1. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 1
RIBA, BANK DAN ASURANSI
Berekonomi atau menjalankan suatu usaha (perdagangan, perindustrian)
berdasarkan teori-teori ekonomi di zaman modern ini selalu bersinggungan
dengan masalah riba, bank, dan asuransi. Untuk mengetahui lebih lanjut, marilah
kita pelajari secara umum tentang riba, bank, dan asuransi.
A. Riba
1. Pengertian dan Dasar Hukum Riba
Kata riba (ar riba) menurut bahasa, yaitu tambahan (az ziyadah) atau
kelebihan. Riba menurutistilah adalah suatu akad perjanjian yang terjadi
dalam tukar-menukar sesuatu barang yang tidak diketahui sama sekali
menurut syarak, atau dalam tukar-menukar itu diisyaratkan menerima salah
satu dari dua barang apabila terlambat. Syekh Muhammad Abduh
mendefinisikan, riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan
oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya atau
uangnya karena janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah
ditentukan.
Riba dapat terjadi pada utang-piutang, pinjaman, gadai, atau sewa-
menyewa. Sebagai contoh, Ridwan meminjam uang sebesar 20.000,00, pada
hari Selasa disepakati dalam setiap satu hari keterlambatan, Ridwan harus
mengembalikan uang tersebut dengan tambahan 2%. Maka, hari berikutnya
Ridwan harus mengembalikan hutangnya menjadi 20.400,00. Kelebihan
atau tambahan ini disebut dengan riba.
Hukum melakukan riba adalah haram menurut Alquran, sunah dan
ijmak para ulama. Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual
beli yang bersifat komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual beli,
terdapat keuntungan atau bunga tinggi melebihi keumuman atau batas
kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Fuad Moch.
Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al Quran, sunah dan ijmak
para ulama adalah sebagai berikut.
2. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 2
a. Al Qur’an
Artinya: “…Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-
Baqarah/2: 275)
Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan
Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Q.S. Al-
Baqarah: 276)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran/3: 130)
b. Sunah Rasulullah SAW.
Artinya: “Dari Jabir r.a. ia berkata, 'Rasulullah saw. telah melaknati
orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang
yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang
menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua
sama saja'.” (H.R. Muslim)
c. Ijmak para ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan
mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha mencari rezeki dengan
cara yang tidak benar dan dibenci oleh Allah SWT. Praktik riba lebih
mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.
Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang
memerlukan pertolongan, menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin
besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa
kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu, Islam
mengharamkan riba.
2. Macam-Macam Riba
Para ulama fikih membagi riba menjadi empat macam bagian.
Keempat macam riba tersebut adalah sebagai berikut.
3. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 3
a. Riba Fadl
Riba fadl adalah tukar-menukar atau jual beli dua buah barang yang
sama jenisnya, namun tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang
yang menukarnya. Atau jual beli yang mengandung unsur riba pada barang
yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.
Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras
dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang
menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebut riba fadl. Supaya
tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka harus ada tiga syarat.
Barang yang ditukarkan tersebut harus sama.
Timbangan atau takarannya harus sama.
Serah terima pada saat itu juga.
b. Riba Nasi'ah
Riba nasi'ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun
tidak sejenis atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh
penjual dengan waktu yang dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba
nasi'ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang
ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada
benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang
ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual
barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan
pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram beras dengan satu
setengah kilogram beras yang dibayarkan setelah dua bulan kemudian.
Contoh lain adalah untuk benda yang tidak ditimbang. Misalnya membeli
satu buah labu dengan dua buah labu yang akan dibayar setelah dua
minggu kemudian. Misalnya juga, Salim membeli arloji seharga
Rp300.000,00. Oleh penjualnya disyaratkan membayarnya bulan depan
dengan harga Rp320.000,00. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan
inilah yang disebut riba nasi'ah.
4. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 4
Artinya:“Dari Samurah bin Jundub sesungguhnya Nabi SAW telah
melarang jual beli binatang dengan binatang yang pembayarannya
diakhirkan.” (H.R. Lima ahli hadis)
c. Riba Qardi
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada
keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjami. Misalnya Ali
meminjam uang kepada Abas sebesar Rp10.000,00. Kemudian Abas
mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar
Rp11.000,00. Tambahan Rp1.000,00 inilah yang disebut riba qardi.
d. Riba Yad
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah
terima. Contohnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia
menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah
berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad.
Ulama Syafi'iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang
mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua
orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna
jual beli antara gandum dan syair tanpa harus salingmmenyerahkan dan
menerima di tempat akad.
Menurut ulama Syafi'iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi'ah
sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis.
Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba
nasi'ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu
pembayaran diakhirkan meskipun sebentar.
Dasar hadis yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah
sebagai berikut.
Artinya: “Tidak ada riba kecuali pada riba nasi'ah.” (H.R. Bukhari
Muslim)
Ada syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba. Berikut ini
penjelasannya:
1) Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
5. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 5
a) serupa timbangan dan banyaknya;
b) tunai; dan
c) timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan
majelis akad.
2) Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
a) tunai;
b) timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan
majelis akad.
Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal ini disebabkan
karena riba mempunyai bahaya yang sangat besar. Di antaranya adalah
sebagai berikut.
1. Dapat menimbulkan permusuhan antarpribadi dan mengikis habis
semangat kerja sama atau saling tolong-menolong, membenci orang
yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, serta yang
mengeksploitasi.
2. Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak
mau bekerja keras, dan penimbunan harta di salah satu pihak. Islam
menghargai kerja keras sebagai sarana pencarian nafkah.
3. Merupakan salah satu bentuk penjajahan atau perbudakan di mana
satu pihak mengekploitasi yang lain.
4. Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka
mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya
membutuhkan harta.
3. Hikmah Pelarangan Riba
Di antara hikmah diharamkannya riba yaitu:
a. menghindari tipu daya sesama manusia;
b. melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil;
c. memotivasi orang muslim untuk menginventasi hartanya pada usaha-
usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang dapat
menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum Muslimin;
d. menutup seluruh pintu bagi orang muslim;
6. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 6
e. menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan
karena pemakan riba adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman
adalah kesusahan;
f. membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari
bekal untuk akhirat.
4. Menjauhkan Praktik Riba
Karena riba adalah sesuatu yang diharamkan, maka menjauhkan
diri dari praktik riba adalah sesuatu yang sangat mulia dan beroleh pahala.
Agar kita dapat menjauhkan diri dari praktik riba, maka yang harus
dilakukan adalah:
a. membiasakan hidup sederhana, tidak boros;
b. membiasakan diri menabung apabila ada kelebihan rezeki dari Allah
SWT;
c. menghindarkan diri dari berfoya-foya selagi ada kelebihan;
d. menghindari kebiasaan berutang;
e. mengadakan usaha bersama di bidang ekonomi, seperti koperasi di
sekolah atau di masyarakat;
f. rajin mensyukuri nikmat Allah SWT dengan cara memanfaatkan untuk
kebaikan serta tidak menyia-nyiakan nikmat tersebut;
g. melakukan praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut
Islam.
B. Bank
1. Pengertian Bank
Menurut UU No. 7 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin,
bank adalah suatu perusahaan yang memperdagangkan utang-piutang, baik
yang merupakan uangnya sendiri maupun orang lain. Bank
memperedarkan uang untuk kepentingan umum, tidak
7. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 7
membekukannya, dan tidak pula menimbun kekayaan dalam satu tangan.
