1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pergantian musim seperti akhir-akhir ini, mampu menyebabkan ternak
menjadi mudah terjangkit penyakit, sehingga akan menurunkan performans dari
ternak tersebut. Pemeriksaan penyakit dapat kita amati secara langsung baik dari
jarak jauh maupun dekat. Faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak
salah satunya yaitu akibat adanya parasit. Mendeteksi keberadaan parasit tersebut
dapat kita lakukan dengan mengamati tubuh ternak, feses, serta sampel darah.
Namun, seringkali kita belum dapat mengetahui penyakit ternak tetapi ternak
sudah kehilangan nyawanya akibat penurunan daya tahan tubuh. Cara lain yang
digunakan untuk mendeteksi kesehatan ternak dapat dilakukan dengan cara
nekropsi yaitu dengan membedah bagian dalam tubuh ternak.
1.2.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dengan materi analisis kondisi
peternakan rakyat dan pemeriksaan kesehatan ternak yaitu untuk dapat
mengetahui kondisi lingkungan di sekitar ternak serta kesehatan ternak
ruminansia. Materi pemeriksaan mikroskopis feses dan pengamatan preparat
awetan parasit betujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya cacing dalam sampel
feses yang diambil serta mengetahui berbagai macam bentuk endoparasit dan
2. 2
ekstoparasit. Materi kesehatan ternak unggas bertujuan untuk mempelajari kondisi
tubuh unggas melalui pengambilan sampel darah serta nekropsi.
Manfaat dari praktikum ilmu kesehatan ternak unggas dengan materi
analisis kondisi peternakan rakyat dan pemeriksaan kesehtatan ternak ruminansia
yaitu dapat mengamati secara langsung kondisi peternakan yang memenuhi syarat
atau tidak serta dapat mengetahui kondisi ternak ruminansia. Materi pemeriksaan
mikroskopis feses dan pemeriksaan preparat awetan parasit memiliki manfaat
yaitu dapat mengetahui jenis-jenis cacing yang ada pada feses serta dapat
mengenali berbagai macam endoparasit dan ekstoparasit. Sedangkan materi
kesehatan ternak memiliki manfaat yaitu dapat mengetahui performans ternak
unggas yang diamati melalui sampel darah dan nekropsi.
3. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Analisis Kondisi Peternakan Rakyat
Anamnesa merupakan cara untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak
dengan menanyakan pada pemilik ternak mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan kesehatan ternak (Siregar, 1997). Pengetahuan kesehatan ternak berguna
untuk menghindari atau menanggulangi kerugian usaha akibat serangan penyakit
yang datang (Rianto dan Purbowati, 2010).
Memelihara kesehatan sapi peternak harus mengawasi kebersihan kandang
dan memberikan perawatan kepada sapi dengan baik (Asmaki, 2009). Kebersihan
kandang dilakukan dengan melakukan sanitasi dengan baik, melakukan desinfeksi
pada kandang dan peralatan kandang. Memberikan perawatan kepada sapi seperti
membersihkan tubuh sapi secara teratur, memberikan kebutuhan pakan dengan
baik, vaksinasi ternak secara teratur, dan memeriksa kesehatan ternak secara
berkala (Rianto dan Purbowati, 2010).
Keadaan kandang yang baik yaitu tidak berdekatan dengan daerah
pemukiman penduduk minimal 50 meter, dan tidak ada genangan air serta bersih
baik didalam kandang maupun diluar kandang sehingga ternak dapat merasa
nyaman (Purnomoadi, 2003). Lantai yang terbuat dari tanah padat harus dilapisi
dengan alas seperti jerami kering sebagai alas ternak agar tetap hangat sehingga
nyaman bagi ternak itu sendiri (Mandiri, 2009). Kandang sapi yang memenuhi
syarat sebaiknya terdapat ventilasi yang berfungsi sebagai proses sirkulasi udara
4. 4
di dalam kandang (Abidin, 2002). Kotoran atau sampah yang menumpuk dapat
dijadikan sebagai media perkembangan berbagai penyakit tertentu pada suatu
ternak (Rianto dan Purbowati, 2010).
Pakan merupakan segala sesuatu yang diberikan kepada ternak yang dapat
dicerna secara keseluruhan maupun dicerna hanya sebagiannya saja dan
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan, perkembangan, daya tahan tubuh,
serta reproduksi ternak (Purnomoadi, 2003). Pola perumbuhan dan perkembangan
ternak tergantung pada pengelolaan dan tingkat nutrisi didalam pakan yang
tersedia. Pakan yang diberikan kepada ternak terdiri dari dua macam yaitu pakan
berserat yang terdiri dari hijauan serta limbah pertanian (jerami padi, jerami tebu,
dll) dan pakan penguat seperti konsentrat (Rianto dan Purbowati 2010).
2.2.
Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminansia
Ternak yang sehat dapat dilihat secara kasat mata maupun secara
pemeriksaan. Secara kasat mata ternak yang sehat ditandai dengan bulu licin
mengkilap serta tidak ada luka dibagian tubuhnya, bentuk tubuh proporsional,
bereaksi baik terhadap pakan, dan bentuk kotoran normal (Agromedia, 2010).
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan memeriksa frekuensi nafas, denyut nadi, dan
suhu rektal. Suhu rektal pada sapi potong dewasaberkisar antara 37–39
,
sedangkan frekuensi nafas 10-30 kali/menit, dan denyut nadi sebesar 60-70
kali/menit (Williamson dan Payne, 1993).
Gejala yang muncul jika terdapat kelainan pada saluran pencernaan
misalnya kembung adalah nafsu makan hilang, perut bagian kiri terlihat buncit,
5. 5
susah bernafas dan badan gemetar (Rianto dan Purbowati, 2010). Ciri ternak yang
terkena diare yaitu nafsu makan menurun dan feses terlihat encer (Asmaki, 2009).
2.3.
Parasit
Parasit merupakan organisme yang hidupnya merugikan induk semang
yang ditumpanginya (Suwandi, 2001). Pada umunya parasit merugikan kesehatan
hewan, dari sudut pandang ekonomi kerugian terjadi akibat rusaknya organ karena
parasitnya sendiri, kematian ternak dan biaya yang harus ditanggung untuk
pengendaliannya (Jusmaldi dan Arini, 2010). Pola pemberian pakan dan jenis
pakan, faktor-faktor lingkungan (suhu, kelembaban, dan curah hujan) serta
sanitasi lingkungan yang kurang baik dapat mempengaruhi berkembanganya
parasit dalam tubuh ternak(Dwinata dalam Jusmaldi dan Arini, 2010).
2.3.1.
Ekstoparasit
Ekstoparasit merupakan parasit yang hidupnya pada permukaan tubuh
bagian luar atau bagian tubuh dalam yang dapat berhubungan langsung dengan
dunia luar dari hospes atau inang, seperti kulit, rongga telinga, hidung, bulu, ekor,
dan mata (Suwandi, 2001). Golongan ekstoparasit yaitu termasuk insecta dan
arachnida. Kelas insecta terdiri dari empat ordo, yaitu Phthiraptera (kutu),
Siphonoptera (pinjal), Hemiptera (kutu busuk), Diptera (nyamuk dan lalat), dan
kelas Arachnida itu sendiri terdiri dari ordo Acariformes (tungau) dan
Parasitiformers (caplak) (Hadi dan Soviana dalam Andini, 2008).
6. 6
2.3.1.1. Tabanidae tabanus sp.,cacing jenis ini termasuk ke dalam kelas Insecta,
ordo Diptera, sub ordo Brachycera, famili Tabanidae. Tabanus adalah lalat pitak
atau lalat kuda (Hadi dan Saviana, 2000). Daur hidup dari Tabanus sp. adalah
dimulai dari telur menetas dalam waktu satu minggu lalu masuk ke dalam air,
didalam air larva lalat kuda akan makan larva insecta, larva Crustacea, siput
cacing tanah dan sebagainya, kemudian larva akan migrasi ke tanah kering untuk
menjadi pupa yang sangat mirip dengan pupa kupu-kupu, setelah 5 hari sampai 3
minggu menjadi lalat dewasa, kecepatan untuk menjadi lalat dewasa tergantung
dari jenis lalat kuda (Levine, 1994).
2.3.1.2. Chrysomya megachepala, family Callphoridae mirip dengan lalat rumah
atau sering disebut juga dengan sebutan lalat hijau, tetapi seringkali lebih besar
dan biasanya berwarna hijau atau biru metalik (Levine, 1994). Hasil pengamatan
terhadap tanda-tanda morfologi Chrysomya megachepala didapatkan bahwa
warna tubuh hijau metalik, torak berwarna hijau metalik kecokelatan, abdomen
berwarna hijau metalik. Panjang tubuh 8,83±0,68 mm (n=40) dengan kisaran
antara 7,17-10,40 mm, ukuran lebar kepala 3,27±0,68 mm (n=40) dengan kisaran
antara 2,50-4,07 mm. Panjang sayap 5,99±2,84 mm (n=40) dengan kisaran 5,307,10. Lebar sayap 2,30±2,33 mm (n=40) dengan kisaran 2,01- 2,80 mm. Mata
berukuran besar dan berwarna merah, hampir bersentuhan diantara keduanya
(Suraini,
2011).Semua
lalat
mengalami
metamorfosis
sempurna
dalam
perkembangannya. Pertama, telur lalat akan diletakkan dalam medium yang dapat
menjadi medium untuk pertumbuhan larva. Lalu larva akan berubah menjadi pupa.
Stadium pupa bisa beberapa hari, minggu, atau bulan. Kemudian lalat dewasa
7. 7
akan muncul dan mencari pasangan kembali untuk menghasilkan telur-telur
mereka(Hadi, 2012). Selama hidupnya lalat hijau betina dapat menghasilkan ratarata 687,5–1690 butir telur yang dapat bertelur sebanyak 4–6 kali. Waktu yang
diperlukan untuk melengkapi siklus hidup dalam media daging mentah pada suhu
24–28,5oC dengan kelembaban 85–95% adalah selama 24–33 hari (Haryati, 2006).
2.3.2.
Endoparasit
Endoparasit adalah parasit yang ditemukan pada organ bagian dalam
inang (Yuliarti, 2011).Endoparasit meliputi cacing, seperti cacing gilik
(nematode) dan cacing daun (trematoda) (Mastika et al., 1993).
