This study was aimed to develop an instructional system design model as a guidance to design blended learning system of SPADA Indonesia. Formative research method was used to develop this design theory. Several formative evaluation techniques, such as experts review, one to one evaluation, and field test, was employed for this study. Open-ended questionnaires and rubric assessments was used to collect descriptive and formative data.
After having through three stages of formative evaluations, i.e. tentative model creation, model feasibility, and model effectiveness study, this model was considered feasible and effective. It can be used as a model to design a blended learning system of SPADA Indonesia open and online courses.
Pengembangan Model Desain Sistem Pembelajaran Blended
1. PENGEMBANGAN
MODEL DESAIN SISTEM PEMBELAJARAN BLENDED
UNTUK PROGRAM SPADA INDONESIA
UWES ANIS CHAERUMAN
7117100698
Disertasi yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
untuk Memperoleh Gelar Doktor
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2017
Uwes
Anis
Chaerum
an
2. i
DEVELOPMENT OF
BLENDED INSTRUCTIONAL SYSTEM DESIGN MODEL
FOR SPADA INDONESIA PROGRAM
(Design nd Development Research)
Post Graduate Studies
State University of Jakarta
2017
UWES ANIS CHAERUMAN
ABSTRACT
This study was aimed to develop an instructional system design model as a
guidance to design blended learning system of SPADA Indonesia. Formative
research method was used to develop this design theory. Several formative
evaluation techniques, such as experts review, one to one evaluation, and field test,
was employed for this study. Open-ended questionnaires and rubric assessments
was used to collect descriptive and formative data.
After having through three stages of formative evaluations, i.e. tentative model
creation, model feasibility, and model effectiveness study, this model was considered
feasible and effective. It can be used as a model to design a blended learning
system of SPADA Indonesia open and online courses.
Keywords: blended learning, instructional system design model, e-learning, learning
object, synchronous learning, asynchronous learning.
Uwes
Anis
Chaerum
an
3. ii
PENGEMBANGAN MODEL DESAIN SISTEM PEMBELAJARAN BLENDED
PADA PROGRAM SPADA INDONESIA
(Penelitian Desain dan Pengembangan)
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta
2017
UWES ANIS CHAERUMAN
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model desain sistem
pemeblajaran sebagai panduan untuk merancang sistem pemeblajaran blended
pada program SPADA Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
formatif. Penelitian ini menggunakan beberapa teknik evaluasi formatif seperti kaji
ahli, evaluasi satu-satu dan penilaian rubric. Teknik pengumpulan data deskriptif dan
formatif pada penelitian ini menggunakan kuesioner terbuka dan penilaian rubrik.
Setelah melalui tiga tahap evaluasi formatif, yaitu tahap penciptaan model
tentatif, kelayakan model dan efektivitas model, model ini dinyatakan layak dan
efektif. Sehingga dapat digunakan sebagai satu model dalam merancang
pembelajaran blended untuk mata kuliah daring dan terbuka SPADA Indonesia.
Kata Kunci: blended learning, instructional system design model, e-learning, learning
object, synchronous learning, asynchronous learning.
Uwes
Anis
Chaerum
an
4. ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbilalamin, puji syukur peneliti panjatkan kehadirat
Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya disertasi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Disertasi dengan judul, “Pengembangan Model
Sistem Pembelajaran Blended” ini merupakan salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Doktor dalam bidang teknologi pendidikan di Universitas
Negeri Jakarta. Kiranya, disertasi ini dapat bermanfaatbagi dunia e-learning
pada umumnya dan disiplin ilmu teknologi pendidikan, pada khususnya.
Keberhasilan penyelesaian disertasi ini, tidak terlepas dari dukungan
berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan ungkapan
terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah ikut
secara langsung berpartsisipasi dalam penyelesaian disertasi ini. Secara
khusus, peneliti menyampaikan ucapan dan persembahan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ibu tercinta, Yayah Rukiyah yang telah
mendukung sepenuh hati. Juga kepada isteri tercinta, Santi Maudiarti yang
telah mendorong percepatan penyelesaian disertasi ini.
Secara khusus, peneliti juga ingin mengungkapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada kedua promotor, Prof. Dr, Basuki Wibawa dan
Prof. Dr. Zulfiati Syahrial, M.Pd. yang telah membimbing dengan sekuat
tenaga dan pikiran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor
dan Direktur Porgram Pascasarjana Univeritas Negeri Jakarta yang telah
Uwes
Anis
Chaerum
an
5. x
memberi kesempatan belajar dan menyelesaikan studi di Universitas Negeri
Jakarta.
Tidak lupa, peneliti mengungkapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kemristekdikti, Prof. Dr.
Intan Ahmad, Direktur Pembelajaran, Dr. Paristiyanti Nurwardhani, Kasubdit
Pembelajaran Khusus, Dr. Ridwan R. Tutupoho, S.H., M.Si yang telah
memberikan dukungan dan kesempatan melakukan penelitian di Dirketorat
Pembelajaran. Terima kasih yang sebesar-besarnya, juga peneliti sampaikan
kepada teman-teman sejawat, Agus Sumantri, Nana Herviana, Cicilia
Wijayanti, Ika Wahyuningsih, dan Fidensius Nivo yang telah membantu di
garda paling depan dalam upaya penyelesaian disertasi ini.
Begitu pula, terima kasih yang setinggi-tingginya, peneliti sampaiakn
kepada ahli desain pembelajaran, Prof. Dr. Paulina Panen (Uhamka), Dr. Dwi
Rianti Rahayu (UT), Dr. Robinson Situmorang, M.Pd. (UNJ), Dra. Dewi Salma
Prawiradilaga, M.Sc. (UNJ), dan ahli e-learning, Dr. Gatot F. Hertono (UI), Dr.
Hari Wibawanto (UNNES), dan Dr. Harry B. Santoso (UI). Berkat dukungan
dan bimbingan para ahli tersebut, membuat disertasi ini dapat lebih
sempurna.
Kepada seluruh subyek penelitian, keluarga besar SPADA Indonesia,
yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu disini, peneliti
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kontribusinya yang
sangat berharga dalam penelitian ini. Terakhir, peneliti berharap dan berdoa,
Uwes
Anis
Chaerum
an
6. xi
semoga kontribusi Bapak/Ibu atas disertasi ini mendapat balasan yang tinggi
dari Allah SWT. Peneliti juga berharap dan berdoa, semoga hasil penelitian
ini dapat bermanfaat, khususnya bagi pengembangan SPADA Indonesia, dan
disiplin ilmu teknologi pendidikan pada umumnya.
Jakarta, Agustus 2017
Uwes Anis Chaeruman
Uwes
Anis
Chaerum
an
7. xi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................... i
RINGKASAN............................................................................................ iii
PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING ................................................. vi
LEMBAR PERNYATAAN......................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Fokus Penelitian ..................................................................... 12
C. Perumusan Masalah............................................................... 12
D. Kegunaan Penelitian............................................................... 13
BAB II KAJIAN TEORETIK
A. Konsep Pengembangan Model............................................... 14
B. Konsep Model yang Dikembangkan ....................................... 20
C. Kerangka Teoretik .................................................................. 46
1. e-Learning........................................................................... 46
2. Pembelajaran Blended........................................................ 52
3. Seting Belajar dalam Pembelajaran Blended ...................... 59
4. Aktivitas Pembelajaran Blended.......................................... 61
C. Rancangan Model................................................................... 69
1. Rancangan Konspetual, Prosedural dan Fisikal.................. 69
2. Rancangan Model Tentatif .................................................. 72
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian .................................................................... 83
B. Tempat dan Waktu Penelitian................................................. 83
Uwes
Anis
Chaerum
an
8. xii
C. Karakteristik Model yang Dikembangkan................................ 84
D. Pendekatan dan Metode Penelitian........................................ 85
1. Pendekatan Penelitian ........................................................ 85
2. Metode Penelitian................................................................ 86
3. Jenis dan Sumber Data....................................................... 87
E. Langkah-langkah Pengembangan Model ............................... 88
1. Penelitian Pendahuluan ...................................................... 88
2. Analisis Kebutuhan.............................................................. 88
3. Perencanaan Pengembangan Model.................................. 91
4. Validasi, Evaluasi dan Revisi Model.................................... 93
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengembangan Model................................................... 97
1. Hasil Penelitian Pendahuluan ............................................. 97
2. Hasil Analisis Kebutuhan..................................................... 107
3. Hasil Perancangan Model Awal........................................... 112
B. Kelayakan Model .................................................................... 153
1. Hasil Kaji Ahli ...................................................................... 155
2. Hasil Evaluasi Satu-satu ..................................................... 187
3. Hasil Uji Lapangan Tahap 1 ................................................ 192
4. Hasil Uji Lapangan Tahap 2 ................................................ 203
C. Efektivitas Model..................................................................... 216
1. Hasil Kuesioner ................................................................... 219
2. Respon dan Input Subyek Penelitian .................................. 224
3. Hasil Penilaian Rubrik ......................................................... 225
D. Pembahasan .......................................................................... 226
1. Penelitian Pendahuluan ...................................................... 227
2. Model Tentatif Awal............................................................. 232
3. Kelayakan Model................................................................. 241
4. Efektivitas Model ................................................................. 265
Uwes
Anis
Chaerum
an
9. xiii
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................. 273
B. Implikasi.................................................................................. 274
C. Saran...................................................................................... 275
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
Uwes
Anis
Chaerum
an
10. xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Kesenjangan Desain Pembelajaran Blended SPADA Indoensia 9
Tabel 2.1. Model Desain Pembelajaran secara Generik.......................... 29
Tabel 2.2. Langkah Model Desain Pembelajaran Blended Piskurich....... 31
Tabel 2.3. Prosedur Model ILDF.............................................................. 33
Tabel 2.4. Analisis Perbandingan Model Desain Pembelajaran Blended 44
Tabel 2.5. Strategi Pembelajaran Sinkronous dan Asinkronos menurut
Staley...................................................................................... 61
Tabel 2.6. Aktivitas Pemelajaran Blended ............................................... 68
Tabel 2.7. Pilihan Aktivitas Pembelajaran Blended.................................. 80
Tabel 3.1. Kisi-kisis Instrumen ................................................................. 91
Tabel 3.2. Kisis-kisi Instrumen Evaluasi, Validasi dan Revisi Model........ 95
Tabel 4.1. Kesenjangan Pengetahuan dan Keterampilan dalam
Merancang Pembelajaran Blended SPADA Indonesia ........... 108
Tabel 4.2. Sintesis Definisi e-Learning dan Pembelajaran Blended......... 113
Tabel 4.3. Daftar Aktivitas Pembelajaran Blended................................... 118
Tabel 4.4. Unsur-unsur Kriteria Capaian Pembelajaran Menurut............. 124
Tabel 4.5. Contoh Pemetaan dan Pengorganisasian Materi.................... 128
Tabel 4.6. Memilih dan Menentukan Seting Belajar................................. 132
Tabel 4.7. Contoh Pemilihan Aktivitas Pembelajaran Sinkron
dan Asinkron ........................................................................... 133
Tabel 4.8. Jenis dan Format Media Digital............................................... 136
Tabel 4.9. Kriteria Pemilihan Media Digital .............................................. 139
Tabel 4.10. Contoh Jenis dan Format Media Digital ................................ 140
Tabel 4.11. Contoh Rancangan Strategi Pembelajaran Asinkron....................... 141
Tabel 4.12. Contoh Rancangan Pembelajaran Sinkron Langsung
(Tatap Muka)................................................................................... 146
Tabel 4.13. Contoh Rancangan Pembelajaran Sinkron Maya............................ 148
Uwes
Anis
Chaerum
an
11. xv
Tabel 4.14.Contoh Rancangan Alur Pembelajaran Sinkron Langsung
(Tatap Muka).......................................................................... 150
Tabel 4.15.Contoh Alur Pembelajaran Sinkron Maya (SM) ..................... 152
Tabel 4.16.Daftar Ahli dan Latar Belakang serta Kepakaran ................... 156
