Teknologi kloning dan sel stem memberi harapan baru dalam pengobatan berbagai penyakit. Kloning digunakan untuk mereproduksi sel stem embrionik yang memiliki potensi untuk menjadi berbagai jenis sel. Namun, penelitian kloning dan penggunaan sel stem embrionik masih kontroversial dari segi etika.
1. Kloning
Dalam bukunya yang berjudul Problem Etis Kloning Manusia, CB. Kusmaryanto, SCJ
mengungkapkan bahwa istilah ‘Kloning’ berasal dari kata Klon (Yunani) yang artinya: tunas.
Oleh karena itu, secara sederhana, kloning dapat dipahami sebagai suatu metode reproduksi
biologis tanpa menggunakan sel seks (reproduksi aseksual). Reproduksi aseksual adalah
reproduksi yang terjadi tanpa peleburan sel sperma dan sel telur. Cara-cara reproduksi ini
dapat dilakukan dengan membelah diri ataupun dengan model stek pada tanaman singkong.8
Dalam bioetika, kloning dipahami sebagai sebuah bentuk usaha menciptakan replika gen
yang memunculkan organisme sama persis dengan organisme induknya. Reproduksi dengan
cara kloning ini akan menghasilkan organisme dengan informasi genetik sama. Ada 3 macam
cara untuk melakukan reproduksi dengan kloning:
embryo splitting: pemisahan embrio. Pemisahan embrio ini dilakukan pada embrio biasa
(peleburan sel sperma dan sel telur) ketika memasuki tahap pre-nidasi, yakni ketika embrio
memiliki sifat totipotent. Pada tahap ini, embrio terdiri dari 8 sel yang memiliki kemampuan
untuk berkembang menjadi individu. Apabila ke-8 sel itu dipisahkan, maka akan menjadi 8
individu. Pada tahap itulah sel-sel tersebut dipisahkan sehingga akan menghasilkan 8 individu
yang memiliki kesamaan genetis. Hal ini terjadi juga dalam kasus anak kembar dimana satu
sel telur yang telah dibuahi menjadi dua individu karena proses pemisahan pada tahap
totipotent tesebut.9
Recombinant DNA Technology
Recombinant DNA Technology adalah cara mengklon organisme dengan menggabungkan
gen yang akan diklon dengan sebuah vektor. Vektor ini bisa plasmide, bacteriophage, Yeast
Artificial Cosmide, dll. DNA baru yang disebut sebagai recombinant DNA sekurangkurangnya harus terdiri dari dua bit DNA, yakni gen dan vektornya, lalu sesudahnya
diletakkan dalam organisme yang cocok, misalnya bakteri atau ragi. Perpaduan antara gen
dan vektor ini akan mengalami pembiakan di dalam organisme tersebut sehingga terjadi
kloning sel. Sel-sel ini memiliki gen yang sama.10
Somatic Cell Nuclear Transfer
Somatic Cell Nuclear Transfer adalah metode kloning dengan menggunakan inti sel somatic
(nukleus sel somatic) yang ditanamkan ke dalam sel telur yang telah dibuang inti selnya.
Setelahnya, sel tersebut dirangsang dengan listrik yang memungkinkan terjadinya
pertumbuhan sel tersebut. Ternyata sel tersebut mampu berkembang menjadi embrio yang
kemudian dimasukkan ke dalam rahim binatang/wanita yang sudah dipersiapkan secara
biologis untuk dapat menerima dan mengembangkan embrio kloning. Teknik ini digunakan
untuk mendapatkan Dolly (kloning pada biri-biri). Secara genetis, embrio baru itu memiliki
gen yang sama dengan induknya (gen dalam nukleus somatic sel yang telah ditanamkan
dalam sel telur yang telah dibuang inti selnya ).11
Jenis Kloning12
Dalam bioteknologi, ada dua jenis kloning. Pembagian jenis kloning ini berdasarkan tujuan
dari tindakan membuat kloning. Kedua jenis kloning tersebut adalah:
Reproductive Cloning: Kloning yang diadakan demi tujuan reproduksi. Kloning jenis ini
pertama-tama bertujuan untuk mendapatkan keturunan, atau mengadakan pertambahan
jumlah organisme. Kloning demi tujuan reproduksi ini menjadi menarik bagi orang-orang
2. yang mengalami kesulitan mendapatkan keturunan. Di samping itu, kloning demi tujuan
reproduksi ini juga menarik perhatian para pelaku industri. Dengan ditemukannya teknologi
kloning untuk kepentingan reproduksi, berarti membuka peluang untuk mengembangkan
industri reproduksi manusia, hewan, maupun tumbuhan demi kepentingan bisnis.
