1. 1
PERKEMBANGAN PENGATURAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)
Pendahuluan
Sejak terjadinya reformasi pada tahun 1998, tonggak sejarah baru
dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia seolah dimulai dari awal. Mulai
dari tahun 1999 hingga tahun 2002, UUD 1945 telah mengalami perubahan
(amandemen) sebanyak empat kali. Dalam kerangka amandemen UUD
1945 itu, bangsa kita telah mengadopsi prinsip-prinsip baru sistem
ketatanegaraan, yakni mulai dari prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan,
prinsip checks and balances, hingga prinsip supremasi hukum dalam
penyelesaian ‘konflik politik’. Melalui amandemen UUD 1945 itu, lahirlah
sejumlah lembaga-lembaga negara, baik yang kewenangannya diberikan
oleh konstitusi (constitutionally entrusted power) maupun yang yang
kewenangannya diberikan oleh undang-undang (legislatively entrusted
power).( Ni’matul Huda: 2005:vii-viii).
Dalam hubungannya dengan pemerintahan di daerah, prinsip
demokrasi tidak boleh disederhanakan hanya berkaitan dengan
pengambilan keputusan dan penyelenggaraan pemerintahan yang
melibatkan peran serta masyarakat. Demokrasi juga tidak sekadar
berbicara mengenai pembagian/pemisahan kekuasaan, baik antar
lembaga-lembaga negara di tingkat Pusat maupun antara Pusat dan
Daerah, tetapi ada sejumlah hal penting untuk diperhatikan, yakni (i) unsur-
2. 2
unsur dari kekuasaan, (ii) bahan baku pengambilan keputusan, dan (iii) pola
hubungan antara penguasa dan rakyat (Muhammad Fauzan, 2006:19).
Salah satu isu penting hasil demokrasi dalam pentas ketatanegaraan
Indonesia ialah lembaga legislatif daerah, yang dikenal dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Isu DPRD sangat urgen
diperbincangkan, apalagi bila diletakkan dalam bingkai prinsip checks and
balances (Moh. Mahfud MD, 2007: 66) dan paradigma
pembagian/pemisahan kekuasaan. Untuk itu, tulisan ini akan membahas
sejumlah isu terkait DPRD dalam Perundang-undangan Pemerintahan
Daerah dan Lembaga Legislatif Daerah, yakni (i) perundang-undangan
pemerintahan daerah dan lembaga legislatif daerah, (ii) kedudukan DPRD,
(iii) fungsi, tugas dan wewenang DPRD, (iv) keanggotaan DPRD, dan (v)
alat kelengkapan DPRD. Tulisan diakhiri dengan “penutup” yang
menegaskan pokok pikiran utama dan saran penting yang diajukan.
Perundang-undangan Pemerintahan Daerah dan Lembaga Legislatif
Daerah UUD 1945 Hasil Amandemen memuat bab khusus tentang
pemerintahan daerah, yakni Bab VI (Pemerintahan Daerah) yang memiliki
3 (tiga) pasal, yaitu Pasal18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Ketiga pasal ini
merupakan hasil amandemen kedua UUD 1945, yang disahkan pada tahun
2000. Ketiga Pasal tersebut dijadikan landasan yuridis konstitusional bagi
perundang-undangan pemerintahan daerah dan lembaga legislatif daerah.
Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, perihal lembaga perwakilan
daerah yang sering disebut DPRD merupakan salah satu aspek yang diatur
3. 3
di dalam perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah.
Adapun perundang-undangan dimaksud meliputi: (i) UU No. 18 Tahun 1965
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU
18/1965), (ii) UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah (selanjutnya disebut UU 5/1974), (iii) UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 22/1999), (iv) UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU
32/2004), (v) PERPPU No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut
PERPPU 3/2005), (vi) UU No. 8 Tahun 2005 tentang Penetapan sebagai
UU atas PERPPU No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU
8/2005), dan (vii) UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut
UU 12/2008), dan (viii) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (selanjutnya disebut UU 23/2014), (ix) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut PERPPU 2/2014), (x)
UU No. 9 / 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 9/2015).
