Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Teknik reportase atau teknik peliputan
1. Teknik reportase atau teknik peliputan berita merupakan hal mendasar yang perlu dikuasai para
jurnalis. Namun, membahas teknik reportase, berarti juga membahas bagaimana cara media
bekerja, sebelum mereka memutuskan untuk meliput suatu acara, kegiatan atau peristiwa.
Setiap media memiliki apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Selain itu, mereka juga
memiliki apa yang disebut kebijakan redaksional (editorial policy). Kriteria kelayakan berita itu
bersifat umum (universal), dan tak jauh berbeda antara satu media dengan media yang lain.
Sedangkan kebijakan redaksional setiap media bisa berbeda, tergantung visi dan misi atau
ideologi yang dianutnya.
Perbedaan visi, misi dan ideologi ini akan berpengaruh pada sudut pandang atau angle peliputan.
Dua media yang berbeda bisa mengambil sudut pandang yang berbeda terhadap suatu peristiwa
yang sama. Bandingkan, misalnya, cara pandang redaktur harian Kompas dan Republika
terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, yang telah memancing kontroversi sengit di
sejumlah kalangan belum lama ini.
Terakhir, tentu saja segmen khalayak yang dilayani tiap media juga berbeda-beda. Keinginan
media untuk memuaskan kebutuhan segmen khalayak tersebut secara tak langsung juga berarti
melakukan seleksi terhadap apa yang layak dan tidak layak diliput. Trans TV, misalnya, memilih
khalayak dari kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas. Majalah Femina membidik pasar
kaum perempuan berusia menengah ke atas, yang tinggal atau bekerja di perkotaan. Sedangkan
Radio Hardrock FM mengejar pasar kaum muda di Jakarta.
Kelayakan Berita
Berikut ini adalah sejumlah kriteria kelayakan berita, yang bersifat umum untuk semua media:
Penting. Suatu peristiwa diliput jika dianggap punya arti penting bagi mayoritas khalayak
pembaca, pendengar, atau pemirsa. Tentu saja, media tidak akan rela memberikan space atau
durasinya untuk materi liputan yang remeh. Kenaikan harga bahan bakar minyak, pemberlakuan
undang-undang perpajakan yang baru, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan
sebagainya, jelas penting karena punya dampak langsung pada kehidupan khalayak.
Aktual. Suatu peristiwa dianggap layak diliput jika baru terjadi. Maka, ada ungkapan tentang
berita “hangat,“ artinya belum lama terjadi dan masih jadi bahan pembicaraan di masyarakat.
Kalau peristiwa itu sudah lama terjadi, tentu tak bisa disebut berita “hangat,” tetapi lebih pas
disebut berita “basi.” Namun, pengertian “baru terjadi” di sini bisa berbeda, tergantung jenis
medianya. Untuk majalah mingguan, peristiwa yang terjadi minggu lalu masih bisa dikemas dan
dimuat. Untuk suratkabar harian, istilah “baru” berarti peristiwa kemarin. Untuk media radio dan
televisi, berkat kemajuan teknologi telekomunikasi, makna “baru” adalah beberapa jam
sebelumnya atau “seketika” (real time). Contohnya, siaran langsung pertandingan sepakbola
Piala Dunia.
Unik. Suatu peristiwa diliput karena punya unsur keunikan, kekhasan, atau tidak biasa. Orang
digigit anjing, itu biasa. Tetapi, orang mengigit anjing, itu unik dan luar biasa. Contoh lain:
Seorang mahasiswa yang berangkat kuliah setiap hari, itu kejadian rutin dan biasa. Tetapi, jika
2. seorang mahasiswa menembak dosennya, karena bertahun-tahun tidak pernah diluluskan, itu
unik dan luar biasa. Di sekitar kita, selalu ada peristiwa yang unik dan tidak biasa.
Asas Kedekatan (proximity). Suatu peristiwa yang terjadi dekat dengan kita (khalayak media),
lebih layak diliput ketimbang peristiwa yang terjadi jauh dari kita. Kebakaran yang menimpa
sebuah pasar swalayan di Jakarta tentu lebih perlu diberitakan ketimbang peristiwa yang sama
tetapi terjadi di Ghana, Afrika. Perlu dijelaskan di sini bahwa “kedekatan” itu tidak harus berarti
kedekatan fisik atau kedekatan geografis. Ada juga kedekatan yang bersifat emosional. Agresi
Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, misalnya, secara geografis jauh
dari kita, tetapi secara emosional tampaknya cukup dekat bagi khalayak media di Indonesia.
