1. Dokumen tersebut membahas tentang pengaruh penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan koneksi matematika siswa SMA. PBL adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah nyata sebagai konteks belajar siswa untuk berfikir kritis dan memecahkan masalah serta memperoleh pengetahuan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh PBL terhadap kemampuan koneksi mate
1. 1
A. JUDUL
Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) terhadap Kemampuan Koneksi Matematika Siswa Kelas X SMAN 1
Bandung.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Banyak kritik yang ditunjukan pada cara guru mengajar yang terlalu
menekankan pada penguasaan sejumlah konsep belaka. Penumpukan konsep
pada siswa dapat saja kurang bermanfaat bahkan tidak bermanfaat sama sekali
kalau hal tersebut hanya dikomunikasikan oleh guru kepada siswa melalui
pembelajaran satu arah. Tidak dapat disangkal, bahwa konsep merupakan
suatu hal yang sangat penting, namun bukan terletak pada konsep itu sendiri,
tetapi terletak pada bagaimana konsep itu dipahami oleh siswa. Pentingnya
pemahaman konsep dalam proses belajar mengajar sangat mempengaruhi
sikap, keputusan, dan cara-cara memecahkan masalah.
Kenyataan di lapangan siswa hanya menghafal konsep dan kurang
mampu menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam
kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimiliki. Lebih jauh
lagi, bahkan siswa kurang mampu menentukan masalah dan merumuskannya.
Walaupun demikian, kita menyadari bahwa ada siswa yang mampu memiliki
tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, namun kenyataan
mereka sering kurang memahami dan mengerti secara mendalam pengetahuan
yang bersifat hafalan tersebut (Depdiknas 2002:1). Pemahaman yang
dimaksud ini adalah pemahaman siswa terhadap dasar kualitatif di mana fakta-
2. 2
fakta saling berkaitan dengan kemampuannya untuk menggunakan
pengetahuan tersebut dalam situasi baru. Sebagian siswa kurang mampu
menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaiamana
pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan atau diaplikasikan pada situasi baru.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam persoalan di atas yakni pada
pembelajaran matematika.
Matematika merupakan ilmu yang terstruktur dan saling berkaitan antar
satu topik dengan topik lainnya. Materi yang satu mungkin merupakan
prasyarat bagi yang lainnya, atau konsep tertentu diperlukan untuk
menjelaskan konsep lainnya. Sebagai ilmu yang saling berkaitan, dalam hal ini
siswa diharapkan memiliki kemampuan untuk memecahkan persoalan-
persoalan matematika yang memiliki hubungan atau kaitan terhadap materi
yang dipelajari sebelumnya. Kemampuan ini disebut dengan kemampuan
koneksi matematika.
Menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) tahun
1989 :
koneksi matematika merupakan bagian penting yang harus
mendapatkan penekanan di setiap jenjang pendidikan. Keneksi
matematika adalah keterkaitan antara topik matematika, keterkaitan
antara matematika dengan disiplin ilmu yang lain dan keterkaitan
matematika dengan dunia nyata atau dalam kehidupan sehari-hari.
Aspek keterkaitan, kemampuan pemecahan masalah, serta penalaran
dan komunikasi merupakan kemampuan yang harus dicapai melalui kegiatan
belajar matematika. Keterkaitan disini bukan saja keterkaitan antar konsep
dalam matematika, tetapi juga kaitan antara matematika dan kehidupan
sehari-hari. Agar siswa dalam belajar matematika lebih berhasil, siswa harus
lebih banyak diberi kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan, baik kaitan
3. 3
antara dalil dan dalil, antara teori dan teori, antara topik dan topik, maupun
antara cabang matematika. Sehingga jika suatu topik diberikan secara
tersendiri, maka pembelajaran akan kehilangan satu momen yang sangat
berharga dalam usaha meningkatkan prestasi siswa dalam belajar matematika
secara umum.
