Perjalanan yang belum selesai (5)
Kasus ‘’Bulog’’ yang melibatkan Budiadji, merupakan kasus terbesar. Berhenti menjadi pegawai negeri. Kuliah di California State Universiti, Fresno. Bekerja di ‘’Restoran King’’ di Fresno.
Oleh: Muhammad Jusuf *
Pada era tahun 1970’an dan 1980’an, ketika saya menjadi Pegawai Negeri memang pemberitaan mengenai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme belum terlalu marak. Mungkin karena media ketika itu belum terlalu banyak. Apalagi televisi dan radio masih dimonopoli Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia.
Korupsi yang menonjol dan jumlahnya cukup besar dan marak diberitakan di berbagai media massa salah satunya adalah kasus ‘’Bulog’’ yang melibatkan Budiadji. Sedangkan banyak kasus lain, mungkin memiliki skala yang cukup besar, namun tidak muncul ke permukaan. Memang, pada masa ini, terutama pada tahun 1980’an yang namanya ‘’mafia peradilan’’ sudah marak. Ada kasus ‘’Judi’’ di Pengadilan Jakarta Timur pada era ini malahan bisa dijadikan ‘’bisnis’’, bukan hanya bagi para pengacara, namun juga Jaksa, Hakim, Kepolisian, bahkan juga melibatkan ‘’wartawan’’, karena sebagian dari mereka juga turut menikmatinya.
Ada kasus judi misalnya, seharusnya ‘’terdakwa’’ bisa dihukum cukup berat. Namun, karena ada ‘’permainan’’ mungkin dewasa ini disebut ‘’mafia peradilan’‘ terdakwa, walau tetap dihukum, namun dengan hukuman ‘’ringan’’ , terdakwa divonis ‘’enam bulan’’ namun dengan masa percobaan satu tahun. ‘’Artinya’’ terdakwa tidak dihukum badan, kecuali dalam satu tahun berikutnya akan melakukan tindak pidana.
Itulah sebabnya, kasus mafia peradilan ini tidak muncul terlalu banyak ke permukaan, karena sebagian ‘’oknum’’ wartawan telah ‘’disogok’’ oleh pengacara, Jaksa, Hakim, dan oleh polisi. Tidak heran, kalau di pengadilan-pengadilan terjadi seorang ‘’pengacara’’ membagi-bagikan uang kepada wartawan di ‘’press room’’. Uang juga konon telah disalurkan ke para Jaksa, Hakim dan polisi.
Setelah menjadi Pegawai Negeri tidak lebih dari tiga tahun, saya mengundurkan diri dari Pegawai Negeri, per 2 Januari 1982, saya resmi memperoleh Surat Keputusan ‘’pemberhentian saya dengan hormat’’, karena saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke Amerika Serikat, tepatnya ke California State University, Fresno, California.
Padahal, saya sudah diusulkan atasan saya untuk naik pangkat, dengan ‘’penyesuaian ijasah’’, mengingat ketika saya melamar masih kelas III SMA dan menggunakan ijasah SMP, saya ketika diangkat menjadi pegawai negeri masih golongan I/B yang pekerjaannya adalah ‘’spesialis mengetik’’ dan pekerjaan-pekerjaan yang mirip ‘’office boy’’ seperti sekarang, termasuk mengangkat buku dan berbagai barang berat, dan kertas dari kantor pusat ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan pekerjaan-pekerjaan yang tidak berkaitan dengan ‘’pengetikan’’. Namanya saja bagian ‘’umum’’, jadi pekerjaannya serabutan, selain sebagai ‘’juru tik’’, ya juga ‘’kuli angkut’’.
Ini berbeda dengan mereka yang masuk ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui jalur ‘’khusus’’ (KKN), tentu mereka ditempatkan di ‘’bagian basah’’, pasti dilibatkan dalam berbagai ‘’proyek’’, karena pasti mereka dapat ‘’insentif’’ uang proyek, baik dalam hitungan uang lembur maupun dana proyek lainnya, sehingga tentu saja, mereka walau gajinya seperti juga saya, sekitar Rp 18.000 sampai Rp 30.000 per bulan, tetap saja mereka hidup lebih makmur dan bahkan bisa dapat ‘’motor’’ dinas, baik dari anggaran Negara maupun anggaran khusus proyek.