Bank merupakan tempat penyimpanan yang terbaik dan aman, serta
tempat meminjam (dana) yang teratur. Oleh karena itu, bank menolong
manusia dalam menghadapi kesulitan keuangan pada umumnya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi bank adalah
sebagai berikut.
a. Menyimpan dana masyarakat.
b. Menyalurkan dana masyarakat ke publik.
c. Memperdagangkan utang piutang.
d. Mengatur dan menjaga stabilitas peredaran uang.
e. Tempat menyimpan harta kekayaan (uang dan surat berharga) yang
terbaik dan aman.
f. Menolong manusia dalam mengatasi kesulitan ekonomi keuangan.
Bank merupakan hasil perkembangan cara-cara penyimpanan harta
benda. Pendirian bank adalah dengan beberapa tujuan, di antaranya adalah
sebagai berikut.
a) Menolong manusia dalam banyak kesulitan, (peminjaman uang tunai
atau kredit).
b) Meringankan hubungan antara para pedagang dan pengusaha dengan
memperlancarmpemindahan uang (money-transfer).
c) Bagi hartawan adalah untuk menjaga keamanan dan memberi
perlindungan dari tangan penjahat dan pencuri dengan menyimpan di
tempat yang aman.
d) Untuk kepentingan dan perkembangan kepentingan, baik nasional
maupun internasional dalam seluruh bidang kehidupan.
2. Dasar Hukum Bank
Karena bank adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam,
maka para ulama masih memperdebatkan keabsahan sebuah bank. Berikut
ini beberapa pandangan mengenai hukum perbankan, yaitu mengharamkan
dan tidak mengharamkan.
a. Kelompok yang mengharamkan
8. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 8
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahrah
(guru besar Fakultas Hukum, Kairo, Mesir), Abu A'la al-Maududi
(ulama Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-A'rabi (Kairo). Mereka
berpendapat bahwa hukum bank adalah haram, sehingga kaum
Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan bank yang memakai
sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Keharaman
bank dikaitkan dengan pemberian bunga bank terhadap nasabah. Bunga
bank dalam pandangan para ulama ini adalah riba nasi'ah, sedangkan
riba nasi'ah terlarang dalam hukum Islam. Maka dari itu, hukum bank
adalah haram.
b. Kelompok yang tidak mengharamkan
Ulama yang tidak mengharamkan diantaranya adalah Syekh
Muhammad Syaltut dan A. Hassan. Mereka mengatakan bahwa
kegiatan bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan merupakan
perbuatan yang terlarang. Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda,
sebagaimana digambarkan dalam Q.S. Ali Imran ayat 130.
3. Jenis-Jenis Bank
a. Bank Konvensional
Bank dengan sistem bunga (konvensional) ada dua jenis, yaitu bank
umum dan bank perkreditan rakyat. Jika melihat dari kegiatan usahanya,
maka perbedaan keduanya adalah sebagai berikut.
1) Usaha Bank Umum
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan bentuk lain
yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan atau menyalurkan kredit;
c. menerbitkan surat pengakuan utang;
d. membeli, menjual, menjamin, atau risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya;
e. memindahkan uang bank untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah;
9. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 9
f. menempatkan dana pada peminjam dana dari atau meminjamkan dana
kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel atau sarana lainnya;
g. menerima pembayaran atau tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antarpihak ketiga;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasar
kontrak kerja sama;
j. melakukan penempatan dana dari nasabah ke nasabah lainnya dalam
bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
k. membeli melalui pelelangan agunan, baik semua maupun sebagian
dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban pada bank, dengan
ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
l. melakukan kegiatan piutang dan usaha kartu kredit;
m.menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah;
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan
undang-undang yang berlaku.
Di samping ketentuan tersebut, bank umum juga berfungsi dalam
mengurusi beberapa hal berikut ini, yaitu:
a) melakukan kegiatan dalam hal valuta asing;
b) melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di
bidang keuangan, seperti asuransi, sewa guna usaha, perusahaan efek,
lembaga kliring;
c) melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi
kegagalan kredit;
d) bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun.