Menurut Suprayekti (dalam Husnul:5) “Salah satu masalah dalam
pembelajaran matematika adalah kurangnya kemampuan koneksi siswa dalam
menguasai materi dan menghubungkan antara materi satu dengan materi yang
lain. Hal ini dapat dilihat dari sulitnya mereka dalam memecahkan persoalan-
persoalan matematika yang disajikan”.
Mengingat kemampuan koneksi merupakan faktor yang penting dalam
proses pembelajaran matematika. Sebagai seorang pendidik kita harus
mengetahui apa saja hambatan atau kendala yang dihadapi oleh siswa yang
mempengaruhi kurangnya kemampuan koneksi matematika.
Keadaan ini bukan tidak disadari dan dicarikan jalan keluarnya. Banyak
penelitian yang mengarahkan pada proses pembelajaran yang menekankan
keaktifan siswa dan mendekatkan isi (konsep) pada dunia nyata. Salah satu
strategi yang digunakan adalah penerapan model pembelajaran Problem
Based Learning, yang merupakan suatu strategi untuk menampilkan situasi
dunia nyata yang signifikan, terkontekstual, dan memberikan sumber,
bimbingan, dan petunjuk pada pembelajar saat mereka mengembangkan isi
pengetahuan dan ketrampilan memecahkan masalah.
Problem Based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk
4. 4
belajar tentang cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta
untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi
pelajaran. Problem Based Learning digunakan untuk merangsang berfikir
tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk didalamnya
belajar bagaimana belajar. Peran guru dalam pembelajaran Problem Based
Learning adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan
memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
Fokus utama penelitian ini adalah penerapan atau pengembangan suatu
model pembelajaran Problem Based Learning meningkatkan kemampuan
koneski matematika siswa. Dengan melihat pentingnya uraian diatas, peneliti
terdorong untuk melaksanakan rencana peneliti dalam upaya meningkatkan
kemampuan koneksi matematika siswa SMA melalui model pembelajaran
Problem Based Learning dan pembelajaran konvensional atau pembelajaran
biasa.
C. RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
a) Apakah kemampuan koneksi matematika siswa SMA yang
menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning lebih
baik daripada yang menggunakan pembelajaran konvensional?
b) Bagaimana sikap siswa terhadap penggunan model pembelajaran
Problem Based Learning dalam pembelajaran matematika?
5. 5
2. Batasan Masalah
Untuk menghindari perluasan masalah yang dikaji dalam penelitian
ini, maka masalah penelitian ini dibatasi, yaitu hanya untuk meneliti
kemampuan koneksi matematika siswa dengan menggunakan model
pembelajaran Problem Based Learning, pada sub pokok bahasan materi
pelajaran matematika SMA kelas X semester ganjil yaitu persamaan
kuadrat.
D. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah, maka akan menjadi
tujuan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kemampuan koneksi matematika siswa dalam pelajaran
matematika yang menggunakan model pembelajaran Problem Based
Learning dibandingkan dengan yang menggunakan model pembelajaran
konvensional.
2. Untuk mendeskripsikan sikap siswa terhadap model pembelajaran
Problem Based Learning.
E. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:
1. Bagi Guru
Apabila pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Problem
Based Learning berhasil meningkatkan kemampuan koneksi matematika
siswa serta mampu mengubah pandangan siswa terhadap pelajaran
6. 6
matematika menjadi lebih baik, maka penggunaan pembelajaran
matematika dengan model pembelajaran Problem Based Learning
diharapkan dapat meningkatkan dan memperbaiki kinerja dalam
menjalankan proses belajar mengajar.
2. Bagi Siswa
Melalui pembelajaran matematika dengan model Problem Based
Learning diharapkan kemampuan koneksi matematika siswa meningkat,
sehingga minat belajar siswa terhadap matematika pun meningkat.
3. Bagi Peneliti
Dengan terujinya pembelajaran matematika dengan menggunakan model
pembelajaran Problem Based Learning dapat memberikan produk ilmu
pendidikan yang baru dan bermanfaat sacara langsung dalam
memperbaiki praktek pembelajaran di lapangan.