Tabel 4.17.Input Ahli Desain Pembelajaran terhadap Model Desain
Sistem Pembelajaran Blended secara Umum......................... 162
Tabel 4.18.Input Ahli Desain Pembelajaran terhadap Komponen
Merumuskan Capaian Pemebelajaran................................... 164
Tabel 4.19.Input Ahli Desain Pembelajaran terhadap Komponen Memilih
dan Menentukan Aktivitas Pembelajaran Sinkron dan Asinkron 169
Tabel 4.20.Input Ahli Desain Pembelajaran terhadap Komponen
Merancang Pembelajaran Asinkron ....................................... 171
Tabel 4.21.Input Ahli Desain Pembelajaran terhadap Komponen
Merancang Pembelajaran Sinkron......................................... 173
Tabel 4.22.Input Ahli e-Learning terhadap Definisi Pembelajaran Blended 175
Tabel 4.23.Input Ahli e-Learning terhadap Model Desain Sistem
Pembelajaran Blended........................................................... 177
Tabel 4.24.Input Ahli e-Learning terhadap Komponen Rumusan
Capaian Pembelajaran179
Tabel 4.25.Input Ahli e-Learning terhadap Komponen Memetakan
Materi/Bahan Kajian............................................................... 181
Tabel 4.26.Input Ahli e-Learning terhadap Komponen Menentukan
Seting Belajar.......................................................................... 183
Tabel 4.27.Daftar Subyek Evaluasi Satu-Satu......................................... 187
Tabel 4.28.Input Subyek Evaluasi Satu-satu terhadap Model Desain
Sistem Pembelajaran Blended................................................ 190
Tabel 4.29.Tabel Respond dan Input Uji Lapangan 1 ............................. 201
Tabel 4.30.Respond an Input Uji Lapangan 2 ......................................... 213
Tabel 4.31.Respon dan Input Uji efektivitas............................................. 224
Uwes
Anis
Chaerum
an
12. xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Model Integrated Learning Design Framework ................... 33
Gambar 2.2. Model Desain Pembelajaran Blended Piramida.................. 35
Gambar 2.3. Model Desain Pembelajaran Blended Multimodal............... 37
Gambar 2.4. Model Desain Pembelajaran Blended Flip Learning ........... 41
Gambar 2.5. Model Pannan & Legge....................................................... 42
Gambar 2.6. Kontinum e-Learning diadaptasi dari Rashty (1999)
oleh Noirid (2007)................................................................ 50
Gambar 2.7. Kategori Aktivitas Pembelajaran Online menurut William
Horton ................................................................................. 63
Gambar 2.8. Aktivitas Pembelajaran Online menurut Nick van Dam....... 64
Gambar 2.9. Aktivitas Online menurut Salmon ....................................... 66
Gambar 2.10. Aktivitas Pembelajaran dalam Pembelajaran Blended
menurut Bath & Bourke..................................................... 68
Gambar 2.11. Rancangan Pengembangan Model Desain Sistem
Pembelajaran Blended...................................................... 70
Gambar 2.12. Model Desain Sistem Pembelajaran Blended Tentatif76
Gambar 2.13. Kuadran Seting Pembelajaran .......................................... 78
Gambar 4.1. Layanan SPADA Indonesia................................................. 101
Gambar 4.2. Model Konseptual, Prosedural dan Fisikal Perancangan
Model Awal ........................................................................ 113
Gambar 4.3. Kuadran Seting Belajar ....................................................... 116
Gambar 4.4. Model Desain Sistem Pembelajaran Blended ..................... 119
Gambar 4.5. Model Kriteria Pemilihan dan Penentuan Seting Belajar
(adaptasi dari Anderson (2010) dan Taksonomi Tujuan
Pembelajaran Bloom).................................................................. 129
Gambar 4.6. Kuadran Seting Belajar ....................................................... 135
Gambar 4.7. Proses Kelayakan Model .................................................... 154
Uwes
Anis
Chaerum
an
13. xvii
Gambar 4.8. Pendapat Ahli Desain Pembelajaran terhadap Definisi
Pembelajaran Blended........................................................ 158
Gambar 4.9. Pendapat Ahli Desain Pembelajaran terhadap Model
Desain Sistem Pembelajaran Blended secara Umum......... 161
Gambar 4.10.Pendapat Ahli Desain Pembelajaran terhadap Komponen
Merumuskan Capaian Pemebelajaran................................ 163
Gambar 4.11.Pendapat Ahli Desain Pembelajaran terhadap Komponen
Memetakan dan Mengorganisasikan Materi ...................... 165
Gambar 4.12.Pendapat Ahli Desain Pembelajaran terhadap Komponen
Memilih dan Menentukan Aktivitas Pembelajaran
Asinkron dan Sinkron......................................................... 168
Gambar 4.13.Pendapat Ahli Desain Pembelajaran terhadap Komponen
Merancang Pembelajaran Asinkron ................................... 170
Gambar 4.14.Pendapat Ahli Desain Pembelajaran terhadap Komponen
Merancang Pembelajaran Asinkron ................................... 172
Gambar 4.15.Pendapat Ahli e-Learning terhadap Rumusan Pengertian
Pembelajaran Blended....................................................... 174
Gambar 4.16.Pendapat Ahli e-Learning terhadap Model secara Umum.. 176
Gambar 4.17.Pendapat Ahli e-Learning terhadap Komponen Rumusan
Capaian Pembelajaran....................................................... 178
Gambar 4.18.Pendapat Ahli e-Learning terhadap Komponen
Memetakan Materi ............................................................. 180
Gambar 4.19.Pendapat Ahli e-Learning terhadap Komponen Mmeilih
dan Menentukan Seting Belajar .......................................... 182
Gambar 4.20.Pendapat Ahli e-Learning terhadap Komponen
Merancang Pembelajaran Asinkron ................................... 184
Gambar 4.21.Pendapat Ahli e-Learning terhadap Komponen
Merancang Pembelajaran Sinkron..................................... 186
Uwes
Anis
Chaerum
an
14. xviii
Gambar 4.22.Hasil Penilian Rubrik terhadap Model Desain
Pembelajaran Blended yang Dibuat oleh Subyek
Evaluasi Satu-Satu............................................................. 188
Gambar 4.23.Keunggulan Relatif Model Desain Sistem Pembelajaran
Blended.............................................................................. 195
Gambar 4.24.Tingkat Kesesuaian dengan Kebutuhan
Model Desain Sistem Pembelajaran Blended .................... 196
Gambar 4.25.Tingkat Kerumitan Model Desain Sistem Pembelajaran
Blended.............................................................................. 197
Gambar 4.26.Tingkat Kemampuan dapat Diamati Model Desain
Sistem Pembelajaran Blended........................................... 198
Gambar 4.27.Tingkat Kemampuan dapat Dicobakan Model Desain
Sistem Pembelajaran Blended........................................... 199
Gambar 4.28.Hasil Penilaian Rubrik Uji Lapangan 1 .............................. 200
Gambar 4.29.Keunggulan Relatif (Hasil Uji Lapangan 2) ....................... 206
Gambar 4.30.Tingkat Kesesuaian dengan Kebutuhan
(Hasil Uji Lapangan 2)........................................................ 207
Gambar 4.31.Keunggulan Kerumitan (Hasil Uji Lapangan 2) .................. 209
Gambar 4.32.Tingkat Kemampuan dapat Diamati
(Hasil Uji Lapangan 2)........................................................ 210
Gambar 4.33.Tingkat Kemampuan dapat Dicobakan
(Hasil Uji Lapangan 2)........................................................ 211
Gambar 4.34.Hasil Penilaian Rubrik terhadap Desain Pembelajaran
Blended (Uji Lapangan 2) .................................................. 212
Gambar 4.35.Daftar Perguruan Tinggi dalam Efektivitas Model .............. 217
Gambar 4.36.Keunggulan Relatif Model Desain Sistem
Pembelajaran Blended...................................................... 219
Gambar 4.37.Kesesuaian dengan Kebutuhan ........................................ 200
Gambar 4.38.Tingkat Kerumitan Model Desain Pembelajaran Blended .. 221
Uwes
Anis
Chaerum
an
15. xix
Gambar 4.39.Tingkat Kemampuan dapat Diamati................................... 222
Gambar 4.40.Tingkat Kemampuan untuk dapat Dicobakan .................... 223
Gambar 4.41.Hasil Penilaian Rubrik pada Uji Efektivitas......................... 226
Gambar 4.42 Kuadaran Seting Belajar ................................................... 233
Gamabr 4.43 Model Desain Sistem Pembelajaran Blended ................... 234
Gambar 4.44 Kriteria Memilih dan menentukan Strategi Pembelajaran
Belnded.............................................................................. 237
Uwes
Anis
Chaerum
an
16. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi
informasi dan komunikasi telah berkembang dengan pesat. Hal ini,
terutama dipengaruhi oleh keberadaan teknologi koneksi internet dan
protokol pencari universal yang dikenal dengan istilah world wide web
(www) yang memungkinkan terjadinya aktifitas kolaboratif dan saling
berbagi informasi secara luas tanpa terhalang oleh batas wilayah
(territoriy) dan waktu.1 Tidaklah heran kalau era informasi dewasa ini juga
dikenal sebagai era komunikasi instan dimana semua orang dapat
berkomunikasi dengan mudah, cepat dan relative murah.
Potensi teknologi informasi dan komunikasi yang menjanjikan
tersebut, sejak 10 – 15 tahun belakangan telah berpengaruh terhadap
berbagai aspek kehidupan manusia, tak terkecuali pendidikan .2 Sejak
saat itu, telah bermunculan istilah-istilah terkait dengan pembelajaran
yang menerapkan teknologi informasi dan komunikasi dengan aneka
ragam terminologi seperti stand alone course, virtual classroom,
1 Nada Dabbagh & Brenda B. Ritland, B. B. (2005). Online Learning: Concepts, Strategies
and Application (New Jersey, USA: Merril Prentice Hall, Pearson Education Inc., 2005), h. 3.
2 Holmes, B., & Gardner, J., . E-Learning: Concept and Practice (London, California, New
Delhi: Sage Publication Ltd., 2006) h. 35.
1
Uwes
Anis
Chaerum
an
17. 2
embedded learning, blended learning, mobile learning,3 networked-
learning, computer-assisted learning, web-based instruction, computer-
mediated learning, online learning.4 Beberapa istilah tersebut mengacu
pada konsep pembelajaran berbantuan teknologi elektronik yang dikenal
dengan istilah e-learning. Istilah e-learning itu sendiri sendiri baru populer
sejak tahun 2002 yang kemudian menjadi istilah generik yang memayungi
semua istilah-istilah seperti tersebut di atas yang telah muncul beberapa
tahun sebelumnya.5
Di sisi lain, konsep kunci e-Learning itu sendiri masih merupakan
istilah yang belum dipahami betul oleh semua pihak, sehingga dalam
prakteknya masih dikendalikan oleh para vendor (penjual) teknologi
informasi dan komunikasi.6 E-learning yang memiliki prospek luar biasa
dan diprediksi penerapannya akan melambung tinggi ternyata meleset.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dolazelek, Sugrue & Rivera seperti
dikutip oleh Shank menunjukkan bahwa penerapan e-learning di
perusahaan yang diprediksi mencapai 53% pada tahun 2003 ternayata
hanya diadopsi oleh 10 – 20% saja.7 Dengan kata lain, e-learning, dalam
3 William Horton, e-Learning by Design (San Fransisco, CA: Pfeiffer: John Wiley & Sons, Inc.,
2006), h. 2.
4 Littlejohn, A., & Pegler, C., Preparing for Blended e-Learning (New York, USA: Routledge,
2007), h. 16
5 Ibid. h. 17
6 Shank, P., & Carliner, S., Thinking Critically to Move e-Learning Forward dalam the e-
Learning Handbook: Past Promises, Present Challenges (San Fransisco: Pfeiffer, 2008) h.
17.
7 Ibid. h. 16.
Uwes
Anis
Chaerum
an
18. 3
kenyataannya masih berbicara tentang potensi (promises) belum
berbicara tentang bukti nyata (evidence) dalam penerapannya di
lapangan.
Di samping potensinya yang luar biasa, penerapan e-learning
masih memiliki tantangan besar. Salah satu tantangan tersebut adalah
bukan terletak pada aneka ragam teknologi informasi dan komunikasi
yang dapat digunakan, tapi terletak pada bagaimana merancang (design)
kombinasi penerapan teknologi informasi dan komunikasi yang tepat
untuk proses pembelajaran tertentu. Littlejohn menyebutnya dengan
istilah design of blended e-learning.8 Senada dengan Littlejohn, Khan juga
mendefinisikan e-Learning dengan mencantumkan secara eksplisit
kalimat pembelajaran yang perlu dirancang dengan baik (well-designed
learning environment).9 Kondisi seperti tersebut menunjukkan pentingnya
peran rancangan sistem pembelajaran e-learning (e-learning system
design) yang dapat memberikan panduan bagi pihak terkait dalam
mengimplementasikan e-Learning yang efektif. Bidang ini merupakan
lahan garapan disiplin ilmu teknologi pendidikan. Sementara ini banyak
tokoh yang telah berupaya menekankan peran desain sistem
pembelajaran dalam mengembangkan dan mengimplementasikan e-
learning, diantaranya adalah Khan melalui bukunya berjudul “Managing e-
8 Littlejohn & Pegler, opcit. h. 28.
9 Badrul Khan, Managing e-Learning Strategies: Design, Delivery, Implementation and
Evaluation (USA: Idea Group Inc., 2005) h. 3
Uwes
Anis
Chaerum
an
19. 4
Learning Strategies”, Dabbagh & Ritland melalui bukunya berjudul
“Online Learning: Concept, Strategies and Application”, Horton melalui
bukunya berjudul “e-Learning by Design”, Littlejohn & Pegler melalui
bukunya berjudul “Preparing for Blended e-Learning”, Somekh (2007)
melalui bukunya berjudul “Pedagogy and Learning with ICT”, dan lain-lain.
Di sisi lain, dalam kenyataannya di lapangan, perguruan tinggi
akan cenderung menerapkan hybrid/blended learning dibandingkan
dengan tatap muka saja atau pembelajaran online saja. Hal ini sangat
rasional, karena perguruan tinggi tidak mungkin menerapkan
pembelajaran online penuh, beda halnya dengan institusi penyelengara
pendidikan jarak jauh dan perusahaan-perusahaan yang
menyelenggarakan pelatihan jarak jauh melalui pembelajaran online
penuh.