Sebagai karyawan di Bagian Umum, tentu saja saya juga kadang main ke bagian secretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang sekretarisnya dijabat Bapak Sembiring. Dari berbagai surat dan memo, karena saya kerap mendapat tugas ‘’memfoto copy’’ s
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Perjalanan Yang Belum Selesai (5)
1. Perjalanan yang belum selesai (5)
Kasus ‘’Bulog’’ yang melibatkan Budiadji, merupakan kasus terbesar. Berhenti menjadi pegawai negeri.
Kuliah di California State Universiti, Fresno. Bekerja di ‘’Restoran King’’ di Fresno.
Oleh: Muhammad Jusuf *
Pada era tahun 1970’an dan 1980’an, ketika saya menjadi Pegawai Negeri memang pemberitaan
mengenai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme belum terlalu marak. Mungkin karena media ketika itu
belum terlalu banyak. Apalagi televisi dan radio masih dimonopoli Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan
Radio Republik Indonesia.
Korupsi yang menonjol dan jumlahnya cukup besar dan marak diberitakan di berbagai media massa
salah satunya adalah kasus ‘’Bulog’’ yang melibatkan Budiadji. Sedangkan banyak kasus lain, mungkin
memiliki skala yang cukup besar, namun tidak muncul ke permukaan. Memang, pada masa ini, terutama
pada tahun 1980’an yang namanya ‘’mafia peradilan’’ sudah marak. Ada kasus ‘’Judi’’ di Pengadilan
Jakarta Timur pada era ini malahan bisa dijadikan ‘’bisnis’’, bukan hanya bagi para pengacara, namun
juga Jaksa, Hakim, Kepolisian, bahkan juga melibatkan ‘’wartawan’’, karena sebagian dari mereka juga
turut menikmatinya.
Ada kasus judi misalnya, seharusnya ‘’terdakwa’’ bisa dihukum cukup berat. Namun, karena ada
‘’permainan’’ mungkin dewasa ini disebut ‘’mafia peradilan’‘ terdakwa, walau tetap dihukum, namun
dengan hukuman ‘’ringan’’ , terdakwa divonis ‘’enam bulan’’ namun dengan masa percobaan satu
tahun. ‘’Artinya’’ terdakwa tidak dihukum badan, kecuali dalam satu tahun berikutnya akan melakukan
tindak pidana.
Itulah sebabnya, kasus mafia peradilan ini tidak muncul terlalu banyak ke permukaan, karena sebagian
‘’oknum’’ wartawan telah ‘’disogok’’ oleh pengacara, Jaksa, Hakim, dan oleh polisi. Tidak heran, kalau di
pengadilan-pengadilan terjadi seorang ‘’pengacara’’ membagi-bagikan uang kepada wartawan di ‘’press
room’’. Uang juga konon telah disalurkan ke para Jaksa, Hakim dan polisi.
Setelah menjadi Pegawai Negeri tidak lebih dari tiga tahun, saya mengundurkan diri dari Pegawai
Negeri, per 2 Januari 1982, saya resmi memperoleh Surat Keputusan ‘’pemberhentian saya dengan
hormat’’, karena saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke Amerika Serikat, tepatnya ke
California State University, Fresno, California.
Padahal, saya sudah diusulkan atasan saya untuk naik pangkat, dengan ‘’penyesuaian ijasah’’, mengingat
ketika saya melamar masih kelas III SMA dan menggunakan ijasah SMP, saya ketika diangkat menjadi
pegawai negeri masih golongan I/B yang pekerjaannya adalah ‘’spesialis mengetik’’ dan pekerjaan-
2. pekerjaan yang mirip ‘’office boy’’ seperti sekarang, termasuk mengangkat buku dan berbagai barang
berat, dan kertas dari kantor pusat ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan pekerjaan-pekerjaan
yang tidak berkaitan dengan ‘’pengetikan’’. Namanya saja bagian ‘’umum’’, jadi pekerjaannya serabutan,
selain sebagai ‘’juru tik’’, ya juga ‘’kuli angkut’’.