F. HIPOTESIS
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah:
1. Kemampuan koneksi matematika siswa yang memperoleh model
pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dalam pembelajaran
matematika lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
2. Siswa menunjukkan sikap positif terhadap model pembelajaran Problem
Based Learning (PBL) dalam pembelajaran matematika.
G. DEFINISI OPERASIONAL
7. 7
Agar tidak menimbulkan salah penafsiran, berikut ini ada istilah khusus
yang digunakan yaitu:
1. Kemampuan koneksi matematika dapat diartikan sebagai keterkaitan
antara konsep-konsep matematika secara internal yaitu
berhubungan dengan matematika itu sendiri ataupun keterkaitan secara
eksternal, yaitu matematika dengan bidang lain baik bidang studi lain
maupun dengan kehidupan sehari-hari.
2. Problem Based Learning (PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi
siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep
yang esensial dari materi pelajaran. Problem Based Learning ini biasa
disebut pembelajaran berbasis masalah.
H. TINJAUAN PUSTAKA
1. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang
efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini
membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam
benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia
sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan
pengetahuan dasar maupun kompleks. (Trianto,2011:92)
Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran
yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap
metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang
8. 8
berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki
ketrampilan untuk memecahkan masalah. PBL atau pembelajaran
berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa
untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan
masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial
dari materi pelajaran.
Menurut Trianto (2011:92) PBL memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan-kelebihannya yaitu:
a) Realistik dengan kehidupan siswa
b) Memupuk sifat inquiry (menemukan) siswa
c) Memupuk kemampuan problem solving
d) Mengembangkan pemahaman yang lebih tinggi dan ketrampilan
yang lebih baik
e) Meningkatkan sikap memotivasi diri
f) Memberikan fasilitas hubungan antar siswa dan meningkatkan
taraf belajar.
Selain kelebihan juga, PBL memiliki kelemahan-kelemahan
tertentu, diantaranya:
a) Persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang komlpleks.
b) Sulitnya mencari problem yang relevan.
c) Sering terjadi mis konsepsi.
d) Konsusmi waktu yang cukup lama dalam proses penyelidikan.
Ciri-ciri khusus atau karakteristik dari PBL antara lain: belajar
dimulai dengan satu masalah, memastikan bahwa masalah tersebut
berhubungan dengan dunia nyata siswa, mengorganisasikan pelajaran
seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu, memberikan tanggung
jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan
secara langsung proses belajar mereka sendiri, menggunakan kelompok
kecil, dan menuntut siswa untuk mendemonstrasikan yang telah mereka
pelajari dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian di atas,
tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh
9. 9
adanya masalah yang dalam hal ini dapat dimunculkan oleh siswa
ataupun guru, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang
apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk
memcahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang
dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan
aktif dalam belajar.
Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat
diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi
pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti
kerjasama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar
yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat
hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan,
mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan,
mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut
menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang
kaya pada siswa. Dengan kata lain, penggunaan model PBL dapat
meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari
sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata
pada kehidupan sehari-hari.
Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran
yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam
model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga
siswa tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan
masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut.
10. 10
Oleh sebab itu, siswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan
dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh
pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan
metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola
berpikir kritis.
Pengajaran berbasis masalah terdiri dari lima tahap, seperti
dijelaskan tabel berikut ini:
Tahap 1 : Orientasi siswa terhadap masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
perangkat yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat
pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap 2 : Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut.
Tahap 3 : Membimbing penyelidikan individual dan kelompok.
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
yang sesuai dan melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan serta pemecahan masalahnya.
Tahap 4 : Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta
membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
11. 11
Tahap 5 :Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan
masalah
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi
teerhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang
mereka gunakan.
2. Model Pembelajaran Konvensional
Menurut Djamarah (1996:51) “metode pembelajaran konvensional
adalah metode tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah.
Penyelenggaraan pendidikan dipandang hanyan sebagai suatu aktifitas
pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh siswa yang wajib diingat
dan dihafal.