Blended learning, secara konseptual bukan hanya sekedar
mengkombinasikan antara kuliah tatap muka dan kuliah online. Tapi, lebih
jauh merupakan seni mengintegrasikan beraneka ragam sumber belajar
dan aktivitas belajar yang tepat dimana peserta belajar dapat berinteraksi
dan saling membangun ide.10 Pendapat Littlejohn dan Pegler ini
menekankan pada konsep pembelajaran aktif yang berpusat pada siswa
(student-centered learning). Dengan demikian, tantangan implementasi
pembelajaran blended adalah bagaimana menciptakan lingkungan belajar
10 Littlejohn & Pegler, opcit., h. 1
Uwes
Anis
Chaerum
an
20. 5
aktif dan konstruktif, dimana teknologi informasi dan komunikasi menjadi
sarananya. Pilihan teknologi informasi dan komunikasi baik yang bersifat
offline, maupun online itu sendiri beraneka ragam jenisnya. Pemilihan dan
penentuan teknologi informasi dan komunikasi yang tepat sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi tertentu menjadi titik tolak perancangan blended
learning.
Dengan demikian, pembelajaran blended pada dasarnya
merupakan seni mengintegrasikan secara tepat guna aneka sumber
belajar dan metode pembelajaran berbasis teknologi informasi dan
komunikasi untuk membuat peristiwa belajar terjadi secara optimal. So
dan Bonk menyatakan bahwa pertanyaan penting dalam merancang
blended learning adalah, “Kombinasi seperti apa yang paling relevan?
Kapan pembelajaran daring digunakan? Kapan pembelajaran tatap muka
digunakan? Bagaimana integrasi keduanya dapat mencapai tujuan
pembelajaran?”11 Dosen, seringkali mengalami kesulitan dalam hal ini.
Hal ini disebabkan bukan hanya karena kurangnya pengetahuan dan
ketermapilan, tapi juga karena pola pikir pembelajaran tradisional yang
selama ini telah menjadi pekerjaan sehari-hari.12 Hasil studi lain juga
menunjukkan hal yang sama. Keney, menyimpulkan bahwa kemampuan
11 So, H.-J., & Bonk, C. J., “Examining the Roles of Blended Learning Approaches in
Computer-Supported Collaborative Learning (CSCL) Environments: A Delphi Study”. Journal
of Educational Technology & Society, 13 (3), 2010. 189–200.
12 Bude Su et. al., “The Importance of Interaction in Web-Based Education: A Program-level
Case Study of Online MBA Courses”, Journal of Interactive Online Learning Volume 4,
Number 1 Summer 2005.
Uwes
Anis
Chaerum
an
21. 6
secara efektif dalam menintegrasikan pembelajaran daring dan tatap
muka adalah bagian paling penting dalam meramu pembelajaran
blended.13 Rancangan pembelajaran blended sangat tergantung pada
perencanaan dan perancangan yang baik dari dosen/instruktur. 14
Oleh karena itu, para dosen yang akan melaksanakan
pembelajaran blended membutuhkan model desain sistem pembelajaran
blended yang dapat menjadi acuan dalam merancang kuliah daring yang
efektif, efisien dan menarik. Buku-buku tentang e-learning dan blended
learning yang telah ada sampai saat ini, masih memberikan panduan
yang bersifat umum dan berorientasi pada pengembangan e-learning
secara umum. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa dari sekian
banyak penelitian tentang pembelajaran blended, 48% diantaranya terkait
dengan pengembangan model desain pembelajaran.15 Hasil penelitian
lain terhadap penelitian yang diterbitkan dalam jurnal internasional
13Jane Kenney & Ellen Newcombe, “Adopting a Blended Learning Approach: Challenges
Encountered and Lessons Learned in an Action Research Study”, Journal of Asynchronous
Learning Networks, Volume 15: Issue 1, DOI: http://dx.doi.org/10.24059/olj.v15i1. h.182
14 Sun, A., & Chen, X., “Online education and its effective practice: A Research Review”.
Journal of Information Technology Education: Research, 15, 2016, 157-190. Diunduh dari
http://www.informingscience.org/Publications/3502 pada tanggal 14 Mei 2017.
15
Jeffery S. Drysdale, et. al., “An Analysis of Research Trends in Dissertations and Theses
Studying Blended Learning”, Journal of Internet and Higher Education 17 (2013), DOI:
http://dx.doi.org/10.1016/j.iheduc.2012.11.003.
Uwes
Anis
Chaerum
an
22. 7
bereputasi, menunjukkan masih sedikitnya penelitian yang sangat terkait
dengan pengembangan model desain pembelajaran blended. Halverson
et. al. mengelompokkan kategori penelitian pengembangan model desain
pembelajaran blended kedalam lima kategori yaitu: 1) model framework;
2) model evaluasi; 3) model proses desain; dan 4) model pembelajaran
blended. Kategori framework atau model desain sistem pembelajaran
blended, baru ditemukan lima model yang sudah dilaporkan dalam jurnal
internasional.16 Hal ini, menunjukkan bahwa penelitian pengembangan
model desain pembelajaran blended merupakan salah satu tema
penelitian dan belum banyak model desain sistem pembelajaran blended
yang telah dikembangkan. Bahkan di Indonesia sendiri, peneliti belum
menemukan model desain system pembelajaran yang khusus
didedikasikan untuk pembelajaran blended. Dengan demikian, penelitian
ini diharapkan akan dapat memberikan salah satu kontribusi terhadap
disiplin ilmu teknologi pendidikan, khususnya tentang model desain sistem
16 Lisa R. Halverson, et. al., “A Thematic Analysis of The Most Highly Cited Scholarship in
The First Decade Of Blended Learning Research”, Journal of Internet and Higher Education
20 (2014), DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.iheduc.2013.09.004
Uwes
Anis
Chaerum
an
23. 8
pembelajaran, lebih khusus lagi terhadap model desain sistem
pembelajaran blended.
Disisi lain, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan,
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi memfasilitasi
penerapan pembelajaran blended melalui program Sitem Pembelajaran
Daring (SPADA Indonesia). SPADA Indonesia telah diluncurkan oleh
Wakil Presiden RI pda tanggal 15 Oktober 2014. Tujuan utama SPADA
Indonesia adalah menerapkan teknologi pendidikan, khususnya blended
learning untuk memecahkan salah satu tantangan pendidikan tinggi
dewasa ini yaitu meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi yang
bermutu. SPADA Indonesia ditujukan sebagai wahana perolehan kredit
(credit earning) dan alih kredit (credit transfer). Artinya, mahasiswa dari
perguruan tinggi tertentu dapat mebgikuti suatu mata kuliah daring yang
ditawarkan oleh perguruan tinggi lain. Nilai yang diperoleh melalui
pembelajaran blended dengan perguruan tinggi lain (credit earning) dapat
dialihkan (credit transfer) dengan nilai sama di perguruan tinggi dimana ia
terdaftar sebagai mahasiswa.
Selama masa rintisan awal, mulai bulan Agustus 2014 sampai
dengan januari 2015 telah diselenggarakan oleh 5 Perguruan Tinggi
dengan 14 Mata Kuliah Daring yang ditawarkan dan diikuti oleh 658
mahasiswa. Ujicoba awal kedua, dilaksanakan pada bulan September
sampai dengan Desember 2015. Diselenggarakan oleh 5 Perguruan
Uwes
Anis
Chaerum
an
24. 9
Tinggi yang sama dengan 17 Mata Kuliah Daring baru dan diikuti oleh
1088 mahasiswa. Untuk tahun 2016, sedang berjalan 17 mata kuliah
diikuti oleh 1.088 mahasiswa pendaftar. Secara keseluruhan, sampai
dengan saat ini, blended learning melalui SPADA Indonesia telah
diselenggarakan 6 Perguruan Tinggi Penyelenggara dan bersama dengan
32 Perguruan Tinggi Mitra dan diikuti oleh 1.746 mahsiswa. Jumlah ini
akan semakin meningkat pda tahun 2017. Karena target jumlah mata
kuliah yang akan dibuka dan dilaksnakan akan semakin meningkat dari
tahun ke tahun.
Hasil pemantauan dan evaluasi terhadap implementasi SPADA
Indonesia, ditemukan salah satu permasalahan utama, yaitu para dosen
pengembang mata kuliah daring masih kesulitan dalam merancang dan
mengembangkan sistem pembelajaran blended. Berdasarkan hasil studi
pendahuluan melalui analisis dokumen dan kuesioner diperoleh
beberapa kesenjangan kemampuan dosen dalam mendesain mata kuliah
daring. (data lengkap dapat dilihat pada lampiran …)
Kesenjangan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1.1.
Kesenjangan Desain Pembelajaran Blended SPADA Indoensia
No. Kondisi Ideal Kondisi Aktual Kebutuhan
1. Program SPADA
Indonesia memiliki model
desain sistem
pembelajaran blended
sebagai acuan/panduan
dalam mengembangkan
Program SPADA
Indonesia belum memiliki
model desain sistem
pembelajaran blended
sebagai acuan/panduan
dalam mengembangkan
Model desain sistem
pembelajaran
blended sebagai
acuan
mengembangkan
mata kuliah daring
Uwes
Anis
Chaerum
an
25. 10
No. Kondisi Ideal Kondisi Aktual Kebutuhan
mata kuliah daring. mata kuliah daring. SPADA Indonesia.
2. Porgram SPADA
Indonesia memiliki
batasan/definisi yang jelas
tentang pembelajaran
blended yang dimaksud.
Program SPADA
Indonesia belum
mengeluarkan
batasan/definisi yang jelas
tentang pembelajaran
dalam konteks SPADA
Indonesia.
Definisi operasional
tentang
pembelajaran
blended dalam
konteks SPADA
Indonesia.
Dosen pengembang mata kuliah daring SPADA Indonesia:
3. memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam
menentukan dan
memutuskan tujuan
pembelajaran mana yang
dapat dicapai melalui
pembelajaran daring dan
mana yang dapat dicapai
melalui pembelajaran tatap
muka.
belum memiliki
pengetahuan dan
kemampuan dalam
menentukan dan
memutuskan tujuan
pembelajaran mana yang
dapat dicapai melalui
pembelajaran daring dan
mana yang dapat dicapai
melalui pembelajaran
tatap muka.
Kriteria standar
sebagai dasar
memilih dan
menentukan
pembelajaran daring
dan tatap muka.
4. memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam
memilih dan menentukan
aktivitas pembelajaran
sinkronous dan
asinkronous dengan tepat
sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Kemampuan dalam
memilih dan menentukan
aktivitas pembelajaran
sinkronous dan
asinkronous sesuai
dengan tujuan
pembelajaran masih
rendah.
Panduan standar
dan contoh memilih
dan menentukan
aktivitas
pembelajaran
sinkronous dan
asinkronous.
5. Memiliki kemampuan
dalam memilih dan
menentukan obyek belajar
(learning object) yang
tepat sesuai dengan tujuan
pembelajaran dan kondisi
sumber daya yang ada.
Kemampuan kemampuan
dalam memilih dan
menentukan obyek belajar
(learning object) yang
tepat sesuai dengan
tujuan pembelajaran dan
kondisi sumber daya yang
ada masih rendah.
Kriteria standar
memilih dan
menentukan obyek
belajar (learning
object) yang tepat.
6. Memiliki kemampuan
dalam merangkai
(assembling/tailoring)
obyek belajar (learning
object) kedalam alur
belajar (learning path)
yang sesuai dengan
prinsip pembelajaran.
Kemampuan dalam
merangkai obyek belajar
kedalam alur belajar yang
sesuai dengan prinsip
pembelajaran masih
rendah.
Standar alur belajar
(learning path) yang
sesuai dengan
prinsip
pembelajaran yang
efektif, efisien dan
menarik.
7. Memiliki kemampuan
dalam memilih dan
menyusun asesmen
pembelajaran blended
yang tepat sesuai dengan
tujuan pembelajaran.
Kemampuan dalam
memilih dan menyusun
asesmen pembelajaran
blended masih rendah.
Panduan standar
dalam menentukan
dan menyusun
asesmen
pembelajaran
blended yang tepat.
Uwes
Anis
Chaerum
an
26. 11
Berdasarkan analisis terhadap mata kuliah daring yang telah
dilaksanakan dalam program SPADA INDONESIA selama ini,
menunjukan indikasi kelemahan-kelemahan sebagai berikut:
1. Media pembelajaran yang dipilih dan digunakan cenderung monoton
dan lebih berfokus pada teks dan visual, belum memanfaatkan potensi
hypermedia dan multimedia.
2. Alur pembelajaran (learning path), masih cenderung monoton, lebih
banyak mengarahkan mahasiswa untuk membaca daripada
melakukan aktivitas pembelajaran sebagaimana halnya prinsip belajar
mandiri.
3. Belum bisa memilih dan menentukan teknologi pembelajaran
sinkronous dan asinkronous yang relevan dengan tujuan dan strategi
pembelajaran.
4. Evaluasi hasil belajar masih monoton melalui tes obyektif dengan
jumlah dan kualitas yang belum memenuhi prinsip-prinsip tes yang
baik dan benar.
Mengacu pada permasalahan seperti tersebut di atas, peneliti
memandang perlu mengembangkan suatu model desain sistem
pembelajaran blended yang praktis dan dapat memberikan panduan
mudah bagi para dosen penyusun/pengembang mata kuliah daring
SPADA Indonesia. Menurut hemat peneliti, seperti dijelaskan dalam
Uwes
Anis
Chaerum
an
27. 12
analisis kesenjangan di atas, panduan ini merupakan suatu kebutuhan,
mengingat model desain sistem blended learning, di Indonesia, belum ada
sama sekali. Lebih khusus lagi, model yang khusus dikembangkan
sebagai acuan untuk kebutuhan pengembangan mata kuliah daring
SPADA Indonesia.
