1. MASBUQ DALAM SHALAT DAN PERMASALAHANNYA
SUMBER: http://pwkpersis.wordpress.com/2011/11/17/masbuq-dalam-sholat-dan-
permasalahannya/
MUQODDIMAH
Sholat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Ia memiliki kedudukan yang sangat
urgen dalam Islam. Rosulullah bersabda:
ْ ْ ْ
ُ ر َ أ س ُ ا ل َم ْ ر ِ ا لِ س ْ ل َم ُ و َ ع َ م ُو د ُ ه ُ ال ص ّ ل َة ُ و َ ذ ِ ر ْ و َ ة ُ س َ ن َا م ِ ه ِ ا ل ْ ج ِ ه َا د
“Pokok urusan itu adalah Islam, tiangnya sholat, dan puncak ketinggiannya adalah
jihad”. (HR. Tirmidzi, no: 2616; dll, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani)
Umar bin Khathab pernah berkata: “Perkara yang paling urgen menurutku adalah sholat,
Siapa saja yang menjaganya, maka ia telah menjaga agamanya. Dan siapa saja yang
menyia-nyiakannya maka ia akan lebih menyia-nyiakan terhadap selainnya. Dan tidak
ada bagian dalam Islam utnuk orang yang meninggalkan sholat.”
Terlebih lagi jika sholat itu dilakukan secara berjamaah. Rasululloh SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah Ta’ajub pada shalat (yang dilakukan) secara berjamaah.” (Lihat
shahihul Jami’, (1820).
“Shalat berjama’ah itu lebih utama 25 derajat daripada shalat sendirian.” (HR. al-
Bukhari). Dalam riwayat lain disebutkan: “(lebih utama) 27 derajat.” (Fathul Baari’,
2/131).
Setiap muslim dianjurkan untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid tepat pada
waktunya. Namun dalam prakteknya ada diantara kaum muslimin yang masih tertinggal
sholat berjamaah atau lebih di kenal dengan istilah Masbuq. Maka seperti apakah
permasalahan Masbuq itu?
Dalam tulisan sederhana ini, penulis akan mencoba membahas seputar permasalahan yang
urgen mengenai masbuq.
1. 1. Devinisi Masbuq
Secara etimologi Masbuq adalah isim maf’ul dari kata “ ”سبقyang bermakna “ terdahului/
tertinggal”.
Adapun secara terminologi Masbuq adalah Orang yang tertinggal sebagian raka’at atau
semuanya dari imam dalam sholat berjama’ah. Atau orang yang mendapati imam setelah
raka’at pertama atau lebih dalam sholat berjama’ah. (Kamus al-Muhith, Qawaid al-Fiqh dan
Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/400)
2. 1. 2. Kapan Seorang Makmum itu Disebut Masbuq?
Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat. Dimana ada dua pendapat mengenai kapan
seorang makmum itu disebut masbuq.
Pendapat Pertama:
Yaitu pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa seorang makmum disebut masbuq
itu apabila ia tertinggal ruku’ bersama imam. Jika seorang makmum mendapati imam sedang
ruku’, kemudian ia ruku bersama imam, maka ia mendapatkan satu raka’at dan tidak disebut
masbuq. Dan gugurlah kewajiban membaca surat al-Fatihah.
