1. Komputasi untuk Sains dan Teknik
-Menggunakan Matlab-
Supriyanto Suparno
( Website: http://supriyanto.fisika.ui.ac.id )
( Email: supri@fisika.ui.ac.id atau supri92@gmail.com )
Edisi IV
Revisi terakhir tgl: 23 Desember 2011
Departemen Fisika-FMIPA, Univeristas Indonesia
Dipublikasikan pertama kali pada September 2007
4. Usia bukan ukuran kedewasaan
(Supriyanto, 2006)
Ketekunan adalah jalan yang terpercaya untuk mengantarkan kita menuju kesuksesan
(Supriyanto, 2007)
5. Kata Pengantar
Perubahan adalah suatu keniscayaan. Aksioma itu berlaku juga pada buku ini — yang mulai
ditulis pada tahun 2005. Mulai 24 juli 2010, edisi ke-4 ini diluncurkan dalam rangka mengubah
sasaran tujuan dari buku edisi ke-3.
Penekanan penulisan edisi ke-3 adalah ingin memperkenalkan sebanyak mungkin metode
numerik kepada mahasiswa tingkat sarjana di Departemen Fisika, Universitas Indonesia. Hasil
evaluasi proses perkuliahan menunjukkan bahwa diskusi matematis terlalu dominan dibandingkan diskusi aplikasi metode numerik pada masalah fisika. Oleh karena itu saya memutuskan untuk memperbesar porsi pembahasan aplikasi metode numerik sehingga beberapa
metode numerik yang diulas pada edisi ke-3 dengan sengaja dihilangkan dalam edisi ke-4 ini.
Rujukan utama buku edisi-4 ini tetap bersumber pada buku teks standar yang sangat populer di dunia komputasi, yaitu buku yang ditulis oleh Richard L. Burden dan J. Douglas Faires
dengan judul Numerical Analysis edisi ke-7, diterbitkan oleh Penerbit Brooks/Cole, Thomson
Learning Academic Resource Center. Namun demikian, buku ini telah dilengkapi dengan sejumlah contoh aplikasi komputasi pada upaya penyelesaian problem-problem fisika.
Walaupun buku ini masih jauh dari sempurna, namun semoga ia dapat menyumbangkan
kontribusi yang berarti untuk kebangkitan ilmu pengetahuan pada diri anak bangsa Indonesia
yang saat ini sedang terpuruk. Saya wariskan buku ini untuk siswa dan mahasiswa Indonesia
dimanapun mereka berada. Anda berhak memanfaatkan buku ini. Saya izinkan anda untuk
meng-copy dan menggunakan buku ini selama itu ditujukan untuk belajar dan bukan untuk tujuan komersial. Bagi yang ingin berdiskusi, memberikan masukan, kritikan dan saran, silakan
dikirimkan ke email: supri92@gmail.com
Akhirnya saya ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dede
A
Djuhana yang telah berkenan memberikan format L TEX-nya sehingga tampilan tulisan pada
buku ini benar-benar layaknya sebuah buku yang siap dicetak. Tak lupa, saya pun berterima kasih kepada seluruh mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah Komputasi Fisika
dan Anaisis Numerik di Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia atas diskusi yang
berlangsung selama kuliah. Kepada seluruh mahasiswa dari berbagai universitas di Timur dan
di Barat Indonesia juga saya ungkapkan terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan yang turut
memperkaya isi buku ini.
Depok, 24 Juli 2010
Supriyanto Suparno
iii
11. Daftar Gambar
1.1
Data perubahan kecepatan terhadap waktu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
1.2
Data perubahan kecepatan terhadap waktu dengan keterangan gambar . . . . .
4
1.3
Grafik gelombang berfrekuensi 5 Hz . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
1.4
Grafik yang dilengkapi dengan keterangan sumbu-x dan sumbu-y serta judul . .
7
1.5
Grafik yang dilengkapi dengan font judul 14pt . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
1.6
Dua buah grafik dalam sebuah gambar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
8
1.7
Tiga buah grafik dalam sebuah gambar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9
4.1
Metode Trapezoida. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f (x) dengan batas
bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara
metode Trapesoida menghitung integral dengan cara menghitung luas area integrasi,
dimana luas area integrasi sama dengan luas trapesium di bawah kurva f (x) dalam
batas-batas a dan b. Jika anda perhatikan dengan teliti, ada area kecil dibawah garis
kurva dan diatas garis miring yang berada diluar bidang trapesium. Metode Trapesoida
tidak menghitung luas area kecil tersebut. Disinilah letak kelemahan metode trapezoida.
4.2
52
Metode Simpson. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f (x) dengan batas
bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara
metode Simpson menghitung luas area integrasi, dimana area integrasi di bawah kurva
4.3
f (x) dibagi 2 dalam batas interval a − x1 dan x1 − b dengan lebar masing-masing adalah h 53
Metode Composite Simpson. Kurva fungsi f (x) dengan batas bawah integral adalah a
dan batas atas b. Luas area integrasi dipecah menjadi 8 area kecil dengan lebar masingmasing adalah h. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5.1
56
Kiri: Kurva y(t) dengan pasangan titik absis dan ordinat dimana jarak titik absis sebesar h. Pasangan t1 adalah y(t1 ), pasangan t2 adalah y(t2 ), begitu seterusnya. Kanan:
Garis singgung yang menyinggung kurva y(t) pada t=a, kemudian berdasarkan garis
singgung tersebut, ditentukan pasangan t1 sebagai w1 . Perhatikan gambar itu sekali
lagi! w1 dan y(t1 ) beda tipis alias tidak sama persis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5.2
62
Kurva biru adalah solusi exact, dimana lingkaran-lingkaran kecil warna biru pada kurva
menunjukkan posisi pasangan absis t dan ordinat y(t) yang dihitung oleh Persamaan
(5.9). Sedangkan titik-titik merah mengacu pada hasil perhitungan metode euler, yaitu
nilai wi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5.3
66
Kurva biru adalah solusi exact, dimana lingkaran-lingkaran kecil warna biru pada kurva
menunjukkan posisi pasangan absis t dan ordinat y(t) yang dihitung oleh Persamaan
(5.9). Sedangkan titik-titik merah mengacu pada hasil perhitungan metode Runge Kutta
orde 4, yaitu nilai wi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ix
70
12. DAFTAR GAMBAR
x
5.4
Rangkaian RC . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
71
5.5
Kurva pengisian muatan q (charging) terhadap waktu t . . . . . . . . . . . . . . .
76
5.6
Kurva suatu fungsi f (x) yang dibagi sama besar berjarak h. Evaluasi kurva yang
dilakukan Finite-Difference dimulai dari batas bawah X0 = a hingga batas atas
x6 = b . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
78
5.7
Skema grid lines dan mesh points pada aplikasi metode Finite-Difference . . . . . .
88
5.8
Susunan grid lines dan mesh points untuk mensimulasikan distribusi temperatur
pada lempeng logam sesuai contoh satu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5.9
90
Sebatang logam dengan posisi titik-titik simulasi (mesh-points) distribusi temperatur.
Jarak antar titik ditentukan sebesar h = 0, 1. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
97
5.10 Interval mesh-points dengan jarak h = 0, 1 dalam interval waktu k = 0, 0005 . . . . . . .
97
5.11 Posisi mesh-points. Arah x menunjukkan posisi titik-titik yang dihitung dengan forwarddifference, sedangkan arah t menunjukkan perubahan waktu yg makin meningkat . . . .
98
8.1
Sebaran data observasi antara suhu dan kedalaman . . . . . . . . . . . . . . . . . 178
8.2
Kurva hasil inversi data observasi antara suhu dan kedalaman . . . . . . . . . . . 181
8.3
Kurva hasil inversi data observasi antara suhu dan kedalaman . . . . . . . . . . . 186
8.4
Grafik data pengukuran gerak batu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 190
8.5
Grafik hasil inversi parabola . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 192
10.1 Sejumlah titik terdistribusi pada koordinat kartesian. Masing-masing titik memiliki pasangan koordinat (x, y) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 208
10.2 Kurva interpolasi cubic spline yang menghubungkan semua titik . . . . . . . . . 209
10.3 Sejumlah polinomial cubic yaitu S0 , S1 , S2 ... dan seterusnya yang saling sambungmenyambung sehingga mampu menghubungkan seluruh titik . . . . . . . . . . . 209
10.4 Profil suatu object . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 214
10.5 Sampling titik data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 214
10.6 Hasil interpolasi cubic spline . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 215
10.7 Hasil interpolasi lagrange . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 215
11.1 Fungsi dengan dua akar yang ditandai oleh lingkaran kecil berwarna merah,
yaitu pada x = −2 dan x = 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 217
11.2 Fungsi dengan satu akar yang ditandai oleh lingkaran kecil berwarna merah,
yaitu pada x = −1, 2599 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 218
12.1 Lingkaran dan bujursangkar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 229
12.2 Dart yang menancap pada bidang lingkaran dan bujursangkar . . . . . . . . . . . 230
12.3 Dart yang menancap pada bidang 1/4 lingkaran dan bujursangkar . . . . . . . . 231
13. Daftar Tabel
4.1
Polinomial Legendre untuk n=2,3,4 dan 5 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5.1
Solusi yang ditawarkan oleh metode euler wi dan solusi exact y(ti ) serta selisih
antara keduanya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5.2
70
Perbandingan antara hasil perhitungan numerik lewat metode Runge Kutta dan
hasil perhitungan dari solusi exact, yaitu persamaan (5.16) . . . . . . . . . . . . .
5.4
65
Solusi yang ditawarkan oleh metode Runge Kutta orde 4 (wi ) dan solusi exact
y(ti ) serta selisih antara keduanya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5.3
58
75
Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu dalam 1-dimensi. Kolom ke-2 adalah
solusi analitik/exact, kolom ke-3 dan ke-5 adalah solusi numerik forward-difference. Kolom
ke-4 dan ke-6 adalah selisih antara solusi analitik dan numerik . . . . . . . . . . . . . . 101
5.5
Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu dalam 1-dimensi dengan metode backwarddifference dimana k = 0, 01
5.6
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 105
Hasil simulasi distribusi panas bergantung waktu (t) dalam 1-dimensi dengan
metode backward-difference dan Crank-Nicolson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 109
6.1
Hasil akhir elemen-elemen vektor x hingga iterasi ke-10 . . . . . . . . . . . . . . . 127
6.2
Hasil perhitungan norm2-selisih hingga iterasi ke-10 . . . . . . . . . . . . . . . . 127
6.3
Hasil Iterasi Gauss-Seidel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 131
6.4
Hasil perhitungan iterasi Gauss-Seidel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 141
6.5
Hasil perhitungan iterasi Relaksasi dengan ω = 1, 25 . . . . . . . . . . . . . . . . . 141
8.1
Data suhu bawah permukaan tanah terhadap kedalaman . . . . . . . . . . . . . . 177
8.2
Data suhu bawah permukaan tanah terhadap kedalaman . . . . . . . . . . . . . . 182
8.3
Data ketinggian terhadap waktu dari planet X . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 189
11.1 Data Gempa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 227
xi
15. Bab 1
Pendahuluan
Objektif :
⊲ Mengenal cara inisialisasi variabel.
⊲ Mengenal operasi matematika.
⊲ Mengenal fungsi-fungsi dasar.
⊲ Mengenal cara membuat grafik.
1.1
Inisialisasi variabel
Salah satu perbedaan utama antara komputer dan kalkulator adalah pemanfaatan variabel
dalam proses perhitungan. Kebanyakan kalkulator tidak menggunakan variabel dalam proses
perhitungan; sebaliknya, komputer sangat memanfaatkan variable dalam proses perhitungan.
Misalnya kita ingin mengalikan 2 dengan 3. Dengan kalkulator, langkah pertama yang
akan kita lakukan adalah menekan tombol angka 2, kemudian diikuti menekan tombol ×, lalu
menekan tombol angka 3, dan diakhiri dengan menekan tombol =; maka keluarlah hasilnya
berupa angka 6. Kalau di komputer, proses perhitungan seperti ini dapat dilakukan dengan
memanfaatkan variabel. Pertama-tama kita munculkan sebuah variabel yang diinisialisasi1
dengan angka 2, misalnya A = 2. Kemudian kita munculkan variabel lain yang diinisialisasi
dengan angka 3, misalnya B = 3. Setelah itu kita ketikkan A ∗ B; maka pada layar monitor
akan tampil angka 6. Bahkan kalau mau, hasil perhitungannya dapat disimpan dalam variabel
yang lain lagi, misalnya kita ketiikan C = A ∗ B; maka hasil perhitungan, yaitu angka 6 akan
disimpan dalam variable C. Script2 matlab untuk melakukan proses perhitungan seperti itu
adalah sebagai berikut
A = 2;
B = 3;
C = A * B
1
2
inisialisasi adalah proses memberi nilai awal pada suatu variabel
Script adalah daftar baris-baris perintah yang akan dikerjakan (di-eksekusi) oleh komputer
1
16. BAB 1. PENDAHULUAN
2
Nama suatu variabel tidak harus hanya satu huruf, melainkan dapat berupa sebuah kata.