Ini berbeda dengan mereka yang masuk ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui jalur ‘’khusus’’
(KKN), tentu mereka ditempatkan di ‘’bagian basah’’, pasti dilibatkan dalam berbagai ‘’proyek’’, karena
pasti mereka dapat ‘’insentif’’ uang proyek, baik dalam hitungan uang lembur maupun dana proyek
lainnya, sehingga tentu saja, mereka walau gajinya seperti juga saya, sekitar Rp 18.000 sampai Rp 30.000
per bulan, tetap saja mereka hidup lebih makmur dan bahkan bisa dapat ‘’motor’’ dinas, baik dari
anggaran Negara maupun anggaran khusus proyek.
Sebagai karyawan di Bagian Umum, tentu saja saya juga kadang main ke bagian secretariat Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, yang sekretarisnya dijabat Bapak Sembiring. Dari berbagai surat dan memo,
karena saya kerap mendapat tugas ‘’memfoto copy’’ surat-surat itu, karena di bagian ‘’penggandaan’’
selain bertugas menggandakan buku-buku, pengetikan surat, juga tugasnya memfoto kopi berbagai
surat dari berbagai Direktorat. Nah, dari berbagai memo itu, ternyata banyak sekali ‘’para pejabat’’,
mulai dari Jenderal sampai pejabat tinggi sipil sampai Menteri yang minta anaknya ‘’supaya diterima’’ di
berbagai Perguruan Tinggi Negeri, terutama di berbagai Universitas Pavorit seperti Universitas
Indonesia, Institute Pertanian Bogor, Institute Teknologi Bandung dan Universitas Gadjah Mada. Saya
tidak tahu , apakah Bapak Doddy Tisna Adidjaja mengabulkan permintaan itu.
Atas dasar itulah, saya yang selama bekerja di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi juga ‘’nyambi’’
kuliah malamnya di Universitas Nasional, yang kampusnya ketika itu masih di Jalan Dipenogoro, dan
Dekannya dipegang Arbi Sanit dan Rektornya masih dijabat Prof.Dr.Taqdir Alisyahbana memutuskan
untuk ‘’keluarga’’ dari Pegawai Negeri, untuk sekolah ke luar negeri. Karena, saya sudah
memperhitungkan, saya sebagai pegawai rendahan ‘’ngak’’ mungkin bisa berkesempatan seperti banyak
anak pejabat itu, yang banyak diantara mereka mendapatkan beasiswa ke luar negeri, seperti ‘’jatah’’
para dosen di Perguruan Tinggi negeri. Memang, secara resmi, beasiswa dari Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan diprioritaskan bagi para Dosen, atau ‘’anak pejabat’’ yang melalui jalur ‘’calon dosen’’.
Berbekal ‘’tiket’’ yang dibelikan ayah saya, karena baru saja menjual tanah dan rumahnya yang ada di
‘’Kariangau, Balikpapan’’, walau Tanah dan Rumah itu dijual tergolong murah, tapi Ayahku berbaik hati
‘’membekali’’ tiket dan uang saku sekadarnya, selain saya dibuatkan ‘’surat jaminan memiliki uang’’ yang
ayahku peroleh dari meminjam dari beberapa koleganya, sehingga ketika saya sudah dapat visa dan
berangkat ke AS, uang itu kemudian dikembalikan ke ‘’pemiliknya’’.
