahasan mengenai wawasan kebangsaan, tidak akan terlepas dari perjalanan sejarah
perjuangan suatu bangsa. Pemahaman kebangsaan itu dirangsang oleh pertanyaan-pertanyaan
yang kerap tumbuh dalam hati sanubari, seperti mengapa ada pahlawan dan syuhada yang
berjuang dengan rela dan ikhlas, serta mengorbankan nyawa untuk melahirkan dan mem-
pertahankan tegaknya bangsa ini; mengapa karya-karya pemikiran dan gagasan-gagasan besar
para pendahulu bisa tercipta dan mengantarkan kemerdekaan bangsa, bahkan mampu berlanjut
dalam mengisi kemerdekaan seperti yang dinikmati kini; bagaimana seni budaya yang gemilang
bisa tercipta oleh para pujangga, seniman dan budayawan Indonesia, sehingga menyentuh hati
dan kecintaan untuk merasa memiliki dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan
negara Indonesia; betapa hati bergetar setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya; betapa bait-bait
lagu kebangsaan membangkitkan perasaan yang dalam.
Rasanya setiap orang memiliki rasa kebangsaan, dan memiliki wawasan kebangsaan dalam
perasaan ataupun pikiran, paling tidak dalam hati nuraninya. Dalam kenyataan, rasa kebangsaan
itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tapi sulit dipahami. Namun, ada getaran hati dan
resonansi pikiran tatkala rasa kebangsaan tersentuh dan terpanggil. Rasa kebangsaan bisa timbul
dan terpendam secara berbeda dari orang ke orang dengan naluri kejuangannya masing-masing,
tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dahsyat kekuatannya.
Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 telah mengonsepkan pikiran wawasan kebangsaan
Indonesia dalam pemikiran Kepulauan Nusantara. Pemikiran ini dilanjutkan oleh Kerajaan Maja-
pahit seperti yang tersirat dalam Sumpah Palapa Gadjah Mada yang meyakini adanya kesatuan
kehidupan di wilayah Nusantara. Pada awal abad ke-20 yang akan segera berakhir, Kebangkitan
Nasional 20 Mei 1908 dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 memperlihatkan wawasan
kebangsaan dalam tekad dan keinginan membangun persatuan dan kesatuan karena menyadari
adanya kebinekaan dan keragaman budaya, agama, etnis, dan suku yang akhirnya menuju kepada
perjuangan kemerdekaan nasional.
Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa yaitu rasa persatuan dan kesatuan yang lahir
secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan
aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa
kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi
wawasan kebangsaan. Rasionalisasi rasa dan wawasan kebangsaan akan melahirkan suatu paham
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
5
yang disebut nasionalisme atau paham kebangsaan, yaitu pikiran-pikiran, yang bersifat nasional,
bahwa suatu negara memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan
rasa dan paham kebangsaan tersebut, timbul semangat kebangsaan yang memiliki ciri khas, yaitu
rela berkorban demi kepentingan tanah air, atau semangat patriotisme. Wawasan kebangsaan me-
ngandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jatidirinya, serta mengembangkan tata
lakunya sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai luhur budayanya, yang lahir dan tumbuh subur
sebagai penjelmaan kepribadiannya.
Rasa kebangsaan merupakan perekat yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan
(raison d’être) bangsa-bangsa di dunia. Masalah kebangsaan bukan monopoli sesuatu bangsa,
dan bukan sesuatu yang unik dalam diri bangsa, karena hal yang sama juga dialami bangsa-
bangsa lain.
Bagaimanapun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam kedinamisannya, pandangan
kebangsaan suatu bangsa dengan bangsa lainnya saling berinteraksi dengan intens dan saling
mempengaruhi. Dengan perbenturan budaya yang kemudian bermetamorfosa dalam campuran
budaya dan sintesisnya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat,
yang kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan.
Memang pemikiran mengenai paham kebangsaan berkembang dari masa ke masa, dan
berbeda dari satu lingkungan masyarakat ke lingkungan lainnya yang dicirikan oleh berbagai
aliran atau haluan. Dalam sejarah bangsa-bangsa, dapat dilihat betapa banyak paham yang
melandaskan diri pada kebangsaan. Ada yang menggunakan pendekatan ras atau etnis seperti
nasional sosialisme (Nazisme) di Jerman, atas dasar agama seperti dipecahnya India dengan
Pakistan, atas dasar ras dan agama seperti Israel-Yahudi, dan konsep Melayu-Islam di Malaysia,
atas dasar ideologi atau atas dasar geografi atau paham geopolitik, seperti yang dikemukakan oleh
Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945.
Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 tersebut, antara lain mengatakan: "Seorang anak
kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa Kepulauan Indonesia me-
rupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di
antara dua lautan yang besar; lautan Pasifik dan lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu
benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,
Sumatra, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil
di antaranya, adalah satu kesatuan".
Jika berbicara mengenai wawasan kebangsaan, memang kita perlu mendengarkan apa yang
dikatakan oleh Bung Karno, seorang Nasionalis besar, seorang negarawan yang berada pada
peringkat dunia. Pada tahun 1926 dalam tulisannya Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, Bung
Karno mengatakan "Nasionalisme itu suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu
adalah satu golongan, satu bangsa. Memang semua paham nasionalisme yang berkembang,
berpangkal tolak pada persatuan dan kesatuan suatu bangsa yang mengatasi paham golongan-
golongan". Bung Karno lebih jauh lagi mencoba mengikatnya sehingga dapat menampung
berbagai aliran dan ideologi, yang secara hakiki sebenarnya amat bertentangan. Pandangan ini
menjadi paham yang dipegangnya sepanjang hidupnya. Paham ini pulalah yang kemudian
berkembang tiga puluh tahun kemudian menjadi Nasakom.
Bung Hatta sebagai salah seorang proklamator tidak sepenuhnya sependapat dengan
berbagai pandangan Bung Karno tersebut, terutama mengenai pendekatan geopolitik itu. Bung
Hatta menyatakan: "Teori geopolitik sangat menarik, tetapi kebenarannya sangat terbatas. Kalau
diterapkan kepada Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke daerah Indonesia dan Irian
Barat dilepaskan; demikian juga seluruh Kalimantan harus masuk Indonesia. Filipina tidak saja
serangkai dengan kepulauan kita; bangsa Filipina bangga mengatakan bahwa mereka adalah
bangsa Melayu".
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
6
Memang, kata Bung Hatta, soal bangsa dan kebangsaan tidak begitu mudah
memecahkannya secara ilmiah. Sukar memperoleh kriterium yang tepat apa yang menentukan
"bangsa". Tidak dapat diambil sebagai kriteria: (1) persamaan asal; (2) persamaan bahasa; (3)
persamaan agama. Atas dasar itu, Bung Hatta mengatakan: "Bangsa ditentukan oleh keinsyafan
sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya
atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama se-
peruntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama tertanam dalam hati dan otak".
Mengapa berbagai pandangan mengenai kebangsaan tersebut perlu digali? Hal ini tidak
lain adalah untuk memberikan perspektif mengenai wawasan dan paham kebangsaan ini, terutama
di dalam memasuki zaman baru. Pandangan-pandangan nasionalisme yang dikembangkan oleh
para pendiri Republik ini, memang banyak bersumber dari berbagai teori pemikiran Barat.
Pikiran-pikiran nasionalisme ini berkembang di Eropa, sebagai bentuk perlawanan terhadap
feodalisme serta terhadap penjajahan oleh bangsa-bangsa yang kuat terhadap yang lebih lemah.
Paham nasionalisme ini kemudian berkembang di bagian dunia lain, di Amerika, Asia, dan Afrika
yang hidup di bawah tekanan kekuasaan feodal atau penjajah.
Namun, kalau dilihat lebih dalam lagi, dapat ditemukan pula pandangan-pandangan
mengenai bangsa dan kebangsaan yang mencerminkan pandangan hidup khas Indonesia, seperti
yang diutarakan Ki Hadjar Dewantara: "Rasa kebangsaan adalah sebagian dari rasa kebatinan
yang hidup dalam jiwa dengan disengaja. Asal mulanya rasa kebangsaan itu timbul dari rasa diri,
yang terbawa dari keadaan perikehidupan, lalu menjalar menjadi rasa keluarga; rasa ini terus jadi
rasa hidup bersama (rasa sosial)".
Wawasan Kebangsaan dan Tantangannya
Dalam memasuki zaman kehidupan yang makin mengglobal, wawasan kebangsaan banyak
dibahas kembali. Tentu ada sesuatu di balik itu semua. Dengan mencoba mendalami, menangkap
berbagai ungkapan dari masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka
masyarakat, memang ada hal-hal yang menjadi keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan
semangat kebangsaan telah mendangkal atau terjadi erosi terutama di kalangan generasi muda;
sering kali disebut bahwa sifat materialistis, telah menggantikan idealisme yang merupakan
sukmanya kebangsaan. Kedua, ada kekhawatiran ancaman desintegrasi kebangsaan, dengan
melihat gejala yang terjadi di berbagai negara, terutama yang amat mencekam adalah kejadian di
Yugoslavia, di bekas Uni Soviet, Sri Lanka, dan juga di negara-negara lainnya, seperti di Afrika
yang paham kebangsaannya merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada
keprihatinan adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup ke dalam pola pikir yang asing
untuk bangsa ini.
Mengenai kekhawatiran yang pertama, memang bisa diperoleh banyak pandangan. Pada
dasarnya gejala yang dikhawatirkan itu sebenarnya lebih mencerminkan perkembangan gaya
hidup. Cara berpakaian, lagu-lagu, makanan, bahasa, bahkan sikap sehari-hari sering kali
mencerminkan gaya hidup internasional, terutama di perkotaan. Peningkatan taraf hidup,
globalisasi dan arus informasi menyebabkan terjadinya hal itu. Apakah makin terintegrasinya
Indonesia kepada pola kehidupan dan ekonomi dunia merupakan ancaman yang mendasar ter-
hadap rasa kebangsaan? Hal ini sulit untuk dapat dibuktikan. Ujiannya nanti adalah seberapa jauh
bangsa Indonesia, terutama generasi mudanya, merasa terpanggil dan bereaksi ketika bangsa dan
negaranya berada dalam ancaman. Namun, yang juga bisa menjadi ujian sekarang ini adalah
seberapa jauh bangsa Indonesia dapat mengembangkan semangat menghargai dan mendahulukan
karya bangsa sendiri sebagai ungkapan nasionalisme atau patriotisme baru.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
7
Kekhawatiran yang kedua yang juga perlu mendapat perhatian adalah terutama mengenai
adanya gejala mempertentangkan berbagai perbedaan yang ada pada bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia sangat majemuk, sangat bineka. Karena itu ada Sumpah Pemuda. Karena itu ada
semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sejarah telah menunjukkan betapa kemajemukan itu dapat
mendorong divergensi yang dengan susah payah telah diatasi sehingga Indonesia tetap menjadi
bangsa yang utuh. Upaya ini dilakukan sejak awal kemerdekaan, yaitu dengan diterimanya
perubahan Piagam Jakarta, menjadi apa yang dikenal dalam UUD 1945 sekarang.
Di pihak lain, di samping ada potensi divergensi, kemajemukan atau kebinekaan juga
merupakan potensi kekuatan yang besar bagi suatu bangsa. Adanya unsur-unsur yang berbeda
jika dapat dihimpun akan menghasilkan kekuatan yang lebih besar, daripada hanya terdiri atas
unsur yang seragam. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya dan tidak mencerminkan pandangan
kebangsaan, untuk menutup mata akan adanya perbedaan dan bertindak seakan-akan bangsa
Indonesia adalah homogen, tidak ada perbedaan suku, agama atau etnis. Dan bukan itu pula
pengertian kebangsaan yang dikehendaki pendiri Republik ini. Di pihak lain, sangat bertentangan
pula dengan rasa kebangsaan untuk memperbesar perbedaan. Sesungguhnya, sangat penting
mengenali adanya kemajemukan, dan memadukan serta memanfaatkannya untuk membangun ke-
kuatan yang dahsyat untuk mewujudkan cita-cita perjuangan.
Kekhawatiran yang ketiga, tidak terlepas dari kedua hal di muka. Kesadaran masyarakat
yang makin meningkat, sebagai hasil pembangunan menyebabkan tumbuhnya sikap kritis.
Keterbukaan yang dihasilkan oleh pembangunan politik membuat segala pandangan dapat
dikemukakan secara bebas. Dengan sendirinya terjadi pula interaksi yang makin leluasa dan
kerap dengan pandangan-pandangan dari luar. Akibatnya, timbul berbagai jargon politik, yakni
“demokratisasi”, “arus bawah” dan sebagainya, yang sebetulnya merupakan rumusan-rumusan
netral, kalau tidak dimuati dengan konotasi tertentu. Keinginan untuk membangun kehidupan
nasional yang partisipatif dan demokratis, adalah wajar, dan menjadi tujuan pembangunan politik.
Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana mewujudkannya. Ada kekhawatiran, dalam
proses itu berkembang pemikiran-pemikiran yang asing, yang mungkin tidak tepat untuk
diterapkan di Indonesia, bahkan akan bertentangan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Lebih jauh lagi, terkesan bahwa perubahan menuju arah kehidupan yang makin bebas sepertinya
boleh dicapai dengan menghalalkan segala cara dan asal berbeda.
Sesungguhnya tidak ada orang yang menentang pembaharuan, bahkan hal itu diamanatkan
oleh UUD 1945, seperti semangat yang dapat ditangkap pada penjelasan Pasal 3. Namun,
pembaharuan itu harus dilakukan di dalam sistem itu sendiri. Pembaharuan di luar sistem, akan
menyebabkan gejolak, yang tidak menguntungkan siapa pun, yang tidak bisa menghindar dari
dampak gejolak itu.
Pengamalan Wawasan Kebangsaan dalam Membangun Masa Depan
Dari uraian di atas, pertanyaan yang muncul adalah konsep kebangsaan yang bagaimana
yang tepat untuk masa kini dan masa depan bangsa. Karena persoalan feodalisme dan kolonial-
isme, yaitu musuh-musuhnya nasionalisme, sudah tidak relevan lagi sekarang, tentu wawasan
kebangsaan harus ditunjukkan dengan wujud baru.
Dalam hal ini, meskipun penampilannya bisa berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman dan tantangan yang dihadapi suatu bangsa juga berubah, tetapi pengertian pokoknya tidak
pernah berubah seperti apa yang telah diuraikan pada awal pembahasan ini.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
8
Dengan mengupas berbagai pandangan tadi, maka dapat dikatakan bahwa hakikat wawasan
kebangsaan bagi bangsa Indonesia adalah yang termaktub di dalam jiwa pembukaan UUD 1945,
yang menetapkan dasar dan tujuan kemerdekaan kebangsaan Indonesia.
Memang ada pandangan yang mengatakan bahwa paham kebangsaan Indonesia
dicerminkan dalam sila Persatuan Indonesia. Meskipun persatuan merupakan unsur paling pokok
dalam setiap paham kebangsaan, tetapi bukan merupakan unsur satu-satunya. Konsep kebangsaan
menurut paham bangsa Indonesia lebih luas daripada hanya unsur persatuan. Karena kalau hanya
itu saja, ia menjadi sangat terbatas, dan kalau sudah menjadi satu lantas tidak diperlukan lagi.
Paham kebangsaan bangsa Indonesia mengemban misi, yaitu seperti yang diamanatkan dalam
Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan, "maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu
dalam .....".
Paham kebangsaan Indonesia adalah paham yang memiliki landasan spiritual, moral dan
etik, karena itu bersilakan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia ingin membangun masa kini dan masa
depan, di dunia dan akhirat. Paham kebangsaan Indonesia tidak menempatkan bangsa Indonesia
di atas bangsa lain, tetapi menghargai harkat dan martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban
asasi manusia. Oleh karena itu, paham kebangsaan Indonesia mempunyai unsur kemanusiaan
yang adil dan beradab. Oleh karena itu pula paham kebangsaan Indonesia mengakui adanya nilai-
nilai universal kemanusiaan. Sebagai bangsa yang majemuk, tetapi satu dan utuh, paham
kebangsaan Indonesia jelas bersendikan persatuan dan kesatuan bangsa. Pandangan ini kemudian
dituangkan dan dimantapkan dalam konsep Wawasan Nusantara. Paham kebangsaan ini berakar
pada asas kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Oleh karena itu paham kebangsaan Indonesia
adalah paham demokrasi, dan bertentangan dengan paham totaliter. Paham kebangsaan ini
memiliki cita-cita keadilan sosial, bersumber pada rasa keadilan dan menghendaki kesejahteraan
bagi seluruh rakyat.
Dengan pandangan itu, wawasan kebangsaan tidak lagi hanya dilihat sebagai wujud yang
reaktif terhadap sesuatu keadaan atau ancaman, atau kekhawatiran terhadap "ini" atau terhadap
"itu". Wawasan kebangsaan Indonesia sebaiknya merupakan pandangan proaktif, untuk
membangun bangsa menuju perwujudan cita-citanya.
Dengan demikian pembangunan sebagai pengamalan wawasan kebangsaan, tidak lain
adalah pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, yang merupakan konsepsi pembangunan
yang paling mendasar. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan pembangunan sebagai
pengamalan Pancasila, kita tidak perlu jauh-jauh mencari, tetapi mempelajari saja GBHN, karena
petunjuk-petunjuknya telah jelas. GBHN 1993 memberikan tuntunan, bahwa berdasarkan pokok
pikiran pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, maka pembangunan nasional pada
hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedomannya.
Dari amanat tersebut disadari bahwa pembangunan ekonomi bukan semata-mata proses
ekonomi, tetapi suatu penjelmaan pula dari proses perubahan politik, sosial, dan budaya yang
meliputi bangsa, di dalam kebulatannya. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di bidang
ekonomi tidak dapat dilihat terlepas dari keberhasilan pembangunan di bidang politik.
Mekanisme dan kelembagaan politik berdasarkan UUD 1945 telah berjalan. Pelaksanaan pemilu
secara teratur selama Orde Baru juga sudah menunjukkan kemajuan perkembangan demokrasi.
Pembangunan di berbagai bidang selama ini memberikan kepercayaan kepada bangsa
Indonesia bahwa upaya pembangunan yang telah ditempuh, seperti yang diamanatkan oleh
Pancasila dan UUD 1945, menunjukkan keberhasilan. Ini yang ingin dilanjutkan dan akan
ditingkatkan dalam era baru pembangunan, yaitu era Kebangkitan Nasional Kedua.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
9
2. Dimensi Akhlak dalam Pembangunan Nasional
Akhlak adalah nilai-nilai dasar yang membimbing seseorang dalam berperilaku. Seorang
dikatakan berakhlak atau bermoral, apabila perilakunya mengikuti kaidah-kaidah kehidupan yang
dikehendaki atau dibenarkan oleh agama, masyarakat, dan hati nuraninya. Kaidah-kaidah kehi-
dupan itu berisi tuntunan atau petunjuk mengenai baik dan buruk. Karena perjalanan kehidupan
pada dasarnya adalah rangkaian pilihan yang sambung-menyambung, tidak henti-hentinya, maka
akhlak menunjukkan pilihan-pilihan yang baik dalam berperilaku dan menempuh kehidupan.
Moral atau akhlak, tidak dapat diukur semata-mata oleh diri sendiri, tetapi oleh lingkungan
dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pada dasarnya, akhlak berkenaan dengan perilaku seseorang
dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila seseorang hidup sendiri, tanpa orang lain, maka
masalah akhlak menjadi kurang menjadi persoalan, karena perbuatan yang dilakukan hanya
menyangkut dirinya sendiri. Karena itu akhlak berkenaan tidak hanya dengan nilai-nilai
individual, tetapi terkait dengan nilai-nilai sosial dan bersifat transendental.
Oleh karena itu, seseorang dikatakan berakhlak apabila perilakunya baik, yakni tidak
bertentangan dengan norma-norma yang dipandang baik oleh masyarakat. Norma-norma ma-
syarakat itu sendiri dibentuk oleh keyakinan yang dianut oleh masyarakat tempat seseorang
menjadi anggotanya. Bagi masyarakat beragama, ajaran-ajaran agama adalah nilai-nilai yang
paling hakiki yang membentuk norma-norma masyarakat itu. Bagi umat beragama akhlak adalah
cerminan dari pengejawantahan keimanan.
Seseorang yang berperilaku amat baik, artinya tidak pernah melanggar kaidah-kaidah yang
menjadi pegangan terhadap hal-hal baik, dikatakan berakhlak mulia, yang dalam agama Islam
dikenal dengan akhlaqul karimah. Akhlak berbeda dengan watak, karena watak adalah sifat atau
kecenderungan pembawaan seseorang. Oleh karena itu, tidak ada akhlak yang buruk, tetapi ada
watak yang buruk. Orang yang perilakunya terus-menerus buruk, disebut orang yang wataknya
buruk, tidak berakhlak atau tidak bermoral, atau a moral.
Akhlak dalam Pembangunan
Dalam kaitan akhlak dengan pembangunan nasional, pertanyaan yang segera muncul
adalah, pembangunan yang bagaimana yang berakhlak? Pembangunan pada umumnya diarahkan
untuk memperbaiki keadaan, sehingga dapat dikatakan sebagai perbuatan kebaikan. Namun,
sejarah menunjukkan tidak senantiasa demikian kenyataannya.
Pembangunan dapat merupakan perbuatan yang tidak baik, apabila hal-hal berikut yang
terjadi.
Pertama, jika ditujukan untuk kepentingan pembangunan suatu kelompok dengan
mengorbankan yang lain. Contohnya, adalah pembangunan kembali Jerman dari reruntuhan
perang dunia pertama, dengan menempatkan kelompok etnisnya di atas yang lain.
Kedua, apabila pembangunan hanya menguntungkan sebagian orang, tetapi tidak
bermanfaat bagi banyak yang lain. Contohnya, banyak pembangunan di negara berkembang yang
mengakibatkan kemajuan hanya bagi kelompok atau lapisan tertentu yang sedikit jumlahnya,
sedangkan yang lainnya tidak berkesempatan untuk turut serta atau menikmatinya. Pembangunan
yang demikian acapkali menghasilkan atau mengabadikan kemiskinan bagi lapisan rakyat yang
terbanyak.
Ketiga, apabila pembangunan dijalankan dengan menggunakan cara yang tidak benar, tidak
baik, atau tidak halal. Pembangunan yang menghalalkan segala cara bukan pembangunan yang
benar dari tinjauan akhlak.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
10
Keempat, pembangunan yang hanya mengejar kebutuhan lahiriah dan mengabaikan sisi
rohaniah manusia, sebagai makhluk yang utuh. Pembangunan yang demikian menghasilkan
manusia yang materialistis, yang segala perbuatannya hanyalah untuk kepuasan di dunia ini saja.
Kelima, pembangunan yang merusak alam dan lingkungan. Manusia sebagai khalifah di
muka bumi, memikul tanggung jawab untuk memelihara lingkungan hidupnya, baik lingkungan
sosial maupun alam. Merusak alam sekarang berarti menyengsarakan generasi mendatang.
Keenam, pembangunan yang dijalankan dengan tidak memperhatikan nilai kemanusiaan
pada umumnya. Misalnya, pembangunan melalui penjajahan dan penindasan. Akhlak atau moral
selalu sejalan dengan fitrah kemanusiaan. Karena itu, pembangunan yang bermoral adalah
pembangunan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang fitrah.
Pembangunan menurut Paham Bangsa Indonesia
Pokok yang paling mendasar dalam falsafah pembangunan bangsa Indonesia ialah bahwa
pembangunan adalah pengamalan Pancasila. Karena itu GBHN menyatakan bahwa keseluruhan
semangat, arah dan gerak pembangunan dilaksanakan sebagai pengamalan semua sila Pancasila
secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh. Berdasarkan pokok pikiran tersebut, maka
pembangunan dalam pengertian bangsa Indonesia pada hakikatnya adalah pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila
sebagai dasar, tujuan, dan pedoman pembangunan nasional.
Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus-menerus
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta me-
ngembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis
berdasarkan Pancasila. Pembangunan nasional diarahkan untuk mencapai kemajuan dan ke-
sejahteraan lahir batin, termasuk terpenuhinya rasa aman, rasa tenteram, dan rasa keadilan.
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional menurut pokok-pokok pikiran di atas, ada
sembilan asas pembangunan yang harus diterapkan dan dipegang teguh seperti yang diamanatkan
GBHN 1993. Asas-asas tersebut mencerminkan kaidah-kaidah yang paling pokok yang
membentuk moral pembangunan bangsa Indonesia. Asas-asas tersebut adalah (1) asas keimanan
dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) asas manfaat; (3) asas demokrasi Pancasila;
(4) asas adil dan merata; (5) asas keseimbangan; (6) asas hukum; (7) asas kemandirian; (8) asas
kejuangan; dan (9) asas ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di urutan paling atas, ditempatkan asas keimanan dan ketaqwaan. Dengan asas ini bangsa
Indonesia menyatakan bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional harus dijiwai,
digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etis dalam rangka pembangunan
nasional sebagai pengamalan Pancasila. Nilai-nilai dasar tersebut menunjukkan watak
pembangunan yang dikehendaki dalam melaksanakan pembangunan nasional.
Kaidah Penuntun sebagai Norma Pembangunan
Bagaimana menyelenggarakan pembangunan yang mencerminkan sifat-sifat seperti
tersebut di atas, telah pula diberikan pedomannya oleh GBHN dalam sepuluh butir Kaidah Pe-
nuntun, yang meliputi semua bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun
pertahanan keamanan.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
11
Khususnya di bidang ekonomi, Kaidah Penuntun menunjukkan bahwa pembangunan
ekonomi harus selalu mengarah pada mantapnya sistem ekonomi nasional berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945, yang disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi.
Dalam Kaidah Penuntun ditunjukkan delapan hal yang menjadi ciri demokrasi ekonomi
yang harus ditegakkan dan diwujudkan melalui upaya pembangunan, dan tiga hal yang harus
dihindari karena bertentangan dengan watak perekonomian Pancasila. Ciri demokrasi ekonomi
dan tiga hal yang harus dihindari tersebut diuraikan secara singkat di bawah ini, yang mem-
berikan rambu-rambu moral pembangunan bangsa Indonesia.
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
Butir ini dipetik dari pasal 33 UUD 1945. Ini merupakan dasar demokrasi ekonomi yang
menunjukkan bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dan di bawah pimpinan atau
penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan dan bukan
kemakmuran orang seorang. UUD 1945 menunjukkan bahwa bangun perusahaan yang sesuai
dengan itu ialah koperasi. Dengan demikian, perekonomian yang semata-mata didasarkan kepada
mengejar keuntungan untuk diri sendiri dan sifat keserakahan amat bertentangan dengan kaidah
ini. Asas kekeluargaan mengamanatkan semangat senasib sepenanggungan yang tercermin dalam
solidaritas sosial. Majikan dan buruh, yang besar dan yang kecil haruslah hidup dalam hubungan
yang serasi dan saling menunjang. Dalam hubungan kekeluargaan tidak ada hamba sahaya dan
tidak ada tindas-menindas dan mati-mematikan. Apa yang ada adalah tenggang rasa, nikmat sama
dirasakan, penderitaan sama dipikul. Kenikmatan yang diperoleh dari penderitaan yang lain atau
dengan membuat penderitaan bagi yang lain tidak sesuai dengan asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.
Ini merupakan ayat kedua pasal 33 UUD 1945. Dalam penjelasannya diingatkan jangan
sampai tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat banyak di-
tindasnya. Apa yang dimaksud dengan yang berkuasa, tentunya bukan hanya yang memiliki