Pembelajaran konvensional cenderung pada belajar hafalan,
menekankan informasi konsep, latihan soal dalam teks, serta penilaian
masih bersifat tradisional yang hanya menuntut pada satu jawaban yang
benar. Pengajaran model ini dipandang efektif atau mempunyai
keunggulan, yaitu:
a. Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
b. Menyampaikan informasi dengan cepat.
c. Membangkitkan minat akan informasi.
d. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan menggunakan
pendengaran.
e. Mudah digunakan dalam proses belajar mengajar.
Namun demikian pembelajaran tersebut memiliki kelemahan
sebagai berikut:
12. 12
a. Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan
pendengarannya.
b. Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan
apa yang dipelajari.
c. Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang
kritis.
d. Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama
dan tidak bersifat pribadi.
e. Kurang menekankan pada pemberian keterampilan proses (hands-on
activities).
f. Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan
oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.
g. Para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu.
h. Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
i. Daya serapnya rendah dan cepat hilang karena bersifat menghapal.
Secara umum ciri-ciri pembelajaran konvensional adalah:
a. Siswa adalah penerima informasi secara pasif, dimana siswa menerima
pengetahuan dari guru dan penegtahuan diasumsikan sebagai badan
dari informasi dan keterampilan yang dimiliki keluaran secara standar.
b. Belajar secara individual.
c. Pembelajaran dengan abstrak dan teoritis.
d. Perilaku dibangu atas kebiasaan.
e. Kebenaran bersifat absolute dan pengetahuan bersifat final.
f. Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
13. 13
g. Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik.
h. Interaksi diantara siswa kurang.
i. Tidak ada kelompok-kelompok kooperatif.
j. Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan.
k. Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan
oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.
l. Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam
kelompok-kelompok belajar.
3. Kemampuan Koneksi Matematika
Kemampuan koneksi matematika dapat diartikan sebagai keterkaitan
antara konsep-konsep matematika secara internal yaitu
berhubungan dengan matematika itu sendiri ataupun keterkaitan secara
eksternal, yaitu matematika dengan bidang lain baik bidang studi lain
maupun dengan kehidupan sehari-hari.
Ada dua tipe umum koneksi matematik menurut NCTM (1989),
yaitu modeling connections dan mathematical connections. Modeling
connections merupakan hubungan antara situasi masalah yang muncul di
dalam dunia nyata atau dalam disiplin ilmu lain dengan representasi
matematiknya, sedangkan mathematical connections adalah hubungan
antara dua representasi yang ekuivalen, dan antara proses penyelesaian
dari masing-masing representasi.
Keterangan NCTM tersebut mengindikasikan bahwa koneksi
matematika terbagi kedalam tiga aspek kelompok koneksi, yaitu: aspek
koneksi antar topik matematika; aspek koneksi dengan disiplin ilmu lain;
14. 14
aspek koneksi dengan dunia nyata siswa atau koneksi dengan kehidupan
sehari-hari.
Menurut Sumarmo (2005:7), kemampuan koneksi matematis siswa
dapat dilihat dari indikator-indikator berikut:
a) Mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama.
b) Mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi
keprosedur representasi yang ekuivalen.
c) Menggunakan dan menilai keterkaitan antar topik matematika dan
keterkaitan diluar matematika.
d) Menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
4. Sikap
Sikap merupakan ekspresi sederhana dari bagaimana kita suka duka
atau tidak suka terhadap beberapa hal . suatu kecenderungan seseorang
untuk menerima atau menolak sesuatu, konsep, kumpulan idea atau
kelompok individu. Sikap bersumber dari orang tua, guru atau anggota
kelompok rekan kerja.
Kartono (Rahman, 2010:26) mengatakan sikap dapat bersumber
dari keluarga, kelompok-kelompok agama kelompok sekunder dan
kelompok primer lainnya, pengalaman pribadi dan kebudayaan bangsa
sendiri. Sikap sebenarnya dapat saja merupakan faktor bawaan artinya
sikap yang dimiliki oleh seseorang mempunyai kecenderungan dengan
sikap orang tuanya. Selain sikap dari orang tua ( keluarga) tentu saja guru
akan menjadi sumber sikap yang dominan sehingga banyak siswa
memodelkan sikap gurunya.
