Dokumen tersebut merangkum sejarah perkembangan hukum hak kekayaan intelektual di Indonesia, mulai dari masa kolonial Belanda hingga saat ini. Dokumen tersebut juga menjelaskan pengertian dan klasifikasi hak kekayaan intelektual serta prinsip-prinsip yang mendasarinya.
1. TUGAS MATA KULIAH HUKUM BISNIS
“HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN KEPAILITAN”
Disusun Oleh:
PROPANINGTYAS FEBRY WINDARDINI
NIM. 10 115 002
UNIVERSITAS GAJAYANA MALANG
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
2013
2. HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan
daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, karya tulis dan lain‐lain yang
berguna untuk manusia. Objek yang diatur dalam HKI (Hak Kekayaan Intelektual) adalah
karya‐karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Sistem HKI
merupakan hak privat (private rights) dan seseorang bebas untuk mengajukan
permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya. Hak eksklusif yang diberikan Negara
kepada Individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya). Tiada lain yang
dimaksud sebagai penghargaan atas hasil karya (kerativitas) agar orang lain terangsang
untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut
kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar. Disamping itu system HKI
menunjang diadakannya system dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas
manusia. Dengan dukungan dokumentasi ini, diharapkan masyarakat dapat
memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya untuk memberikan nilai
tambah yang lebih tinggi.
A. Sejarah Hak Kekayaan Intelektual
Dilihat secara historis, UU mengenai HKI pertama kali ada di Venice, Italia yang
menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat
sebagai penemu‐penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut, dan mempunyai
hak monopoli atas penemuan mereka.
Hukum‐hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di
Jaman TUDOR Tahun 1500 dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di
Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai UU paten
tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HKI pertama kali terjadi tahun 1883
dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain.
Kemudian Berne Convention (1886) untuk masalah atau hak cipta. Tujuan dari konvensi‐konvensi
tersebut antara lain: standarisasi, pembahasan masalah baru, tukar menukar
informasi, perlindungan minimum dan prosedur mendapatkan hak. Kedua konvensi itu
kemudian membentuk biro administratif bernama The United International Bureau for
the Protection of Intellectual Property yang kemudian dikenal dengan nama World
Intellectual Property Organization (WIPO). WIPO kemudian menjadi bahan administratif
khusus di bawah PBB yang menangani masalah HKI anggota PBB. Sebagai tambahan
pada tahun 2001 WIPO telah menetapkan tanggal 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan
Intelektual Sedunia.
Peraturan perundang‐undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun
1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan UU pertama mengenai
perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan
3. UU Merek tahun 1885, UU Paten tahun 1910, dan UU Hak Cipta tahun 1912. Indonesia
yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East‐Indies telah menjadi angota Paris
Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota Madrid
Convention dari tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne Convention for the
Protection of Literaty and Artistic Works sejak tahun 1914.
Pada zaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945, semua
peraturan perundang‐undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku. Pada tanggal 17
Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang‐undangan
peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan
dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU Merek tetap berlaku, namun tidak demikian
halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia.
Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten
dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun
pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang
berada di Belanda.
‐ Pada tahun 1953, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang
merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang Paten,
yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman no. J.S 5/41/4, yang mengatur tentang
pengajuan sementara permintaan Paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri
Kehakiman No. J.G 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara
permintaan paten luar negeri.
‐ Pada tanggal 11 Oktober 1961, Pemerintah RI mengundangkan UU No.21 tahun
1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan untuk mengganti UU
Merek Kolonial Belanda. UU No 21 Tahun 1961 mulai berlaku tanggal 11 November
1961. Penetapan UU Merek ini untuk melindungi masyarakat dari barang‐barang
tiruan/bajakan.
Pada tanggal 10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris Convention for the
Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967) berdasarkan keputusan
Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu
belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap
sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan Pasal 28 ayat 1.
‐ Pada tanggal 12 April 1982, Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang
Hak Cipta untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU
Hak Cipta tahun 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan,
penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni, dan sastra serta
mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa. Tahun 1986 dapat
disebut sebagai awal era modern sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986,
Presiden RI membentuk sebuah team khusus di bidang HKI melalui keputusan
No.34/1986 (Team ini dikenal dengan team Keppres 34). Tugas utama Tim Keppres
adalah mencakup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan
4. peraturan perundang‐undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan
intansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
Pada tanggal 19 September 1987, Pemerintah RI mengesahkan UU No.7 Tahun 1987
sebagai perubahan atas UU No. 12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
‐ Tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden RI No.32 ditetapkan pembentukan
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM) untuk mengambil alih
fungsi dan tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit
eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang‐Undangan,
Departemen Kehakiman.
‐ Pada tanggal 13 Oktober 1989, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang
Paten yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 1989 oleh Presiden RI
pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus
1991.