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada pengembangan model desain
sistem pembelajaran blended. Pengembangan model ini terdiri dari
beberapa subfokus, yang meliputi:
1. pengembangan panduan memilih dan menetukan kombinasi strategi
pembelajaran blended yang relevan sesuai dengan tujuan
pembelajaran;
2. pengembangan panduan memilih dan menentukan obyek belajar
(learning object) yang relevan dengan tujuan pembelajaran;
3. pengembangan panduan menentukan alur pembelajaran (learning
path) aktif berpusat pada pemelajar; dan
4. pengembangan panduan menentukan dan menyusun evaluasi hasil
belajar yang sesuai.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan fokus dan subfokus penelitian seperti dijelaskan di
atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
Uwes
Anis
Chaerum
an
28. 13
“Model desain sistem pembelajaran blended seperti apa yang layak dan
dapat diimplementasikan (implementable) sebagai acuan bagi para dosen
dalam mengembangkan mata kuliah daring SPADA Indonesia?”
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini akan berguna bagi beberapa pihak sebagai berikut:
1. Bagi Dirketorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Penelitian ini akan menghasilkan model desain sistem
pembelajaran blended yang akan berguna Bagi Direktorat
Pembelajaran dan Kemahasiswaan sebagai pedoman dalam
mengembangkan mata kuliah daring SPADA Indonesia.
2. Bagi Dosen Perguruan Tinggi
Bagi para dosen, maupun dosen pengembang mata kuliah
daring SPADA Indonesia, akan berguna sebagai acuan dalam
mengembangkan pembelajaran blended untuk mata kuliah daring
SPADA Indonesia.
3. Bagi Pengembangan Teknologi Pendidikan
Model desain sistem pembelajaran blended ini akan berguna
sebagai salah satu model diantara sekian banyak model desain sistem
pembelajaran. Sehingga, model ini dapat dijadikan sebagai salah satu
acuan dalam mengembangkan e-learning, khususnya khususnya
pembelajaran blended.
Uwes
Anis
Chaerum
an
29. 14
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Konsep Pengembangan Model
Pendekatan penelitian untuk mengembangkan suatu produk
pembelajaran, dimana salah satunya adalah pengembangan suatu sistem
pembelajaran dengan istilah penelitian pengembangan. Richey dan Klein
menjelaskannya dalam sebuah buku berjudul “Design and Development
Research” atau dalam Bahasa Indonesia secara harfiah diterjemahkan
sebagai “Penelitian Perancangan dan Pengembangan”. Penelitian
perancangan dan pengembangan didefinsikan sebagai suatu studi
sistematis untuk merancang, mengembangkan dan mengevaluasi proses
dengan tujuan menghasilkan landasan empirik untuk menciptakan suatu
produk instruksional maupun non-instruksional termasuk didalamnya cara-
cara atau alat dan model baru atau diperbaharui yang dapat membantu
proses pengembangan tersebut.1 Jadi, pendekatan penelitian ini bertujuan
untuk merancang, mengembangkan dan/atau mengevaluasi proses
penciptaan suatu produk instruksional maupun non instruksional. Sebagai
contoh, ketika seorang desainer pembelajaran akan merancang suatu
sistem pembelajaran dalam konteks tertentu, maka pendekatan penelitian
1 Rita Richey, & Klein, J., Design and Development Research (New Jersey, USA: Lawrence
Erlbaum Associates, Inc., 2007), h. 1.
Uwes
Anis
Chaerum
an
30. 15
15
ini dapat digunakan untuk mendapatkan landasan empirik dari suatu
sistem pembelajaran yang dirancangnya tersebut.
Selain pendekatan penelitian perancangan dan pengembangan,
dalam konteks teknologi pendidikan, khususnya pengembangan teori
pembelajaran, terdapat beberapa pendekatan penelitian lain, diantaranya
adalah penelitain berbasis desain (design-based research) dan penelitian
formatif (formative research).2 Wang dan Hannafin seperti dikutip oleh
Reigeluth dan An, mendefinisikan penelitian berbasis desain sebagai
suatu metodologi yang sistematis tapi fleksibel yang bertujuan untuk
meningkatkan praktek pendidikan melalui analisis, desain,
pengembangan dan implementasi iterative berdasarkan kolaborasi antara
peneliti dan praktisi dalam seting dunia nyata dan mengarah pada prinsip-
prinsip desain dan teori yang peka terhadap konteks.3 Pendekatan
penelitian ini, menganut tahapan iteratif yang sama dengan penelitian
perancangan dan pengembanga seperti diungkapkan oleh Seels dan
Klein seperti tersebut di atas, yaitu tahap analisis, desain,
pengembangan, dan implementasi. Namun demikian, penelitian ini lebih
menekankan adanya kolaborasi antara peneliti dan praktisi dalam
pelaksanaan yang nyata. Sehingga, penelitian seperti ini akan dapat
memperbaiki, baik teori maupun praktek pembelajaran.
2 Reigeluth, C., & An, Y.-J., Theory Building dalam Instructional Design Theory and Models
(Vol. III) (New York, USA: Routledge, (2009), h. 376.
3 Ibid. h. 378.
Uwes
Anis
Chaerum
an
31. 16
16
Pendekatan penelitian selanjutnya adalah penelitian formatif.
Tokoh penelitian formatif adalah Reigeluth itu sendiri. Penelitian formatif
adalah sejenis penelitian pengembangan dan penelitian berbasis desain
yang bertujuan untuk meningkatkan tiga hal, yaitu: 1) suatu kasus tertentu
(produk, peristiwa, atau keduanya); 2) suatu teori pembelajaran terkait
dengan kasus tertentu; dan 3) teori deskriptif terkait dengan teori
pembelajaran.4 Jadi, penelitian formatif cocok digunakan untuk
mengembangkan atau memperbaiki suatu teori pembelajaran. Dengan
kata lain, penelitian formatif tepat digunakan untuk mengembangkan
suatu model desain pembelajaran. Karena model desain sistem
pembelajaran merupakan teori preskriptif (design theory) yang dapat
menjadi panduan dalam mengembangkan suatu sistem pembelajaran
tertentu.
Penelitian formatif itu sendiri terdiri dari empat ragam atau
bentuk, yaitu: 1) kasus yang dirancang untuk meningkatkan teori yang
telah ada (designed case to improve existing theory); 2) kasus yang
dirancang untuk mengembangkan suatu teori baru (designed case to
develop a new theory); 3) kasus alami untuk meningkatkan suatu teori
yang telah ada (naturalistic case to improve an existing theory); dan 4)
kasus alami untuk mengembangkan suatu teori baru (naturalistic case to
4 Ibid. h. 381.
Uwes
Anis
Chaerum
an
32. 17
17
develop a new theory.5 Pada dasarnya, baik penelitian pengembangan
(Richey dan Klein), penelitian berbasis desain (Wang and Hannafin) dan
penelitian formatif (Reigeluth) menekankan pada upaya untuk
meningkatkan sesuatu, bukan untuk membuktikan sesuatu seperti
pendekatan penelitian positifistik. Oleh karenanya, jika kita perhatikan
dengan baik, maka dalam implementasinya, ketiga pendekatan penelitian
tersebut menggunakan satu atau lebih bentuk evaluasi formatif.
Dalam konteks penelitian ini, peneliti akan menggunakan
pendekatan penelitian formatif karena penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan suatu preskripsi dalam mengembangkan suatu sistem
pembelajaran, dalam hal ini adalah sistem pembelajaran blended.
Mengingat preskripsi yang dikembangkan adalah preskripsi yang sengaja
dirancang untuk meningkatkan teori yang telah ada, maka bentuk
penelitian formatif yang akan digunakan adalah “Designed Case to
Improve Exisiting Theory”. Peneliti tidak menghasilkan teori baru, tapi
memanfaatkan dan meningkatkan teori yang ada untuk kebutuhan praktis.
Hasil dari penelitian ini adalah suatu model yang dapat dijadikan acuan
dalam mendesain suatu sistem pembelajaran blended dalam kasus
tertentu. Kasus tertentu tersebut adalah desain sistem pembelajaran
5 Ibid. hh. 381-384.
Uwes
Anis
Chaerum
an
33. 18
18
blended untuk mata kuliah daring dan mata kuliah terbuka program
Sistem Pembelajaran Daring (SPADA) Indonesia.
Langkah-langkah pengembangan model yang akan dilakukan
adalah sebagai mana yang diajukan Reigeluth. Reigeluth mengajukan
enam langkah pengembangan model desain pembelajaran sebagai
berikut:
1. Menciptakan suatu kasus yang dapat membantu menghasilkan teori
desain (create a case that helps generate the design theory). Dalam
hal ini, Reigeluth menyarankan untuk menciptakan model desain
sistem pembelajaran berdasarkan kerangka teori, pengalaman, dan
intuisi peneliti. Untuk kebutuhan ini, peneliti harus memiliki suatu kasus
yang dapat dijadikan dasar untuk menghasilkan teori desain. Seperti
dijelaskan pada latar belakang masalah, bab 1, maka kasus yang
dijadikan sebagai dasar untuk menghasilkan teori desain dalam
penelitian ini adalah pengembangan mata kuliah daring pada program
PDITT di Direktorat Pembelajaran, Direktorat Jenderal Pembelajaran
dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi. Pada langkah ini, peneliti akan menciptakan suatu model
tentative berdasarkan kerangka teori dan pengalaman peneliti.
2. Mengumpulkan dan menganalisis data deskriptif dan formatif terhadap
model tentatif (Collect and analyze descriptive and formative data on
the instance). Dalam hal ini, Reigeluth menyarankan agar peneliti
Uwes
Anis
Chaerum
an
34. 19
19
melakukan telaah ahli terhadap model tentatif yang telah dibuat pada
langkah pertama di atas. Disamping itu, peneliti diharuskan meminta
beberapa dosen yang mengembangkan sistem blended untuk suatu
perkuliahan tertentu untuk menggunakan model tentatif tersebut.
Meminta masukan dari para dosen tersebut tentang kelemahan-
kelemahan dari model tentatif tersebut. Selanjutnya, peneliti meminta
para dosen mengimplementasikan sistem pembelajaran blended yang
telah dikembangkan dengan model desain tentatif tersebut untuk
kemudian dilihat hasilnya (dari sisi efektifitas, efisiensi dan
kemenarikan pembelajaran).
3. Melakukan revisi model tentatif (revise the instance). Berdasarkan
input dari para ahli dan dosen, peneliti melakukan revisi terhadap
model yang dikembangkan.
4. Mengulangi siklus pengumpulan data dan revisi (repeat the data
collection and revision cycle). Dalam hal ini peneliti dianjurkan
melakukan hal yang sama seperti point 2 dan 3.
5. Mengembangkan teori tentatif secara penuh (fully develop your
tentative theory). Berdasarkan input dari langkah 4, peneliti melakukan
finalisasi model desain sistem pembelajaran blended.
Uwes
Anis
Chaerum
an
35. 20
20
B. Konsep Model yang Dikembangkan
1. Model Desain Sistem Pembelajaran
Secara umum, dalam bahasa awam, model dapat dikatakan
sebagai contoh atau suatu patokan yang dapat diikuti. Dalam
prakteknya, model diperlukan sebagai contoh, patokan dan panduan
dalam melakukan berbagai hal. Sebagai contoh, seorang tukang
memerlukan model dalam bentuk gambar rumah yang diwujudkan
dengan sketsa rumah yang digambarkan pada selembar kertas
khusus. Begitu pula seorang koki yang hendak memasak menu
khusus tertentu, memerlukan model berupa resep masakan yang
dituangkan secara preskriptif dalam bentuk langkah-langkah yang
terurut dan logis.
Para ahli menitik beratkan pengertian model sebagai suatu
bentuk representasi sederhana dari sesuatu yang sifatnya rumit
(kompleks). Gustafson dan Branch, mendefinisikan model sebagai
suatu representasi sederhana dari suatu bentuk, proses, dan fungsi
fenomena fisik dan ide yang lebih kompleks.6 Miarso, mendefinisikan
model sebagai representasi suatu proses dalam bentuk grafis dan/atau
naratif, dengan menunjukkan unsur-unsur utama serta strukturnya.7
6 Kent, Gustafson & Branch, R., Survey of Instructional Development Models (Fourth Edition)
(New York: Clearninghouse on Infromation and Technology, Syracuse University, 2002), h. 7.
7 Yusufhadi Miarso, Survey Model Pengembangan Instruksional (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, 1998), h. 8.
Uwes
Anis
Chaerum
an
36. 21
21
Prawiradilaga menjelaskan model sebagai tampilan grafis, prosedur
kerja yang teratur atau sistematis, serta mengandung pemikiran
bersifat uraian atau penjelasan berikut saran.8 Dengan merujuk pada
beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa model dapat
direpresentasikan dalam bentuk grafis seperti gambar, diagram, bagan
dan narasi atau deskripsi dimana didalamnya menunjukkan unsur-
unsur utama serta strukturnya. Model juga menggambarkan prosedur
kerja yang dapat dijadikan sebagai acuan atau panduan dalam
melakukan sesuatu. Dalam penelitian ini, secara operasional peneliti
mendefinisikan model sebagai representasi suatu proses dan/atau ide
kompleks yang dapat memberikan gambaran prosedur kerja yang
sistematis dan logis dalam bentuk grafis dan/atau naratif dimana
struktur unsur-unsur utama serta hubungan antar unsur tersebut
tercantum secara jelas.