Misalnya kita ingin menyatakan hukum Newton kedua, yaitu F = ma, dimana m adalah massa, a adalah percepatan dan F adalah gaya. Maka, script matlab dapat ditulis seperti berikut
ini
massa = 2;
percepatan = 3;
gaya = massa * percepatan
Atau bisa jadi kita memerlukan variabel yang terdiri atas dua patah kata. Dalam hal ini, kedua
kata tadi mesti dihubungkan dengan tanda underscore. Misalnya begini
besar_arus = 2;
beda_potensial = 3;
nilai_hambatan = beda_potensial / besar_arus
Semua contoh di atas memperlihatkan perbedaan yang begitu jelas antara penggunaan
komputer dan kalkulator dalam menyelesaikan suatu perhitungan. Saya akan tunjukkan perbedaan yang lebih tegas lagi pada bagian berikut ini.
1.2
Perhitungan yang berulang
Di dalam matlab, suatu variabel dapat diinisialisasi dengan urutan angka. Misalnya jika variabel t hendak diinisialisasi dengan sejumlah angka yaitu 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10, caranya
sangat mudah, cukup dengan mengetikkan
t = 0:10;
Angka 0 pada script di atas merupakan nilai awal; sedangkan angka 10 adalah nilai akhir.
Contoh lainnya, jika anda hanya menginginkan bilangan genap-nya saja, cukup ketikkan
t = 0:2:10;
Disini, angka 2 bertindak sebagai nilai interval dari 0 sampai 10. Sehingga angka-angka yg
muncul hanyalah 0, 2, 4, 6, 8 dan 10. Andaikata anda menginginkan urutan angka yang terbalik, maka yang perlu anda lakukan adalah
t = 10:-2:0;
sehinggan angka yang muncul adalah 10, 8, 6, 4, 2 dan 0. Adakalanya proses perhitungan
meminta kita untuk memulainya dari angka kurang dari nol, misalnya
t = -10:3:4;
maka angka-angka yang tersimpan pada variabel t adalah -10, -7, -4, -1 dan 2.
Dengan adanya kemampuan dan sekaligus kemudahan inisialisasi urutan angka seperti
ini, maka memudahkan kita melakukan perhitungan yang berulang. Sebagai contoh, kita ingin mensimulasikan perubahan kecepatan mobil balap yang punya kemampuan akselerasi 2
m/dt2 . Rumus gerak lurus berubah beraturan sangat memadai untuk maksud tersebut
v = vo + at
(1.1)
17. 1.3. MENGENAL CARA MEMBUAT GRAFIK
3
Jika kita hendak mengamati perubahan kecepatan mobil balap dari detik pertama disaat
sedang diam hingga detik ke-5, kita dapat menghitung perubahan tersebut setiap satu detik,
yaitu
pada t = 1
⇒
v1 = (0) + (2)(1)
⇒ 2m/dt
pada t = 2
⇒
v2 = (0) + (2)(2)
⇒ 4m/dt
pada t = 3
⇒
v3 = (0) + (2)(3)
⇒ 6m/dt
pada t = 4
⇒
v4 = (0) + (2)(4)
⇒ 8m/dt
pada t = 5
⇒
v5 = (0) + (2)(5)
⇒ 10m/dt
Script matlab untuk tujuan di atas adalah
a = 2;
t = 1:5;
vo = 0;
v = vo + a * t
Jarak tempuh mobil juga dapat ditentukan oleh persamaan berikut
1
s = vo t + at2
2
(1.2)
Untuk menentukan perubahan jarak tempuh tersebut, script sebelumnya mesti ditambah satu
baris lagi
1
2
3
4
a = 2;
t = 1:5;
vo = 0;
s = vo * t + 1/2 * a * t.^2
Ada hal penting yang perlu diperhatikan pada baris ke-4 di atas, yaitu penempatan tanda
ˆ
titik pada t.2. Maksud dari tanda titik adalah setiap angka yang tersimpan pada variabel t
ˆ
harus dikuadratkan. Jika anda lupa menempatkan tanda titik, sehingga tertulis t2, maka script
tersebut tidak akan bekerja.
1.3
Mengenal cara membuat grafik
Seringkali suatu informasi lebih mudah dianalisis setelah informasi tersebut ditampilkan dalam
bentuk grafik. Pada contoh mobil balap tadi, kita bisa menggambar data perubahan kecepatan
mobil terhadap waktu dengan menambahkan satu baris lagi seperti ditunjukkan oleh script
dibawah ini
1
2
3
4
5
a = 2;
t = 1:5;
vo = 0;
v = vo + a * t
plot(t,v,’o’)
18. BAB 1. PENDAHULUAN
4
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
Gambar 1.1: Data perubahan kecepatan terhadap waktu
Jika script tersebut di-run, akan muncul Gambar 1.1. Untuk melengkapi keterangan gambar,
beberapa baris perlu ditambahkan
2
3
4
5
6
7
8
a = 2;
t = 1:5;
vo = 0;
v = vo + a * t;
plot(t,v,’o’);
xlabel(’Waktu (dt)’);
ylabel(’Kecepatan (m/dt)’)
title(’Data Kecepatan vs Waktu’)
Data Kecepatan vs Waktu
10
9
8
Kecepatan (m/dt)
1
7
6
5
4
3
2
1
1.5
2
2.5
3
Waktu (dt)
3.5
4
4.5
5
Gambar 1.2: Data perubahan kecepatan terhadap waktu dengan keterangan gambar
19. 1.4. BARIS-BARIS PEMBUKA
1.4
5
Baris-baris pembuka
Ketika anda membuat script di komputer, anda mesti menyadari bahwa script yang sedang
anda buat akan memodifikasi isi memory komputer. Oleh karena itu saya menyarankan agar
sebelum kalkulasi anda bekerja, maka anda harus pastikan bahwa memory komputer dalam
keadaan bersih. Cara membersihkannya, di dalam matlab, adalah dengan menuliskan perintah clear. Alasan yang sama diperlukan untuk membersihkan gambar dari layar monitor.
Untuk maksud ini, cukup dengan menuliskan perintah close. Sedangkan untuk membersihkan
teks atau tulisan di layar monitor, tambahkan saja perintah clc. Saya biasa meletakkan ketiga
perintah tersebut pada baris-baris awal sebagai pembukaan bagi suatu script matlab. Inilah
contohnya,
1
2
3
clear
close
clc
4
5
6
7
8
9
10
11
12
a = 2;
t = 1:5;
vo = 0;
v = vo + a * t;
plot(t,v,’o’);
xlabel(’Waktu (dt)’);
ylabel(’Kecepatan (m/dt)’)
title(’Data Kecepatan vs Waktu’)
1.5
Membuat 2 grafik dalam satu gambar
Misalnya, sebuah gelombang dinyatakan oleh persamaan
y = A sin(2πf t + θ)
dimana A = amplitudo; f = frekuensi; t = waktu; θ = sudut fase gelombang. Jika suatu gelombang beramplitudo 1 memiliki frekuensi tunggal 5 Hz dan sudut fase-nya nol, maka script
untuk membuat grafik gelombang tersebut adalah
1
2
3
clc
clear
close
4
5
6
7
8
9
A = 1; % amplitudo
f = 5; % frekuensi
theta = 0; % sudut fase gelombang
t = 0:0.001:1; % t_awal = 0; t_akhir = 1; interval = 0.001
y = A * sin(2*pi*f*t + theta); % persamaan gelombang
10
11
plot(t,y)
% menggambar grafik persamaan gelombang
Grafik di atas muncul karena ada fungsi plot(t,y) yang diletakkan dibaris paling akhir pada
script. Modifikasi script perlu dilakukan untuk memberi penjelasan makna dari sumbu-x dan
sumbu-y serta memberikan judul grafik
20. BAB 1. PENDAHULUAN
6
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
−0.2
−0.4
−0.6
−0.8
−1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Gambar 1.3: Grafik gelombang berfrekuensi 5 Hz
1
2
3
clc
clear
close
4
5
6
7
8
9
A = 1; % amplitudo
f = 5; % frekuensi
theta = 0; % sudut fase gelombang
t = 0:0.001:1; % t_awal = 0; t_akhir = 1; interval = 0.001
y = A * sin(2*pi*f*t + theta); % persamaan gelombang
10
11
12
13
14
plot(t,y) % menggambar grafik persamaan gelombang
xlabel(’Waktu, t (detik)’);
% melabel sumbu-x
ylabel(’Amplitudo’);
% melabel sumbu-y
title(’Gelombang berfrekuensi 5 Hz’); % judul grafik
Untuk memperbesar font judul grafik, tambahkan kata fontsize(14) pada title(), contohnya
title(’fontsize{14} Gelombang berfrekuensi 5 Hz’); % judul grafik
Bila kita perlu menggambar dua buah grafik, contoh script berikut ini bisa digunakan
1
2
3
clc
clear
close
4
5
t = 0:0.001:1;
% t_awal = 0; t_akhir = 1; interval = 0.001
6
7
8
9
10
A1 = 1; % amplitudo gelombang 1
f1 = 5; % frekuensi gelombang 1
theta1 = 0; % sudut fase gelombang 1
y1 = A1 * sin(2*pi*f1*t + theta1); % persamaan gelombang 1
11
12
13
A2 = 1;
f2 = 3;
% amplitudo gelombang 2
% frekuensi gelombang 2
21. 1.5. MEMBUAT 2 GRAFIK DALAM SATU GAMBAR
7
Gelombang berfrekuensi 5 Hz
1
0.8
0.6
Amplitudo
0.4
0.2
0
−0.2
−0.4
−0.6
−0.8
−1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Waktu, t (detik)
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Gambar 1.4: Grafik yang dilengkapi dengan keterangan sumbu-x dan sumbu-y serta judul
Gelombang berfrekuensi 5 Hz
1
0.8
0.6
Amplitudo
0.4
0.2
0
−0.2
−0.4
−0.6
−0.8
−1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Waktu, t (detik)
0.6
0.7
0.8
Gambar 1.5: Grafik yang dilengkapi dengan font judul 14pt
0.9
1
22. BAB 1. PENDAHULUAN
8
14
15
theta2 = pi/4; % sudut fase gelombang 2
y2 = A2 * sin(2*pi*f2*t + theta2); % persamaan gelombang 2
16
17
figure
18
19
20
21
22
23
subplot(2,1,1)
plot(t,y1) % menggambar grafik persamaan gelombang 1
xlabel(’Waktu, t (detik)’);
ylabel(’Amplitudo’);
title(’fontsize{14} Gelombang berfrekuensi 5 Hz’);
24
25
26
27
28
29
subplot(2,1,2)
plot(t,y2) % menggambar grafik persamaan gelombang 2
xlabel(’Waktu, t (detik)’);
ylabel(’Amplitudo’);
title(’fontsize{14} Gelombang berfrekuensi 3 Hz, fase pi/4’);
Gelombang berfrekuensi 5 Hz
Amplitudo
1
0.5
0
−0.5
−1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Waktu, t (detik)
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0.8
0.9
1
Gelombang berfrekuensi 3 Hz, fase pi/4
Amplitudo
1
0.5
0
−0.5
−1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Waktu, t (detik)
0.6
0.7
Gambar 1.6: Dua buah grafik dalam sebuah gambar
Sekarang, jika kita ingin melihat tampilan superposisi kedua gelombang di atas, maka script
berikut ini bisa digunakan
1
2
3
clc
clear
close
4
5
t = 0:0.001:1;
% t_awal = 0; t_akhir = 1; interval = 0.001
6
7
8
9
10
A1 = 1; % amplitudo gelombang 1
f1 = 5; % frekuensi gelombang 1
theta1 = 0; % sudut fase gelombang 1
y1 = A1 * sin(2*pi*f1*t + theta1); % persamaan gelombang 1
11
12
13
14
15
A2 = 1; % amplitudo gelombang 2
f2 = 3; % frekuensi gelombang 2
theta2 = pi/4; % sudut fase gelombang 2
y2 = A2 * sin(2*pi*f2*t + theta2); % persamaan gelombang 2
23. 1.5. MEMBUAT 2 GRAFIK DALAM SATU GAMBAR
9
16
17
y3 = y1 + y2;
% superposisi gelombang
18
19
figure
20
21
22
23
24
25
subplot(3,1,1)
plot(t,y1) % menggambar grafik persamaan gelombang 1
xlabel(’Waktu, t (detik)’);
ylabel(’Amplitudo’);
title(’fontsize{14} Gelombang berfrekuensi 5 Hz’);
26
27
28
29
30
31
subplot(3,1,2)
plot(t,y2) % menggambar grafik persamaan gelombang 2
xlabel(’Waktu, t (detik)’);
ylabel(’Amplitudo’);
title(’fontsize{14} Gelombang berfrekuensi 3 Hz, fase pi/4’);
32
36
37
Gelombang berfrekuensi 5 Hz
Amplitudo
35
subplot(3,1,3)
plot(t,y3) % menggambar grafik superposisi gelombang
xlabel(’Waktu, t (detik)’);
ylabel(’Amplitudo’);
title(’fontsize{14} Superposisi gelombang 5 Hz dan 3 Hz’);
1
0
−1
0
0.2
0.4
0.6
Waktu, t (detik)
0.8
1
Gelombang berfrekuensi 3 Hz, fase pi/4
Amplitudo
34
1
0
−1
0
0.2
0.4
0.6
Waktu, t (detik)
0.8
1
Superposisi gelombang 5 Hz dan 3 Hz
Amplitudo
33
2
0
−2
0
0.2
0.4
0.6
Waktu, t (detik)
0.8
Gambar 1.7: Tiga buah grafik dalam sebuah gambar
1
24. BAB 1. PENDAHULUAN
10
1.6
Latihan
1. Jarak tempuh mobil balap yang bergerak dengan percepatan 2 m/dt2 dari posisi diam
ditentukan oleh rumus berikut
1
s = vo t + at2
2
Buatlah script untuk menggambarkan grafik jarak tempuh terhadap waktu dimulai dari
t = 0 hingga t = 20 dt.
