SlideShare a Scribd company logo
1 of 68
Download to read offline
0
KARYA TULIS PRESTASI PERSEORANGAN
Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui
Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan
Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional
di Bidang Administrasi Negara
DISUSUN OLEH:
NAMA : TRI WIDODO WAHYU UTOMO
NDH : 12
ASAL INSTANSI : LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT I, ANGKATAN XXV
JAKARTA, 2013
i
Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui
Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan
Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional
di Bidang Administrasi Negara
Disusun Oleh:
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
NDH: 12
Disahkan
Jakarta, Mei 2013
Oleh Penguji:
( Sri Hadiati WK., SH.,MBA ) ( Sunari Sarwono, MA )
Penguji I Penguji II
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT I, ANGKATAN XXV
JAKARTA, 2013
LEMBAR PENGESAHAN
ii
Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui
Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan
Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional
di Bidang Administrasi Negara
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
NDH: 12
Disetujui untuk diseminarkan
Jakarta, Mei 2013
(DR. IR. TJUK SUKARDIMAN, M.SI)
Pembimbing
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT I, ANGKATAN XXV
JAKARTA, 2013
LEMBAR PERSETUJUAN PENYAJIAN
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Deputi III bidang Penelitian dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomasi
Administrasi Negara (Litbang APOAN) memiliki tugas untuk melaksanakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan administrasi pembangunan dan
otomasi administrasi negara. Dalam menjalankan tugasnya ini, Deputi III masih menghadapi
kendala baik internal maupun eksternal. Meskipun demikian, Deputi III memiliki komitmen
penuh untuk terus menerus meningkatkan kualitas proses dan hasil kajian, termasuk
kemanfaatan bagi seluruh stakeholder.
Sehubungan dengan hal tersebut, KPT-2 ini ingin menganalisis permasalahan dan
menghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan dan
kebijakan nasional di bidang administrasi negara melalui peningkatan peran Deputi III. Dengan
demikian, tujuan dari KTP-2 ini adalah Untuk mengenali dan menguraikan situasi problematik
yang dihadapi LAN secara umum dan Deputi III secara khusus dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya, untuk kemudian dianalisis dengan teknik tertentu (soft system methodology atau
scenario planning), sehingga dapat dihasilkan gambaran keadaan masa depan, strategi, dan
langkah-langkah kebijakan untuk memperbaiki situasi yang berkembang dewasa ini.
Dari analisis yang dilakukan ditemukan adanya 14 (empat belas) situasi problematik yang
berhubungan dengan pelaksanaan tugas Deputi III sehingga cita-cita mewujudkan sistem
perundang-undangan/kebijakan yang berkualitas belum dapat diwijudkan secara optimal. Dari
ke-14 kemudian dikelompokkan menjadi 5 (lima) issu yakni issu institusional, networking,
mindset, partisipasi masyarakat, dan kajian/litbang administrasi negara, sebagaimana
digambarkan dalam rich picture. Setelah dirumuskan conceptual model-nya dan dibandingkan
dengan real world, maka dapat diidentifikasikan 3 (tiga) perubahan yang sangat diinginkan,
yakni perubahan pada level mikro, level messo, dan level makro.
Pada level mikro, transformasi atau perubahan yang diinginkan adalah meningkatnya kualitas
produk dan manajemen kajian Hukum Adminstrasi Negara; pada level messo adalah
menguatnya peran LAN dalam membangun evidence-based research untuk mewujudkan
evidence-based policy atau research-based policy; sedangkan pada level makro adalah
meningkatnya kualitas peraturan perrundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang
administrasi negara.
Selanjutnya analisis scenario planning telah menghasilkan 11 (sebelas) variabel atau driving
forces yang mempengaruhi upaya untuk mewujudkan kualitas peraturan perundang-undangan/
kebijakan nasional di bidang administrasi negara pada masa mendatang, tepatnya 2025.
Setelah dilakukan analisis keterkaitan antar driving forces dengan teknik non-linier
menggunakan CLD, ditemukan 2 (dua) driving forces yang paling berpengaruh yakni tingkat
egoisme sektoral yang masih tinggi, tingkat dukungan kajian yang masih rendah terhadap
perumusan kebijakan.kedua leverage inilah yang digunakan untuk menyusun skenario.
Dari ciri-ciri kutub kedua leverage tersebut dan kombinas sumbu positif dan negatif, telah
ditemukan 4 (empat) skenario dengan karakeristik berbeda-beda. Untuk memudahkan
pemahaman, maka setiap skenario diberi nama sebagai metafora skenario sebagai berikut:
iv
1. Skenario 1 (kuadran 1): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana;
2. Skenario 2 (kuadran 2): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Laksamana;
3. Skenario 3 (kuadran 3): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Kumbakarna;
4. Skenario 4 (kuadran 4): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Rahwana/Dasamuka,
Dari keempat skenario diatas, maka rekomendasi kebijakan yang dipilih adalah Skenario 1,
yakni Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana, dengan harapan dapat memperbaiki
situasi pada 3 (tiga) kuadran lainnya.
Dan agar cita-cita membangun sistem kebijakan/peratuan yang berkualitas unggul pada tahun
2025 dapat terstruktur dalam kerangka pemikiran jangka panjang, jangka menengah, dan
jangka pendek/tahunan, maka KTP-2 ini telah menuangkan dalam logika perencanaan
strategis, paling tidak komponen-komponen utamanya. Dalam kaitan ini, telah dirumuskan
pernyataan Visi, Misi, Nilai-Nilai Organsiasi (Values), serta Tujuan dan Sasaran sebagai strategi
implementasi untuk mewujudkan cita-cita diatas.
v
KATA PENGANTAR
“Kasih sayang dan pertolongan Allah selalu lebih besar dari pada hambatan dan
cobaan yang membentang”. Atas dasar keyakinan seperti itulah, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP-2), sebagai kelengkapan administratif
dan akademis dan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam Diklat Kepemimpinan Tingkat I
Angkatan XXV ini. Untuk itu, rasa syukur tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah Sang
Maha Pemurah dan Maha Berilmu, yang telah memberi setitik kemampuan bagi penulis untuk
berpikir, menyodorkan kosep, kemudian merajutnya dalam tulisan sederhana ini.
Selain sebagai syarat kelulusan mengikuti Diklatpim, KTP-2 ini tentu bukan hanya
formalitas belaka, itulah sebabnya, penulis mencoba semaksimal mungkin berdasarkan
kemampuan penulis untuk membuat karya ini lebih berarti, baik bagi diri pribadi penulis, tempat
kerja dan tempat mengabdi penulis di LAN-RI, serta bagi khalayak birokrat dan intelektual, serta
bagi bangsa negara Indonesia secara keseluruhan. Ide, konsep, maupun pemikiran rinci dari
karya tulis ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.
Terselesaikannya KTP-2 ini tentu bukan hasil “keringat” penulis sendiri. Ini adalah
sintesa kasat mata maupun transendental dari berbagai pihak terkait yang memungkinkan
“takdir” ini terjadi. Oleh karenanya, wajib bagi penulis mempersembahkan rasa terima kasih
yang tulus kepada Bapak Kepala LAN, Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA yang telah menugaskan
dan memberi kepercayaan yang besar kepada penulis untuk mengikuti Diklatpim Tingkat I
Angkatan XXV. Atas dasar kepercayaan itu pulalah, penulis mencoba untuk tidak
mengecewakan selama menjalankan kewajiban selaku peserta. Terima kasih juga penulis
haturkan kepada Bapak Deputi III, Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc, atasan langsung penulis,
yang telah memberi dukungan moril dan selalu menjadi mentor yang baik bagi penulis.
Demkian pula untuk para peneliti dan staf Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara, penulis
menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya. Tanpa keberadaan Kapusnya di tempat,
ternyata tidak menyurutkan semangat untuk mengukir preastasi dan kinerja terbaik.
Kepada para penyelenggara Diklatpim I, dari Bapak Deputi Spimnas Bidang
Kepemimpinan, Prof. Dr. Ismail Sai, SH.,MH., Kapusdiklat Spimnas Bidang Kepemimpinan,
Dra. Reni Suzana, MPPM, hingga pada tenaga administrasi yang telah memberikan pelayanan
siang malam dengan setulus hari, pak Parlan, mas Haris, mas Ari Noviono, mas Bambang
Setyo, dan lain-lain yang tidak dapat disebut satu-persatu, penulis ucapkan terima kasih,
vi
dengan disertai doa semoga pengabdian bapak/ibu semua menjadi amal jariyah yang dibalas
dengan pahala tidak pernah terputus dari Allah SWT.
Kepada seluruh rekan-rekan peserta yang telah menjadikan waktu 11 minggu tidak
terasa lama dan penuh dengan aura positif, penulis sampaikan terima kasih, semoga
kebersamaan dan jalinan kekeluargaan yang telah terpatri dapat terus kita pelihara di hari-hari
mendatang. Tidak lupa pula kepada seluruh Tim Widyaiswara yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu, khususnya kepada pembimbing KTP-2, Bapak Dr. Ir. Tjuk Sukardiman,
M.Si., penulis menghaturkan jutaan terima kasih atas segala ilmu yang dicurahkan, kesabaran
yang terus ditebarkan, serta kebijaksanaan (wisdom) yang diteladankan kepada seluruh
peserta.