Sebelum membahas konsep desain sistem pembelajaran,
sebaiknya dibahas terlebih dahulu tentang istilah desain. Pada
dasarnya kegiatan merancang atau mendesain merupakan suatu
keniscayaan ketika seseorang akan melakukan sesuatu. Jika tidak,
maka sesuatu yang akan dilakukan tersebut melenceng atau tidak
sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Cennamo
8 Dewi S. Prawiradilaga, Prinsip Desain Pembelajaran (Jakarta: Kencana, Prenada Media
Group, 2007), h. 33.
Uwes
Anis
Chaerum
an
37. 22
22
dan Kalk mendefinisikan desain sebagai upaya merencanakan
sesuatu secara hati-hati sebelum melakukan pengembangan (careful
planning prior to development).9 Pendek kata dapat dikatakan bahwa
pengembangan yang baik berasal dari perencanaan yang matang
(desain yang baik). Itulah sebabnya Piskurich mengatakan bahwa
suatu pendidikan atau pelatihan tidak berhasil dengan baik disebabkan
karena desain pembelajaran yang tidak baik (poor instructional
design).10 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desain
merupakan fondasinya suatu pengembangan, apapun itu. Jika tidak,
maka pengembangan yang dilakukan tidak akan berhasil dengan
baik, atau bahkan gagal total. Dalam konteks penelitian ini, tentu saja
yang dimaksud adalah desain pembelajaran dimana hasil dari desain
akan menjadi landasan dalam mengembangkan suatu proses
pembelajaran sehingga berhasil dengan baik (optimal). Dalam
penelitian ini, secara operasional, desain didefinisikan sebagai suatu
rancangan sebagai hasil dari perencanaan yang matang sebagai
landasan suatu pengembangan.
Selanjutnya, penting sekali dibahas tentang konsep
pembelajaran. Aktivitas pendidkan dan/atau pelatihan, apapun itu,
9 Cennamo, K., & Kalk, D., Real World Instructional Design ( Canada: Thompson Learning,
Inc., 2005), h. 2.
10 George Piskurich, Rapid Instructional Design: Learning ID Fast and Right (Second Edition
(San Fransisco, CA: Pfeiffer, John Wiley and Sons, Inc., 2006), hh. 2 – 3.
Uwes
Anis
Chaerum
an
38. 23
23
terjadi melalui proses yang dinamakan pembelajaran (instruction).
Pembelajaran secara sederhana didefinisikan sebagai upaya
memfasilitasi belajar secara sengaja untuk mencapai suatu tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan.11 Hal senada diungkapkan pula
oleh Driscoll seperti dikutip oleh Smith dan Ragan yang mendefinisikan
pembelajaran sebagai pengaturan kondisi belajar yang disengaja
untuk mendorong tercapainya tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan.12 Dua definisi tersebut menekankan bahwa pembelajaran
adalah suatu suatu kondisi untuk memfasilitasi terjadinya belajar
sehingga tujuan pembelajaran yang s telah ditentukan dapat dicapai
secara optimal. Dengan demikian, dalam penelitian ini, secara
operasional, pembelajaran didefinisikan sebagai penciptaan suatu
kondisi yang dapat memfasilitsi terjadinya belajar sehingga tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan dapat tercapai secara optimal.
Pembelajaran merupakan suatu sistem, didalamnya terdapat
beberapa komponen yang satu sama lain saling ketergantungan.
Banathy seperti dikutip oleh Reiser mendefinisikan sistem sebagai
serangkaian elemen terpadu yang saling berinteraksi satu sama lain.
Reiser sendiri menyatakan sistem sebagai suatu postulat dimana
dalam suatu sistem setiap elemen atau unsur didalamnya saling
11 Smith, H., & Ragan, T., Instructional Design (Third Edition) (USA: John Wiley & Sons,
Inc., 2005), h. 4.
12 Ibid. h. 5.
Uwes
Anis
Chaerum
an
39. 24
24
ketergantungan (interdependent), sinergistik (synergistic), dinamik
(dynamic) dan cybernetic.13 Definisi ini menjelaskan bahwa suatu
sistem memiliki beberapa karakteristik, yaitu saling ketergantungan,
sinergistik, dinamis dan cybernetic. Sebagai suatu sistem, suatu
pembelajaran memiliki elemen-elemen kunci. Elemen kunci suatu
sistem pembelajaran menurut Kemp terdiri dari empat unsur yaitu, 1)
pemelajar (leaners); 2) tujuan pembelajaran (objectives); 3) metode
pembelajaran (methods); dan 4) evaluasi (evaluation).14 Hal senada
diungkapkan oleh Cennamo dan Kalk yang menjelaskan lima unsur
utama sistem pembelajaran dalam suatu diagram dengan nama
“Essential Triangle of Instructional Design”. Lima unsur utama tersebut
adalah: 1) pemelajar (learners); 2) hasil belajar (outcomes); 3) aktivitas
pembelajaran (activities); 4) assessment; dan 5) evaluasi (evaluation).
Pada dasarnya, baik Kemp maupun Cennamo menggambarkan unsur
kunci yang sama dari suatu sistem pembelajaran. Hanya saja,
Cennamo membedakan antara assessment dengan evaluasi.
Sementara, Kemp menganggap assessment sebagai bagian dari
evaluasi secara umum. Intinya, sistem pembelajaran teridir dari unsur:
1) siapa yang akan belajar?; 2) hasil belajar apa yang akan dicapai?;
13 Reiser, R., & Dempsey, J., Trends and Issues in Instructional Design and Technology
(Second Edition) (New Jersey, USA: Pearson Education, Inc., 2007), h. 11.
14 Jerold Kemp, Morrison, G., & Ross, S., Designing Effective Instruction (New York, USA:
Macmillan College Publishing Company, 1994), h. 8.
Uwes
Anis
Chaerum
an
40. 25
25
3) metode atau aktivitas apa yang akan dilakukan agar tejadi belajar
dan mencapai tujuan yang diinginkan?; dan 4) bagaimana
keberhasilan belajar diukur dan dinilai?.
Desain sistem pembelajaran, jika mengacu pada beberapa
definisi istilah seperti tersebut di atas, dapat didefinisikan sebagai
upaya membuat rancangan (blueprint) untuk memfasilitasi terjadinya
belajar sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai secara
optimal. Sebagai suatu sistem, maka kompenen desain sistem
pembelajaran akan meliputi unsur: 1) pemelajar; 2) tujuan yang ingin
dicapai; 3) metode pembelajaran; serta 4) cara mengkur dan menilai
pencapaian hasil belajar. Namun demikian, para ahli telah
menyederhanakan intisari desain sistem pembelajaran dengan
berbagai definisi yang berbeda, dari sudut pandang yang berbeda tapi
untuk tujuan yang sama, yaitu mencapai keempat komponen tersebut
secara terpadu dan sistemik.
Piskurich mendefinisikan desain sistem pembelajaran
sebagai suatu cara untuk merencanakan suatu program pelatihan
sejak dari ketika anda memperoleh ide/gagasan (atau ide tersebut
diberikan kepada anda) sampai ketika anda menyelesaikan versi revisi
dari program pelatihan awal (draft) dan melaksanakan program
Uwes
Anis
Chaerum
an
41. 26
26
tersebut.15 Dalam hal ini, Piskurich menggunakan istilah “training”
bukan pembelajaran karena sehari-hari profesinya adalah desainer
pelatihan.
Sementara Gustafson dan Branch mendefinisikan desain
sistem pembelajaran sebagai suatu proses yang sistematis yang
digunakan untuk mengembangkan suatu program pendidikan atau
pelatihan dengan cara konsisten dan handal (reliable). Gustafson dan
Branch juga menambahkan bahwa desain sistem pembelajaran
merupakan suatu proses yang rumit (kompleks) yaitu kreatif, aktif dan
iteratif.16 Definisi tersebut menjelaskan bahwa desain pembelajaran
merupakan proses yang sistematis, artinya merupakan suatu prosedur
yang menuntut tahap demi tahap, selangkah demi selangkah secara
terurut. Disamping itu, desain sistem pembelajaran merupakan suatu
proses yang kompleks yang menuntut kreatifitas dan peran aktif dari
seorang desainer pembelajaran itu sendiri. Bahkan, prosesnya sendiri
merupakan suatu siklus yang berulang-ulang (iteratif). Artinya, desain
pembelajaran merupakan suatu proses yang berkesinambungan, tidak
berakhir sampai ketika suatu sistem pembelajaran berhasil
dikembangkan, tapi sampai pelaksanaan, perbaikan kembali,
pelaksanaan, perbaikan kembali dan seterusnya.
15
Piskurich, opcit., h. 4.
16 Gustafson, opcit., h. 11.
Uwes
Anis
Chaerum
an
42. 27
27
Seels dan Richey mendefinisikan desain sistem
pembelajaran sebagai prosedur yang terorganisasi yang meliputi
langkah-langkah penganalisaan (analysis), perancangan (design),
pengembangan (development), penerapan (implementation) dan
evaluasi (evaluation) pembelajaran.17 Definisi ini menjelaskan bahwa
secara generik, langkah-langkah desain sistem pembelajaran meliputi
tahap-tahap yang bersifat iteratif mulai dari tahap analisis (analysis),
perancangan (design), pengembangan (development), penerapan
(implementation), dan evaluasi (evaluation). Langkah generic ini lebih
dikenal dengan istilah ADDIE yang merupakan kependekan dari
analysis, design, development, implementation dan evaluation.
Peneliti, secara operasional mendefinisikan desain sistem
pembelajaran sebagai prosedur sistematis dan iteratif yang meliputi
tahap analisis, perancangan, pengembangan, implementasi dan
evaluasi untuk menghasilkan suatu sistem pembelajaran tertentu.
Sedangkan yang dimaksud dengan model desain sistem pembelajaran
adalah panduan yang menggambarkan prosedur sistematis dan iteratif
untuk menghasilkan suatu sistem pembelajaran tertentu tersebut.
Output dari desain sistem pembelajaran dengan menggunakan suatu
17 Seels, B., & Richey, R., Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya (Terjemahan)
(Jakarta: Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia bekerjsama dengan Lembaga
Pengembang Teknologi Kinerja, 1994), h. 33.
Uwes
Anis
Chaerum
an
43. 28
28
model desain pembelajaran tertentu adalah berupa rancangan
(blueprint) sistem pembelajaran yang meliputi unsur: 1) siapa yang
akan belajar (students); 2) tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
(objectives); 3) aktivitas yang memungkinkan terjadinya pengalaman
belajar (strategies); 4) sumber belajar yang dibutuhkan (learning
resources); dan 5) cara untuk mengukur dan menilai hasil belajar
(evaluasi).
Dalam konteks penelitian ini, model desain sistem
pembelajaran sangat penting dikembangkan. Hasil studi Snyder
merekomendasikan bahwa suatu teori desain atau model desain
sistem pembelajaran penting untuk dikembangkan dan diuji dalam
konteks yang berbeda sehingga dapat memberikan acuan sesuai
dengan kebutuhan dalam konteks tersebut.18
2. Analisis Model Desain Sistem Pembelajaran Blended
Sejak tahun 1960an, model desain sistem pembelajaran telah
berkembang sebagai panduan dalam mengembangkan produk
pembelajaran yang efektif dan efisien.19 Secara umum, model desain
sistem pembelajaran memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk membuat
suatu pembelajaran efektif dan efisien. Secara generic, model desain
18 Martha M. Snyder, “Instructional-Design Theory to Guide the Creation of Online Learning
Communities for Adults”, TechTrends, January/February 2009 Volume 53, Number 1. h. 48
19 Katherine Cennamo, & Debby Kalk (2005), Real World Instructional Design
(Australia:Wadsorth – Thompson Learning Inc. 2005). H. 2.
Uwes
Anis
Chaerum
an
44. 29
29
sistem pembelajaran terdiri dari lima unsur umum, yaitu analisis
(analysis), desain (design), pengembangan (development),
implementasi (implementation) dan evaluasi (evaluation). Cennamo &
Kalk, mengutip Lohr (2003) menggambarkan model desain sistem
pembelajaran secara generic sebagai berikut:20
Tabel 2.1. Model Desain Pembelajaran secara Generik
Stage Task Deliverable
Analysis Needs assessment
Learner analysis
Task, context, goal and
subordinate skill analysis
Problem statement
Behavioral task
Learner entry skills
Design Framing objectives
Development test items
Instructional strategy
Objectives
Tests
Design specifications
Development Media production
Content development
Management strategies
Storyboard
Script
Instructional materials
Implementation Planning and
management of
instructional delivery
Teacher’ guide and
other support
materials
Evaluation Formative evaluation
Summative evaluation
Recommendations
Project report
(Sumber: Cennamo & Calk, 2005)
Dari sekian banyak model desain sistem pembelajaran,
dalam konteks penelitian ini, peneliti mencoba menganalisis model-
model desain pembelajarn yang khusus ditujukan untuk
menegmbangkan pembelajaran blended. Berdasarkan penelusuran
terhadap hasil studi terkini tentang model desain pembelajaran
20 idem. h. 4.
Uwes
Anis
Chaerum
an
45. 30
30
blended, peneliti menemukan lima model yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Model Piskurich (Asynchronous & Synchronous Design)
George M. Piskurich mengembangkan model desain
pembelajaran yang dikenal dengan Rapid Instructional Design.