kekuasaan politik saja, tetapi juga kekuasaan ekonomi, melalui kekuatan yang dimilikinya dalam
penguasaan pasar dan faktor-faktor produksi. Karena itu hanya perusahaan yang tidak menguasai
hajat hidup orang banyak yang boleh ditangani orang seorang. Penguasaan oleh negara memang
tidak perlu diartikan sebagai sepenuhnya pemilikan, tetapi bahwa negara harus menjamin adanya
kemampuan bagi negara untuk menegakkan kedaulatan serta melindungi kepentingan umum dan
kepentingan ekonomi rakyat. Kedaulatan termasuk di bidang ekonomi tidak boleh bergeser ke
tangan sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab kepada dan tidak berada di bawah peng-
awasan rakyat karena kedaulatan di negara Indonesia berada di bawah pengawasan rakyat atau di
tangan rakyat, yang pengejawantahannya dilakukan melalui mekanisme perwakilan.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok
kemakmuran rakyat, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar ke-
makmuran rakyat.
Butir ini adalah ayat ketiga pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa tanah air dan
kekayaan alam adalah karunia Allah bagi rakyat Indonesia dan menjadi sumber bagi
kemakmurannya. Dengan keterbatasan yang ada pada negara, maka pengembangan sumber-
sumber kekayaan alam tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan orang per-
orang atau usaha swasta, tetapi harus tetap dalam pengawasan pemerintah dan penilikan
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
12
masyarakat. Dalam kaitan ini, potensi kekayaan alam dikembangkan dengan cara yang dapat
memberikan imbalan yang layak bagi yang mengusahakan sesuai dengan pengorbanan dan risiko
yang diambilnya, tetapi juga menjamin bahwa hasil akhirnya adalah kemakmuran yang sebesar-
besarnya bagi rakyat.
4. Sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga
perwakilan rakyat, dan pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga
perwakilan rakyat.
Butir ini mencerminkan amanat pasal 23 UUD 1945. Di sini ditegaskan kedaulatan rakyat
terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kekayaan dan keuangan negara pada
umumnya. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan betapa caranya rakyat, sebagai bangsa akan
hidup dan dari mana didapatnya belanja hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan
perantaraan dewan perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara
hidupnya. Dengan memiliki hak anggaran Dewan Perwakilan Rakyat mengawasi (mengontrol)
pemerintah. Selain menegakkan hakikat kedaulatan rakyat dalam pengelolaan kekayaan dan ke-
uangan negara, menunjukkan juga sifat demokratisnya.
5. Perekonomian daerah dikembangkan secara serasi sesuai dan seimbang dalam satu
kesatuan perekonomian nasional dengan mendayagunakan potensi dan peran serta
daerah secara optimal.
Kaidah ini memberi petunjuk mengenai pemerataan pembangunan antardaerah dan
kewajiban negara untuk mendorong pembangunan wilayah-wilayah yang terbelakang seperti
misalnya kawasan timur Indonesia. Pembangunan yang makin merata antardaerah tidak hanya
akan memenuhi tuntutan keadilan, tetapi akan memperkukuh landasan pembangunan, karena
berkembangnya potensi-potensi pembangunan yang ada di semua daerah sehingga menghasilkan
sinergi yang akan mendorong pertumbuhan.
6. Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta
mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Butir ini adalah bagian dari hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 pada
Bab X, pasal 26, 27, 28, 29 dan 30, dalam hal ini khususnya pasal 27 ayat (2). Di sini dijamin
bahwa rakyat tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak dikehendakinya.
Aspek yang lebih mendasar lagi bahwa negara wajib mengupayakan pekerjaan bagi rakyat dan
membangun perikehidupan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Menciptakan
lapangan pekerjaan bagi rakyatnya memang menjadi tugas dan pokok perhatian pemerintah mana
pun di dunia, demikian pula menjamin penghidupannya yang layak. Keseluruhan upaya
pembangunan bangsa pun, apabila dipadatkan, ke sinilah arahnya. Demikian pula upaya
pengentasan penduduk dari kemiskinan, karena adanya kemelaratan di tengah kemakmuran
sangat bertentangan dengan hati nurani dan rasa keadilan. Selain itu, rakyat yang miskin bukan
pula rakyat produktif sehingga mengatasi kemiskinan, selain merupakan persoalan kemanusiaan
adalah juga masalah ekonomi.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
13
7. Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan masyarakat.
Hak milik perorangan memang dijamin oleh negara. Dengan jaminan itu, ada perangsang
bagi setiap orang untuk memperbesar kegiatan yang produktif, yang dapat pula bermanfaat bagi
orang lain dan masyarakat. Namun, hak milik perorangan tidak bersifat mutlak, dalam arti dapat
digunakan sesukanya. Pembatasnya adalah kepentingan umum. Pemanfaatan hak milik
perorangan tidak boleh merugikan masyarakat, bahkan sebaliknya harus diusahakan untuk
menguntungkan selain dirinya sendiri juga masyarakat. Dalam paham bangsa, hak milik
perorangan diharapkan pula mempunyai nilai dan fungsi sosial.
8. Potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya
dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
Menyadari betapa sumber daya manusia merupakan modal utama pembangunan, maka
potensi, inisiatif, dan daya kreasinya harus terus menerus didorong dan dirangsang untuk
dikembangkan. Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan bangsa-bangsa terkait erat dengan
dorongan dan kebebasan untuk mengembangkan prakarsa dan kreativitas yang tercermin dalam
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membawa bangsa pada tataran peradaban
yang lebih tinggi. Untuk itu memang harus diusahakan adanya perangsang, baik dalam bentuk
kenikmatan hasilnya ataupun penghargaan masyarakatnya. Namun, moralnya adalah kebebasan
berprakarsa dan berkreasi itu tidak boleh merugikan orang lain, tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan masyarakat. Egoisme pribadi, keangkuhan intelektual, dan pelecehan terhadap nilai-
nilai budaya serta martabat anggota masyarakat harus dihindari.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa demokrasi ekonomi pada prinsipnya menjamin
hak-hak warga negara, disertai pembatasannya, yang pada dasarnya adalah upaya mencari ke-
seimbangan antara hak-hak individu dan kepentingan masyarakatnya.
Kaidah Penuntun juga mengajarkan adanya tiga hal yang mutlak harus dihindari dan tidak
boleh terjadi pada bangsa ini. Ketiga hal itu adalah musuh demokrasi ekonomi berdasarkan
Pancasila.
a. Sistem “free-fight liberalism”
Sistem ini menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam
sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan struktural ekonomi
nasional dan posisi Indonesia dalam perekonomian dunia. Sistem ini memang terkait dengan
sistem ekonomi pasar yang terbukti merupakan mekanisme yang lebih unggul dibandingkan
mekanisme lainnya yang juga telah dicoba, antara lain dengan sistem Marxisme/komunisme atau
sistem ekonomi komando dalam berbagai bentuk dan variasinya. Perdagangan bebas sebetulnya
adalah mekanisme yang berkembang dalam sistem ini. Namun, melalui pengalaman lebih dari
dua abad, sistem kapitalisme liberal, telah mengalami cukup banyak perubahan, karena dalam
perjalanannya diketemukan banyak kelemahan. Kelemahan itu, adalah antara lain, terjadinya
distorsi dalam penyediaan barang dan jasa publik, terciptanya persaingan yang tidak seimbang
karena terakumulasinya kekuatan pasar pada sejumlah orang atau kelompok yang terbatas, alo-
kasi sumber daya terjadi secara tidak efektif dan optimal, dan terjadinya kesenjangan dalam
pendapatan yang pada gilirannya melahirkan masalah-masalah sosial. Sistem ini juga melahirkan
keserakahan dan kebuasan dalam persaingan yang merangsang penjajahan dan penghisapan satu
bangsa atas bangsa lain, semata-mata untuk menguasai pasar dan faktor-faktor produksi secara
lebih murah sehingga dapat memperkuat daya saing. Di negara-negara maju, sistem ini telah
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
14
“dijinakkan” dengan berbagai intervensi dari negara melalui pembatasan-pembatasan. Tindakan
yang sangat menonjol adalah ketentuan-ketentuan anti-trust, serta pengaturan redistribusi
pendapatan untuk menolong golongan yang dirugikan dalam persaingan pasar tersebut. Di banyak
negara, perlindungan diberikan kepada usaha kecil sehingga dapat memasuki persaingan pasar
secara lebih kuat. Dengan demikian, di negara Barat pun, yang pertama-tama menerapkan sistem
ini, persaingan bebas atau free-fight liberalism sudah diupayakan untuk dihindari. Apalagi
tentunya di Indonesia yang sejak semula memang tidak mengatakan dirinya sebagai penganut
paham ini.
b. Sistem etatisme
Dalam sistem ini negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan, mendesak dan
mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara. Dari pengalaman
bangsa Indonesia sendiri dan pengalaman bangsa-bangsa lain, diketahui bahwa sistem ini tidak
mampu mengelola sumber daya dan kekayaan negara secara efisien, efektif dan optimal, karena
tidak berkembangnya prakarsa dan kreativitas masyarakat. Bukti menunjukkan bahwa masyarakat
dapat lebih mampu menyelenggarakan berbagai kegiatan ekonomi dibandingkan dengan jika
negara yang melakukannya. Oleh karena itu, selayaknya negara membatasi keterlibatannya secara
langsung dalam hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak saja, dan yang tidak mungkin
dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri seluas atau sebaik seperti apabila dilakukan oleh peme-
rintah, atau yang dibutuhkan oleh masyarakat tetapi tidak ada rangsangan ekonomi bagi
masyarakat untuk melakukannya sendiri.
c. Persaingan tidak sehat
Persaingan dianggap tidak sehat bila terjadi pemusatan kekuatan ekonomi dalam berbagai
bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita
keadilan sosial. Seperti telah dikemukakan di atas, mekanisme pasar harus disertai dengan
pengendalian agar persaingan yang terjadi adalah persaingan yang sehat yang mencerminkan
keadilan. Monopoli dan monopsoni, juga oligopoli dan oligopsoni, adalah produk mekanisme
pasar yang melenceng, yang terjadi karena tidak ada atau kurang efektifnya kendali yang
mencegah terjadinya penguasaan kekuatan pasar pada orang atau kelompok yang jumlahnya
terbatas. Gejala ke arah itu jelas harus dihindari karena selain menyebabkan distorsi pasar yang
akan merugikan rakyat banyak, juga bertentangan dengan pesan konstitusi bahwa kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang.
Selanjutnya, harus diingat bahwa pembangunan bukan hanya di bidang ekonomi. Selain
kaidah-kaidah yang menuntun pembangunan ekonomi, GBHN 1993 juga meletakkan kaidah-
kaidah pembangunan di bidang-bidang lainnya. Apa yang ingin dibangun adalah kehidupan yang
konstitusional, demokratis, dan berdasarkan hukum. Pembangunan yang dilaksanakan adalah
yang bermoral, berakhlak, berdasarkan pada kesepakatan bersama mengenai dasar-dasar negara
yang merupakan landasan dalam membangun kehidupan sebagai bangsa yang merdeka. Dasar-
dasar itu adalah konstitusi. Perbuatan yang bertentangan dengan konstitusi, meskipun atas nama
pembangunan, tidak dikehendaki.
Pembangunan harus juga dilakukan dengan asas demokrasi, karena negara adalah milik
rakyat, dan segala sesuatu yang dilakukan untuk dan atas nama negara, termasuk pembangunan,
haruslah dengan persetujuan rakyat, dan pelaksanaannya mengikutsertakan rakyat, serta hasilnya
dinikmati rakyat seluruhnya.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
15
Pembangunan juga harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan dengan menghormati
hukum. UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum dan tidak berdasar
atas kekuasaan belaka. Meskipun untuk pembangunan, segala kegiatan tidak dapat hanya
dilakukan dengan kekuasaan, tetapi harus berdasarkan hukum. Karena itu pembangunan yang
bertentangan dengan amanat konstitusi atau yang tidak dilakukan secara demokratis, atau yang
melanggar hukum, bukanlah pembangunan yang bermoral atau berakhlak.
Pelaksanaannya
Dari berbagai uraian di atas, kiranya dapat diperoleh gambaran mengenai akhlak
pembangunan dan pembangunan yang berakhlak, dari sudut pandang bangsa Indonesia. Persoalan
selanjutnya adalah bagaimana pelaksanaannya. Jika sudah sampai di situ, tentu pandangan yang
ada dalam masyarakat dapat berbeda-beda. Fakta-fakta menunjukkan bahwa keadaan bangsa
Indonesia hari ini jauh lebih baik dari kemarin. Artinya apa yang dicita-citakan, dan dirumuskan
dalam rencana-rencana, telah dijalankan dan telah memberikan hasil. Artinya, diyakini bahwa
dalam garis besarnya pembangunan nasional yang dilaksanakan berada di jalan yang benar. Na-
mun, disadari masih banyak kelemahan atau ketidaksesuaian antara yang diharapkan dengan yang
terjadi.
Keadaan itu dapat disebabkan oleh berbagai hal berikut ini.
Pertama, ada kekeliruan dalam kebijaksanaan atau pendekatan. Ini mungkin saja terjadi,
karena bagaimanapun upaya pembangunan ini acapkali dilaksanakan secara berjalan sambil
belajar. Jadi, tidak tertutup kemungkinan ada jalan-jalan salah yang dipilih. Semestinya begitu
diketahui salah, harus segera diperbaiki.
Kedua, kebijaksanaannya benar, tetapi pelaksanaanya tidak berjalan seperti atau
menghasilkan apa yang diharapkan. Hal ini dapat terjadi karena ada rintangan yang sulit diatasi,
atau terjadi perkembangan yang di luar perhitungan atau rencana.
Ketiga, sejak semula memang pelaksanaannya menyimpang, yang dapat disebabkan oleh
dua hal. Pertama, karena ketidakmampuan yang melaksanakan. Ini bersangkutan dengan kualitas
sumber daya manusianya yang tidak sesuai dengan tanggung jawab yang dipikul. Kedua, karena
ada itikad buruk yang biasanya untuk keuntungan diri sendiri, misalnya korupsi, kesewenang-
wenangan, dan lain sebagainya.
Karena dunia bukan tempat yang ideal, dan tidak dimaksudkan Tuhan juga sebagai tempat
yang serba baik, maka tantangan serupa itu akan terus dihadapi betapapun kemajuan yang telah
dicapai. Banyak negara lain, yang sudah sangat maju sekalipun, masih menghadapi masalah yang
sama. Menjadi tugas bersama pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya penyimpangan-penyimpangan tersebut menjadi sekecil-kecilnya agar pembangunan
nasional dapat terlaksana sesuai dengan moral pembangunan bangsa Indonesia.
3. Kepemimpinan dalam Wawasan Kebangsaan
Faktor kepemimpinan penting sekali dan amat menentukan dalam kehidupan setiap bangsa,
karena maju mundurnya masyarakat, jatuh bangunnya bangsa, ditentukan oleh pemimpinnya.
Pemimpinlah yang akan merancang masa depan serta menggerakkan masyarakat untuk mencapai-
nya. Banyak teori mengenai kepemimpinan. Juga banyak pendekatan untuk bisa memahami
kepemimpinan. Dalam topik ini akan dibahas beberapa pandangan terutama mengenai corak ke-
pemimpinan masa depan, yakni kepemimpinan yang dapat membawa bangsa menuju kemajuan
yang berkeadilan di atas landasan kebangsaan.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
16
Warisan para Leluhur
Bangsa Indonesia memiliki warisan dari para leluhur mengenai prinsip-prinsip
kepemimpinan. Banyak di antaranya yang relevan sepanjang masa dan sekarang pun masih di-
gunakan.
Salah sebuah konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalah
Hastha Brata, atau delapan ajaran keutamaan, seperti yang ditunjukkan oleh sifat-sifat alam.1
Seorang pemimpin harus berwatak matahari, artinya memberi semangat, memberi kehidupan
dan memberi
kekuatan bagi yang dipimpinnya. Harus mempunyai watak bulan, dapat menyenangkan dan
memberi terang dalam kegelapan. Memiliki watak bintang, dapat menjadi pedoman. Berwatak
angin, dapat melakukan tindakan secara teliti dan cermat. Harus berwatak mendung, artinya
bahwa pemimpin harus berwibawa, setiap tindakannya harus bermanfaat. Pemimpin harus
berwatak api, yaitu bertindak adil, mempunyai prinsip, tegas tanpa pandang bulu. Ia juga harus
berwatak samudera, yaitu mempunyai pandangan luas, berisi dan rata. Akhirnya seorang pe-
mimpin harus memiliki watak bumi, yaitu budinya sentosa dan suci.
Ki Hadjar Dewantara merumuskan kepemimpinan sosial dengan tiga ungkapan yang
sangat dalam maknanya: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handa-
yani.2
Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur tadi serta asas-asas kepemimpinan yang
telah dimiliki itu mengandung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku di segala zaman. Ini
merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern
dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apa pun. Ini merupakan sifat-sifat
kepemimpinan yang universal, yang berintikan suatu nilai bahwa sang pemimpin harus dapat
memotivasi dan memberikan keyakinan kepada yang dipimpinnya. Yang dipimpin harus
merasakan kemanfaatan dari kepemimpinannya. Dengan demikian kepemimpinannya akan
efektif, dan yang dipimpin dapat menerimanya dengan taat dan ikhlas.
Berdasarkan nilai-nilai kepemimpinan seperti itu pada dasarnya bagi bangsa Indonesia
seorang pemimpin harus memiliki tiga sifat, yaitu:
Pertama, ia harus memiliki idealisme, artinya jelas ke mana atau ke arah mana ia ingin
membawa yang dipimpinnya.
1
Hastha Brata adalah ajaran tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang disampaikan oleh Sri Rama
kepada Bharata, adiknya, yang akan menjadi Raja Ayodhya. Ini diceritakan dalam Ramayana
Kakawin (cerita berbentuk puisi dalam bahasa Jawa Kuno dari abad ke-10), yaitu ketika Rama harus
meninggalkan istana untuk mengembara di hutan bersama Laksmana, adiknya, dan Dewi Shinta,
istrinya. Atas permintaan ayahnya, Dastharata, Raja Ayodhya, Rama harus mengembara di hutan
dahulu sebelum boleh menggantikannya. Di hutan itulah, ia kehilangan Dewi Shinta karena
mengejar Kijang Kencana, alat tipuan Dasamuka.
2
Ini diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam berbagai kesempatan berpidato kepada anak-anak
didiknya serta para pengasuh di Perguruan Taman Siswa yang dibangunnya pada masa penjajahan
Belanda. Tiga prinsip kepemimpinan itu bermakna bahwa “seorang pemimpin harus berada di depan
yang dipimpinnya untuk menjadi teladan, di tengah-tengah untuk membangun semangat (kemauan),
dan mengikuti dari belakang untuk memberi kekuatan (daya)”. Kata-kata itu dikutip oleh Ki Hadjar
dari Drs. Raden Mas Sosrokartono (saudara kandung Raden Adjeng Kartini) yang bunyi aslinya
adalah: Ing ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
17
Pemimpin harus memahami apa yang menjadi tujuan perjuangan,3
dan menempatkan
kepentingan perjuangan dan masyarakat yang dipimpinnya di atas kepentingannya sendiri. Ia
harus memiliki komitmen kepada tujuan perjuangan itu dan senantiasa berupaya untuk
mencapainya. Bagi bangsa Indonesia tujuan perjuangan itu jelas. Ia lahir bersama kemerdekaan-
nya.
Sifat bangsa Indonesia yang majemuk membuat pemimpin harus mampu menjadi
pemersatu. Dalam hal kepemimpinan kebangsaan seorang pemimpin harus menjadi pemimpin
bangsa, bukan hanya mementingkan kelompok yang dipimpinnya atau suatu bagian dari bangsa.
Seorang pemimpin di Indonesia harus memiliki wawasan kebangsaan.
Kedua, ia harus memiliki pengetahuan, untuk dapat secara efektif membawa yang dipimpin
ke arah tujuan yang “diidealkannya”. Ia harus mengetahui cara memimpin dan menguasai bidang
atau tugas dari kelompok yang dipimpinnya. Dengan demikian, ia harus seorang profesional. Ini
berarti bahwa seorang pemimpin, bukan hanya mengerti teknik kepemimpinan, tetapi juga
menguasai bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
Ketiga, seorang pemimpin harus menjadi teladan, dan sumber inspirasi. Oleh karena itu,
seorang pemimpin diharapkan manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa, karena hanya di
atas iman dan taqwa, pembangunan yang berakhlak dapat diselenggarakan. Pemimpin juga harus
memahami dan menghayati budaya bangsanya.4
Ajaran leluhur dan doktrin kepemimpinan yang telah diungkapkan di atas mencakup sifat
pertama dan ketiga, bahkan juga sebagian sifat kedua, yaitu menunjukkan bagaimana seorang
pemimpin harus memimpin.
Dengan demikian, masalahnya menjadi lebih sederhana. Bukan doktrin atau asasnya yang
masih harus dicari tetapi kualitas pemimpin dan kepemimpinan itu yang perlu di kembangkan,
agar mampu menjawab tantangan-tantangan masa depan.
Kepemimpinan Masa Depan
Bangsa Indonesia tidak dapat mengharapkan selalu dapat memperoleh pemimpin yang
besar seperti Bung Karno dan Pak Harto, yang mempunyai kapasitas individu dan kualitas kepe-
mimpinan yang luar biasa, dan tampil bersama dengan peran yang historis dan teramat
menentukan dalam perjalanan bangsa. Namun, dari kedua beliau itu, kita dapat belajar mengenai
bagaimana sosok pemimpin bangsa yang tepat untuk masanya.
Dari sudut pandang ini, maka pertama-tama pemimpin masa depan tidak mungkin
bersandar semata-mata kepada kharisma, baik dari pembawaan, karena peran sejarah, atau dibuat
secara sintetis. Kelebihan seorang pemimpin akan diukur dari prestasi nyata dan kualitas
pemikirannya oleh masyarakat dan orang-orang yang setara (equal) dengannya. Para pemimpin
nantinya mungkin tidak berbeda terlalu lebih dari yang lain.
Namun, pemimpin yang dituntut adalah yang berjiwa kerakyatan, dan sadar bahwa
kepemimpinannya adalah mandat atau kepercayaan yang diberikan oleh yang dipimpin dan harus
3
Kalau dipahami hakikat pembangunan sebagai perjuangan.
4
Dalam kepemimpinan perusahaan, banyak perusahaan multinasional yang mengharuskan para
eksekutifnya untuk mengikuti “cross-cultural training”. Bahkan dalam pembahasan teori-teori
kepemimpinan, kebudayaan suatu bangsa merupakan suatu variabel contingency yang sangat penting
untuk diperhatikan.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
18
dipertanggungjawabkannya. Tidak mungkin lagi seorang pemimpin pada masa kini dan masa
mendatang merasa kepemimpinan itu sebagai haknya, entah karena keturunan, kekayaan, atau
kepintarannya.
Para pemimpin masa depan akan memimpin rakyat yang makin luas dan dalam
pengetahuannya, yang makin paham akan hak-haknya dan makin menjaga martabat, dan kepen-
tingannya. Maka pemimpin tidak lagi bisa mengandalkan kepada kekuatan fisik, seperti di masa
awal di banyak negara berkembang, tetapi harus lebih kepada kekuatan moral dan intelektual.
Pemimpin masyarakat modern harus siap memimpin secara demokratis, karena kehidupan
demokrasi adalah senafas dengan kemajuan dan kesejahteraan ekonomi. Dengan demikian
pemimpin yang diperlukan, dan yang paling akan berhasil memimpin, adalah pemimpin yang
berjiwa demokrat, dan bukan yang otoriter. Pemimpin yang tegas bukan harus pemimpin yang
otoriter, tetapi justru yang mampu meyakinkan yang dipimpinnya akan kebenaran arah yang akan
ditempuh.
Masyarakat akan makin canggih, dan tuntutan kepada pemimpinnya akan makin canggih
pula. Masyarakat memilih pemimpin yang punya wawasan ke masa depan. Karena masa depan
sangat padat teknologi, maka seorang pemimpin tidak boleh merasa asing terhadap kemajuan
ilmu dan teknologi. Hal ini tidak berarti seorang pemimpin harus seorang ilmuwan (scientist).
Yang lebih penting adalah seorang pemimpin harus memiliki apresiasi terhadap ilmu pengetahuan
dan peran teknologi sebagai unsur yang sangat pokok dalam membentuk kehidupan masa depan.
Dalam suasana kehidupan yang makin rumit, menentukan pilihan yang paling baik menjadi
makin sulit. Maka kearifan sangat diperlukan, lebih daripada di masa lalu, untuk menentukan
mana yang terbaik, atau mana yang paling kurang buruk di antara alternatif-alternatif yang buruk.
Di samping kearifan, diperlukan pula suatu tingkat pemahaman teknis, agar keputusan yang
menyangkut implikasi yang kompleks tidak diambil semata-mata atas dasar intuisi, seperti dalam
banyak masyarakat tradisional, tetapi dengan dasar pengetahuan dan perhitungan yang matang.
Karena masyarakat akan lebih terbuka, dan kebebasan akan menjadi ciri masyarakat masa
depan sebab kebebasan diperlukan untuk mengembangkan kreativitas, maka untuk mencapai
konsensus akan makin pelik. Kembali diperlukan kearifan dari pemimpin untuk mengambil
keputusan yang tepat, yang tidak selalu mendapat dukungan orang banyak.
Perkembangan ekonomi dunia serta persaingan yang makin tajam, membuat pemimpin
bangsa di masa depan, harus memiliki pengetahuan yang memadai mengenai tata hubungan
internasional dan mengenai bekerjanya mekanisme ekonomi dunia. Para pemimpin bangsa nanti
harus memiliki kemampuan untuk membawa bangsa ini memenangkan persaingan yang sangat
diperlukan untuk kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Tidak ada bangsa yang dapat mengisolasi diri
dan yang tidak tergantung kepada hubungan internasional. Pemimpin modern dengan demikian
harus mempunyai minat dan pengetahuan yang cukup mengenai hal ikhwal yang terjadi di luar
batas kepentingan bangsanya sendiri yang langsung. Ia harus memiliki jiwa kemanusiaan dan
perhatian (concern) terhadap masalah-masalah kemanusiaan.
Para pemimpin masa depan harus mampu memelihara kedaulatan dan kehormatan bangsa
di antara masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Selain kekuatan yang dimiliki suatu negara baik
dalam bidang politik, ekonomi atau militer, kualitas kepemimpinan suatu bangsa juga
mempengaruhi martabatnya dalam pergaulan internasional.
Secara keseluruhan pemimpin masa depan adalah pemimpin yang harus membangun
bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Kemajuan dan kemandirian ini harus menjadi
landasan serta modal untuk membangun bangsa yang adil dan makmur, yang sederajat dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.
Pembangunan untuk Rakyat
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
19
Singkatnya, kepemimpinan modern, di samping memiliki sifat-sifat tradisional yang
melambangkan moral kepemimpinan bangsa, juga harus merupakan sosok modern. Pemimpin
yang demikian adalah seorang yang memiliki jiwa kerakyatan, seorang yang profesional,
memiliki wawasan, inovatif dan rasional. Ia harus mampu memahami masalah-masalah yang
kompleks, dan mampu menemukan pemecahan yang sederhana dan mudah dilaksanakan bagi
masalah-masalah yang kompleks itu. Ia bukan hanya harus berani mengambil risiko, tetapi juga
mampu menghitung risiko.
Bagaimana bisa menemukan pemimpin serupa itu, itu suatu persoalan yang harus bisa
dijawab. Seperti dikatakan tadi, pemimpin bisa dibuat. Bahkan acapkali dikatakan pemimpin
adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader), atau pemimpin adalah "produk
budaya" masyarakatnya. Maka sungguh penting menanam lahan yang subur dari sejak sekarang
untuk menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki. Di sini peran
pendidikan nasional teramat penting, baik yang diselenggarakan di sekolah, dalam masyarakat,
maupun di lingkungan keluarga. Melalui sistem pendidikan akan tampil dan ditempa pemimpin-
pemimpin masa depan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin
masa depan.
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat
Pemb u rakyat