2. Sebuah elektron memasuki area yang dipengaruhi oleh medan listrik seperti gambar
berikut dimana diketahui besar muatan elektron = 1,6×10−19 C, massa elektron = 9,11×10−31
kg, kecepatan v = 3×106 m/dt, kuat medan listrik E = 200 N/C , dan panjang plat ℓ = 0,1
meter. Posisi koordinat elektron memenuhi persamaan
x = vt
y=−
1 eE 2
t
2 m
dimana percepatan
a=
eE
m
Buatlah script untuk menentukan variasi posisi elektron (x, y) terhadap waktu (t), mulai
dari t = 0 detik hingga t = 3,33×10−8 detik dengan interval waktu 3,33×10−10 detik.
3. Berkali-kali bola ditendang dari depan gawang ke tengah lapangan oleh penjaga gawang
yang sedang berlatih. Misalnya bola ditendang sedemikian rupa sehingga bola selalu
bergerak dengan kecepatan awal 5 m/dt. Diketahui konstanta gravitasi adalah 9,8 m/dt2 .
(a) Plot variasi ketinggian maksimum bola bila sudut tendangan bervariasi dari 30o
hingga 60o dengan interval 5o . Persamaan untuk menghitung ketinggian maksimum adalah
hmaks =
2
vo sin2 α
2g
(1.3)
(b) Plot variasi jangkauan maksimum bola bila sudut tendangan bervariasi dari 30o
hingga 60o dengan interval 5o . Persamaan untuk menghitung jangkauan maksimum
adalah
xmaks =
2
vo sin 2α
g
(c) Buatlah fungsi eksternal untuk masing-masing persamaan di atas.
(1.4)
25. 1.6. LATIHAN
11
4. Sebuah bola konduktor pejal memiliki jari-jari sebesar 0,75 meter. Kuat medan listrik
yang terukur pada permukaan kulit bola diketahui sebesar 890 N/C dan mengarah ke
pusat bola. Dengan memanfaatkan hukum Gauss, tentukan:
(a) Tuliskan script matlab untuk menggambarkan kurva kuat medan listrik vs jarak,
mulai dari 0 meter hingga 10 meter.
(b) Plot gambar kurva-nya
5. Tuliskan sebuah script untuk menggambar superposisi gelombang yang terbentuk dari 9
gelombang berfrekuensi 9 Hz, 18 Hz, 27 Hz, 35 Hz, 47 Hz, 57 Hz, 65 Hz, 74 Hz dan 82
Hz.
6. Sebuah kapasitor 8 µF dan sebuah induktor sebesar 25 mH, masing-masing dihubungkan
ke sumber tegangan bolak-balik 150 Volt dengan frekuensi 60 Hz.
(a) Tentukan nilai reaktansi kapasitif pada rangkaian (a); dan reaktansi induktif pada
rangkaian (b).
(b) Tuliskan script matlab untuk menggambarkan kurva arus dan tegangan pada rangkaian (a); kemudian plot gambar kurva-nya.
(c) Tuliskan script matlab untuk menggambarkan kurva arus dan tegangan pada rangkaian (b); kemudian plot gambar kurva-nya.
7. Muatan Q1 sebesar 4µC terletak pada x = -1; sementara Q2 = 4µC terletak pada x = 1.
Buatlah script matlab untuk tujuan:
(a) menghitung medan listrik pada x = -2
(b) menghitung medan listrik pada x = 0 (cek: dititik ini, medannya harus NOL)
(c) menghitung medan listrik pada x = 2 (cek: besar medan harus sesuai dengan point
pertanyaan (a))
(d) menghitung medan listrik pada -1 x 1 dengan interval 0.1
(e) plot kurva perhitungan di atas. (cek: nilai medan terkecil ada di x = 0; dan nilai
medan meningkat ketika mendekati x = -1 atau x = 1)
(f) menghitung medan listrik pada -10 x -1 dengan interval 0.1
26. BAB 1. PENDAHULUAN
12
(g) plot kurva perhitungan di atas. (cek: nilai medan harus meningkat ketika mendekati
x = -1)
(h) menghitung medan listrik pada 1 x 10 dengan interval 0.1
(i) plot kurva perhitungan di atas. (cek: nilai medan harus meningkat ketika mendekati
x = 1)
(j) plot kurva medan listrik dari x = -10 hingga x = 10 dengan interval 0.1
8. Muatan Q1 sebesar 4µC terletak pada x = -1; sementara Q2 = 20µC terletak pada x = 1.
Buatlah script matlab untuk tujuan:
(a) plot kurva medan listrik dari x = -10 hingga x = 10 dengan interval 0.1
(b) menghitung medan listrik pada x = 0 (cek: dititik ini, medannya TIDAK NOL; dimanakah posisi yang medannya NOL ?)
(c) mencari titik x yang medan-nya nol pada -1 x 1
(d) mencari titik-titik x yang medannya bernilai 20000
9. Muatan Q1 sebesar 4µC terletak pada x = -1; sementara Q2 = 4µC terletak pada x = 1.
Buatlah script matlab untuk tujuan:
(a) menghitung potensial listrik pada x = -2
(b) menghitung potensial listrik pada x = 0
(c) menghitung potensial listrik pada x = 2 (cek: besar potensial harus sama dengan
point pertanyaan (a))
(d) menghitung medan listrik pada -1 x 1 dengan interval 0.1
(e) plot kurva perhitungan di atas. (cek: nilai potensial listrik terkecil ada di x = 0; dan
nilai potensial listrik meningkat ketika mendekati x = -1 atau x = 1)
(f) menghitung potensial listrik pada -10 x -1 dengan interval 0.1
(g) plot kurva perhitungan di atas. (cek: nilai potensial listrik harus meningkat ketika
mendekati x = -1)
(h) menghitung potensial listrik pada 1 x 10 dengan interval 0.1
(i) plot kurva perhitungan di atas. (cek: nilai potensial harus meningkat ketika mendekati
x = 1)
(j) plot kurva potensial listrik dari x = -10 hingga x = 10 dengan interval 0.1
10. Muatan Q1 sebesar 4µC terletak pada x = -1; sementara Q2 = -20µC terletak pada x = 1.
Buatlah script matlab untuk tujuan:
(a) plot kurva potensial listrik dari x = -10 hingga x = 10 dengan interval 0.1
(b) menghitung potensial listrik pada x = 0
27. 1.6. LATIHAN
13
11. Sebuah bola pejal memiliki jari-jari sebesar 0,75 meter. Kuat medan listrik yang terukur
pada permukaan bola diketahui sebesar 890 N/C dan mengarah keluar bola. Dengan
memanfaatkan hukum Gauss, tentukan:
(a) Total muatan yang terdapat pada kulit bola
(b) Apakah muatan-nya positif atau negatif ?
(c) Kuat medan listrik pada jarak 1 meter dari pusat bola
(d) Kuat medan listrik pada jarak 0,5 meter dari pusat bola
(e) Buatlah script matlab untuk menggambarkan kurva kuat medan listrik terhadap
jarak mulai dari pusat bola sampai ke jarak 3 meter
29. Bab 2
Matrik dan Komputasi
Objektif :
⊲ Mengenalkan matrik, vektor dan jenis-jenis matrik.
⊲ Mendeklarasikan elemen-elemen matrik ke dalam memori komputer.
⊲ Mengenalkan operasi penjumlahan dan perkalian matrik.
⊲ Membuat script operasi matrik.
2.1
Mengenal matrik
Notasi suatu matrik berukuran n x m ditulis dengan huruf besar dan dicetak tebal, misalnya
An×m . Huruf n menyatakan jumlah baris, dan huruf m jumlah kolom. Suatu matrik tersusun
atas elemen-elemen yang dinyatakan dengan huruf kecil lalu diikuti oleh angka-angka indeks,
misalnya aij . Indeks i menunjukkan posisi baris ke-i dan indeks j menentukan posisi kolom
ke-j.
a11
a12
. . . a1m
a21
A = (aij ) = .
.
.
a22
.
.
.
. . . a2m
.
.
.
(2.1)
an1 an2 . . . anm
Pada matrik ini, a11 , a12 , ..., a1m adalah elemen-elemen yang menempati baris pertama. Sementara a12 , a22 , ..., an2 adalah elemen-elemen yang menempati kolom kedua.
Contoh 1: Matrik A2×3
A=
3 8 5
6 4 7
dimana masing-masing elemennya adalah a11 = 3, a12 = 8, a13 = 5, a21 = 6, a22 = 4, dan
a23 = 7.
15
30. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
16
Contoh 2: Matrik B3×2
1 3
B = 5 9
2 4
dimana masing-masing elemennya adalah b11 = 1, b12 = 3, b21 = 5, b22 = 9, b31 = 2, dan
b32 = 4.
2.2
Vektor-baris dan vektor-kolom
Notasi vektor biasanya dinyatakan dengan huruf kecil dan dicetak tebal. Suatu matrik dinamakan vektor-baris berukuran m, bila hanya memiliki satu baris dan m kolom, yang dinyatakan sebagai berikut
a = a11 a12 . . . a1m = a1 a2 . . . am
(2.2)
Sedangkan suatu matrik dinamakan vektor-kolom berukuran n, bila hanya memiliki satu kolom
dan n baris, yang dinyatakan sebagai berikut
a11
a1
a21 a2
a= . = .
. .
. .
an1
an
2.3
(2.3)
Inisialisasi matrik dalam memori komputer
Sebelum dilanjutkan, saya sarankan agar anda mencari tahu sendiri bagaimana cara membuat
m-file di Matlab dan bagaimana cara menjalankannya. Karena semua source code yang terdapat
dalam buku ini ditulis dalam m-file. Walaupun sangat mudah untuk melakukan copy-paste, namun dalam upaya membiasakan diri menulis source code di m-file, saya anjurkan anda menulis
ulang semuanya.
Dalam Matlab terdapat 3 cara inisialisasi matrik. Cara pertama1 , sesuai dengan Contoh 1,
adalah
clear all
clc
1
2
3
A(1,1)
A(1,2)
A(1,3)
A(2,1)
A(2,2)
A(2,3)
A
4
5
6
7
8
9
10
1
=
=
=
=
=
=
3;
8;
5;
6;
4;
7;
Cara ini bisa diterapkan pada bahasa C, Fortran, Pascal, Delphi, Java, Basic, dll. Sementara cara kedua dan cara
ketiga hanya akan dimengerti oleh Matlab
31. 2.4. MACAM-MACAM MATRIK
17
Sedangkan untuk matrik B3×2 , sesuai Contoh 2 adalah
clear all
clc
1
2
3
B(1,1)
B(1,2)
B(2,1)
B(2,2)
B(3,1)
B(3,2)
B
4
5
6
7
8
9
10
=
=
=
=
=
=
1;
3;
5;
9;
2;
4;
Cara kedua relatif lebih mudah dan benar-benar merepresentasikan dimensi matriknya, dimana jumlah baris dan jumlah kolom terlihat dengan jelas.
clear all
clc
1
2
3
A=[ 3 8 5
6 4 7 ];
4
5
6
B=[ 1 3
5 9
2 4 ];
7
8
9
Cara ketiga jauh lebih singkat, namun tidak menunjukkan dimensi matrik lantaran ditulis
hanya dalam satu baris.
clear all
clc
1
2
3
A=[ 3 8 5 ; 6 4 7 ];
B=[ 1 3 ; 5 9 ; 2 4];
4
5
2.4
Macam-macam matrik
2.4.1 Matrik transpose
Operasi transpose terhadap suatu matrik akan menukar elemen-elemen kolom menjadi elemenelemen baris. Notasi matrik tranpose adalah AT atau At .
Contoh 3: Operasi transpose terhadap matrik A
A=
3 8 5
6 4 7
3 6
AT = 8 4
5 7
Dengan Matlab, operasi transpose cukup dilakukan dengan menambahkan tanda petik tunggal di depan nama matriknya
32. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
18
1
2
clear all
clc
3
4
5
A=[ 3 8 5
6 4 7 ];
6
7
AT = A’;
2.4.2 Matrik bujursangkar
Matrik bujursangkar adalah matrik yang jumlah baris dan jumlah kolomnya sama.
Contoh 4: Matrik bujursangkar berukuran 3x3 atau sering juga disebut matrik bujursangkar
orde 3
1 3 8
A = 5 9 7
2 4 6
2.4.3 Matrik simetrik
Matrik simetrik adalah matrik bujursangkar yang elemen-elemen matrik transpose-nya bernilai sama dengan matrik asli-nya.
Contoh 5: Matrik simetrik
2 −3 7 1
−3 5 6 −2
A=
6 9 8
7
1 −2 8 10
2
−3
A =
7
T
1
−3 7
1
6 −2
6 9 8
−2 8 10
5
2.4.4 Matrik diagonal
Matrik diagonal adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen-nya bernilai 0 (nol), kecuali
elemen-elemen diagonalnya.
Contoh 6: Matrik diagonal orde 3
11 0
A = 0 29
0
0
0
0
61
2.4.5 Matrik identitas
Matrik identitas adalah matrik bujursangkar yang semua elemen-nya bernilai 0 (nol), kecuali
elemen-elemen diagonal yang seluruhnya bernilai 1.