Di dalam UU 23/2014, pengaturan tentang DPRD dicantumkan
dalam sejumlah pasal, yakni Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 4, Pasal 1
4. 4
angka 23, Pasal 37, Pasal 57, Pasal 79 ayat 1, Pasal 80 ayat (1) , Pasal 81
ayat 1, Pasal 82, Pasal 83 ayat (2), Pasal 85, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96,
Pasal 97, Pasal 98 ayat (2), Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, Pasal 102,
Pasal 103, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal
110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116,
Pasal 117, Pasal 208, Pasal 236, Pasal 239 ayat 2, 3, 4, 7), Pasal 240,
Pasal 241 ayat (1), Pasal 242, Pasal 253, Pasal 261 ayat (4), Pasal 388.
Patut dicatat bahwa PERPPU 2/2014 mengubah dua Pasal yaitu
Pasal 101 ayat (1) huruf d dihapus, Pasal 154 ayat (1) huruf d dihapus dan
UU No. 9 / 2015 mengubah ketentuan ayat (1) Pasal 63, Pasal 65 ayat 1
huruf f dihapus, Pasal 66 ayat 3 dihapus, Pasal 88 diubah, Pasal 101 ayat
(1), di antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1, Pasal 154 ayat (1), di
antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1. Dengan demikian, sejauh
terkait DPRD dalam UU 23/2014, yang tersentuh perubahan hanyalah
Pasal 101 ayat (1) saja dan Pasal 154 ayat (1).
Sementara itu, serangkaian perundang-undangan yang secara
khusus mengatur perihal DPRD juga telah lahir sepanjang sejarah
ketatanegaraan Indonesia. Adapun perundang-undangan dimaksud
mencakup: (i) UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD (selanjutnya disebut UU 16/1969), (ii) UU No. 5
Tahun 1975 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (selanjutnya disebut UU 5/1975),
(iii) UU No. 2 ahun 1985 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1969
5. 5
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 5 Tahun 1975 (selanjutnya disebut UU 2/1985), (iv) UU No.
5 Tahun 1995 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR sebagaimana telah beberapakali
diubah, Terakhir dengan UU No. 2 Tahun 1985 (selanjutnya disebut UU
5/1995), (v) UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD (selanjutnya disebut UU 4/1999), (vi) UU No. 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(selanjutnya disebut UU 22/2003), dan (vii) UU No. 27 Tahun 2009 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut
UU 27/2009). UU 27/2009-melalui Pasal 407-mencabut keberlakuan UU
22/2003; dan UU terakhir ini mencabut keberlakuan UU 4/1999; sedang UU
4/1999 ini mencabut keberlakuan UU 2/1985. UU No. 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dengan
demikian, yang kini berlaku hanyalah UU 17/2014.
Secara umum, pengaturan tentang DPRD terdapat dalam Bab V
(DPRD Provinsi) yang memuat Pasal 314 s/d Pasal 362 dan dalam Bab VI
(DPRD Kabupaten/Kota) yang terdiri atas Pasal 363 s/d Pasal 412. Diantara
pasal-pasal ini, terdapat pasal yang telah dicabut karena sudah diatur
secara khusus di dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yakni Pasal 1 angka 4, Pasal 314 sampai dengan Pasal 412, Pasal
418 sampai dengan Pasal 421. Pencabutan tersebut termaktub dalam
6. 6
Pasal 409 huruf d UU Pemda 2014 yang mencabut dan menyatakan tidak
berlaku materi muatan UU MD3 yang khusus mengatur mengenai DPRD,
baik DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota. Dengan demikian,
sejauh terkait pembahasan DPRD, yang kini berlaku adalah UU 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah.
Kedudukan DPRD
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. (Pasal 1 angka 2, UU 23/2014).
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. (Pasal 1 angka 2, UU
23/2014).
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan
DPRD dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah. (Pasal 1 angka 23, UU 23/2014).
Kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala
daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah
yang diberi mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
7. 7
diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan kepala
daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang
berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran dan
pengawasan, sedangkan kepala daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan
atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan
kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah.
Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban,
tugas, wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-
undang namun cukup diatur dalam Undang-Undang ini secara keseluruhan
guna memudahkan pengaturannya secara terintegrasi.
Perdebatan tentang isu kedudukan DPRD menyentuh pertanyaan
mendasar, yakni apa “jenis kelamin” DPRD; apakah DPRD didudukan
secara tegas sebagai lembaga (badan) legislatif sebagaimana dikenal
dalam konsep trias politica ataukah diposisikan sebagai salah satu unsur
penyelenggara pemerintahan daerah (Ari Dwipayana, 2008:20).
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014) yang menggantikan UU Nomor 32
Tahun 2004 membawa perubahan penting terhadap fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik itu DPRD provinsi maupun DPRD
kabupaten/kota. DPRD yang sebelumnya melaksanakan fungsi legislasi,
8. 8
anggaran, dan pengawasan kini berubah menjalankan fungsi pembentukan
peraturan daerah (perda), anggaran, dan pengawasan.
Titik fokus perubahan penting itu terletak pada perubahan fungsi
legislasi menjadi fungsi pembentukan perda. Pada tataran praktik
perubahan itu mungkin tidak penting dan tidak berimplikasi apa-apa karena
sebelum diubah menjadi fungsi pembentukan perda pun memang fungsi
DPRD adalah membentuk perda bersama dengan kepala daerah.
(http://www.gresnews.com/berita/opini/90191-tinjauan-fungsi-dprd-paska-
uu-pemda-2014/0/).
Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota
terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah.
(Pasal 57 UU 23/2014). DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik
peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. DPRD
provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah provinsi yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
provinsi. (Pasal 95 ayat 1 UU 23/2014).
Di dalam UU 23/2014, DPRD direposisi dari Badan Legislatif Daerah
menjadi unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 95 bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat
daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Pergeseran kedudukan DPRD dari Badan Legislatif Daerah
menjadi unsur penyelenggara pemerintahan daerah tentu didasarkan atas
perspektif dominan yang dianut para perumus UU 23/2014. Pertama,
9. 9
menurut para perumus UU 32/2004, dalam sistem negara kesatuan
(unitarian state) tidak dikenal badan legislatif di tingkat daerah; dan badan
legsilatif hanya berada di tingkat nasional (pusat). Oleh karena itu, dalam
skema logika UU 23/2014, DPRD bukan lembaga legislatif daerah. Kedua,
karena DPRD bukan lembaga legislatif daerah, DPRD harus didudukkan
sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah bersama‐
sama pemerintah daerah. Dengan demikian, DPRD berada dalam ranah
yang sama dengan pemerintah daerah dalam struktur hubungan dengan
pemerintah pusat. Dengan kata lain, DPRD berada dalam rezim
pemerintahan daerah.
Apa implikasi dari rumusan kedudukan DPRD sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah? Pertama, memposisikan DPRD
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan ketimbang sebagai lembaga
perwakilan rakyat membuat DPRD lebih kuat secara institusional dari
perspektif tata pemerintahan, tidak dari perspektif politik. Pada gilirannya,
DPRD diposisikan sebagai lembaga perwakilan politik yang terlibat dalam
proses politik pemerintahan. Kedua, kedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah membuat posisi DPRD mengalami
problem psiko-politis di hadapan pemerintah daerah sehingga mekanisme
check and balances tidak bisa berjalan dengan baik. Ketiga, selain
mengalami problem psiko-politis di hadapan kepala daerah, DPRD juga
“lemah” secara psiko-politis di hadapan pemerintah pusat. Kedudukan
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah membuat DPRD
10. 10
berada dalam struktur hierarkis rezim pemerintahan daerah yang dipimpin
oleh Presiden. Akibat bekerjanya struktur hierarkis ini, DPRD tidak bisa
melepaskan diri dari proses politik dan produk hukum yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Fungsi, Tugas dan Wewenang DPRD
Pada sisi lain, sesungguhnya DPRD lebih berfungsi sebagai
lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah daripada
sebagai lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun, dalam
kenyataan sehari-hari, DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga legislatif.