Dalam edisi kedua, Piskurich menjelaskan model desain sistem
pembelajaran secara umum, yang meliputi tahap: 1) pre-
instructional design activity (before you do anything); 2) analysis
(do you know what you need to do?); 3) design (how to do it?); 4)
development (doing it right); 5) implementation (getting it where it
does the most good); dan 6) evaluation (did it do any good?). Tapi,
tidak hanya itu, seiring dengan perkembangan zaman dan
kebutuhan, Piskurich memberikan acuan tambahan dalam
mengembangkan pembelajaran blended, yaitu asynchronous and
synchronous learning design. Langkah-langkah yang harus
dilakukan dapat digambarkan sebagai berikut:21
Tabel 2.2. Langkah Model Desain Pembelajaran Blended Piskurich
Desain Pembelajaran Asinkron Desain Pembelajaran Sinkron
1.Menentukan strategi e-
learning komprehensif.
1. Merancang pertimbangan-
pertimbangan untuk elearning
sinkron.
2. Merancang dan meng-
embangkan program yang
baik.
2. Melakukan mini-interaksi
(modeling)
21 Piskurich, op.cit. hh 305 – 386.
Uwes
Anis
Chaerum
an
46. 31
31
3. Mengembangkan learning/
content management system.
3. Melakukan desain ulang
program
4. Menyiapkan institusi untuk e-
learning global
4. Mempertimbangkan aktivitas
sinkron alternatif lain.
5. Merencanakan implementasi
yang terorganisir dengan baik
5. Mengembangkan panduan
fasilitator.
6. Membuat rencana evaluasi
dan monitoring yang efektif
6. Mengembangkan panduan
belajar mahasiswa.
7. Merancang dan
mengembangkan
pembelajaran asinkronous.
7. Mengembangkan media
8. Melakukan analisis 8. Merancang interaksi
9. Mengembangkan bahan ajar 9. melakukan analisis audiens
10. Mengembangkan evaluasi
hasil belajar.
10. Implementasi
11. Mengembangkan antar
muka
11. Melakukan evaluasi program
12. melakukan uji beta dan uji
akhir
13. melakukan “repurposing”
14. melakukan evaluasi program
(Sumber: Piskurich, 2006)
Tabel tersebut, menggambarkan bahwa model desain
pembelajaran blended menurut Piskurich didasarkan atas
perspektif seting belajar, yaitu belajar asinkron dan sinkron.
Sehingga aktivitas desain pembelajaranya dibagi dalam dua
kativitas besar, yaitu aktivitas mendesain pembelajaran asinkron
dan pembelajaran sinkron. Model yang ditawarkan Piskurich
memiliki lingkup yang makro dan komprehensif. Langkah 1 sampai
dengan langkah 6 merupakan aktivitas makor, sementara langkah
7 sampai dengan 14 adalah langkah mikro. Kelebihan model ini
antara lain adalah mempertimbangkan secara komprehensif segala
Uwes
Anis
Chaerum
an
47. 32
32
variable yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran dengan e-
learning. Disisi lain, model ini memiliki kelemahan yaitu
membutuhkan tim yang berasal dari berbagai kehalian. Sehingga
proses desain akan memakan waktu yang lama dan memerlukan
biaya yang cukup besar.
b. Model ILDF (Bannan-Ritland)
Bannan-Ritland menawarkan suatu framework yang Ia
namakan integrated learning design framework (ILDF). Model ini
secara spesifik ditujukan untuk merancang pembelajaran online
(online learning). ILDF dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1. Model Integrated Learning Design Framework
(Sumber: Dabbagh & Ritland, 2006)
Uwes
Anis
Chaerum
an
48. 33
33
ILDF memiliki tiga kategori langkah besar, yaitu: 1)
eksplorasi (exploration); 2) penentuan/penetapan (enactment); dan
3) evaluasi (evaluation). Ketiga langkah besar tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:22
Tabel 2.3. Prosedur Model ILDF
No. Eksplorasi Penetapan Evaluasi
1. Secara eksplisit
mendokumentasikan
temuan berdasarkan
informasi yang
diperoleh.
Memetakan informasi
yang dipeorleh dalam
tahap ekslporasi
kedalam model
pedagogis.
Menentukan tujuan,
hasil yang diharapkan,
dan metode evaluasi
pembelajaran online
dengan jelas.
2. Menumpulkan
informasi tentang
konteks pembelajaran.
Mempertimbangkan
karakteristik
pembelajaran dari
model pedagogic yang
telah dipilih.
Mengevaluasi secara
formatif rancangan
dan pengembangan
sebelum pelaksanaan
pembelajaran online
3. Menjajaki perspektif
individual tentang
proses belajar.
Memilih strategi
pembelajaran khusus
yang sesuai dengan
model pedagogic yang
telah dipilih.
Melaksanakan
pembelajaran online
dan mengevaluasi
hasil sesuai dengan
tujuan evaluasi yang
telah ditentukan.
4. Memadukan perpsektif
individual kedalam
proses belajar.
Menetapkan strategi
pembelajaran
berdasarkan fitur
sistem penyampaian
teknologi.
5. Mengumpulkan
perpektif dan informasi
yang ada kedalam
prose belajar, konten
dan metode
penyampaian.
(Sumber: Dabbagh & Ritland, 2005)
Jika kita perhatikan lebih dalam, model ILDF memberikan
panduan secara komprehensif bagaimana merancang dan
mengembangkan suatu pembelajaran online. Tahap eksplorasi
22 Nada Dabbagh & Bannan-Ritland, Online Learning: Concepts, Strategies and Application
(New Jersey, USA: Merril Prentice Hall, Pearson Education Inc., 2005), hh 121- 160
Uwes
Anis
Chaerum
an
49. 34
34
digunakan untuk benar-benar memperhitungkan bukan hanya
konteks pedagogis, strategi pembelajaran dan teknologi belajar,
tapi juga sosial dan kultur. Jadi, langkah pertama dalam
mengembangkan pembelajaran online menurut Dabbagh & Ritland
ini adalah melakukan studi yang komprehensif terlebih dahulu.
Kelebihan lain model ILDF, seperti terlihat dalam langkah kedua
(penetapan), model ini dapat memberikan keleluasaan dan
kreativitas kepada tim pengembang untuk memilih dan menentukan
model, metode, dan teknik pembelajaran yang disesuaikan dengan
fitur teknologi belajar yang akan digunakan. Begitu pula halnya
dengan tahap evaluasi. Kelemahan model ini adalah memerlukan
sumber daya yang banyak baik dari unsur sumber daya manusia,
waktu maupun biaya.
c. Model Piramida (George Hack)
George Hack menawarkan model desain pembelajaran
blended yang direpresentasikan dalam bentuk piramida sebagai
berikut:
Uwes
Anis
Chaerum
an
50. 35
35
Gambar 2.2. Model Desain Pembelajaran Blended Piramida
(Sumber: Hack, 2016)
Hack menawarkan model desain pembelajaran blended
dengan struktur hirarki mulai dari lapis (layer) bawah ke atas.
Aktivitas lapis lebih atas, tidak bisa dilakukan jika layer sebelumnya
belum terpenuhi. Model ini terdiri dari empat layer yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:23
a. Layer 1; terdiri dari aktivitas melakukan analisis kebutuhan,
analisis peserta didik, perumusan tujuan umum, dan analisis
sumber daya yang diperlukan.
23 George Hack (2016), “an Instructional Design Model for Blended Higher Education”,
Journal of Learning and Teaching in Digital Age, 2016, 1(2), 2-9, Diunduh dari:
http://joltida.org/index.php/joltida/article/view/14/55 pada tanggal 15 Juli 2016.
Uwes
Anis
Chaerum
an
51. 36
36
b. Layer 2; terdiri dari aktivitas mengembangkan tujuan
pembelajaran khusus, meramu kombinasi (blended) serta
urutannya, dan merancang aktivitas pembelajaran.
c. Layer 3; terdiri dari aktivitas mengembangkan strategi asesmen
dan implementasi serta memperoleh umpan balik.
d. Layer 4; hanya terdiri dari satu langkah terakhir yaitu melakukan
analisis dan revisi.
Model ini cukup sederhana, sistematis dan logis. Secara
umum memiliki unsur-unsur analisis, desain, pengembangan,
implementasi dan evaluasi yang jelas. Dibandingkan dengan dua
model sebelumnya, model piramida ini lebih mudah untuk diikuti,
dan tidak memerlukan sumber daya yang lebih banyak. Tapi, dalam
pelaksanaanya tetap membutuhkan tim dengan keahlian berbeda
untuk dapat bekerja secara kolaboratif.
d. Model Multimodal (Anthony G. Picciano)
Picciano menawarkan model desain pembelajaran blended
yang didasarkan atas modalitas belajar mahasiwa yang bervariasi
dari berbagai aspek. Itulah sebabnya model ini diberi nama model
multimodal. Asumsi yang Ia gunakan adalah karena mahasiswa
generasi sekarang sangat bervariasi dari sisi kepribadian, gaya
belajar, dan teknologi yang mereka gunakan, maka dosen harus
mampu menggunakan berbagai pendekatan kombinasi
Uwes
Anis
Chaerum
an
52. 37
37
pembelajaran tatap muka dan online. Pada dasarnya model ini
lebih merupakan framework (kerangka acuan) yang dpat
digambarkan sebagai berikut:24
Gambar 2.3. Model Desain Pembelajaran Blended Multimodal
(Sumber: Picciano, 2016)
Model ini memberikan kerangka kerja kepada dosen/guru
bahwa dalam proses pembelajaran dapat memanfaatkan berbagai
24 Anthony G. Picciano, “Blending with Purpose: the Multimodal Model”, Journal of the
Research Center for Educational Technology (RCET) 4 Vol. 5, No. 1, Spring 2009.
Uwes
Anis
Chaerum
an
53. 38
38
modalitas belajar yang meliputi aktifitas tatap muka yang dapat
dikombinasikan dengan:
aktivitas dialektik melalui diskusi online (discussion board)
aktivitas asesmen hasil belajar baik yang bersifat tes obyektif
atau otentik yang pemberian/penyampaiannya dapat difasilitasi
teknologi baik online maupun “pencil on paper test”;
aktivitas kolaborasi antar mahasiswa melalui wiki atau
sejenisnya;
aktivitas refleksi melalui publikasi individu atau kelompk via
blog, twitter atau media sosial lainya; dan
aktivitas pemberian materi ajar melalui content management
system, learning management system atau media lain.
Model atau kerangka kerja ini diusulkan sebagai respon
terhadap perkembangan teknologi dan gaya hidup dan belajar
mahasiswa era informasi dewasa ini. Model ini memberi inspirasi
kepada guru/dosen untuk dapat memanfaatkan berbagai
saluran/modalitas komunikasi yang ada, seperti email, media
sosial, blog, vlog serta teknologi lain untuk membuat pembelajaran
efektif, tapi menarik karena sesuai dengan gaya hidup mahasiswa
masa kini. Namun, demikian untuk dapat mengimplementasikanya
Uwes
Anis
Chaerum
an
54. 39
39
membutuhkan kreatifitas dan kesiapan literasi TIK dari guru/dosen
bersangkutan.
e. Model Cherrez & Nadolny
Cherrez dan Nadolny mengembangkan model desain
pembelajaran blended yang didasarkan atas prinsip “experiential
learning” David Kolb. Modle ini memiliki empat langkah umum
sebagai berikut:25
Start Here; desain pembelajaran blended diawali dengan
merancang orientasi dan deskripsi mata kuliah serta tugas-
tugas yang harus dilakukan selama satu semester. Dalam tahap
ini, desainer pembelajaran menyiapkan dua hal, yaitu INFO dan
TASK. INFO adalah penjelasan tentang mata kuliah yang
meliputi silabus, format kuliah, aturan perkuliahan, sumber-
sumber belajar, serta perlengkapan lain yang dibutuhkan..
TASK adalah penjelasan tentang panduan belajar dan apa saja
yang harus dilakukan selama proses pembelajaran, termasuk
didalamnya cara login, dan lain-lain.
25 Nadia Jaramillo Cherrez & Larysa Nadolny, “Customizing Students’ Learning Experiences
While Designing An Online Course”, International Journal of Design for Learning, Volume 8,
Issue 2, 2017. hh. 14-29 DOI: https://doi.org/10.14434/ijdl.v8i2.19180
Uwes
Anis
Chaerum
an
55. 40
40
Learning Track; dalam tahap ini desainer pembelajaran
mengorganisasikan dan memetakan materi dan aktivitas belajar
yang terdiri dari empat siklus yaitu: overview, eksplorasi, refleksi
dan kritik terhadap semua materi tersebut.
Project; langkah ketiga adalah merancang tagihan berupa
proyek individu atau kelompok untuk membuktikan bahwa
mahasiswa dapat mengaplikasikan semua materi/topik yang
dituangkan dalam learning track tercapai.
Central Hub; dalam tahap ini, desainer pembelajaran
menyiapkan segala kemungkinan komunikasi belajar yang
dapat dilakukan. Saluran komunikasi yang dapat digunakan
adalah teknologi sinkron seperti video-conference atau
webconference, atau teknologi asinkron seperti email, milist,
forum diskusi, dan lain-lain.
Model ini, lebih menekankan pada pembelajaran blended
dalam lingkungan belajar online. Model ini menuntut kepiawaian
dosen dalam merancang pembelajara berbasis pengalaman
(experiential learning) serta pemanfaatan teknologi sinkron dan
asinkron. Oleh karenanya, pemahaman dan kefamiliaran yang
dalam tentang teknologi ini sangat menentukan keberhasilan
pembelajaran blended.