Dalil-dalil Pendapat Pertama:
1. 116 } منْ أَدْرَكَ الرّكُوْعَ فَقَدْ أَدرَكَ الرّكْعَةَ } أبو داود ، الفقه السلمي – سليمان رشيد
ْ َ
Artinya: “Siapa yang mendapatkan ruku’, maka ia mendapatkan satu raka’at”. (HR. Abu
Dawud, FIqh Islam-Sulaiman Rasyid : 116)
1. ِعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي ا عنه قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اِ صلّى ا عليه و سلم : ” إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصّلَة
وَ نَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا وَ لَ تعُدّوْهاَ شَيْئا وَ مَنْ أَدرَكَ الرّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصّلَةَ ” } رواه أبو داود
ْ َ
145 : 3 }1 : 702،عون المعبود
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “ Apabila kamu
datang untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka bersujudlah, dan jangan kamu hitung
sesuatu (satu raka’at) dan siapa yang mendapatkan ruku’, bererti ia mendapat satu rak’at
dalam sholat (nya)”. ( H.R Abu Dawud 1 : 207, Aunul Ma’bud – Syarah Sunan Abu Dawud
3 : 145 )
Jumhur Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan raka’at disni adalah ruku’, maka yang
mendapati imam sedang ruku’ kemudian ia ruku’ maka ia mendapatkan satu raka’at. (Al-
Mu’in Al-Mubin 1 : 93, Aunul Ma’bud 3 : 145)
1. َإِنّ أَباَ بَكْرَةَ إِنْتَهَى إِلَى النّبِيّ صلّى ا عليه و سلم وَ هُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصلَ إِلَى الصّفّ فَذَكَر
ِ
ذَلِكَ لِلنّبِيّ صلّى ا عليه و سلم فَقاَلَ : ” زَادَكَ اُ حِرْصا وَ لَ تعِدْ ” } رواه البخاري، فتح الباري
ُ
381 : 2}
“ Sesungguhnya Abu Bakrah telah datang untuk solat bersama Nabi SAW (sedangkan) Nabi
SAW dalam keadaan ruku’, kemudian ia ruku’ sebelum sampai menuju shaf. Hal itu
disampaikan kepada Nabi SAW, maka Nabi SAW bersabda (kepadanya) : “ Semoga Allah
menambahkan kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi lagi ”.
Dari dalil-dalil diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa menurut jumhur ulama seorang
dikatakan masbuk itu apabila ia tidak sempat ruku’ bersama imam.
3. Pendapat Kedua
Pendapat ini mengatakan bahwa makmum disebut masbuk apabila ia tertinggal bacaan surat
Al-Fatihah. Ini adalah pendapat segolongan dari ulama. Diantaranya adalah ucapan Abu
Hurairah, diriwayatkan oleh Imam Bukhori tentang bacaan al-Afatihah di belakang imam
dari setiap pendapat yang mewajibkan bacaan al-Afatihah di belakang imam. Demikian pula
pendapat Ibnu Khuzaimah, Dhob’i dan selain keduanya dari Muhaddits Syafi’iyyah
kemudian diperkuat oleh Syaikh Taqiyyuddin As-Subki dari Ulama Mutakhkhirin dan
ditarjih oleh al-Muqbili, ia berkata: “Aku telah mengkaji permasalahan ini dan aku
menghimpunnya pada pengkajianku secara fiqih dan hadits maka aku tidak mendapatkan
darinya selain yang telah aku sebutkan yaitu tidak terhitung raka’at dengan mendapatkan
ruku’. (‘Aunul Ma’bud 3:146)
Sanggahan Pendapat kedua terhadap dalil-dalil jumhur ulama yang menyatakan bahwa
makmum yang mendapatkan ruku bersama imam maka ia mendapatkan satu raka’at.
Diantaranya:
1. Dalam Sunan Abu Dawud tidak ada redaksi hadits dengan lafazh matan seperti
tersebut diatas. Pendapat ini cenderung beranggapan salah tukil saja.
2. Pada hadits (no 2) terdapat rawi yang bernama Yahya Bin Abi Sulaiman Al-Madani.
Menurut Amirul Mukminin dalam hadits (yaitu) Muhammad Bin Ismail Al-
Bukhari dalam (kitab) Juz-u Al-Qiraat, Yahya (ini) munkarul hadits. ( Mizanul I’tidal
4 : 383, Aunul Ma’bud 3 : 147 ) Sedangkan yang dimaksud dengan Munkarul Hadits
menurut pernyataan Imam Bukhori adalah: “ Setiap orang yang aku nyatakan
Munkarul Hadits, berarti tidak dapat dijadikan hujjah ”. Bahkan dalam satu riwayat
(dinyatakan) : “ tidak boleh meriwayatkannya ”. ( Fathul Mughits 1 : 346 ). Imam
Syaukani berkata : “Hadits tersebut bukan dalil atas pendapat mereka, kerana anda
pasti tahu, bahwa yang disebut raka’at itu (mencakup) semua aspek; bacaan, rukun-
rukunnya secara hakiki syar’i, maupun ‘urf (kebiasaan). Kedua arti tersebut harus
lebih didahulukan daripada arti menurut bahasa. Demikian ketetapan para ahli
Ushul Fiqih. ( Nailul Authar, Asy-Syaukani 2 : 219 )
3. Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla telah menjawab / membahas mengenai hadits
Abu Bakrah, (menurutnya) bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah / alasan
/ argumentasi oleh mereka dalam hal tersebut (yaitu termasuk raka’at asalkan
mendapat ruku’) kerana pada hadits tersebut tidak dinyatakan cukup (terhitung)
raka’at. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 146 ).