DPRD, baik di daerah provinsi maupun kabupaten/kota, berhak
mengajukan rancangan peraturan daerah (Raperda) kepada Gubernur-
sesuai dengan yang ditentukan dalam UU 23/2014. Namun, hak inisiatif ini
sebenarnya tidaklah menyebabkan posisi DPRD menjadi pemegang
kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang ini
tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau
Bupati/Walikota. (Jimly Asshiddiqie, 2006: 297).
Dengan demikian, fungsi utama DPRD ialah untuk mengontrol
jalannya pemerintahan di daerah, sedang berkenaan dengan fungsi
legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang
kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur dan
Bupati/Walikota. Bahkan, UU23/2014 “mewajibkan” Gubernur dan
Bupati/Walikota mengajukan rancangan peraturan daerah (Raperda) dan
menetapkannya menjadi Perda dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD
11. 11
itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang
dapat menyetujui, menolak ataupun menyetujui dengan perubahan-
perubahan, dan sesekali dapat mengajukan Raperda dengan usul inisiatif
sendiri (Jimly Asshiddiqie, 2006:298).
Seiring dengan itu, berdasarkan pasal 101 ayat 1 UU 23/2014
dinyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang: (a).
membentuk Perda Provinsi bersama gubernur; (b) membahas dan
memberikan persetujuan Rancangan Perda Provinsi tentang APBD
Provinsi yang diajukan oleh gubernur; (c) melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan Perda Provinsi dan APBD provinsi; (d) dihapus; (e)
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur kepada
Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan
dan pemberhentian; (f) memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
Pemerintah Daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di
Daerah provinsi; (g) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah provinsi; (h) meminta
laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi; (i) memberikan
persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan
pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah provinsi; dan (j)
melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
12. 12
Sebagaimana telah dikemukakan, sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah, DPRD memiliki fungsi-fungsi dalam rangka
mengawal berjalannya pemerintahan daerah. Fungsi tersebut mencakup
fungsi pembentukan perda Provinsi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan. (Pasal 96 ayat 1 UU 23/2014).
Fungsi-fungsi tersebut dimiliki dan dijalankan oleh DPRD dalam
kerangka representasi rakyat di Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Dalam rangka melaksanakan fungsi DPRD provinsi menjaring aspirasi
masyarakat. Dapat dijelaskan bahwa fungsi pembentukan Perda Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf a dilaksanakan
dengan cara: (a) membahas bersama gubernur dan menyetujui atau tidak
menyetujui rancangan Perda Provinsi; (b) mengajukan usul rancangan
Perda Provinsi; dan; (c) menyusun program pembentukan Perda bersama
gubernur. Dalam menetapkan program pembentukan Perda Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi melakukan
koordinasi dengan gubernur. Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 96 ayat (1) huruf b diwujudkan dalam bentuk pembahasan
untuk persetujuan bersama terhadap rancangan Perda Provinsi tentang
APBD provinsi yang diajukan oleh gubernur. (2) fungsi anggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara: a.
membahas KUA dan PPAS yang disusun oleh gubernur berdasarkan
RKPD; b. membahas rancangan Perda Provinsi tentang APBD provinsi; c.
membahas rancangan Perda Provinsi tentang perubahan APBD provinsi;
13. 13
dan d.membahas rancangan Perda Provinsi tentang Pertanggungjawaban
APBD provinsi. Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
96 ayat (1) huruf c diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap: a.
pelaksanaan Perda provinsi dan peraturan gubernur; b. pelaksanaan
peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah provinsi; dan c. pelaksanaan tindak lanjut hasil
pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (2)
Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut
hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, DPRD provinsi berhak
mendapatkan laporan hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan. (3) DPRD provinsi melakukan pembahasan
terhadap laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2). (4) DPRD provinsi dapat meminta klarifikasi atas
temuan laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan kepada Badan
Pemeriksa Keuangan.