Setelah saya tiba di Fresno, saya langsung dijemput ‘’Ayah dan Ibu’’ ‘’angkat’’ (foste parent), istilah yang
digunakan mereka yang menampung para pelajar asing dirumahnya dengan membayar, layaknya kita
membayar sewa kos di Indonesia. Bob dan Dee, begitu panggilan Ayah dan Ibu angkat itu sudah tiba di
bandara Fresno. Saya sendiri tiba di Bandara Fresno, setelah menggunakan Jepan Airlines, dengan rute
Jakarta – Tokyo – San Francisco. Lalu dari San Francisco saya naik United Airlines menuju Fresno.
Jemputan itu memang dikoordinir lembaga Bahasa Inggris International English Institite di Fresno. Saya
3. memang harus mengikuti kursus Bahasa Inggris terlebih dahulu, sebelum bisa kuliah di perguruan tinggi,
karena saya harus melewati tes TOEFL dengan nilai minimal 500. Enam bulan kemudian saya diterima di
California State University, setelah lulus tes TOEFL mengambil jurusan Ekonomi.
Satu bulan, setelah saya ‘’kursus’’ saya lalu keliling kota Fresno mencari pekerjaan, yang sebenarnya
tidak dibenarkan , mengingat visa saya adalah visa F1, khusus belajar, ngak boleh ‘’nyambi’’ kerja.
Namun, kalau saya ngak dapat kerjaan, tentu saja saya tidak bisa melanjutkan sekolah dan bisa hidup
layak selama di Fresno. Sehingga , berkat informasi, rekan pelajar Indonesia yang lebih dahulu bekerja di
restaurant masakan Cina ‘’King’’, maka saya bisa diterima menjadi juru ‘’cuci’’ piring. Sedangkan Kardi,
sendiri, seorang keturunan ‘’tionghoa’’ yang dulu tinggal di Jalan Pembangunan, Sawah Besar, Jakarta
Barat, telah bekerja di bagian ‘’pelayanan’’ tamu. Ketika itu, saya dibayar US$ 3 per jamnya. Walau,
terlihat kecil, namun kami walau di bagian ‘’cuci’’ piring, kebagian tips juga. Karena, usai bekerja, tips
yang berhasil dikumpulkan di bagian ‘’pelayanan’’ dibagi ke seluruh rekan lain. Kecuali pemilik restoran.
Itulah sebabnya, setelah bekerja tiga bulan, saya sudah mampu membeli mobil mini ‘’dodge colt’’ bekas,
tapi masih 90% baru, seharga US$ 2.900. Padahal, satu bulan sebelumnya saya sudah membeli mobil
‘’stasion wagon’’ besar merk GM s eharga US$ 400 dolar. Memang, kendaraan di AS ketika itu, bahkan
sampai kini harganya jauh lebih murah dibandingkan kalau dibeli di Indonesia. Apalagi, kurs rupiah
ketika itu masih sekitar Rp 400 per satu dolarnya.
Setelah saya membeli ‘’mobil’’ baru, saya putuskan hibahkan ‘’mobil’’ stasiun wagon ini, terutama guna
mengangkut ‘’ayam’’ sembelihan yang halal dari kota Sacramento, ibukota California menuju Masjid
Fresno, yang letaknya di seberang kampus California State University, Fresno. Dulu, inilah satu-satunya
Masjid yang sebesar ‘’Musholla’’ di Indonesia, yang digunakan untuk Shalat lima waktu dan sholat
‘’Jumat’’. Masjid ini, katanya, sumbangan dari Muammar Khaddafi dari Libya.
Karena pertimbangan dekat Masjid inilah, setelah tiga bulan, akhirnya saya memutuskan tinggal di
Apartemen, persis bersebelahan dengan Masjid Fresno, selain bisa jalan kaki kuliah di California State
University.
Ketika itu, saya tiba di Fresno, sekitar awal Februari 1982. Ketika saya kursus bahasa inggris di
International English Institute, saya setengah kaget, karena sebagian besar muridnya adalah para siswa
yang berasal dari Malaysia. Mereka sebagian besar adalah siswa bantuan beasiswa ‘’Mara’’, lembaga
khusus di Malaysia yang mengirim para mahasiswa, terutama keturunan ‘’melayu’’ ke berbagai penjuru
dunia.