Terakhir, untuk istri penulis tersayang, R. Kania Bratadiredja, dan anak-anak penulis
Teteh Syifa, Mbak Rara, Kakak Tria, Kang Mizan, dan Adik Nizam, karya tulis ini adalah
persembahan dan wujud dedikasi penulis untuk keluarga. Meskipun Kakak Tria, Kang Mizan,
dan Adik Nizam sakit-sakitan dalam 3 minggu terakhir, namun cinta yang terpancar dan
sentuhan-sentuhan kejiwaan dari istri dan kelima anak penulis jauh lebih besar dan membuat
penulis mampu menyelesaikan KTP-2 ini meski terpaksa agak terhambat dan tersendat.
Semoga Allah ar Rahman ar Rahiem al Kariem senantiasa melimpahkan segala kebaikan dan
keberkahan dari segala penjuru langit dan bumi untuk kemuliaan kalian semua.
Akhirul kalam, karya sederhana ini tentu menyimpan banyak kelemahan dan
kecacatan, dibalik ide-ide yang mungkin cukup orisinal dan baik untuk perbaikan institusional.
Adanya kebaikan sepenuhnya adalah hidayah Allah, dan keburukan yang ada sepenuhnya
adalah wujud kefakiran ilmu dari penulis. Untuk itu, penulis mengundang sidang pembaca untuk
memberi pengayaan dan pelurusan terhadap karya tulis ini.
Wassalamu’alaikum
Salam semangat tak pernah padam!
Jakarta, 14 Mei 2013
(Ultah Kakak Tria ke-6)
Tri Widodo W. Utomo
NDH 12
vii
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PUSAT DIKLAT SPIMNAS BIDANG KEPEMIMPINAN
PAKTA INTEGRITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa
Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP-2) saya susun sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Diklatpim Tingkat II yang seluruhnya merupakan hasil karya sendiri.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan KTP-2 yang saya kutip secara
langsung atau tidak langsung dari hasil karya orang lain telah saya tuliskan sumbernya
secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian KTP-2 ini bukan karya tulis
saya sendiri, atau ada indikasi adanya plagiasi di bagian-bagian tertentu, saya bersedia
menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Pakta Integritas ini dibuat dengan sebenarnya, tanpa tekanan dari siapapun, dan Pakta
Integritas ini digunakan untuk seperlunya.
Jakarta, 14 Mei 2013
Tri Widodo Wahyu Utomo
NDH. 12
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………………………….. i
Lembar Pengesahan …………………………………………………………………………… ii
Lembar Persetujuan Penyajian ………………………………………………………………… iii
Ringkasan Eksekutif …………………………………………………………………………….. iv
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………….. vi
Pakta Integritas ………………………………………………………………………………….. viii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………….. ix
Daftar Tabel ………………………………………………………………………………………. xi
Daftar Gambar ……………………………………………………………………………………. xii
Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang ………………………………………………………………….. 1
B. Potret Kinerja Kebijakan di Indonesia …………………………………………. 5
1. Pengujian Undang-Undang (Judicial Reviel/Constitutional Review) ..... 5
2. Evaluasi dan Klarifikasi Peraturan Daerah ............................................ 7
3. Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan
(beschikking) ......................................................................................... 10
4. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara .................................... 10
C. Symbolic Policy vs Evidence-based Policy …………………………………… 10
D. Sistem Administrasi Negara (SAN) dan Hukum Administrasi Negara
(HAN) …………………………………………………………………………….. 12
E. Maksud dan Tujuan Penulisan KTP-2 ………………………………………… 17
F. Metode dan Teknik Analisis …………………………………………………… 17
G. Sistematika Penulisan ………………………………………………………….. 18
Bab II Perumusan dan Pemecahan Masalah Menggunakan SSM …………………. 20
A. Permasalahan (Situation Considered Problematic) Terkait Tugas dan
Fungsi Instansi ………………………………………………………………….. 20
B. Dampak Apabila Permasalahan Tidak Diselesaikan ……………………….. 24
ix
C. Rich Picture Penguatan Peran LAN Dalam Peningkatan Kualitas
Peraturan dan Kebijakan Nasional Melalui Penajaman Kajian HAN ……… 25
D. Root Definition dan CATWOE Analysis ……………………………………… 27
E. Conceptual Model dan Perbandingannya Dengan Dunia Nyata (Real
World) ……………………………………………………………………………. 29
F. Perubahan yang Ingin Diwujudkan (Feasible and Desirable Changes) …… 32
G. Action to be Taken to Improve the Situation (Rencana Aksi) ………………. 33
Bab III Penggambaran Masa Depan Sistem Peraturan/Kebijakan Dengan
Scenario Planning ………………………………………………………………… 35
A. Penetapan Focal Concern (FC) ……………………………………………….. 35
B. Identifikasi Driving Force (DF) …………………………………………………. 36
C. Analisis Hubungan Antar Driving Forces (DF) ………………………………. 36
D. Menyusun Matriks Skenario ……………………………………………………. 39
E. Menentukan Ciri-Ciri Kutub …………………………………………………….. 40
F. Metafora dan Narasi Skenario …………………………………………………. 42
G. Rekomendasi Kebijakan ……………………………………………………….. 45
Bab IV Pengembangan Kebijakan dan Rencana Implementasinya ……………….. 46
A. Penetapan Visi dan Misi ……………………………………………………….. 46
B. Nilai-Nilai Organisasi (Values) ………………………………………………… 47
C. Tujuan dan Sasaran …………………………………………………………….. 48
D. Kebijakan dan Program …………………………………………………………. 50
Bab V Penutup ……………………………………………………………………………… 52
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………. 55
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Potret Undang-Undang yang Tidak Berkualitas Dilihat dari Tahun dan
Materinya ………………………………………………………………………… 6
Tabel 1.2. Rekapitulasi Pembatalan dan Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009) … 8
Tabel 1.3. Rekapitulasi Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009) …………………… 9
Tabel 1.4. Intisari Materi Sistem Administrasi Negara (SAN) Berdasarkan Textbook
Ilmu Administrasi Negara ……………………………………………………… 14
Tabel 1.5. Perbandingan Tahapan Metode SSM dan Metode Scenario Planning …… 18
Tabel 2.1. Ringkasan Situasi Problematik (Situation Considered Problematic) ……… 25
Tabel 2.2. Analisis CATWOE Untuk Menyusun Root Definition ……………………….. 28
Tabel 2.3. Perbandingan Model Konseptual dengan Dunia Nyata (Real World) ......... 31
Tabel 2.4. Usulan Kegiatan Dalam Kerangka Peningkatan Kualitas Peraturan
Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi
Negara ........................................................................................................ 33
Tabel 3.1. Driving Forces (DF) ……………………………………………………………. 36
Tabel 3.2. Analisis Leverage ……………………………………………………………… 38
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Logis Pembenahan Kajian Kebijakan Dalam Membangun
Penyelenggaraan Negara yang Baik (Pendekatan Sistem: Input-Output-
Outcome) ……………………………………………………………………….. 24
Gambar 2.2. Rich Picture …………………………………………………………………….. 27
Gambar 2.3. Conseptual Model of the System Peningkatan Kualitas Peraturan
Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional Bidang Administrasi
Negara ………………………………………………………………………….. 30
Gambar 2.4. Perubahan yang Diinginkan ........................................................................ 32
Gambar 3.1. Evaluasi dan Penilaian Driving Force Dengan Teknik Non-linier ………… 37
Gambar 3.2. Matriks Skenario ……………………………………………………………… 40
Gambar 3.3. Metafora Skenario ……………………………………………………………… 42
Gambar 4.1. Peta Strategi Deputi III LAN …………………………………………………… 51
1
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang
Dilihat dari sejarahnya, Lembaga Administrasi Negara (selanjutnya disebut LAN)
didirikan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna administrasi negara. Hal ini bisa
disimak dari Pidato Perdana Menteri Djuanda tanggal 5 Mei 1958 pada saat pelantikan Prof.
Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo sebagai Direktur LAN, yang antara lain menegaskan sebagai
berikut:
“… telah menjadi kenyataan, terutama di negara-negara Asia, bahwa
kelambatan dari usaha-usaha pembangunan ekonomi dan masyarakat
disebabkan oleh struktur dan cara bekerja Administrasi Negara yang kurang
berdayaguna.
Oleh sebab itu pula, … yang menjadi salah satu tugas pokok dari LAN adalah
penyelidikan (research) di lapangan Administrasi Negara, baik yang bersifat
induktif dan empiris (mengumpulkan bahan-bahan didalam negeri guna
memperoleh kesimpulan yang akan dijadikan faktor penting untuk menentukan
corak administrasi negara kita), maupun yang bersifat komparatif
(mengumpulkan bahan-bahan keterangan sistem dan struktur administrasi di
negara-negara lain guna dijadikan bahan perbandingan dan perbincangan
didalam usaha-usaha menemukan dan menyusun suatu Administrasi Negara
Indonesia yang berdayaguna).
Dan salah satu bagian di lapangan research dari LAN ini yang sangat penting
adalah “Bagian Konsultasi” yang harus terdiri atas ahli administrasi dan
manajemen … yang mampu memberikan advis-advis mengenai administrasi,
organisasi, metode-metode, manajemen, dsb.”
Untuk dapat memahami lebih dalam tentang LAN, perlu juga disimak Pidato Prof.
Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo sebagai berikut:
“Keputusan Pemerintah untuk mendirikan LAN, yang berarti bahwa Pemerintah
secara tegas hendak membangun Public Administration di Indonesia, adalah
suatu titik perubahan pokok di dalam sejarah kenegaraan kita. Dengan
keputusan tersebut kita meninggalkan azas Negara Hukum yang kita pelajari
dari Belanda, dan dengan tidak meninggalkan hukum itu, kita sekarang sedang
menuju ke suatu ”Negara Administratif” ...