2.3.2.1. Schistosoma bovis, telur cacing jenis Schistosoma sp. ini berwarna coklat
kekuningan, mempunyai dinding yang tembus sinar, terdapat tonjolan seperti
spina pada salah satu ujungnya (Soedarto dalam Jusmaldi dan Arini, 2010).
penelitiannya
di
danau
Lindu
dan
lembah
Napu,
Sulawesi
Tengah
menggambarkan daur hidup dari Schistosoma sebagai berikut : Telur cacing yang
dikeluarkan bersama tinja akan menetas dalam air dan menjadi mirasidium yang
dapat berenang dan memasuki induk semang antara, yaitu siput. Di dalam tubuh
siput mirasidium berubah menjadi sporosista pertama atau sporosista induk yang
mengandung sporosista kedua atau sporosista anak yang kemudian akan
menghasilkan serkaria. Untuk siklus ini, diperlukan waktu lebih kurang tiga bulan.
Serkaria kemudian keluar meninggalkan siput dan berenang aktif mencari hospes
definitifnya, yaitu manusia, anjing, tikus, kijang dan hewan lainnya seperti kuda
8. 8
dan sapi. Genus Schistosoma biasanya menyerang sistem peredaran darah
(Suwandi, 2001).
2.3.2.2. Syngamus laryngeus,Mammonogamus laryngeus (Syngamus laryngeus)
adalah cacing jenis nematoda yang dapat ditemukan di laring dari hewan mamalia
tropis terutama pada sapi potong dan kucing (Moks et al., 2005). Cacing kelas
nematoda yang menyerang saluran pencernaan dapat menimbulkan kerugian
berupa gangguan pertumbuhan dan mencret (Suwandi, 2001).
2.3.2.3. Haemonchus spp.,Hemonchus spp adalah jenis cacing kawat yang hidup
di saluran pencernaan, cacing ini berwarna merah berukuran 10-20 mm (jantan)
dan bergaris merah dengan ukuran 18-30 mm (betina), dan biasanya mudah
terlihat saat bedah bangkai (FAO yang diterjemahkan oleh Akoso et al., 1990).
Kerugian yang ditimbulkan selain kematian juga menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan dan produksi, karena sifat cacing adalah penghisap darah yang
mengakibatkan anemia hemorhagie dengan ditandai jumlah eritrosit dan PCV,
infeksi khronis dapat berjalan lama karena masih adanya sejumlah cacing jika
disertai nutrisi buruk maka berakibat penurunan berat badan dan disertai
penurunan protein dalam tubuh (Lastuti et al., 2006).
2.3.2.4. Paramphistomum sp., yang termasuk kedalam cacing genus Fasciola
(cacing hati) yang berwarna merah muda ke kuning-kuningan sampai abu-abu ke
hijau-hijauan antara lain cacing Paramphistomum sp. (cacing parang) dan Genus
Schistosoma (menyerang sistem peredaran darah) (Suwandi, 2001). Cacing
dewasa bertelur didalam habitatnya kemudian menuju usus dan dikeluarkan
9. 9
bersam dengan tinja. Telur beroperkulum yang telah mengandung embrio
kemudian menetas membebaskan mirasidium yang bergerak aktif dalam
lingkungan yang berair menuju inang sementara berupa siput. Lima sampai tujuh
minggu setelah infeksi berudu keluar dari tubuh siput dan berenang bebas
kemudian kontak dengan tanaman disekitarnya membentuk metaserkaria.
Perkembangan selanjutnya, serkaria membentuk kista pada tanaman atau rumput
di area penggembalaan. Infeksi terjadi karena inang definitif memakan rumput
yang terkontaminasi metaserkaria. Setelah termakan, metaserkaria mengalami
ekskistasi membebaskan cacing muda dalam usus halus. Kemudian cacing muda
ini akan bermigrasi keatas menuju rumen dan retikulum dan akhirnya berkembang
menjadi cacing dewasa kembali (Putratama, 2009).
2.3.2.5. Prosthogonimus, telur cacing prosthogonimus umumnya memiliki
panjang rata-rata 87 x 50 μm, dan berwarna kecoklatan (Elmer dan Glen, 1989).
Genus prosthogonimus ini adalah cacing berukuran sedang bagian paling lebar
dibagian belakang pertengahan tubuh (Levine, 1994). Infeksi cacing trematoda
yang tersebar luas dan kejadiannya sangat umum tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain iklim yang tropis dan sistem irigasi yang tidak teratur
sehingga siput yang berperan sebagai ISA (induk semang antara) dapat
berkembang biak dengan mudah (Sutrisnawati, 2011).
2.4.
Pemeriksaan Kesehatan Ternak Unggas Broiler
Populasi kandang yang terlalu padat dapat menyebabkan ayam menjadi
stres, sehingga menurunkan produksi, disamping itu juga akan berpengaruh pada
10. 10
efisien penggunaan pakan. Sedangkan populasi yang terlalu kecil akan
menyebabkan kandang kurang efisien penggunaannya dan akan berpengaruh juga
pada pertumbuhan bobot badannya yang kurang optimal disebabkan ayam banyak
bergerak atau jalan-jalan (Murni, 2009). Kepadatan kandang ayam umur lima
minggu berjumlah antara 8-10 ekor/m2 (Martono dalam Wahyudi et al., 2010).
Pengambilan sampel darah atau organ tubuh ayam digunakan untuk
menganalisa apakah organ tersebut terserang penyakit atau tidak dengan
melakukan analisis DNA-nya melalui uji PCR (polymerase chain reaction). Jika
DNA negative berarti tidak terjangkit virus dan jika DNA posistif terinfeksi virus,
segera ayam-ayam tersebut dimusnahkan untuk mencegah penyebaran yang
semakin luas. Pemeriksaan nekropsi adalah pemeriksaan jaringan tubuh ternak
untuk mengetahui kelainan penyakit pada ternak unggas dengan cara membedah
rongga tubuh (Murtidjo, 1992). Gambaran darah merupakan salah satu parameter
dari status kesehatan hewan karena darah mempunyai fungsi penting dalam
pengaturan fisiologis tubuh. Fungsi darah berkaitan dengan transportasi
komponen di dalam tubuh seperti nutrisi, oksigen, karbondioksida, maetabolit,
hormon, panas, dan imun tubuh sedangkan fungsi dari darah berkaitan dengan
keseimbangan cairan dan pH tubuh (Reece dalam Satyaningtihas et al., 2010).
Ciri ayam broiler yang sehat yaitu muka cerah, jengger merah, lubang
hidung bersih dari lendir, tidak bercak merah pada bagian kulit, ayam tidak
mengantuk, bulu cerah tidak kusam, kelihatan berminyak, sayap kuat tidak jatuh,
serta kaki tegak dan kokoh. Ayam yang sehat tidak terdapat luka di bagian
tubuhnya (Fadilah dan Polana, 2004). Peternakan unggas memperhatikan titik
11. 11
kritis mulai dari pemeliharaan, proses pemotongan unggas di RPU, transportasi
dan pada saat penjajaan merupakan hal yang harus mendapat perhatian khusus.
Bila penanganan titik kritis dilaksanakan dengan tepat, maka kemungkinan
terjadinya kontaminasi silang dapat ditekan dengan yang pada gilirannya dapat
meningkatkan mutu dan kualitas produk unggas tersebut aman dan layak
dikonsumsi (Akhirany, 2009).
Unggas yang sakit memiliki ciri-ciri saat berdiri ayam tidak berdiri
secara tegak atau lemah (Fadilah dan Polana, 2004). Pada lantai kandang sebagai
tempat berpijak haruslah bersih dan harus dalam keadaan kering. Sebab bila kotor
dan becek akan sangat merugikan ayam. Lantai yang becek mengakibatkan ujung
jari kaki ayam terbungkus oleh kotoran, sehingga memperbesar kemungkinan
terjadinya infeksi penyakit kolera atau coli (Sudarmono dan Sugeng, 2007). Pada
kondisi fisik ternak bulu unggas merupakan hal yang penting bagi tingkat
ketahanan terhadap penyakit. Bulu memiliki peranan penting yaitu untuk
membantu menghangatkan tubuh, untuk terbang, untuk identifikasi penyakit,
untuk insulasi tubuh terhadap panas dan dingin yakni melindungi tubuh dari
pengaruh panas dan dingin serta untuk identifikasi defisiensi nutrient, bulu akan
kusam dan mudah patah jika kekurangan salah satu nutrient dalam pakan
(Yuwanta, 2008).
Penyakit pada saluran pencernaan merupakan penyakit yang disebabkan
oleh bakteri maupun virus yang biasanya menyerang pada bagian organ saluran
pencernaan (Tabbu, 2002). Abnormalitas pada saluran pencernaan ayam dapat
meliputi stomatitis, nekrosis pada paruh, impaksi (pemadatan tembolok), impaksi
12. 12
ventrikulus (Fadilah dan Polana, 2004). Kemudian penyakit hati juga salah satu
diantaranya penyakit yang biasa disebut dengan fatty liver-Hemorrhagic
syndrome (FLHS) yang ditandai dengan hati berwarna pucat kekuningan,
membesar, mudah rapuh dan berminyak (Tabbu, 2002). Kelebihan mengkonsumsi
pakan yang mengandung energi dan karbohidrat yang tinggi dapat menimbulkan
pelemakan pada hati,hal ini disebabkan karena kelebihan karbohidrat sehingga
akan diubah menjadi lemak melalui proses glukoneogenesis. Lemak perut
merupakan deposisi dari kelebihan metabolisme lemak yang merupakan cadangan
energi bagi ayam yang diperoleh dari diet yaitu lemak pakan dan lipogenesis
(Wahyono et al. dalam Rumiyani et al., 2011).
Jantung terdiri atas sekumpulan otot berfungsi memompa darah kesemua
bagian tubuh dan merupakan pusat sistem peredaran darah(Akoso, 2002). Jantung
merupakan organ vital yang berperan dalam sirkulasi darah. Jantung yang
terinfeksi penyakit maupun racun biasanya akan mengalami perubahan pada
ukuran jantung (Hermana et al. 2005).
Ginjal bertanggung jawab produksi air seni yang dikeluarkan lewat
salurannya menuju ureter, menampungnya dalam kandung kemih, dan
mengeluarkannya melalui uretra (Akoso, 2000). Kerusakan pada ginjal ini adanya
sel yang mengalami nekrosa menyebabkan proses filtrasi dan keseimbangan asam
basa akan terganggu. Akibatnya metabolisme dalam tubuh menjadi menurun dan
hal ini dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan (Sugito et al., 2006).