Contoh 7: Matrik identitas orde 3
1 0 0
I = 0 1 0
0 0 1
33. 2.4. MACAM-MACAM MATRIK
19
2.4.6 Matrik upper-triangular
Matrik upper-tringular adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen dibawah elemen diagonal bernilai 0 (nol).
Contoh 8: Matrik upper-triangular
3
0
A=
0
0
6 2 1
4 1 5
0 8 7
0 0 9
2.4.7 Matrik lower-triangular
Matrik lower-tringular adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen diatas elemen diagonal bernilai 0 (nol).
Contoh 9: Matrik lower-triangular
0
32 −2 0 0
A=
8
7 11 0
−5 10 6 9
12
0
0
2.4.8 Matrik tridiagonal
Matrik tridiagonal adalah matrik bujursangkar yang seluruh elemen bukan 0 (nol) berada disekitar elemen diagonal, sementara elemen lainnya bernilai 0 (nol).
Contoh 10: Matrik tridiagonal
3 6 0 0
2 −4 1 0
A=
0 5 8 −7
0 0 3 9
2.4.9 Matrik diagonal dominan
Matrik diagonal dominan adalah matrik bujursangkar yang memenuhi
n
|aii |
j=1,j=i
|aij |
(2.4)
dimana i=1,2,3,..n. Coba perhatikan matrik-matrik berikut ini
7 2 0
A = 3 5 −1
0 5 −6
−3
B = 4 −2 0
−3 0
1
6
4
34. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
20
Pada elemen diagonal aii matrik A, |7| |2|+|0|, lalu |5| |3|+|−1|, dan |−6| |5|+|0|. Maka
matrik A disebut matrik diagonal dominan. Sekarang perhatikan elemen diagonal matrik B,
|6| |4| + | − 3|, | − 2| |4| + |0|, dan |1| | − 3| + |0|. Dengan demikian, matrik B bukan matrik
diagonal dominan.
2.4.10 Matrik positive-definite
Suatu matrik dikatakan positive-definite bila matrik tersebut simetrik dan memenuhi
xT Ax 0
(2.5)
Contoh 11: Diketahui matrik simetrik berikut
2
A = −1
0
−1
0
2
−1
−1 2
untuk menguji apakah matrik A bersifat positive-definite, maka
xT Ax =
x1 x2 x3
=
x1 x2 x3
x1
−1 2 −1 x2
0 −1 2
x3
2x1 − x2
−x1 + 2x2 − x3
−x2 + 2x3
2
−1
0
= 2x2 − 2x1 x2 + 2x2 − 2x2 x3 + 2x2
1
2
3
= x2 + (x2 − 2x1 x2 + x2 ) + (x2 − 2x2 x3 + x2 ) + x2
1
1
2
2
3
3
= x2 + (x1 − x2 )2 + (x2 − x3 )2 + x2
1
3
Dari sini dapat disimpulkan bahwa matrik A bersifat positive-definite, karena memenuhi
x2 + (x1 − x2 )2 + (x2 − x3 )2 + x2 0
1
3
kecuali jika x1 =x2 =x3 =0.
2.5
Operasi matematika
2.5.1 Penjumlahan matrik
Operasi penjumlahan pada dua buah matrik hanya bisa dilakukan bila kedua matrik tersebut
berukuran sama. Misalnya matrik C2×3
C=
9 5 3
7 2 1
35. 2.5. OPERASI MATEMATIKA
21
dijumlahkan dengan matrik A2×3 , lalu hasilnya (misalnya) dinamakan matrik D2×3
D=A+C
3 8 5
D =
6 4 7
+
9 5 3
7 2 1
3+9 8+5 5+3
=
6+7 4+2 7+1
12 13 8
=
13
6
8
Tanpa mempedulikan nilai elemen-elemen masing-masing matrik, operasi penjumlahan antara
matrik A2×3 dan C2×3 , bisa juga dinyatakan dalam indeks masing-masing dari kedua matrik
tersebut, yaitu
d11 d12 d13
d21 d22 d23
=
a11 + c11 a12 + c12 a13 + c13
a21 + c21 a22 + c22 a23 + c23
Dijabarkan satu persatu sebagai berikut
d11 = a11 + c11
d12 = a12 + c12
d13 = a13 + c13
(2.6)
d21 = a21 + c21
d22 = a22 + c22
d23 = a23 + c23
Dari sini dapat diturunkan sebuah rumus umum penjumlahan dua buah matrik
dij = aij + cij
(2.7)
dimana i=1,2 dan j=1,2,3. Perhatikan baik-baik! Batas i hanya sampai angka 2 sementara
batas j sampai angka 3. Kemampuan anda dalam menentukan batas indeks sangat penting
dalam dunia programming.
2.5.2 Komputasi penjumlahan matrik
Berdasarkan contoh operasi penjumlahan di atas, indeks j pada persamaan (2.7) lebih cepat
berubah dibanding indeks i sebagaimana ditulis pada 3 baris pertama dari Persamaan (2.6),
d11 = a11 + c11
d12 = a12 + c12
d13 = a13 + c13
36. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
22
Jelas terlihat, ketika indeks i masih bernilai 1, indeks j sudah berubah dari nilai 1 sampai 3.
Hal ini membawa konsekuensi pada script pemrograman, dimana looping untuk indeks j harus
diletakkan di dalam looping indeks i. Aturan mainnya adalah yang looping-nya paling cepat
harus diletakkan paling dalam; sebaliknya, looping terluar adalah looping yang indeksnya
paling jarang berubah.
Bila anda masih belum paham terhadap kalimat yang dicetak tebal, saya akan berikan contoh source code dasar yang nantinya akan kita optimasi selangkah demi selangkah. OK, kita
mulai dari source code paling mentah berikut ini.
1
2
clear all
clc
3
4
A=[3 8 5; 6 4 7];
% inisialisasi matrik A
C=[9 5 3; 7 2 1];
% inisialisasi matrik B
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
% ---proses penjumlahan matrik---D(1,1)=A(1,1)+C(1,1);
D(1,2)=A(1,2)+C(1,2);
D(1,3)=A(1,3)+C(1,3);
D(2,1)=A(2,1)+C(2,1);
D(2,2)=A(2,2)+C(2,2);
D(2,3)=A(2,3)+C(2,3);
15
16
17
18
19
% ---menampilkan matrik A, C dan D---A
C
D
Tanda % berfungsi untuk memberikan komentar atau keterangan. Komentar atau keterangan tidak akan diproses oleh Matlab. Saya yakin anda paham dengan logika yang ada pada
bagian % —proses penjumlahan matrik—- dalam source code di atas. Misalnya pada baris ke-9,
elemen d11 adalah hasil penjumlahan antara elemen a11 dan c11 , sesuai dengan baris pertama
Persamaan 2.6.
Tahap pertama penyederhanaan source code dilakukan dengan menerapkan perintah for end untuk proses looping. Source code tersebut berubah menjadi
1
2
clear all
clc
3
4
A=[3 8 5; 6 4 7];
% inisialisasi matrik A
C=[9 5 3; 7 2 1];
% inisialisasi matrik B
5
6
7
8
9
10
11
% ---proses penjumlahan matrik---for j=1:3
D(1,j)=A(1,j)+C(1,j);
end
12
13
14
15
for j=1:3
D(2,j)=A(2,j)+C(2,j);
end
37. 2.5. OPERASI MATEMATIKA
23
16
17
18
19
20
% ---menampilkan matrik A, C dan D---A
C
D
Pada baris ke-9 dan ke-13, saya mengambil huruf j sebagai nama indeks dimana j bergerak
dari 1 sampai 3. Coba anda pikirkan, mengapa j hanya bergerak dari 1 sampai 3?
Modifikasi tahap kedua adalah sebagai berikut
1
2
clear all
clc
3
4
A=[3 8 5; 6 4 7];
% inisialisasi matrik A
C=[9 5 3; 7 2 1];
% inisialisasi matrik B
5
6
7
8
9
10
11
12
% ---proses penjumlahan matrik---i=1
for j=1:3
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
13
14
15
16
17
i=2
for j=1:3
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
18
19
20
21
22
% ---menampilkan matrik A, C dan D---A
C
D
Saya gunakan indeks i pada baris ke-9 dan ke-14 yang masing-masing berisi angka 1 dan 2.
Dengan begitu indeks i bisa menggantikan angka 1 dan 2 yang semula ada di baris ke-11 dan
ke-16. Nah sekarang coba anda perhatikan, statemen pada baris ke-10, ke-11 dan ke-12 sama
persis dengan statemen pada baris ke-15, ke-16 dan ke-17, sehingga mereka bisa disatukan
kedalam sebuah looping yang baru dimana i menjadi nama indeksnya.
1
2
clear all
clc
3
4
A=[3 8 5; 6 4 7];
% inisialisasi matrik A
C=[9 5 3; 7 2 1];
% inisialisasi matrik B
5
6
7
8
9
10
11
12
13
% ---proses penjumlahan matrik---for i=1:2
for j=1:3
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
end
14
15
% ---menampilkan matrik A, C dan D----
38. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
24
16
17
18
A
C
D
Coba anda pahami dari baris ke-9, mengapa indeks i hanya bergerak dari 1 sampai 2?
Source code di atas memang sudah tidak perlu dimodifikasi lagi, namun ada sedikit saran
untuk penulisan looping bertingkat dimana sebaiknya looping terdalam ditulis agak menjorok
kedalam seperti berikut ini
1
2
clear all
clc
3
4
A=[3 8 5; 6 4 7];
% inisialisasi matrik A
C=[9 5 3; 7 2 1];
% inisialisasi matrik B
5
6
7
8
9
10
11
12
13
% ---proses penjumlahan matrik---for i=1:2
for j=1:3
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
end
14
15
16
17
18
% ---menampilkan matrik A, C dan D---A
C
D
Sekarang anda lihat bahwa looping indeks j ditulis lebih masuk kedalam dibandingkan looping indeks i. Semoga contoh ini bisa memperjelas aturan umum pemrograman dimana yang
looping-nya paling cepat harus diletakkan paling dalam; sebaliknya, looping terluar adalah
looping yang indeksnya paling jarang berubah. Dalam contoh ini looping indeks j bergerak
lebih cepat dibanding looping indeks i.
2.5.3 Perkalian matrik
Operasi perkalian dua buah matrik hanya bisa dilakukan bila jumlah kolom matrik pertama
sama dengan jumlah baris matrik kedua. Jadi kedua matrik tersebut tidak harus berukuran
sama seperti pada penjumlahan dua matrik. Misalnya matrik A2×3 dikalikan dengan matrik
B3×2 , lalu hasilnya (misalnya) dinamakan matrik E2×2
E2×2 = A2×3 .B3×2
39. 2.5. OPERASI MATEMATIKA
E =
=
=
25
1 3
3 8 5
5 9
6 4 7
2 4
3.1 + 8.5 + 5.2 3.3 + 8.9 + 5.4
6.1 + 4.5 + 7.2 6.3 + 4.9 + 7.4
53 101
40
82
Tanpa mempedulikan nilai elemen-elemen masing-masing matrik, operasi perkalian antara
matrik A2×3 dan B3×2 , bisa juga dinyatakan dalam indeks masing-masing dari kedua matrik
tersebut, yaitu
e11 e12
e21 e22
=
a11 .b11 + a12 .b21 + a13 .b31 a11 .b12 + a12 .b22 + a13 .b32
a21 .b11 + a22 .b21 + a23 .b31 a21 .b12 + a22 .b22 + a23 .b32
Bila dijabarkan, maka elemen-elemen matrik E2×2 adalah
e11 = a11 .b11 + a12 .b21 + a13 .b31
(2.8)
e12 = a11 .b12 + a12 .b22 + a13 .b32
(2.9)
e21 = a21 .b11 + a22 .b21 + a23 .b31
(2.10)
e22 = a21 .b12 + a22 .b22 + a23 .b32
(2.11)
Sejenak, mari kita amati perubahan pasangan angka-angka indeks yang mengiringi elemen
e, elemen a dan elemen b mulai dari persamaan (2.8) sampai persamaan (2.11). Perhatikan
perubahan angka-indeks-pertama pada elemen e seperti berikut ini
e1.. = ..
e1.. = ..
e2.. = ..
e2.. = ..
Pola perubahan yang sama akan kita dapati pada angka-indeks-pertama dari elemen a
e1.. = a1.. .b... + a1.. .b... + a1.. .b...
e1.. = a1.. .b... + a1.. .b... + a1.. .b...
e2.. = a2.. .b... + a2.. .b... + a2.. .b...
e2.. = a2.. .b... + a2.. .b... + a2.. .b...