Tampilan guru yang simpatik akan menjadi rujukan sikap bagi
siswanya oleh sebab itu uru dituntut bersikap positif dans simpatik,
selanjutnya sikap akan terbentuk dari lingkunag karena seseorang selalu
15. 15
melakukan komunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan (teman kerja,
teman bermain)
Sikap berkalitan dengan sesuatu yaitu pengalaman yang berasal
dari keluarga, lingkungan , organisasi maupun bermasyarakat. Sikap juga
erat kaitannya dengan kepribadian seseorang, artinya ada penyesuaian
antara harapan dengan kenyataan yang diperoleh. Sikap positif dan negatif
dapat keluar dari seseorang tergantung bagaimana seseorang menyikapi
harapan dan kenyataan, sikap positif dan negatif juga dipengaruhi sejauh
mana pengalaman-pengalaman dari seseorang itu dapat menjadi sebuah
pelajaran.
Dalam proses pembelajaran matematika perlu sikap positif siswa
terhadap matematika. Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap
matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika
(Russefendi, 2006).
Berkaitan dengan sikap positif siswa terhadap matematika ,
beberapa pendapat antara lain Ruseffendi (2006). Mengatakan bahwa
anak-anak menyenangi matematika hanya pada permulaan mereka
berkenalan dengan matematika yang sederhana. Makin tinggi tingkatan
sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya akan semakin
berkurang minantnya.
16. 16
I. METODE PENELITIAN
1. Metode dan Disain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen, sebab dalam penelitian ini diberikan suatu perlakuan untuk
mengetahui hubungan antara perlakuan tersebut dengan aspek tertentu
yang akan diukur. Ruseffendi (2005:35) mengatakan bahwa “penelitian
eksperimen atau percobaan adalah penelitian yang benar-benar untuk
melihat sebab akibat. Perlakuan yang kita lakukan terhadap variabel
bebas kita lihat hasilnya pada variabel terikat”.
Dalam penelitian ini, perlakuan terhadap kelas eksperimen yaitu
siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan
menggunakan model pembelajaran Program Based Learning.
Sedangkan kelas kontrol yaitu siswa yang tidak memperoleh perlakuan
atau siswa yang memperoleh perlakuan dengan pembelajaran
konvensional.
Pretes dilakukan untuk mengetahui homogenitas kedua kelas
sedangkan postes dilakukan untuk mengetahui perbedaan yang terjadi
antara kelas eksperimen dan kelas control. Ruseffendi (2005:50)
menyatakan bahwa desai yang digunakan dapat digambarkan sebagai
berikut :
A O X O
A O O
Keterangan:
A : Kelompok kelas yang diambil secara acak
17. 17
O : Pretes, postes yang diberikan pada kelas kontrol dan kelas
eksperimen
X : Perlakuan kepada kelompok eksperimen dengan model
pembelajaran Problem Based Learning.
Metode dan desain penelitian tersebut sesuai dengan tujuan
penelitian ini, yaitu untuk meningkatkan kemampuan koneksi
matematika siswa SMA melalui penerapan model pembelajaran
Program Based Learning (PBL).
2. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi merupakan jumlah individu atau objek yang terdapat
dalam suatu kelompok tertentu yang dijadikan sebagai sumber data.
Sebagaimana dikemukakan Sudjana (dalam Hernawati, 2009:21)
“populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung
ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai
karakteristik tertentu dari semua kumpulan anggota yang lengkap dan
jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya”.Populasi pada penelitian ini
adalah seluruh siswa SMA Negeri 1 Bandung kelas X di Kota
Bandung.
b. Sampel
Menurut Sudjana (dalam Hernawati, 2009:21) menyatakan,
“sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi”. Sampel
penelitian diambil dua kelas secara acak dengan memperhatikan
kemampuan siswa pada tiap kelasnya.