Pankreas adalah jaringan kelenjar yang terletak di belakang lambung dan
bagian yang besar terletak dibawah ginjal sebelah kanan. Kelenjar ini memiliki
13. 13
saluran untuk aliran getah yang dihasilkannya mengalir ke usus (Akoso, 2000).
Kerusakan pada pankreas dan saluran pencernaan ayam memberikan indikasi
terjadinya gangguan pada proses pencernaan ayam penderita sehingga terjadi
gangguan pertumbuhan bobot badan ayam (Wahyuwardhani et al, 2000).
Percabangan trachea merupakan rangakaian dari cincin tulang rawan, pada
bagian cincin tulang rawan ini tumbuh bulu getar atau cilia. Percabangan pada
Treachea dibagi menjadi dua yaitu bifuricatio trachea dan yang berujung pada
alveoli (Sudarmono dan Sugeng, 2007). Salah satu ciri-ciri dari kelainan atau
penyakit pada ternak dapat dilihat dengan kantong udaranya (Rasyaf, 2008).
Noduli kartilaginus merupakan salah satu penyakit pada saluran
pernafasan unggas terutama pada paru–paru. Nodule kartilagnius dapat ditemukan
pada didalam parenkim dari lobi paru. Nodule kartilagnius berasal dari kondrosit
yang mengalami dysplasia dari bronki yang berdekatan selama stadium awal
perkembangan (Sudarmono dan Sugeng, 2007). Noduli pada paru sering sekali
ditemukan pada ayam pedaging umur 1 hari – 52 minggu. Noduli tersebut
biasanya paling sering di temukan pada ayam pejantan umur 3 minggu, di dalam
paru pada bagian kiri (Tabbu, 2002).
Duktus bagian kiri akan berkembang menjadi oviduk yang aktif
sedangkan duktus sebelah kanan akan mengalami regresi (Tabbu, 2002). Kista
kecil tidak menimbulkan efek yang merugikan namun kista besar dapat
mengakibatkan rongga abdomen menggantung sehingga dapat dikelirukan sebagai
asites (Fadilah dan Polana, 2004).
14. 14
Tubuh hewan terdapat tiga macam sistem syaraf yaitu sistem saraf pusat,
sistem saraf tepi dan sistem saraf simpatetik (Akoso, 2000). Kelainan pada marek
dapat digolongkan ke dalam kerusakan syaraf dan tumor limfoid (limfoma).
Kerusakan syaraf pada Marek dapat terjadi pada susunan syaraf pusat maupun
perifer (tepi) (Damayanti dan Wiyono, 2003). Ditambahkan oleh kerusakan pada
otak, batang otak, dan syaraf perifer atau syaraf tepi masing-masing ditandai
dengan ensefalitis, myelitis, dan neuritis yang ketiganya bersifat non superatif
(Hungerford dalam Damayanti dan Wiyono, 2003).
15. 15
BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak tentang Analisis Kondisi Peternakan
Rakyatdi peternakan sapi potong milik Bapak Wagimin yang dilaksanakan pada
hari Sabtu tanggal 24 Oktober 2012 di Bulusan, Kecamatan Tembalang pada
pukul 16.00 – 17.00 WIB. Pemeriksaan Feses dan Pengamatan Preparat Parasit
dilaksanakan pada hari Senin tanggal 5 November 2012 pukul 16.00 – 18.00 WIB.
Serta Pemeriksaan Kesehatan Ternak Unggas dilaksanakan hari Senin tanggal 26
November 2012 pukul 14.00 – 16.00 di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1.
Materi
Materi yang digunakan dalam praktikum dengan materi analisis kondisi
peternakan rakyat adalah alat wawancara yang bertujuan sebagai pengambil data
dan pengambilan gambar. Materi praktikum dengan pemeriksaan kesehatan ternak
ruminansia yaitu termometer yang bertujuan untuk mengetahui suhu tubuh ternak,
stetoskop untuk mengetahui denyut nadi dari ternak, dan alat tulis yang berfungsi
untuk mencatat data keseluruhan saat praktikum. Praktikum pemeriksaan feses
dan pengamatan preparat parasit yaitu mortar berfungsi untuk wadah mengaduk
feses, sendok yang berfungsi untuk mengaduk feses, pipet tetes berfungsi untuk
mengambil larutan feses, tabung sentrifuse berfungsi untuk menghomogenkan
larutan feses, rak tabung sentrifuse berfungsi tempat tabung sentrifuse agar tetap
16. 16
tegak lurus, gelas obyek yang berfungsi untuk wadah sampel feses yang akan
diamati pada mikoskop, dan kaca penutup untuk menutup obyek glas. Materi yang
digunakan dalam praktikum pemeriksaan kesehatan ternak yaitu menggunakan
ayam broiler, alat suntik yang digunakan untuk mengambil darah, pisau yang
digunakan untuk menyembelih ternak, pisau bedah yang digunakan untuk
mengambil organ dalam. Bahan yang digunakan pada saat praktikum antara lain
feses dan larutan gula.
3.2.
Metode
3.2.1.
Analisis kondisi peternakan rakyat
Metode yang digunakan dalam praktikum analisis kondisi peternakan
rakyat adalah mengunjungi peternak kemudian mengamati keadaan lingkungan
fisik, melakukan wawancara kepada peternak dengan menanyakan tentang
penyakit yang pernah diderita oleh ternak, kemudian pemberian pakan pada ternak,
sanitasi kandang, pencegahan penyakit, dan penanganan penyakit jika ternak
terkena sakit.
3.2.2.
Pemeriksaan kesehatan ternak ruminansia
3.2.2.1. Pemeriksaan jarak jauh, mengamati dari jauh mulai dari aktifitas
ternak, sikap berdiri, pergerakan anggota tubuh, serta mengamati konsumsi makan
dan minumnya.
17. 17
3.2.2.2. Pemeriksaan jarak dekat, mendatangi ternak serta mengamati sikap
ketanggapan dari ternak. Memegang ternak secara perlahan-lahan kemudian
mengukur frekuensi denyut nadi dengan menggunakan tangan yang kita letakkan
di pangkal ekor, kemudian mengukur suhu tubuh ternak dengan menggunakan
termometer, kemudian mengukur kecepatan bernafas dengan menggunakan
telapak tangan yang didekatkan ke hidung ternak.
3.2.3.
Pemeriksaan mikroskopis feses
3.2.3.1. Metode natif, mengambil 1-2 gram feses. Meletakkan feses kedalam
mortal, kemudian menambahkan air sedikit dan mengaduk hingga rata.
Mengambil larutan feses dengan menggunakan pipet tetes dan meletakkannya
kedalam obyek glas, lalu menutupnya dengan menggunakan kaca penutup.
Mengamati sampel feses dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x10.
3.2.3.2. Metode sentrifuse, mengambil 1-2 gram feses. Meletakkan feses
kedalam mortal, kemudian menambahkan air sedikit dan mengaduk hingga rata.
Menuangkan larutan feses kedalam tabung sentrifuse hingga ¾ bagian tabung.
Memutar sentrifuse selama 5 menit. Menuangkan NaCl sampai ¾ bagian tabung,
lalu mengaduk hingga homogen dengan menggunakan sentrifuse selama 5 menit.
Meletakkan tabung sentrifuse pada rak tabung pada posisi tegak lurus.
Menambahkan NaCl perlahan-lahan hingga penuh (hingga permukaan air menjadi
cembung), dan membiarkan selama 2-3 menit. Menempelkan obyek glas pada
permukaan NaCl yang cembung tersebut, dan langsung membaliknya. Mengamati
dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10.
18. 18
3.2.5.
Pengamatan preparat awetan parasit
Metode yang digunakan dalam pengamatan preparat parasit dengan
menggunakan preparat ektoparasit yang ada didalam tabung kecil dan endoparasit
yang ada dalam tabung besar, kemudian mengamati dan mencatatnya serta
menggambar preparat hewan ektoparasit dan endoparasit.
3.2.6.
Pemeriksaan kesehatan unggas
3.2.6.1. Pengamatan performans unggas, metode yang digunakan untuk
pemeriksaan kesehatan unggas yaitu dengan pengamatan performans unggas yaitu
dengan melihat penampilan tubuh unggas, meliputi: mata, sayap, kaki, bulu, pial.
3.2.6.2. Pengambilan darah, mengambil darah ayam melalui vena bracialis (vena
bagian sayap sebelah dalam) atau vena jugularis dengan menggunakan jarum
suntik. Memasukkan darah dalam tabung gelas secara hati-hati (darah dialirkan
lambat melalui dinding tabung). Tabung penampung tanpa antikoagulan dan
menunggu selama setengah jam kemudian mengamati perubahannya.
3.2.6.3. Nekropsi, mematikan ayam dengan cara memotong pembuluh darah
(arteri maupun vena jugularis), syaraf, trakea maupun esofagus pada bagian leher
sebelah atas dengan pisau tajam. Membasahi bulu unggas, pada bagian dada dan
perut. Meletakkan unggas pada alas plastik dan melakukan nekropsi dengan
memeriksa permukaan kulit ayam, memeriksa warna dan kondisi jaringan bawah
kulit dan otot dada, memeriksa semua yang nampak setelah otot dada dan perut
dibuka, memeriksa saluran pencernaan, memeriksa hati, memeriksa jantung,
19. 19
memeriksa ginjal, memeriksa pankreas, memeriksa bursa fabrisius, memeriksa
trakea, memeriksa paru, serta memeriksa syaraf.
20. 20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Kondisi Peternakan Rakyat
Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data
sebagai berikut:
Ilustrasi 1. Kondisi Peternakan Rakyat
Peternakan Bapak Wagimin terletak di Kelurahan Bulusan, Kecamatan
Tembalang, Semarang. Pendidikan Bapak Wagimin yaitu tidak tamat SD. Bapak
Wagimin mulai beternak sapi potong sekitar tahun 2005. Jumlah ternak yang
dimiliki saat ini yaitu 7 ekor yaitu 6 ekor jantan dan 1 ekor betina. Ilmu beternak
Bapak Wagimin pada awalnya otodidak, kemudian mendapatkan pelatihan
beternak dari penyuluh Dinas Peternakan Kota Semarang. Kondisi peternakan
milik Bapak Wagimin masih kurang memenuhi syarat, karena jarak kandang
dengan rumah penduduk sangat dekat dan lingkungan kandang terlihat kumuh.