Menurut Asy-Syaukani : Dalam hadits tersebut tidak ada dalil / bukan dalil yang
menguatkan pendapat mereka, kerana sebagaimana (dimaklumi) tidak ada perintah
mengulangi (raka’at), tapi juga tidak menyatakan terhitung raka’at. Adapun Nabi mendoakan
kepadanya agar lebih bersungguh-sungguh, itu tidak berarti terhitung satu raka’at. ( ‘Aunul
Ma’bud, 3:146 )
Adapun dalil-dalil pendapat kedua ini, bahwa seorang disebut masbuk apabila tertinggal
bacaan al-Fatihah bukan tertinggal ruku’ adalah:
1. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي ا عنه أَنّهُ قاَلَ : إِنْ أَدْرَكتَ الْقَومَ رُكُوْعا لَمْ تعْتَدّ بِتِلْكَ الرّكْعَةِ. } رواه
َ ْ ْ
3:147 },البخاري، عون المعبود
4. Dari Abi Hurairah ra, bahwasanya ia berkata : “ Jika engkau mendapatkan suatu kaum
sedang ruku’, maka tidak terhitung raka’at ”. ( H.R Al-Bukhari, Aunul Ma’bud 3 : 147 )
Imam Syaukani berkata: “Telah diketahui sebelumnya bahwa kewajiban membaca Al-
Fatihah itu untuk imam dan makmum pada setiap raka’at. Dan kami telah menjelaskan bahwa
dalil-dalil tersebut sah untuk dijadikan hujjah bahwa membaca Al-Fatihah itu termasuk syarat
sahnya sholat. Maka siapa saja yang mengira bahwa sholat itu sah tanpa membaca al-Fatihah,
ia haruslah menunjukkan keterangan yang mengkhususkan dalil-dalil tersebut.”
1. عَنْ قَتاَدَةَ أَنّ النّبِيّ صلّى ا عليه و سلّم كَانَ يقْرَأُ فِي كُلّ رَكعَةٍ بِفاَتِحَةِ الْكِتابِ. } رواه الترمذي
َ ْ َ
{
Dari Qatadah, bahwa Nabi SAW membaca Fatihatil Kitab pada setiap raka’at ”. ( H.R At-
Tirmidzi )
1. َعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النّبِيّ صلّى ا عليه و سلّم قاَلَ : إِذَا سَمِعْتُمُ اْلِقاَمَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصّلَةِ و
عَلَيْكُمُ السّكِيْنَةَ وَ الْوِقاَرَ وَ لَ تُسْرِعُوْا فَماَ أَدرَكْتُمْ فَصَلّوْا وَ ماَ فاَتَكُمْ فَأَتِمّوْا. } رواه الجماعة، فتح
ْ
167 :2 },الباري
Dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW, ia bersabda : “ Apabila kamu mendengar Iqamah,
pergilah untuk sholat, dan kamu mesti tenang, santai serta tidak terburu-buru. Apa yang
kamu dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang ketinggalan (dari imam), maka
sempurnakanlah ”. ( H.R Al-Jama’ah, Fathul Bari 2 : 167 )
Menurut Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari : Hadits tersebut
dapat dijadikan dalil / alasan bahwa orang yang mendapatkan imam sedang ruku tidak
dihitung raka’at, kerana ada perintah untuk menyempurnakan (apa-apa) yang ketinggalan,
sedangkan (dalam hal ini) jelas makmum ketinggalan (tidak ikut berdiri dan membaca
fatihah). (Fathul Bari : 2: 170)
Imam Syaukani berkata : “Dengan ini, jelaslah kelemahan alasan-alasan pendapat Jumhur
Ulama yang menyatakan bahwa siapa yang mendapatkan imam dalam keadaan ruku’,
termasuk raka’at bersamanya (imam) dan dapat dihitung satu raka’at sekalipun tidak
mendapat bacaan (Al-Fatihah) sedikitpun”. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 :
147 )
Inilah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, salah seorang mujtahid serta tokoh agama,
beliau berpendapat bahwa yang mendapat ruku’ (bersama-sama dengan imam) tidak
dihitung mendapat raka’at, sampai ia membaca Fatihatul Kitab (dengan sempurna), maka
ia mesti mengulangi lagi raka’at (yang tidak sempat membaca Al-Fatihah) setelah imam
salam. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 152 )
1. 3. Waktu Berdirinya Orang yang Masbuk untuk Menyempurnakan Raka’at
yang terlewat.