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Ian Setiawan
 
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
R Maulana
 
Sistem pemerintahan desa revisi
Sistem pemerintahan desa revisiSistem pemerintahan desa revisi
Sistem pemerintahan desa revisi
ari saridjo
 
Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT
Andhika Pratama
 
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Raja Matridi Aeksalo
 

Was ist angesagt? (20)

Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
 
Ajaran otonomi daerah
Ajaran otonomi daerahAjaran otonomi daerah
Ajaran otonomi daerah
 
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
Etika pemerintahan dalam membangun good governance (bahan lemhanas edit)
 
Analisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publikAnalisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publik
 
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
 
Analisis Kebijakan Publik
Analisis Kebijakan PublikAnalisis Kebijakan Publik
Analisis Kebijakan Publik
 
SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)
SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)
SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)
 
Perbandingan Administrasi Negara Antara Negara China Dan Indonesia
Perbandingan Administrasi Negara  Antara Negara China Dan Indonesia Perbandingan Administrasi Negara  Antara Negara China Dan Indonesia
Perbandingan Administrasi Negara Antara Negara China Dan Indonesia
 
Analisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publikAnalisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publik
 
Bab VIII pancasila sebagai etika politik
Bab VIII pancasila sebagai etika politikBab VIII pancasila sebagai etika politik
Bab VIII pancasila sebagai etika politik
 
Hukum administrasi negara
Hukum administrasi negaraHukum administrasi negara
Hukum administrasi negara
 
Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek
Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan PraktekOtonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek
Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori, Kebijakan, dan Praktek
 
Modul 4 pemerintah sbg sistem sosil
Modul 4 pemerintah sbg sistem sosilModul 4 pemerintah sbg sistem sosil
Modul 4 pemerintah sbg sistem sosil
 
6 dimensi dalam administrasi publik pdf
6 dimensi dalam administrasi publik pdf6 dimensi dalam administrasi publik pdf
6 dimensi dalam administrasi publik pdf
 
Sistem pemerintahan desa revisi
Sistem pemerintahan desa revisiSistem pemerintahan desa revisi
Sistem pemerintahan desa revisi
 
Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT Pengantar Kewarganegaraan PPT
Pengantar Kewarganegaraan PPT
 
1.05 pendelegasian wewenang
1.05 pendelegasian wewenang1.05 pendelegasian wewenang
1.05 pendelegasian wewenang
 
Bentuk negara : sistem pemerintahan polybios
Bentuk negara : sistem pemerintahan polybiosBentuk negara : sistem pemerintahan polybios
Bentuk negara : sistem pemerintahan polybios
 
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
 
Metodologi ilmu pemerintahan
Metodologi ilmu pemerintahanMetodologi ilmu pemerintahan
Metodologi ilmu pemerintahan
 

Ähnlich wie Pemb u rakyat

09 pemberdayaanmasyarakat
09 pemberdayaanmasyarakat09 pemberdayaanmasyarakat
09 pemberdayaanmasyarakat
vedro agasi
 
09 pemberdayaanmasyarakat
09 pemberdayaanmasyarakat09 pemberdayaanmasyarakat
09 pemberdayaanmasyarakat
nellyspd
 
Implementasi Nilai-nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
Implementasi Nilai-nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik SosialImplementasi Nilai-nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
Implementasi Nilai-nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
musniumar
 
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konfflik Sosial
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konfflik Sosial Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konfflik Sosial
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konfflik Sosial
musniumar
 
SISTEM EKONOMI PANCASILA untuk kelas 10 smk
SISTEM EKONOMI PANCASILA untuk kelas 10 smkSISTEM EKONOMI PANCASILA untuk kelas 10 smk
SISTEM EKONOMI PANCASILA untuk kelas 10 smk
v1d4r62
 

Ähnlich wie Pemb u rakyat (20)

Ekonomi pembangunan
Ekonomi pembangunanEkonomi pembangunan
Ekonomi pembangunan
 
09 pemberdayaanmasyarakat
09 pemberdayaanmasyarakat09 pemberdayaanmasyarakat
09 pemberdayaanmasyarakat
 
09 pemberdayaanmasyarakat
09 pemberdayaanmasyarakat09 pemberdayaanmasyarakat
09 pemberdayaanmasyarakat
 
09 pemberdayaanmasyarakat
09 pemberdayaanmasyarakat09 pemberdayaanmasyarakat
09 pemberdayaanmasyarakat
 
5079 13854-1-pb
5079 13854-1-pb5079 13854-1-pb
5079 13854-1-pb
 
5079 13854-1-pb
5079 13854-1-pb5079 13854-1-pb
5079 13854-1-pb
 
Indonesia pada masa orde baru
Indonesia pada masa orde baruIndonesia pada masa orde baru
Indonesia pada masa orde baru
 
Menyoal Sejarah Ekonomi Syariah Indonesia - Anto Apriyanto
Menyoal Sejarah Ekonomi Syariah Indonesia - Anto ApriyantoMenyoal Sejarah Ekonomi Syariah Indonesia - Anto Apriyanto
Menyoal Sejarah Ekonomi Syariah Indonesia - Anto Apriyanto
 
Revolusi Mental dan Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Revolusi Mental dan Peningkatan Kesejahteraan SosialRevolusi Mental dan Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Revolusi Mental dan Peningkatan Kesejahteraan Sosial
 
Perekonomian indonesia
Perekonomian indonesiaPerekonomian indonesia
Perekonomian indonesia
 
Bab 1 .indonesia pada masaorde baru
Bab 1 .indonesia pada masaorde baruBab 1 .indonesia pada masaorde baru
Bab 1 .indonesia pada masaorde baru
 
Instrumen PTK
Instrumen PTKInstrumen PTK
Instrumen PTK
 
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
 Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial  Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
 
Implementasi Nilai-nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
Implementasi Nilai-nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik SosialImplementasi Nilai-nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
Implementasi Nilai-nilai Pancasila dan Pemecahan Konflik Sosial
 
Makalah perekonomian indonesia
Makalah perekonomian indonesiaMakalah perekonomian indonesia
Makalah perekonomian indonesia
 
Perekonomian Indonesia Sumitro
Perekonomian Indonesia SumitroPerekonomian Indonesia Sumitro
Perekonomian Indonesia Sumitro
 
Sesi 5.docx
Sesi 5.docxSesi 5.docx
Sesi 5.docx
 
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konfflik Sosial
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konfflik Sosial Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konfflik Sosial
Musni Umar: Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pemecahan Konfflik Sosial
 