Dengan demikian kita bisa mencantumkan huruf i sebagai pengganti angka-angka indeks
40. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
26
yang polanya sama
ei.. = ai.. .b... + ai.. .b... + ai.. .b...
ei.. = ai.. .b... + ai.. .b... + ai.. .b...
ei.. = ai.. .b... + ai.. .b... + ai.. .b...
ei.. = ai.. .b... + ai.. .b... + ai.. .b...
dimana i bergerak mulai dari angka 1 hingga angka 2, atau kita nyatakan i=1,2. Selanjutnya, masih dari persamaan (2.8) sampai persamaan (2.11), marilah kita perhatikan perubahan
angka-indeks-kedua pada elemen e dan elemen b,
ei1 = ai.. .b..1 + ai.. .b..1 + ai.. .b..1
ei2 = ai.. .b..2 + ai.. .b..2 + ai.. .b..2
ei1 = ai.. .b..1 + ai.. .b..1 + ai.. .b..1
ei2 = ai.. .b..2 + ai.. .b..2 + ai.. .b..2
Dengan demikian kita bisa mencantumkan huruf j sebagai pengganti angka-angka indeks
yang polanya sama
eij = ai.. .b..j + ai.. .b..j + ai.. .b..j
eij = ai.. .b..j + ai.. .b..j + ai.. .b..j
eij = ai.. .b..j + ai.. .b..j + ai.. .b..j
eij = ai.. .b..j + ai.. .b..j + ai.. .b..j
dimana j bergerak mulai dari angka 1 hingga angka 2, atau kita nyatakan j=1,2. Selanjutnya,
masih dari persamaan (2.8) sampai persamaan (2.11), mari kita perhatikan perubahan angkaindeks-kedua elemen a dan angka-indeks-pertama elemen b, dimana kita akan dapati pola
sebagai berikut
eij = ai1 .b1j + ai2 .b2j + ai3 .b3j
eij = ai1 .b1j + ai2 .b2j + ai3 .b3j
eij = ai1 .b1j + ai2 .b2j + ai3 .b3j
eij = ai1 .b1j + ai2 .b2j + ai3 .b3j
Dan kita bisa mencantumkan huruf k sebagai pengganti angka-angka indeks yang polanya
41. 2.5. OPERASI MATEMATIKA
27
sama, dimana k bergerak mulai dari angka 1 hingga angka 3, atau kita nyatakan k=1,2,3.
eij = aik .bkj + aik .bkj + aik .bkj
eij = aik .bkj + aik .bkj + aik .bkj
eij = aik .bkj + aik .bkj + aik .bkj
eij = aik .bkj + aik .bkj + aik .bkj
Kemudian secara sederhana dapat ditulis sebagai berikut
eij = aik .bkj + aik .bkj + aik .bkj
(2.12)
Selanjutnya dapat ditulis pula formula berikut
3
aik bkj
eij =
(2.13)
k=1
dimana i=1,2; j=1,2; dan k=1,2,3.
Berdasarkan contoh ini, maka secara umum bila ada matrik An×m yang dikalikan dengan matrik Bm×p , akan didapatkan matrik En×p dimana elemen-elemen matrik E memenuhi
m
aik bkj
eij =
(2.14)
k=1
dengan i=1,2,. . . ,n; j=1,2. . . ,p; dan k=1,2. . . ,m.
2.5.4 Komputasi perkalian matrik
Mari kita mulai lagi dari source code paling dasar dari operasi perkalian matrik sesuai dengan
contoh di atas.
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
% ---proses perkalian matrik---E(1,1)=A(1,1)*B(1,1)+A(1,2)*B(2,1)+A(1,3)*B(3,1);
E(1,2)=A(1,1)*B(1,2)+A(1,2)*B(2,2)+A(1,3)*B(3,2);
E(2,1)=A(2,1)*B(1,1)+A(2,2)*B(2,1)+A(2,3)*B(3,1);
E(2,2)=A(2,1)*B(1,2)+A(2,2)*B(2,2)+A(2,3)*B(3,2);
12
13
14
15
16
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
42. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
28
Sejenak, mari kita amati dengan cermat statemen dari baris ke-9 sampai ke-12 sambil dikaitkan
dengan bentuk umum penulisan indeks pada perkalian matrik yaitu
eij = aik .bkj + aik .bkj + aik .bkj
(2.15)
Dari sana ada 4 point yang perlu dicatat:
• elemen e memiliki indeks i dan indeks j dimana indeks j lebih cepat berubah dibanding
indeks i.
• pada baris statemen ke-8 sampai ke-11 ada tiga kali operasi perkalian dan dua kali operasi penjumlahan yang semuanya melibatkan indeks i, indeks j dan indeks k. Namun indeks k selalu berubah pada masing-masing perkalian. Jadi indeks k paling cepat
berubah dibanding indeks i dan indeks j.
• elemen a memiliki indeks i dan indeks k dimana indeks k lebih cepat berubah dibanding
indeks i.
• elemen b memiliki indeks k dan indeks j dimana indeks k lebih cepat berubah dibanding
indeks j.
Tahapan modifikasi source code perkalian matrik tidak semudah penjumlahan matrik. Dan
mengajarkan logika dibalik source code perkalian matrik jauh lebih sulit daripada sekedar
memodifikasi source code tersebut. Tapi akan saya coba semampu saya lewat tulisan ini walau
harus perlahan-lahan. Mudah-mudahan mudah untuk dipahami.
Saya mulai dengan memecah operasi pada statemen baris ke-8 yang bertujuan menghitung
nilai E(1, 1)
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
% ---proses perkalian matrik---% ---E(1,1) dihitung 3 kali
E(1,1)=A(1,1)*B(1,1);
E(1,1)=E(1,1)+A(1,2)*B(2,1);
E(1,1)=E(1,1)+A(1,3)*B(3,1);
12
13
14
15
16
% ---E(1,2); E(2,1); dan E(2,2) masih seperti semula
E(1,2)=A(1,1)*B(1,2)+A(1,2)*B(2,2)+A(1,3)*B(3,2);
E(2,1)=A(2,1)*B(1,1)+A(2,2)*B(2,1)+A(2,3)*B(3,1);
E(2,2)=A(2,1)*B(1,2)+A(2,2)*B(2,2)+A(2,3)*B(3,2);
17
18
19
20
21
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Agar baris ke-9 memiliki pola yang sama dengan baris ke-11 dan ke-12, upaya yang dilakukan
adalah
43. 2.5. OPERASI MATEMATIKA
1
2
29
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
% ---proses perkalian matrik---% ---E(1,1) dihitung 3 kali
E(1,1)=0;
E(1,1)=E(1,1)+A(1,1)*B(1,1);
E(1,1)=E(1,1)+A(1,2)*B(2,1);
E(1,1)=E(1,1)+A(1,3)*B(3,1);
13
14
15
16
17
% ---E(1,2); E(2,1); dan E(2,2) masih seperti semula
E(1,2)=A(1,1)*B(1,2)+A(1,2)*B(2,2)+A(1,3)*B(3,2);
E(2,1)=A(2,1)*B(1,1)+A(2,2)*B(2,1)+A(2,3)*B(3,1);
E(2,2)=A(2,1)*B(1,2)+A(2,2)*B(2,2)+A(2,3)*B(3,2);
18
19
20
21
22
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Dari sini kita bisa munculkan indeks k
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
% ---proses perkalian matrik---E(1,1)=0;
for k=1:3
% k bergerak dari 1 sampai 3
E(1,1)=E(1,1)+A(1,k)*B(k,1);
end
12
13
14
15
16
% ---E(1,2); E(2,1); dan E(2,2) masih seperti semula
E(1,2)=A(1,1)*B(1,2)+A(1,2)*B(2,2)+A(1,3)*B(3,2);
E(2,1)=A(2,1)*B(1,1)+A(2,2)*B(2,1)+A(2,3)*B(3,1);
E(2,2)=A(2,1)*B(1,2)+A(2,2)*B(2,2)+A(2,3)*B(3,2);
17
18
19
20
21
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Kemudian cara yang sama dilakukan pada E(1, 2), E(2, 1), dan E(2, 2). Anda mesti cermat
dan hati-hati dalam menulis angka-angka indeks!!!
1
2
clear all
clc
3
4
5
6
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
44. 30
7
8
9
10
11
BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
% ---proses perkalian matrik---E(1,1)=0;
for k=1:3
E(1,1)=E(1,1)+A(1,k)*B(k,1);
end
12
13
14
15
16
E(1,2)=0;
for k=1:3
E(1,2)=E(1,2)+A(1,k)*B(k,2);
end
17
18
19
20
21
E(2,1)=0;
for k=1:3
E(2,1)=E(2,1)+A(2,k)*B(k,1);
end
22
23
24
25
26
E(2,2)=0;
for k=1:3
E(2,2)=E(2,2)+A(2,k)*B(k,2);
end
27
28
29
30
31
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Inisialisasi elemen-elemen matrik E dengan angka nol, bisa dilakukan diawal proses perkalian
yang sekaligus memunculkan indeks i dan j untuk elemen E
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
% ---proses perkalian matrik---for i=1:2
% i bergerak dari 1 sampai 2
for j=1:2
% j bergerak dari 1 sampai 2
E(i,j)=0;
end
end
13
14
15
16
for k=1:3
E(1,1)=E(1,1)+A(1,k)*B(k,1);
end
17
18
19
20
for k=1:3
E(1,2)=E(1,2)+A(1,k)*B(k,2);
end
21
22
23
24
for k=1:3
E(2,1)=E(2,1)+A(2,k)*B(k,1);
end
25
26
27
28
29
for k=1:3
E(2,2)=E(2,2)+A(2,k)*B(k,2);
end
45. 2.5. OPERASI MATEMATIKA
30
31
32
33
31
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Sekarang coba anda perhatikan statemen pada baris ke-15 dan ke-19, lalu bandingkan indeks
i dan indeks j pada elemen E. Indeks mana yang berubah? Ya. Jawabannya adalah indeks j.
Dengan demikian kita bisa munculkan indeks j
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
% ---proses perkalian matrik---for i=1:2
% i bergerak dari 1 sampai 2
for j=1:2
% j bergerak dari 1 sampai 2
E(i,j)=0;
end
end
13
14
15
16
17
j=1;
for k=1:3
E(1,j)=E(1,j)+A(1,k)*B(k,j);
end
18
19
20
21
22
j=2;
for k=1:3
E(1,j)=E(1,j)+A(1,k)*B(k,j);
end
23
24
25
26
for k=1:3
E(2,1)=E(2,1)+A(2,k)*B(k,1);
end
27
28
29
30
for k=1:3
E(2,2)=E(2,2)+A(2,k)*B(k,2);
end
31
32
33
34
35
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Lihatlah, statemen dari baris ke-15 sampai ke-17 memiliki pola yang sama dengan statemen
dari baris ke-20 sampai ke-22, sehingga mereka bisa disatukan kedalam looping indeks j
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
% ---proses perkalian matrik---for i=1:2
% i bergerak dari 1 sampai 2
46. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
32
for j=1:2
E(i,j)=0;
end
9
10
11
12
% j bergerak dari 1 sampai 2
end
13
14
15
16
17
18
for j=1:2
for k=1:3
E(1,j)=E(1,j)+A(1,k)*B(k,j);
end
end
19
20
21
22
for k=1:3
E(2,1)=E(2,1)+A(2,k)*B(k,1);
end
23
24
25
26
for k=1:3
E(2,2)=E(2,2)+A(2,k)*B(k,2);
end
27
28
29
30
31
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Sekarang coba sekali lagi anda perhatikan statemen pada baris ke-21 dan ke-25, lalu bandingkan indeks i dan indeks j pada elemen E. Indeks mana yang berubah? Ya. Jawabannya
tetap indeks j. Dengan demikian kita bisa munculkan juga indeks j disana
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
% ---proses perkalian matrik---for i=1:2
% i bergerak dari 1 sampai 2
for j=1:2
% j bergerak dari 1 sampai 2
E(i,j)=0;
end
end
13
14
15
16
17
18
for j=1:2
for k=1:3
E(1,j)=E(1,j)+A(1,k)*B(k,j);
end
end
19
20
21
22
23
j=1;
for k=1:3
E(2,j)=E(2,j)+A(2,k)*B(k,j);
end
24
25
26
27
28
29
j=2;
for k=1:3
E(2,j)=E(2,j)+A(2,k)*B(k,j);
end
47. 2.5. OPERASI MATEMATIKA
30
31
32
33
33
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Cermatilah, statemen dari baris ke-21 sampai ke-23 memiliki pola yang sama dengan statemen
dari baris ke-25 sampai ke-27, sehingga mereka pun bisa disatukan kedalam looping indeks j
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
% ---proses perkalian matrik---for i=1:2
% i bergerak dari 1 sampai 2
for j=1:2
% j bergerak dari 1 sampai 2
E(i,j)=0;
end
end
13
14
15
16
17
18
for j=1:2
for k=1:3
E(1,j)=E(1,j)+A(1,k)*B(k,j);
end
end
19
20
21
22
23
24
for j=1:2
for k=1:3
E(2,j)=E(2,j)+A(2,k)*B(k,j);
end
end
25
26
27
28
29
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Akhirnya kita sampai pada bagian akhir tahapan modifikasi. Perhatikan baris ke-16 dan ke-22.