18. 18
3. Instrumen Penelitian
Untuk mengetahui apakah kemampuan pemahaman konsep dan kelancaran
prosedural matematika siswa SMA yang memperoleh pembelajaran PBL
lebih baik dari pada yang memperoleh pembelajaran konvensional dan
untuk mengetahui bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran
matematika dengan menggunakan model pembelajaran PBL dan yang
menggunakan pembelajaran konvensional. Sehingga instrument yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Tes
Tes yang digunakan dalam penelitian adalah tes tipe uraian, agar
cara berpikir siswa dapat dievaluasi dan untuk menghindari siswa
menjawab secara menebak. Untuk menghindari kekeliruan dalam
pemeriksaan dan menilai hasil tes, maka dilakukan hal-hal sebagai
berikut:
1) Membuat kunci jawaban yang dilengkapi dengan skor dari tiap
langkah-langkah jawabannya.
2) Pemeriksaan jawaban dilakukan tiap nomor soal.
Untuk baik tidaknya instrumen yang akan digunakan maka
instrumen akan diujicobakan terlebih dahulu. Sehingga validitas,
realibilitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda dari instrumen
tersebut dapat dilakukan.
Adapun langkah-langkah dalam menganalisa instrumen pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
(a) Menghitung Validitas Instrumen
19. 19
Nilai validitas dihitung dengan menggunakan rumus validitas
butir soal (dalam Nasution, 2010:27) yaitu:
𝒓𝒙𝒚 =
𝒏 ∑ 𝒙𝒚 −(∑ 𝒙)(∑ 𝒚)
√(𝒏 ∑ 𝒙𝟐 − (∑𝒙)𝟐) (𝒏∑ 𝒚𝟐 − (∑ 𝒚)𝟐)
Keterangan : 𝒓𝒙𝒚 : Koefisisen korelasi antara variable x dan y
x : Skor item
y : Skor total
n : Banyak subjek (testi)
Adapun klasifikasi interpretasi koefisien korelasi menurut
Guilford (dalam Ruseffendi dalam Nasution, 2010:28) dapat
dilihat pada Tabel berikut:
Tabel.1 Klasifikasi Koefisien Korelasi
Besar rxy Interpretasi
0,00 – 0,20
0,20 – 0,40
0,40 – 0,70
0,70 – 0,90
0,90 – 1,00
Kecil
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
(b) Menghitung Reliabilitas
Untuk menghitung reliabilitas digunakan rumus Alpha-
Crounbach (dalam Nasution, 2010:29) :
2
2
11 1
1 t
t
S
S
n
n
r
20. 20
Keterangan : n = Banyak butir soal.
s
2
1
= Jumlah Varians skor tiap soal.
St
2
= Varians skor total.
Koefisien realibilitas menyatakan derajat keterangan dalam
alat evaluasi yang dinyatakan dengan 𝒓𝟏𝟏 . Dimana tolak ukur
untuk menginterpretasikan derajat realibilitas alat evaluasi dapat
digunakan alat ukur yang dianut oleh Guilford (Ruseffendi, 2005:
160) yaitu sebagai berikut:
Tabel.2 Klasifikasi Interpretasi Koefisisen Reliabilitas
Nilai 𝒓𝟏𝟏 Interpretasi
0,00 – 0,20 Kecil
0,20 – 0,40 Rendah
0,40 – 0,70 Sedang
0,70 – 0,90 Tinggi
0,90 – 1,00 Sangat Tinggi
(c) Menghitung Indeks Kesukaran Tiap Butir Soal
Adapun rumus indeks kesukaran berdasarkan Suherman
(2003) dapat dilihat sebagai berikut:
SMI
x
IK
Keterangan: IK = Indeks Kesukaran
x = Rata-rata Skor
SMI = Skor Maksimum Ideal
21. 21
Adapun klasifikasi indeks kesukaran berdasarkan
Ruseffendi (dalam Nasution ,2010:30) dapat dilihat pada Tabel
berikut:
Tabel.3 Klasifikasi Indeks Kesukaran
Indeks Kesukaran Interpretasi
IK = 0,00
0,00 < IK ≤ 0,30
0,30 < IK ≤ 0,70
0,70 < IK ≤ 1,00
IK = 1,00
Soal terlalu sukar
Soal Sukar
Soal sedang
Soal mudah
Soal terlalu mudah
(d) Menghitung Daya Pembeda Tiap Butir Soal