Keadaan kandang seperti ini akan membuat ternak kurang merasa nyaman dan
21. 21
mudah terserang bibit penyakit. Hal ini sesuai pendapat Purnomoadi (2003) yang
menyatakan bahwa keadaan kandang yang baik yaitu tidak berdekatan dengan
pemukiman penduduk minimal 50 meter, dan tidak ada genangan air serta bersih
baik didalam kandang maupun diluar kandang sehingga ternak dapat merasa
nyaman.
Salah satu cara untuk mengetahui kondisi ternak yaitu dengan
menggunakan teknik anamnesa. Teknik anamnesa dilakukan dengan menanyakan
kondisi ternak secara langsung kepada peternak. Hal ini sesuai dengan pendapat
dari Siregar (1997) yang menyatakan bahwa anamnesa merupakan cara untuk
mengetahui kondisi kesehatan ternak dengan menanyakan pada pemilik ternak
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan ternak.Riwayat penyakit
yang pernah menyerang ternak biasanya yaitu masuk angin, kembung, dan diare.
Penyakit masuk angin dan kembung dapat diketahui bila ternak tidak mau makan
dan ukuran rumen membesar, sedangkan ternak yang terjangkit diare fesesnya
akan terlihat encer. Hal ini sesuai pendapat dari Rianto dan Purbowati (2010)
yang menyatakan bahwa gejala yang muncul jika terdapat kelainan pada saluran
pencernaan misalnya kembung adalah nafsu makan hilang, perut bagian kiri
terlihat buncit, susah bernafas dan badan gemetar.
22. 22
4.1.1.
Pengamatan kondisi lingkungan dan kandang ternak
Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data
sebagai berikut:
Ilustrasi 2.Keadaan Lingkungan kandang
Lokasi pembuatan kandang Bapak Wagimin belum memenuhi syarat,
karena jarak antara kandang dengan rumah penduduk relatif dekat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Mandiri (2009) yang menyatakan bahwa lokasi yang ideal dalam
pembuatan kandang yaitu daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman
penduduk. Lingkungan disekitar peternakan mendukung karena dekat dengan
sumber air, disekitar lingkungan kandang juga terdapat tanaman diantaranya
ketela pohon, beberapa legume, serta pohon besar yang digunakan sebagai bahan
pakan ternak. Kebersihan lingkungan kurang karena kotoran hanya dibuang
melewati pintu dan hanya dibiarkan menumpuk karena tidak terdapat saluran
pembuangan. Lingkungan kandang yang tidak bersih dapat menyebabkan ternak
mudah terserang penyakit seperti diare dan cacingan. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari Rianto dan Purbowati (2010) yang menyatakan bahwa kotoran atau
23. 23
sampah yang menumpuk dapat digunakan sebagai media perkembangan penyakit
tertentu pada ternak.
Ilustrasi 3. Keadaan Sumber Air
Bangunan kandang pada peternakan ini berupa bangunan tradisional semi
permanen yang terbuat dari bambu. Lingkungan sekitar kandang sangat
mendukung karena dekat dengan sumber air dan terdapat tanaman yang dapat
digunakan sebagai pakan di dekat kandang. Namun kandang peternakan Bapak
Wagimin kurang memenuhi syarat karena lantai kandang berupa lantai tanah yang
tidak diberi alas dan tidak dibuat miring. Lantai kandang yang baik yaitu harus
dibuat miring guna memudahkan dalam melakukan sanitasi, serta pemberian alas
pada lantai yang terbuat dari tanah supaya ternak merasa hangat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Mandiri (2009) yang menyatakan bahwa lantai yang terbuat dari
tanah padat harus dilapisi dengan alas seperti jerami kering sebagai alas ternak
agar tetap hangat. Kandang juga tidak dilengkapi dengan selokan sehingga sulit
untuk melakukan sanitasi. Selain itu tidak terdapat ventilasi udara pada kandang,
sehingga sirkulasi udara didalam kandang kurang baik. Hal ini sesuai dengan
24. 24
pendapat Abidin (2002) yang berpendapat bahwa kandangan sapi yang ideal
sebaiknya terdapat ventilasi yang berfungsi sebagai proses sirkulasi udara. Antar
ternak tidak diberi pembatas atau stall, hal ini dapat menyebabkan perkelahian
antar ternak. Palung tempat pakan terbuat dari bambu yang memanjang tanpa
sekat sehingga membuat sapi saling berebut pakan.
4.1.2.
Tata laksana
Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data
sebagai berikut:
Ilustrasi 3. Pakan Hijauan
Pakan merupakan bahan yang didalamnya mengandung nutrisi yang
diberikan kepada ternak untuk pertumbuhan dan reproduksi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Purnomoadi (2003) yang menyatakan bahwa pakan merupakan segala
sesuatu yang diberikan kepada ternak yang dapat dicerna keseluruhan maupun
sebagiannya saja dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan, perkembangan,
25. 25
serta reproduksi ternak. Pemberian pakan pada ternak oleh Bapak Wagimin
berupa rumput, ketela pohon, dedak, dan molases.Pakan sangat berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan serta reproduksi ternak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Rianto dan Purbowati (2010) yang menyatakan bahwa pola perumbuhan
dan perkembangan ternak tergantung pada pengelolaan dan tingkat nutrisi
didalam pakan yang tersedia.
Tata laksana dalam pemeliharaan ternak meliputi lokasi kandang, pakan
dan kebersihan kandang serta suhu lingkungan kandang. Suhu udara dilokasi
kandang sudah baik untuk produktivitas ternak, namun lokasi pembangunan
kandang kurang sesuai
karena dibangun dekat dengan pemukiman. Sanitasi
kandang dilakukan setiap pagi. Permasalahan pada lantai kandang yang terbuat
dari tanah membuat kondisi kandang tetap lembab dan kotor. Pembuangan
kotoran ternak hanya dilakukan dengan mengumpulkannya di samping kandang
sehingga lingkungan kandang menjadi kotor dan dapat menyebarkan berbagai
penyakit. Sanitasi sapi dilakukan dengan memandikan sapi dua hari sekali saat
musim penghujan tetapi saat musim kemarau sapi tidak dimandikan untuk
menghemat air. Hal ini dapat menyebabkan berbagai penyakit kulit akibat
datangnya ekstoparasit contohnya lalat. Menjaga kesehatan ternak seharusnya
diperhatikan mulai dari kebersihan ternak dan kebersihan dilingkungan ternak.
Hal ini sesuai dengan pendapat Asmaki (2009) yang menyatakan bahwa dalam
memelihara kesehatan sapi peternak harus mengawasi kebersihan kandang dan
memberikan perawatan kepada sapi dengan baik. Penanganan yang dilakukan
26. 26
oleh Bapak Wagimin apabila ada ternak yang sakit yaitu memanggilkan dokter
hewan disekitar tempat tinggal.
27. 27
4.2.
Pemeriksaan Kesehatan Hewan
Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data
sebagai berikut:
Ilustrasi 4.Gambar Induk Sapi
Pengamatan tingkah laku pada ternak didapatkan, secara umum sapi
Peranakan Ongole milik Bapak Wagimin kondisi permukaan tubuhnya agak
kusam, namun tidak ditemukan luka dipermukaan tubuh. Aktivitas pada sapi
sangat lincah, seluruh anggota tubuh aktif bergerak, tidak ada luka disekitar tubuh,
nafsu makan dan minum banyak, posisi tubuh berdiri tegak, dan kondisi berat
badan cukup sehingga dapat dikatakan sapi dalam keadaan sehat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Agromedia (2010) yang menyatakan bahwa sapi yang sehat
ditandai dengan bulu licin mengkilap serta tidak ada luka dibagian tubuhnya,
bentuk tubuh proporsional, bereaksi baik terhadap pakan, dan bentuk kotoran
normal.
28. 28
Pemeriksaan fisik tubuh ternak yang telah dilakukan, didapatkan bahwa
tidak ada bagian tubuh ternak yang nampak sakit. Suhu tubuh mencapai 38oC,
gerakan nafas teratur, kecepatan pulpus sebesar 60 kali/menit. Hasil pemeriksaan
ini menunjukkan bahwa ternak dalam kondisi normal. Hal ini sesuai dengan
pendapat Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa frekuensi nafas
normal pada sapi potong yaitu 10-30 kali/menit, dan denyut nadi sebesar 60-70
kali/menit. Ditambahkan oleh Sugeng (2006) yang menyatakan bahwa suhu tubuh
normal pada sapi sebesar 38-39,5oC. Kondisi feses yang keluar lunak dan tidak
berbentuk, kondisi urin keluar dalam jumlah sedang. Hal ini menunjukkan ternak
sehat.
29. 29
4. 3.
Pemeriksaan Mikroskopis Feses
Pemeriksaan mikroskopis feses bertujuan untuk mengetahui jenis cacing
yang ada dalam sampel feses. Pemeriksaan mikroskopis feses ini dilakukan
dengan 2 metode yaitu metode natif dan metode sentrifuse.
4.3.1.
Metode Natif
Berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis feses dengan metode natif
diperoleh telur cacing Schistosoma bovispada feses sapi anakan Peranakan Ongole
sebagai berikut :
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber : www.google.co.id
Ilustrasi 5. Schistosoma bovis
Pengamatan sampel feses sapi PO (Peranakan Ongole) ditemukan telur
cacing jenis trematoda yaitu Schistosoma bovis dengan ciri-ciri bentuk agak oval
panjang, memiliki bintik gelap dibagian tengah, dan berwarna kecoklatan serta
berwarna cerah dibagian pinggir seperti dinding. Hal ini sesuai dengan pendapat
30. 30
dari Soedarto dalam Jusmaldi dan Arini (2010) yang menyatakan bahwa telur
cacing jenis Schistosoma sp. ini berwarna coklat kekuningan, mempunyai dinding
yang tembus sinar, terdapat tonjolan seperti spina pada salah satu ujungnya.