Menurut Madzhab Hanafi :
5. Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang tertinggal bukanlah
setelah dua salam, tetapi menunggu selesainya imam, dan diam sejenak sampai imam bangkit
untuk melaksanakan sholat sunnah jika setelahnya ada sholat sunnah. Atau membelakangi
mihrab jika setelahnya tidak ada sholat sunnah. Atau berpindah dari tempatnya.
Dan tidak boleh berdiri sebelum salam setelah tasyahud kecuali di beberapa kondisi: –
apabila seorang pengukur tanah takut kehilangan masanya. – atau yang memiliki kebutuhan
takut keluar dari waktunya. Apabila yang masbuk pada sholat jum’at khawatir masuk pada
waktu ashar. Atau masuk sholat zhuhur pada sholat ‘id, atau terbit matahari pada sholat
shubuh. Ataupun khwatir berhadats. Maka bagi yang tersebut itu boleh untuk tidak menunggu
selesainya imam.
Menurut Madzhab Maliki:
Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’atnya yang terlewat setelah imam
salam. Apabila ia berdiri sebelum imam salam, maka sholatnya batal. (Ad-Dasuki 1/345)
Menurut MAdzhab Safi’i:
Disunnahkan bagi yang masbuk untuk menyempurkan raka’at yang tertinggal setelah imam
menyelesaikan kedua salamnya. Jika ia berdiri setelah imam selesai mengucapkan:
“Assalamu’alaikum”, pada salam pertama, maka boleh. Jika ia berdiri sebelum imam
mengucapkan dua salam maka sholatnya batal. Sekalipun ia berdiri setelah imam
mengucapkan salam sebelum selesai membaca: “’alaikum”, maka hukumnya seperti apabila
ia berdiri sebelum imam mengucapkan dua salam. (Roudhoh at-Tholibin 1/378 dan Majmu’,
3/487)
Menurut Madzhab Hanbali:
Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang luput setelah salam kedua
imamnya. Jika ia berdiri sebelum salam imam dan tidak kembali untuk berdiri setelah
salamnya. Maka sholatnya berubah menjadi sunnah. (Syarah Muntaha Al-Iradat 1/248 dan al-
Inshaf, 2/222)
Menyempurnakan Raka’at yang Tertinggal.
Jumhur Ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah) berpendapat bahwa apa yang
didapati seorang masbuk dari sholatnya bersama imam maka itu adalah akhir sholatnya. Dan
apa yang disempurnakan oleh seorang masbuk adalah raka’at awal sholatnya. (Al-Bahru
Raiq, 1/313, Asy-Syarh Ash-Shagir 1/458, dan Al-Inshaf 4/225)
Menurut Madzhab Syafi’i; Apa yang didapati masbuk dari sholat bersama imam maka itu
adalah awal sholatnya. Dan apa yang disempurnakannya setelah imam salam adalah
akhirnya. Berdasarkan sabda Rosulullah: “Maka apa yang kamu dapati (bersama imam)
sholatlah, dan apa yang kamu luput (bersama imam) maka sempurnakanlah”. Dan
penyempurnaan sesuatu itu tidaklah ada kecuali setelah permulaannya. Berdasarkan ini,
apabila ia sholat shubuh bersama imam pada raka’at yang kedua kemudian qunut bersama
imam, maka ia harus mengulang qunut. Kalau ia mendapati satu raka’at sholat magrib
6. bersama imam, maka tasyahud yang keduanya itu sunnah, karena ia menempati tasyahudnya
yang pertama. Dan tasyahudnya bersama imam lil mutaba’ah (mengikuti) hal itu adalah
hujjah bahwa apa yang ia dapati bersama imam adalah permulaan sholatnya. (Mugni Al-
Muhtaj 1/206)
1. 4. Mengangkat Imam Pada Sholat Masbuq?
Pada dasarnya tidak apa-apa seorang yang masbuk menjadi imam. Apabila seseorang datang
untuk sholat berjama’ah, sedangkan imam dan jama’ahnya sudah selesai melaksanakan
shalat. Kemudia ia mendapatkan seorang masbuk yang sedang menyempurnakan raka’at
yang tertinggal, maka ia berdiri disamping kanannya dan menjadikan orang yang masbuk itu
imam untuknya supaya mendapatkan pahala berjamaah. Maka insya Allah hal tersebut sah.