Dengan mendirikan LAN ini, Pemerintah ingin mempercepat proses perubahan
jiwa Pegawai-pegawai Negeri kita, yang pada masa ini masih selalu menjadi
ejekan masyarakat, yaitu perubahan dari pegawai negeri yang ”hanya
menjalankan peraturan” saja ke Pegawai Negeri Indonesia yang baru, yang
mempunyai entrepreneurship dan leadership yang berjiwa sebagai ”managers
2
of the state” atau ”public managers” yang penuh inisiatif sendiri serta berjiwa
dinamis, dan yang selalu berusaha untuk mempertinggi produktivitas kerja,
produktivitas negara, produktivitas modal nasional, dan sebagainya ... ”
Pidato Perdana Menteri Djuanda diatas dapat dikatakan sebagai philosophische
grondslag (dasar filosofis) dari keberadaan LAN, dan senantiasa harus dijadikan sebagai
rujukan dalam mengkaji kinerja dan kebutuhan pengembangan organisasi LAN dimasa-
masa selanjutnya. Tanpa merujuk pada pola pikir dan semangat awal pendiriannya,
pembicaraan tentang LAN bisa terjebak pada siatuasi ahistoris, dimana perdebatan tentang
LAN tidak fokus dan mengakar pada cita-cita dan mandat yang diberikan oleh para
pimpinan negara waktu itu.
Dari penggalan pidato kedua pejabat diatas nampak jelas bahwa LAN tidak hanya
memiliki tugas dalam mendidik dan melatih PNS, namun juga mengemban fungsi penelitian
(kajian) dan perkonsultasian. Itulah sebabnya, dalam berbagai peraturan yang menjadi
payung hukum eksistensi LAN hingga saat ini, fungsi penelitian atau kajian masih tetap
dipertahankan. Dan mengacu pada Keputusan Presiden No. 103/2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah
Non Departemen jo. Peraturan Presiden No. 64/2005, LAN pada prinsipnya adalah unit
pemikir (think tank) pemerintah untuk memperbaiki sistem administrasi negara dan
kualitas kebijakan publik, baik pada tataran nasional maupun daerah.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi LAN tersebut, Deputi III bidang Penelitian
dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara (Litbang
APOAN). Deputi III memiliki tugas untuk melaksanakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan administrasi pembangunan dan otomasi
administrasi negara. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Deputi Bidang Litbang APOAN
memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Penyusunan telaahan kebijakan di bidang administrasi pembangunan, pengembangan
system informasi dan otomasi administrasi negara, kerjasama regional dan internasional
di bidang administrasi negara dan kajian hukum administrasi negara,
2. Penyusunan agenda kajian kebijakan di bidang administrasi pembangunan,
pengembangan sistem informasi dan otomasi administrasi negara, kerja sama regional
dan internasional di bidang administrasi negara dan kajian hukum administrasi negara,
3. Pengkajian administrasi pembangunan dan kerjasama regional,
4. Pengkajian dan pengembangan sistem informasi dan otomasi administrasi negara,
3
5. Pengkajian dan pengembangan hukum administrasi negara,
6. Pengembangan kerja sama internasional di bidang administrasi negara,
7. Pelaksanaan tugas lain yang terkait yang ditetapkan oleh Kepala.
Ketujuh fungsi Deputi Litbang APOAN diatas secara operasional dilaksanakan
oleh 3 (tiga) Pusat, yakni:
1. Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara (PKHAN),
2. Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI),
3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Informasi dan Otomasi Administrasi
Negara (Puslitbang SIOAN).
Dalam melakukan tugas kajian/penelitian kebijakan tersebut, harus diakui LAN
masih menghadapi beberapa kendala dan kelemahan, baik yang bersumber pada kondisi
internal maupun eksternal. Pada aspek internal, beberapa masalah yang sering dihadapi
adalah:
Terbatasnya kapasitas (kuantitas dan kualitas) tenaga peneliti dibandingkan dengan
lingkup substantif kajian administrasi negara yang sangat luas serta issu-issu aktual dan
tuntutan publik yang semakin berkembang.
Terbatasnya anggaran penelitian yang membatasi kebutuhan untuk penetapan
lokus/sampel penelitian, pencetakan laporan/publikasi, pengiriman diklat bagi peneliti,
dan sebagainya.
Mekanisme perencanaan dan koordinasi kelitbangan antar unit-unit kajian yang belum
terpola secara baku.
Sementara itu, pada aspek eksternal terdapat masalah-masalah umum yang
berada diluar kewenangan LAN, misalnya sebagai berikut:
Belum adanya forum koordinasi kelitbangan khusus Paguyuban PAN. Hal ini
mengakibatkan indikasi program kajian yang dilakukan Kantor Menpan, LAN, BKN,
ANRI, dan BPKP tidak saling memperkuat dan bahkan membuka kemungkinan tumpang
tindih, baik dalam hal judul kegiatan, substansi, maupun lokus penelitian.
Forum kelitbangan yang ada saat ini, yakni FKK (Forum Koordinasi Kelitbangan) belum
optimal karena selain bersifat sangat umum (tidak fokus pada issu tertentu), juga tidak
terjadual secara rutin dengan agenda yang jelas dan tegas.
Belum adanya penetapan dari instansi Pembina Jabatan Fungsional Peneliti, yakni LIPI,
tentang standarisasi kompetensi peneliti. Kalaupun ada, nampaknya masih cenderung
asal ada dan tidak mencerminkan kompetensi yang sesungguhnya.
4
Meskipun dihadapkan pada beberapa kelemahan, LAN memiliki komitmen penuh
untuk terus menerus meningkatkan kualitas proses dan hasil kajian, termasuk kemanfaatan
bagi seluruh stakeholder. Komitmen ini antara lain ditandai dengan upaya melakukan
revitalisasi kelembagaan dalam rangka organizational development, restrukturisasi program
dan kegiatan untuk mempertajam output dan outcomes, serta menerapkan pola baru dalam
promosi dan mutasi pegawai.
Terlepas dari permasalahan umum diatas, perlu dikemukakan disini bahwa hasil
kajian/penelitian yang ada saat inipun sudah cukup menunjukkan kemanfaatan yang nyata.
Bentuk-bentuk kemanfaatan beragam dari pemanfaatan sebagai bahan bacaan, koleksi
perpustakaan, rujukan dalam menyusun pidato pejabat, rujukan dalam penulisan
skripsi/thesis/disertasi di berbagai Perguruan Tinggi, penggunaan sebagai bahan ajar
perkuliahan di Perguruan Tinggi atau diklat-diklat, pengembangan wawasan bagi aparat
pemerintah, hingga adopsi sebagai muatan (content) suatu kebijakan tertentu.
Beberapa kebijakan atau hukum positif yang merupakan kontribusi pemikiran LAN
antara lain Keppres No. 44 dan 45 Tahun 1974, Inpres No. 7/1999, PP No. 101/2000,
Permenpan No. 20, 25, dan 26 Tahun 2006, Permenpan No. 13/2009, dan sebagainya.
Draft perubahan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 43/1999
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, juga tidak lepas dari rekomendasi yang dihasilkan
LAN. Di tingkat daerah, rekomendasi yang dihasilkan oleh PKP2A juga cukup banyak
mewarnai kebijakan di level Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Di tengah-tengah kendala yang ada serta kemanfaatan yang telah diraih, LAN juga
komit untuk melakukan pembenahan sistemik menuju manajemen kelitbangan yang lebih
berbobot dan professional. Pembenahan ini dilakukan sejak tahap perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasinya, yakni dengan mengoptimalkan fungsi unit-
unit kerja terkait. Pada saat yang sama, upaya membangun kompetisi yang sehat antar unit
kajian juga terus ditumbuhkan melalui berbagai program budaya kerja, salah satunya
melalui penyelenggaraan knowledge shared forum sebagai media pengembangan tradisi
akademik di unit litbang/ kajian.
Dari deskripsi tentang filosofi pendirian, mandat organisasi (tugas dan fungsi),
serta kendala dan kinerja yang dicapai tersebut diatas, dipandang perlu untuk lebih
memperkuat peran Deputi III Bidang APOAN untuk memperkokoh kedudukan dan kontribusi
LAN secara menyeluruh. Dan mengingat keragaman karakteristik tugas, fungsi, dan
departementasi Deputi III, maka dalam rangka rencana penulisan Karya Tulis Prestasi
5
Perseorangan (KTP2) ini akan difokuskan pada tugas dan fungsi yang berkaitan dengan
pengkajian Hukum Administrasi Negara.
B. Potret Kinerja Kebijakan di Indonesia
Sebagaimana telah disinggung pada Bab sebelumnya, kinerja kebijakan
pemerintah secara umum kurang menggembirakan. Kebijakan pemerintah disini difokuskan
pada perumusan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang dan Peraturan Daerah),
penerbitan Keputusan, serta sengketa kewenangan antar lembaga negara.
1. Pengujian Undang-Undang (Judicial Reviel/Constitutional Review)
Dari sejumlah permohonan yang diajukan ke MK sejak 2003 hingga 2012, tercatat
1.166 perkara yang telah ditangani oleh MK. Dari jumlah tersebut, jika dipilah
berdasarkan kewenangan, terdapat 532 perkara (45%) Pengujian Undang-Undang
(PUU), 21 perkara (2%) Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, 116 perkara
(10%) Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif dan Presiden/Wakil
Presiden, serta 497 perkara (43%) PHPU Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Mahkamah Konstitusi, Laporan Tahunan 2012).