Indeks i pada elemen E dan A bergerak dari 1 ke 2, sehingga indeks i bisa dimunculkan
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
% ---proses perkalian matrik---for i=1:2
% i bergerak dari 1 sampai 2
for j=1:2
% j bergerak dari 1 sampai 2
E(i,j)=0;
end
end
13
14
15
i=1;
for j=1:2
48. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
34
for k=1:3
E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j);
end
16
17
18
19
end
20
21
22
23
24
25
26
i=2;
for j=1:2
for k=1:3
E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j);
end
end
27
28
29
30
31
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Sekarang, statemen dari baris ke-15 sampai ke-19 memiliki pola yang sama dengan statemen
dari baris ke-22 sampai ke-26. Mereka bisa disatukan oleh looping indeks i
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
% ---proses perkalian matrik---for i=1:2
for j=1:2
E(i,j)=0;
end
end
13
14
15
16
17
18
19
20
for i=1:2
for j=1:2
for k=1:3
E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j);
end
end
end
21
22
23
24
25
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Inilah hasil akhir dari tahapan-tahapan modifikasi yang selanjutnya saya sebut sebagai proses
optimasi. Upaya yang baru saja saya perlihatkan, sebenarnya penuh dengan jebakan-jebakan
kesalahan, terutama jika anda kurang cermat membaca indeks dan pola. Upaya seperti itu
memerlukan konsentrasi dan perhatian yang tidak sebentar. Upaya semacam itu tidak semudah meng-copy hasil akhir optimasi. Walaupun bisa di-copy, namun saya menyarankan agar
anda mencoba melakukan proses optimasi itu sekali lagi di komputer tanpa melihat catatan ini
dan tanpa bantuan orang lain. Kalau anda gagal, cobalah berfikir lebih keras untuk mencari
jalan keluarnya. Jika masih tetap gagal, silakan lihat catatan ini sebentar saja sekedar untuk
49. 2.5. OPERASI MATEMATIKA
35
mencari tahu dimana letak kesalahannya. Hanya dengan cara begitu ilmu programming ini
akan bisa menyatu pada diri anda.
2.5.5 Perkalian matrik dan vektor-kolom
Operasi perkalian antara matrik dan vektor-kolom sebenarnya sama saja dengan perkalian antara dua matrik. Hanya saja ukuran vektor-kolom boleh dibilang spesial yaitu m x 1, dimana
m merupakan jumlah baris sementara jumlah kolomnya hanya satu. Misalnya matrik A, pada contoh 1, dikalikan dengan vektor-kolom x yang berukuran 3 x 1 atau disingkat dengan
mengatakan vektor-kolom x berukuran 3, lalu hasilnya (misalnya) dinamakan vektor-kolom y
y = Ax
y =
=
=
2
3 8 5
3
6 4 7
4
3.2 + 8.3 + 5.4
6.2 + 4.3 + 7.4
50
52
Sekali lagi, tanpa mempedulikan nilai elemen-elemen masing-masing, operasi perkalian antara
matrik A dan vektor-kolom x, bisa juga dinyatakan dalam indeksnya masing-masing, yaitu
y1
y2
=
a11 .x1 + a12 .x2 + a13 .x3
a21 .x1 + a22 .x2 + a23 .x3
Bila dijabarkan, maka elemen-elemen vektor-kolom y adalah
y1 = a11 .x1 + a12 .x2 + a13 .x3
y2 = a21 .x1 + a22 .x2 + a23 .x3
kemudian secara sederhana dapat diwakili oleh rumus berikut
3
aij xj
yi =
j=1
dimana i=1,2.
Berdasarkan contoh tersebut, secara umum bila ada matrik A berukuran n x m yang dikalikan
dengan vektor-kolom x berukuran m, maka akan didapatkan vektor-kolom y berukuran n x 1
50. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
36
dimana elemen-elemen vektor-kolom y memenuhi
m
aij xj
yi =
(2.16)
j=1
dengan i=1,2,. . . ,n.
2.5.6 Komputasi perkalian matrik dan vektor-kolom
Mari kita mulai lagi dari source code paling dasar dari operasi perkalian antara matrik dan
vektor-kolom sesuai dengan contoh di atas
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7];
x = [2; 3; 4];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi vektor x
6
7
8
9
% ---proses perkalian matrik dan vektor---y(1,1)=A(1,1)*x(1,1)+A(1,2)*x(2,1)+A(1,3)*x(3,1);
y(2,1)=A(2,1)*x(1,1)+A(2,2)*x(2,1)+A(2,3)*x(3,1);
10
11
12
13
14
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
x
y
Sejenak, mari kita amati dengan cermat statemen dari baris ke-8 dan ke-9 sambil dikaitkan
dengan bentuk umum penulisan indeks pada perkalian antara matrik dan vektor-kolom yaitu
yi1 = aij .xj1 + aij .xj1 + aij .xj1
(2.17)
Dari sana ada 3 point yang perlu dicatat:
• elemen y dan elemen x sama-sama memiliki indeks i yang berpasangan dengan angka 1.
• pada baris statemen ke-8 dan ke-9 ada tiga kali operasi perkalian dan dua kali operasi
penjumlahan yang semuanya melibatkan indeks i dan indeks j. Namun indeks j selalu
berubah pada masing-masing perkalian. Jadi indeks j lebih cepat berubah dibanding
indeks i.
• elemen a memiliki indeks i dan indeks j dimana indeks j lebih cepat berubah dibanding
indeks i.
Kita mulai dengan memecah operasi pada statemen baris ke-8 yang bertujuan menghitung
nilai y(1, 1)
1
2
3
clear all
clc
51. 2.5. OPERASI MATEMATIKA
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7];
x = [2; 3; 4];
37
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi vektor x
6
7
8
9
10
% ---proses perkalian matrik dan vektor---y(1,1)=A(1,1)*x(1,1);
y(1,1)=y(1,1)+A(1,2)*x(2,1);
y(1,1)=y(1,1)+A(1,3)*x(3,1);
11
12
y(2,1)=A(2,1)*x(1,1)+A(2,2)*x(2,1)+A(2,3)*x(3,1);
13
14
15
16
17
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
x
y
Agar baris ke-8 memiliki pola yang sama dengan baris ke-9 dan ke-10, upaya yang dilakukan
adalah
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7];
x = [2; 3; 4];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi vektor x
6
7
8
9
10
11
% ---proses perkalian matrik dan vektor---y(1,1)=0;
y(1,1)=y(1,1)+A(1,1)*x(1,1);
y(1,1)=y(1,1)+A(1,2)*x(2,1);
y(1,1)=y(1,1)+A(1,3)*x(3,1);
12
13
y(2,1)=A(2,1)*x(1,1)+A(2,2)*x(2,1)+A(2,3)*x(3,1);
14
15
16
17
18
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
x
y
Dari sini kita bisa munculkan indeks j
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7];
x = [2; 3; 4];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi vektor x
6
7
8
9
10
11
% ---proses perkalian matrik dan vektor---y(1,1)=0;
for j=1:3
y(1,1)=y(1,1)+A(1,j)*x(j,1);
end
12
13
y(2,1)=A(2,1)*x(1,1)+A(2,2)*x(2,1)+A(2,3)*x(3,1);
14
15
16
17
18
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
x
y
52. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
38
Dengan cara yang sama, baris ke-13 dimodifikasi menjadi
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7];
x = [2; 3; 4];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi vektor x
6
7
8
9
10
11
% ---proses perkalian matrik dan vektor---y(1,1)=0;
for j=1:3
y(1,1)=y(1,1)+A(1,j)*x(j,1);
end
12
13
14
15
16
y(2,1)=0;
for j=1:3
y(2,1)=y(2,1)+A(2,j)*x(j,1);
end
17
18
19
20
21
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
x
y
Inisialisasi vektor y dengan angka nol dapat dilakukan diawal proses perkalian, sekaligus
memunculkan indeks i
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7];
x = [2; 3; 4];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi vektor x
6
7
8
9
10
% ---proses perkalian matrik dan vektor---for i=1:2
y(i,1)=0;
end
11
12
13
14
for j=1:3
y(1,1)=y(1,1)+A(1,j)*x(j,1);
end
15
16
17
18
for j=1:3
y(2,1)=y(2,1)+A(2,j)*x(j,1);
end
19
20
21
22
23
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
x
y
Kemudian, untuk menyamakan pola statemen baris ke-13 dan ke-17, indeks i kembali dimunculkan
1
2
3
clear all
clc
53. 2.6. PENUTUP
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7];
x = [2; 3; 4];
39
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi vektor x
6
7
8
9
10
% ---proses perkalian matrik dan vektor---for i=1:2
y(i,1)=0;
end
11
12
13
14
15
i=1;
for j=1:3
y(i,1)=y(i,1)+A(i,j)*x(j,1);
end
16
17
18
19
20
i=2;
for j=1:3
y(i,1)=y(i,1)+A(i,j)*x(j,1);
end
21
22
23
24
25
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
x
y
Akhir dari proses optimasi adalah sebagai berikut
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7];
x = [2; 3; 4];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi vektor x
6
7
8
9
10
% ---proses perkalian matrik dan vektor---for i=1:2
y(i,1)=0;
end
11
12
13
14
15
16
for i=1:2
for j=1:3
y(i,1)=y(i,1)+A(i,j)*x(j,1);
end
end
17
18
19
20
21
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
x
y
2.6
Penutup
Demikianlah catatan singkat dan sederhana mengenai jenis-jenis matrik dasar dan operasi penjumlahan dan perkalian yang seringkali dijumpai dalam pengolahan data secara numerik. Semuanya akan dijadikan acuan atau referensi pada pembahasan topik-topik numerik yang akan
datang.
54. BAB 2. MATRIK DAN KOMPUTASI
40
2.7
Latihan
1. Diketahui matrik A, matrik B, dan vektor x sebagai berikut
1
3
−6
−2
5
9
7
5.6
A=
2
4
8
−1
2.3 1.4 0.8 −2.3
8
1
4
21
3
10
5
0.1
B=
7
−2
9
−5
2.7 −12 −8.9 5.7
0.4178
−2.9587
x=
56.3069
8.1
(a) Buatlah script untuk menyelesaikan penjumlahan matrik A dan matrik B.
(b) Buatlah script untuk menyelesaikan perkalian matrik A dan matrik B.
(c) Buatlah script untuk menyelesaikan perkalian matrik A dan vektor x.
(d) Buatlah script untuk menyelesaikan perkalian matrik B dan vektor x.
55. Bab 3
Fungsi
Objektif :
⊲ Mengenalkan fungsi internal.
⊲ Membuat fungsi ekstenal.
⊲ Membuat fungsi ekternal untuk penjumlahan matrik.
⊲ Membuat fungsi ekternal untuk perkalian matrik.
3.1
Fungsi internal
Pada bab terdahulu kita sudah melakukan proses optimasi penjumlahan matrik dengan source
code akhir seperti ini
1
2
clear all
clc
3
4
5
A=[3 8 5; 6 4 7];
C=[9 5 3; 7 2 1];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
% ---proses penjumlahan matrik---for i=1:2
for j=1:3
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
end
13
14
15
16
17
% ---menampilkan matrik A, C dan D---A
C
D
Pertanyaan yang segera muncul adalah apakah source code tersebut bisa digunakan untuk
menyelesaikan penjumlahan matrik yang dimensinya bukan 2x3 ? Misalnya
D=A+C
41
56. BAB 3. FUNGSI
42
4 3 8 6
2 6 7 2
D = 5 1 2 3 + 9 1 3 8
6 7 9 1
5 8 4 7
Tentu saja bisa, asal indeks i bergerak dari 1 sampai 3 dan indeks j bergerak dari 1 sampai 4.
Lihat source code berikut
1
2
clear all
clc
3
4
5
A=[4 3 8 6; 5 1 2 3; 6 7 9 1];
C=[2 6 7 2; 9 1 3 8; 5 8 4 7];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
% ---proses penjumlahan matrik---for i=1:3
for j=1:4
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
end
13
14
15
16
17
% ---menampilkan matrik A, C dan D---A
C
D
Walaupun bisa digunakan, namun cara modifikasi seperti itu sangat tidak fleksibel dan beresiko salah jika kurang teliti. Untuk menghindari resiko kesalahan dan agar lebih fleksibel,
source code tersebut perlu dioptimasi sedikit lagi menjadi
1
2
clear all
clc
3
4
5
A=[4 3 8 6; 5 1 2 3; 6 7 9 1];
C=[2 6 7 2; 9 1 3 8; 5 8 4 7];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
% ---proses penjumlahan matrik---dim=size(A);
n=dim(1);
m=dim(2);
for i=1:n
for j=1:m
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
end
16
17
18
19
20
% ---menampilkan matrik A, C dan D---A
C
D
Perhatikan, ada tambahan 3 statemen yaitu mulai dari baris ke-8 sampai ke-10. Sementara
baris ke-11 dan ke-12 hanya mengalami sedikit perubahan. Statemen di baris ke-8 bermaksud
mendeklarasikan variabel dim untuk diisi oleh hasil perhitungan fungsi internal yang bernama
57. 3.2. FUNGSI EKSTERNAL PENJUMLAHAN MATRIK
43
size. Matrik A dijadikan parameter input fungsi size. Fungsi size berguna untuk menghitung
jumlah baris dan jumlah kolom dari matrik A. Hasilnya adalah dim(1) untuk jumlah baris
dan dim(2) untuk jumlah kolom. Pada baris ke-9, variabel n dideklarasikan untuk menerima
informasi jumlah baris dari dim(1), sementara variabel m diisi dengan informasi jumlah kolom
dari dim(2) pada baris ke-10. Adapun baris ke-11 dan ke-12 hanya mengubah angka indeks
batas atas, masing-masing menjadi n dan m.
Sekarang kalau kita balik lagi menghitung penjumlahan matrik dari contoh sebelumnya
yang berukuran 2x3, maka source code akan seperti ini
1
2
clear all
clc
3
4
5
A=[3 8 5; 6 4 7];
C=[9 5 3; 7 2 1];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
% ---proses penjumlahan matrik---dim=size(A);
n=dim(1);
m=dim(2);
for i=1:n
for j=1:m
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
end
16
17
18
19
20
% ---menampilkan matrik A, C dan D---A
C
D
Ajaib bukan!? Tidak ada statemen yang berubah kecuali hanya pada baris ke-4 dan ke-5. Perubahan itu tidak bisa dihindari karena memang di kedua baris itulah deklarasi elemen-elemen
matrik A dan matrik C dilakukan.