Siklus hidup dari cacing Shistosomayaitu berawal dari telur yang ada di dalam
tinja –(mirasidium - sporosista - serkaria)–menuju sapi atau hewan lainnya. Hal
ini sesuai dengan pendapatHadijaja dalam Soejoedono (2011) dari penelitiannya
di danau Lindu dan lembah Napu, Sulawesi Tengah menggambarkan daur hidup
dari Schistosoma sebagai berikut : Telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja
akan menetas dalam air dan menjadi mirasidium yang dapat berenang dan
memasuki induk semang antara, yaitu siput. Di dalam tubuh siput mirasidium
berubah menjadi sporosista pertama atau sporosista induk yang mengandung
sporosista kedua atau sporosista anak yang kemudian akan menghasilkan serkaria.
Untuk siklus ini, diperlukan waktu lebih kurang tiga bulan. Serkaria kemudian
keluar meninggalkan siput dan berenang aktif mencari hospes definitifnya, yaitu
manusia, anjing, tikus, kijang dan hewan lainnya seperti kuda dan sapi.
Schistosoma bovis umumnya sering dijumpai pada sapi potong, biasanya
menyerang sistem peredaran darah pada hewan ternak yang ditempatinya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Suwandi (2001) yang menyatakan bahwa genus
Schistosoma biasanya menyerang sistem peredaran darah.
31. 31
4.3.2.
Metode Sentrifuse
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh bahwa pada sampel feses sapi
PO (Peranakan Ongole) ditemukan telur cacing jenis Syngamus laryngeus sebagai
berikut :
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber : www.google.co.id
Ilustrasi 6. Syngamus laryngeus
Syngamus laryngeus memiliki ciri-ciri ukuran tubuh yang kecil dan
bentuk oval, dan terdapat bintik hitam, berdinding tipis dan termasuk kedalam
cacing kelas nematoda. Syngamus laryngeus dapat ditemukan pada bagian laring.
Hal ini sesuai dengan pendapat Moks et al. (2005) yang menyatakan bahwa
Mammonogamus laryngeus (Syngamus laryngeus) adalah cacing jenis nematoda
yang dapat ditemukan di laring dari hewan mamalia tropis terutama pada sapi
potong dan kucing. Perkembangbiakan endoparasit didalam tubuh ternak, dapat
menimbulkan beberapa penyakit, salah satu contohnya yaitu dapat menghambat
proses pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suwandi (2001) yang
32. 32
menyatakan bahwa cacing dari kelas nematoda yang menyerang saluran
pencernaan ternakruminansia dapat menimbulkan kerugian berupa gangguan
pertumbuhan dan mencret.
4.4.
Pengamatan Preparat Awetan Parasit
Pengamatan preparat awetan parasit bertujuan untuk dapat mengenali dan
mengetahui dengan jelas berbagai jenis endoparasit dan ekstoparasit yang sering
muncul pada ternak.
4.4.1.
Ektoparasit
Ektoparasit yaitu parasit yang hidupnya pada permukaan tubuh bagian
luar atau bagian tubuh yang berhubungan langsung dengan dunia luar dari hospes.
Hal ini sesuai dengan pendapat Suwandi (2001) yang menyatakan bahwa
ekstoparasitmerupakan parasit yang hidupnya pada permukaan tubuh bagian luar
atau bagian tubuh dalam yang dapat berhubungan langsung dengan dunia luar dari
hospes atau inang, seperti kulit, rongga telinga, hidung, bulu, ekor, dan
mata.Golongan ekstoparasit yang biasa menyerang ternak yaitu kelas insekta dan
kelas arachnida. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi dan Soviana yang
disitasikan Andini (2008) yang menyatakan ektoparasit termasuk kelas insecta
yang terdiri dari empat ordo, yaitu Phthiraptera (kutu), Siphonoptera (pinjal),
Hemiptera (kutu busuk), Diptera (nyamuk dan lalat), dan kelas Arachnida itu
sendiri terdiri dari ordo Acariformes (tungau) dan Parasitiformers (caplak).
33. 33
4.4.1.1. Tabanidae tabanus sp, Berdasarkan hasil pengamatan preparat awetan
parasit, diperoleh hasil sebagai berikut :
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber : www.google.co.id
Ilustrasi 7. Tabanidae tabanus sp
Tabanidae tabanus sp merupakan ektoparasit yang bisa terbang. Lalat ini
berwarna hitam dan dapat menyebarkan virus penyakit. Hal ini sesuai dengan
pendapat Levine (1994) bahwa Tabanus termasuk ke dalam kelas Insecta, ordo
Diptera, sub ordo Brachycera, famili Tabanidae. Tabanus adalah lalat pitak atau
lalat kuda. Daur hidup dari Tabanus sp. adalah dimulai dari telur menetas dalam
waktu satu minggu lalu masuk ke dalam air, didalam air larva lalat kuda akan
makan larva insecta, larva Crustacea, siput cacing tanah dan sebagainya,
kemudian larva akan migrasi ke tanah kering untuk menjadi pupa yang sangat
mirip dengan pupa kupu-kupu, setelah 5 hari sampai 3 minggu menjadi lalat
dewasa, kecepatan untuk menjadi lalat dewasa tergantung dari jenis lalat
34. 34
kuda.Ditambahkan pula oleh pendapat Hadi dan Saviana (2000) bahwa Tabanus
adalah lalat pitak atau lalat kuda.
4.4.1.2. Chrysomya megachephala, Berdasarkan hasil pengamatan preparat
awetan parasit, diperoleh hasil sebagai berikut :
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber : www.google.co.id
Ilustrasi 8. Chrysomya megachepala
Chrysomya megachephala termasuk jenis ekstoparasit dari Ordo Dipetra
dan Family Callphoridae. Hal ini sesuai dengan Levine (1994) bahwa Family
Callphoridae mirip dengan lalat rumah atau sering disebut juga dengan sebutan
lalat hijau, tetapi seringkali lebih besar dan biasanya berwarna hijau atau biru
metalik. Ciri-ciri parasit ini antara lain tubuh yang berwarna biru kehitaman serta
mengkilap, dan mata yang berwarna coklat. Ditambahkan oleh Suraini (2011)
yang menyatakan bahwa hasil pengamatan terhadap tanda-tanda morfologi
Chrysomya megachepala didapatkan bahwa warna tubuh hijau metalik, torak
berwarna hijau metalik kecokelatan, abdomen berwarna hijau metalik. Panjang
35. 35
tubuh 8,83±0,68 mm (n=40) dengan kisaran antara 7,17-10,40 mm, ukuran lebar
kepala 3,27±0,68 mm (n=40) dengan kisaran antara 2,50-4,07 mm. Panjang sayap
5,99±2,84 mm (n=40) dengan kisaran 5,30-7,10. Lebar sayap 2,30±2,33 mm
(n=40) dengan kisaran 2,01- 2,80 mm. Mata berukuran besar dan berwarna merah,
hampir bersentuhan diantara keduanya. Daur hidup dari lalat ini yaitu berawal dari
telur kemudian menjadi larva, berkembang menjadi pupa, kemudian hiduplah lalat
dewasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi (2012) yang menyatakan bahwa
semua lalat mengalami metamorfosis sempurna dalam perkembangannya.
Pertama, telur lalat akan diletakkan dalam medium yang dapat menjadi medium
untuk pertumbuhan larva. Lalu larva akan berubah menjadi pupa. Stadium pupa
bisa beberapa hari, minggu, atau bulan, kemudian lalat dewasa akan muncul dan
mencari pasangan kembali untuk menghasilkan telur. Larva-larva tersebut
biasanya menghinggapi dan hidup dalam daging mentah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Haryati (2006) yang menyatakan bahwa selama hidupnya lalat hijau
betina dapat menghasilkan rata-rata 687,5–1690 butir telur yang dapat bertelur
sebanyak 4–6 kali. Waktu yang diperlukan untuk melengkapi siklus hidup dalam
media daging mentah pada suhu 24–28,5oC dengan kelembaban 85–95% adalah
selama 24–33 hari.
36. 36
4.4.2.
Endoparasit
Endoparasit adalah parasit yang hidupnya berada dalam tubuh induk
semang.hal ini sesuai dengan pendapat Yuliarti (2011) yang menyatakan bahwa
endoparasit merupakan parasit yang ditemukan pada organ bagian dalam inang.
Endoparasit terdiri dari kelas trematoda dan kelas nematoda. Hal ini sesuai dengan
pendapat Mastika et al., (1993) yang menyatakan bahwa endoparasit meliputi
cacing, seperti cacing gilik (nematoda) dan cacing daun (trematoda).
4.4.2.1. Haemonchus, Berdasarkan hasil pengamatan pada preparat parasit,
diperoleh hasil sebagai berikut :
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber : www.google.co.id
Ilustrasi 9. Haemonchus
Haemonchus memiliki ciri-ciri antara lain tubuh yang berwarna merah,
berbentuk seperti serabut dan termasuk kedalam jenis cacing lambung karena
hidupnya yang berada di saluran pencernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
FAO yang diterjemahkan oleh Akoso et al. (1990) yang menyatakan bahwa
37. 37
Hemonchus spp. adalah jenis cacing kawat yang hidup di saluran pencernaan,
cacing ini berwarna merah berukuran 10-20 mm (jantan) dan bergaris merah
dengan ukuran 18-30 mm (betina), dan biasanya mudah terlihat saat bedah
bangkai. Cacing Haemonchussering ditemukan pada ternak kambing dan domba.
Dampak yang ditimbulkan yaitu bermula pada penurunan protein tubuh hingga
kematian. Hal ini sesuai dengan pendapat Lastuti et al. (2006) yang menyatakan
bahwa kerugian yang ditimbulkan selain kematian juga menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan dan produksi, karena sifat cacing adalah penghisap
darah yang mengakibatkan anemia hemorhagie dengan ditandai jumlah eritrosit
dan PCV, infeksi khronis dapat berjalan lama karena masih adanya sejumlah
cacing jika disertai nutrisi buruk maka berakibat penurunan berat badan dan
disertai penurunan protein dalam tubuh.
38. 38
4.4.2.2. Paramphistomum spp., Berdasarkan hasil pengamatan preparat parasit,
diperoleh hasil sebagai berikut :
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber : www.google.co.id
Ilustrasi 10. Paramphistomumspp.