SISTEM EKONOMI PANCASILA untuk kelas 10 smk
SISTEM EKONOMI PANCASILA untuk kelas 10 smkSISTEM EKONOMI PANCASILA untuk kelas 10 smk
SISTEM EKONOMI PANCASILA untuk kelas 10 smk
 
Histo analisis pembangunan ekonomi pada masa orde baru dibawah rezim soeharto
Histo analisis pembangunan ekonomi pada masa orde baru dibawah rezim soehartoHisto analisis pembangunan ekonomi pada masa orde baru dibawah rezim soeharto
Histo analisis pembangunan ekonomi pada masa orde baru dibawah rezim soeharto
 

Mehr von Adhitya Arjanggi

Urban ixd towardscitymaking
Urban ixd towardscitymakingUrban ixd towardscitymaking
Urban ixd towardscitymaking
Adhitya Arjanggi
 
Sustainable cities 2013-june_2013_low_res
Sustainable cities 2013-june_2013_low_resSustainable cities 2013-june_2013_low_res
Sustainable cities 2013-june_2013_low_res
Adhitya Arjanggi
 
Ruang+06 2011+%28low-res%29
Ruang+06 2011+%28low-res%29Ruang+06 2011+%28low-res%29
Ruang+06 2011+%28low-res%29
Adhitya Arjanggi
 
Post traumatic urbanism architectural design - charles rice
Post traumatic urbanism  architectural design - charles ricePost traumatic urbanism  architectural design - charles rice
Post traumatic urbanism architectural design - charles rice
Adhitya Arjanggi
 
Panduan ramadhan-1435-h-muhammad-abduh-tuasikal-revisi-12-rajab-1435-h
Panduan ramadhan-1435-h-muhammad-abduh-tuasikal-revisi-12-rajab-1435-hPanduan ramadhan-1435-h-muhammad-abduh-tuasikal-revisi-12-rajab-1435-h
Panduan ramadhan-1435-h-muhammad-abduh-tuasikal-revisi-12-rajab-1435-h
Adhitya Arjanggi
 
Panduan pelopor madya_2014
Panduan  pelopor madya_2014Panduan  pelopor madya_2014
Panduan pelopor madya_2014
Adhitya Arjanggi
 
Majalah+bea+edisi+kesatu+2013
Majalah+bea+edisi+kesatu+2013Majalah+bea+edisi+kesatu+2013
Majalah+bea+edisi+kesatu+2013
Adhitya Arjanggi
 
Jurnal tata kota edisi 01 mail
Jurnal tata kota edisi 01 mailJurnal tata kota edisi 01 mail
Jurnal tata kota edisi 01 mail
Adhitya Arjanggi
 

Mehr von Adhitya Arjanggi (20)

Urban ixd towardscitymaking
Urban ixd towardscitymakingUrban ixd towardscitymaking
Urban ixd towardscitymaking
 
Urban design book 2013
Urban design book 2013Urban design book 2013
Urban design book 2013
 
Upload
UploadUpload
Upload
 
Upcl+ +final+%28 wv%29
Upcl+ +final+%28 wv%29Upcl+ +final+%28 wv%29
Upcl+ +final+%28 wv%29
 
Sustainable cities 2013-june_2013_low_res
Sustainable cities 2013-june_2013_low_resSustainable cities 2013-june_2013_low_res
Sustainable cities 2013-june_2013_low_res
 
Ruang+06 2011+%28low-res%29
Ruang+06 2011+%28low-res%29Ruang+06 2011+%28low-res%29
Ruang+06 2011+%28low-res%29
 
Publications
PublicationsPublications
Publications
 
Post traumatic urbanism architectural design - charles rice
Post traumatic urbanism  architectural design - charles ricePost traumatic urbanism  architectural design - charles rice
Post traumatic urbanism architectural design - charles rice
 
The City At Eye Level | Lessons For Street Plinths
The City At Eye Level | Lessons For Street PlinthsThe City At Eye Level | Lessons For Street Plinths
The City At Eye Level | Lessons For Street Plinths
 
Panduan ramadhan-1435-h-muhammad-abduh-tuasikal-revisi-12-rajab-1435-h
Panduan ramadhan-1435-h-muhammad-abduh-tuasikal-revisi-12-rajab-1435-hPanduan ramadhan-1435-h-muhammad-abduh-tuasikal-revisi-12-rajab-1435-h
Panduan ramadhan-1435-h-muhammad-abduh-tuasikal-revisi-12-rajab-1435-h
 
Panduan pelopor madya_2014
Panduan  pelopor madya_2014Panduan  pelopor madya_2014
Panduan pelopor madya_2014
 
Master+%28 a4%29 2
Master+%28 a4%29 2Master+%28 a4%29 2
Master+%28 a4%29 2
 
Majalah+bea+edisi+kesatu+2013
Majalah+bea+edisi+kesatu+2013Majalah+bea+edisi+kesatu+2013
Majalah+bea+edisi+kesatu+2013
 
Lcc+web+final
Lcc+web+finalLcc+web+final
Lcc+web+final
 
Jurnal tata kota edisi 01 mail
Jurnal tata kota edisi 01 mailJurnal tata kota edisi 01 mail
Jurnal tata kota edisi 01 mail
 
The Planner ePortoFolio
The Planner ePortoFolioThe Planner ePortoFolio
The Planner ePortoFolio
 
Ikhtilat dan Khalwat_Serial Pengetahuan Islam
Ikhtilat dan Khalwat_Serial Pengetahuan IslamIkhtilat dan Khalwat_Serial Pengetahuan Islam
Ikhtilat dan Khalwat_Serial Pengetahuan Islam
 
FST Magazines
FST MagazinesFST Magazines
FST Magazines
 
Urban Public Space
Urban Public SpaceUrban Public Space
Urban Public Space
 
Eco-Business Magazine
Eco-Business Magazine Eco-Business Magazine
Eco-Business Magazine
 