Rumus yang digunakan untuk menghitung daya pembeda
tiap butir soal adalah berdasarkan Ruseffendi (2005) dapat dilihat
sebagai berikut:
SMI
X
X
DP
B
A
Keterangan: DP = Daya Pembeda
A
X = Rata-rata skor kelompok atas tiap butir soal
B
X = Rata-rata skor kelompok bawah tiap butir
soal
SMI = Skor Maksimum Ideal
22. 22
Adapun untuk menginterpretasikan besarnya daya pembeda
digunakan interpretasi kriteria daya pembeda, berdasarkan
Ruseffendi (dalam Nasution, 2010:32), dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel.4 Klasifikasi Daya Pembeda
Daya Pembeda Interpretasi
≥ 0,40 Sangat baik
0,30 - 0,39 Cukup baik, mungkin perlu perbaikan
0,20 – 0,29 Minimum, perlu diperbaiki
≤ 0,19 Jelek, dibuang atau dirombak
b. Skala Sikap
Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
Skala Likert. Skala Likert meminta penilaian siswa terhadap suatu
pernyataan terbagi ke dalam 5 kategori yang tersusun secara
bertingkat, mulai dari Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS),
Netral (N), Setuju (S), dan Sangat setuju (SS) atau bisa pula disusun
sebaliknya.
Tabel.5 Kriteria Penilaian Sikap
Alternatif Jawaban
Bobot Penilaian
Pernyataan
positif
Pernyataan
Negatif
Sangat Setuju (SS) 5 1
Setuju (S) 4 2
Netral (N) 3 3
Tidak Setuju (TS) 2 4
Sangat Tidak Setuju (STS) 1 5
23. 23
4. Prosedur Penelitian
Prosedur yang ditempuh dalam ini adalah sebagai berikut:
a. Tahap Persiapan
1) Pengajuan judul penelitian kepada Ketua Program Studi
Pendidikan Matematika FKIP UNPAS
2) Penyusunan rancangan penelitian (proposal penelitian)
3) Seminar proposal penelitian
4) Perbaikan proposal
5) Menyusun instrument penelitian
6) Penulis mengajukan permohonan izin penelitian kepada pihak-
pihak yang berwenang
7) Melakukan uji coba instrumen penelitian
8) Mengumpulkan data
9) Mengolah hasil uji coba instrument
b. Tahap Pelaksanaan
1) Menentukan kelas yang akan dijadikan penelitian yaitu kelas
eksperimen dan kelas kontrol
2) Melaksanakn Pretes kepada kedua kelas
3) Melaksanakan proses pembelajaran
Kelas control diberikan pembelajaran konvensional
Kelas eksperimen diberikan pembelajaran PBL
4) Melaksanakan postes
5) Pengisian skala sikap
24. 24
Kelas control diberikan skala sikap yang berhubungan
dengan pembelajaran konvensional
Kelas eksperimen diberikan skala sikap yang berhubungan
dengan pembelajaran PBL.
c. Tahap Akhir
1) Mengolah data dengan uji statistik
2) Penarikan kesimpulan
3) Penulisan laporan.
5. Analisis Data
Setelah semua data yang diperlukan telah terkumpul, maka
dilanjutkan dengan pengolahan data tersebut sebagai bahan untuk
menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian. Adapun
prosedur untuk pengolahan datanya sebagai berikut:
a. Analisis Data Variabel Terikat
1) Analisis Data Tes Awal (pretes)
Menghitung nilai rerata kelas eksperimen dan kelas kontrol
(a) Menghitung simpangan baku kedua kelas
(b) Melakukan uji normalitas kepada kedua kelas
(c) Melakukan uji homogenitas dua varians
(d) Jika kedua variansnya homogen maka dilanjutkan dengan
tes’t, jika salah satunya tidak berdistribusi normal maka
menggunakan tes Wilcoxon tetapi jika keduanya normal
tetapi variansnya homogen maka dilanjutkan dengan tes’t.