Sebagai penyelenggara pemerintahan DPRD provinsi dan kab/kota
mempunyai hak:a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat. Hak
interpelasi adalah hak DPRD provinsi untuk meminta keterangan kepada
gubernur atau bupati/walikota mengenai kebijakan Pemerintah Daerah
provinsi dan kab/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan
14. 14
penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah provinsi yang penting
dan strategi sserta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, Daerah,
dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD
provinsi untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau
mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di Daerah provinsi disertai
dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang
DPRD provinsi serta hak dan kewajiban anggota DPRD provinsi, dibentuk
fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD provinsi. Selain itu DPRD
didukung oleh sebuah struktur yang disebut dengan alat kelengkapan
DPRD
Problem peran dan fungsi DPRD bisa jadi bersumber dari UUD 1945
sendiri. UUD 1945 mengatur tentang DPRD dalam dua bab yang berbeda,
yaitu Bab VI tentang Pemerintahan Daerah dan Bab VIIB tentang Pemilihan
Umum. Bab VI memuat 3 (tiga) Pasal, yakni Pasal 18 (memiliki 7 ayat),
Pasal 18A (memiliki 2 ayat), dan Pasal 18B (memiliki 2 ayat). Sedangkan
Bab VIIB memuat 1 (satu) pasal saja, yakni Pasal 22E (memiliki 6 ayat).
Dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah (Bab VI) disebutkan bahwa
pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD
yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.33 Sementara
dalam Bab tentang Pemilihan Umum (Bab VIIB) dikatakan bahwa Pemilihan
15. 15
umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Alat Kelengkapan DPRD
Adapun alat kelengkapan DPRD terdiri atas: (i) Pimpinan, (ii) Badan
Musyawarah, (iii) Komisi, (iv) Badan pembentukan Perda Provinsi dan
Kab/kota, (v) Badan Anggaran, (vi) Badan Kehormatan, dan (vii) alat
kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. Dalam
menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat dan dapat
dibantu oleh kelompok pakar atau tim ahli.
Masing‐masing alat kelengkapan DPRD tersebut tidak diatur secara rinci
dalam Pasal 110 UU 23/2014, kecuali perihal Pimpinan DPRD. Perihal tata
cara pembentukan, susunan serta tugas dan wewenang alat kelengkapan
DPRD didelegasikan untuk diatur sendiri oleh DPRD. Sebagai salah satu
alat kelengkapan DPRD, pimpinan DPRD tentunya memiliki sejumlah tugas
dan fungsi. Walaupun demikian, UU 23/2014 ternyata tidak mengatur
secara rinci tugas dan fungsi pimpinan DPRD. UU ini hanya mengatur
komposisi pimpinan DPRD serta tatacara pengisian jabatan tersebut.
Pengaturan tentang tugas dan wewenang Pimpinan DPRD sebagai bagian
dari alat kelengkapan DPRD justru dimandatkan untuk diatur lebih lanjut
dalam peraturan DPRD tentang tata tertib.
16. 16
Penutup
Perkembangan DPRD di Indonesia cukup terasa manakala lahir UU
No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan yang sangat
penting dan mendasar adalah terkait dengan fungsi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD), baik itu DPRD provinsi maupun DPRD
kabupaten/kota. DPRD yang sebelumnya melaksanakan fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan kini berubah menjalankan fungsi pembentukan
peraturan daerah (perda), anggaran, dan pengawasan.
Pustaka Acuan
Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta:
Konstitusi Press.
Muhammad Fauzan. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah: Kajian tentang
Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Yogyakarta: UII
Press.
Ni’matul Huda. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta; Rajawali
Press.
Moh. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca
Amandemen Konstitusi. Jakarta: LP3ES.