Konon, pada tahun-tahun itu, para mahasiswa Malaysia sudah mulai mendominasi, dan merupakan
mahasiswa asing paling banyak jumlahnya, mulai ‘’menggeser’’ mahasiswa asal Iran, yang ketika Rezim
Reza Pahlevi mendominasi sekolah-sekolah di Amerika Serikat. Tidak heran, selain didonominasi para
mahasiswa dari Negara-negara Arab, mahasiswa lain yang mendominasi Masjid Fresno adalah
mahasiswa ‘’melayu’’ asal Malaysia. Mahasiswa asal Indonesia sendiri di Fresno sebenarnya cukup
banyak, namun sebagian besar keturunan Tionghoa yang aktif di ‘’gereja’’, itulah sebabnya, rekan saya,
mahasiswa keturunan Tionghoa asal Bandung, Aan Supriatna aktif dengan rekan-rekan mahasiswa
lainnya di Fresno dalam ‘’pengajian’’ di gereja yang dipimpin Pujiadi. Pujiadi inilah yang mengorganisir
4. rekan-rekan mahasiswa Indonesia, khususnya keturunan Tionghoa ini aktif di Gereja atau acara
‘’kebaktian’’ lainnya. Aku sendiri, karena mahasiswa Muslim asal Indonesia tidak banyak , terpaksa
acara pengajian dan Sholat banyak bergaul dengan para mahasiwa asal Malaysia, sehingga dua tahun
kuliah di Amerika Serikat, bukannya lancer berbahasa Inggris, malah fasih berbahasa ‘’Melayu’’ aksen
Malaysia.
Setelah hampir dua tahun di California, saya memutuskan kembali ke Indonesia, mengingat, membayar
kuliah bagi mahasiswa asing cukup mahal, sehingga, walaupun saya sudah bekerja di ‘’Restoran Cina’’
tetap tidak mencukupi, apalagi kalau saya mengambil 18 sampai 21 SKS, tentu saja bayarannya semakin
mahal, belum lagi tuntutan membeli buku, dan biaya sewa apartemen dan kebutuhan lain.
Sebelum kembali ke Jakarta, saya sebenarnya ingin memberikan ‘’pekerjaan saya itu’’ kepada Omar
Endin, teman satu apartemen untuk bekerja di ‘’King’’ Restoran. Omar memang dating belakangan,
setelah saya lebih satu tahun di Fresno, b aru Omar dating dan jadi satu Apartemen dengan saya. Saya
pun pernah menjemput Ayah Omar, Bapak Kusmadi Amin Endin, mantan pejabat Pertamina, yang
bersama Isterinya menjenguk Omar di Fresno.
Kalau, kita kembali ke masalah kerja di King Restoran, memang di Fresno, solidaritas sesame masih
masih berpengaruh, sehingga saya ‘’diberi saran’’ oleh Kardi, kalau saya diwawancara, bilang saja saya
juga keturunan Tionghoa di Indonesia.
‘’Are you Chinese,’’ Tanya pemilik Restoran King itu, suatu ketika saya awal di wawancara. ‘’Yes, I am
Chinese, but I has already grown in seven generation in Indonesia, so I can not speak Chinese anymore. I
only speak Malay and English,’’ jawab ku kepadanya. ‘’Ok, you can start your work tomorrow,’’ tambah
pemilik restoran itu lagi.
Nah, ketika Omar menanyakan apakah dia bisa menggantikan saya. Saya bilang, kamu tidak bisa
berbohong. Kalau saya bisa, kulit saya kuning, seperti kebanyakan orang Tionghoa di Indonesia, karena
saya adalah keturunan ‘’Dayak Paser’’ yang umumnya kuning langsat. Sedangkan Omar, berkulit cokelat,
seperti kebanyakan orang ‘’Jawa’’ lannya, walau pun dia keturunan Jawa Barat dan Sumatera.
• Wartawan Freelance, Dosen Komunikasi (Jurnalistik) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Hidayatullah,
Depok.