‐ Pada tanggal 28 Agustus 1992, Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 Tahun 1992
tentang Merek, yang mulai berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan UU Merek
tahun 1961.
‐ Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the
Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang
mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights (Persetujuan TRIPS).
‐ Tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang‐undangan di
bidang HKI, yaitu UU Hak Cipta 1987 menjadi UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989
dan UU Merek 1992.
‐ Akhir tahun 2000, disahkan tiga UU baru dibidang HKI yaitu: UU No. 30 tahun 2000
tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, dan UU No.
32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
‐ Untuk menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights) pemerintah Indonesia mengesahkan UU No
14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No 15 tahun 2001 tentang Merek, Kedua UU ini
menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002,
disahkan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang
lama dan berlaku efektif satu tahun sejak di undangkannya.
‐ Pada tahun 2000 pula disahkan UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan
Varietas Tanaman dan mulai berlaku efektif sejak tahun 2004.
B. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta
intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris “Intellectual Property
Right”. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah
5. kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human
Mind).
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif yang diberikan suatu
peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara
sederhana, HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih
rinci HAKI merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil)
dan berwujud.
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak
berwujud (seperti Paten, Merek, dan Hak Cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya
berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan
dan sebagainya yang tidak mempunyai bentuk tertentu.
C. Prinsip‐prinsip Hak Kekayaan Intelektual
1. Prinsip Ekonomi
Yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya pikir manusia
yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memberikan keuntungan
kepada pemilik yang bersangkutan.
2. Prinsip Keadilan
Yakni didalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja membuahkan
suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra
yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
3. Prinsip Kebudayaan
Berdasarkan prinsip ini, pengakuan atas kreasi karya sastra dari hasil ciptaan
manusia diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk
mendorong melahirkan ciptaan baru. Yakni perkembangan ilmu pengetahuan,
sastra, dan seni untuk meningkatkan kehidupan manusia. Selain itu, HAKI juga akan
memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa maupun negara.
4. Prinsip Sosial
Prinsip yang mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara, artinya hak
yang diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu
kesatuan sehingga perlindungan diberikan berdasarkan keseimbangan kepentingan
individu dan masyarakat.
D. Klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual
Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu hak cipta (copyright), dan hak kekayaan industri (industrial property right).
1. Hak Cipta
6. Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya. Termasuk ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.
Berdasarkan Undang‐Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta:
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin dengan
tidak mengurangi pembatasan‐pembatasan menurut peraturan perundang‐undangan
yang berlaku (Pasal 1 ayat 1). Hak cipta diberikan terhadap ciptaan dalam
ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta
hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta, yaitu “seorang atau beberapa
orang secara bersama‐sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan
pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau keahlian yang dituangkan dalam
bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.
a) Bentuk dan Lama Perlindungan
Bentuk perlindungan yang diberikan meliputi larangan bagi siapa saja untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang dilindungi tersebut kecuali
dengan seijin Pemegang Hak Cipta. Jangka waktu perlindungan Hak Cipta pada
umumnya berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima
puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia. Namun demikian, pasal 30 UU
Hak Cipta menyatakan bahwa hak cipta atas Ciptaan, yaitu program computer,
sinematografi, fotografi, database, dan karya hasil pengalih‐wujudan yang
berlaku 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
b) Pelanggaran dan Saksi
Dengan menyebut atau mencantumkan sumbernya tidak dianggap sebagai
pelanggaran hak cipta atas:
1) Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan
suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
Pencipta;
2) Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna
keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
3) Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna
keperluan: ceramah yang semata‐mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan; atau pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut
bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
Pencipta;
4) Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam
huruf braille guna keperluan para tunanetra;
5) Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas
dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan
7. umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi
yang non komersial semata‐mata untuk keperluan aktivitasnya;
6) Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis
atas karya arsitektur, seperti ciptaan bangunan;
7) Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik
program komputer yang dilakukan semata‐mata untuk digunakan sendiri.
c) Kedudukan Hak Cipta
Mengenai kedudukan hak cipta, sudah pula ditetapkan oleh Undang‐undang
Hak Cipta (UUHC), bahwa hak cipta dianggap sebagai benda bergerak
(Pasal 3 ayat 1). Sebagai benda bergerak, hak cipta dapat beralih atau dialihkan
baik seluruhnya maupun sebagian karena:
1) Pewarisan
2) Hibah
3) Wasiat
4) Dijadikan milik negara
5) Perjanjian
Khusus mengenai perjanjian, Pasal 3 ayat 2 harus dilakukan dengan akta,
dengan ketentuan bahwa perjanjian itu hanya mengenai wewenang yang ada
dalam akta tersebut. Pentingnya akta perjanjian itu adalah tidak lain
dimaksudkan untuk memudahkan pembuktian peralihan hak cipta apabila terjadi
persengketaan di kemudian hari.
d) Pendaftaran Hak Cipta
Ciptaan tidak kalah pentingnya dengan benda‐benda lain seperti tanah,
kendaraan bermotor, kapal, merk yang memerlukan pendaftaran. Perlindungan
suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk
yang nyata. Maksud dari pendaftaran itu sendiri adalah hanya semata‐mata
mengejar kebenaran prosedur formal saja, tetapi juga mempunyai tujuan untuk
mendapatkan pengukuhan hak cipta dan sebagai alat bukti awal di pengadilan
apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut.