Pada contoh seperti ini, Syaikh Bin Baz berkata : “Tidak apa-apa akan hal tersebut insya
Allah menurut yang shohih”. Dan ia berkata: “Dianjurkan baginya sholat bersama yang
masbuk dimana ia berdiri disamping kanannya. Dengan semangat untuk mendapatkan
fadhilah sholat berjama’ah. Dan orang yang masbuk merubah niatnya menjadi imam, maka
tidaklah mengapa pada hal tersebut menurut ucapan para ulama yang paling shohih”. (Kitab
Ad-Da’wah 2/117)
Tapi bagaimana jika mengangkat yang masbuk menjadi imam untuk yang masbuk. Misalkan
ada tiga orang masbuk. Setelah imam salam, kemudian mereka berdiri untuk
menyempurnakan raka’at yang tertinggal dan mengangkat imam dari salah seorang diantara
mereka. Maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat.
Pendapat Pertama:
Menurut pendapat ini, mengangkat yang masbuk menjadi imam pada sholat masbuk itu tidak
boleh, bahkan sebagian dari mereka mengkategorikannya kepada perbuatan bid’ah. Hal
tersebut dikarenakan tidak adanya satu pun dalil yang menjelaskan secara shorih bahwa
Rosulullah memerintahkan atau mencontohkannya.
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat, di dalam Buku Risalah Bid’ah, hal. 190,
menyatakan: Bid’ah ini tegas-tegas telah menyalahi Sunnah: Nabi shallahu’alaihi wa sallam
bersama Mughirah bin Syu’bah pernah menjadi masbuq di dalam peperangan Tabuk. Ketika
Abdurrahman bin ‘Auf yang menjadi imam shalat memberi salam (selesai shalat), kemudian
Nabi shallahu’alaihi wa sallam dan Mughirah menyempurnakan satu raka’at yang tertinggal
sendiri-sendiri tidak membuat jama’ah. (Hadits riwayat Muslim dan lain-lain.)
Pendapat Kedua:
Pendapat ini membantah pernyataan pendapat pertama, bahwa tidak boleh mengangkat imam
pada sholat masbuk. Pendapat ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Mugirah bin Syu’bah diamana hadits ini menjelaskan bahwa Mugirah bersama
Rosulullah pernah masbuq. Adapun hadits tersebut sebagai berikut:
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ تَخَلّفَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَتَخَلّفْتُ مَعَهُ فَلَمّا
ّقَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعكَ مَاءٌ فأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فغَسَلَ كَفّيْهِ وَوَجهَهُ ثُمّ ذَهبَ يَحْسِرُ عَنْ ذرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُم
ِ َ ْ َ َ َ
ِلْقَى الْجُبّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى العِمَامَة
ْ َ الْجُبّةِ فَأخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبّةِ وَأ
َ
ٍوَعَلَى خُفّيْهِ ثُمّ رَكبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصّلةِ يُصَلّي بِهمْ عَبْدُ الرّحْمَنِ بْنُ عَوْف
ِ َ َ ِ
7. َوَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمّا أَحَسّ بِالنّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ ذَهَبَ يَتَأَخّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلّى بهِمْ فَلَمّا سَلّم
ِ
.قَامَ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَقُمتُ فَرَكعْنَا الرّكْعَةَ الّتِي سَبَقَتْنَا
َ ْ
Artinya: Dari muqhirah bin syu’bah dari ayahnya dia berkata: Rasulullah tertinggal (dari
rombongan pasukan) dan aku tertinggal bersama beliau, ketika beliau selesai dari hajatnya,
beliau bertanya apakah kamu ada air? Maka aku bawakan ember (tempat bersuci),
kemudian membasuh kedua telapak tanganya, wajahnya dan menyingkap lengannya, namun
lengan jubahnya terlalu sempit, maka beliau mengeluarkan tangannya dari bahwa jubah,
dan meletakkan jubahnya di atas bahunya, kemudian beliau membasuh kedua lengannya dan
mengusap ubun-ubunnya, dan bagian atas surbannya serta kedua khufnya (semacam kaos
kaki dari kulit), kemudian beliau naik (kendaraan) dan akupun naik, ketika kami sampai
pada rombongan kaum (para sahabat), mereka sedang shalat yang diimami oleh