2) Bank Usaha Perkreditan Rakyat
Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992, bank usaha perkreditan rakyat
meliputi:
10. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 10
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentruk simpanan berupa
deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk yang lain yang
dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
keuntungan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
pemerintah;
d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
deposito berjangka, sertifikat deposito, atau tabungan pada pihak bank
lain.
b. Bank Syariah (Bank dengan Prinsip Bagi Hasil)
Islam mengajarkan ekonomi yang berkeadilan, Islam mengharamkan
riba dan menganjurkan sedekah. Kesadaran tentang larangan riba telah
menimbulkan gagasan pembentukan bank Islam pada dasawarsa kedua
abad ke-20, di antaranya melalui pendirian institusi sebagai berikut.
1. Bank Pedesaan (Rural Bank) dan Bank Mir-Ghammar di Mesir tahun
1963 atas prakarsa seorang cendekiawan Mesir DR. Ahmad An Najjar.
2. Dubai Islamic Bank (1973) di kawasan negara-negara Emirat Arab.
3. Islamic Developmen Bank (1975) di Saudi Arabia.
4. Faisal Islamic Bank (1977) di Mesir.
5. Kuwait House Finance (1977) di Kuwait.
6. Jordan Islamic Bank (1978) di Yordania.
7. Al-Amanah Islamic Investment Bank (Filipina).
Tentunya masih banyak lagi pertumbuhan dan perkembangan bank
syariah yang tersebar di seluruh dunia baik di negara-negara Islam maupun
di negara Eropa.
Perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah adalah
terletak pada sistem pengawasan bank syariah yang dilakukan oleh Dewan
Syariah. Maksudnya, pengelolaan dan produk syariah harus mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Bank Syariah sebelum diluncurkan
ke masyarakat luas. Perbedaan lainnya kalau bank konvensional dalam
11. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 11
operasionalnya didasarkan pada bunga, sehingga motif orang yang
menanamkan uangnya di bank tersebut tidak lain adalah mencari
keuntungan dengan mengharap bunga, sedangkan pada bank syariah para
nasabah tidak demikian melainkan motifnya adalah bagi hasil artinya
untung rugi ditanggung bersama antara pihak bank dan juga nasabahnya.
Dana yang dititipkan pada bank syariah semata-mata disalurkan untuk
kepentingan kemaslahatan umum yang membutuhkannya, yang diatur
dengan perjanjian bahwa keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha
tersebut akan dibagi sesuai dengan kesepakatan.
4. Operasional Bank Syariah
Prinsip operasional dan produk syariah dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu sisi pergerakan dana masyarakat dan sisi penyaluran dana kepada
masyarakat.
a. Pergerakan Dana Masyarakat
Dalam hal penyerahan dana dari masyarakat, dilaksanakan
berdasarkan dua prinsip, yaitu al-wadi'ah dan mudarabah.
1) Prinsip Al-Wadi'ah (prinsip simpan murni)
Prinsip al-wadi'ah dapat diartikan sebagai titipan murni dan
merupakan perjanjian yang bersifat percaya-mempercayai atau dilakukan
atas dasar kepercayaan semata. Dalam kegiatan perbankan, pihak nasabah
adalah pihak yang menitipkan uangnya pada pihak bank. Pihak bank harus
menjaga titipan tersebut dan mengembalikannya apabila si nasabah
menghendakinya.
Dasar hukum al-wadi'ah adalah Al-Qur’an Surah An-Nisaa ayat 58,
Al-Baqarah ayat 283, dan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah yang artinya, "Bayarkanlah (kembalikanlah) petaruh (barang
titipan) itu kepada orang yang mempercayai engkau dan janganlah sekali-
kali engkau khianat meskipun terhadap orang yang khianat kepadamu."
Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari pihak perbankan,
yakni penggunaan uang nasabah untuk kepentingan bank, maka pihak
bank perlu memberikan semacam intensif atau hadiah yang tidak menjadi
12. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 12
kesepakatan antara pihak nasabah dan pihak sebelumnya. Hal tersebut
perlu, demi membangun kepercayaan masyarakat dan meningkatkan
kesadaran menabung di tengah masayarakat. Di samping itu, pihak bank
perlu memberikan bonus-bonus yang dapat memotivasi nasabah supaya
menabung dan menitipkan uangnya di bank-bank Islam.
2) Prinsip Mudarabah
Mudarabah pada dasarnya merupakan subsistem dari musyarakah.
Namun demikian, para ahli fikih meletakkan mudarabah dalam posisi
tersendiri dan memberikan dasar hukum yang khusus. Ulama Islam
menyebut akad ini dengan menggunakan berbagai nama, terkadang
disebut juga dengan istilah muqaradah, qirad, atau muamalah.
Prinsip mudarabah berdasarkan firman Allah Q.S. Muzammil/73: 20
Artinya: “…dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia
Allah …”
(Q.S. Al-Muzammil/73: 20)
Berdasar keterangan yang diberikan oleh Sahrawadi K. Lubis bahwa
sifat tabungan mudarabah adalah sebagai berikut.
a) Sebuah tabungan dari pihak ketiga di bank Islam.
b) Uang tabungan mudarabah dapat diambil setiap saat dan berulang kali
dengan tidak ada batas waktu.
c) Bank akan membagi keuntungan kepada nasabah sesuai dengan
perjanjian sebelumnya dan sama-sama telah sepakat dengan
persetujuan itu.
d) Pembagian dilakukan dalam setiap bulan berdasarkan saldo minimal
yang mengendap selama periode tersebut.
e) Beroperasional lewat rekening berjangka waktu atau bersyarat.
b. Penyaluran Dana kepada Masyarakat
Dalam hal penyaluran dana ke masyarakat, bank Islam menggunakan
prinsip-prinsip berikut:
1) Al-Mudarabah
13. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 13
Dalam kontrak mudarabah, seandainya terjadi kerugian atau
kebangkrutan, maka kerugian tersebut ditanggung secara bersama-sama
antara bank dengan pihak penanam modal, pengusaha, atau nasabah
yang mengadakan akad perjanjian. Prinsipnya, prinsip ekonomi Islam
tidak semata-mata mencari keuntungan, melainkan ada unsur kerja
sama di saat badan usaha mengalami kegagalan dalam usahanya.
Dengan catatan, kegagalan itu bukan karena kebohongan atau penipuan
yang syarat dengan unsur korupsi.
2) Musyarakah (prinsip bagi hasil)
Musyarakah adalah pemilik modal yang mengadakan perjanjian untuk
menyerahkan modalnya pada suatu proyek. Masing-masing pihak
memiliki hak untuk ikut serta dalam manajemen proyek tersebut.
3) Al-Murabahah
Al-Murabahah disebut dana talangan dalam pemenuhan produksi
(inventory) dan dapat diterapkan dalam semua jenis pembiayaan
penuh. Maksudnya, pihak bank memberikan dana untuk usaha tertentu
dengan ketentuan yang dibuat bersama. Sistem ini hampir sama dengan
kredit modal kerja yang dikenal dalam bank konvensional. Oleh karena
itu, prinsip ini bersifat short run financing.
4) Al-Bai'u Bitaman Ajil (Konsep Cicilan)
Sistem al-bai'u bitaman ajil adalah pembelian dengan cara pembayaran
cicilan. Maksudnya, pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank
kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan barang modal
(investasi).
5) Al-Ijarah (Prinsip Sewa)
Prinsip al-ijarah dapat dilakukan pada semua jenis pembiayaan penuh.