Dari 532 perkara PUU yang ditangani sejak 2003 sampai 2012, MK telah
menyelesaikan 460 perkara. Jumlah penyelesaian ini terdiri dari 414 (90%) putusan dan
46 (10%) perkara melalui Ketetapan. Adapun jumlah untuk masing-masing amar
putusannya adalah 127 perkara (31%) dikabulkan, 154 perkara (37%) ditolak, dan 133
perkara (32%) tidak dapat diterima. Selebihnya, melalui ketetapan: 45 perkara (98%)
ditarik kembali dan 1 perkara (2%) tidak berwenang (MK, Laporan Tahunan 2012).
Sejak 2003 hingga 2012, tercatat 182 UU yang diuji ke MK. Dari jumlah ini,
terdapat 2 UU yang paling banyak diuji, yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dengan frekuensi uji 36 kali, serta UU No. 8 tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan jumlah uji 27 kali. Sedangkan jika
ditilik berdasarkan tahun pembuatan undang-undangnya, produk legislasi tahun 2004
paling banyak diuji ke MK. Tercatat 22 UU yang dibuat pada tahun ini telah diuji ke MK
sejak 2003 hingga 2012 (MK, Laporan Tahunan 2012).
Jika banyaknya perkara PUU mengindikasikan lemahnya kapasitas perundang-
undangan, maka kelemahan terburuk legislasi nasional terjadi pada tahun 2004 dimana
dilakukan pengujian sebanyak 22 UU; disusul secara berurutan tahun 2009 (19 UU);
6
2008 (18 UU); 2003 (17 UU); 2007 dan 2011 (12 UU); 1999 dan 2002 (11 UU). Adapun
jika frekuensi pengujian terhadap sebuah UU mencerminkan kualitas UU tersebut, maka
UU yang paling rendah kualitasnya adalah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah (36 kali pengujian); UU No. 8/1981 tentang KUHAP (27 kali); UU No. 10/2008
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (25 kali); UU No. 12/2008
tentang Perubahan Kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (18 kali); UU
No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (16 kali); UU No.
42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan UU No. 27/2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (15 kali); UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (12 kali); UU No. 20/2003 tentang Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (11
kali); serta UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 8/2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (10 kali).
Secara skematis, potret kualitas Undang-Undang berdasarkan hasil pengujian
material Mahkamah Konstitusi dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.
Tabel 1.1. Potret Undang-Undang yang Tidak Berkualitas Dilihat dari Tahun dan
Materinya
No.
Pengujian Berdasarkan
Tahun Pengundangan
Pengujian Berdasarkan Materi UU
Tahun
Jml UU yg
Diuji
Materi
Frek. Pe-
ngujian
1 2004 22 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
36
2 2009 19 UU No. 8/1981 tentang KUHAP; 27
3 2008 18 UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD;
25
4 2003 17 UU No. 12/2008 tentang Perubahan
Kedua UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah;
18
5 2007, 2011 12 UU No. 30/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
16
6 1999, 2002 11 UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden; UU No.
27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD;
15
7 1992, 2001,
2006, 2012
5 UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
12
7
8 2000 4 UU No. 20/2003 tentang Tentang Sistem
Pendidikan Nasional; UU No. 24/2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
11
UU No. 36/2009 tentang Kesehatan; UU
No. 8/2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD;
10
Sumber:Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga
Negara: Laporan Tahunan 2012, MK, 2012 (diolah).
2. Evaluasi dan Klarifikasi Peraturan Daerah
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 136 mengatur bahwa
Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan,
serta penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan memperhatikan ciri khas daerah. Perda dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Selama ini, Pemerintah Pusat cq. Kementerian Dalam Negeri melakukan
pengawasan terhadap Perda, yang terdiri dari Klarifikasi dan Evaluasi Perda. Menurut
Permendagri No. 53/2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan
Kepala Daerah, sebagaimana telah dicabut dengan Permendagri No. 53/2011 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian
terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah guna mengetahui apakah
peraturan daerah atau peraturan kepala daerah bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan evaluasi
adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan peraturan daerah dan rancangan
peraturan kepala daerah untuk mengetahui apakah bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.1
Terkait dengan issu peraturan daerah ini, Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri
(2012, Issu Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Dalam RUU Tentang
1
Selama ini dipahami secara luas bahwa evaluasi adalah bentuk pengawasan secara preventif,
sedangkan klarifikasi adalah bentuk pengawasan secara represif. Namun perlu dicatat bahwa baik UU
No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 27/2009 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan
DPRD), Permendagri No. 53/2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah, serta Permendagri No. 53/2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, tidak satu pasal
dan ayat-pun yang menggunakan istilah ini. Satu-satunya produk hukum yang menyebut adanya istilah
pengawasan represif adalah Keputusan Mendagri No. 41/2001 tentang Pengawasan Represif
Kebijakan Daerah. Oleh karena itu, sebaiknya klarifikasi dan evaluasi tidak lagi dikait-kaitkan dengan
pengawasan represif dan preventif karena bisa menimbulkan kebingungan hukum dan
kesalahpahaman dalam interpretasi.
8
Pemerintahan Daerah, bahan paparan) menyebutkan adalah 6 (enam) masalah pokok
sebagai berikut:
• Banyak peraturan daerah yang bermasalah.
• Pengawasan preventif terhadap peraturan daerah tidak optimal.
• Pembatalan peraturan daerah bermasalah langsung oleh presiden tidak efisien
mengingat jumlah dan jenis peraturan daerah banyak dan beragam.
• Kecenderungan daerah tidak menyampaikan peraturan daerah yang telah
ditetapkan kepada pemerintah sehingga pemerintah tidak dapat melakukan
klarifikasi atas peraturan daerah tersebut.
• Sulit diketahui jumlah dan jenis peraturan daerah sehingga pengawasan terhadap
peraturan daerah tidak optimal.
• Tidak ada sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan peraturan daerah.
Dengan banyaknya permasalahan di sekitar peraturan daerah, maka wajarlah
jika selama ini kita dengar banyaknya peraturan daerah yang dibatalkan oleh
pemerintah Pusat. Dalam hal ini, pada periode 2002-2009 klarifikasi yang menghasilkan
keputusan berupa pembatalan peraturan daerah dapat disimak pada Tabel dibawah ini.
Tabel 1.2. Rekapitulasi Pembatalan dan Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009)
TAHUN PDRD MIHOL SP3 LAIN2 JUMLAH
2002 17 - 2 - 19
2003 95 3 1 6 105
2004 220 2 13 1 236
2005 118 1 4 3 126
2006 114 - - - 114
2007 161 1 4 7 173
2008 223 4 - 2 229
2009 831 11 5 29 876
Jumlah 1779 22 29 48 1878
Sumber: Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (2012).
Keterangan:
PDRD : Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Mihol : Minuman Beralkohol
SP3 : Sumbangan Pihak Ketiga
Lain-lain: Perijinan, Air Tanah, Pelayanan Terpadu, Syariah, dan sebagainya.
9
Semenjak tahun 2010, Menteri Dalam Negeri masih terus melakukan klarifikasi
terhadap peraturan daerah, namun tidak lagi membatalkan perda-perda bermasalah.
Pembatalan peraturan daerah dilakukan langsung melalui Peraturan Presiden.
Tabel 1.3. Rekapitulasi Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009)
TAHUN PDRD MIHOL SP3 LAIN2 JUMLAH
2010 324 7 2 74 407
2011 265 12 69 5 351
2012 61 4 24 84 173
Jumlah 650 23 95 163 931
Sumber: Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (2012).
Sementara untuk tahun 2013, sampai dengan Februari telah diklarifikasi 423
peraturan daerah, dengan 30 diantaranya dikategorikan sebagai perda bermasalah.
Jumlah total sebanyak 931 peraturan daerah (2010-2012) yang diklarifikasi ini sering
disebut dengan peraturan daerah yang bermasalah. Jika sebelum tahun 2010 peraturan
daerah bermasalah khusus terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dibatalkan
langsung oleh Menteri Dalam Negeri, maka semenjak keluarnya UU No. 28/2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Menteri Dalam Negeri tidak berwenang lagi
membatalkan Perda tentang PDRD, dan kewenangan pembatalan langsung dipegang
oleh Presiden.
Adapun yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri terkait dengan adanya Perda
PDRD bermasalah adalah dengan menyampaikan hasil klarifikasi, dan meminta daerah
yang bersangkutan untuk melakukan review terhadap perda tersebut.
Dalam perspektif revisi UU Pemerintahan Daerah, pengaturan mengenai peraturan
daerah juga turut berubah. Dalam hal ini, arah pengaturan baru dalam RUU Pemda
untuk meminimalisir munculnya banyak Perda bermasalah adalah sebagai berikut:
• Perda harus mendapatkan nomor register sebelum diundangkan.
• Pemberian sanksi administratif bagi kepala daerah yang tidak menyampaikan Perda.
• Pengawasan preventif diterapkan untuk 8 (delapan) Raperda yakni RPJPD, RPJMD
APBD, perubahan APBD, pertanggung jawaban pelaksanaan APBD, Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, dan RUTR.
10
• Pengawasan represif dilakukan terhadap semua Perda.
• Mendagri berwenang membatalkan semua Perda Provinsi, dan Gubernur
berwenang membatalkan Perda Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan
kepentingan umum, kesusilaan atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
• Diberlakukannya mekanisme perbaikan kebijakan (peraturan) melalui executive
review.
• Sanksi bagi daerah, kepala daerah dan anggota DPRD yang masih memberlakukan
Perda yang sudah dibatalkan.
3. Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan (beschikking)
Selain rendahnya kualitas kebijakan berupa regeling atau peraturan perundang-
undangan seperti Undang-Undang atau peraturan Daerah sebagaimana dikemukakan
diatas, indikasi lemahnya kebijakan juga bisa dilihat dari maraknya sengketa TUN (Tata
Usaha Negara) akibat dikeluarkannya beschikking atau keputusan. Dalam hal ini,
publikasi Mahkamah Agung dalam website-nya menyebutkan bahwa dari periode 2004
hingga 2012, terdapat 3272 putusan atas sengketa TUN.
4. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara
Sejak 2003-2012 tidak banyak perkara SKLN yang dimohonkan ke MK, bahkan
pada 2003 tidak ada satupun perkara yang diregistrasi. Meskipun begitu, pada 2006 dan
2008 terdapat 5 perkara SKLN yang ditangani. Pada 2004, 2005, 2009, dan 2010
masing-masing hanya menangani 1 perkara SKLN dalam setahun. Di tahun 2011,
terjadi peningkatan jumlah perkara SKLN yang diperiksa oleh MK, yakni 7 perkara.
Adapun di tahun 2012, MK menangani 6 perkara. Untuk perkara SKLN sejak 2003
hingga 2012 seluruhnya telah diselesaikan oleh MK. Di mana terdapat 17 putusan dan 4
ketetapan. Jika berdasarkan amarnya, putusan tersebut yakni 1 perkara (6%)
dikabulkan, 3 perkara (18%) ditolak, dan 13 perkara (76%), tidak dapat diterima
(Mahkamah Konstitusi, 2012).
C. Symbolic Policy vs Evidence-based Policy
Berbagai macam kelemahan kebijakan diatas – untuk tidak mengatakan kegagalan
kebijakan serta dampak ikutan yang mungkin timbul bila tidak segera diperbaiki,
11
mengilustrasikan akan terjadinya symbolic policy dalam sistem penyelenggaraan
negara, khususnya dalam hal sistem peraturan perundang-undangan.
Konsep tentang kebijakan simbolik (symbolic policy) yang dipertentangkan
dengan kebijakan berbasis bukti-bukti (evidence-based policy), dikembangkan oleh
Michiel S. de Vries dalam papernya berjudul “Distinguishing symbolic and evidence-
based policies: the Brazilian efforts to increase the quality of basic education”
(International Review of Administrative Sciences, 77(3), Sage Publication, 2011).
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa symbolic policy terjadi jika sebuah
kebijakan melenceng dari semangat awal serta menghasilkan keuntungan kepada
pihak tertentu secara tidak seimbang; sementara evidence-based policy adalah
kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata sehingga
dapat meminimalisir kemungkinan munculnya dampak yang tidak diinginkan.
De Vries menjelaskan bahwa simbol sering digunakan oleh para pengambil
kebijakan untuk memperoleh dukungan meski kebijakan yang diambil tidak efektif
dalam mengurangi masalah. Selain itu, simbol juga berfungsi untuk mengurangi
kompleksitas suatu permasalahan sekaligus untuk menarik bagi media dengan cara
mengurangi argumen yang kompleks. Dengan kedua fungsi ini, maka symbolic
policy menurut de Vries dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1) being propagandistic, with an emphasis on illusions and
appearances; 2) not caring about the effectiveness of the policies
regarding the problem at hand, but rather caring about the exposure
thereof; 3) being morally disputable because such policies deceive
citizens, conceal hidden agendas and undermine social trust in
replacing substantial arguments by strategic arguments and
manipulation (see Blu¨ hdorn, 2007: 258); 4) the fact that ‘tangible
resources and benefits are frequently not distributed to unorganized
political group interests’ (Edelman, 1964: 23).
Selanjutnya de Vries menyebutkan adanya 4 (empat) kriteria symbolic
policy yang membedakannya dari evidence-based policy, yakni: 1) Being simplistic in its
presentation (sederhana dalam penyajian); 2) Ignoring contextual features (mengabaikan
fitur kontekstual); 3) Disregarding empirical analysis (mengabaikan analisis empirik); and 4)
12
Resulting in policies benefiting the already advantaged group (menghasilkan kebijakan yang
menguntungkan kelompok yang sudah mendapat banyak keuntungan).
D. Sistem Administrasi Negara (SAN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN)
Sesuai dengan judulnya, KTP-2 ini ingin menganalisis permasalahan dan
menghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan dan
kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan
Keppres No. 103/2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang mengamanatkan
bahwa LAN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang administrasi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 4).
Sayangnya, pemahaman tentang “administrasi negara” ini hingga saat ini masih
belum jelas.2
Ada pemahaman umum bahwa administrasi negara adalah administrasi
tentang negara, sehingga administrasi negara ada dan dipraktekkan di setiap
Kementerian/Lembaga dan di seluruh jenjang pemerintahan. Disisi lain, ada semacam
konvensi bahwa administrasi negara memiliki 3 (tiga) dimensi utama, yakni Kelembagaan,
Ketatalaksanaan, dan SDM Aparatur. Belum adanya kesamaan persepsi tentang ruang
lingkup administrasi negara ini semakin diperumit dengan adanya Pusat Kajian Hukum
Administrasi Negara, sehingga memunculkan pertanyaan baru, yakni bagaimana hubungan
antara SAN dengan HAN?
Dalam konteks memetakan ulang ruang lingkup administrasi negara tadi, penulis
memandang perlu adanya perubahan cara pandang tentang SAN dan HAN. Selama ini
terdapat kesan bahwa antara SAN dan HAN dianggap memiliki hubungan yang cukup jauh.
Namun bagi penulis, keduanya ibarat satu koin mata uang dengan dua sisi yang berbeda,
sehingga keduanya sangat dekat dan bahkan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu,
memahami Hukum Administrasi Negara akan lebih mudah jika didukung dengan
pemahaman yang baik terhadap Sistem Administrasi Negara; demikian pula sebaliknya.
2
Dalam khazanah akademik, definisi dan ruang lingkup administrasi publik atau administrasi negara juga
masih terus diperbincangkan dan belum tercapai pemahaman yang seragam. James Fesler (1980),
misalnya, mengatakan bahwa public administration has never achieved a definition that commands
general assent. Senada dengan itu, Richard Stillman (1980) menulis sebagai berikut: … no one has
produced a simple definition of the study of public administration … what constitutes the core values
and focus of twentieth-century public administration provides lively debates and even deep divisions
between students of the field. Dengan belum jelasnya definisi dan ruang lingkup administrasi publik
tersebut, semakin menegaskan perlunya redefinisi administrasi publik/negara.
13
Dengan cara berpikir seperti ini, maka antara sarjana administrasi negara dengan sarjana
hukum administrasi negara tidak memiliki perbedaan kompetensi yang kontras.
Meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat, namun tetap diperlukan
adanya pembatasan wilayah substansi yang tegas antara SAN dan HAN. Dalam hal ini,
salah satu pendekatan yang penulis pikirkan untuk membedakan keduanya adalah bahwa
SAN berhubungan dengan filosofi perlunya kebijakan, pelibatan seluruh aktor dalam
formulasi kebijakan, interaksi dan interdependensi dalam lingkungan kebijakan, serta
evaluasi dampak kebijakan. Sementara HAN berhubungan dengan soal kewenangan
lembaga/pejabat dalam perumusan kebijakan (bevoegdheid), benturan kepentingan atau
konflik antar lembaga dalam sistem kebijakan, serta upaya dan mekanisme penegakan
kebijakan. Sederhananya, SAN bicara soal substansi kebijakan (hukum material),
sedangkan HAN lebih menyentuh pada sisi beracaranya (hukum formil).
Disamping itu, redefinisi HAN sangat boleh jadi juga dibutuhkan. Dalam hal ini,
saya saya menawarkan gagasan bahwa HAN identik dengan Hukum Konstitusi. Artinya,
tugas utama HAN sesungguhnya adalah menjamin terwujudnya sinkronisasi antar hierarki
peraturan penundang-undangan. Sepanjang masih terjadi pertentangan antar aturan, maka
hal itu mencerminkan tidak bekerjanya HAN dengan baik.
Dalam konteks melakukan redefinisi HAN dan SAN ini, penulis mencoba
mengembalikan kepada “pakem” atau buku-buku teks (textbook) tentang SAN dan HAN.
Pada wilayah Sistem Administrasi Negara, paling tidak ada 11 buku referensi yang dapat
dijadikan sandaran untuk memahami sistem administrasi negara, sebagai berikut:
14
Tabel 1.4. Intisari Materi Sistem Administrasi Negara (SAN) Berdasarkan Textbook Ilmu
Administrasi Negara
No.
Pengarang & Judul
Buku
Intisari Materi SAN
1 George E. Berkley,
The Craft of Pubic
Administration,
Massachusetts: Allyn
and Bacon Inc., 1975
• Sistem Politik Amerika: Fragmentasi, Legalisme, Anti-
Governmentalism;
• Anatomi Organisasi: Pyramids, Line and Staff;
• Psikologi Organisasi: Motivasi, Patologi;
• Personalia: Prosedur, Unionism;
• Kepemimpinan: Kualitas & Teknik, Pengelolaan Staf;
• Komunikasi: Formal & Informal, Alat & Metode;
• Penganggaran;
• Sentralisasi;
• Tantangan Perubahan;
• Hukum Administrasi dan Pengawasan Administrasi;
• Masa Depan Administrasi.