3.2
Fungsi eksternal penjumlahan matrik
Saatnya kita memasuki topik tentang pembuatan fungsi eksternal. Dari source code yang terakhir tadi, mari kita ambil bagian proses penjumlahan matrik-nya saja
1
2
3
4
5
6
7
8
dim=size(A);
n=dim(1);
m=dim(2);
for i=1:n
for j=1:m
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
end
Kita akan jadikan potongan source code ini menjadi fungsi eksternal, dengan menambahkan
statemen function seperti ini
58. BAB 3. FUNGSI
44
1
2
3
4
5
6
7
8
9
function D=jumlah(A,C)
dim=size(A);
n=dim(1);
m=dim(2);
for i=1:n
for j=1:m
D(i,j)=A(i,j)+C(i,j);
end
end
kemudian ia harus di-save dengan nama jumlah.m. Sampai dengan langkah ini kita telah membuat fungsi eksternal dan diberi nama fungsi jumlah. Sederhana sekali bukan? Untuk menguji
kerja fungsi eksternal tersebut, coba jalankan source code berikut ini
1
2
clear all
clc
3
4
5
A=[3 8 5; 6 4 7];
C=[9 5 3; 7 2 1];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi matrik B
6
7
8
% ---proses penjumlahan matrik---D=jumlah(A,C)
9
10
11
12
13
% ---menampilkan matrik A, C dan D---A
C
D
atau anda jalankan source code yang berikut ini
1
2
clear all
clc
3
4
5
A=[4 3 8 6; 5 1 2 3; 6 7 9 1];
C=[2 6 7 2; 9 1 3 8; 5 8 4 7];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi matrik B
6
7
8
% ---proses penjumlahan matrik---D=jumlah(A,C)
9
10
11
12
13
% ---menampilkan matrik A, C dan D---A
C
D
atau coba iseng-iseng anda ganti matrik-nya menjadi
1
2
clear all
clc
3
4
5
V=[4 3; 5 1];
W=[2 6; 9 3];
% inisialisasi matrik V
% inisialisasi matrik W
6
7
8
% ---proses penjumlahan matrik---U=jumlah(V,W)
59. 3.3. FUNGSI EKSTERNAL PERKALIAN MATRIK
45
9
10
11
12
13
% ---menampilkan matrik V, W dan U---W
V
U
Periksa hasilnya, betul atau salah? Pasti betul! Kesimpulannya adalah setelah fungsi eksternal
berhasil anda dapatkan, maka seketika itu pula anda tidak perlu menggubrisnya lagi. Bahkan
anda tidak perlu mengingat nama matrik aslinya yang tertulis di fungsi jumlah yaitu matrik
A, matrik C dan matrik D. Ditambah lagi, source code anda menjadi terlihat lebih singkat dan
elegan. Dan kini, perhatian anda bisa lebih difokuskan pada deklarasi matrik-nya saja.
3.3
Fungsi eksternal perkalian matrik
Mari kita beralih ke perkalian matrik. Kita akan membuat fungsi eksternal untuk perkalian
matrik. Berikut ini adalah source code perkalian matrik hasil akhir optimasi yang telah ditulis
panjang lebar pada bab sebelumnya
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
% ---proses perkalian matrik---for i=1:2
for j=1:2
E(i,j)=0;
end
end
13
14
15
16
17
18
19
20
for i=1:2
for j=1:2
for k=1:3
E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j);
end
end
end
21
22
23
24
25
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Source code tersebut digunakan untuk menghitung perkalian matrik berikut
E2×2 = A2×3 · B3×2
Dan kita bisa sepakati simbol indeks m, n, dan p untuk men-generalisir dimensi matrik
Em×n = Am×p · Bp×n
60. 46
BAB 3. FUNGSI
Dengan demikian, source code tersebut dapat dioptimasi menjadi
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
% ---proses perkalian matrik---dim=size(A);
m=dim(1);
p=dim(2);
dim=size(B);
n=dim(2);
for i=1:m
for j=1:n
E(i,j)=0;
end
end
18
19
20
21
22
23
24
25
for i=1:m
for j=1:n
for k=1:p
E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j);
end
end
end
26
27
28
29
30
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Selanjutnya kita ambil bagian proses perkalian matrik nya untuk dibuat fungsi eksternal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
function E=kali(A,B)
dim=size(A);
m=dim(1);
p=dim(2);
dim=size(B);
n=dim(2);
for i=1:m
for j=1:n
E(i,j)=0;
end
end
12
13
14
15
16
17
18
19
for i=1:m
for j=1:n
for k=1:p
E(i,j)=E(i,j)+A(i,k)*B(k,j);
end
end
end
lalu di-save dengan nama kali.m, maka terciptalah fungsi eksternal yang bernama fungsi kali.
Kemudian coba anda uji fungsi kali tersebut dengan menjalankan source code berikut
61. 3.4. FUNGSI EKSTERNAL PERKALIAN MATRIK DAN VEKTOR-KOLOM
1
2
47
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7]; % inisialisasi matrik A
B = [1 3; 5 9; 2 4]; % inisialisasi matrik B
6
7
8
% ---proses perkalian matrik---E = kali(A,B)
9
10
11
12
13
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
B
E
Silakan anda periksa hasil perhitungannya. Pasti betul! Anda bisa mencoba perkalian matrik lainnya dengan menggunakan source code tersebut. Bahkan anda bisa mengganti nama
matriknya untuk selain A, B dan E.
3.4
Fungsi eksternal perkalian matrik dan vektor-kolom
Mari kita beralih ke perkalian matrik dan vektor-kolom. Kita akan membuat fungsi eksternal
untuk perkalian matrik dan vektor-kolom. Berikut ini adalah source code perkalian matrik dan
vektor-kolom hasil akhir optimasi yang telah ditulis panjang lebar pada bab sebelumnya
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7];
x = [2; 3; 4];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi vektor x
6
7
8
9
10
% ---proses perkalian matrik dan vektor---for i=1:2
y(i,1)=0;
end
11
12
13
14
15
16
for i=1:2
for j=1:3
y(i,1)=y(i,1)+A(i,j)*x(j,1);
end
end
17
18
19
20
21
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
x
y
Source code tersebut digunakan untuk menghitung perkalian matrik dan vektor-kolom berikut
y2×1 = A2×3 · x3×1
Dan kita bisa sepakati simbol indeks m dan n untuk men-generalisir dimensi matrik
ym×1 = Am×n · xn×1
62. BAB 3. FUNGSI
48
Dengan demikian, source code tersebut dapat dioptimasi menjadi
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7];
x = [2; 3; 4];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi vektor x
6
7
8
9
10
11
12
13
% ---proses perkalian matrik dan vektor---dim=size(A);
m=dim(1);
n=dim(2);
for i=1:m
y(i,1)=0;
end
14
15
16
17
18
19
for i=1:m
for j=1:n
y(i,1)=y(i,1)+A(i,j)*x(j,1);
end
end
20
21
22
23
24
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
x
y
Selanjutnya kita ambil bagian proses perkalian matrik dan vektor nya untuk dibuat fungsi eksternal
1
2
3
4
5
6
7
function y=kalivektor(A,x)
dim=size(A);
m=dim(1);
n=dim(2);
for i=1:m
y(i,1)=0;
end
8
9
10
11
12
13
for i=1:m
for j=1:n
y(i,1)=y(i,1)+A(i,j)*x(j,1);
end
end
lalu di-save dengan nama kalivektor.m, maka terciptalah fungsi eksternal yang bernama fungsi
kalivektor. Kemudian coba anda uji fungsi kalivektor tersebut dengan menjalankan source code
berikut
1
2
clear all
clc
3
4
5
A = [3 8 5; 6 4 7];
x = [2; 3; 4];
% inisialisasi matrik A
% inisialisasi vektor x
6
7
% ---proses perkalian matrik dan vektor----
63. 3.5. PENUTUP
8
49
y = kalivektor(A,x);
9
10
11
12
% ---menampilkan matrik A, B dan E---A
x
Silakan anda periksa hasil perhitungannya. Pasti betul! Anda bisa mencoba perkalian matrik dan vektor-kolom dengan angka elemen yang berbeda menggunakan source code tersebut.
Bahkan anda bisa mengganti nama matrik dan vektor nya untuk selain A, x dan y.
3.5
Penutup
Ada tiga pilar yang harus dikuasai oleh seorang calon programmer. Pertama, ia harus tahu
bagaimana cara mendeklarasikan data. Kedua, ia harus tahu bagaimana mendayagunakan
flow-control, yang dalam bab ini dan bab sebelumnya menggunakan pasangan for-end. Dan
ketiga, ia harus bisa membuat fungsi eksternal.
Tidak ada yang melarang anda beralih ke Fortran, atau ke Delphi, atau ke C++, atau ke
Python, atau bahasa pemrograman apa saja. Saran saya, ketika anda berkenalan dengan suatu
bahasa pemrograman, yang pertama kali anda lakukan adalah menguasai ketiga pilar itu. Insya Allah ia akan membantu anda lebih cepat mempelajari bahasa pemrograman yang sedang
anda geluti.
Penguasaan atas ketiga pilar tersebut akan mengarahkan programmer untuk membuat source
code yang bersifat modular atau extention. Ini adalah modal untuk memasuki apa yang disebut
object oriented programming.
Sesungguhnya Matlab memiliki banyak fungsi internal yang bisa langsung dipakai. Anda
bisa coba sendiri suatu saat nanti. Kekuatan bahasa pemrograman salah satunya terletak pada
seberapa kaya dia memilik banyak fungsi. Library adalah kata lain untuk fungsi. Jadi, suatu
bahasa pemrograman akan semakin unggul bila dia memiliki semakin banyak library. Menurut
saya, yang terdepan saat ini masih dimenangkan oleh Python. Dengan Python, source code anda
akan bisa berjalan di Windows, Linux dan Machintos serta beberapa platform lainnya.
3.6
Latihan
1. Diketahui gelombang elektromagnetik bergerak dari medium 1 (permitivitas ǫ1 = 1) ke
medium 2 (permitivitas, ǫ2 = 80) dengan sudut datang (θI ) bervariasi dari 0 o hingga 70 o .
Persamaan koefisien refleksi gelombang elektromagnetik adalah sbb:
EoR
=
EoI
α−β
α+β
=
ǫ2
ǫ1
cos θI −
ǫ2
ǫ1
− sin2 θI
ǫ2
ǫ1
cos θI +
ǫ2
ǫ1
− sin2 θI
(a) Buatlah script untuk menghitung koefisien refleksi dengan interval sudut per 5 o
(b) Buatlah gambar grafik Koefisien Refleksi vs Sudut
(c) Buatlah fungsi eksternal untuk perhitungan koefisien refleksi tersebut.
64. BAB 3. FUNGSI
50
2. Diketahui gelombang elektromagnetik bergerak dari medium 1 (permitivitas ǫ1 = 1) ke
medium 2 (permitivitas, ǫ2 = 80) dengan sudut datang (θI ) bervariasi dari 0 o hingga 70 o .
Persamaan koefisien transmisi gelombang elektromagnetik adalah sbb:
EoT
=
EoI
2
α+β
=
2
ǫ2
ǫ1
cos θI +
ǫ2
ǫ1
− sin2 θI
(a) Buatlah script untuk menghitung koefisien transmisi dengan interval sudut per 5 o
(b) Buatlah gambar grafik Koefisien Transmisi vs Sudut
(c) Buatlah fungsi eksternal untuk perhitungan koefisien transmisi tersebut.
3. Soal berikut ini berkaitan dengan superposisi gelombang
(a) Buatlah script untuk mem-plot gelombang sinusoidal berfrekuensi 200 Hz dengan
amplitudo 10 dalam fungsi waktu (t) dari 0 ms sampai 10 ms.
(b) Lanjutkan script yang tadi dengan menambahkan script baru untuk menggambar
gelombang sinusoidal berfrekuensi 500 Hz dengan amplitudo 6; kemudian di-plot
pada grafik yang sama.
(c) Lanjutkan script yang tadi dengan menambahkan script baru untuk menggambar
gelombang sinusoidal berfrekuensi 1000 Hz dengan amplitudo 6; kemudian di-plot
pada grafik yang sama.
(d) Lanjutkan script yang tadi dengan menambahkan script baru untuk menggambar
superposisi ketiga gelombang di atas; kemudian di-plot pada grafik yang sama.
(e) Buatlah fungsi eksternal hanya untuk ketiga persamaan gelombang-nya saja. Sementara perhitungan superposisi dan plot grafik tetap ditulis pada main program.
65. Bab 4
Integral Numerik
Objektif :
⊲ Mengenalkan metode Trapezoida
⊲ Mengenalkan metode Simpson
⊲ Mengenalkan metode Composite-Simpson
⊲ Mengenalkan metode Adaptive Quardrature
⊲ Mengenalkan metode Gaussian Quadrature
4.1
Metode Trapezoida
Integral terhadap suatu fungsi, f(x), yang dievaluasi dari a hingga b dapat dinyatakan oleh
rumus berikut ini
b
f (x)dx
(4.1)
a
Pendekatan numerik yang paling dasar dalam memecahkan masalah integral adalah metode
Trapezoida, yang dirumuskan sebagai berikut
b
f (x)dx =
a
h3
h
[f (x0 ) + f (x1 )] − f ′′ (ξ)
2
12
(4.2)
dimana x0 = a, x1 = b dan h = b − a. Akan tetapi, suku yang terakhir pada ruas kanan
dimana terdapat faktor turunan ke-2, f ′′ , seringkali diabaikan dengan tujuan agar persamaan
(4.2) menjadi lebih sederhana.
b
f (x)dx =
a
h
[f (x0 ) + f (x1 )]
2
(4.3)
Akibatnya pendekatan Trapezoida hanya bekerja efektif pada fungsi-fungsi yang turunan keduanya bernilai nol (f ′′ = 0). Gambar (4.1) memperlihatkan prinsip metode trapezoida dalam
bentuk grafik. Sementara, script berikut ini dibuat berdasarkan persamaan (4.3).