Pembiayaan penuh merupakan talangan dana untuk pengadaan barang
ditambah keuntungan yang disepakati dengan sistem pembayaran sewa
tanpa diakhiri dengan pemilikan. Dengan demikian, berarti al-ijarah
sama dengan leasing dan bank (leasor) memberikan kesempatan kepada
nasabah/penyewa (lesse) untuk memperoleh manfaat dari barang untuk
14. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 14
jangka waktu tertentu, dengan ketentuan nasabah/penyewa akan
membayar sejumlah uang pada waktu yang disepakati bersama. Apabila
telah habis jangka waktunya, benda/barang yang dijadikan sebagai
objek al-ijarah tersebut menjadi milik bank.
6) Al-Bai'u Ta'jir (Prinsip Jual Beli)
Prinsip al-bai'u ta'jir diterapkan pada semua jenis pembiayaan penuh
yang merupakan talangan dana untuk pengadaan, ditambah keuntungan
yang disepakati dengan sistem pembayaran sewa yang diakhiri dengan
pemilik. Prinsip al-bai'u ta'jir ini hampir sama dengan sewa beli.
Setelah habis pembayaran sesuai dengan jangka waktu yang
ditentukan, objek barang/benda tersebut menjadi milik nasabah.
7) Qard Hasan
Prinsip qard hasan adalah rencana keuangan dalam bentuk pinjaman
kebijakan yang tidak dikenakan biaya dan tanpa bunga. Jenis pinjaman
ini diberikan pada konsumen atau pengusaha yang mengalami situasi
yang sulit atau pengeluaran yang tidak direncanakan. Dengan kata
lain, prinsip ini adalah penyuntikan dana bagi pengusaha atau
konsumen yang sedang jatuh atau bangkrut. Kehadiran bank syariah
memiliki hikmah yang cukup besar, di antaranya sebagai berikut.
a) Umat Islam yang berpendirian bahwa bunga bank konvensional
adalah riba, maka bank syariah menjadi alternatif untuk
menyimpan uangnya, baik dengan cara deposito, bagi hasil maupun
lainnya.
b) Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktik riba (bunga) yang
mengandung unsur pemerasan (eksploitasi) dari si kaya terhadap si
miskin atau orang yang kuat ekonominya terhadap yang lemah
ekonominya.
c) Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank
non-Islam yang menyebabkan umat Islam berada di bawah
kekuasaan bank sehingga umat Islam belum bisa menerapkan
15. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 15
ajaran agamanya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat,
terutama dalam kegiatan bisnis dan perekonomiannya.
d) Bank Islam dapat mengelola zakat di negara yang pemerintahannya
belum mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat
menggunakan sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-
proyek yang produktif dan hasilnya untuk kepentingan agama dan
umum.
e) Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk
hal-hal berikut.
Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank
dalam melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan nasabah,
misalnya: biaya telegram, telepon, atau telex dalam
memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah, dan
sebagainya.
Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan
untuk kepentingan nasabah dan sebagai sarana dan prasarana
yang disediakan oleh bank dan biaya administrasi pada
umumnya.
C. Asuransi
Sesuai dengan prinsip bank Islam yang menghindari bentuk-bentuk
bunga, dalam akad asuransi tidak ada riba di dalamnya. Asuransi merupakan
produk ekonomi Islam yang tergolong baru dalam khazanah hukum Islam.
Berbagai perbedaan pendapat muncul di kalangan umat Islam terkait apakah
akad asuransi ini dibenarkan dalam Islam atau tidak.
1. Pengertian Asuransi
Istilah asuransi seringkali disamakan dengan istilah pertanggungan
(kafalah). Pengertian tersebut dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian.
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih, pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung
16. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 16
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian pada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa asuransi pada
dasarnya adalah pertanggungan dan ikhtiar seseorang dalam rangka
menanggulangi risiko atau akibat-akibat dari terjadinya sebuah peristiwa
yang tidak diinginkan (diharapkan) terjadi, namun terjadi.
2. Dasar Hukum Asuransi
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad
karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena
memang ketentuan mengenai asuransi, baik di dalam Al-Qur’an maupun
hadis Nabi SAW, termasuk para ulama tidak banyak yang
membicarakannya.