Paramphistomum adalah jenis cacing kelas trematoda. Cacing ini
berbentuk seperti kerikil dan berwarna putih keabu-abuan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Suwandi (2001) menyatakan bahwa yang termasuk kedalam cacing
genus Fasciola (cacing hati) yang berwarna merah muda kekuning-kuningan
sampai abu-abu kehijau-hijauan antara lain cacing Paramphistomum sp. (cacing
parang) dan Genus Schistosoma (menyerang sistem peredaran darah). Siklus
hidup cacing paramphistomum berawal dari telur-larva-cacing dewasa. Hal ini
sesuai dengan pendapat Putratama (2009) yang menyatakan bahwa cacing dewasa
bertelur didalam habitatnya kemudian menuju usus dan dikeluarkan bersama
dengan tinja. Telur beroperkulum yang telah mengandung embrio kemudian
menetas membebaskan mirasidium yang bergerak aktif dalam lingkungan yang
39. 39
berair menuju inang sementara berupa siput. Lima sampai tujuh minggu setelah
infeksi berudu keluar dari tubuh siput dan berenang bebas kemudian kontak
dengan
tanaman
disekitarnya
membentuk
metaserkaria.
Perkembangan
selanjutnya, serkaria membentuk kista pada tanaman atau rumput di area
penggembalaan. Infeksi terjadi karena inang definitif memakan rumput yang
terkontaminasi metaserkaria. Setelah termakan, metaserkaria membebaskan
cacing muda dalam usus halus. Kemudian cacing muda ini akan bermigrasi keatas
menuju rumen dan retikulum dan akhirnya berkembang menjadi cacing dewasa
kembali. Kemunculan parasit terjadi karena pengaruh dari lingkungan sekitar
yang kurang baik sehingga menyebabkan kerugian bagi peternak.Hal ini sesuai
dengan pendapat Dwinata dalam Jusmaldi dan Arini (2010) yang menyatakan
bahwa pola pemberian pakan, faktor-faktor lingkungan (suhu, kelembaban, dan
curah
hujan)
serta
sanitasi
berkembanganya parasit.
yang
kurang
baik
dapat
mempengaruhi
40. 40
4.4.2.3. Prostagonimus, Berdasarkan hasil pengamatan preparat parasit, diperoleh
hasil sebagai berikut :
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber : www.google.co.id
Ilustrasi 11. Prosthogonimus
Prostogonimus memiliki bentuk tubuh yang pipih, tipis dan bagiannya
ada yang lebar di salah satu sisinya, warnanya putih kecoklatan dan termasuk
kedalam kelas trematoda. Hal ini sesuai dengan pendapat Elmer dan Glen (1989)
yang menyatakan bahwa telur cacing prostogonimus umumnya memiliki panjang
rata-rata 87 x 50 μm, dan berwarna kecoklatan. Ditambahkan oleh Levine (1994)
bahwa genus prosthogonimus ini adalah cacing berukuran sedang bagian paling
lebar dibagian belakang pertengahan tubuh.Siput merupakan induk semang antara
bagi cacing jenis trematoda ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutrisnawati (2011)
yang menyatakan bahwa infeksi cacing trematoda yang tersebar luas dan
kejadiannya sangat umum tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
iklim yang tropis dan sistem irigasi yang tidak teratur sehingga siput yang
41. 41
berperan sebagai ISA (induk semang antara) dapat berkembang biak dengan
mudah.
4.5.
Pemeriksaan Kesehatan Ternak Unggas (Broiler)
Berdasarkan pemeriksaan kesehatan ternak unggas broiler dari segi
riwayat hidup diperoleh hasil bahwa ayam tersebut berjenis kelamin betina dan
berumur 1,5 bulan. Ayam broiler didapatkan dari RPU (Rumah Potong Unggas).
Kondisi umum dari ayam broiler tersebut tubuhnya dalam keadaan kurang sehat
karena lingkungan kandang yang kurang memenuhi syarat seperti luas kandang
yang terlalu sempit dan kapasitas ayam yang terlalu banyak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Murni (2009) yang menyatakan bahwa populasi kandang yang terlalu
padat dapat menyebabkan ayam menjadi stres, sehingga menurunkan produksi,
disamping itu juga akan berpengaruh pada efisien penggunaan pakan. Sedangkan
populasi yang terlalu kecil akan menyebabkan kandang kurang efisien
penggunaannya dan akan berpengaruh juga pada pertumbuhan bobot badannya
yang kurang optimal disebabkan ayam banyak bergerak atau jalan-jalan.
Ditambahkan oleh Martono dalam Wahyudi et al. (2010) yang menyatakan bahwa
kepadatan kandang untuk ayam umur lima minggu atau 1,5 bulan berjumlah
antara 8-10 ekor/m2.
42. 42
4.5.1.
Pengamatan Performans Unggas
Berdasarkan hasil praktikum pada pengamatan performans unggas,
didapatkan hasil sebagai berikut :
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.jsfp.com
Ilustrasi 13. Performans Unggas
Unggas yang diamati memiliki tingkah laku yang lemah, bagian kepala
terluka terutama pada bagian jengger, mulut, hidung, mata dan kaki yang bengkak
hingga berwarna hijau dikarenakan pembengkakan darah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang menyatakan bahwa unggas yang sakit
memiliki ciri-ciri pada saat berdiri ayam tidak berdiri secara tegak atau lemah. Hal
ini diperkuat oleh pendapat Sudarmono dan Sugeng (2007) yang menyatakan
bahwa lantai kandang sebagai tempat berpijak haruslah bersih dan harus dalam
keadaan kering. Sebab bila kotor dan becek akan sangat merugikan ayam. Lantai
yang becek mengakibatkan ujung jari kaki ayam terbungkus oleh kotoran,
sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya infeksi penyakit kolera atau coli.
4.5.2.
Pengambilan Darah
43. 43
Berdasarkan
hasil
praktikum,
pengambilan
darah
ayam
broiler
didapatkan hasil berupa :
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.jsfp.com
Ilustrasi 14. Pengambilan Darah
Serum darah adalah bagian dari plasma yang didalamnya terlarut
berbagai macam protein. Diantaranya gamaglobulin yang berupa zat anti bodi dan
berfungsi untuk mengebalkan seseorang dari gangguan penyakit. Pengambilan
serum darah ayam diambil melalui Vena Bracialis (Vena di bagian sayap sebelah
dalam) dengan menggunakan spuilt (3 cc) kemudian dimasukan kedalam tabung
gelas secara hati-hati, dan dibiarkan selama setengah jam. Pengambilan darah
yang dianalisa tidak terdapat kandungan nutrisi maupun zat toksik yang dapat
menyebabkan unggas sakit.Hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo (1992) yang
menyatakan bahwa pengambilan sampel darah atau organ tubuh ayam digunakan
untuk menganalisa apakah organ tersebut terserang penyakit atau tidak dengan
melakukan analisis DNA-nya melalui uji PCR (polymerase chain reaction).Jika
DNA negative berarti tidak terjangkit virus dan jika DNA posistif terinfeksi virus,
segera ayam-ayam tersebut dimusnahkan untuk mencegah penyebaran yang
44. 44
semakin luas.Diperkuat oleh Reece dalam Satyaningtihas et al. (2010) bahwa
gambaran darah merupakan salah satu parameter dari status kesehatan hewan
karena darah mempunyai fungsi penting dalam pengaturan fisiologis tubuh.
Fungsi darah secara umum berkaitan dengan transportasi komponen di dalam
tubuh seperti nutrisi, oksigen, karbondioksida, maetabolit, hormon, panas, dan
imun tubuh sedangkan fungsi dari darah berkaitan dengan keseimbangan cairan
dan pH tubuh.
4.5.3.
Nekropsi
Berdasarkan hasil praktikum, nekropsi dapat diartikan yaitu pemeriksaan
unggas meliputi jaringan permukaan tubuh hingga organ dalamnya yang
digunakan untuk mengetahui kelainan pada unggas dengan cara membedah tubuh
unggas. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo (1992) yang menyatakan bahwa
Pemeriksaan nekropsi adalah pemeriksaan jaringan tubuh ternak untuk
mengetahui kelainan penyakit pada ternak unggas dengan cara membedah rongga
tubuh. Hal ini diperkuat oleh Fadilah et al. (2004) bahwa nekropsi merupakan
suatu prosedur untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan rinci secara patologi
anatomi untuk mengetahui sebab-sebab kematian seekor atau sekelompok hewan
yang dalam hal ini adalah ayam sehingga dapat dilakukan penanggulangan
penyakit. Pemeriksaan nekropsi yang dilakukan pada saat praktikum, antara lain.
45. 45
4.5.3.1. Pemeriksaan Permukaan Kulit Ayam
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan kulit ayam diperoleh hasil
berupa :
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.jsfp.com
Ilustrasi 15. Permukaan Kulit Ayam
Hasil yang diperoleh pada pemeriksaan kulit ayam dapat diamati yaitu
kulit ayam memiliki warna bersih merah muda pucat yang menandakan ayam
dalam keadaan sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah dan Polana (2004)
yang menyatakan bahwa ciri ayam broiler yang sehat yaitu muka cerah, jengger
merah, lubang hidung bersih dari lendir, tidak ada exudates dan bercak merah
pada bagian kulit, ayam tidak mengantuk, bulu cerah tidak kusam, kelihatan
berminyak, sayap kuat tidak jatuh, serta kaki tegak dan kokoh. Kulit unggas
seluruhnya tertutup oleh bulu. Bulu tersebut memiliki peranan yang sangat
penting. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2008) yang menyatakan bahwa
Bulu unggas merupakan hal yang penting bagi tingkat ketahanan terhadap
46. 46
penyakit. Bulu memiliki peranan penting yaitu untuk membantu menghangatkan
tubuh, untuk terbang, untuk identifikasi penyakit, untuk insulasi tubuh terhadap
panas dan dingin yakni melindungi tubuh dari pengaruh panas dan dingin serta
untuk identifikasi defisiensi nutrient, bulu akan kusam dan mudah patah jika
kekurangan salah satu nutrient dalam pakan.