51
66. BAB 4. INTEGRAL NUMERIK
52
f(x)
f(x)
f(x1)
f(x0)
x0=a
x1=b
x0=a
x1=b
Gambar 4.1: Metode Trapezoida. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f (x) dengan batas
bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara metode Trapesoida menghitung integral dengan cara menghitung luas area integrasi, dimana luas area integrasi sama
dengan luas trapesium di bawah kurva f (x) dalam batas-batas a dan b. Jika anda perhatikan dengan
teliti, ada area kecil dibawah garis kurva dan diatas garis miring yang berada diluar bidang trapesium.
Metode Trapesoida tidak menghitung luas area kecil tersebut. Disinilah letak kelemahan metode trapezoida.
1
2
clear all
clc
3
4
5
a = ...
b = ...
%batas bawah integral;
%batas atas integral;
6
7
8
9
x0 = a;
x1 = b;
h = b-a;
10
11
12
% -- metode trapezoida -Int_trapezoida = h/2*(f(x0)+f(x1))
Dengan fungsi eksternal fungsi f(x) adalah
1
2
function y = f(x)
y = ... % rumus fungsi yang di-integralkan;
4.2
Metode Simpson
Metode pendekatan yang lebih baik dibanding metode Trapezoida dalam integral numerik
adalah metode Simpson yang diformulasikan sebagai berikut
b
f (x)dx =
a
h
h5
[f (x1 ) + 4f (x2 ) + f (x3 )] − f 4 (ξ)
3
90
(4.4)
dengan x1 = a, x3 = b, dan x2 = a + h dimana h = (b − a)/2. Jika suku terakhir diabaikan,
maka
b
f (x)dx =
a
h
[f (x1 ) + 4f (x2 ) + f (x3 )]
3
(4.5)
Gambar (4.2) memperlihatkan prinsip metode trapezoida dalam bentuk grafik. Sementara,
script berikut ini dibuat berdasarkan persamaan (4.5).
67. 4.2. METODE SIMPSON
53
f(x)
f(x)
f(x2)
f(x1)
f(x0)
h
h
x0=a
x1=b
x0=a
x1
x2=b
Gambar 4.2: Metode Simpson. Gambar sebelah kiri menunjukkan kurva fungsi f (x) dengan batas
bawah integral adalah a dan batas atas b. Gambar sebelah kanan menunjukan cara metode Simpson
menghitung luas area integrasi, dimana area integrasi di bawah kurva f (x) dibagi 2 dalam batas interval
a − x1 dan x1 − b dengan lebar masing-masing adalah h
1
2
clc
clear all
3
4
5
a = ... %batas bawah integrasi ;
b = ... %batas atas integrasi ;
6
7
8
9
10
x1 = a;
x3 = b;
h = (b-a)/2;
x1 = a + h;
11
12
13
% -- metode simpson -Int_simpson = h/3*(f(x1)+4*f(x2)+f(x3))
Contoh
Metode Trapezoida untuk fungsi f pada interval [0,2] adalah
2
0
f (x)dx ≈ f (0) + f (2)
dimana x0 = 0, x1 = 2 dan h = 2 − 0 = 2. Sedangkan metode Simpson untuk fungsi f pada
interval [0,2] adalah
2
0
f (x)dx ≈
1
[f (0) + 4f (1) + f (2)]
3
dengan x0 = 0, x2 = 2, dan x1 = a + h = 1 dimana h = (b − a)/2 = 1.
Tabel berikut ini memperlihatkan evaluasi integral numerik terhadap beberapa fungsi dalam
interval [0,2] beserta solusi exact-nya. Jelas terlihat, metode Simpson lebih baik dibanding
Trapezoida. Karena hasil intergral numerik metode Simpson lebih mendekati nilai exact
f (x)
Nilai exact
Trapezoida
Simpson
x2
2,667
4,000
2,667
x4
6,400
16,000
6,667
1/(x + 1)
1,099
1,333
1,111
√
1 + x2
2,958
3,236
2,964
sin x
1,416
0,909
1,425
ex
6,389
8,389
6,421
68. BAB 4. INTEGRAL NUMERIK
54
4.3
Peran faktor pembagi, n
Kalau diamati lebih teliti, akan kita dapatkan bahwa interval [0,2] telah dibagi 2 pada metode
Simpson, sementara pada metode Trapesoida tidak dibagi sama sekali. Sebenarnya dengan
membagi interval lebih kecil lagi, maka error -nya akan semakin kecil. Misalnya, banyaknya
pembagian interval dinyatakan dengan n
ketika n = 1: Trapesioda
x2
h
h3
[f (x1 ) + f (x2 )] − f ′′ (ξ)
2
12
(4.6)
h
h5
[f (x1 ) + 4f (x2 ) + f (x3 )] − f 4 (ξ)
3
90
(4.7)
f (x)dx =
x1
ketika n = 2: Simpson
x3
f (x)dx =
x1
ketika n = 3: Simpson tiga-per-delapan
x4
f (x)dx =
x1
3h
3h5 4
[f (x1 ) + 3f (x2 ) + 3f (x3 ) + f (x4 )] −
f (ξ)
8
80
(4.8)
ketika n = 4:
x5
f (x)dx =
x1
8h7 6
2h
[7f (x1 ) + 32f (x2 ) + 12f (x3 ) + 32f (x4 ) + 7f (x5 )] −
f (ξ)
45
945
4.3.1 Source code metode integrasi
Source code untuk persamaan (4.8) disajikan sebagai berikut
1
2
clc
clear all
3
4
5
6
% -- batas integrasi -a = 0;
b = 2;
7
8
9
10
11
12
13
x0 = a;
x3 = b;
h = (b-a)/3;
x1 = a + h;
x2 = a + 2*h;
% ---------------------
14
15
16
% -- metode simpson 3/8 -Int_38 = 3*h/8*(f(x0)+3*f(x1)+3*f(x2)+f(x3))
Sementara, source code untuk persamaan (4.9) disajikan sebagai berikut
1
2
3
clc
clear all
(4.9)
69. 4.4. METODE COMPOSITE-SIMPSON
4
5
6
55
% -- batas integrasi -a = 0;
b = 2;
7
8
9
10
11
12
13
14
x0 = a;
x4 = b;
h = (b-a)/4;
x1 = a + h;
x2 = a + 2*h;
x3 = a + 3*h;
% ---------------------
15
16
17
% -- metode simpson n=4 -Int_n4 = 2*h/45*(7*f(x0)+32*f(x1)+12*f(x2)+32*f(x3)+7*f(x4))
Perbandingan tingkat akurasi hasil perhitungan seluruh metode integral numerik yang sudah dibahas adalah sebagai berikut
x2
2,667
4,000
2,667
2,667
2,667
f (x)
Nilai exact
Trapezoida
Simpson n=2
Simpson n=3
Simpson n=4
x4
6,400
16,000
6,667
6,519
6,400
1/(x + 1)
1,099
1,333
1,111
1,105
1,099
√
1 + x2
2,958
3,236
2,964
2,960
2,958
sin x
1,416
0,909
1,425
1,420
1,416
ex
6,389
8,389
6,421
6,403
6,389
Keempat bentuk persamaan integral numerik di atas dikenal dengan closed Newton-Cotes
formulas. Keterbatasan metode Newton-Cotes terlihat dari jumlah pembagian interval. Di
atas tadi pembagian interval baru sampai pada n = 4. Bagaimana bila interval evaluasinya
dipersempit supaya solusi numeriknya lebih mendekati solusi exact? Atau dengan kata lain
n 4.
4.4
Metode Composite-Simpson
Persamaan (4.9) terlihat lebih rumit dibandingkan persamaan-persamaan sebelumnya. Bisakah
anda bayangkan bentuk formulasi untuk n = 5 atau n = 6 dan seterusnya? Pasti akan lebih
kompleks dibandingkan persamaan (4.9).
Metode Composite Simpson menawarkan cara mudah menghitung intergal numerik ketika
nilai n 4. Perhatikan contoh berikut, tentukan solusi numerik dari
4 x
0 e dx.
Metode Simpson
dengan h = 2 (atau interval evaluasi integral dibagi 2 , n = 2) memberikan hasil
4
0
ex dx ≈
2 0
e + 4e2 + e4 = 56, 76958
3
Padahal solusi exact dari integral tersebut adalah e4 − e0 = 53, 59815, artinya terdapat er-
ror sebesar 3,17143 yang dinilai masih terlampau besar untuk ditolerir. Bandingkan dengan
70. BAB 4. INTEGRAL NUMERIK
56
f(x)
h
x0=a x1
x2
x3
x4
x5
x6
x7 xn=b
Gambar 4.3: Metode Composite Simpson. Kurva fungsi f (x) dengan batas bawah integral adalah a
dan batas atas b. Luas area integrasi dipecah menjadi 8 area kecil dengan lebar masing-masing adalah
h.
metode yang sama namun dengan h = 1 (atau interval evaluasi integral dibagi 4 , n = 4)
4
2
ex dx =
ex dx
2
0
0
4
ex dx +
1 0
1 2
e + 4e + e2 +
e + 4e3 + e4
3
3
1 0
e + 4e + 2e2 + 4e3 + e4
=
3
= 53, 86385
≈
Hasil ini memperlihatkan error yang makin kecil, yaitu menjadi 0,26570. Jadi dengan memperkecil h, error menjadi semakin kecil dan itu artinya solusi integral numerik semakin mendekati
solusi exact. Sekarang kita coba kecilkan lagi nilai h menjadi h =
1
2
(atau interval evaluasi in-
tegral dibagi 8 , n = 8),
4
1
ex dx =
3
ex dx +
2
1
0
0
2
ex dx +
4
ex dx +
ex dx
3
1 0
1
e + 4e1/2 + e +
e + 4e3/2 + e2 +
6
6
1 2
1 3
e + 4e5/2 + e3 +
e + 4e7/2 + e4
6
6
1 0
e + 4e1/2 + 2e + 4e3/2 + 2e2 + 4e5/2 + 2e3 + 4e7/2 + e4
=
6
= 53, 61622
≈
dan seperti yang sudah kita duga, error -nya semakin kecil menjadi 0,01807.
Prosedur ini dapat digeneralisir menjadi suatu formula sebagai berikut
n/2
x2j
j=1
b
x2j−2
f (x)dx =
a
f (x)dx
n/2
=
j=1
h5
h
[f (x2j−2 ) + 4f (x2j−1 ) + f (x2j )] − f (4) (ξj )
3
90
(4.10)
71. 4.5. ADAPTIVE QUARDRATURE
57
dimana h = (b − a)/n dan xj = a + jh, untuk j = 1, ..., n/2, dengan x0 = a dan xn = b. Formula
ini dapat direduksi menjadi
b
f (x)dx =
a
h
f (x0 ) + 2
3
(n/2)−1
n/2
f (x2j ) + 4
j=1
j=1
f (x2j−1 ) + f (xn ) −
h5
90
n/2
f (4) (ξj )
(4.11)
j=1
Formula ini dikenal sebagai metode Composite Simpson.
4.5
Adaptive Quardrature
Metode composite mensyaratkan luas area integrasi dibagi menjadi sejumlah region dengan
jarak interval yang seragam yaitu sebesar nilai h. Akibatnya, bila metode composite diterapkan
pada fungsi yang memiliki variasi yang tinggi dan rendah sekaligus, maka interval h yang kecil
menjadi kurang efektif, sementara interval h yang besar mengundang error yang besar pula.
Metode Adaptive Quadrature muncul untuk mendapatkan langkah yang paling efektif dimana
nilai interval h tidak dibuat seragam, melainkan mampu beradaptasi sesuai dengan tingkat
variasi kurva fungsinya.
Misalnya kita bermaksud mencari solusi numerik dari integral
b
a f (x)dx
dengan toleransi
ǫ 0. Sebagai langkah awal adalah menerapkan metode Simpson dimana step size h = (b −
a)/2
b
a
f (x)dx = S(a, b) −
h5 (4)
f (µ)
90
(4.12)
dengan
h
[f (a) + 4f (a + h) + f (b)]
3
S(a, b) =
Langkah berikutnya adalah men
b
h
f (a) + 4f
6
f (x)dx =
a
h
2
−
4.6
4
a+
h
2
+ 2f (a + h) + 4f
a+
3h
2
+ f (b)
(b − a) (4)
f (˜)
µ
180
(4.13)
Gaussian Quadrature
Suatu integral dapat ditransformasi kedalam bentuk Gaussian quadrature melalui formulasi
berikut
1
b
f
f (x)dx =
a
−1
(b − a)t + (b + a)
2
(b − a)
dt
2
(4.14)
dimana perubahan variabel memenuhi
t=
2x − a − b
1
⇔ x = [(b − a)t + a + b]
b−a
2
Berikut adalah table polinomial Legendre untuk penyelesaian Gaussian quadrature
(4.15)