Untuk mengeluarkan sebuah produk hukum ijtihad, dapat
menggunakan berbagai cara, antara lain menggunakan konsep maslahah
mursalah atau dengan cara kias (metode analogis). Berdasarkan hasil
ijtihad para ulama dengan menggunakan metode ini maka dasar hukum
asuransi di lingkungan ulama muncul beragam atau berbeda-beda.
Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a. Pendapat pertama, mengatakan bahwa asuransi dengan segala bentuk
perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan hukum.
Artinya, melakukan akad asuransi tidak dibolehkan. Ulama yang
mengharamkan asuransi ini adalah Abdullah al-Qalqili dan
Muhammad Yusuf al-Qardawi.
b. Pendapat kedua, menyatakan bahwa asuransi dengan segala bentuk
perwujudannya dapat diterima dalam syariat Islam. Ulama yang
mendukung pendapat ini adalah Abdul Wahab Khallaf dan Mustafa
Ahmad Zarqa (Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Kairo).
17. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 17
c. Pendapat ketiga, mengatakan bahwa asuransi sosial diperbolehkan,
sedangkan asuransi komersial tidak diperbolehkan, karena
bertentangan dengan syariat Islam. Pendapat ini didukung oleh
ulama Abu Zahrah.
d. Pendapat keempat, mengatakan bahwa asuransi dengan segala
bentuk perwujudannya dipandang syubhat. Pendapat tersebut
didukung oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir (Indonesia).
Dari berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa
asuransi dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Artinya, hendaknya asuransi berdasarkan asas gotong royong (ta'awun)
dan perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat tolong-
menolong, bukan untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang
tidak benar.
3. Tujuan Asuransi
Tujuan asuransi adalah menawarkan jaminan perlindungan untuk
menghadapi kerugian akibat suatu bencana yang terjadi pada yang
diasuransikan, tanpa ada unsur penambahan kekayaan seseorang.
4. Jenis Asuransi
Social insurance lebih dianjurkan daripada bentuk-bentuk asuransi
lain yang tidak jelas status hukumnya. Di Indonesia terdapat dua asuransi,
yaitu asuransi sosial dan takaful. Asuransi sosial adalah asuransi
pemerintah yang merupakan tuntutan Undang-Undang 1945, khususnya
pasal kesejahteraan sosial. Asuransi takaful merupakan lembaga asuransi
yang berbasis Islam. Pembahasan kedua model asuransi (sosial dan
takaful) dirasa lebih cocok dan diterima oleh masyarakat Islam di
Indonesia.
Secara operasional, asuransi yang sesuai dengan syariah memiliki
sistem yang mengandung hal-hal sebagai berikut.
a. Mempunyai akad takafuli (tolong-menolong) untuk memberikan
santunan atau perlindungan atas musibah yang akan datang.
18. RIBA, BANK, DAN ASURANSI 18
b. Dana yang terkumpul menjadi amanah pengelola dana. Dana tersebut
diinvestasikan sesuai dengan instrumen syariah seperti mudarabah,
wakalah, wadi'ah, dan murabahah.
c. Premi memiliki unsur tabaruq atau mortalita (harapan hidup).
d. Pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas
pada kisaran 30% dari premi sehingga pembentukan pada nilai tunai
cepat terbentuk di tahun pertama yang memiliki nilai 70% dari premi.
e. Dari rekening tabarru' (dana kebajikan seluruh peserta) sejak awal
sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila
terjadi musibah.
f. Mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk
di mana apabila terjadi musibah, maka semua peserta ikut saling
menanggung dan membantu.
g. Keuntungan (profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai
prinsip bagi hasil (mudarabah), atau dalam akad tabarru' dapat
berbentuk dengan memberikan hadiah kepada peserta dan upah (fee)
kepada pengelola.
h. Mempunyai misi akidah, sosial serta mengangkat perekonomian umat
Islam atau misi istiqadi.