4.5.3.2. Pemeriksaan warna dan kondisi jaringan dibawah kulit
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan warna dan kondisi jaringan
dibawah kulit diperoleh hasil berupa :
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.23isdu.com
Ilustrasi 16. Warna dan Kondisi Jaringan di Bawah Kulit
Hasil praktikum nekropsi dengan membuka kulit penutup tubuh yang
dimulai dari ujung tulang dada hingga seluruh kulit terlepas dari tubuh pada
jaringan subkutan yang terletak diantara kulit dan daging maupun jaringan daging,
kondisi yang diamati yaitu bersih, kering, warnanya krem, serta tidak terdapat
bercak-bercak merah. Ini menandakan bahwa kondisi jaringan dibawah kulit yaitu
47. 47
sehat dan tidak ditemukan adanya gejala penyakit. Hal ini sesuai dengam
pendapat dari Fadilah dan Polana (2004) yang menyatakan bahwa ayam pedaging
yang sehat yaitu muka cerah, jengger merah, lubang hidung bersih dari lendir,
tidak ada exudates dan bercak merah pada bagian kulit, ayam tidak mengantuk,
bulu cerah tidak kusam, kelihatan berminyak, sayap kuat tidak jatuh, serta kaki
tegak dan kokoh. Keadaan unggas tersebut tentu dipelihara dengan baik, karena
pada dasarnya unggas merupakan produk peternakan yang konsumsinya selalu
meningkat. Oleh karena itu para peternak berupaya untuk meningkatkan mutu dan
kualitas produk yang akan dijual agar tidak mudah terjangkit beberapa penyakit
yang mudah datang dan pergi. Hal ini sesuai dengan pendapat Akhirany (2009)
yang menyatakan bahwa pada peternakan unggas memperhatikan titik kritis mulai
dari pemeliharaan, proses pemotongan unggas di RPU, transportasi dan pada saat
penjajaan merupakan hal yang harus mendapat perhatian khusus. Bila penanganan
titik kritis dilaksanakan dengan tepat, maka kemungkinan terjadinya kontaminasi
silang dapat ditekan dengan yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu dan
kualitas produk unggas tersebut aman dan layak dikonsumsi.
48. 48
4.5.3.3. Pemeriksaan semua yang nampak setelah otot dada dan perut dibuka
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan otot dada setelah dibuka
diperoleh hasil berupa :
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.kdj.com
Ilustrasi 17. Kondisi Bagian dalam Dada dan Perut
Hasil praktikum pada waktu membuka otot daging yang menutupi rongga
perut dengan cara menggunting otot dasar rongga dada yang telah terpotong ke
arah anus dapat diamati bahwa isi rongga dada dan perut terdapat banyak
gumpalan lemak atau pengkejuan, namun tidak ditemukan adanya gejala penyakit
yang nampak. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang
menyatakan bahwa pada ayam sehat tidak terdapat luka di bagian tubuhnya.
Bagian jaringan bawah kulit dan otot dada ayam jaringan subkutan kondisinya
basah mengkilat begitu juga dengan jaringan dagingnya. Isi rongga dada bersih
tetapi banyak lemak.Isi rongga perut bersih namun banyak gumpalan lemak.
Ditambahkan oleh pendapat Wahyono et al. dalam Rumiyani et al. (2011) yang
49. 49
menyatakan bahwa lemak perut merupakan deposisi dari kelebihan metabolisme
lemak yang merupakan cadangan energi bagi ayam yang diperoleh dari diet yaitu
lemak pakan dan lipogenesis.
4.5.3.4. Pemeriksaan Saluran Pencernaan
Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan saluran pencernaan ayam
diperoleh hasil berupa :
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.dbfs.com
Ilustrasi 18. Saluran Pencernaan
Pemeriksaan saluran pencernaan meliputi pemeriksaan dinding saluran
dan isi saluran pencernaan. Bagian gizzard, terdapat pakan yang sudah hancur dan
berbentuk halus.Bagian proventrikulus kosong dan pada bagian tembolok
didalamnya masih terdapat pakan yang bersifat lembek. Dari hasil pengamatan
tidak ditemukan gejala adanya penyakit pada saluran pencernaan yang disebabkan
oleh bakteri ataupun virus. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Tabbu (2002)
yang menyatakan bahwa penyakit pada saluran pencernaan merupakan penyakit
50. 50
yang disebabkan oleh bakteri maupun virus yang menyerang organ saluran
pencernaan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang
menyatakan bahwa abnormalitas pada saluran pencernaan ayam meliputi
stomatitis, nekrosis pada paruh, impaksi (pemadatan tembolok), impaksi
ventrikulus.
4.5.3.5. Pemeriksaan Hati
Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan hati diperoleh hasil berupa :
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.dufa.com
Ilustrasi 19. Hati
Pemeriksaan hati pada unggas yang terlihat yaitu ukuran yang normal,
memiliki warna coklat pucat, namun terdapat perbedaan warna pada kedua hati
tersebut ini disebabkan oleh terjadinya perlemakan hati yang diakibatkan
pengkonsumsian karbohidrat yang berlebih pada bahan pakan. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Tabbu (2002) bahwa penyakit hati salah satu diantaranya yaitu
51. 51
pelemakan hati yang biasa disebut dengan fatty liver-Hemorrhagic syndrome
(FLHS) yang ditandai dengan hati berwarna pucat kekuningan, membesar, mudah
rapuh dan berminyak. Pelemakan hati biasanya diakibatkan pengkonsumsian
bahan pakan yang mengandung karbohidrat berlebih. Hal ini diperkuat oleh
pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang menyatakan bahwa kelebihan
mengkonsumsi pakan yang mengandung energi dan karbohidrat yang tinggi dapat
menimbulkan pelemakan pada hati karena kelebihan karbohidrat akan diubah
menjadi lemak melalui glukoneogenesis.
4.5.2.6. Pemeriksan Jantung
Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan jantung diperoleh hasil berupa :
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber : www.dfhb.com
Ilustrasi 20. Jantung
Hasil pengamatan pada pemeriksaan jantung unggas yang merupakan
pusat sistem peredaran darah terlihat yaitu ukuran normal, warna merah hati,
selaput jantung normal, dan tidak ada konsistensi pada jantung, ini menandakan
52. 52
jantung pada unggas tersebut dalam keadaan sehat, karena tidak ada kelainan–
kelainan yang nampak. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2000) yang
menyatakan bahwa jantung yang terdiri atas sekumpulan otot berfungsi memompa
darah kesemua bagian tubuh dan merupakan pusat sistem peredaran
darah.Kelainan pada jantung bisanya dapat dilihat dari warna, bentuk, serta
ukurannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hermana et al. (2005) yang
menyatakan bahwa jantung merupakan organ vital yang berperan dalam sirkulasi
darah. Jantung yang terinfeksi penyakit maupun racun biasanya akan mengalami
perubahan pada ukuran jantung.
4.5.2.7. Pemeriksaan Ginjal
Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan ginjal diperoleh hasil berupa :
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.ebfuaho.com
Ilustrasi 21. Ginjal
Hasil pengamatan pada pemeriksaan ginjal unggas yang merupakan salah
satu organ yang erat dengan pembentukan dan pengeluaran kencing terlihat yaitu
ukuran normal, warna merah tua, ini menandakan ginjal pada unggas tersebut
53. 53
dalam keadaan sehat, serta tidak ditemukan kelainan pada ginjal ayam broiler
yang diamati.Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2000) yang menyatakan
bahwa ginjal bertanggung jawab terhadap produksi air seni yang dikeluarkan
lewat salurannya menuju ureter, menampungnya dalam kandung kemih, dan
mengeluarkannya melalui uretra. Selain itu ginjal juga berfungsi pada proses
penyerapan dalam metabolisme dalam tubuh unggas. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sugita et al. (2006) yang menyatakan bahwa adanya kerusakan pada
ginjal ini adanya sel yang mengalami nekrosa menyebabkan proses filtrasi dan
keseimbangan asam basa akan terganggu. Akibatnya metabolisme dalam tubuh
menjadi menurun dan hal ini dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan.
54. 54
4.5.2.8. Pemeriksaan Pankreas
Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan pankreas ayam diperoleh hasil
berupa :
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.dbf.com
Ilustrasi 22. Pankreas
Hasil pengamatan pada pemeriksaan pankreas unggas yang terletak
dibelakang lambung terlihat yaitu ukuran normal, warna putih, ini menandakan
pankreas pada unggas tersebut sehat. Tidak ada kelainan yang nampak pada
pankreas ayam broiler yang diamati. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2000)
yang menyatakan bahwa pankreas adalah jaringan kelenjar yang terletak di
belakang lambung dan bagian yang besar terletak dibawah ginjal sebelah
kanan.Kelenjar ini memiliki saluran untuk aliran getah yang dihasilkannya
mengalir ke usus.Pertumbuhan bobot badan yang meningkat merupakan salah satu
faktor penyebab kerusakan pankreas pada ternak, semakin tinggi bobot badan
maka kerja pankreas untuk mengubah glikogen menjadi energi dengan bantuan
55. 55
hormon insulin semakin besar, sehingga kerja pankreas menjadi lebih berat dan
menyebabkan terjadinya pembengkakan pada organ tersebut. Hal ini sesuai
pendapat Wahyuwardhani et al. (2000) yang menyatakan bahwa kerusakan pada
pankreas dan saluran pencernaan ayam memberikan indikasi terjadinya gangguan
pada proses pencernaan ayam penderita sehingga terjadi gangguan pertumbuhan
bobot badan ayam.
4.5.2.9. Pemeriksaan Trachea
Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan Trachea diperoleh hasil
berupa :
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.djfb.com
Ilustrasi 23. Trachea
Hasil pengamatan pada pemeriksaan trachea unggas yang terlihat yaitu
warna putih keruh dan tidak terdapat ap – apa didalamnya, baik pada cilia maupun
pada percabangan trachea.Hal ini menandakan trakea pada unggas tersebut tidak
56. 56
terdapat penyakit.Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarmono dan Sugeng (2007)
yang menyatakan bahwa percabangan trachea merupakan rangakaian cincin
tulang rawan, pada bagian ini tumbuh bulu getar/cilia.Percabangan pada Treachea
dibagi menjadi dua yaitu bifuricatio trachea dan berujung pada alveoli. Diperkuat
oleh Rasyaf (2008) yang menyatakan bahwa salah satu ciri-ciri kelainan atau
penyakit pada ternak dapat dilihat dengan kantong udaranya.