Pemb u rakyat

  • 1.
  • 2. PEMBANGUNAN UNTUK RAKYAT : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan oleh: Ginandjar Kartasasmita Penerbit : PT. Pustaka CIDESINDO Jl. Kebon Sirih No. 85, Jakarta 10340 Disain Sampul : Drs. Bambang Sidharta, Tata Letak : MAZ Disain Artistik : Arjoni Pertama kali diterbitkan oleh Penerbit PT. Pustaka CIDESINDO, Jakarta, Oktober 1996. PENGANTAR i - iv PRAKATA v - vi Sambutan Peluncuran Buku vii - x BAB I PENDAHULUAN 1 - 3 BAB II WAWASAN PEMBANGUNAN 4 - 19 1. Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsaan 4 - 8 2. Dimensi Akhlak dalam Pembangunan Nasional 4 - 15 3. Kepemimpinan dalam Wawasan Kebangsaan 15 - 19 BAB III ARAH PEMBANGUNAN 20 - 43 1. Pembangunan menuju Bangsa yang Maju dan Mandiri 20 - 27 2. Transformasi Masyarakat Indonesia dalam PJP II 27 - 35 3. Beberapa Masalah Pembangunan Ekonomi Indonesia menjelang Abad ke-21 35 - 43 BAB IV PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT 44 - 114 1. Demokrasi Ekonomi: sebuah Tinjauan Institusional 44 - 57 2. Pemberdayaan Masyarakat: Strategi Pembangunan yang Berakarkan Kerakyatan 57 – 66 3. Pemberdayaan Masyarakat: sebuah Tinjauan Administrasi 66 – 78 4. Beberapa Pokok Pikiran tentang Pembangunan Koperasi 78 – 82 5. Kemitraan Usaha 82 – 89 6. Membangun Kemitrasejajaran Pria dan Wanita melalui Konsep Pemberdayaan 89 – 97 7. Globalisasi dan Strategi Pengembangan Ekonomi Rakyat 97 – 103 8. Strategi Pengentasan Penduduk dari Kemiskinan 103-109 9. Penanggulangan Kemiskinan melalui Program IDT 109-114
  • 3. Perpustakan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Kartasasmita, Ginandjar, 1941- PEMBANGUNAN UNTUK RAKYAT : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan / Ginandjar Kartasasmita. -- Cet. 1, -- Jakarta : PT. Pustaka CIDESINDO, 1996 xx + 519 hlm. : 15 x 22,5 cm ISBN 979-638-021-8 1. Pembangunan ekonomi - Indonesia I. Judul. 338.959 8 BAB V PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA 115-147 1. Tinjauan tentang Teknologi, Kebudayaan, dan Pendidikan dalam Pembangunan Nasional 115 - 126 2. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Industrialisasi 126-138 3. Strategi dan Kebijaksanaan Ketenagakerjaan 139 - 147 BAB VI PEMBANGUNAN DAERAH 148 - 192 1. Berbagai Aspek Pembangunan Daerah 148 - 149 2. Penyelenggaraan Otonomi Daerah 150 - 159 3. Pemerataan Pembangunan Antardaerah, Khususnya Pembangunan KTI 159 - 166 4. Pembangunan Perkotaan dan Pembangunan Perdesaan 166 - 183 5. Penataan Ruang 183 - 192 BAB VII PENUTUP 193 - 197 Agenda Pembangunan 193 -197 SINGKATAN dan AKRONIM 198 - 201 DAFTAR PUSTAKA 202 - 212 CATATAN TENTANG PENULIS 2013
  • 4. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan i Pengantar Pembangunan ekonomi Indonesia yang kini memasuki jangka panjang kedua, bukannya tidak dipersiapkan. Beberapa peristiwa bisa dicatat: seminar Trase Baru yang diselenggarakan di Universitas Indonesia pada tahun 1966. Lebih awal lagi seminar Angkatan Darat I di Bandung yang dalam kaitan itu juga senantiasa disebut peranan para ahli ekonomi yang mengajar di lembaga pendidikan ABRI. Dalam forum-forum itu dibicarakan bagaimana masa depan Indonesia dan bagaimana pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi, agar diselenggarakan. Bahan-bahan pemikiran itu kemudian dituangkan dan dijabarkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Penyusunan Garis-garis Besar Haluan Negara, yang semula diprakarsai oleh pemerintah makin diserahkan kepada masyarakat. Dilakukan persiapan lama, pengumpulan bahan, pengalaman di lapangan, menyerap aspirasi masyarakat. Prosesnya mengikuti jalur konstitusional sampai akhirnya diputuskan oleh Sidang Umum MPR sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan berpedoman dan mengacu kepada Garis-garis Besar Haluan Negara itulah pembangunan dilaksanakan melalui program yang konsisten dalam anggaran belanja tahunan, melalui repelita-repelita. Penyesuaian terhadap perkembangan terus dilaksanakan. Perkembangan itu disebabkan oleh keberhasilan pembangunan seperti yang direncanakan dan dikehendaki maupun oleh hasil-hasil samping yang tidak dimaksudkan. Demikianlah misalnya, perubahan pokok yang terjadi dalam urutan strategi Trilogi Pembangunan. Pada mulanya, urutannya ialah pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Kemudian sejak Repelita III diubah menjadi pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas. Perubahan urut-urutan dalam Trilogi disebabkan oleh proses pembangunan, keberhasilan maupun ketidakberhasilannya. Perubahan itu juga sesuai dengan aspirasi yang makin hidup dalam masyarakat. Pembangunan ekonomi Indonesia sejak Repelita I, tahun 1969, mengikuti jalan ekonomi pasar. Jalan ekonomi pasar itu tetap mengacu kepada paham ekonomi Indonesia, yakni paham ekonomi seperti yang diamanatkan oleh Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, secara eksplisit pasal 33 UUD. Jalan ekonomi pasar membuka peluang untuk berperannya usaha ekonomi swasta dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Kebijakan, iklim dan kemudahan diberikan dan dise- lenggarakan untuk merangsang berkembangnya usaha swasta. Hasilnya luar biasa. Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata 7 persen per tahun cukup pesat. Dampak berlipatgandanya terjadi dan merangsang perkembangan lebih lanjut. Dengan menempuh ekonomi pasar, Indonesia sekaligus membuka dirinya dan menjadi bagian yang aktif dari kegiatan ekonomi dunia. Modal dan teknologi masuk, demikian pula jaringan pasar ke dalam maupun ke luar. Indonesia membuka pintu, tepat pada saat dunia makin mengacu kepada globalisasi dan arus informasi. Pola hidup ekonomi pasar yang bertahap oleh arus informasi dan globalisasi, serentak memperoleh rangsangan yang membangkitkan serba keserentakan. Pola gaya hidup, perilaku dan pandangan hidup konsumerisme ikut tumbuh amat subur. Bukan hanya kebutuhan-kebutuhan pokok yang dipenuhi, sekaligus dengan itu juga dicipta- kan kebutuhan-kebutuhan baru yang perlu maupun yang tidak perlu. Kebutuhan masyarakat konsumen menjadi tidak ada habis-habisnya dan kondisi itu ikut membangkitkan sikap ambivalen.
  • 5. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan ii Kemajuan ekonomi Indonesia diakui dan disyukuri, bahkan juga oleh bangsa lain. Kemakmuran meningkat. Akan tetapi melaju pula kesenjangan, perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, serta sebagai akibat warisan sejarah masa kolonial, perbedaan dan kesenjangan itu merupakan masalah serius. Kecuali kesenjangan, dinamika ekonomi pasar yang adakalanya tidak terkendali mengundang munculnya masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan tanah, penggusuran, dan rasa keadilan. Talitemali persoalan yang menyertai pembangunan ekonomi itu seakan-akan menimbulkan dualisme; dualisme antara ekonomi sebut saja Garis-garis Besar Haluan Negara dan ekonomi pasar yang mengikuti dinamikanya sendiri, dualisme antara pertumbuhan dan pemerataan. Lebih jauh, adakalanya keadaan itu merangsang pertanyaan, apakah pembangunan ekonomi masih pada relnya, yakni ekonomi pasar yang mengacu kepada paham kemakmuran dan kesejahteraan bersama, seperti termaktub dan diamanatkan oleh UUD 1945. Bagaimana sebenarnya duduknya perkara antara ekonomi negara, ekonomi koperasi, dan ekonomi swasta. Berbagai kebijakan, bahkan perubahan urutan Trilogi, kebijakan koreksi dan komplementasi dilakukan oleh pemerintah. Begitu seringnya campur tangan itu sehingga konsistensi kebijakan pemerintah dipertanyakan, sehingga acapkali kita mendengar anggapan tentang kurangnya kepastian usaha. Pemikiran-pemikiran yang menggugat pertumbuhan dan membela pemerataan dilontarkan oleh berbagai ilmuwan ekonomi. Bertambah ramailah medan adu pandangan dan adu argumentasi. Adakalanya gambaran yang dihasilkan bukanlah peta yang jelas, melainkan lebih menyerupai hutan belantara. Untuk keperluan debat akademis, tidak mengapalah, hutan belantara itu. Malahan makin mengasyikkan diskusi. Menjadi lain persoalannya, jika juga dipertimbangkan bahwa seraya dialog dan diskusi, kita juga harus tetap melangkah secara pasti. Diperlukan suatu gambaran pemikiran yang kecuali berada dalam tataran akademis, cukup pula terurai sehingga memberikan arah, kemana suatu kebijakan umum dan suatu langkah dapat diayunkan. Sampailah kita pada buku Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita: Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Suatu kehormatan bagi saya untuk ikut memberikan kata pengantar. Sekaligus juga suatu tantangan, bagaimana menempatkan kumpulan karangan pemikir, yang adalah juga pejabat negara. Buku kumpulan karangan Ketua Bappenas ini, merupakan suatu unikum. Letak keunikan itu pertama-tama pada kemampuan dan keberaniannya untuk mencoba menyajikan persoalan pembangunan ekonomi dalam suatu pola pemikiran yang menyeluruh, yang komprehensif. Pendekatan demikian jarang dilakukan. Kebanyakan pemikiran dan penulisan mendekatinya secara parsial. Kepada seorang ilmuwan ekonomi terkemuka, hal itu pernah saya tanyakan sepuluh tahun yang lalu. Dijawabnya, pembahasan semacam itu memerlukan pemikir ulung. Itulah sebabnya, menurut pandangan saya, karya yang dikerjakan dalam kumpulan karangan ini merupakan suatu keberanian. Kapan akan dimulai jika tidak ada yang memulai. Kapan akan ada bahan tertulis yang bisa dikaji lebih lanjut, jika bahan itu tidak tersaji. Biarlah mereka yang mempunyai keahlian dalam bidangnya, membuat penilaian secara kritis terhadap buku ini. Jasa paparan ini adalah tersajinya bahan tertulis, suatu pemikiran, dan pendekatan yang mencakup perihal pembangunan ekonomi Indonesia, terutama ditinjau dari usaha menyerasikan pertumbuhan dan pemerataan. Dua dimensi pembangunan itu menjadi
  • 6. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan iii topik utama bangsa kita. Topik itu menjadi bahan diskusi di kalangan cendekiawan, di kalangan orsospol dan ormas, di kalangan LSM, di kalangan khalayak ramai. Sejauh kita bisa menangkap, pendekatan Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita bukanlah pendekatan menang-kalah, satu pihak menang, pihak lain kalah. Pendekatannya lebih win-win position, kedua pihak menang, kedua pihak diuntungkan, kedua pihak diberi kesempatan. Namun karena kekuatan serta posisi kedua pihak tidaklah sama, yang satu kuat, yang lain lemah, diperlukan intervensi pemerintah. Intervensi itu dalam strategi, dalam kebijakan, dalam alokasi biaya, dalam perlindungan dan pengembangan terhadap yang lemah. Keunikan kedua, pemikiran dan pendekatannya terletak pada usahanya untuk mengaitkan pemikiran dengan strategi serta kebijakan dan sekaligus juga dengan arah serta program aksi. Dengan demikian, buah pemikirannya bukan sekadar suatu paparan akademis, melainkan suatu pandangan yang dikaitkan dengan keharusan dan keperluannya untuk dijabarkan dalam kebijakan dan dalam implementasinya. Dengan kata lain, pemikirannya bukanlah suatu pandangan teoretis ilmiah. Buku semacam itu sangat diperlukan. Namun buku kumpulan karangan ini, menurut hemat saya, tidak masuk dalam kategori itu dan barangkali memang juga tidak dimaksudkan demikian. Pandangan dan pendekatannya lebih bermotifkan menjawab tantangan secara menyeluruh: dalam tataran pandangan hidup, dalam tataran referensi konstitusional, dalam pandangan kebijakan serta arah implementasi. Sebaliknya, paparannya tidak terbatas sebagai program aksi atau rencana. Ditarik lebih ke atas, pada tataran penjabaran falsafah pembangunan seperti dinyatakan dan diamanatkan o- leh konstitusi dan setiap lima tahun sekali diadaptasikan dengan perkembangan. Karena itu, tampak jelas alur pokok dan semangatnya. Bagaimana membangun untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bagaimana menyelenggarakan ekonomi rakyat, sesung- guhnya pada tingkat pemikiran akademis pun, persoalan ini menarik. Bagaimana secara sengaja dan secara khusus mengembangkan ekonomi pasar yang sasarannya bukan sekadar kemajuan dan kemakmuran para pelaku ekonomi, melainkan juga rakyat banyak. Bahkan kemakmuran mereka itulah tujuan utamanya. Kecuali kebijakan dan arah yang juga menyediakan sarana-sarananya, terutama modal, iklim, pengembangan, seperti terurai dalam buku ini sangatlah menentukan peran birokrasi. Dipakainya istilah birokrasi, yakni birokrasi yang mengacu ke pemerintahan, governance. Karena kalau akan efektif, demikianlah letak posisinya, bukan birokrasi masing-masing atau perorangan melainkan sebagai lembaga pemerintahan eksekutif. Birokrasi  pemerintah  agar membangun partisipasi rakyat. Agar dilibatkan masyarakat sampai ke tingkat akar rumput (grassroots). Dengan sadar dan dengan sengaja, birokrasi memihak yang lemah, bukan yang kuat. Ini suatu pilihan politik yang harus dibuat imperatif dan operatif. Bahkan dikatakan, yang kuat sudah bisa mengurus dirinya sendiri, yang lemah belum. Usaha pemberdayaan rakyat yang terutama dibahas adalah pemberdayaan dalam bidang ekonomi. Sementara itu, pengalaman makin menunjukkan pemberdayaan ekonomi yang diprioritaskan, agar berhasil, memerlukan pemberdayaan masyarakat dalam bidang-bidang lain, sosial, budaya, hukum, politik. Pemberdayaan dalam bidang nonekonomi, bahkan makin minta perhatian. Hasrat itu hidup kuat dalam masyarakat. Pemberdayaan masyarakat juga masuk komitmen birokrasi. Demikian pula terselenggaranya kebijakan, prosedur dan implementasi yang terbuka, transparan, sehingga pertanggungjawaban lebih mudah diberikan. Pertanggungjawaban birokrasi berarti pertanggungjawaban penyelenggaraan kekuasaan.
  • 7. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan iv Sekalipun dengan bahasa yang lugas dan santun, peran birokrasi alias pemerintahan, menentukan. Demikian vitalnya peranan pemerintah, sehingga seorang ilmuwan menegaskan: ekonomi pasar tidak mungkin dapat menimbulkan keadilan, pemerintahlah yang dapat. Sepanjang dapat diikuti dan dirasakan berbagai persoalan dalam masyarakat, masalah itu juga yang mencuat kuat: harapan bahkan desakan agar pemerintah tidak hanya mendorong pembangunan ekonomi, tetapi juga dalam menyelenggarakan keadilan, baik rasa keadilan maupun keadilan sosial. Disadari bahkan oleh pemerintah, syaratnya adalah pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan efektif. Betapapun, pemerintahan memegang peranan kunci, para pelaku ekonomi yang adalah juga bagian masyarakat, tidak kalah pentingnya. Karena itu, para pelaku, terutama mereka yang sudah lebih dulu maju dan kuat, agar juga mempunyai pandangan dan sikap yang sama. Bukan hanya ekonomi negara dan ekonomi koperasi yang terikat pada komitmen dan impera- tif konstitusi, juga ekonomi swasta. Perhatian ke sana bukankah perlu juga lebih besar dan lebih mencakup. Kesadaran dan pemahaman jangan terbatas pada pemikiran kuantitatif saja, berapa persen membantu mi- salnya. Pemikiran mengacu kepada rasa perasaan dan pertanggungjawaban sebagai warga negara, bahkan warga negara yang maju. Karena itu, pemahaman dan kesadaran itu menjadi bagian dari usaha pembangunan bangsa, watak dan integrasinya yang makin kukuh dan kenyal. Dengan pemahaman dan kesadaran itu, jika dilaksanakan oleh semua pihak, pembangunan ekonomi, bagi bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk ini sekaligus merupakan usaha memperkukuh serta memberi makna wawasan kebangsaan kepada seluruh masyarakat yang majemuk itu. Itu juga unsur kuat dalam alur pemikiran Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, bahwa pembangunan ekonomi adalah juga pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Justru di tengah arus gelombang perubahan serba serentak dan global sekarang ini, pemahaman dan kesadaran tentang bangsa dan negara Indonesia harus disegarkan kembali dengan pandangan dan sikap yang adaptif, kritis inovatif, tetapi tetap on our terms, seperti yang kita kehendaki, dalam ukuran dan format Indonesia yang terbuka, lincah, kenyal. Semangat itu pula yang menjadi nafas buku, kumpulan karangan Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta, Oktober 1996 Jakob Oetama
  • 8. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan v Prakata Lima puluh tahun lebih telah kita lalui sebagai bangsa merdeka. Dalam kurun waktu itu bangsa Indonesia telah berhasil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan mengisinya dengan pembangunan yang berhasil meningkatkan taraf kehidupan rakyat dan menempatkan bangsa Indonesia dalam kedudukan yang terhormat dalam pergaulan antarbangsa. Bahkan pembangunan Indonesia dinilai masyarakat dunia sebagai salah satu pembangunan yang paling berhasil dan sering kali dijadikan contoh dalam berbagai literatur pembangunan masa kini. Namun, dengan keberhasilan itu kita masih berhadapan dengan berbagai permasalahan yang harus kita pecahkan dalam rangka membangun masyarakat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan latar belakang demikian buku ini diterbitkan dengan maksud menghaturkan sumbangan pemikiran kepada bangsa dan negara dalam rangka mengisi dan mensukseskan pembangunan nasional pasca-lima puluh tahun Indonesia merdeka. Buku ini sumber pokoknya adalah kumpulan tulisan dan pandangan di berbagai kesempatan yang saya sampaikan pada masa jabatan saya sekarang ini sebagai menteri yang bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan nasional. Isinya merupakan refleksi pemikiran dan pengalaman saya bergelut dengan permasalahan-permasalahan pembangunan. Dalam buku ini saya tekankan pentingnya tanggung jawab kita sebagai golongan terpelajar untuk memahami dan menjabarkan amanat rakyat yang dituangkan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) ke dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan pembangunan. Saya tekankan juga bahwa walaupun keadaan dan tantangan telah banyak berubah, dalam menetapkan langkah-langkah untuk menghadapi tantangan di masa depan kita semestinya tetap mengacu pada konstitusi dan amanat rakyat untuk memastikan bahwa pembangunan yang kita laksanakan adalah bagi kepentingan rakyat. Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat tidak berarti akan menghambat upaya mempertahankan atau bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan hanya akan sinambung dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat sendiri, baik itu berupa produktivitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan rakyat. Makin kita tumbuh dan berkembang atas daya rakyat sendiri, makin kukuh kemandirian kita sebagai bangsa. Kemandirian yang kita bangun adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandekan. Dalam kecenderungan liberalisasi, regionalisasi, dan globalisasi yang memberi ciri pada interaksi perekonomian sekarang ini, kita membutuhkan daya tahan dan daya saing nasional yang harus kita bangun dari dalam. Ketangguhan perekonomian nasional tidak dapat berkembang hanya dengan membuka perekonomian kita pada persaingan internasional, tetapi kita harus membangunnya dengan dukungan sumber daya manusia kita sendiri dan dengan kemampuan kita di dalam negeri. Dengan demikian, maka persaingan internasional akan me- lengkapi dan memperkuat kemampuan yang telah kita bangun terlebih dahulu. Buku ini membahas mulai dari upaya menerjemahkan GBHN ke dalam strategi dan kebijaksanaan pembangunan; membangun ekonomi rakyat yang ditopang oleh usaha kecil dan menengah yang menampung sebagian besar tenaga kerja kita; upaya mengembangkan sumber utama pembangunan yaitu sumber daya manusia dan teknologi; memecahkan ber- bagai permasalahan pembangunan seperti kemiskinan, kesempatan kerja produktif, dan pembangunan regional; sampai pada apa yang ingin kita capai pada masa mendatang sebagai bangsa yang merdeka. Harapan saya adalah bahwa buku ini dapat bermanfaat bagi para penentu kebijaksanaan di pusat dan daerah, para peneliti dan pemerhati pembangunan, para
  • 9. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan vi mahasiswa studi pembangunan, dan masyarakat luas yang berminat mengikuti arah gerak pembangunan kita. Dalam mengembangkan pemikiran dan menerjemahkannya menjadi kebijaksanaan pembangunan, saya mendapat arahan dari Bapak Presiden Republik Indonesia Soeharto. Ke- pada beliau saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas pengarahan beliau yang membuat saya makin memahami akan makna pembangunan yang kita laksanakan bersama ini. Sampainya buku ini ke tangan pembaca dalam bentuknya sekarang ini adalah berkat bantuan rekan-rekan saya. Saya harus mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Umar Juoro yang bertindak sebagai editor dalam membuat bentuk yang semula mungkin di sana-sini agak retorik ke dalam buku yang rangkaian pembahasannya menjadi lebih urut. Saya juga meng- ucapkan terima kasih kepada Sdr. Muslimin Nasution, Sdr. Sukarno Wirokartono yang bersama-sama Sdr. Umar Juoro menentukan susunan pembahasan dalam buku ini. Saya sampaikan pula terima kasih kepada Sdr. Benny Hoedoro Hoed dan Sdr. Gunawan Sumodiningrat yang telah meluangkan waktu membaca keseluruhan naskah buku ini dan me- meriksa ulang redaksinya. Terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan saya di Bappenas yang banyak memberikan masukan dalam merumuskan berbagai pandangan di berbagai kesempatan sebagai sumber utama penulisan buku ini. Kepada Sdr. Adi Sasono dan staf CIDES, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaannya menerbitkan buku ini, yang semula sebetulnya dimaksudkan sebagai sumbangsih pada peringatan emas kemerdekaan bangsa Indonesia tahun yang lalu. Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih pula kepada kawan saya, yang pandangan, sikap, dan integritasnya saya hormati, yakni Sdr. Jakob Oetama yang telah bersedia memberikan pengantar. Jakarta, Oktober 1996 Ginandjar Kartasasmita
  • 10. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan vii Sambutan pada Peluncuran Buku “Pembangunan untuk Rakyat” Ketika Gutenberg pada abad pertengahan di Eropa menciptakan mesin cetak, sejak itu buku, sebagai sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan, menjadi mudah diperoleh karena dapat diproduksi dalam jumlah berganda. Dengan demikian, akses pada pengetahuan dan ilmu pengetahuan menjadi terbuka lebar melalui buku. Kita memang bergembira sekarang ini sudah makin mudah memperoleh buku-buku untuk menambah dan memperluas pengetahuan dan wawasan kita. Akan tetapi, kita pun sepatutnya prihatin bahwa karangan asli penulis kita sendiri masih terbatas jumlahnya sehingga para mahasiswa dan cendekiawan termasuk kita-kita sendiri masih harus banyak mengandalkan pada buku-buku asing. Memang pengetahuan tidak dibatasi oleh tapal batas negara, tetapi untuk kepentingan bangsa kita sendiri, perlu pula penulisan-penulisan yang bersumber dari dalam diri kita sendiri. Ketika Cides menawarkan untuk membukukan berbagai tulisan saya yang berupa esei, makalah, dan kuliah, saya sambut dengan gembira karena dengan demikian saya memperoleh kesempatan untuk memberikan sumbangan pada kelangkaan tulisan dari kalang- an kita sendiri. Saya tidak berpretensi bahwa seluruh apa yang saya ungkapkan dalam buku ini benar. Dalam ilmu pengetahuan, tidak ada kebenaran yang mutlak. Ilmu pengetahuan berkembang secara kumulatif dalam suatu proses yang panjang. Teori, konsep, dan gagasan akan selalu berinteraksi dengan teori, konsep, dan gagasan yang lain, dan dari dialog itu biasanya lahir gagasan, konsep, atau bahkan teori baru. Bagi kita sebagai bangsa dan negara yang sedang berkembang, dialog serupa itu penting karena kita sangat membutuhkan gagasan-gagasan baru yang lahir dari permasalahan di negeri kita sendiri. Dengan latar belakang demikian buku ini diterbitkan dengan maksud memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka mengisi dan mensukseskan pembangunan nasional pasca-lima puluh tahun Indonesia merdeka. Buku ini sumber pokoknya adalah kumpulan tulisan dan pandangan yang pernah saya sampaikan di berbagai kesempatan, dan isinya merupakan refleksi pemikiran dan pengalaman saya bergelut dengan permasalahan- permasalahan pembangunan selama ini. Sebagai latar belakang pemikiran, pembangunan kita pahami sebagai upaya mencip- takan kehidupan yang sejahtera, yang sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pada dekade-dekade awal, yaitu tahun 1950-an dan 1960-an perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang sangat tergantung pada para ahli dari negara-negara maju serta tenaga ahli dari negara berkembang yang mengikuti pendidikan di negara maju. Mereka pada umumnya merumuskan konsep-konsep pembangunan berdasarkan pengalaman empiris negara-negara maju dan teori-teori yang dikembangkan atas dasar pengalaman tersebut. Pendekatan pembangunan tersebut terutama bertitik berat pada pembangunan ekonomi dengan asumsi bahwa hasil pembangunan ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan dan menghapus kemiskinan. Berdasarkan pandangan tersebut penanaman modal dan penerapan teknologi modern diharapkan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, menyerap angkatan kerja di sektor subsisten ke lapangan kerja modern atas dasar upah, dan dengan sendirinya akan menghilangkan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Pola yang ditempuh adalah proses industrialisasi, sebagaimana yang dialami negara-negara maju yang telah menghasilkan peningkatan taraf hidup yang cepat dan telah menghilangkan kemiskinan di