Therapeutic Cloning: Kloning yang diadakan demi tujuan pengobatan. Therapeutic Cloning
ini berhubungan erat dengan proses mendapatkan stem sell yang akan digunakan dalam
berbagai macam pengobatan. Kloning dengan tujuan pengobatan ini pertama-tama tidak
menginginkan hadirnya organisme baru yang memiliki kesamaan genetis dengan induknya,
melainkan memanfaatkan stem sel dari embrio klon yang tidak diimplantasikan ke dalam
rahim. Singkatnya, Kloning jenis ini adalah kloning untuk mendapatkan embryonic stem cell
dari embrio hasil kloning.
Kaitan Antara Stem Sel dan Kloning
Dengan adanya penemuan tentang Stem Sel demi kemajuan teknologi pengobatan, para ahli
mencoba melanjutkan penelitian mengenai reproduksi stem sel (khususnya embryonic stem
cell). Hal ini didukung oleh penemuan teknologi kloning. Para peneliti bioteknologi mulai
mengembangkan kloning demi memperoleh dan mereproduksi embryonic stem cell. Dengan
menggunakan metode kloning, embryonic stem cell yang didapatkan akan memiliki
kesamaan genetis dari induk biologisnya. Hal ini dipandang oleh para ahli sebagai sebuah
penemuan yang pesat dalam bidang pengobatan. Dengan memiliki kesamaan genetis, stem
cell yang digunakan untuk mengganti atau memperbaiki jaringan yang rusak karena penyakit
tentu memiliki prospek keberhasilan yang cukup signifikan.13
Setiap penyakit pasti ada obatnya. Kata-kata itulah mungkin yang selalu terngiang-ngiang
di kepala para peneliti di dunia kedokteran sehingga mereka tidak pernah berputus asa
mencari terapi terbaik demi kesembuhan pasien. Salah satu teknologi kedokteran yang
saat ini sedang dikembangkan yaitu stem sel. Pengembangan stem sel memberi harapan
bagi penyembuhan berbagai penyakit yang belum ada obatnya sampai saat ini. Walaupun
masih berbenturan dengan permasalahan etika.
Apa itu Stem Sel
3. h5>Stem sel atau sel induk adalah sel yang dalam perkembangan embrio manusia menjadi sel
awal yang tumbuh menjadi berbagai organ manusia. Sel ini belum terspesialisasi dan mampu
berdeferensiasi menjadi berbagai sel matang dan mampu meregenerasi diri sendiri.1
Berdasarkan sumbernya, sel induk dibagi menjadi sel stem embrionik dan sel stem
dewasa. Sel stem embrionik adalah sel yang diambil dari inner cell mass, suatu
kumpulan sel yang terletak di satu sisi blastocyst yang berusia lima hari dan terdiri atas
seratus sel. Sel ini dapat berkembang biak dalam media kultur optimal menjadi
berbagai sel, seperti sel jantung, sel kulit, dan saraf.
Sumber lain adalah sel stem dewasa, yakni sel induk yang terdapat di semua organ
tubuh, terutama di dalam sumsum tulang dan berfungsi untuk memperbaiki jaringan
yang mengalami kerusakan. Tubuh kita mengalami perusakan oleh berbagai faktor
dan semua kerusakan yang mengakibatkan kematian jaringan dan sel akan
dibersihkan. Sel stem dewasa dapat diambil dari fetus, sumsum tulang, dan darah tali
pusat.
Sel induk embrionik maupun sel induk dewasa sangat besar potensinya untuk
mengobati berbagai penyakit degeneratif, seperti infark jantung, stroke, parkinson,
diabetes, berbagai macam kanker; terutama kanker darah dan osteoarthritis. Sel stem
embrionik sangat plastis dan mudah dikembangkan menjadi berbagai macam jaringan
sel sehingga dapat dipakai untuk transplantasi jaringan yang rusak.
Keuntungan sel induk dari embrio di antaranya ia mudah didapat dari klinik fertilitas
dan bersifat pluripoten sehingga dapat berdiferensiasi menjadi segala jenis sel dalam
tubuh. Pada kultur sel ini dapat berpoliferasi beratus kali lipat sehingga berumur
4. panjang, Namun, sel induk ini berisiko menimbulkan kanker jika terkontaminasi,
berpotensi menimbulkan penolakan, dan secara etika sangat kontroversial.
Sementara sel induk dewasa dapat diambil dari sel pasien sendiri sehingga menghindari
penolakan imun, sudah terspesialisasi sehingga induksi jadi lebih sederhana dan secara
etika tidak ada masalah. Kerugiannya, sel induk dewasa ini jumlahnya sedikit, sangat
jarang ditemukan pada jaringan matur, masa hidupnya tidak selama sel induk dari
embrio, dan bersifat multipoten sehingga diferensiasinya tidak seluas sel induk dari
embrio.