Pendaftaran hak cipta yaitu di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Sifat pendaftaran ciptaan adalah bersifat kebolehan (fakultatip).
Artinya orang boleh juga tidak mendaftarkan. Apabila tidak mendaftarkan, tidak
ada sanksi hukumnya. Dengan sifat demikian, memang UUHC memberikan
kebebasan masyarakat untuk melakukan pendaftaran.
e) Hak dan Wewenang Menuntut
Penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan ke pihak lain tidak mengurangi hak
pencipta atau ahli waris untuk menuntut seseorang yang tanpa persetujuannya:
1) Meniadakan nama pencipta yang tercantum pada ciptaan itu;
2) Mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;
3) Mengganti/mengubah judul ciptaan;
8. 4) Mengubah isi ciptaan;
f) Dasar Hukum Hak Cipta
‐ UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
‐ UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun
1982 Nomor 15);
‐ UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42);
‐ UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran
Negara RI Tahun 1997 Nomor 29).
2. Hak Kekayaan Industri
Hak kekayaan industri (industrial property right) adalah hak yang mengatur segala
sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak kekayaan industry (industrial property right) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris
mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di
amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi:
a) Hak Paten
Berdasarkan Undang‐Undang Nomor 14 Tahun 2001:
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas
hasil invensinya di bidang teknologi yang selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1). Hak khusus yang diberikan negara
kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi untuk selama
waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan
persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 UU Paten).
Paten diberikan dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu
pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri. Di samping paten, dikenal
pula paten sederhana (utility models) yang hampir sama dengan paten, tetapi
memiliki syarat‐syarat perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten
sederhana di Indonesia diatur dalam UU Paten (UUP). Paten hanya diberikan
negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di
bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan
pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa: proses, hasil
produksi, penyempurnaan serta pengembangan proses dan hasil produksi.
Dasar Hukum Hak Paten:
‐ UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989
Nomor 39);
‐ UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989
tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30);
9. ‐ UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001
Nomor 109).
b) Hak Merek
Berdasarkan Undang‐Undang Nomor 15 Tahun 2001:
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf‐huruf, angka‐angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur‐unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa
(Pasal 1 Ayat 1). Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan
produk (barang dan atau jasa) tertentu dengan yang lainnya dalam rangka
memperlancar perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi produsen dan
konsumen.
Istilah‐istilah merk:
‐ Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama‐sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan barang‐barang sejenis
lainnya.
‐ Merek jasa yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama‐sama atau badan hukum
untuk membedakan dengan jasa‐jasa sejenis lainnya.
‐ Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan
karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau
badan hukum secara bersama‐sama untuk membedakan dengan barang
atau jasa sejenis lainnya.
‐ Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik
merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu
tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada
seseorang atau beberapa orang secara bersama‐sama atau badan hukum
untuk menggunakannya.
Dasar Hukum Hak Merek:
‐ UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992
Nomor 81);
‐ UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992
tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31);
‐ UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001
Nomor 110).
c) Desain Industri
Berdasarkan Undang‐Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri:
Desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi
garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang
berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan
dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai
10. untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan
tangan (Pasal 1 Ayat 1).
d) Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Denah rangkaian yaitu peta (plan) yang memperlihatkan letak dan interkoneksi
dari rangkaian komponen terpadu (integrated circuit), unsur yang
berkemampuan mengolah masukan arus listrik menjadi khas dalam arti arus,
tegangan, frekuensi, serta parameter fisik lainnya.
e) Rahasia Dagang
Menurut Undang‐Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang:
Rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang
teknologi dan atau bisnis yang mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam
kegiatan usaha dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
f) Varietas Tanaman
Perlindungan varietas tanaman (PVT) adalah hak khusus yang diberikan negara
kepada pemulia tanaman dan atau pemegang PVT atas varietas tanaman yang
dihasilkannya selama kurun waktu tertentu menggunakan sendiri varietas
tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang atau badan hukum lain
untuk menggunakannya.
g) Indikasi Geografi
Indikasi geografi adalah tanda yang menunjukkan asal suatu barang yang karena
faktor geografis (faktor alam atau faktor manusia dan kombinasi dari keduanya
telah memberikan ciri dari kualitas tertentu dari barang yang dihasilkan).
E. Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual
1. Undang‐undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the
World Trade Organization (WTO);
2. Undang‐undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan;
3. Undang‐undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta;
4. Undang‐undang Nomor 14/1997 tentang Merek;
5. Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the
Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual
Property Organization;
6. Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty;
7. Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the
Protection of Literary and Artistic Works;
8. Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty.
Berdasarkan peraturan‐peraturan tersebut maka Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
dapat dilaksanakan. Setiap individu/kelompok/organisasi yang memiliki hak atas
pemikiran‐pemikiran kreatif mereka atas suatu karya atau produk dapat diperoleh
dengan mendaftarkannya ke pihak yang melaksanakan. Dalam hal ini merupakan tugas
11. dari Direktorat Jenderal Hak‐hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan
Perundang‐undangan Republik Indonesia.
F. Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Kebutuhan negara Indonesia terhadap perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual
akhirnya memaksa Indonesia untuk mengadopsi peraturan‐peraturan terkait. Peraturan
yang terkait dengan HAKI digunakan secara resmi oleh Indonesia sejak 1994 lalu.
Peraturan tersebut terdapat pada UU Nomor 7 Tahun 1994 mengenai pengesahan
Agreement Establishing the World Trade Organization atau pengesahan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia. Tiga unsur penting yang menjadi bahasan dalam HAKI
adalah kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir manusia, kekayaan dan hak.
Manusia menjadi unsur terpenting dalam hal ini. Tentu saja karena tidak ada sebuah
karya jika tidak ada manusia yang berpikir. Indonesia sebenarnya sudah lama mengenal
istilah yang berkenaan dengan permasalahan hak intelektual manusia. Saat itu, HAKI
dikenal dengan istilah HMI atau Hak Milik Intelektual. Pada perkembangannya, istilah
HMI kembali mengalami perubahan nama sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman
menjadi HKI atau Hak Kekayaan Intelektual. Berdasarkan ranah hukum, pelanggaran
terhadap hak intelektual menjadi materi bahasan dalam hukum perdata. Hukum perdata
yang berkaitan dengan kekayaan intelektual, meliputi hukum pribadi, hukum keluarga,
dan hak waris. Pemerintah Indonesia pun telah mengatur permasalahan pelanggaran
terhadap hak intelektual dalam beberapa undang‐undang.
G. Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual
1. Pengaturan HKI di Dunia Internasional
Indonesia terlibat dalam perjanjian‐perjanjian internasional di bidang HKI. Pada
tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade Organization)
dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Estabilishing the World
Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Salah satu bagian penting dari Persetujuan WTO adalah Agreement on Trade
Related Aspects of intellectual Property Rigets Including Trade in Counterfeit Goods
(TRIP’s). Sejalan dengan TRIP’s, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi
konvensi‐konvensi internasional di bidang HKI, yaitu:
a) Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention
Estabilishing the World intellectual Property Organizations dengan Keppres No.
15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979;
b) Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT dengan Keppres
No. 16Tahun 1997;
c) Trademark Law Treaty (TLT) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
12. d) Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works tanggal 7 Mei
1997 dengan Keppres No. 18 Tahun 1997 dan dinotifikasikan ke WIPO tanggal 5
Juni 1997, Berne Convention tersebut mulai berlaku efektif di Indonesia pada
tanggal 5 September 1997;
e) WIPO Copyright Treaty (WCT) dengan Keppres No. 19 Tahun 1997.
Memasuki milenium baru, HKI menjadi isu yang sangat penting yang selalu
mendapat perhatian baik dalam forum nasional maupun internasional.
Dimasukkannya TRIP’s dalam paket Persetujuan WTO di tahun 1994 menandakan
dimulainya era baru perkembangan HKI di seluruh dunia. Dengan demikian pada
saat ini permasalahan HKI tidak dapat dilepaskan dari dunia perdagangan dan
investasi. Pentingnya HKI dalam pembangunan ekonomi dan perdagangan telah
memacu dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang berdasarkan ilmu
pengetahuan.
2. Pengaturan HKI di Indonesia
Di tingkat nasional, pengaturan HKI secara pokok (dalam UU) dapat dikatakan
telah lengkap dan memadai. Lengkap, karena menjangkau ke‐tujuh jenis HKI.
Memadai, karena dalam kaitannya dengan kondisi dan kebutuhan nasional dengan
beberapa catatan, tingkat pengaturan tersebut secara substantif setidaknya telah
memenuhi syarat minimal yang “dipatok” di Perjanjian Internasional yang pokok di
bidang HKI.