Abdurrahman bin Auf, dan sudah selesai satu rakaat, ketika (Abdurrahman bin Auf)
menyadari kedatangan Rasulullah, dia mundur, maka Rasulullah memberi isyarat
kepadanya, maka (Abdurrahman bin Auf) meneruskan tetap mengimami shalat mereka, maka
ketika Abdurrahman bin Auf salam (selesai shalat), Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami
ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang tertinggal. (HR. Imam Muslim, 2/123 Bab Al-Mashu
‘ala An-Nashiyah wa al-‘Imamah no: 81)
ُأَنّ المُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَخْبَرَهُ أَنّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تَبُوكَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَتَبَرّزَ رَسُول
ْ
ُاللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قِبَلَ الغَائِطِ فَحَمَلْتُ مَعَهُ إِدَاوَةً قَبْلَ صَلةِ الفَجْرِ فَلَمّا رَجَعَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّه
ْ َ ْ
َعَلَيْهِ وَسَلّمَ إِلَيّ أَخَذتُ أُهَرِيقُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ الِدَاوَةِ وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلثَ مَرّاتٍ ثُمّ غَسَلَ وَجهَهُ ثُمّ ذَهَب
ْ َ ْ ْ
َيُخْرِجُ جُبّتَهُ عَنْ ذرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمّا جُبّتِهِ فَأدْخلَ يَدَيْهِ فِي الْجُبّةِ حَتّى أَخْرَجَ ذرَاعَيْهِ مِنْ أَسْفَلِ الْجُبّةِ وَغَسَل
ِ َ َ ِ
قْبَلَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَأَقْبَلتُ مَعَهُ حَتّى نَجِدُ النّاسَ قَدْ قَدّمُوا
ْ َ ذرَاعَيْهِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ ثُمّ تَوَضّأَ عَلَى خفّيْهِ ثُمّ أ
ُ ْ ِ
َعَبْدَ الرّحْمنِ بْنَ عَوْفٍ فَصَلّى لهُمْ فَأَدرَكَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ إِحْدَى الرّكعَتَيْنِ فَصَلّى مَع
ْ ْ َ َ
ُالنّاسِ الرّكْعَةَ الخِرَةَ فَلَمّا سَلّمَ عَبْدُ الرّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ قَامَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُتِمّ صَلتَه
َ ْ
َفَأَفْزَعَ ذَلِكَ الْمُسْلِمِينَ فَأَكْثَرُوا التّسْبِيحَ فَلَمّا قَضَى النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ صَلتَهُ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ ثُمّ قَال
َ
أَحْسَنْتُمْ أَوْ قَالَ قَدْ أَصَبْتُمْ يَغْبِطُهمْ أَنْ صَلّوْا الصّلةَ لِوَقْتِهَا
َ ُ
Artinya: “Bahwasannya Muqhirah bin Syu’bah menceritakan, bahwa dia berperang
bersama Rasulullah Saw diperang Tabuk. Mughirah berkata; Rasulullah hendak membuang
hajat, kemudia mencari tempat yang tertutup, maka aku bawakan satu ember air sebelum
shalat subuh, ketika beliau kembali, aku tuangkan air dari ember itu ketangannya, beliau
membasuh tiga kali, kemudian membasuh wajahnya, kemudian menyingsingkan jubahnya
untuk mengeluarkan lengannya, akan tetapi lengan jubah itu sempet, maka Rasulullah
memasukan tangannya kedalam jubahnya dan mengeluarkannya dari bawah jubah, maka
beliau membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya, kemudian beliau berwudlu di atas
khuf (maksudnya tidak membasuh kaki, tapi beliau cukup mengusap bagian atas khuf
(semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit), kemudian beliau bergegas (menyusul
rombongan), Mughirah berkata: akupun bergegas bersama beliau, maka kami mendapati
romobongan (para sahabat) sedang shalat shalat, dan Abdurrahman bin Auf yang menjadi
imam mereka, dan sudah masuk rakaat terakhir. Maka ketika Abdurrahman bin Auf salam
dan selesai shalat, Rasulullah menyempurnakan shalatnya, maka hal itu membuat kaum
muslimin keheranan (Rasulullah menjadi ma’mum), merekapun memperbanyak tasbih, maka
ketika Rasulullah selesai shalat, beliau menghadap kepada para sahabat dan berkata:
ahsantum (kalian telah berbuat benar), Mughirah berkata: atau beliau waktu itu
8. mengatakan: kalian benar, dimana mengajak manusia untuk shalat tepat pada waktunya”.