Asas Keterkenalan (prominence). Nama terkenal bisa menjadikan berita. Sejumlah media pada
Juni-Juli 2006 ini ramai memberitakan kasus perceraian artis Tamara Bleszynski dan suaminya
Teuku Rafli Pasha, serta perebutan hak asuh atas anak antara keduanya. Padahal di Indonesia ada
ratusan atau bahkan ribuan pasangan lain, yang bercerai dan terlibat sengketa rumah tangga.
Namun, mengapa mereka tidak diliput? Ya, karena sebagai bintang sinetron dan bintang iklan
sabun Lux, Tamara adalah figur selebritas terkenal.
Magnitude. Mendengar istilah magnitude, mungkin mengingatkan Anda pada gempa bumi.
Benar. Magnitude ini berarti “kekuatan” dari suatu peristiwa. Gempa berkekuatan 6,9 skala
Richter pasti jauh lebih besar dampak kerusakannya, dibandingkan gempa berkekuatan 3,1 skala
Richter. Dalam konteks peristiwa untuk diliput, sebuah aksi demonstrasi yang dilakukan 10.000
buruh, tentu lebih besar magnitude-nya ketimbang demonstrasi yang cuma diikuti 100 buruh.
Kecelakaan kereta api yang menewaskan 200 orang pasti lebih besar magnitude-nya daripada
serempetan antara becak dan angkot, yang hanya membuat penumpang becak menderita lecet-lecet.
Semakin besar magnitude-nya, semakin layak peristiwa itu diliput.
Human Interest. Suatu peristiwa yang menyangkut manusia, selalu menarik diliput. Mungkin
sudah menjadi bawaan kita untuk selalu ingin tahu tentang orang lain. Apalagi yang melibatkan
drama, seperti: penderitaan, kesedihan, kebahagiaan, harapan, perjuangan, dan lain-lain. Topik-topik
kemanusiaan semacam ini biasanya disajikan dalam bentuk feature.
Unsur konflik. Konflik, seperti juga berbagai hal lain yang menyangkut hubungan antar-manusia,
juga menarik untuk diliput. Ketika ppahlawan sepakbola Perancis, Zinedine Zidane, “menanduk”
pemain Italia, Marco Materrazzi, dalam pertandingan final Piala Dunia, Juli 2006 lalu, ini
menarik diliput. Mengapa? Ya, karena sangat menonjol unsur konflik dan kontroversinya.
Bahkan, kontroversi kasus Zidane ini lebih menarik daripada pertandingan antara kesebelasan
Perancis dan Italia itu sendiri.
Trend. Sesuatu yang sedang menjadi trend atau menggejala di kalangan masyarakat, patut
mendapat perhatian untuk diliput media. Pengertian trend adalah sesuatu yang diikuti oleh orang
banyak, bukan satu-dua orang saja. Misalnya, suatu gaya mode tertentu yang unik, perilaku
kekerasan antar warga masyarakat yang sering terjadi, tawuran antarpelajar, dan sebagainya.
Dalam memilih topik liputan, bisa saja tergabung beberapa kriteria kelayakan. Misalnya, kasus
mantan anggota The Beatles, John Lennon, yang pada 1980 tewas ditembak di depan
apartemennya di New York oleh Mark Chapman. Padahal beberapa jam sebelumnya, Chapman
3. sempat meminta tanda tangan Lennon. Chapman mengatakan, ia mendengar “suara-suara” di
telinganya yang menyuruhnya membunuh Lennon.
Mari kita lihat kriteria kelayakan berita ini. Pertama, Lennon adalah seorang selebritas yang
terkenal di seluruh dunia (unsur keterkenalan). Kedua, penembakan terhadap seorang bintang
oleh penggemarnya sendiri, jelas peristiwa luar biasa dan jarang terjadi (unsur keunikan). Ketiga,
meskipun peristiwa itu terjadi di lokasi yang jauh dari Indonesia, para penggemar The Beatles di
Indonesia pasti merasakan kesedihan mendalam akibat tewasnya Lennon tersebut (unsur
kedekatan emosional). Dan seterusnya.
Proses pembuatan berita
Proses pembuatan berita pada prinsipnya tak banyak berbeda di semua media. Di media yang
sudah mapan, biasanya telah dibuat semacam prosedur operasional standar (SOP) dalam
pembuatan berita, untuk menjaga kualitas berita yang dihasilkan.
Proses pembuatan berita biasanya dimulai dari rapat redaksi, yang juga merupakan jantung
operasional media pemberitaan. Rapat redaksi merupakan kegiatan rutin, yang penting bagi
pengembangan dan peningkatan kualitas berita yang dihasilkan.