  • 11. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan viii sektor subsisten. Sasaran awal yang penting adalah mencapai kemampuan untuk mandiri dalam melanjutkan pembangunan, atau mencapai kondisi yang disebut “take-off “ atau “lepas landas.” Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak negara, meskipun dengan penanaman modal dan penerapan teknologi modern, tidak mampu menghasilkan pertumbuhan pada tingkat yang cukup memadai untuk mencapai tahapan lepas landas itu. Bahkan di bebe- rapa negara yang mencatat pertumbuhan tinggi sekali pun, kondisi kemandirian tidak wujudkan. Yang terjadi adalah ketergantungan atau keterikatan akan hutang yang makin besar. Dampak yang lebih buruk lagi tercermin pada makin melebarnya kesenjangan. Hal ini karena kegiatan yang menghasilkan pertumbuhan itu hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat dan umumnya di wilayah terbatas. Akibatnya, hasil yang diperoleh dari pertum- buhan itu hanya dinikmati sejumlah kecil orang dan di wilayah tertentu saja. Dunia juga makin menyadari akan adanya bahaya kerusakan alam yang dapat mengganggu kelanjutan kehidupan manusia di muka bumi ini akibat pembangunan yang memberi penekanan yang berlebihan kepada pertumbuhan. Dengan pengalaman-pengalaman tersebut telah dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan. Berkembanglah cara pandang bahwa dalam memecahkan masalah-masalah pembangunan, selain upaya pertumbuhan ekonomi, diperlukan juga pembangunan yang berorientasi kepada manusia, yang dikenal dengan berbagai nama. Pertumbuhan ekonomi diyakini tetap diperlukan tetapi disadari bahwa bukanlah satu-satunya kriteria dan juga tidak selalu harus yang paling utama, karena harus serasi dengan pembangunan sosial yang fokusnya adalah pada manusia dan kualitas dan kesinambungan kehidupannya. Semua konsep pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Namun, kesejahteraan tersebut ingin dicapai dengan membangun harkat dan sesuai dengan martabat kemanusiaan, karena pada dasarnya manusia berkeinginan untuk membangun kehidupan dan meningkatkan kesejahteraannya dengan berlandaskan kepada kemampuannya sendiri dan dengan mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Manusia yang bermartabat tidak akan puas dengan kehidupan karena belas kasihan orang lain, dan tidak ingin tergantung kepada bantuan orang lain. Oleh karena itu, satu paradigma yang tidak pernah berubah sepanjang sejarah manusia adalah kebutuhan manusia akan lapangan pekerjaan. Pengangguran dengan demikian merupakan tantangan utama pembangunan, dan merupakan masalah pertama yang selalu menjadi pusat perhatian ilmu ekonomi dan ekonomi pembangunan, dan merupakan penyebab masalah sosial yang utama. Khususnya di negara berkembang keterbatasan lapangan pekerjaan, disertai pula dengan kondisi kemiskinan, yang disebabkan antara lain oleh eksploitasi dalam masa penjajahan. Keadaan miskin ini setelah kemerdekaan tidak otomatis teratasi, dan seperti telah dikemukakan di atas ada kecenderungan di negara berkembang keadaannya menjadi makin buruk. Kemiskinan dengan demikian merupakan masalah kedua yang menjadi pusat perhatian pembangunan, dan merupakan masalah ekonomi dan masalah sosial. Kita mengenal berbagai bentuk kemiskinan. Kemiskinan absolut, yaitu taraf kehidupan miskin di bawah suatu garis pendapatan (atau konsumsi) tertentu yang menjadi batas minimum untuk manusia dapat hidup secara layak. Selain itu ada juga kemiskinan relatif, yakni perbandingan tingkat pendapatan antara berbagai golongan pendapatan. Hal ini terkait dengan masalah ketimpangan. Perbedaan pendapatan tentu selalu ada karena adanya perbedaan dalam potensi atau endowments manusia, masyarakat, atau bangsa. Akan tetapi apabila perbedaan tersebut terlalu jauh, maka terjadilah ketimpangan.
  • 12. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan ix Oleh karena itu ketimpangan adalah masalah sosial yang ketiga, yang juga ingin diatasi dengan upaya pembangunan. Ketimpangan memiliki berbagai wujud. Pertama, ketimpangan antargolongan pendapatan seperti yang telah disebut di muka. Kedua, ketimpangan antardaerah dan dapat juga antarkelompok etnis atau agama (di negara-negara tertentu). Ketiga, ketimpangan antarsektor, seperti sektor pertanian dan industri atau sektor perkotaan (urban) dan perdesaan (rural). Keempat, ketimpangan jender, yakni antara pria dan wanita. Kelima, yang sebetulnya dapat dikatakan menjadi penyebab dari berbagai bentuk ketimpangan di atas adalah ketimpangan dalam kesempatan. Keenam, ketimpangan antarmasyarakat di dunia maju dan di dunia berkembang. Hal ini yang menimbulkan gejala yang disebut keterbelakangan, dan melahirkan ketergantungan (dependency), yang merupakan masalah pembangunan yang keempat. Keterbatasan lapangan kerja, kemiskinan, ketimpangan dan keterbelakangan, adalah empat masalah dasar yang ingin dipecahkan dengan pembangunan. Keempat hal tersebut, selain merupakan lawan dari keadaan sejahtera, juga merupakan penghalang bagi upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Akan tetapi juga mencerminkan ketidakadilan, dan dengan demikian, bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Konsep pembangunan kita sejak beberapa waktu yang lalu sudah memperhatikan berbagai paradigma tersebut. Kalau kita pelajari konsep-konsep pembangunan pada beberapa repelita terakhir selama PJP I, kita akan melihat adanya benang merah itu, seperti tercermin dalam Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Dalam PJP II, kita ingin lebih menegaskan komitmen dan keberpihakan kita kepada upaya pembangunan yang berakarkan kerakyatan itu. Dasar-dasarnya telah ada yaitu Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1993 (GBHN 1993), yang sangat jelas memberikan tekanan kepada tujuan keadilan sosial dari pembangunan. Dalam buku ini saya tekankan pentingnya tanggung jawab kita sebagai golongan terpelajar untuk memahami dan menjabarkan amanat rakyat yang dituangkan dalam GBHN 1993 ke dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan pembangunan. Saya tekankan juga bahwa walaupun keadaan dan tantangan telah banyak berubah, dalam menetapkan langkah-langkah untuk menghadapi tantangan di masa depan kita semestinya tetap mengacu pada konstitusi dan amanat rakyat untuk memastikan bahwa pembangunan yang kita laksanakan adalah bagi kepentingan rakyat. Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat tidak berarti akan menghambat upaya mempertahankan atau bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan hanya akan sinambung dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat sendiri, baik itu berupa pro- duktivitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan rakyat. Makin kita tumbuh dan berkembang atas daya rakyat sendiri, makin kukuh kemandirian kita sebagai bangsa. Kemandirian yang kita bangun adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandekan. Dalam kecenderungan liberalisasi, regionalisasi, dan globalisasi yang memberikan ciri pada interaksi perekonomian sekarang ini, kita membutuhkan daya tahan dan daya saing nasional yang harus kita bangun dari dalam. Ketangguhan perekonomian nasional tidak dapat berkembang hanya dengan membuka perekonomian kita pada persaingan internasional, tetapi kita harus membangunnya dengan dukungan sumber daya manusia kita sendiri dan dengan kemampuan kita di dalam negeri. Dengan demikian, maka persaingan internasional akan me- lengkapi dan memperkuat kemampuan yang telah kita bangun terlebih dahulu. Buku ini membahas mulai dari upaya menerjemahkan GBHN ke dalam strategi dan kebijaksanaan pembangunan; membangun ekonomi rakyat yang ditopang oleh usaha kecil dan menengah yang menampung sebagian besar tenaga kerja kita; upaya mengembangkan sumber utama pembangunan yaitu sumber daya manusia dan teknologi; memecahkan ber- bagai permasalahan pembangunan yang disebut di atas, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan kesempatan kerja produktif, serta pembangunan regional; sampai pada apa yang ingin kita
  • 13. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan x capai pada masa mendatang sebagai bangsa yang maju. Pemikiran yang sangat mendasari dan mewarnai pandangan-pandangan dalam buku ini adalah konsep pemberdayaan. Pembangunan juga harus diawali dan dilandaskan pada pemahaman kita yang kuat sebagai bangsa, oleh karena itu wawasan kebangsaan adalah semangat yang ada dalam buku ini. Buku ini diakhiri dengan renungan mengenai tantangan pembangunan masa depan dan agenda-agenda pembangunan untuk mengatasinya. Salah satu di antaranya adalah penguatan kebudayaan bangsa. Harapan saya adalah bahwa karya yang kecil ini dapat bermanfaat bagi mereka yang terlibat (stakeholders) dalam pembangunan, yakni para peneliti dan pemerhati pembangunan, para mahasiswa studi pembangunan, serta masyarakat luas yang berminat mengikuti arah gerak pembangunan kita. Sampainya buku ini dalam bentuknya sekarang ini adalah berkat bantuan rekan-rekan saya di Bappenas, dan untuk itu saya sangat berterima kasih. Saya harus mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Sdr. Umar Juoro yang bertindak sebagai editor sehingga membuat rangkaian pembahasan buku ini menjadi lebih urut. Kepada Sdr. Adi Sasono dan staf CIDES, terutama kepada Sdr. Djumhur Hidayat, saya mengucapkan terima kasih atas prakarsanya menerbitkan buku ini. Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kawan saya, Sdr. Jakob Oetama yang telah bersedia memberikan kata pengantar, dan kepada Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, serta Prof. Dawam Rahardjo, yang telah bersedia mengulasnya. Jakarta, 28 Oktober 1996 Ginandjar Kartasasmita
  • 14. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 1 Bab I : PENDAHULUAN Melewati usia kemerdekaan yang ke-50, bangsa Indonesia menapak ke Pembangunan Jangka Panjang II yang merupakan bagian dari rangkaian panjang perjalanan bangsa dalam mewujudkan cita-citanya menuju masyarakat yang adil dan makmur. Menurut sistem konstitusi Indonesia, rakyat sendirilah yang menentukan masa depan yang dikehendakinya. Hal ini dilaksanakan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara. Dengan memperhatikan perkembangan, MPR menentukan haluan-haluan negara dalam garis besar yang disebut dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Presiden sebagai mandataris MPR berkewajiban melaksanakan GBHN tersebut. GBHN pada dasarnya adalah kehendak politik, dan lebih bersifat menunjukkan arah. Untuk pelaksanaannya, GBHN kemudian dijabarkan dalam sebuah sistem perencanaan lima tahunan yang dinamakan Repelita. Repelita, dengan berdasarkan pada arahan-arahan GBHN, mengandung sasaran-sasaran dan upaya untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Repelita tidak hanya berisi sasaran-sasaran kualitatif, tetapi juga mengandung sasaran-sasaran kuantitatif yang dapat digunakan untuk mengukur seberapa jauh berbagai aspirasi mengenai masa depan itu telah dapat dicapai. Selain merumuskan apa yang ingin diwujudkan, repelita juga mengenali tantangan-tantangan yang dihadapi serta kendala-kendala dan peluang-peluang untuk mengatasi tantangan itu. Jadi, repelita mengandung visi mengenai masa depan dan cara mewujudkannya. Repelita, meskipun disusun oleh pemerintah, dalam proses penyusunannya telah menampung pendapat dan masukan dari kalangan masyarakat luas. Selain itu, sebelum ditetapkan, naskah repelita dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan berdasarkan pembahasan tersebut, diperbaiki lebih lanjut sehingga menjadi suatu dokumen perencanaan pembangunan nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa repelita adalah kesepakatan nasional mengenai upaya pembangunan lima tahun ke depan. Selanjutnya Presiden melaksanakan repelita, sebagai pengejawantahan pelaksanaan GBHN yang menjadi tugas dan tanggung jawab konstitusionalnya. Pada akhir masa jabatannya, Presiden mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada MPR. Pelaksanaan repelita dalam setiap tahunnya, untuk kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, diwujudkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selama pelaksanaannya, DPR mengawasi jalannya pembangunan. Dengan demikian, sambil berjalan dapat diadakan perbaikan- perbaikan dan koreksi-koreksi. Inilah sistem pembangunan nasional bangsa Indonesia. Dalam sistem tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) berperan dalam mengkoordinasikan penyusunan repelita dan perencanaan anggaran pembangunan negara yang merupakan bagian dari APBN. Kebijaksanaan pembangunan yang merupakan implementasi dari rencana pembangunan itu dilaksanakan oleh departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) selain Bappenas. Sebagian terbesar dari kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, Bappenas berupaya menyumbangkan pemikiran-pemikiran (moral voices) mengenai pembangunan nasional, termasuk dalam pelaksanaannya, tidak saja kepada departemen dan LPND tetapi juga kepada masyarakat, melalui berbagai forum. Beberapa pokok pemikiran yang telah disampaikan dalam berbagai kesempatan tersebut disarikan dalam buku ini. Pokok-pokok pikiran tersebut disajikan dalam tujuh bab yang keseluruhannya mencakup duapuluh lima topik. Bab pendahuluan menguraikan penjelasan singkat mengenai keseluruhan isi pada masing-masing topik. Di bab kedua, dibahas wawasan pembangunan yang mencakup
  • 15. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 2 wawasan kebangsaan dan dimensi akhlak dalam pembangunan nasional serta kepemimpinan dalam wawasan kebangsaan. Pokok bahasan ini menggambarkan kaidah-kaidah yang dianut dalam membangun bangsa. Kaidah-kaidah tersebut merupakan dasar-dasar bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional yang sesuai dengan jiwa dan jatidiri bangsa Indonesia. Bab ketiga adalah mengenai arah pembangunan, yang terdiri dari tiga topik. Pembahasan diawali dengan berbagai paradigma pembangunan secara umum, dilanjutkan dengan tinjauan mengenai perkembangan paradigma dan kinerja pembangunan nasional. Uraian dalam bab awal tersebut ditutup dengan mengetengahkan kemajuan, kemandirian, dan keadilan sebagai paradigma pembangunan. Dalam proses pembangunan menuju bangsa yang maju dan mandiri, masyarakat Indonesia akan mengalami suatu transformasi. Proses transformasi tersebut merupakan proses pembangunan dalam jangka panjang. Dalam jangka yang lebih pendek, Indonesia menghadapi berbagai tantangan pembangunan yang utamanya adalah dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, sebagai penutup dalam bagian ini disajikan beberapa masalah dalam perekonomian memasuki abad ke-21, yang menyiratkan ke mana arah pembangunan menuju. Pembangunan pada hakikatnya adalah dari dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada gilirannya dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Tuntutan ini sesungguhnya bertepatan atau sesuai dengan konsep pembangunan yang berkesinambungan (sustainable deve- lopment). Suatu pembangunan dapat berkesinambungan apabila ekonomi rakyat berkembang. Dengan basis perekonomian yang lebih luas (tidak terpusat pada perorangan, sekelompok orang atau perusahaan tertentu), ketahanan perekonomian nasional terhadap goncangan-goncangan ekonomi eksternal dan internal menjadi lebih kukuh. Inti dari semua itu adalah pentingnya untuk mengembangkan ekonomi rakyat sesuai dengan amanat rakyat dalam GBHN, dan sekaligus mengamankan keberlangsungan pembangunan nasional. Posisi penting pengembangan ekonomi rakyat bagi pembangunan yang berkelanjutan menunjukkan adanya keterpaduan antara pemerata- an dan pertumbuhan. Mengingat pengembangan ekonomi rakyat merupakan pokok permasalahan yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional, maka bab keempat menyajikan hal ini dengan pembahasan yang cukup panjang meliputi sembilan topik. Pertama-tama dibahas terlebih dahulu landasan pengembangan ekonomi rakyat, yaitu demokrasi ekonomi. Pembahasan mengenai ekonomi rakyat ini berturut-turut dilanjutkan dengan pemberdayaan masyarakat sebagai strategi pembangunan yang berakarkan kerakyatan, dengan tinjauan khusus mengenai administrasi dalam upaya pemberdayaan masyarakat, dan kemudian diuraikan pokok-pokok pikiran tentang koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional serta pengembangan kemitraan usaha, dengan tinjauan khusus mengenai membangun kemitrasejajaran pria dan wanita. Rangkaian strategi dan program pemberdayaan masyarakat, yang meliputi globalisasi dan strategi pengembangan ekonomi rakyat, strategi pengentasan penduduk dari kemiskinan, dan program Inpres Desa Tertinggal, merupakan topik-topik akhir dalam bab empat ini. Bab kelima membahas salah satu unsur utama dalam mengembangkan ekonomi rakyat yaitu pengembangan sumber daya manusianya. Upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia menjadi semakin penting dalam era industrialisasi yang diwarnai dengan perubahan-perubahan yang cepat, yang terutama ditunjang oleh perubahan teknologi yang pesat. Upaya meningkatkan kemampuan sumber daya manusia tersebut perlu disertai dengan strategi ketenagakerjaan yang tepat. Dengan demikian, kemampuan sumber daya manusia yang sudah berhasil ditingkatkan tadi dapat dimanfaatkan dalam pasar tenaga kerja secara produktif. Perlu di- catat bahwa pemanfaatan sumber daya manusia sebagai faktor produksi adalah merupakan satu sisi dari upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dari sisi lain, peningkatan kemampuan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat akan meningkatkan apresiasi rakyat terhadap kehidupan yang dijalani, yang juga merupakan suatu bagian dari peningkatan kesejahteraan
  • 16. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 3 rakyat. Pembahasan dalam bab lima mengenai pengembangan sumber daya manusia ini terdiri atas tiga topik, yaitu topik tinjauan tentang teknologi, kebudayaan, dan pendidikan dalam pem- bangunan nasional, topik mengenai pengembangan sumber daya manusia dalam era industrialisasi dan topik mengenai strategi dan kebijaksanaan ketenagakerjaan. Selanjutnya dalam bab keenam dibahas pembangunan daerah, yang juga harus diperhatikan sebagai salah satu aspek penting pembangunan nasional dan salah satu dasar penting pe- ngembangan ekonomi rakyat. Dalam pembangunan daerah, masalah pemerataan dan otonomi daerah serta ketimpangan antarkawasan, terutama antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia, merupakan masalah yang sudah lama dihadapi. Uraian mengenai kedua hal tersebut merupakan sumbangan pemikiran melengkapi berbagai pemikiran yang sudah banyak dikemukakan oleh berbagai kalangan. Seluruh rangkaian uraian dalam buku ini akan diakhiri dalam bab penutup, yang merumuskan agenda pembangunan yang penting untuk diperhatikan di masa mendatang, khusus- nya yang berkaitan dengan hal-hal yang dibahas dalam buku ini.
  • 17. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 4 Bab II : WAWASAN PEMBANGUNAN 1. Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsaan Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJP II) merupakan masa kebangkitan nasional kedua sehingga merupakan saat yang tepat untuk mengkaji kembali berbagai pandangan mengenai wawasan kebangsaan, serta memantapkan dan memperbaharuinya sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam memasuki abad ke-21, abad yang penuh dengan harapan dan tantangan, tetapi juga dengan tempo perubahan yang tinggi, ada baiknya kita menyegarkan kembali pandangan mengenai paham kebangsaan dan perannya dalam pembangunan pada abad yang akan datang itu. Wawasan Kebangsaan dalam Perspektif Sejarah Pembahasan mengenai wawasan kebangsaan, tidak akan terlepas dari perjalanan sejarah perjuangan suatu bangsa. Pemahaman kebangsaan itu dirangsang oleh pertanyaan-pertanyaan yang kerap tumbuh dalam hati sanubari, seperti mengapa ada pahlawan dan syuhada yang berjuang dengan rela dan ikhlas, serta mengorbankan nyawa untuk melahirkan dan mem- pertahankan tegaknya bangsa ini; mengapa karya-karya pemikiran dan gagasan-gagasan besar para pendahulu bisa tercipta dan mengantarkan kemerdekaan bangsa, bahkan mampu berlanjut dalam mengisi kemerdekaan seperti yang dinikmati kini; bagaimana seni budaya yang gemilang bisa tercipta oleh para pujangga, seniman dan budayawan Indonesia, sehingga menyentuh hati dan kecintaan untuk merasa memiliki dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia; betapa hati bergetar setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya; betapa bait-bait lagu kebangsaan membangkitkan perasaan yang dalam. Rasanya setiap orang memiliki rasa kebangsaan, dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan ataupun pikiran, paling tidak dalam hati nuraninya. Dalam kenyataan, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tapi sulit dipahami. Namun, ada getaran hati dan resonansi pikiran tatkala rasa kebangsaan tersentuh dan terpanggil. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang ke orang dengan naluri kejuangannya masing-masing, tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dahsyat kekuatannya. Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 telah mengonsepkan pikiran wawasan kebangsaan Indonesia dalam pemikiran Kepulauan Nusantara. Pemikiran ini dilanjutkan oleh Kerajaan Maja- pahit seperti yang tersirat dalam Sumpah Palapa Gadjah Mada yang meyakini adanya kesatuan kehidupan di wilayah Nusantara. Pada awal abad ke-20 yang akan segera berakhir, Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 memperlihatkan wawasan kebangsaan dalam tekad dan keinginan membangun persatuan dan kesatuan karena menyadari adanya kebinekaan dan keragaman budaya, agama, etnis, dan suku yang akhirnya menuju kepada perjuangan kemerdekaan nasional. Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa yaitu rasa persatuan dan kesatuan yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan. Rasionalisasi rasa dan wawasan kebangsaan akan melahirkan suatu paham