Uwes
Anis
Chaerum
an
56. 41
41
f. Model Flip Learning (Lee, Lim, & Kim)
Lee, Lim dan Kim mengembangkan model desain
pembelajaran blended yang dinamakan Flip Learning. Model ini
didasarkan atas prinsip flipped classroom, yaitu pembelajaran
dimana menuntut mahasiswa belajar secara online terlebih dahulu
sebelum pembelajaran di kelas. Model FL dapat digambarkan
sebagai berikut:26
Gambar 2.4. Model Desain Pembelajaran Blended Flip Learning
(Sumber: Lee, Lim & Kim, 2017)
26 Jihyun Lee; Cheolil Lim; & Hyeonsu Kim (2017), “Development of an Instructional Design
Model for Flipped Learning in Higher Education”, Education Tech Research Dev vlume 65.
hh. 427–453. DOI 10.1007/s11423-016-9502-1. diunduh dari:
https://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2Fs11423-016-9502-1.pdf
Uwes
Anis
Chaerum
an
57. 42
42
Model ini cukup komprehensif dan sistematis mulai dari tahap
analisis, desain, pengembangan, implementasi dan evaluasi. Sama
halnya dengan model Piskurich, ILDF dan Piramida, model ini
membutuhkan sumber daya yang cukup tinggi baik dari sisi, waktu,
biaya maupun tenaga.
g. Model Pannan & Legge
Pannan dan Legge menawarkan model desain pembelajaran
blended yang sangat sederhana, yaitu kombinasi murni antara
pembelajaran online dan tatap muka. Model tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:27
Gambar 2.5. Model Pannan & Legge
27 Pannan, L. & Legge, K. (2016). “A Blended Learning Model and a Design Model Combine
to Support Academics in Pedagogical Redesign of the Curriculum”. In S. Barker, S. Dawson,
A. Pardo, & C. Colvin (Eds.), “Show Me The Learning”, Proceedings ASCILITE, 2016
Adelaide. hh. 487 – 497. Diunduh dari http://2016conference.ascilite.org/wp-
content/uploads/ascilite2016_pannan_full.pdf, 12 Maret 2017.
Uwes
Anis
Chaerum
an
58. 43
43
(Sumber: Pannan & Legge, 2016)
Berdasarkan gambar di atas, seorang dosen cukup
merancang pembelajaran aktif untuk tatap muka dan pembelajaran
online. Secara garis besar, rancangan pembelajaran yang
dilakukan oleh dosen atau guru adalah sebagai berikut:
Pertama, dosen merancang pembelajaran aktif tatap muka.
Pemeblajaran tatap muka lebih diarahkan untuk workshop, studi
kasus, pemecahan masalah, praktek lab, demonstrasi, dan lain-
lain.
Kedua, dosen menyiapkan aktivitas pembelajaran aktif online.
Dosen menyiapkan bahan ajar (modul) lengkap dengan
panduan dan tugas-tugas belajar yang harus dilakukan.
Ketiga, dosen menyiapkan aktivitas transisi antara tatap muka
dan online atau antara online dan tatap muka. Aktivitas transisi
ini diarahkan untuk tugas-tugas yang menghasilkan prakarsa
atau karya baik individu maupun kelompok yang akan dibahas
atau disampaikan pada pertemuan tatap muka berikutnya.
Model ini sangat sederhana, mudah diikuti, dapat dirancang sendiri
tanpa harus dengan tim, tapi harus didasarkan atas prinsip
pembelajaran aktif (student-centered learning). Namun demikian,
Uwes
Anis
Chaerum
an
59. 44
44
tidak ada dasar yang dapat digunakan kapan harus menggunakan
online dan kapan harus tatap muka.
Model-model desain pembelajaran tersebut memiliki karakteristik
dan konteks yang berbeda satu sama lain. Peneliti mencoba
mengklasifikasikan model-model tersebut berdasarkan kategori lingkup,
sumber daya yang diperlukan, tim/individu, kompleksitas, dan ketermapilan
desain pembelajaran. Model-model tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Tabel 2.4. Analisis Perbandingan Model Desain Pembelajaran Blended
Aspek Piskuirch ILDF Piramida Flip
Learning
Picciano Pannan
& Legge
Cherrez
&
Nadolny
Lingkup/Level Makro Makro Makro Makro Mikro Mikro Mikro
Sumber daya Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Rendah Rendah Rendah
Tim/Individu Tim Tim Tim Tim Individu Individu Inividu
Kompleksitas Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah
Keterampilan
Desain
Pembelajaran
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah
Model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini dapat
dikategorikan kedalam model untuk lingkup mikro, dapat dikerjakan secara
individu, dengan sumber daya yang rendah, tanpa memerlukan
keterampilan desain pembelajaran yang khusus atau profesional dan
sesuai dengan konteks, yaitu SPADA Indonesia. “State of the art” model
yang akan dikembangkan dibandingkan dengan model-model yang ada
seperti tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Uwes
Anis
Chaerum
an
60. 45
45
Model yang akan dikembangkan adalah unik, karena didedikasikan
khusus untuk konteks SPADA Indonesia, dan didasarkan atas
permasalahan actual yang dihadapi para dosen dalam
mengembangkan pembelajaran blended.
Sepengetahuan peneliti, di Indonesia belum ada model desain sistem
pembelajaran blended yang dikembangkan oleh teknolog pendidikan
di Indonesia itu sendiri.
Kebanyakan pembelajaran blended ditinjau dari persfektif kombinasi
antara pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran online.
Beberapa yang lain, ditinjau dari perpektif kombinasi antara
pembelajaran sinkron dan asinkron. Namun demikian, dari semua
model yang dibahas di atas, tidak ada satupun yang memberikan
panduan mengapa dan kapan pembelajaran asinkron digunakan, dan
kapan pembelajaran sinkron digunakan. Model yang akan
dikembangkan lebih menekankan pada perpsketif pembelajaran
sinkron dan asinkron. Kedua, model yang akan dikembangkan akan
memberikan panduan pemilihan dan penentuan strategi pembelajaran
sinkron dan asinkron sebagai titik awal sebelum merancang aktivitas
pembelajaran selanjutnya.
Oleh karena itu, model yang akan dikembangkan akan didasarkan
pada konsep pembelajaran sinkron dan asinkron. Sehingga akan
Uwes
Anis
Chaerum
an
61. 46
46
diawali dengan framework dan definisi pembelajaran blended ditinjau
dari sudut pandang pembelajaran asinkron dan sinkron. Karena
pembelajaran blended bukan hanya sekedar mengkombinasikan
antara pembelajaran online dengan pembelajaran tatap muka.
Selanjutnya, pembelajaran blended, sebagaimana halnya dengan
prinsip pembelajaran secara umum, akan sangat tergantung pada
interaksi yang memungkinkan terjadinya pengalaman belajar secara
optimal. Oleh karena itu, dalam model yang akan dikembangkan, akan
diberikan panduan meningkatkan interaksi belajar baik dalam situasi
pembelajaran asinkron maupun sinkron.
C. Kerangka Teoretik
1. e-Learning
e-Learning adalah istilah generik yangmengacu pada
pendayagunaan teknologi elektronik untuk pembelajaran. Banyak istilah
yang mengacu pada hal yang sama. Istilah-istilah tersebut antara lain
adalah virtual learning, online learning, virtual class, e-training, dan lain-
lain. Stockley menegaskan e-learning sebagai penyampaian program
pembelajaran atau pelatihan dengan memanfaatkan sarana elektronik.
Ia mendefinisikan e-learning sebagai penyampaian program
pembelajaran, pelatihan atau pendidikan dengan menggunakan sarana
elektronik seperti komputer atau alat elektronik lain seperti telepon
Uwes
Anis
Chaerum
an
62. 47
47
genggam dengan berbagai cara untuk memberikan pelatihan,
pendidikan atau bahan ajar.28 Jadi, huruf “e” pada kata e-learning
merujuk pada penggunaan sarana elektronik untuk pembelajaran.
Holmes dan Gardner juga mendefinisikan e-learning secara
umum sebagai akses terhadapa sumber belajar kapan saja dan di
mana saja.29 Degan demikian, dalam konteks e-learning, penggunaan
teknologi elektronik tersebut harus memungkinkan peserta belajar
memperoleh akses teradap sumber belajar kapan saja dan di mana
saja.
e-Learning, sangat terkait dengan pembelajaran sinkronous
dan asinkronous. Naidu menjelaskan bahwa e-learning, secara
fundamental, adalah proses pendidikan yang memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk menjembatani kegiatan belajar dan
pembelajaran baik secara asinkronous maupun sinkronous.30 Begitu
pula halnya dengan Clark dan Mayer, mendefinisikan e-learning
sebagai pembelajaran yang disampaikan melalui komputer, seperti CD-
ROM, internet maupun intranet dimana proses pembelajarannya
memiliki karakteristik sebagai berikut:
28 Derek Stockley, “e-Learning Definition and Explanation”, http://www.derekstock
ley.com.aud, (diakses 19 Pebruari 2010).
29 Holmes, Bryn; and Gardner, John, e-Learning: Concept and Practice (London, UK, New
Delhi, India: Sage Publication Ltd., 2006). h. 14.
30 Som Naidu, e-Learning: a Guidebook of Principles, Procedures, and Practices (Revision
Edition) (New delhi: Commonwealth Educational Media Center, 2006). h. 5.
Uwes
Anis
Chaerum
an
63. 48
48
materi pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran;
menggunakan berbagai metode pembelajaran untuk membantu
terjadinya belajar seperti contoh dan latihan;
menggunakan unsur-unsur media yang tepat seperti visual dan
narasi untuk menunjang materi dan metode; dan
dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran terbimibing
(instructor-led synchronous learning) atau belajar mandiri (self-
paced individual study ascynchronous learning).31
Jadi, e-learning diartikan sebagai penggunaan jaringan
teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran.
Definisi ini menegaskan bahwa seting pembelajaran dalam e-learning
terjadi baik secara sinkronous maupun asinkronous yang dijembatani
oleh penggunaan jaringan teknologi informasi dan komunikasi tersebut.
Horton, mengaitkan e-learning dengan pengalaman belajar. Ia
mendefinisikan e-learning sebagai penggunaan teknologi informasi dan
komputer untuk menciptakan pengalaman belajar.32 Dengan demikian,
penciptaan pengalama belajar dalam konteks e-learning merupakan
fokus utama, ketimbang teknologi informasi dan komunikasi itu sendiri.
31 Clark, Colvin Ruth; and Mayer, E. Richard., e-Learning and the Science of Instruction:
Proven Guidelines for Consumers and Designers of Multimedia Learning (2nd Edition)
(San Fransisco, CA: John Wiley & Sons Inc., 2008) h. 10.
32 William Horton, e-Learning by Design (2nd Edition) (San Fransisco, CA: Pfeiffer: John
Wiley & Sons, Inc., 2012), h. 1.
Uwes
Anis
Chaerum
an
64. 49
49
Posisi terjadinya peristiwa belajar dengan bantuan teknologi elektronik,
menjadi sangat sentral.
Senada dengan Horton, Khan menjelaskan bahwa e-learning
dapat dipandang sebagai pendekatan inovatif dalam menyampaikan
pembelajaran yang telah dirancang dengan baik, berpusat pada
pemelajar, interaktif dan dapat memfasilitasi pembelajaran untuk siapa
saja, dimana saja dan kapan saja dengan memanfaatkan atribut-atribut
dan sumber dari beragam teknologi digital bersama dengan bahan ajar
lain yang tepat untuk lingkungan belajar yang bersifat terbuka,
terdistribusi dan fleksibel.33 Dalam hal ini, Khan menekankan bahwa
dengan e-learning memungkinkan pembelajaran terjadi kapan saja dan
dimana saja, tidak terikat oleh waktu dan tempat.
Mengacu pada beberapa definisi yang telah dikemukakan di
atas, dapat disimpulkan bahwa e-learning merupakan istilah yang
generik dan luas yang menjelaskan tentang penggunaan berbagai
teknologi elektronik untuk menyampaikan pembelajaran. Lebih
tepatnya, bukan hanya sekedar untuk menyampaikan pembelajaran,
tapi lebih jauh untuk menciptakan pengalaman belajar yang optimal.
Teknologi elektronik tersebut dapat berupa komputer, internet maupun
33 Badrul Khan, Managing e-Learning Strategies: Design, Delivery, Implementation and
Evaluation (Hershey, PA, USA: Idea Group Inc., 2005) h. 3
Uwes
Anis
Chaerum
an
65. 50
50
intranet serta teknologi elektronik lain seperti audio/radio, dan
video/televisi.
e-Learning sebagai penerapan teknologi elektronik untuk
menciptakan pengalaman belajar (pembelajaran), tidak dapat
dipandang sebagai sesuatu yang diskrit. Tapi, dalam prakteknya, e-
learning merupakan suatu kontinum. Rashty seperti dikutip Noirid,
mengklasifikasikan kontinum e-learning kedalam tiga kategori seperti
digambarkan sebagai berikut:34
Gambar 2.6.
Kontinum e-Learning
(Sumber: Rashty (1999) diadaptasi oleh Noirid (2007).
34 Noirid, S., “E-learning Models: A Review of Literature”. The 1st International Conference
on Educational Reform November 9-11, 2007, Mahasarakham University, Bangkok,
Thailand:, 2007, h. 3.
Adjunct Mixed/Blended
dd
Fully Online
Continuing tradisional
learning procceses, but
enhancing them or
extending them beyond
classroom hour with
online resources
particularly using
computer mediated
communication (CMC).
Becoming as integral
part of curricula. Mixing
delivery of content,
CMC, or online
collaboration with face
to face session.