2 William L. Morrow,
Public Administration:
Politics, Policy, and
the Political System,
2nd
Edition, New York:
Random House, 1975
• Birokrasi Publik;
• Demokrasi Prosedural vs Demokrasi Substantif;
• Teori Dasar Administrasi Publik: Max Weber, Woodrow
Wilson, Frederick Taylor, Luther Gulick, Teori Human
Relations, Tradisi Sosial Politik;
• Public Policy: Group Model, Elite Model, Incremental
Model, System Model;
• Organisasi: Lini dan Staf, Independent & Special
Agency, Duplikasi Yurisdiksi & Misi, Reorganisasi;
• Perilaku Administrasi: Eksekutif dan Legislatif;
• Pelayanan Publik: Sistem Kepartaian, Karir vs Politis;
Profesonalisme dan Sistem Merit, Reforming the
Reform;
• Partisipasi Masyarakat;
• Penganggaran;
• Issu Kontemporer: Bahasa Perencanaan dan
Pluralisme, Policy Leadership, Policy Reform.
3 Howard E. McCurdy,
Public Administration:
A Synthesis,
Cummings Publishing
Co., 1977
• Organisasi: Hirarki dan Otoritas, Spesialisasi, Prinsip
Staf, Penganggaran dan Personalia, Management by
Objectives;
• Perilaku Manusia dalam Organisasi: Komunikasi,
Partisipasi, Pembuatan Keputusan, Konflik dan
Kekuasaan, Kepemimpinan Institusional;
• Birokrasi: Sisi Informal, Patologi Birokrasi, Biaya
Birokrasi;
• Politik Administrasi: Pluralisme, Pemerintah Daerah,
Pengawasan Legislatif, Profesionalisme Pelayanan,
Federalisme, Kepegawaian, Partisipasi Masyarakat;
• Analisis Kebijakan: Planning-Programming-Budgeting,
Cost-Benefit Analysis, Teori Public Choice, Riset dan
Evaluasi Program, Incrementalists’ Disclaimer;
15
• Kekuasaan Eksekutif;
• Ilmu Manajemen: Cybernetic, Operation Research,
Mathematics, Simulation, Network Analysis;
• Pengembangan Organisasi (OD);
• Perbandingan Administrasi Publik: Masyarakat
Prismatik, Ekologi Administrasi;
• Masa Depan: Regulated State, Postbureaucratic
Forms of Organization, New Public Administration,
Administrative Contingencies Model, Identity Crisis.
4 James W. Fesler,
Public Administration:
Theory and Practice,
Prentice Hall, 1980
• The nature and study of Public Administration;
• Teori Organisasi: Pendekatan Struktural terhadap
Organisasi Besar, Teori System, Tantangan Kelompok
Pluralis dan Humanis;
• Organisasi Dalam Praktek: Anatomi Cabang Eksekutif,
Reorganisasi, Masalah-Masalah Organisasi;
• Sistem Kepegawaian: Pegawai Pemerintah, Klasifikasi
Jabatan, Staffing, Hak dan Kewajiban Pegawai;
• Jabatan Tingkat Tinggi: Elite, Jabatan Politis, Jabatan
Eksekutif Senior;
• Pengambilan Keputusan Bidang Anggaran;
• Model Pengambilan Keputusan: Rational, Case-to-
Case, Incremental, Participative;
• Implementasi: Sukses dan Gagal, Publik dan Privat;
• Pengawasan: Kongres, Peradilan.
5 Richard J. Stillman,
Public Administration:
Concepts and Cases,
Houghton Mifflin, 1980
• Lingkungan Administrasi Publik: Konsep Birokrasi;
Konsep Ekologi; Konsep Kekuasaan Administratif;
Konsep Federalisme; Konsep Informal Gorup; Konsep
Professional State;
• Fungsi Jamak Administrasi Publik: Pengambilan
Keputusan (Konsep Public Choice); Komunikasi
(Konsep Information Networks); Pengelolaan
Pelayanan (Konsep Management by Objectives);
Kepemimpinan Personalia; Perubahan Orga-nisasi
Pemerintah (Teori Trade Offs dalam Reorganisasi);
Penganggaran (Konsep Budgeting as Political
Compromise and Strategy); Perencanaan Program
(Konsep Policy Analysis);
• Hubungan Legislatif-Eksekutif (Konsep Details of
Adminis-tration); Hubungan Atasan/Majikan-
Bawahan/Pekerja (Konsep Economy of Incentives);
Etika dan Pelayanan (Konsep Moral Ambiguities of
Public Choice).
6 Stuart MacRae and
Douglas Pitt, Public
Administration: An
Introduction,
Massachusetts:
Pitman Publishing
Inc., 1982
• The Nature of Public Administration: Organisasi,
Administrasi, Publik vs Privat;
• Lingkungan Sektor Publik: Kekuasaan, Kewenangan,
Legitimasi;
• Setting Institusi: Pemerintah Pusat, Kabinet, Parlemen,
Peradilan, Tirani Birokrasi, Kelompok Kepentingan,
Akuntabilitas, Efisiensi, Responsivitas, Keterbukaan;
16
• Struktur Organisasi: Pusat dan Daerah, Birokrasi
Lokal;
• Pembiayaan Sektor Publik;
• Alokasi Sumberdaya;
• Lembaga Independen dan Agen Voluntir;
• Keberlanjutan dan Perubahan (Continuity & Change).
7 Rayburn Barton and
William L. Chappell
Jr., Public
Administration: The
Work of Government,
Scott Foresman and
Co. 1985
• Lingkungan Administrasi Publik: Eksternal & Politik;
• Lembaga Publik: Tipe dan Struktur, Pusat dan Daerah;
• Pembuatan Kebijakan;
• Administrasi Personalis;
• Penganggaran dan Administrasi Keuangan;
• Tanggungjawab Administrasi;
• Hubungan Antar Pemerintahan;
• Studi Lembaga Publik: Teori Organisasi; Komunikasi,
Pengambilan Keputusan, Kepemimpinan.
8 Jong S. Jun, Public
Administration: Design
and Problem Solving,
Macmillan Publishing
Co., 1986
• Konteks Administrasi Publik: Masyarakat, Administrasi
Demokratis, Bilai Publik vs Privat;
• Latar Belakang Administrasi Publik: Intervensi
Pemerintah, Netralitas, Efisiensi, Sentralisasi vs
Desentralisasi, Perbandingan Administrasi;
• Paradigma, Teori dan Pendekatan;
• Administrasi Publik Sebagai Desain Sosial;
• Proses Pemecahan Masalah Publik;
• Birokrasi Publik: Konsep, Keterbatasan, Klientilisme;
• Dialektika Pemahaman Administrasi: Metode dan
Bahasa, Dialog dan Pembelajaran Sosial, Action
Research;
• Politik dan Kebijakan Publik;
• Tanggungjawab Administrasi: Kepentingan Publik,
Dimensi Etika, Redesign Organisasi, Masa Depan
Administrasi Publik (Transformasi).
9 Nicholas Henry,
Administrasi Negara
dan Masalah-Masalah
Kenegaraan,
terjemahan Indonesia
oleh Luciana D.
Pontoh, Rajawali
Press, 1988
• Paradigma Administrasi Negara: Birokrasi, Demokrasi,
dan Legitimasi; Perkembangan 5 Paradigma
Administrasi;
• Organisasi Negara: Teori & Konsep Organisasi; Model
Manusia Administratif; Etika Birokrasi;
• Tennik-Teknik Administrasi Negara: Pendekatan
Sistem; Evaluasi Program & Anggaran; Administrasi
Kepegawaian;
• Urusan Masyarakat.
10 H. George
Frederickson, The
Spirit of Public
Administration, San
Fransisco: Jossey-
Bass Publisher, 1997
• Administrasi Publik dan Givernance: Menemukan
“Publik” dalam Administrasi Publik, Konteks Politik;
• Issu Keadilan: Diskresi Administrasi, Konsep
Intergenerational Administrasi Publik;
• Etika, Kewarganegaraan, dan Kemurahhatian dalam
Administrasi Publik.
17
E. Maksud dan Tujuan Penulisan KTP-2
Maksud dari penulisan KTP-2 ini adalah sebagai pemenuhan persyaratan
kelulusan dalam program Diklatpim I Angkatan XXV. Adapun tujuan-tujuan ideal yang lebih
spesifik dan ingin digapai dari karya tulis ini antara lain adalah:
1. Untuk mengenali dan menguraikan situasi problematik yang dihadapi LAN secara umum
dan Deputi III secara khusus dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, untuk kemudian
dianalisis dengan teknik tertentu (soft system methodology atau scenario planning),
sehingga dapat dihasilkan gambaran keadaan masa depan, strategi, dan langkah-
langkah kebijakan untuk memperbaiki situasi yang berkembang dewasa ini;
2. Jika gambaran keadaan masa depan, strategi, dan langkah-langkah kebijakan tadi
dapat dihasilkan dengan baik, maka diyakini akan memberi kontribusi bagi penguatan
peran LAN pada umumnya dan Deputi III pada khususnya dalam peningkatan kualitas
peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara.
F. Metode dan Teknik Analisis
Karya Tulis ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini
bertujuan untuk mengangkat fakta, situasi, peristiwa, dan fenomena, kemudian menyajikan
dan menganalisis apa adanya. Dalam penelitian ini, kedudukan penulis selaku peneliti
adalah instrumen utama sejak pengumpulan data hingga analisis, interpretasi, dan
penyimpulan.
Untuk membantu analisis dan interpretasi data hingga penyimpulan tersebut,
penulis akan menggunakan tools yakni SSM (soft system methodology) serta scenario
planning. Alasan yang mendasari pemilihan tools ini selain untuk menerapkan materi
pembelajaran yang diberikan dalam Diklatpim I, juga pertimbangan kecocokan tools
tersebut untuk mengurai dan menjelaskan masalah yang diangkat dalam karya tulis ini.