Dalam rapat redaksi ini, para reporter, juru kamera, redaktur, bisa mengajukan usulan-usulan
topik liputan. Usulan itu sendiri bisa berasal dari berbagai sumber. Misalnya: Undangan liputan
dari pihak luar, konferensi pers, siaran pers, berita yang sudah dimuat atau ditayangkan di media
lain, hasil pengamatan pribadi si jurnalis, masukan dari narasumber/informan, dan sebagainya.
Sasaran Rapat Redaksi:
1. Untuk mengkoordinasikan kebijakan redaksi dan liputan.
2. Untuk menjaga kelancaran komunikasi antar staf redaksi (komunikasi antara reporter, juru
kamera, staf riset, redaktur, dan sebagainya).
3. Untuk memecahkan masalah yang timbul sedini mungkin (potensi hambatan teknis dalam
peliputan, keterbatasan sarana/alat untuk peliputan, keamanan dalam peliputan, dan sebagainya)
4. Untuk menghasilkan hasil liputan yang berkualitas.
Dari rapat redaksi ini, ditentukan topik yang mau diliput, sekaligus ditunjuk reporter (plusjuru
kamera) yang harus meliputnya. Dalam pembahasan yang lebih rinci, bisa dibahas juga angle
(sudut pandang) yang dipilih dari topik liputan bersangkutan, serta narasumber yang harus
diwawancarai. Untuk kelengkapan data, staf riset bisa diminta mencari data tambahan guna
menyempurnakan hasil liputan nantinya.
Sesudah tugas dibagikan secara jelas dalam rapat redaksi, dan redaktur memberi brifing pada
reporter, berbekal informasi dan arahan tersebut, si reporter pun meluncur ke lapangan. Dalam
proses peliputan, bila ada masalah atau hambatan dalam liputan di lapangan,si reporter dapat
berkonsultasi langsung dengan redaktur yang menugaskannya. Hambatan itu, misalnya,
narasumber menolak diwawancarai, atau peristiwa yang diliput ternyata tidak seperti yang
dibayangkan.
4. Setelah selesai meliput, si reporter kembali ke kantor, dan melaporkan hasil liputannya kepada
redaktur yang memberi penugasan. Sang redaktur lalu membuat penilaian, apakah hasil liputan
itu sudah sesuai dengan rancangan awal, yang sebelumnya ditetapkan dalam rapat redaksi.
Apakah ada hal-hal yang baru, yang mungkin lebih menarik diangkat dalam penulisan. Atau,
sebaliknya, hasil liputan ternyata justru biasa saja, tidak sehebat atau sedramatis yang
diharapkan.
Redaktur juga melihat, apakah ada hal yang kurang terliput oleh si reporter. Apakah hasil liputan
sudah lengkap? Redaktur juga mempertimbangkan asas keberimbangan dan proporsionalitas
dalam isi pemberitaan. Misalnya, apakah jumlah narasumber yang diwawancarai sudah cukup?
Apakah narasumber yang diwawancarai itu sudah mewakili berbagai kepentingan yang terlibat?
Berdasarkan berbagai pertimbangan itu, redaktur mengusulkan di mana berita itu akan
ditempatkan. Di sejumlah media, ada rapat khusus (kadang-kadang disebut rapat budgeting,
meski ini tidak ada hubungannya dengan uang) untuk membahas penempatan berita. Namun,
dalam rapat ini, reporter tidak ikut serta karena sudah diwakili oleh redakturnya. Di rapat ini
dibahas, apakah hasil liputan itu layak untuk berita utama di halaman pertama, atau sekadar
layak untuk dimuat pendek di halaman dalam, atau justru tidak layak dimuat sama sekali.
Sesudah jelas, berita itu akan dimuat di halaman mana, seberapa panjangnya, serta penekanan
pada aspek yang mana, si reporter disuruh menuliskannya. Hasil tulisan diserahkan kepada
redaktur terkait, untuk disunting dari segi bahasa dan isinya. Sebelum berita ini dimuat, kadang-kadang
harus melalui proses penyuntingan bahasa oleh editor atau penyunting yang khusus
memeriksa gaya bahasa. Jika isi berita itu dianggap layak jadi berita utama, biasanya redaktur
pelaksana atau pemimpin redaksi juga bisa ikut terlibat.
Kemudian, berita pun dimuat. Demikianlah proses pembuatan berita pada umumnya di media
cetak. Khusus untuk media televisi (audio-visual), faktor ketersediaan gambar ikut berpengaruh,
bahkan sangat berpengaruh, mengenai apakah suatu item berita akan ditayangkan atau tidak.
Kalaupun ditayangkan, format penayangannya juga banyak tergantung pada ketersediaan
gambar.