Sejarah Pemanfaatan Stem Sel
Terapi pengobatan yang menggunakan stem sel mulai digunakan sejak keberhasilan
transplantasi sumsum tulang untuk yang pertama kalinya pada tahun 1968.1
Kemudian, stem sel embrionik pluripotent dan stem sel multipotent dewasa digunakan
untuk membuat jaringan manusia yang akan ditransplantasi ke pasien dengan indikasi
kelainan yang disebabkan oleh degenerasi atau perlukaan sel, jaringan, dan organ.
Perkembangan terbaru teknik penumbuhan stem sel embrionik manusia pada kultur
dan peningkatan pengetahuan para peneliti mengenai jalur diferensiasi sel telah
memperluas penggunaan terapi ini.
Pada tahun 1963, peneliti di dunia kedokteran menemukan bahwa sel induk dari tali
pusat dapat dipakai si bayi dan keluarganya untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Darah di dalam ari-ari dan tali pusat mengandung berjuta-juta sel induk pembentuk
darah yang sejenis dengan sel induk yang ditemukan di dalam sumsum tulang.
Pencangkokan darah tali pusat (umbilical cord blood) pertama kali dilakukan pada
seorang anak penderita anemia fanconi di Paris pada tahun 1988. Keberhasilan
pencangkokan itu membuka pandangan baru dalam pemanfaatan darah tali pusat
yang sebelumnya tidak berguna. Setelah diteliti lebih lanjut, banyak keuntungan yang
ditawarkan dibandingkan dengan transplantasi sumsum tulang yang semula jadi
primadona. Stem sel dewasa dari darah tali pusat memiliki kemampuan proliferasi
yang lebih tinggi daripada dari sumsum tulang. Selain itu, pencangkokan dengan
menggunakan sel induk dewasa dari darah tali pusat ini memiliki tingkat kecocokan
lebih tinggi dibandingkan sumsum tulang.
Sel induk sumsum tulang dan darah tali pusat sejauh ini telah berhasil digunakan
untuk mengobati berbagai penyakit kelainan darah. Hingga kini sedikitnya 3.000
pencangkokan darah tali pusat telah dilakukan. Lebih dari 72 penyakit yang terbukti
dapat diobati dengan pencangkokan sel induk ini, di antaranya leukemia, keropos
tulang (osteoporosis), dan kanker payudara. Kebanyakan dari penyakit yang
disembuhkan adalah penyakit akut, seperti leukemia akut dan kronis, anemia fanconi,
anemia aplastic, dan penyakit auto immune. Namun pada kanker payudara, stem sel
terbukti tidak menolong.
Pada tahun 1993, di Jerman telah dilakukan sebuah penelitian yang melibatkan 885
pasien berumur kurang dari 56 tahun penderita kanker payudara yang tidak
bermetastasis dan telah dioperasi. Pasien yang mendapat perlakuan konvensional
diberikan fluorouracil, epirubricin,dan cyclophosphamide setiap tiga minggu, diikuti
radioterapi dan perlakuan dengan tamoxifen, untuk empat siklus dari perlakuan.
5. Pasien dari kelompok perlakuan dosis tinggi menerima perlakuan cara yang sama
untuk 4 siklus pertama, tetapi perlakuan kelima terdiri dari dosis tinggi
cyclophosphamide, thiotepa, dan carboplatin diikuti transplantasi stem sel
hematopoietik darah tepi pasien sendiri. Hasilnya, 5 wanita meninggal pada kelompok
dengan perlakuan dosis tinggi yaitu 1 selama perlakuan, dan 4 pada 100 hari setelah
transplantasi stem sel.
Sebuah penelitian lain dilakukan pada tahun 1191 melibatkan 540 wanita yang
menderita kanker payudara dan paling sedikit 10 diantaranya positif memiliki axillary
nodes. Mereka diperlakukan baik dengan 6 siklus dari kemoterapi dengan
cyclophosphamide, doxorubicin, dan fluorouracil maupun dengan kemoterapi diikuti 1
siklus kemoterapi dosis tinggi dengan cyclophosphamide dan thiotepa dan transplantasi
hematopoietik stem sel autolog.
Hasilnya, 9 wanita meninggal pada kelompok yang mendapat perlakuan dosis tinggi.
Peneliti menemukan bahwa penambahan transplantasi stem sel pada kemoterapi
konvensional tidak memperbaiki penyakit, tetapi waktu untuk kambuhnya lebih
panjang pada wanita yang menjalani transplantasi stem sel.
Masih Menjadi Kontroversi
Sejauh ini, penggunaan sel stem embrionik masih dibayangi masalah etika dan dilarang
di beberapa negara, seperti di Amerika Serikat dan Perancis. Pemerintah Federal
Amerika Serikat melarang pendanaan penelitian yang menggunakan sel induk berasal
dari embrio, tetapi tidak melarang penelitian itu sendiri. Hal ini menyebabkan
penelitian dilakukan pihak swasta tanpa pengawasan yang baik.