Sejalan dengan masuknya Indonesia sebagai anggota WTO/TRIP’s dan
diratifikasinya beberapa konvensi internasional di bidang HKI sebagaimana
dijelaskan pada pengaturan HKI di internasional tersebut di atas, maka Indonesia
harus menyelaraskan peraturan perundang‐undangan di bidang HKI. Untuk itu,
pada tahun 1997 Pemerintah merevisi kembali beberapa peraturan perundangan di
bidang HKI, dengan mengundangkan:
a) Undang‐undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang‐undang
No. 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan Undang‐undang No. 7
Tahun 1987 tentang Hak Cipta;
b) Undang‐undang No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang‐undang
No. 6 Tahun 1989 tentang Paten;
c) Undang‐undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang‐undang
No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
Selain ketiga undang‐undang tersebut di atas, UU HKI yang menyangkut ke‐tujuh
HKI antara lain:
a) Undang‐undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
b) Undang‐undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten;
c) Undang‐undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merk;
d) Undang‐undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
e) Undang‐undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
13. f) Undang‐undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
g) Undang‐undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
Dengan pertimbangan masih perlu dilakukan penyempurnaan terhadap UU tentang
hak cipta, paten, dan merek yang diundangkan tahun 1997, maka ketiga UU
tersebut telah direvisi kembali pada tahun 2001. Selanjutnya telah diundangkan:
a) Undang‐undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten;
b) Undang‐undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;
H. Pelaksanaan Hak Kekayaan Intelektual di Masa Sekarang
Peraturan perundangan yang berlaku sangat banyak, tetapi melihat
pelaksanaannya sekarang ini makin banyak pelanggaran‐pelanggaran. Umumnya
pelanggaran hak cipta didorong untuk mencari keuntungan finansial secara cepat
dengan mengabaikan kepentingan para pencipta dan pemegang izin hak cipta. Hal ini
bisa dibuktikan dengan semakin maraknya pembajakan‐pembajakan hasil karya ciptaan
seseorang. Sebagai contoh yang lebih konkret yaitu pembajakan kaset‐kaset VCD.
Faktor‐faktor yang mempengaruhi warga masyarakat untuk melanggar HKI, yaitu:
1. Dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keuntungan yang
sebesar‐besarnya dari pelanggaran tersebut;
2. Para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan
selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang
dilakukan oleh para penegak hukum;
3. Dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak
perlu dibayar kepada pemerintah;
4. Masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu
(aspal) yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan
kemampuan ekonomi.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kedaulatan hukum, namun dalam
menegakkan hukum harus mendapat kontrol dan tekanan dari negara asing. Tidak
mengherankan apabila penegakan hukum di negeri ini tidak dapat dilakukan secara
konsisten. Salah satu contoh nyata adalah pada saat mulai diberlakukannya UU No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta pada tanggal 29 Juli 2003, hampir seluruh pedagang CD,
VCD dan DVD bajakan tidak tampak di pinggir jalan. Namun beberapa minggu kemudian,
sedikit demi sedikit para pedagang tersebut mulai tampak menggelar kembali barang
dagangannya, dan hingga sampai saat ini mereka dengan sangat leluasa dan terang‐terangan
berani menjual barang dagangannya di tempat keramaian. Kondisi ini semakin
diperburuk dengan tindakan para aparat penegak hukum yang hanya melakukan razia
terhadap para pedagang tetapi tidak terhadap sumber produk bajakan tersebut,
sehingga produksi barang bajakan terus berlanjut. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah belum secara tuntas menyelesaikan masalah pembajakan. Oleh karena itu
masih terdapat produsen yang memproduksi barang bajakan tersebut yang belum
14. tersentuh oleh aparat penegak hukum. Jika memang niat pemerintah adalah untuk
memberantas praktek pembajakan, maka tanpa pengenaan cukai terhadap produksi
rekaman pun sebenarnya hal tersebut sudah dapat dilakukan sejak belakunya UU No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Namun dalam kenyataannya, praktek perdagangan
barang ilegal tersebut bukan semakin berkurang, malahan semakin marak
diperdagangkan di kaki lima.
Contoh‐contoh lain mengenai pelanggaran HKI yaitu:
1. Jakarta Tahun 2009 mencatat hasil kurang menggembirakan untuk urusan
pembajakan software di Indonesia. Dari hasil riset yang dikeluarkan IDC terungkap
bahwa aktivitas pembajakan software di Tanah Air justru kian melonjak. Dari riset
itu Indonesia ditempatkan di posisi ke‐12 sebagai negara dengan tingkat
pembajakan software terbesar di dunia.
2. Pelanggaran yang merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan
yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan
keamanan.
3. Pelanggaran yang bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya
memperbanyak dan menjual Video Compact Disc (VCD) porno.