Khusus mengenai SSM, menurut Peter Checkland (Systems Thinking, Systems
Practice, John Wiley & Sons, 1999 pp. A15), ada empat tahapan utama dari SSM, yakni:
1. Finding out about a problem situation, including culturally/politically;
2. Formulating some relevant purposeful activity models;
3. Debating the situation, using the models, seeking from the debate both:
a. Changes which would improve the situation and are regarded as both
desirable and (culturally) feasible, and
18
b. The accommodations between conflicting interests which will enable action-
to-improve to be taken;
4. Taking action in the situation to bring about improvement.
Sementara menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 63-65), siklus baku dalam proses
SSM terdiri dari 7 (tujuh) tahap kegiatan yang dikelompokkan kedalam 2 (dua) ranah, yaitu
ranah dunia nyata, dan ranah berpikir serba sistem tentang dunia nyata. Dengan demikian,
secara singkat dapat dikemukakan tentang tahapan dari masing-masing tools (SSM dan
Scenario Planning), sebagai berikut.
Tabel 1.5. Perbandingan Tahapan Metode SSM dan Metode Scenario Planning
SSM Scenario Planning
1. Problem situation considered
problematic;
2. Problem situation expressed;
3. Root definition of relevan purposeful
activity systems;
4. Conceptual models of the systems
(holon) named in the root definition;
5. Comparision of models and real world;
6. Change: systematically desirable,
culturally feasible;
7. Action to improve the situation.
1. Menetapkan focal concern (FC);
2. Mengindentifikasi driving forces
(DF);
3. Menganalisis hubungan antar-DF
di satu pihak, dan antara DF’s dan
FC;
4. Memilih DF yang paling
berpengaruh.
5. Menyusun matriks skenario;
6. Menentukan ciri kunci tiap
skenario;
7. Menyusun narasi skenario.
G. Sistematika Penulisan
KTP-2 ini disusun menjadi 5 (lima) Bab, dengan perincian sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini berisi paparan tentang latar belakang historis dan mandat yang diberikan
oleh para pimpinan negara pada saat pendirian LAN pada tahun 1957, sampai
dengan perkembangan tugas dan kondisi umum organisasi hingga saat ini. Selain
itu, Bab ini mencoba memotret kinerja kebijakan di Indonesia untuk memberi
gambaran yang lebih komprehensif mengenai berbagai persoalan yang dihadapi
bangsa Indonesia dalam mewujudkan sistem peraturan perundang-undangan
yang berkualitas. Selanjutnya, Bab ini juga memberikan sedikit teori tentang
Symbolic Policy vs. Evidence-based Policy serta hubungan dan karakteristik
Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara. Akhirnya, Bab ini
19
menyajikan tentang maksud dan tujuan penulisan, metode dan teknik analisis
yang digunakan, serta sistematika penulisan KTP-2.
Bab 2 Perumusan dan Pemecahan Masalah Menggunakan SSM
Bab ini juga memberi deskripsi tentang permasaahan atau situation considered
problematic terkait pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi, serta dampak yang
mungkin muncul jika situasi tadi tidak segera diatasi. Dari deskripsi ini selanjutnya
akan diterapkan metode soft system methodology dengan membuat rich picture
sebagai sebuah model untuk memahami keterkaitan antar situasi, disusul dengan
penetapan root definition, analisis CATWOE, serta pengembangan conceptual
model yang dibandingkan dengan kenyataan (real world). Terakhir akan
ditetapkan bentuk perubahan yang ingin dilakukan (desired changes) serta
langkah-langkah yang perlu diambil untuk memperbaiki situasi problematik yang
dihadapi (action for improvement).
Bab 3 Penggambaran Masa Depan Peraturan/Kebijakan Dengan Scenario Planning
Bab ini akan melanjutkan analisis pada bab sebelumnya dengan mengaplikasikan
teknis scenario planning. Dimulai dengan menetapkan focal concern, kemudian
mengidentifikasi driving forces dan mencari keterkaitan antar driving force serta
antara driving force dengan focal concern. Dari sini akan dihasilkan matriks
skenario yang berisi tentang 4 (empat) gambaran situasi yang mungkin terjadi
pada masa depan beserta ciri-ciri skenarionya. Selanjutnya, dari cirri-ciri skenario
akan dikembangkan dengan metafora kebijakan dan narasi dari masing-masing
skenario hingga pemilihan skenario terpilih yang akan dijadikan sebagai kebijakan
yang direkomendasikan.
Bab 4 Pengembangan Kebijakan dan Rencana Implementasinya
Bab ini berisi analisis lebih lanjut dari bab sebelumnya dengan mengaplikasikan
perencanaan stratejik sehingga ditemukan program yang dibutuhkan untuk
mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.
Bab 5 Penutup
Bab ini berisi tentang simpulan dan catatan penutup.
20
BAB II
PERUMUSAN DAN PEMECAHAN MASALAH MENGGUNAKAN SSM
A. Permasalahan (Situation Considered Problematic) Terkait Tugas dan Fungsi Instansi
Indonesia dapat dikatakan sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Dalam
negara kesejahteraan ini, tugas utama pemerintah pada hakekatnya adalah memberikan
pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan atau derajat hidupnya.
Tugas inilah yang diaktualisasikan dalam wujud fungsi pengaturan (regulatory functions).
Oleh karenanya, setiap kebijakan haruslah bermuara pada semakin membaiknya kondisi
kehidupan masyarakat pada berbagai dimensinya. Jika pelayanan tidak membaik dan
kesejahteraan juga tidak meningkat, dapat dikatakan ada kesalahan pada kebijakan
tersebut. Itulah sebabnya, kualitas kebijakan sangat menentukan kualitas pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam khazanah ilmu hukum dikenal adagium yang
berbunyi salus populi suprema lex (keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum
yang tertinggi).
Sayangnya, hingga saat ini kualitas kebijakan publik diindikasikan masih belum
optimal, yang antara lain diindikasikan dari beberapa hal sebagai berikut:
a. Kinerja (output dan outcomes) pembangunan makro yang masih tertinggal
dibanding negara tetangga, terlebih negara maju, yang dapat dilihat dari indikator
dibawah ini:
Skor efektivitas (government effectiveness) Indonesia sebesar -0,43 pada tahun
2004 dan meningkat menjadi -0,29 pada tahun 2008. Perkembangan skor ini
memperlihatkan adanya kemajuan kapasitas birokrasi pemerintah meskipun belum
signifikan dan masih kalah jauh dibanding negara lain, termasuk negara-negara di
Asia Tenggara (Daniel Kaufman, Aart Kray, Massimo Mastruzzi, Governance
Matters VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996-2008).
Indeks Pembangunan Manusia (human development index) Indonesia sebesar
0.734 pada tahun 2009, dan berada pada peringkat ke 111 dari 182 negara, atau
berada dalam kategori menengah seperti tahun sebelumnya (UNDP, Mengatasi
Hambatan: Mobilitas Manusia dan Pembangunan, 2009).
Peringkat doing business Indonesia cenderung membaik namun jika dibandingkan
dengan negara-negara tetangga, masih tertinggal cukup jauh. Jumlah hari yang
21
dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia membutuhkan waktu 5 (lima) kali lebih
lama dibanding dengan Malaysia. Pada tahun 2010 Indonesia berada di peringkat ke
122 dari 183 negara, membaik dari peringkat 129 di tahun sebelumnya (International
Finance Corporation, Bank Dunia, 2009).
b. Banyaknya kebijakan yang cenderung bermasalah, yang diindikasikan oleh data
dibawah ini:
Banyaknya Perda dibatalkan (periode 2001-2008 sebanyak 1.121 Raperda
dievaluasi, 67% di antaranya dibatalkan);
UUD 1945 banyak diterjemahkan secara keliru oleh Undang-Undang, yang
dibuktikan dengan banyaknya UU yang diuji materiil oleh MK, dan dikabulkan
Mahkamah Konstitusi. Pada periode 2003-2010, misalnya terdapat 325 gugatan,
dan 92 diantaranya dikabulkan;
Banyaknya sengketa Tata Usaha Negara, dimana pada periode 2004-2009 terdapat
1857 kasus yang diputuskan Mahkamah Agung.
c. Selain kedua problematika diatas, ada juga problem kebijakan yang marak dalam sistem
administrasi negara di Indonesia, misalnya berkenaan dengan hubungan kewenangan
badan pemerintah yang tidak jelas dan membuka peluang terjadinya tumpang tindih
antar instansi, atau saling menghambat. Sebagai contoh, Kementerian PDT yang
mengkoordinasikan berbagai K/L dalam membangun daerah tertinggal, namun K/L yang
lain memiliki program, indikator, dan target tersendiri. Contoh lain, Pemprov Kaltim
sudah 10 tahun lebih tidak memiliki RTRW karena belum disetujui oleh Kementerian
Kehutanan. Kasus Kementerian PDT ini juga dialami oleh kementerian lain seperti
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial,
dan sebagainya. Demikian pula, kasus buruknya sinergi dan koordinasi seperti dialami
Pemprov Kaltim juga dihadapi provinsi lain dalam kasus yang sama maupun yang
berbeda. Hubungan kewenangan yang tidak jelas ini secara tersirat menggambarkan
adanya egoisme sektoral yang jelas-jelas menyulitkan upaya melakukan harmonisasi
kebijakan antar lembaga.