Determining the
appropriateness of
online or face to face to
deliver different aspects
of curricula.
All elarning interactiosn
takes place online and all
learning materials
delivered online, e.g. CMS,
streaming video, audio
hyperlinked course
materials, text and
images.online
collaboration is the key
features of this model
Uwes
Anis
Chaerum
an
66. 51
51
Diagram tersebut di atas menggambarkan kontinum e-
learning mulai dari “adjunct”, “blended/mixed”, dan “fully online”.
Kategori adjunct adalah proses pembelajaran tradisional plus. Artinya
pembelajaran tradisional yang ditunjang dengan sistem penyampaian
secara online sebagai pengayaan. Keberadaan sistem penyampaian
secara online merupakan suatu tambahan. Contoh untuk menunjang
pembelajaran di kelas, seorang guru/dosen menugaskan
siswa/mahasiswanya untuk mencari informasi dari internet.
Sementara, kategori mixed/blended menempatkan sistem
penyampaian secara online sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
proses pembelajaran secara keseluruhan. Artinya baik proses tatap
muka maupun pembelajaran secara online merupakan satu kesatuan
utuh. Berbeda dengan model adjunct yang hanya menempatkan sistem
penyampaian online sebagai tambahan. Dalam model pembelajaran
blended, tentu saja masalah relevansi topik pelajaran mana yang dapat
dilakukan secara online dan mana yang dilakukan secara tatap muka
(tradisional) menjadi faktor pertimbangan penting dalam penyesuaian
dengan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, karakteristik siswa
maupun kondisi yang ada.
Lain halnya dengan kategori fully online, semua interaksi
pembelajaran dan penyampaian bahan belajar terjadi secara online.
Uwes
Anis
Chaerum
an
67. 52
52
Contoh, bahan belajar berupa video diunggah dan diterima via internet,
atau pembelajaran ditautkan (linked) melalui hyperlink ke sumber lain
yang berupa teks atau gambar. Ciri utama model ini adalah terjadinya
pembelajaran kolaboratif secara online. Tidak ada tatap muka sama
sekali.
Pada dasarnya, baik online penuh maupun pembelajaran
tatap muka memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Kelemahan pada online learning bisa diatasi oleh kelebihan pada
pembelajaran tatap muka. Begitu pula sebaliknya, kelemahan pada
tatap muka dapat diatasi oleh kelebihan online learning. Oleh karena
itu, khususnya di perguruan tinggi, penerapan pembelajaran blended
lebih tepat, mengingat kuliah tatap muka masih merupakan kewajiban.
2. Pembelajaran Blended
Pembelajaran blended (blended learning), secara umum
dipahami sebagai proses pembelajaran yang mengkombinasikan
antara pembelajaran tatap muka dan online. Thorne, menjelaskan
bahwa pembelajaran blended adalah suatu peluang upaya
mengintegrasikan kemajuan inovasi dan teknologi yang ditawarkan
secara online dengan interaksi dan partisipasi yang ditawarkan dalam
pembelajaran tradisional.35 Jadi, pada dasarnya keberadaan
35 Thorne, K., Blended learning : How to Integrate Online and Traditional Learning (London,
UK and USA: Kogan Page Limited, 2003), h. 16.
Uwes
Anis
Chaerum
an
68. 53
53
pembelajaran blended adalah merupakan respon terhadap keberadaan
kemajuan teknologi online dengan praktek terbaik pembelajaran
tradisional.
Watson menjelaskan menyatakan bahwa pembelajaran
blended adalah pembelajaran yang mengkombinasikan komponen
terbaik pembelajaran online dan pembelajaran tatap muka.36 Artinya,
pembelajaran blended adalah merupakan konvergensi antara
pembelajaran online dengan pembelajaran tatap muka. Hal senada
juga diungkapkan oleh Graham yang mendefinisikan pembelajaran
blended sebagai kombinasi pembelajaran dari dua model proses
belajar-mengajar yang secara historis berbeda, yaitu antara sistem
pembelajaran tradisional (tatap muka) dan sistem pembelajaran
terdistribusi (distributed learing system).37 Sistem pembelajaran
terdistribusi terjadi karena adanya pemanfaatan potensi yang luar biasa
dari teknologi elektronik, khususnya komputer dan internet sehingga
memungkinkan siapa saja dapat belajar kapan saja dan dimana saja.
Lebih jauh Bonk dan Graham menyatakan bahwa pembelajaran
36 Watson, J., Blended learning: Convergence between Online and Face-to-Face Education
(USA: North American Council for Online Learning, 2008), h. 4.
37 Graham, Charles R., Blended learning System: Definition, Current Trends and Future
Direction dalam Bonk, Curtis, J. and Graham, Charles, R., The Handbook of Blended
learning: Global Perspective, Local Design(San Fransisco, CA, USA: John Wiley and
Sons, Inc., 2006), h. 5.
Uwes
Anis
Chaerum
an
69. 54
54
blended pada dasarnya mengkombinasikan aspek positif dari dua jenis
lingkungan belajar yaitu pembelajaran di kelas dan e-learning.38
Begitu pula halnya menurut Garrison, Randy dan Norman
yang mendefinisikan pembelajaran blended sebagai penggabungan
(fusi) antara pengalaman belajar online dan tatap muka. Mereka
menjelaskan bahwa prinsip pembelajaran blended secara umum
adalah mengintegrasikan komuniksi oral yang terjadi pada
pembelajaran tatap muka dengan komunikasi tertulis pada
pembelajaran online sehingga kekuatan masing-masing dapat
dipadukan dengan tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
harus dicapai.39 Secara definisi, pembelajaran blended dapat dijelaskan
secara sederhana. Namun, dalam prakteknya, tidak demikian. Karena,
harus memilih dan menentukan strategi yang tepat diantara keduanya
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dziuban dan Moskal,
mengingatkan pentingnya makna belajar dalam merancang
pembelajaran blended. Pembelajaran blended harus menekankan
belajar dalam perencanaan atau perancangannya.40
38 Bonk, C., & Graham, C., the Handbook of Blended learning: Global Perspective, Local
Design (San Fransisco, California, USA: John Wiley and Sons, Inc., 2006), h. 16.
39 Randy D. Garrsion, and Norman D. Vaughan, Blended learning in Higher Education :
Framework, Principles, and Guidelines (San Francisco, CA: John Wiley & Sons. Inc.,
2008), h. 5.
40 Norberg, A; Dzibuan, C; & Moskal, P. (2011). “A Time Based Blended Learning Model”.
Horizon, 19(3): 207 – 2016. DOI: http://dx.doi.org/10.1108/10748121111163912
Uwes
Anis
Chaerum
an
70. 55
55
Artinya, tujuan pembelajaran yang berbeda, memerlukan
perpaduan strategi pembelajaran tatap muka dan pembelajaran online
yang berbeda.
Jadi, penjelasan di atas menegaskan bahwa dengan
pembelajaran blended kelemahan pada pembelajaran tatap muka
dapat diatasi dengan kelebihan pembelajaran online. Begitu pula
sebaliknya, kelemahan pembelajaran online dapat diatasi dengan
kelebihan pembelajaran tatap muka. Stein dan Graham menjelaskan
pembelajaran blended dengan perspektif yang kurang lebih sama.
Mereka menjelaskan pembelajaran blended sebagai kombinasi mata
kuliah tatap muka (onsite) dengan pengalaman belajar online untuk
menghasilkan pembelajaran yang efektif, efisien dan fleksibel.41
Khan, menjelaskan pembelajaran blended dari perspektif yang
lebih luas. Ia menyatakan bahwa pembelajaran blended merupakan
kombinasi strategi penyampaian materi yang tepat dalam format yang
tepat untuk orang yang tepat pada saat yang tepat. Pembelajaran
blended mengkombinasikan beragam media penyampaian yang
dirancang untuk saling melengkapi satu sama lain dan mendorong
terjadinya proses belajar yang optimal. Dengan demikian, dalam
mendesain pembelajaran blended, ketepatan pemilihan kombinasi
41 Stein, Jared; and Charles R. Graham, Essentials of Blended learning: a Standard-based
Guide (New York, USA: Routledge, 2014), h. 12.
Uwes
Anis
Chaerum
an
71. 56
56
media penyampaian baik dalam seting pembelajaran tradisional
maupun online menjadi penting untuk membuat suatu pembelajaran
menjadi optimal. Disamping itu, Khan menyatakan bahwa pembelajaran
blended meliputi kombinasi beragam aktivitas meliputi tatap muka
dalam kelas, live e-learning, dan belajar mandiri. Semuanya merupakan
kombinasi antara pembelajaran tradisional (dipandu oleh guru/dosen),
pembelajaran online secara sinkronous, belajar mandiri secara
asinkronous dan pembelajaran terstruktur yang didasarkan pada
pengalaman peserta belajar dan tutor. 42
Howard menjelaskan bahwa pembelajaran blended adalah
suatu istilah yang diperkenalkan oleh komunitas belajar jarak jauh
sebagai upaya memanfaatkan aktivitas belajar sinkronous, seperti
interaksi tatap muka dengan instruktur dan kerja kolaboratif dengan
teman sejawat sebagai komplemen aktivitas belajar asinkronous yang
dilakukan secara individu oleh peserta belajar.43 Hal senada
disampaikan pula oleh Psikurich yang menjelaskan bahwa
pembelajaran blended merupakan kombinasi komponen dari aspek
pembelajaran sinkronous dan asinkronous dengan tujuan tercapainya
42 Khan, opcit. H. 202.
43 Howard, L., Remenyi, Z., & Pap, G., "Adaptive Blended learning Environment”, 9th
International Conference on Engineering Education”, July 23 - 28, 2006, (Nashville, TN
37235: Vanderblit University, Institute for Software Integrated Systems, 2006), h. 1.
Uwes
Anis
Chaerum
an
72. 57
57
efektifitas belajar yang maksimum.44 Jadi, baik Khan, Howard dan
Psikurich mendefinisikan pembelajaran blended dari perspektif seting
pembelajaran sinkronous dan asinkronous. Intinya, pembelajaran
blended dapat dikatakan sebagai kombinasi antara pembelajaran
sinkronous yang terjadi pada saat dan bersamaan dan pembelajaran
asinkronous yang terjadi pada waktu dan tempat yang berbeda.
Hew dan Cheung menjelaskan pembelajaran blended sebagai
upaya meningkatkan interaksi antara sesame peserta belajar dan juga
peserta belajar dan tutor (dosen), bukan hanya sekedar rasio modalitas
belajar tatap muka dan online. Pembelajaran blended didefinisikan
sebagai pendekatan pedagogis yang mengkombinasikan kelebihan
pembelajaran tatap muka dengan kelebihan lingkungan belajar online
untuk meningkatkan interaksi antara peserta belajar dengan peserta
belajar lainnya, sebagaimana halnya dengan antara peserta belajar
dengan instruktur (tutor/dosen), dari pada hanya sekedar rasio
modalitas antar keduanya.45
Penjelasan di atas menujukkan pentingnya kombinasi (blend)
yang relevan dan tepat dalam merancang pembelajaran blended. Studi
terkini menujukkan beberapa rekomendasi terkait dengan hal tersebut.
Merancang pembelajaran blended bukanlah hal yang mudah. Oleh
44 Piskurich, opcit. h. 306
45 Hew, Khe Foon; and Cheung, Wing Sum, Using Blended learning: Evidence-based
Practice (Singapore, Heidelberg, New York, Dordrecht, London: Springer, 2014). h. 3
Uwes
Anis
Chaerum
an
73. 58
58
karena itu, perencanaan atau perancangan yang cermat sangat
penting.46 Sehingga, desainer pembelajaran blended harus memahami
bagaimana secara efektif mengintegrasikan pembelajaran online
dengan tatap muka.47 Stacey dan Gebric juga merekomendasikan hal
yang sama. Kombinasi pembelajaran blended harus didasarkan atas
pemahaman yang mendalam tentang kelebihan dan kelemahan
lingkungan belajar tatap muka dan online.48 Sehingga, desainer
pembelajaran blended harus menyadari keterbatasan pembelajaran
blended.49
Dengan demikian, dosen/instruktur memainkan peranan yang
snagat penting dalam merancang pembelajaran blended. Pengetahuan
dan kemampuan dalam mempertimbangkan kelebihan dan juga
keterbatasan pembelajaran blended menjadi sangat penting.50
Sehingga dosen dapat mengurangi transkasi jarak dengan memilih
teknologi pembelajaran yang relevan untuk meningkatkan interaksi
46 Bayram Güzer & Hamit Caner (2013), “The Past, Present and Future of Blended Learning:
an In Depth Analysis of Literature”, The 5th World Conference on Educational Sciences -
WCES 2013 . h. 9.
47 Jane Kenney & Ellen Newcombe, “Adopting a Blended Learning Approach: Challenges
Encountered and Lessons Learned in an Action Research Study”, Journal of Asynchronous
Learning Networks, Volume 15: Issue 1. DOI: http://dx.doi.org/10.24059/olj.v15i1.182
48 Stacey, E., & Gerbic, P. (2008). “Success Factors for Blended Learning”, Proceedings
ascilite, Melbourne 2008. h. 10.
49 Hadjerrouit, S. (2008). “Towards a Blended Learning Model for Teaching and Learning
Computer Programming: A Case Study”. Informatic in Education , 7 (2) 181-210)
50 Lim, C. P. (2004). “Engaging Learners in Online Learning Environments”. TechTrends , 48
(4), 22.
Uwes
Anis
Chaerum
an