4. Melanggar perjanjian (memenuhi kewajiban tidak sesuai dengan isi kesepakatan
yang telah disetujui oleh kedua belah pihak), misalnya dalam perjanjian penerbitan
karya cipta disetujui untuk dicetak sebanyak 2.000 eksemplar, tetapi yang
dicetak/diedarkan di pasar adalah 4.000 eksemplar. Pembayaran royalti kepada
pencipta didasarkan pada perjanjian penerbitan, yaitu 2.000 eksemplar bukan 4.000
eksemplar. Dan ini sangat merugikan bagi pencipta.
15. KEPAILITAN
Peraturan mengenai kepailitan telah ada sejak masa lampau, dimana para kreditor
menggunakan pailit untuk mengancam debitor agar segera melunasi hutangnya. Semakin
pesatnya perkembangan ekonomi menimbulkan semakin banyaknya permasalahan utang‐piutang
di masyarakat. Di Indonesia, peraturan mengenai kepailitan telah ada sejak tahun
1905. Saat ini, Undang‐Undang yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
kepailitan adalah Undang‐Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”).
A. Sejarah Peraturan Perundangan Kepailitan
Sejarah perundang‐undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100
tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissement en
Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam
Staatblads (1905) No. 217 dan Staatblads (1906) No. 348 Faillissementsverordening.
Dalam tahun 1960an, 1970an secara relatif masih banyak perkara kepailitan yang
diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980an hampir
tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Negeri. Tahun 1997 krisis
moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih,
sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara
memperbaiki perundang‐undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.
Pada tanggal 20 April 1998, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang‐Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas UU tentang
Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi UU,
yaitu UU No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998
tentang perubahan atas Undang‐Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135).
Undang‐Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan
kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217
juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.
Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan
oleh DPR dengan mengundangkan Undang‐Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka
tiba‐tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 dan S. 1906
No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup
kembali. Sejak itu, pengajuan permohonan‐permohonan pernyataan pailit mulai
mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan
mengenai perkara kepailitan.
16. B. Pengertian Kepailitan
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai
kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam
hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.
Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan
pemerintah yang berlaku. Dari sudut sejarah hukum, UU kepailitan pada mulanya
bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti
untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.
Tujuan utama kepailitan adalah adalah untuk melakukan pembagian antara para
kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya
dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada
semua kreditur sesuai dengan hak masing‐masing.
C. Lembaga Kepailitan
Pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para
pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar.
Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:
1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak
akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang‐hutangnya
kepada semua kreditur.
2. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur
terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur‐krediturnya. Jadi keberadaan
ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya
hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
D. Pihak Pengajuan Pailit
1. Atas permohonan debitur sendiri;
2. Atas permintaan seorang atau lebih kreditur;
3. Kejaksaan atas kepentingan umum;
4. Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank;
5. Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
Syarat yuridis pengajuan pailit:
1. Adanya hutang;
2. Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;
3. Adanya debitur dan kreditur (lebih dari satu kreditur);
4. Permohonan pernyataan pailit;
17. 5. Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga.
E. Langkah‐langkah Proses Kepailitan
1. Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU No. 4 Tahun
1998.
2. Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit sampai
keputusan pailit berkekuatan tetap adalah 90 hari.
3. Rapat verifikasi adalah rapat pendaftaran utang piutang, pada langkah ini dilakukan
pendataan berupa jumlah utang dan piutang yang dimiliki oleh debitur. Verifikasi
utang merupakan tahap yang paling penting dalam kepailitan karena akan
ditentukan urutan pertimbangan hak dari masing‐masing kreditur.
4. Perdamaian yang diterima maka proses kepailitan berakhir, jika tidak maka akan
dilanjutkan ke proses selanjutnya. Proses perdamaian selalu diupayakan dan
diagendakan.
5. Homologasi akur yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika proses
perdamaian diterima.
6. Insolvensi yaitu suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar‐benar tidak
mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlah dengan
hutangnya.
7. Pemberesan/likuidasi yaitu penjualan harta kekayaan debitur pailit, yang dibagikan
kepada kreditur (konkruen), setelah dikurangi biaya‐biaya.
8. Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi dengan
catatan jika proses perdamaian diterima, karena jika perdamaian ditolak maka
rehabilitasi tidak ada.
F. Akibat Hukum Pernyataan Pailit
Pernyataan pailit mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung
sejak pernyataan putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum
untuk mengurus kekayaannya, maka oleh UU Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung
sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, kurator berwenang melaksanakan
tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan
dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.
Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan
pailit adalah bahwa debitur tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang
dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan
debitur pailit tersebut adalah KURATOR. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang
18. kurator, pengadilan menunjuk seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan
proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit).