Menggali Informasi
Tugas seorang reporter pada dasarnya adalah mengumpulkan informasi, yang membantu publik
untuk memahami peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka. Penggalian
informasi ini membawa sang reporter untuk melalui tiga lapisan atau tahapan peliputan:
Lapisan pertama, adalah fakta-fakta permukaan. Seperti: siaran pers, konferensi pers, rekaman
pidato, dan sebagainya. Lapisan pertama ini adalah sumber bagi fakta-fakta, yang digunakan
pada sebagian besar berita. Informasi ini digali dari bahan yang disediakan dan dikontrol oleh
narasumber. Oleh karena itu, isinya mungkin masih sangat sepihak. Jika reporter hanya
mengandalkan informasi lapisan pertama, perbedaan antara jurnalisme dan siaran pers humas
menjadi sangat tipis.
5. Lapisan kedua, adalah upaya pelaporan yang dilakukan sendiri oleh si reporter. Di sini, sang
reporter melakukan verifikasi, pelaporan investigatif, liputan atas peristiwa-peristiwa spontan,
dan sebagainya. Di sini, peristiwa sudah bergerak di luar kontrol narasumber awal. Misalnya,
ketika si reporter tidak mentah-mentah menelan begitu saja keterangan Humas PT. Lapindo
Brantas, tetapi si reporter datang ke lokasi meluapnya lumpur, dan mewawancarai langsung para
warga korban lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.
Lapisan ketiga, adalah interpretasi (penafsiran) dan analisis. Di sini si reporter menguraikan
signifikansi atau arti penting suatu peristiwa, penyebab-penyebabnya, dan konsekuensinya.
Publik tidak sekadar ingin tahu apa yang terjadi, tetapi mereka juga ingin tahu bagaimana dan
mengapa peristiwa itu terjadi. Apa makna peristiwa itu bagi mereka, dan apa yang mungkin
terjadi sesudahnya (dampak susulan dari peristiwa tersebut).
Seorang reporter harus selalu berusaha mengamati peristiwa secara langsung, ketimbang hanya
mengandalkan pada sumber-sumber lain, yang kadang-kadang berusaha memanipulasi atau
memanfaatkan pers. Salah satu taktik yang dilakukan narasumber adalah mengadakan media
event, yakni suatu tindakan yang sengaja dilakukan untuk menarik perhatian media.
Verifikasi, pengecekan latar belakang, observasi langsung, dan langkah peliputan yang serius
bisa memperkuat, dan kadang-kadang membenarkan bahan-bahan awal yang disediakan
narasumber.
* Satrio Arismunandar adalah Executive Producer di Trans TV. Sebelum bekerja di Trans TV, pernah menjadi
jurnalis di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), dan Harian
Media Indonesia (2000-2001).
6. Lapisan kedua, adalah upaya pelaporan yang dilakukan sendiri oleh si reporter. Di sini, sang
reporter melakukan verifikasi, pelaporan investigatif, liputan atas peristiwa-peristiwa spontan,
dan sebagainya. Di sini, peristiwa sudah bergerak di luar kontrol narasumber awal. Misalnya,
ketika si reporter tidak mentah-mentah menelan begitu saja keterangan Humas PT. Lapindo
Brantas, tetapi si reporter datang ke lokasi meluapnya lumpur, dan mewawancarai langsung para
warga korban lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.
Lapisan ketiga, adalah interpretasi (penafsiran) dan analisis. Di sini si reporter menguraikan
signifikansi atau arti penting suatu peristiwa, penyebab-penyebabnya, dan konsekuensinya.
Publik tidak sekadar ingin tahu apa yang terjadi, tetapi mereka juga ingin tahu bagaimana dan
mengapa peristiwa itu terjadi. Apa makna peristiwa itu bagi mereka, dan apa yang mungkin
terjadi sesudahnya (dampak susulan dari peristiwa tersebut).
Seorang reporter harus selalu berusaha mengamati peristiwa secara langsung, ketimbang hanya
mengandalkan pada sumber-sumber lain, yang kadang-kadang berusaha memanipulasi atau
memanfaatkan pers. Salah satu taktik yang dilakukan narasumber adalah mengadakan media
event, yakni suatu tindakan yang sengaja dilakukan untuk menarik perhatian media.
Verifikasi, pengecekan latar belakang, observasi langsung, dan langkah peliputan yang serius
bisa memperkuat, dan kadang-kadang membenarkan bahan-bahan awal yang disediakan
narasumber.
* Satrio Arismunandar adalah Executive Producer di Trans TV. Sebelum bekerja di Trans TV, pernah menjadi
jurnalis di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), dan Harian
Media Indonesia (2000-2001).