Namun, di beberapa negara, seperti Singapura, Korea, dan India, penggunaan sel stem
embrionik manusia untuk kedokteran regeneratif diperbolehkan. Kanada
membolehkan penggunaan embrio sisa bayi tabung untuk penelitian sel induk. Swedia
mendukung kegiatan pengklonan embrio untuk tujuan pengobatan. Di Inggris, pihak
swasta diperbolehkan membuat sel induk dari embrio.
Bahkan, Singapura menanamkan modal dalam upaya penelitian sel induk yang berasal
dari embrio sebesar 300 juta dollar AS dengan mengembangkan Biopolis, suatu taman
ilmu yang modern dengan tujuan khusus penelitian sel induk. Di Singapura juga telah
didirikan suatu bank penyimpanan darah tali pusat.
Permasalahan etika itu dengan pesat muncul ke permukaan karena sumber sel induk
adalah berupa embrio dari hasil abortus, zigot sisa dan hasil pengklonan. Hal ini
menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti apakah penelitian embrio manusia secara
moral dapat dipertanggungjawabkan? Apakah penelitian yang menyebabkan kematian
embrio itu melanggar hak asasi manusia dan berkurangnya penghormatan pada
makhluk hidup? Dibalik itu semua, banyak harapan yang timbul dari penelitian sel
induk dari embrio ini. Sel ini berpotensi berkembang jadi berbagai jenis sel yang
menyusun aneka jenis organ tubuh. Sungguh luar biasa bukan?
Tak Kunjung Selesai
6. Dewasa ini sudah ada sejumlah peneliti melaporkan suatu cara memperoleh embrio
yang etis, antara lain dengan cara membuat embrio partenogenetik dan melalui
transfer inti yang diubah. Ini disebut pembuatan embrio yang etis. Pembentukannya
dilakukan dengan penyuntikan suatu protein sperma pada sel telur yang memicu
proses fertilisasi dan sel telur mulai membelah.
Pembelahan sel telur ini hanya dapat berkembang sampai stadium blastosis dan sel
induk embrio kemudian dapat dipanen. Pada transfer inti yang diubah dilakukan
transfer inti dengan DNA yang sudah diubah sehingga hasil fertilisasi tidak dapat
berkembang jadi embrio atau fetus. Ia berhenti pada stadium blastosis. Menurut
pendukung gagasan ini, gumpalan sel yang terbentuk tidak dapat disebut embrio
karena tidak sempurna.
Pengklonan embrio manusia untuk memperoleh sel induk menimbulkan kontroversi
lantaran berhubungan dengan pengklonan manusia atau pengklonan reproduksi yang
ditentang semua agama. Dalam proses pemanenan sel induk dari embrio terjadi
kerusakan pada embrio yang menyebabkannya mati. Pandangan bahwa embrio
mempunyai status moral sama dengan manusia menyebabkan hal ini sulit diterima.
Karena itu, pembuatan embrio untuk tujuan penelitian merupakan hal yang tidak
dapat diterima banyak pihak.
Perdebatan tentang status moral embrio berkisar tentang apakah embrio harus
diperlakukan sebagai manusia atau sesuatu yang berpotensi sebagai manusia, atau
sebagai jaringan hidup. Pandangan yang moderat menganggap suatu embrio berhak
mendapat penghormatan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Semakin tua usia
embrio, kian tinggi tingkat penghormatan yang diberikan. Pandangan liberal
menganggap embrio pada stadium blastosis hanya sebagai gumpalan sel dan belum
merupakan manusia sehingga dapat dipakai untuk penelitian. Namun, pandangan
konservatif menganggap blastosis sebagai makhluk hidup. Salah satu cara untuk
menghindari masalah etika penggunaan embrio manusia adalah dengan eksperimen
pengklonan lintas spesies. Teknologi ini masih dikembangkan dan belum banyak dikaji
dari segi ilmiah dan etika.
Keresahan di kalangan masyarakat dapat timbul akibat ketidaktahuan. Oleh karena
itu, perlu ada sosialisasi dan pendudukan masyarakat tentang penelitian sel induk
secara jujur. Sebab, ada kecenderungan untuk melaporkan keberhasilan dan
menyembunyikan kegagalan. (Primz, dari berbagai sumber)
Sumber:
1. Bach FH, Albertini RJ, Joo P, Anderson JL, Bortin MM. Bonemarrow
transplantation in a patient with the Wiskott-Aldrich syndrome. Lancet 1968;2:1364-6.
2.Till J, McMulloch E. A direct measurement of the radiation sensitivity of normal
mouse bone marrow cells. Rad Res 1961;14:1419-30.