Setiap kreditur (perorangan atau perusahaan) berhak mempailitkan debiturnya
(perorangan atau perusahaan) jika telah memenuhi syarat yang diatur dalam UUK,
sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Dikecualikan oleh UU Kepailitan adalah Bank
dan Perusahaan Efek. Bank hanya bisa dimohonkan pailitkan oleh Bank Indonesia,
sedangkan Perusahaan Efek hanya bisa dipailitkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal
(Bapepam). Bank dan Perusahaan Efek hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, hal
ini didasarkan pada satu alasan bahwa kedua institusi tersebut melibatkan banyak uang
masyarakat, sehingga jika setiap kreditur bisa mempailitkan. Hal tersebut akan
mengganggu jaminan kepastian bagi para nasabah dan pemegang saham.
G. Kurator, PKPU dan Pengadilan Niaga
1. Kurator
a. Kewenangan Kurator
Kepailitan suatu perseroan terbatas berakibat hilangnya kekuasaan dan
kewenangan seluruh organ‐organ perseroan atas harta kekayaan perseroan
tersebut. Organ‐organ perseroan seperti RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris
menjadi tidak berwenanang untuk melakukan tindakan‐tindakan kepengurusan
harta, dan kedudukannya digantikan oleh kurator. Sebagai contoh, Pasal 67 (2)
UU Kepailitan menegaskan bahwa dalam melakukan tugasnya kurator tidak
memerlukan persetujuan dari organ debitur/perseroan pailit, walaupun di luar
kepailitan persetujuan tersebut disyaratkan.
Organ‐organ itu tetap berwenang selama tidak ada akibatnya atas harta
pailit. Jika kita mengkaji kepailitan atas perseorangan dan bukan perseroan
terbatas, maka debitur pailit dapat tetap hidup, bersosialisasi, bahkan dapat
bekerja dan menghasilkan uang untuk harta pailit. Namun, untuk perseroan
terbatas memang sulit sekali ditarik garis yang jelas, karena sebagai badan usaha
yang bertujuan mencari keuntungan, maka seluruh tindakan yang diambil
organ‐organ tersebut adalah untuk mendapatkan keuntungan. Namun baiklah
untuk kepentingan diskusi ini kita anggap saja organ perseroan tetap
berwenang. Akibatnya, kurator tidak dapat mengambil alih kewenangan
tersebut, termasuk mengadakan RUPS, dan sebagainya.
b. Tugas Kurator
Tugas seorang kurator dan pengurus dalam kepailitan tersebar dalam pasal‐pasal
di Undang‐undang Kepailitan (UUK). Namun tugas kurator dan pengurus
yang paling fundamental (sebagaimana diatur dalam ps. 67(1) UUK), adalah
untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam melakukan
tugas ini kurator maupun pengurus memiliki satu visi utama, yaitu mengambil
keputusan yang terbaik untuk memaksimalisasikan nilai harta pailit. Lebih jauh
19. lagi tugas kurator pengurus dapat dilihat pada job description dari kurator
pengurus, karena setidaknya ada 3 jenis penugasan yang dapat diberikan
kepada kurator pengurus dalam hal proses kepailitan, yaitu:
1) Sebagai Kurator Sementara
Kurator sementara ditunjuk dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan
debitur melakukan tindakan yang mungkin dapat merugikan hartanya,
selama jalannya proses beracara pada pengadilan sebelum debitur
dinyatakan pailit. Tugas utama kurator sementara adalah untuk:
a) Mengawasi pengelolaan usaha debitur;
b) Mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan
kekayaan debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan kurator
(UUK pasal 7).
Secara umum tugas kurator sementara tidak banyak berbeda dengan
pengurus, namun karena pertimbangan keterbatasan kewenangan dan
efektivitas yang ada pada kurator sementara.
2) Sebagai Pengurus
Pengurus ditunjuk dalam hal adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU). Tugas pengurus hanya sebatas menyelenggarakan
pengadministrasian proses PKPU, seperti misalnya melakukan
pengumuman, mengundang rapat‐rapat kreditur, ditambah dengan
pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan usaha yang dilakukan oleh
debitur dengan tujuan agar debitur tidak melakukan hal‐hal yang mungkin
dapat merugikan hartanya. Perlu diketahui bahwa dalam PKPU debitur
masih memiliki kewenangan untuk mengurus hartanya sehingga
kewenangan pengurus sebatas hanya mengawasi belaka.
3) Sebagai Kurator
Kurator ditunjuk pada saat debitur dinyatakan pailit, sebagai akibat dari
keadaan pailit, maka debitur kehilangan hak untuk mengurus harta
kekayaannya. Oleh karena itu kewenangan pengelolaan harta pailit jatuh ke
tangan kurator.