2) Analisis Data Tes Akhir (postes)
25. 25
(a) Menghitung nilai rerata kelas eksperimen dan kelas kontrol
(b) Menghitung simpangan baku kedua kelas
(c) Melakukan uji normalitas kepada kedua kelas
(d) Melakukan uji homogenitas dua varians
(e) Jika kedua variansnya homogen maka dilanjutkan dengan
tes’t, jika salah satunya tidak berdistribusi normal maka
menggunakan tes Wilcoxon tetapi jika keduanya normal
tetapi variansnya homogen maka dilanjutkan dengan tes’t.
b. Analisis Data Hasil Skala Sikap
Menurut Suherman dan Sukjaya (Rosid, 2011:39) adalah
sebagai berikut :
Keterangan :
x = Nilai rata-rata
∑ 𝑊𝐹 = Jumlah siswa yang memiliki setiap kategori
F = Nilai kategori siswa
(Suherman dan Sukjaya ,1990: 237)
Setelah nilai rata-rata sikap siswa diperoleh, maka jika nilai
rata-rata sikap siswa lebih besar sama dengan skor normalnya 𝑥 ≥ 3
maka sikap siswa dipandang positif, sedangkan jika nilai rata-rata
sikap siswa lebih kecil skor 𝑥 < 3 maka sikap siswa dipandang
negatif.
26. 26
J. JADWAL KEGIATAN
NO
WAKTU
KEGIATAN
BULAN
1 2 3 4 5 6 7
1 Pengajuan Judul
2
Penyusunan rencana
penelitian
3 Seminar Proposal
4 Perbaikan proposal
5 Mengurus perizinan
6
Membuat Instumern
penelitian
7
Melakukan Penelitian
(Pengumpulan Data)
8 Pengolahan Data
9 Penulisan
27. 27
DAFTAR PUSTAKA
Aliwear.(2012). Contoh Proposal PTK ” Problem Based Learning.
http://alisadikinwear.wordpress.com/2012/04/26/contoh-ptk-problem-
based-learning/. Diakses tanggal 11 November 2012
Djamarah.(1996).Metode-metode Pembelajaran.Bandung:Percikan Ilmu
Herdian.(2010). Kemampuan Koneksi Matematika Siswa.
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/ kemampuan – koneksi –
matematik – siswa/. Diakses tanggal 11 November 2012
Irmayani.(2011). Peran Kemampuan Koneksi dalam pembelajaran Matematika.
http://irmayanisaja.blogspot.com/2011/12/peran-kemampuan-koneksi-
dalam.html. Diakses tanggal 27 november 2012
Marlinda, A. (2007). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah dalam
Kelompok Kecil untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa
SMP PGII 2 Bandung. Skripsi Unpas. Bandung : Tidak Diterbitkan.
Munawar, I. (2009). Pengertian dan Definisi Hasil Belajar.
http://indramunawar.blogspot.com/2009/06/hasil-belajar-pengertian-
dan-definisi.html. Diakses tanggal 11 November 2012
NN.(2011). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah,Komunikasi dan Representasi Matematis Siswa
SMP.http://kumpulan-disertasi.blogspot.com/2011/10/pengaruh-
pembelajaran-berbasis-masalah.html. Diakses tanggal 11 November
2012
Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-
Eksakta Lainnya. Bandung : Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (2006). Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam
Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru untuk
Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika
untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito.
Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung : UPI.
Suherman, E.dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: JICA-UPI.
Suherman dan Sukjaya. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi
Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusuma.
28. 28
Syah, M.(2006). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Syaripudin, T. (2007). Landasan Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu.
Trianto.(2011).Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif.Jakarta:
Kharisma Putra Utama