4.5.2.10. Pemeriksaan paru – paru
Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan paru-paru diperoleh hasil
berupa:
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.dhvfui.com
Ilustrasi 24. Paru-paru
Hasil pengamatan pada pemeriksaan paru - paru unggas yang terlihat yaitu
warna merah muda, konsistensi normal, ini menandakan paru - paru pada unggas
tersebut sehat. Saat dilakukan uji apung, paru-paru tersebut mengapung yang
57. 57
menandakan bahwa pada paru-paru tersebut masih terdapat oksigen dan sehat. Hal
ini tidak sesuai dengan pendapat Sudarmono dan Sugeng (2007) yang menyatakan
bahwa Noduli kartilaginus merupakan salah satu penyakit pada saluran pernafasan
unggas terutama pada paru–paru.Nodule kartilagnius dapat ditemukan pada
didalam parenkim dari lobi paru. Nodule kartilagnius berasal dari kondrosit yang
mengalami dysplasia dari bronki yang berdekatan selama stadium awal
perkembangan. penyakit ini biasanya sering terjadi pada ayam pedaging pejantan
pada umur 3 minggu. Hal ini sesuai dengan pendapat Tabbu (2002) yang
menyatakan bahwa noduli pada paru sering ditemukan pada ayam pedaging umur
1 hari – 52 minggu. Noduli tersebut paling sering di temukan pada ayam pejantan
umur 3 minggu, di dalam paru bagian kiri.
58. 58
4.5.2.1. Pemeriksaan Syaraf
Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan syaraf diperoleh hasil berupa:
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu
Kesehatan Ternak, 2012.
Sumber: www.dbfha.com
Ilustrasi 25. Syaraf
Hasil pengamatan pada pemeriksaan syaraf unggas yang merupakan
sistem pusat dimana pada tingkah laku ternak berpusat pada sistem syaraf tersebut
terlihat yaitu ukuran normal, warna biru, dan tidak ditemukan adanya gejala
penyakit pada syaraf.Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2000) yang
menyatakan bahwa dalam tubuh hewan terdapat tiga macam sistem syaraf yaitu
sistem syaraf pusat, sistem syaraf tepi, dan sistem syaraf simpatetik. Salah satu
penyakit yang disebabkan oleh kerusakan pada syaraf yaitu Marek. Hal ini sesuai
dengan pendapat Damayanti dan Wiyono (2003) bahwa kelainan pada marek
dapat digolongkan ke dalam kerusakan syaraf dan tumor limfoid (limfoma).
Kerusakan syaraf pada Marek dapat terjadi pada susunan syaraf pusat maupun
59. 59
perifer (tepi). Ditambahkan oleh Hungerford disitasikan oleh Damayanti dan
Wiyono (2003) yang menyatakan bahwa kerusakan pada otak, batang otak, dan
syaraf perifer masing-masing ditandai dengan ensefalitis, myelitis, dan neuritis
yang ketiganya bersifat non superatif.
60. 60
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa pada analisis
kondisi peternakan sapi potong milik Bapak Wagimin yaitu bangunan kandang
dan sanitasi kurang memenuhi syarat. Pemeriksaan parasit dengan metode natif
didapatkan telur cacing pada anakan yaitu Schistosoma bovis. Pengamatan
sentrifuse didapatkan telur cacing pada indukan yaitu Syngamus laryngeus. Parasit
terbagi menajadi dua, yakni ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit yang diamati
meliputi Chrysomya megachepala, Tabanidae tabanus sp sedangkan endoparasit
yang diamati antara lain Paramphistomum, Prostogonius dan Haemonchus.
Pengamatan pada ayam broiler didapatkan hasil bahwa ayam dalam keadaan sehat,
namun terdapat bengkak pada kaki karena cidera sehingga tidak mampu berjalan
dengan baik.
5.2.
Saran
Mendirikan sebuah peternakan seharusnya memperhatikan lokasi dan
pembuatan kandang yang nyaman untuk ternak, serta melakukan sanitasi dengan
baik agar ternak dapat tumbuh, dan bereproduksi dengan baik. Pemeriksaan
parasit melalui feses dengan metode natif dan sentrifuse sebaiknya dilakukan
dengan teliti dan sungguh-sungguh, karena pengamatan tersebut sangat susah
dilakukan.
61. 61
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka, Jakarta.
Akhirany, N. 2009. Pedoman pengawasan biosecurity dan higine terhadap produk
unggas. Buletin Peternakan Edisi 32, Sulawesi Selatan.
Akoso, B.T. 2000. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Andini, W.R. 2008. Ekstoparasit pengganggu pada Orangutan (Pongo pygmaeus)
di habitat ex-situ. Skripsi, Bogor.
Asmaki, A.P., H. Masturi dan T.D. Asmaki. 2009. Agribisnis Ternak Sapi.
Pustaka Grafika, Bandung.
Damayanti, R., dan A. Wibowo.2003. Gambaran Histopatologi kasus Marek pada
ayam pedaging di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis.8 (4) : 247-255.
Fadillah, R, Pollana, A. 2004. Aneka Penyakit Pada Ayam dan Cara
Mengatasinya. Agro Media Pustaka. Tangerang.
FAO. 1990. Manual For Animal Health Auxiliary Personnel. (Diterjemahkan
oleh : B. Akoso., G. Tjahyowati., S. Pangestoeti), PT Yiara Wacana
Yogyakarta, Sleman.
Hadi, U.K. 2012. Serangga Pengganggu Kesehatan. Istitut Pertanian Bogor,
Bogor.
Hadi, U.K. dan Saviana, S. 2000. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosa
danPengendaliannya. Institus Pertanian Bogor, Bogor.
Haryati, S. 2006. Optimalisasi penggunaan bawang putih sebagai pengawet alami
dalam pengolahan ikan asin Jambal Roti. Tesis, Bogor.
Hermana, W., D.I. Puspitasari., K.G. Wiryawan., dan S. Suharti. 2005. Pemberian
tepung daun salam (Syzgium polyanthum (Weight) Walp.) dalam ransum
sebagai bahan antibakteri Escherichia coli terhadap organ dalam ayam
broiler. Media Peternakan. 31 (1) : 63-70.
Jusmaldi., dan A. Wijayanti, 2010. Prevalensi dan jenis telur cacing
gastrointestinal pada Rusa Sambar (Cervus unicolor) di penangkaran
Rusa desa api-api Kabupaten Penajam Paser Utara. Bioprospek
Universitas Mulawarman. 7 (2) : 77-75.
62. 62
Lastuti, N.D.R., Mufasirin., dan I.S. Hamid. 2006. Deteksi protein Haemonchussp
pada Domba dan Kambing dengan uji Dot Blot menggunakan antibodi
poliklonal protein ekskresi dan sekresi Haemonchus contortus. Media
Kedokteran Hewan. 22 (3) : 162-167.
Levine, N.D. 1994. Parasitologi Veteriner. (Diterjemahkan oleh : G. Ashadi)
Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Mastika, M., Suaryana, K.G., Oka, I.G.L., Sutrisna, I.B. 1993. Produksi Kambing
dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.
Moks, E., U. Saarma., dan H. Valdmann. 2005. Syngamoniasis in tourist.
Emerging Infectious Diseases. 11 (12) : 1976.
Murni, M.C. 2009. Mengelola Kandang dan Peralatan Ayam Pedaging.
Departemen Peternakan, Cianjur.
Murtidjo, B. A. 1992. Memelihara Domba. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Noble, E.R., dan G.A. Noble. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan.
(Diterjemahkan oleh : Wardiarto). Gadjah Mada University, Yogayakarta.
Purnomoadi, A. 2003. Ilmu Ternak Potong dan Kerja. Diklat Kuliah Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Putratama, R. 2009. Hubungan kecacingan pada ternak sapi di sekitar taman
nasional Way Kambas dengan kemungkinan kejadian kecacingan pada
Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) di suaka Rhino Sumatera.
Skripsi. Bogor.
Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rianto, E., dan Purbowati, E,. 2010. Panduan Lengkap Sapi Potong. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Rumiyani, T., Wihandoyo., dan J.H.P. Sidadolog. 2011. The effect of stuf during
22-28 days of ages on growth and percentage of meat and abdominal fat
of broiler. Buletin Peternakan. 35 (1) : 38-49.
Satyaningtijas,A.S., S.D. Widhyari., dan R.D. Natalia. 2010. Jumlah eritrosit, nilai
hematrokit, dan kadar hemoglobin ayam pedaging umur 6 minggu
dengan pakan tambahan. 4 (2) : 69-73.
Siregar, B.S. 1997. Penggemukkan Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.
63. 63
Sudarmono, A.S., dan Y.B. Sugeng. 2007. Sapi Potong (Pemeliharaan, Perbaikan
Produksi, Prospek Bisnis, dan Analisis Penggemukan). Penebar Swadaya,
Jakarta.
Sugeng, Bambang. 2006. Sapi Potong. Edisi 1. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sugito., W. Manalu., D.A. Astuti., E. Handhrayani., dan Chairul. 2006.
Hitopatologi hati dan ginjal pada ayam broiler yang di papar cekaman
panas dan diberi ekstrak Kulit Batang Jaloh (Salix tetrasperma roxb).
Seminar Nasional Tekhnologi Peternakan dan Veteriner Bogor. Hal :
728-734.
Suraini. 2011. Jenis-jenis lalat (Dipetra) dan bakteri Enterobacteriaceae yang
terdapat di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) kota Padang. Skripsi,
Padang.
Sutrisnawati. 2011. Infeksi Eschinostomatidae pada siput Bellamya javanica di
Kecamatan Dolo Sulawesi Tengah. 9 (2) : 57-60.
Suwandi. 2001. Mengenal Berbagai Penyakit Parasitik Pada Ternak. Balai
Penelitian Ternak, Bogor.
Soejoedono, R.R., 2011. Status Zoonis di Indonesia. Lokakarya Nasional Penyakit
Zoonis Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan PenanggulangannyaVolume 2. Kanisius,
Yogyakarta.
Tim Karya Tani Mandiri. 2009. Pedoman Budidaya Beternak Sapi Potong. CV
Nuansa Aulia. Bandung.
Yuliarti, E. 2011. Tingkat serangan ekstoparasit pada Ikan Patin (Pangasius
djambal) pada beberapa pembudidaya ikan di kota Makasar. Skripsi,
Makasar.
Yuwanta, Tri. 2008. Dasar Beternak Unggas. Kanisius,Yogyakarta.
Wahyudi, W.A., H. Afriani., dan N. Idris. 2010. Evaluasi adopsi tekhnologi
peternakan ayam Broiler di Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro
Jambi. 12 (2) : 23-28.
Wahyuwardhani,S., Y.Sani., L.Parede., dan M.Poeloengan. 2000. Sindroma
kekerdilan pada ayam pedaging dan gambaran patologinya. 5 (2) : 125131.
Williamson. G., dan W.J.A Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.