Dari berbagai jenis tugas bagi kurator dalam melakukan pengurusan dan
pemberesan, maka dapat disarikan bahwa kurator memiliki beberapa tugas
utama, yaitu:
a) Tugas Administratif
Dalam kapasitas administratifnya, kurator bertugas untuk
mengadministrasikan proses‐proses yang terjadi dalam kepailitan, misalnya
melakukan pengumuman (UUK pasal 13 ayat 4); mengundang rapat‐rapat
kreditur; mengamankan harta kekayaan debitur pailit; melakukan
inventarisasi harta pailit (UUK pasal 91); serta membuat laporan rutin
kepada hakim pengawas (UUK pasal 70 B ayat 1).
20. Dalam menjalankan kapasitas administratifnya, kurator memiliki
kewenangan antara lain: kewenangan untuk melakukan upaya paksa seperti
paksa badan (UUK pasal 84 ayat 1); melakukan penyegelan (UUK pasal 90
ayat 1).
b) Tugas Mengurus/Mengelola Harta Pailit
Selama proses kepailitan belum sampai pada keadaan insolvensi (pailit),
maka kurator dapat melanjutkan pengelolaan usaha‐usaha debitur pailit
sebagaimana layaknya organ perseroan (direksi) atas ijin rapat kreditur (UUK
pasal 95 ayat 1). Pengelolaan hanya dapat dilakukan apabila debitur pailit
masih memiliki suatu usaha yang masih berjalan. Kewenangan yang
diberikan dalam menjalankan pengelolaan ini termasuk diantaranya:
‐ Kewenangan untuk membuka seluruh korespondensi yang ditujukan
kepada debitur pailit (UUK pasal 14 dan 96);
‐ Kewenangan untuk meminjam dana pihak ketiga dengan dijamin dengan
harta pailit yang belum dibebani demi kelangsungan usaha (UUK pasal
67 ayat 3 dan 4);
‐ Kewenangan khusus untuk mengakhiri sewa, memutuskan hubungan
kerja, dan perjanjian lainnya.
c) Tugas Melakukan Penjualan‐Pemberesan
Tugas yang paling utama bagi kurator adalah untuk melakukan pemberesan.
Maksudnya pemberesan di sini adalah suatu keadaan dimana kurator
melakukan pembayaran kepada para kreditor konkuren dari hasil penjualan
harta pailit.
2. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
PKPU diatur pada BAB II UU Kepailitan, tepatnya pasal 212 sampai pasal 279
Undang‐Undang Kepailitan.Kedudukan dari PKPU adalah bahwa PKPU tidak dapat
disejajarkan dengan instrumen kepailitan, atau sebagai sesuatu yang bersifat
alternatif dari prosedur kepailitan.
PKPU adalah prosedur hukum (atau upaya hukum) yang memberikan hak
kepada setiap Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan
dapat melanjutkan membayar utang‐utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud
pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran
pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren (pasal 212 UU
Kepailitan).
PKPU dapat diajukan secara sukarela oleh debitur yang telah memperkirakan
bahwa ia tidak akan dapat membayar utang‐utangnya, maupun sebagai upaya
hukum terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh krediturnya. PKPU sendiri
terbagi 2 bagian, yaitu: tahap pertama adalah PKPU Sementara; tahap kedua adalah
21. PKPU Tetap. Berdasarkan Pasal 214 ayat (2) UU Kepailitan Pengadilan niaga HARUS
mengabulkan permohonan PKPU Sementara.
PKPU sementara diberikan untuk jangka waktu maksimum 45 hari, sebelum
diselenggarakan rapat kreditur yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan
kepada debitur untuk mempresentasikan rencana perdamaian yang diajukannya.
PKPU Tetap diberikan untuk jangka waktu maksimum 270 hari, apabila pada hari ke
45 atau rapat kreditur tersebut, belum dapat memberikan suara mereka terhadap
rencana tersebut (pasal 217 (3) UUK).
Prinsip ini jelas berbeda dengan kepailitan, prinsip dasarnya adalah untuk
memperoleh pelunasan secara proporsional dari utang‐utang debitur. Meskipun
pada prinsipnya kepailitan masih membuka pintu menuju perdamaian dalam
kepailitan. Namun cukup jelas bahwa kepailitan dan PKPU adalah dua hal yang
berbeda, dan oleh karenanya tidak pada tempatnya untuk membandingkan secara
kuantitatif kedua hal tersebut.
3. Pengadilan Niaga
Merupakan lembaga yang berhak memutus pernyataan pailit dan penundaan
kewajiban pembayaran utang. Pengadilan Niaga yang berada di Peradilan Umum
yang untuk pertama kalinya dibentuk oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hukum
Acara yang digunakan adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan
Umum. Putusan Pengadilan Niaga dapat diajukan upaya hukum lain setelah
memiliki kekuatan hukum tetap yaitu melalui PK (Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung) dengan syarat:
a. Terdapat bukti tertulis baru;
b. Pengadilan Niaga telah melakukan kesalahan berat dalam penetapan hukumnya
(dengan jangka awaktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal
permohonan diterima Panitera MA).