  • 18. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 5 yang disebut nasionalisme atau paham kebangsaan, yaitu pikiran-pikiran, yang bersifat nasional, bahwa suatu negara memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan tersebut, timbul semangat kebangsaan yang memiliki ciri khas, yaitu rela berkorban demi kepentingan tanah air, atau semangat patriotisme. Wawasan kebangsaan me- ngandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jatidirinya, serta mengembangkan tata lakunya sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai luhur budayanya, yang lahir dan tumbuh subur sebagai penjelmaan kepribadiannya. Rasa kebangsaan merupakan perekat yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’être) bangsa-bangsa di dunia. Masalah kebangsaan bukan monopoli sesuatu bangsa, dan bukan sesuatu yang unik dalam diri bangsa, karena hal yang sama juga dialami bangsa- bangsa lain. Bagaimanapun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam kedinamisannya, pandangan kebangsaan suatu bangsa dengan bangsa lainnya saling berinteraksi dengan intens dan saling mempengaruhi. Dengan perbenturan budaya yang kemudian bermetamorfosa dalam campuran budaya dan sintesisnya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat, yang kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan. Memang pemikiran mengenai paham kebangsaan berkembang dari masa ke masa, dan berbeda dari satu lingkungan masyarakat ke lingkungan lainnya yang dicirikan oleh berbagai aliran atau haluan. Dalam sejarah bangsa-bangsa, dapat dilihat betapa banyak paham yang melandaskan diri pada kebangsaan. Ada yang menggunakan pendekatan ras atau etnis seperti nasional sosialisme (Nazisme) di Jerman, atas dasar agama seperti dipecahnya India dengan Pakistan, atas dasar ras dan agama seperti Israel-Yahudi, dan konsep Melayu-Islam di Malaysia, atas dasar ideologi atau atas dasar geografi atau paham geopolitik, seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945. Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 tersebut, antara lain mengatakan: "Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa Kepulauan Indonesia me- rupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara dua lautan yang besar; lautan Pasifik dan lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatra, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan". Jika berbicara mengenai wawasan kebangsaan, memang kita perlu mendengarkan apa yang dikatakan oleh Bung Karno, seorang Nasionalis besar, seorang negarawan yang berada pada peringkat dunia. Pada tahun 1926 dalam tulisannya Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, Bung Karno mengatakan "Nasionalisme itu suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa. Memang semua paham nasionalisme yang berkembang, berpangkal tolak pada persatuan dan kesatuan suatu bangsa yang mengatasi paham golongan- golongan". Bung Karno lebih jauh lagi mencoba mengikatnya sehingga dapat menampung berbagai aliran dan ideologi, yang secara hakiki sebenarnya amat bertentangan. Pandangan ini menjadi paham yang dipegangnya sepanjang hidupnya. Paham ini pulalah yang kemudian berkembang tiga puluh tahun kemudian menjadi Nasakom. Bung Hatta sebagai salah seorang proklamator tidak sepenuhnya sependapat dengan berbagai pandangan Bung Karno tersebut, terutama mengenai pendekatan geopolitik itu. Bung Hatta menyatakan: "Teori geopolitik sangat menarik, tetapi kebenarannya sangat terbatas. Kalau diterapkan kepada Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke daerah Indonesia dan Irian Barat dilepaskan; demikian juga seluruh Kalimantan harus masuk Indonesia. Filipina tidak saja serangkai dengan kepulauan kita; bangsa Filipina bangga mengatakan bahwa mereka adalah bangsa Melayu".
  • 19. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 6 Memang, kata Bung Hatta, soal bangsa dan kebangsaan tidak begitu mudah memecahkannya secara ilmiah. Sukar memperoleh kriterium yang tepat apa yang menentukan "bangsa". Tidak dapat diambil sebagai kriteria: (1) persamaan asal; (2) persamaan bahasa; (3) persamaan agama. Atas dasar itu, Bung Hatta mengatakan: "Bangsa ditentukan oleh keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama se- peruntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama tertanam dalam hati dan otak". Mengapa berbagai pandangan mengenai kebangsaan tersebut perlu digali? Hal ini tidak lain adalah untuk memberikan perspektif mengenai wawasan dan paham kebangsaan ini, terutama di dalam memasuki zaman baru. Pandangan-pandangan nasionalisme yang dikembangkan oleh para pendiri Republik ini, memang banyak bersumber dari berbagai teori pemikiran Barat. Pikiran-pikiran nasionalisme ini berkembang di Eropa, sebagai bentuk perlawanan terhadap feodalisme serta terhadap penjajahan oleh bangsa-bangsa yang kuat terhadap yang lebih lemah. Paham nasionalisme ini kemudian berkembang di bagian dunia lain, di Amerika, Asia, dan Afrika yang hidup di bawah tekanan kekuasaan feodal atau penjajah. Namun, kalau dilihat lebih dalam lagi, dapat ditemukan pula pandangan-pandangan mengenai bangsa dan kebangsaan yang mencerminkan pandangan hidup khas Indonesia, seperti yang diutarakan Ki Hadjar Dewantara: "Rasa kebangsaan adalah sebagian dari rasa kebatinan yang hidup dalam jiwa dengan disengaja. Asal mulanya rasa kebangsaan itu timbul dari rasa diri, yang terbawa dari keadaan perikehidupan, lalu menjalar menjadi rasa keluarga; rasa ini terus jadi rasa hidup bersama (rasa sosial)". Wawasan Kebangsaan dan Tantangannya Dalam memasuki zaman kehidupan yang makin mengglobal, wawasan kebangsaan banyak dibahas kembali. Tentu ada sesuatu di balik itu semua. Dengan mencoba mendalami, menangkap berbagai ungkapan dari masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang ada hal-hal yang menjadi keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan telah mendangkal atau terjadi erosi terutama di kalangan generasi muda; sering kali disebut bahwa sifat materialistis, telah menggantikan idealisme yang merupakan sukmanya kebangsaan. Kedua, ada kekhawatiran ancaman desintegrasi kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai negara, terutama yang amat mencekam adalah kejadian di Yugoslavia, di bekas Uni Soviet, Sri Lanka, dan juga di negara-negara lainnya, seperti di Afrika yang paham kebangsaannya merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup ke dalam pola pikir yang asing untuk bangsa ini. Mengenai kekhawatiran yang pertama, memang bisa diperoleh banyak pandangan. Pada dasarnya gejala yang dikhawatirkan itu sebenarnya lebih mencerminkan perkembangan gaya hidup. Cara berpakaian, lagu-lagu, makanan, bahasa, bahkan sikap sehari-hari sering kali mencerminkan gaya hidup internasional, terutama di perkotaan. Peningkatan taraf hidup, globalisasi dan arus informasi menyebabkan terjadinya hal itu. Apakah makin terintegrasinya Indonesia kepada pola kehidupan dan ekonomi dunia merupakan ancaman yang mendasar ter- hadap rasa kebangsaan? Hal ini sulit untuk dapat dibuktikan. Ujiannya nanti adalah seberapa jauh bangsa Indonesia, terutama generasi mudanya, merasa terpanggil dan bereaksi ketika bangsa dan negaranya berada dalam ancaman. Namun, yang juga bisa menjadi ujian sekarang ini adalah seberapa jauh bangsa Indonesia dapat mengembangkan semangat menghargai dan mendahulukan karya bangsa sendiri sebagai ungkapan nasionalisme atau patriotisme baru.
  • 20. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 7 Kekhawatiran yang kedua yang juga perlu mendapat perhatian adalah terutama mengenai adanya gejala mempertentangkan berbagai perbedaan yang ada pada bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sangat majemuk, sangat bineka. Karena itu ada Sumpah Pemuda. Karena itu ada semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sejarah telah menunjukkan betapa kemajemukan itu dapat mendorong divergensi yang dengan susah payah telah diatasi sehingga Indonesia tetap menjadi bangsa yang utuh. Upaya ini dilakukan sejak awal kemerdekaan, yaitu dengan diterimanya perubahan Piagam Jakarta, menjadi apa yang dikenal dalam UUD 1945 sekarang. Di pihak lain, di samping ada potensi divergensi, kemajemukan atau kebinekaan juga merupakan potensi kekuatan yang besar bagi suatu bangsa. Adanya unsur-unsur yang berbeda jika dapat dihimpun akan menghasilkan kekuatan yang lebih besar, daripada hanya terdiri atas unsur yang seragam. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya dan tidak mencerminkan pandangan kebangsaan, untuk menutup mata akan adanya perbedaan dan bertindak seakan-akan bangsa Indonesia adalah homogen, tidak ada perbedaan suku, agama atau etnis. Dan bukan itu pula pengertian kebangsaan yang dikehendaki pendiri Republik ini. Di pihak lain, sangat bertentangan pula dengan rasa kebangsaan untuk memperbesar perbedaan. Sesungguhnya, sangat penting mengenali adanya kemajemukan, dan memadukan serta memanfaatkannya untuk membangun ke- kuatan yang dahsyat untuk mewujudkan cita-cita perjuangan. Kekhawatiran yang ketiga, tidak terlepas dari kedua hal di muka. Kesadaran masyarakat yang makin meningkat, sebagai hasil pembangunan menyebabkan tumbuhnya sikap kritis. Keterbukaan yang dihasilkan oleh pembangunan politik membuat segala pandangan dapat dikemukakan secara bebas. Dengan sendirinya terjadi pula interaksi yang makin leluasa dan kerap dengan pandangan-pandangan dari luar. Akibatnya, timbul berbagai jargon politik, yakni “demokratisasi”, “arus bawah” dan sebagainya, yang sebetulnya merupakan rumusan-rumusan netral, kalau tidak dimuati dengan konotasi tertentu. Keinginan untuk membangun kehidupan nasional yang partisipatif dan demokratis, adalah wajar, dan menjadi tujuan pembangunan politik. Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana mewujudkannya. Ada kekhawatiran, dalam proses itu berkembang pemikiran-pemikiran yang asing, yang mungkin tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia, bahkan akan bertentangan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Lebih jauh lagi, terkesan bahwa perubahan menuju arah kehidupan yang makin bebas sepertinya boleh dicapai dengan menghalalkan segala cara dan asal berbeda. Sesungguhnya tidak ada orang yang menentang pembaharuan, bahkan hal itu diamanatkan oleh UUD 1945, seperti semangat yang dapat ditangkap pada penjelasan Pasal 3. Namun, pembaharuan itu harus dilakukan di dalam sistem itu sendiri. Pembaharuan di luar sistem, akan menyebabkan gejolak, yang tidak menguntungkan siapa pun, yang tidak bisa menghindar dari dampak gejolak itu. Pengamalan Wawasan Kebangsaan dalam Membangun Masa Depan Dari uraian di atas, pertanyaan yang muncul adalah konsep kebangsaan yang bagaimana yang tepat untuk masa kini dan masa depan bangsa. Karena persoalan feodalisme dan kolonial- isme, yaitu musuh-musuhnya nasionalisme, sudah tidak relevan lagi sekarang, tentu wawasan kebangsaan harus ditunjukkan dengan wujud baru. Dalam hal ini, meskipun penampilannya bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tantangan yang dihadapi suatu bangsa juga berubah, tetapi pengertian pokoknya tidak pernah berubah seperti apa yang telah diuraikan pada awal pembahasan ini.
  • 21. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 8 Dengan mengupas berbagai pandangan tadi, maka dapat dikatakan bahwa hakikat wawasan kebangsaan bagi bangsa Indonesia adalah yang termaktub di dalam jiwa pembukaan UUD 1945, yang menetapkan dasar dan tujuan kemerdekaan kebangsaan Indonesia. Memang ada pandangan yang mengatakan bahwa paham kebangsaan Indonesia dicerminkan dalam sila Persatuan Indonesia. Meskipun persatuan merupakan unsur paling pokok dalam setiap paham kebangsaan, tetapi bukan merupakan unsur satu-satunya. Konsep kebangsaan menurut paham bangsa Indonesia lebih luas daripada hanya unsur persatuan. Karena kalau hanya itu saja, ia menjadi sangat terbatas, dan kalau sudah menjadi satu lantas tidak diperlukan lagi. Paham kebangsaan bangsa Indonesia mengemban misi, yaitu seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan, "maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam .....". Paham kebangsaan Indonesia adalah paham yang memiliki landasan spiritual, moral dan etik, karena itu bersilakan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia ingin membangun masa kini dan masa depan, di dunia dan akhirat. Paham kebangsaan Indonesia tidak menempatkan bangsa Indonesia di atas bangsa lain, tetapi menghargai harkat dan martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban asasi manusia. Oleh karena itu, paham kebangsaan Indonesia mempunyai unsur kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu pula paham kebangsaan Indonesia mengakui adanya nilai- nilai universal kemanusiaan. Sebagai bangsa yang majemuk, tetapi satu dan utuh, paham kebangsaan Indonesia jelas bersendikan persatuan dan kesatuan bangsa. Pandangan ini kemudian dituangkan dan dimantapkan dalam konsep Wawasan Nusantara. Paham kebangsaan ini berakar pada asas kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Oleh karena itu paham kebangsaan Indonesia adalah paham demokrasi, dan bertentangan dengan paham totaliter. Paham kebangsaan ini memiliki cita-cita keadilan sosial, bersumber pada rasa keadilan dan menghendaki kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dengan pandangan itu, wawasan kebangsaan tidak lagi hanya dilihat sebagai wujud yang reaktif terhadap sesuatu keadaan atau ancaman, atau kekhawatiran terhadap "ini" atau terhadap "itu". Wawasan kebangsaan Indonesia sebaiknya merupakan pandangan proaktif, untuk membangun bangsa menuju perwujudan cita-citanya. Dengan demikian pembangunan sebagai pengamalan wawasan kebangsaan, tidak lain adalah pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, yang merupakan konsepsi pembangunan yang paling mendasar. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, kita tidak perlu jauh-jauh mencari, tetapi mempelajari saja GBHN, karena petunjuk-petunjuknya telah jelas. GBHN 1993 memberikan tuntunan, bahwa berdasarkan pokok pikiran pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, maka pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedomannya. Dari amanat tersebut disadari bahwa pembangunan ekonomi bukan semata-mata proses ekonomi, tetapi suatu penjelmaan pula dari proses perubahan politik, sosial, dan budaya yang meliputi bangsa, di dalam kebulatannya. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi tidak dapat dilihat terlepas dari keberhasilan pembangunan di bidang politik. Mekanisme dan kelembagaan politik berdasarkan UUD 1945 telah berjalan. Pelaksanaan pemilu secara teratur selama Orde Baru juga sudah menunjukkan kemajuan perkembangan demokrasi. Pembangunan di berbagai bidang selama ini memberikan kepercayaan kepada bangsa Indonesia bahwa upaya pembangunan yang telah ditempuh, seperti yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945, menunjukkan keberhasilan. Ini yang ingin dilanjutkan dan akan ditingkatkan dalam era baru pembangunan, yaitu era Kebangkitan Nasional Kedua.
  • 22. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 9 2. Dimensi Akhlak dalam Pembangunan Nasional Akhlak adalah nilai-nilai dasar yang membimbing seseorang dalam berperilaku. Seorang dikatakan berakhlak atau bermoral, apabila perilakunya mengikuti kaidah-kaidah kehidupan yang dikehendaki atau dibenarkan oleh agama, masyarakat, dan hati nuraninya. Kaidah-kaidah kehi- dupan itu berisi tuntunan atau petunjuk mengenai baik dan buruk. Karena perjalanan kehidupan pada dasarnya adalah rangkaian pilihan yang sambung-menyambung, tidak henti-hentinya, maka akhlak menunjukkan pilihan-pilihan yang baik dalam berperilaku dan menempuh kehidupan. Moral atau akhlak, tidak dapat diukur semata-mata oleh diri sendiri, tetapi oleh lingkungan dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pada dasarnya, akhlak berkenaan dengan perilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila seseorang hidup sendiri, tanpa orang lain, maka masalah akhlak menjadi kurang menjadi persoalan, karena perbuatan yang dilakukan hanya menyangkut dirinya sendiri. Karena itu akhlak berkenaan tidak hanya dengan nilai-nilai individual, tetapi terkait dengan nilai-nilai sosial dan bersifat transendental. Oleh karena itu, seseorang dikatakan berakhlak apabila perilakunya baik, yakni tidak bertentangan dengan norma-norma yang dipandang baik oleh masyarakat. Norma-norma ma- syarakat itu sendiri dibentuk oleh keyakinan yang dianut oleh masyarakat tempat seseorang menjadi anggotanya. Bagi masyarakat beragama, ajaran-ajaran agama adalah nilai-nilai yang paling hakiki yang membentuk norma-norma masyarakat itu. Bagi umat beragama akhlak adalah cerminan dari pengejawantahan keimanan. Seseorang yang berperilaku amat baik, artinya tidak pernah melanggar kaidah-kaidah yang menjadi pegangan terhadap hal-hal baik, dikatakan berakhlak mulia, yang dalam agama Islam dikenal dengan akhlaqul karimah. Akhlak berbeda dengan watak, karena watak adalah sifat atau kecenderungan pembawaan seseorang. Oleh karena itu, tidak ada akhlak yang buruk, tetapi ada watak yang buruk. Orang yang perilakunya terus-menerus buruk, disebut orang yang wataknya buruk, tidak berakhlak atau tidak bermoral, atau a moral. Akhlak dalam Pembangunan Dalam kaitan akhlak dengan pembangunan nasional, pertanyaan yang segera muncul adalah, pembangunan yang bagaimana yang berakhlak? Pembangunan pada umumnya diarahkan untuk memperbaiki keadaan, sehingga dapat dikatakan sebagai perbuatan kebaikan. Namun, sejarah menunjukkan tidak senantiasa demikian kenyataannya. Pembangunan dapat merupakan perbuatan yang tidak baik, apabila hal-hal berikut yang terjadi. Pertama, jika ditujukan untuk kepentingan pembangunan suatu kelompok dengan mengorbankan yang lain. Contohnya, adalah pembangunan kembali Jerman dari reruntuhan perang dunia pertama, dengan menempatkan kelompok etnisnya di atas yang lain. Kedua, apabila pembangunan hanya menguntungkan sebagian orang, tetapi tidak bermanfaat bagi banyak yang lain. Contohnya, banyak pembangunan di negara berkembang yang mengakibatkan kemajuan hanya bagi kelompok atau lapisan tertentu yang sedikit jumlahnya, sedangkan yang lainnya tidak berkesempatan untuk turut serta atau menikmatinya. Pembangunan yang demikian acapkali menghasilkan atau mengabadikan kemiskinan bagi lapisan rakyat yang terbanyak. Ketiga, apabila pembangunan dijalankan dengan menggunakan cara yang tidak benar, tidak baik, atau tidak halal. Pembangunan yang menghalalkan segala cara bukan pembangunan yang benar dari tinjauan akhlak.
  • 23. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 10 Keempat, pembangunan yang hanya mengejar kebutuhan lahiriah dan mengabaikan sisi rohaniah manusia, sebagai makhluk yang utuh. Pembangunan yang demikian menghasilkan manusia yang materialistis, yang segala perbuatannya hanyalah untuk kepuasan di dunia ini saja. Kelima, pembangunan yang merusak alam dan lingkungan. Manusia sebagai khalifah di muka bumi, memikul tanggung jawab untuk memelihara lingkungan hidupnya, baik lingkungan sosial maupun alam. Merusak alam sekarang berarti menyengsarakan generasi mendatang. Keenam, pembangunan yang dijalankan dengan tidak memperhatikan nilai kemanusiaan pada umumnya. Misalnya, pembangunan melalui penjajahan dan penindasan. Akhlak atau moral selalu sejalan dengan fitrah kemanusiaan. Karena itu, pembangunan yang bermoral adalah pembangunan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang fitrah. Pembangunan menurut Paham Bangsa Indonesia Pokok yang paling mendasar dalam falsafah pembangunan bangsa Indonesia ialah bahwa pembangunan adalah pengamalan Pancasila. Karena itu GBHN menyatakan bahwa keseluruhan semangat, arah dan gerak pembangunan dilaksanakan sebagai pengamalan semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh. Berdasarkan pokok pikiran tersebut, maka pembangunan dalam pengertian bangsa Indonesia pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedoman pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta me- ngembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila. Pembangunan nasional diarahkan untuk mencapai kemajuan dan ke- sejahteraan lahir batin, termasuk terpenuhinya rasa aman, rasa tenteram, dan rasa keadilan. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional menurut pokok-pokok pikiran di atas, ada sembilan asas pembangunan yang harus diterapkan dan dipegang teguh seperti yang diamanatkan GBHN 1993. Asas-asas tersebut mencerminkan kaidah-kaidah yang paling pokok yang membentuk moral pembangunan bangsa Indonesia. Asas-asas tersebut adalah (1) asas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) asas manfaat; (3) asas demokrasi Pancasila; (4) asas adil dan merata; (5) asas keseimbangan; (6) asas hukum; (7) asas kemandirian; (8) asas kejuangan; dan (9) asas ilmu pengetahuan dan teknologi. Di urutan paling atas, ditempatkan asas keimanan dan ketaqwaan. Dengan asas ini bangsa Indonesia menyatakan bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional harus dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etis dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Nilai-nilai dasar tersebut menunjukkan watak pembangunan yang dikehendaki dalam melaksanakan pembangunan nasional. Kaidah Penuntun sebagai Norma Pembangunan Bagaimana menyelenggarakan pembangunan yang mencerminkan sifat-sifat seperti tersebut di atas, telah pula diberikan pedomannya oleh GBHN dalam sepuluh butir Kaidah Pe- nuntun, yang meliputi semua bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan.
  • 24. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 11 Khususnya di bidang ekonomi, Kaidah Penuntun menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi harus selalu mengarah pada mantapnya sistem ekonomi nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi. Dalam Kaidah Penuntun ditunjukkan delapan hal yang menjadi ciri demokrasi ekonomi yang harus ditegakkan dan diwujudkan melalui upaya pembangunan, dan tiga hal yang harus dihindari karena bertentangan dengan watak perekonomian Pancasila. Ciri demokrasi ekonomi dan tiga hal yang harus dihindari tersebut diuraikan secara singkat di bawah ini, yang mem- berikan rambu-rambu moral pembangunan bangsa Indonesia. 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan Butir ini dipetik dari pasal 33 UUD 1945. Ini merupakan dasar demokrasi ekonomi yang menunjukkan bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dan di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan dan bukan kemakmuran orang seorang. UUD 1945 menunjukkan bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Dengan demikian, perekonomian yang semata-mata didasarkan kepada mengejar keuntungan untuk diri sendiri dan sifat keserakahan amat bertentangan dengan kaidah ini. Asas kekeluargaan mengamanatkan semangat senasib sepenanggungan yang tercermin dalam solidaritas sosial. Majikan dan buruh, yang besar dan yang kecil haruslah hidup dalam hubungan yang serasi dan saling menunjang. Dalam hubungan kekeluargaan tidak ada hamba sahaya dan tidak ada tindas-menindas dan mati-mematikan. Apa yang ada adalah tenggang rasa, nikmat sama dirasakan, penderitaan sama dipikul. Kenikmatan yang diperoleh dari penderitaan yang lain atau dengan membuat penderitaan bagi yang lain tidak sesuai dengan asas kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ini merupakan ayat kedua pasal 33 UUD 1945. Dalam penjelasannya diingatkan jangan sampai tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat banyak di- tindasnya. Apa yang dimaksud dengan yang berkuasa, tentunya bukan hanya yang memiliki kekuasaan politik saja, tetapi juga kekuasaan ekonomi, melalui kekuatan yang dimilikinya dalam penguasaan pasar dan faktor-faktor produksi. Karena itu hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ditangani orang seorang. Penguasaan oleh negara memang tidak perlu diartikan sebagai sepenuhnya pemilikan, tetapi bahwa negara harus menjamin adanya kemampuan bagi negara untuk menegakkan kedaulatan serta melindungi kepentingan umum dan kepentingan ekonomi rakyat. Kedaulatan termasuk di bidang ekonomi tidak boleh bergeser ke tangan sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab kepada dan tidak berada di bawah peng- awasan rakyat karena kedaulatan di negara Indonesia berada di bawah pengawasan rakyat atau di tangan rakyat, yang pengejawantahannya dilakukan melalui mekanisme perwakilan. 3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar ke- makmuran rakyat. Butir ini adalah ayat ketiga pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa tanah air dan kekayaan alam adalah karunia Allah bagi rakyat Indonesia dan menjadi sumber bagi kemakmurannya. Dengan keterbatasan yang ada pada negara, maka pengembangan sumber- sumber kekayaan alam tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan orang per- orang atau usaha swasta, tetapi harus tetap dalam pengawasan pemerintah dan penilikan