(HR. Imam Muslim 2/107 no: 105)
Itulah diantara dalil pendapat kedua ini yang menjelaskan bahwa Rosulullah dan Mugirah
masbuk kemudian mereka menyempurnakan raka’at yang tertinggal secara berjama’ah. Hal
teresebut seperti yang disebutkan dalam hadits :
” َ ” َ َ َت َاّ ِي ا ل ّكْ َ َاف َ َعْ َا ُمْ ُ و َ ّ َ َع َيْ ِ ا ُ َ ّى ال ّ ِ ّ َا
ن بي ق م ر عة َرك ن ق ت َسلم و َل ه ّ صل
ل سبق ْن لت
yang artinya : Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang
tertinggal.
Penggunaan dhamir nahnu secara makna asal (hakiki) menunjukkan bahwa orang pertama
dan ketiga (yang dibicarakan) melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama. Berarti
melakukan rakaat shalat yang ketinggalan itu dengan berjamaah. Apabila tidak diartikan
demikian harus menunjukkan qarinah (keterangan pendukung). Sebagai perbandingan kita
lihat penggunaan dhamir yang sama pada kalimat sebelumnya dalam riwayat Muslim.
Oleh karena iltu lah pendapat ini berpegang pada hadits tersebut, bahwa seorang masbuk
boleh mengangkat imam pada sholat masbuk. Kemudian juga didukung dengan hadits yang
menjelaskan tentang keutamaan sholat berjamaah.
Wallahu a’lamu bi As-Shawab
Walhamdu lillahi rabbil’alamin
MARAJI’
1. Al-Qomus Al-Muhith lil-Fairuzabadi (al-‘Allamah Mujiddin Muhammad bin Ya’qub
al-Fairuzabadi Asy-Syiraji 729-817 H)
2. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah – Wuzarah al-Auqaf wa Asy-syu’un Al-Islamiyyah
3. Al-Fih Al-Islamiy wa Adillatuh (Dr. Wahbah Az-Zuhaili) –Daar Al-Fikr-
4. ‘Aunul MA’bud Syarh Sunan Abu Dawud (Al-‘Allamah Abu Thayyib Muhammad
Syamsu al-Haq al-‘Azhim Abadi bersama Syarh al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-
Jauziyyah) –Maktabah Asslafiyyah-
5. Nailul Authar Min Asrari Muntafa Al-Akhbar (Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad
Asy-Syaukani 1173-1250 H); Daar Ibnu ‘Affan, Daar Ibnu Al-Qoyiim
6. Radd Al-Muhtar ‘Ala Ad-Dar Al-Mukhtar Syarh Tanwiir Al-Abshar (Muhammad
Amin yang masyhur dengan Ibnu ‘Abidin); Daar ‘Alam Al-Kutub –Riyadh
7. Majmu’ah al-Fatawa (Syaikh Islam Taqiyyuddin Ahmad bin Taimiyyah Al-Harrani)
8. Al-Muntafa Syarh Muwaththa Malik (Al-Qodhi Abu Al-Walid Sulaiman bin Khalaf
bin Sa’ad bin Ayyub Al-Baaji, wafat tahun 494 H); Daar al-Kutub Al-‘Alamiyyah
9. Mugni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazh al-Manhaji (Syaikh Syamsuddin
Muhammad bin Al-Khathiib Asy-Syarbini ) ‘Ala Matni Minhaj Ath-Thalibin (Imam
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi asy-Syafi’i); Daar al-Ma’rifah Bairut
Lebanon
10. Al-Wajiz fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi’I (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad Al-Gozali); Daar al-Arqam bin Abi Al-Arqam – Bairut Lebanon
9. 11. Al-Mugni (Ibnu Qudamah)
12. Limadza Nusholli (Syaikh Muhammad Ahmad Isma’il Al-Muqaddam); Daar
Al-‘Aqidah
13. Fiqi Sunnah (Sayyid Sabiq); Daar Alfath lil-A’lam Al-‘Arabi
14. Syarh Shohih Muslim (Imam Nawawi); Daar At-Taufiqiyyah li At-Turats
15. Fathu Al-Bari fi Syarhi Shohih Al-Bukhori (Ibnu HAjar al-‘Atsqolani); Daar Mishr li
Ath-Thaba’ah