  • 25. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 12 masyarakat. Dalam kaitan ini, potensi kekayaan alam dikembangkan dengan cara yang dapat memberikan imbalan yang layak bagi yang mengusahakan sesuai dengan pengorbanan dan risiko yang diambilnya, tetapi juga menjamin bahwa hasil akhirnya adalah kemakmuran yang sebesar- besarnya bagi rakyat. 4. Sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga perwakilan rakyat, dan pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga perwakilan rakyat. Butir ini mencerminkan amanat pasal 23 UUD 1945. Di sini ditegaskan kedaulatan rakyat terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kekayaan dan keuangan negara pada umumnya. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan betapa caranya rakyat, sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan dewan perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya. Dengan memiliki hak anggaran Dewan Perwakilan Rakyat mengawasi (mengontrol) pemerintah. Selain menegakkan hakikat kedaulatan rakyat dalam pengelolaan kekayaan dan ke- uangan negara, menunjukkan juga sifat demokratisnya. 5. Perekonomian daerah dikembangkan secara serasi sesuai dan seimbang dalam satu kesatuan perekonomian nasional dengan mendayagunakan potensi dan peran serta daerah secara optimal. Kaidah ini memberi petunjuk mengenai pemerataan pembangunan antardaerah dan kewajiban negara untuk mendorong pembangunan wilayah-wilayah yang terbelakang seperti misalnya kawasan timur Indonesia. Pembangunan yang makin merata antardaerah tidak hanya akan memenuhi tuntutan keadilan, tetapi akan memperkukuh landasan pembangunan, karena berkembangnya potensi-potensi pembangunan yang ada di semua daerah sehingga menghasilkan sinergi yang akan mendorong pertumbuhan. 6. Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Butir ini adalah bagian dari hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 pada Bab X, pasal 26, 27, 28, 29 dan 30, dalam hal ini khususnya pasal 27 ayat (2). Di sini dijamin bahwa rakyat tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak dikehendakinya. Aspek yang lebih mendasar lagi bahwa negara wajib mengupayakan pekerjaan bagi rakyat dan membangun perikehidupan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya memang menjadi tugas dan pokok perhatian pemerintah mana pun di dunia, demikian pula menjamin penghidupannya yang layak. Keseluruhan upaya pembangunan bangsa pun, apabila dipadatkan, ke sinilah arahnya. Demikian pula upaya pengentasan penduduk dari kemiskinan, karena adanya kemelaratan di tengah kemakmuran sangat bertentangan dengan hati nurani dan rasa keadilan. Selain itu, rakyat yang miskin bukan pula rakyat produktif sehingga mengatasi kemiskinan, selain merupakan persoalan kemanusiaan adalah juga masalah ekonomi.
  • 26. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 13 7. Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Hak milik perorangan memang dijamin oleh negara. Dengan jaminan itu, ada perangsang bagi setiap orang untuk memperbesar kegiatan yang produktif, yang dapat pula bermanfaat bagi orang lain dan masyarakat. Namun, hak milik perorangan tidak bersifat mutlak, dalam arti dapat digunakan sesukanya. Pembatasnya adalah kepentingan umum. Pemanfaatan hak milik perorangan tidak boleh merugikan masyarakat, bahkan sebaliknya harus diusahakan untuk menguntungkan selain dirinya sendiri juga masyarakat. Dalam paham bangsa, hak milik perorangan diharapkan pula mempunyai nilai dan fungsi sosial. 8. Potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum. Menyadari betapa sumber daya manusia merupakan modal utama pembangunan, maka potensi, inisiatif, dan daya kreasinya harus terus menerus didorong dan dirangsang untuk dikembangkan. Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan bangsa-bangsa terkait erat dengan dorongan dan kebebasan untuk mengembangkan prakarsa dan kreativitas yang tercermin dalam berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membawa bangsa pada tataran peradaban yang lebih tinggi. Untuk itu memang harus diusahakan adanya perangsang, baik dalam bentuk kenikmatan hasilnya ataupun penghargaan masyarakatnya. Namun, moralnya adalah kebebasan berprakarsa dan berkreasi itu tidak boleh merugikan orang lain, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Egoisme pribadi, keangkuhan intelektual, dan pelecehan terhadap nilai- nilai budaya serta martabat anggota masyarakat harus dihindari. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa demokrasi ekonomi pada prinsipnya menjamin hak-hak warga negara, disertai pembatasannya, yang pada dasarnya adalah upaya mencari ke- seimbangan antara hak-hak individu dan kepentingan masyarakatnya. Kaidah Penuntun juga mengajarkan adanya tiga hal yang mutlak harus dihindari dan tidak boleh terjadi pada bangsa ini. Ketiga hal itu adalah musuh demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila. a. Sistem “free-fight liberalism” Sistem ini menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan struktural ekonomi nasional dan posisi Indonesia dalam perekonomian dunia. Sistem ini memang terkait dengan sistem ekonomi pasar yang terbukti merupakan mekanisme yang lebih unggul dibandingkan mekanisme lainnya yang juga telah dicoba, antara lain dengan sistem Marxisme/komunisme atau sistem ekonomi komando dalam berbagai bentuk dan variasinya. Perdagangan bebas sebetulnya adalah mekanisme yang berkembang dalam sistem ini. Namun, melalui pengalaman lebih dari dua abad, sistem kapitalisme liberal, telah mengalami cukup banyak perubahan, karena dalam perjalanannya diketemukan banyak kelemahan. Kelemahan itu, adalah antara lain, terjadinya distorsi dalam penyediaan barang dan jasa publik, terciptanya persaingan yang tidak seimbang karena terakumulasinya kekuatan pasar pada sejumlah orang atau kelompok yang terbatas, alo- kasi sumber daya terjadi secara tidak efektif dan optimal, dan terjadinya kesenjangan dalam pendapatan yang pada gilirannya melahirkan masalah-masalah sosial. Sistem ini juga melahirkan keserakahan dan kebuasan dalam persaingan yang merangsang penjajahan dan penghisapan satu bangsa atas bangsa lain, semata-mata untuk menguasai pasar dan faktor-faktor produksi secara lebih murah sehingga dapat memperkuat daya saing. Di negara-negara maju, sistem ini telah
  • 27. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 14 “dijinakkan” dengan berbagai intervensi dari negara melalui pembatasan-pembatasan. Tindakan yang sangat menonjol adalah ketentuan-ketentuan anti-trust, serta pengaturan redistribusi pendapatan untuk menolong golongan yang dirugikan dalam persaingan pasar tersebut. Di banyak negara, perlindungan diberikan kepada usaha kecil sehingga dapat memasuki persaingan pasar secara lebih kuat. Dengan demikian, di negara Barat pun, yang pertama-tama menerapkan sistem ini, persaingan bebas atau free-fight liberalism sudah diupayakan untuk dihindari. Apalagi tentunya di Indonesia yang sejak semula memang tidak mengatakan dirinya sebagai penganut paham ini. b. Sistem etatisme Dalam sistem ini negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara. Dari pengalaman bangsa Indonesia sendiri dan pengalaman bangsa-bangsa lain, diketahui bahwa sistem ini tidak mampu mengelola sumber daya dan kekayaan negara secara efisien, efektif dan optimal, karena tidak berkembangnya prakarsa dan kreativitas masyarakat. Bukti menunjukkan bahwa masyarakat dapat lebih mampu menyelenggarakan berbagai kegiatan ekonomi dibandingkan dengan jika negara yang melakukannya. Oleh karena itu, selayaknya negara membatasi keterlibatannya secara langsung dalam hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak saja, dan yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri seluas atau sebaik seperti apabila dilakukan oleh peme- rintah, atau yang dibutuhkan oleh masyarakat tetapi tidak ada rangsangan ekonomi bagi masyarakat untuk melakukannya sendiri. c. Persaingan tidak sehat Persaingan dianggap tidak sehat bila terjadi pemusatan kekuatan ekonomi dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Seperti telah dikemukakan di atas, mekanisme pasar harus disertai dengan pengendalian agar persaingan yang terjadi adalah persaingan yang sehat yang mencerminkan keadilan. Monopoli dan monopsoni, juga oligopoli dan oligopsoni, adalah produk mekanisme pasar yang melenceng, yang terjadi karena tidak ada atau kurang efektifnya kendali yang mencegah terjadinya penguasaan kekuatan pasar pada orang atau kelompok yang jumlahnya terbatas. Gejala ke arah itu jelas harus dihindari karena selain menyebabkan distorsi pasar yang akan merugikan rakyat banyak, juga bertentangan dengan pesan konstitusi bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Selanjutnya, harus diingat bahwa pembangunan bukan hanya di bidang ekonomi. Selain kaidah-kaidah yang menuntun pembangunan ekonomi, GBHN 1993 juga meletakkan kaidah- kaidah pembangunan di bidang-bidang lainnya. Apa yang ingin dibangun adalah kehidupan yang konstitusional, demokratis, dan berdasarkan hukum. Pembangunan yang dilaksanakan adalah yang bermoral, berakhlak, berdasarkan pada kesepakatan bersama mengenai dasar-dasar negara yang merupakan landasan dalam membangun kehidupan sebagai bangsa yang merdeka. Dasar- dasar itu adalah konstitusi. Perbuatan yang bertentangan dengan konstitusi, meskipun atas nama pembangunan, tidak dikehendaki. Pembangunan harus juga dilakukan dengan asas demokrasi, karena negara adalah milik rakyat, dan segala sesuatu yang dilakukan untuk dan atas nama negara, termasuk pembangunan, haruslah dengan persetujuan rakyat, dan pelaksanaannya mengikutsertakan rakyat, serta hasilnya dinikmati rakyat seluruhnya.
  • 28. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 15 Pembangunan juga harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan dengan menghormati hukum. UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka. Meskipun untuk pembangunan, segala kegiatan tidak dapat hanya dilakukan dengan kekuasaan, tetapi harus berdasarkan hukum. Karena itu pembangunan yang bertentangan dengan amanat konstitusi atau yang tidak dilakukan secara demokratis, atau yang melanggar hukum, bukanlah pembangunan yang bermoral atau berakhlak. Pelaksanaannya Dari berbagai uraian di atas, kiranya dapat diperoleh gambaran mengenai akhlak pembangunan dan pembangunan yang berakhlak, dari sudut pandang bangsa Indonesia. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana pelaksanaannya. Jika sudah sampai di situ, tentu pandangan yang ada dalam masyarakat dapat berbeda-beda. Fakta-fakta menunjukkan bahwa keadaan bangsa Indonesia hari ini jauh lebih baik dari kemarin. Artinya apa yang dicita-citakan, dan dirumuskan dalam rencana-rencana, telah dijalankan dan telah memberikan hasil. Artinya, diyakini bahwa dalam garis besarnya pembangunan nasional yang dilaksanakan berada di jalan yang benar. Na- mun, disadari masih banyak kelemahan atau ketidaksesuaian antara yang diharapkan dengan yang terjadi. Keadaan itu dapat disebabkan oleh berbagai hal berikut ini. Pertama, ada kekeliruan dalam kebijaksanaan atau pendekatan. Ini mungkin saja terjadi, karena bagaimanapun upaya pembangunan ini acapkali dilaksanakan secara berjalan sambil belajar. Jadi, tidak tertutup kemungkinan ada jalan-jalan salah yang dipilih. Semestinya begitu diketahui salah, harus segera diperbaiki. Kedua, kebijaksanaannya benar, tetapi pelaksanaanya tidak berjalan seperti atau menghasilkan apa yang diharapkan. Hal ini dapat terjadi karena ada rintangan yang sulit diatasi, atau terjadi perkembangan yang di luar perhitungan atau rencana. Ketiga, sejak semula memang pelaksanaannya menyimpang, yang dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena ketidakmampuan yang melaksanakan. Ini bersangkutan dengan kualitas sumber daya manusianya yang tidak sesuai dengan tanggung jawab yang dipikul. Kedua, karena ada itikad buruk yang biasanya untuk keuntungan diri sendiri, misalnya korupsi, kesewenang- wenangan, dan lain sebagainya. Karena dunia bukan tempat yang ideal, dan tidak dimaksudkan Tuhan juga sebagai tempat yang serba baik, maka tantangan serupa itu akan terus dihadapi betapapun kemajuan yang telah dicapai. Banyak negara lain, yang sudah sangat maju sekalipun, masih menghadapi masalah yang sama. Menjadi tugas bersama pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan tersebut menjadi sekecil-kecilnya agar pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan moral pembangunan bangsa Indonesia. 3. Kepemimpinan dalam Wawasan Kebangsaan Faktor kepemimpinan penting sekali dan amat menentukan dalam kehidupan setiap bangsa, karena maju mundurnya masyarakat, jatuh bangunnya bangsa, ditentukan oleh pemimpinnya. Pemimpinlah yang akan merancang masa depan serta menggerakkan masyarakat untuk mencapai- nya. Banyak teori mengenai kepemimpinan. Juga banyak pendekatan untuk bisa memahami kepemimpinan. Dalam topik ini akan dibahas beberapa pandangan terutama mengenai corak ke- pemimpinan masa depan, yakni kepemimpinan yang dapat membawa bangsa menuju kemajuan yang berkeadilan di atas landasan kebangsaan.
  • 29. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 16 Warisan para Leluhur Bangsa Indonesia memiliki warisan dari para leluhur mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan. Banyak di antaranya yang relevan sepanjang masa dan sekarang pun masih di- gunakan. Salah sebuah konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalah Hastha Brata, atau delapan ajaran keutamaan, seperti yang ditunjukkan oleh sifat-sifat alam.1 Seorang pemimpin harus berwatak matahari, artinya memberi semangat, memberi kehidupan dan memberi kekuatan bagi yang dipimpinnya. Harus mempunyai watak bulan, dapat menyenangkan dan memberi terang dalam kegelapan. Memiliki watak bintang, dapat menjadi pedoman. Berwatak angin, dapat melakukan tindakan secara teliti dan cermat. Harus berwatak mendung, artinya bahwa pemimpin harus berwibawa, setiap tindakannya harus bermanfaat. Pemimpin harus berwatak api, yaitu bertindak adil, mempunyai prinsip, tegas tanpa pandang bulu. Ia juga harus berwatak samudera, yaitu mempunyai pandangan luas, berisi dan rata. Akhirnya seorang pe- mimpin harus memiliki watak bumi, yaitu budinya sentosa dan suci. Ki Hadjar Dewantara merumuskan kepemimpinan sosial dengan tiga ungkapan yang sangat dalam maknanya: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handa- yani.2 Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur tadi serta asas-asas kepemimpinan yang telah dimiliki itu mengandung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku di segala zaman. Ini merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apa pun. Ini merupakan sifat-sifat kepemimpinan yang universal, yang berintikan suatu nilai bahwa sang pemimpin harus dapat memotivasi dan memberikan keyakinan kepada yang dipimpinnya. Yang dipimpin harus merasakan kemanfaatan dari kepemimpinannya. Dengan demikian kepemimpinannya akan efektif, dan yang dipimpin dapat menerimanya dengan taat dan ikhlas. Berdasarkan nilai-nilai kepemimpinan seperti itu pada dasarnya bagi bangsa Indonesia seorang pemimpin harus memiliki tiga sifat, yaitu: Pertama, ia harus memiliki idealisme, artinya jelas ke mana atau ke arah mana ia ingin membawa yang dipimpinnya. 1 Hastha Brata adalah ajaran tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang disampaikan oleh Sri Rama kepada Bharata, adiknya, yang akan menjadi Raja Ayodhya. Ini diceritakan dalam Ramayana Kakawin (cerita berbentuk puisi dalam bahasa Jawa Kuno dari abad ke-10), yaitu ketika Rama harus meninggalkan istana untuk mengembara di hutan bersama Laksmana, adiknya, dan Dewi Shinta, istrinya. Atas permintaan ayahnya, Dastharata, Raja Ayodhya, Rama harus mengembara di hutan dahulu sebelum boleh menggantikannya. Di hutan itulah, ia kehilangan Dewi Shinta karena mengejar Kijang Kencana, alat tipuan Dasamuka. 2 Ini diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam berbagai kesempatan berpidato kepada anak-anak didiknya serta para pengasuh di Perguruan Taman Siswa yang dibangunnya pada masa penjajahan Belanda. Tiga prinsip kepemimpinan itu bermakna bahwa “seorang pemimpin harus berada di depan yang dipimpinnya untuk menjadi teladan, di tengah-tengah untuk membangun semangat (kemauan), dan mengikuti dari belakang untuk memberi kekuatan (daya)”. Kata-kata itu dikutip oleh Ki Hadjar dari Drs. Raden Mas Sosrokartono (saudara kandung Raden Adjeng Kartini) yang bunyi aslinya adalah: Ing ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
  • 30. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 17 Pemimpin harus memahami apa yang menjadi tujuan perjuangan,3 dan menempatkan kepentingan perjuangan dan masyarakat yang dipimpinnya di atas kepentingannya sendiri. Ia harus memiliki komitmen kepada tujuan perjuangan itu dan senantiasa berupaya untuk mencapainya. Bagi bangsa Indonesia tujuan perjuangan itu jelas. Ia lahir bersama kemerdekaan- nya. Sifat bangsa Indonesia yang majemuk membuat pemimpin harus mampu menjadi pemersatu. Dalam hal kepemimpinan kebangsaan seorang pemimpin harus menjadi pemimpin bangsa, bukan hanya mementingkan kelompok yang dipimpinnya atau suatu bagian dari bangsa. Seorang pemimpin di Indonesia harus memiliki wawasan kebangsaan. Kedua, ia harus memiliki pengetahuan, untuk dapat secara efektif membawa yang dipimpin ke arah tujuan yang “diidealkannya”. Ia harus mengetahui cara memimpin dan menguasai bidang atau tugas dari kelompok yang dipimpinnya. Dengan demikian, ia harus seorang profesional. Ini berarti bahwa seorang pemimpin, bukan hanya mengerti teknik kepemimpinan, tetapi juga menguasai bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Ketiga, seorang pemimpin harus menjadi teladan, dan sumber inspirasi. Oleh karena itu, seorang pemimpin diharapkan manusia-manusia yang beriman dan bertaqwa, karena hanya di atas iman dan taqwa, pembangunan yang berakhlak dapat diselenggarakan. Pemimpin juga harus memahami dan menghayati budaya bangsanya.4 Ajaran leluhur dan doktrin kepemimpinan yang telah diungkapkan di atas mencakup sifat pertama dan ketiga, bahkan juga sebagian sifat kedua, yaitu menunjukkan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin. Dengan demikian, masalahnya menjadi lebih sederhana. Bukan doktrin atau asasnya yang masih harus dicari tetapi kualitas pemimpin dan kepemimpinan itu yang perlu di kembangkan, agar mampu menjawab tantangan-tantangan masa depan. Kepemimpinan Masa Depan Bangsa Indonesia tidak dapat mengharapkan selalu dapat memperoleh pemimpin yang besar seperti Bung Karno dan Pak Harto, yang mempunyai kapasitas individu dan kualitas kepe- mimpinan yang luar biasa, dan tampil bersama dengan peran yang historis dan teramat menentukan dalam perjalanan bangsa. Namun, dari kedua beliau itu, kita dapat belajar mengenai bagaimana sosok pemimpin bangsa yang tepat untuk masanya. Dari sudut pandang ini, maka pertama-tama pemimpin masa depan tidak mungkin bersandar semata-mata kepada kharisma, baik dari pembawaan, karena peran sejarah, atau dibuat secara sintetis. Kelebihan seorang pemimpin akan diukur dari prestasi nyata dan kualitas pemikirannya oleh masyarakat dan orang-orang yang setara (equal) dengannya. Para pemimpin nantinya mungkin tidak berbeda terlalu lebih dari yang lain. Namun, pemimpin yang dituntut adalah yang berjiwa kerakyatan, dan sadar bahwa kepemimpinannya adalah mandat atau kepercayaan yang diberikan oleh yang dipimpin dan harus 3 Kalau dipahami hakikat pembangunan sebagai perjuangan. 4 Dalam kepemimpinan perusahaan, banyak perusahaan multinasional yang mengharuskan para eksekutifnya untuk mengikuti “cross-cultural training”. Bahkan dalam pembahasan teori-teori kepemimpinan, kebudayaan suatu bangsa merupakan suatu variabel contingency yang sangat penting untuk diperhatikan.
  • 31. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 18 dipertanggungjawabkannya. Tidak mungkin lagi seorang pemimpin pada masa kini dan masa mendatang merasa kepemimpinan itu sebagai haknya, entah karena keturunan, kekayaan, atau kepintarannya. Para pemimpin masa depan akan memimpin rakyat yang makin luas dan dalam pengetahuannya, yang makin paham akan hak-haknya dan makin menjaga martabat, dan kepen- tingannya. Maka pemimpin tidak lagi bisa mengandalkan kepada kekuatan fisik, seperti di masa awal di banyak negara berkembang, tetapi harus lebih kepada kekuatan moral dan intelektual. Pemimpin masyarakat modern harus siap memimpin secara demokratis, karena kehidupan demokrasi adalah senafas dengan kemajuan dan kesejahteraan ekonomi. Dengan demikian pemimpin yang diperlukan, dan yang paling akan berhasil memimpin, adalah pemimpin yang berjiwa demokrat, dan bukan yang otoriter. Pemimpin yang tegas bukan harus pemimpin yang otoriter, tetapi justru yang mampu meyakinkan yang dipimpinnya akan kebenaran arah yang akan ditempuh. Masyarakat akan makin canggih, dan tuntutan kepada pemimpinnya akan makin canggih pula. Masyarakat memilih pemimpin yang punya wawasan ke masa depan. Karena masa depan sangat padat teknologi, maka seorang pemimpin tidak boleh merasa asing terhadap kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini tidak berarti seorang pemimpin harus seorang ilmuwan (scientist). Yang lebih penting adalah seorang pemimpin harus memiliki apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan peran teknologi sebagai unsur yang sangat pokok dalam membentuk kehidupan masa depan. Dalam suasana kehidupan yang makin rumit, menentukan pilihan yang paling baik menjadi makin sulit. Maka kearifan sangat diperlukan, lebih daripada di masa lalu, untuk menentukan mana yang terbaik, atau mana yang paling kurang buruk di antara alternatif-alternatif yang buruk. Di samping kearifan, diperlukan pula suatu tingkat pemahaman teknis, agar keputusan yang menyangkut implikasi yang kompleks tidak diambil semata-mata atas dasar intuisi, seperti dalam banyak masyarakat tradisional, tetapi dengan dasar pengetahuan dan perhitungan yang matang. Karena masyarakat akan lebih terbuka, dan kebebasan akan menjadi ciri masyarakat masa depan sebab kebebasan diperlukan untuk mengembangkan kreativitas, maka untuk mencapai konsensus akan makin pelik. Kembali diperlukan kearifan dari pemimpin untuk mengambil keputusan yang tepat, yang tidak selalu mendapat dukungan orang banyak. Perkembangan ekonomi dunia serta persaingan yang makin tajam, membuat pemimpin bangsa di masa depan, harus memiliki pengetahuan yang memadai mengenai tata hubungan internasional dan mengenai bekerjanya mekanisme ekonomi dunia. Para pemimpin bangsa nanti harus memiliki kemampuan untuk membawa bangsa ini memenangkan persaingan yang sangat diperlukan untuk kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Tidak ada bangsa yang dapat mengisolasi diri dan yang tidak tergantung kepada hubungan internasional. Pemimpin modern dengan demikian harus mempunyai minat dan pengetahuan yang cukup mengenai hal ikhwal yang terjadi di luar batas kepentingan bangsanya sendiri yang langsung. Ia harus memiliki jiwa kemanusiaan dan perhatian (concern) terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Para pemimpin masa depan harus mampu memelihara kedaulatan dan kehormatan bangsa di antara masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Selain kekuatan yang dimiliki suatu negara baik dalam bidang politik, ekonomi atau militer, kualitas kepemimpinan suatu bangsa juga mempengaruhi martabatnya dalam pergaulan internasional. Secara keseluruhan pemimpin masa depan adalah pemimpin yang harus membangun bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Kemajuan dan kemandirian ini harus menjadi landasan serta modal untuk membangun bangsa yang adil dan makmur, yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
  • 32. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 19 Singkatnya, kepemimpinan modern, di samping memiliki sifat-sifat tradisional yang melambangkan moral kepemimpinan bangsa, juga harus merupakan sosok modern. Pemimpin yang demikian adalah seorang yang memiliki jiwa kerakyatan, seorang yang profesional, memiliki wawasan, inovatif dan rasional. Ia harus mampu memahami masalah-masalah yang kompleks, dan mampu menemukan pemecahan yang sederhana dan mudah dilaksanakan bagi masalah-masalah yang kompleks itu. Ia bukan hanya harus berani mengambil risiko, tetapi juga mampu menghitung risiko. Bagaimana bisa menemukan pemimpin serupa itu, itu suatu persoalan yang harus bisa dijawab. Seperti dikatakan tadi, pemimpin bisa dibuat. Bahkan acapkali dikatakan pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader), atau pemimpin adalah "produk budaya" masyarakatnya. Maka sungguh penting menanam lahan yang subur dari sejak sekarang untuk menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki. Di sini peran pendidikan nasional teramat penting, baik yang diselenggarakan di sekolah, dalam masyarakat, maupun di lingkungan keluarga. Melalui sistem pendidikan akan tampil dan ditempa pemimpin- pemimpin masa depan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin masa depan.