Rendahnya kualitas kebijakan publik dan kondisi carut-marut sistem kebijakan
diatas terjadi karena adanya indikasi pragmatisme dalam proses perumusan kebijakan,
yakni kecenderungan mencari cara instant terhadap permasalahan yang timbul, tanpa dikaji
efektivitas dari pilihan-pilihan kebijakan dan tanpa memperhitungkan tingkat probabilitas
keberhasilan suatu kebijakan. Selain itu, para policy makers kurang mentradisikan atau
22
kurang menghargai policy research sebagai bagian tak terpisahkan dari policy making.
Dengan kata lain, para pengambil keputusan dan perumus kebijakan di Republik ini sangat
kurang memiliki budaya akademik dalam siklus kebijakan yang menjadi ruang lingkup
tugasnya.
Akibatnya, kebijakan yang ada memiliki kemungkinan gagal (implementation
failure) yang lebih besar, atau hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu secara tidak
berimbang. Situasi seperti inilah yang kemudian banyak melahirkan symbolic policy (de
Vries, 2010). Serupa dengan kondisi seperti ini, Riant Nugroho (Public Policy, Elex Media
Komputindo, 2012) memperkenalkan istilah Involusi Kebijakan, yakni suatu kebijakan yang
baik secara proses dan rumusannya namun tidak memberikan kebaikan bagi publik. Hal ini
terjadi karena politisi atau birokrat pembuatnya terjebak dalam ilusi untuk membangun citra
tentang kebaikan suatu rezim atau kekuasaan politik.
Disamping itu, faktor yang turut mempengaruhi kualitas kebijakan adalah
rendahnya kapasitas legislasi pada tingkat Pusat dan Daerah (Mahfud MD., Refleksi Kinerja
Mahkamah Konstitusi, 29-12-2009). Situasi ini lebih diperparah dengan fakta merebaknya
epentingan politik dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha, lembaga donor, dan
lain-lain) di lingkaran perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan strategis. Kasus
hilanya pasal-pasal atau ayat-ayat dalam sebuah Rancangan Undang-Undang, atau justru
munculnya pasal atau ayat tambahan yang tidak pernah dibahas sebeumnya dalam sidang
resmi, menunjukkan adanya “kudeta redaksional” dan “penyelundupan norma hukum” yang
dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.3
Dari sisi masyarakat sebagai pihak yang terkena langsung dampak dari sebuah
kebijakan, rendahnya kualitas sebuah peraturan perundang-undangan juga sebagai
konsekuensi dari rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat dalam
pembahasan hingga implementasi sebuah kebijakan. Selama ini, partisipasi masih bisa
3
Fenomena kudeta redaksional misalnya terjadi pada Bagian ke-17 Pengamanan Zat Adiktif, Pasal 113
RUU Kesehatan. Ketika ditetapkan paripurna DPR, ada tiga ayat dalam Pasal 113 tersebut. Namun,
ketika ditandatangani Presiden dan disahkan sebagai lembaran negara, pasal tersebut hanya terdiri
dari dua ayat. Sedangkan fenomena penyelundupan norma hukum, misalnya terjadi pada kasus RUU
KUHAP, khususnya bagian yang mengatur tentang kewenangan penyadapan oleh KPK. Pada Pasal 84
RUU KUHAP dinyatakan bahwa penyadapan bisa dilakukan dalam keadaan mendesak tanpa izin
hakim. Namun, kemudian, katup tersebut dibatasi lagi dengan memunculkan frase tambahan dalam
Pasal 84, yang menyatakan bahwa penyadapan harus dilaporkan paling lambat dua hari sejak
penyadapan dilakukan.pasal 83-84 ini berpotensi bertentangan dengan substansi Pasal 12 Ayat (1) UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang secara eksplisit menyatakan bahwa lembaga ini berwenang
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.Tentang kedua fenomena ini, baca: Saldi Isra,
Penyelundupan Norma Hukum (Kompas, 1-4-2013);
23
dikatakan semu dan nominal belaka karena masih adanya fenomena pengabaian terhadap
aspirasi masyarakat (benign neglect). Padahal, pembentukan sebuah peraturan perundang-
undangan secara normative harus melibatkan partisipasi masyarakat. Ketentuan seperti ini
antara lain diatur pada pasal 53 UU 10/2004 Pembentukan Peraturan perundang-
Undangan, dan Psl 139 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan
bahwa: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis, baik dalam
tahap penyiapan maupun pembahasan Rancangan UU dan Rancangan Perda”.
Mencermati berbagai hal tersebut diatas, maka diperlukan adanya sebuah
perombakan yang cukup mendasar dalam sistem formulasi kebijakan di masa mendatang.
Adanya kebijakan yang didasarkan pada hasil kajian (research-based policy), atau
kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata (evidence-based
policy), sangat perlu untuk dibudayakan. Dengan research-based policy, sebuah kebijakan
hanya layak diimplementasikan apabila telah mengalami telaah akademis melalui kajian
yang komprehensif dan teruji. Dengan evidence-based policy, sebuah kebijakan akan dibuat
dan dilaksanakan apabila fakta-fakta obyektif memang menuntut untuk itu. Dengan kata
lain, kedua hal ini diharapkan dapat menghindari merebaknya symbolic policy.
Atas dasar kondisi tersebut, kajian/penelitian di lingkungan LAN diarahkan pada
kajian kebijakan (policy research), yakni suatu proses yang dilakukan secara teratur dan
sistematis, berdasarkan pengetahuan, metode ataupun teknik tertentu yang menghasilkan
dokumen berupa saran kebijakan (policy recommendation), agenda kebijakan (policy action
plan), atau naskah kebijakan (policy draft), sebagai pertimbangan pengambil kebijakan
dalam merumuskan dan/atau menyempurnakan kebijakan yang telah ada. Dengan kata
lain, kegiatan kajian/penelitian di lingkungan LAN diharapkan mampu menciptakan link yang
kuat antara kebijakan publik dengan riset (research-based / analysis-based policy).
Dalam konstelasi sistem kebijakan seperti dipaparkan diatas, maka paling tidak
ada 3 (tiga) hal yang perlu mendapat perhatian serius oleh LAN, yakni: 1) pembenahan
manajemen kajian kebijakan; 2) peningkatan peran LAN sebagai policy think tank; dan 3)
jaminan tercapainya link and match antara kajian dengan kebijakan. Jika ketiga hal ini dapat
dilakukan, maka secara logis akan dapat diwujudkan 2 (dua) sasaran penting, yakni: 1)
kinerja kajian kebijakan yang makin baik dan unggul; serta 2) kualitas kebijakan publik di
Indonesia yang semakin handal. Dua sasaran ini, jika tercapai, akan memberi kontribusi
besar terhadap perbaikan sistem penyelenggaraan negara dalam arti luas.
24
Secara skematis, kerangka berpikir pembenahan kajian kebijakan LAN dalam
rangka membangun sistem penyelenggaraan negara yang lebih baik melalui perumusan
kebijakan yang berkualitas, dapat diilustrasikan pada model sebagai berikut:
Sumber: konstruksi penulis.
Gambar 2.1.
Kerangka Logis Pembenahan Kajian Kebijakan Dalam Membangun Penyelenggaraan
Negara yang Baik (Pendekatan Sistem: Input-Output-Outcome)
B. Dampak Apabila Permasalahan Tidak Diselesaikan
Sebagai institusi pemikir (think tank), LAN jelas merasa berkepentingan untuk turut
mengurai permasalahan diatas. Selain untuk membuktikan kontribusi secara institusional,
lebih penting lagi adalah untuk turut mengawal dan mempercepat pencapaian cita-cita
Konstitusi. Sebab, apabila situasi problematik diatas tidak segera diatasi, akan
menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan luas, antara lain:
• Kegagalan pencapaian tugas negara mewujudkan tujuan nasional sebagaimana
dimandatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pembangunan sosial, ekonomi, politik,
maupun fisik, akan terancam mengalami kemandegan. Jika pembangunan pada
berbagai bidang ini terhambat, maka kesinambungan pemerintahan juga dapat
terancam. Kemungkinan kegagalan seperti ini bisa terjadi mengingat peraturan
perundang-undangan dan kebijakan publik merupakan instrumen negara kesejahteraan
(welfare state) untuk melayani dan mensejahterakan rakyatnya.
25
• Benturan antar peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik akan dapat
memacu konflik kewenangan antar lembaga, bahkan konflik sosial.
• Berbagai situasi problematik diatas juga akan menyebabkan hubungan antar lembaga
yang kurang harmonis dan menjadikan kurang fokus dalam pelaksanaan tugas
pokoknya.
Dampak ini sendiri bisa berkembang laksana bola salju (snowball effect) yang
merambah sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sementara bagi LAN,
kegagalan kebijakan dan kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya akan
berkorelasi terhadap penurunan kredibilitas institusi serta penurunan ekspektasi dan
kepercayaan stakeholder, yang pada gilirannya akan menyebabkan kemanfaatan lembaga
dipertanyakan.
Oleh karena itu, LAN secara umum maupun Deputi III perlu melakukan introspeksi
dan evaluasi diri guna memetakan kembali problema yang dihadapi, potensi yang dimiliki,
tantangan dan peluang yang berkembang, serta peran-peran baru yang perlu dimainkan.
Dalam kaitan penulisan KTP-2 ini, maka peran LAN (cq. Deputi III) yang diharapkan adalah
melakukan pengkajian issu-issu aktual terkait situasi problematik tentang sistem dan hukum
administrasi negara, serta menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk mencegah
berulangnya situasi problematik dan dampak-dampaknya, sebagaimana dipaparkan diatas.
Secara ringkas, berbagai situasi problematik dan dampak yang mungkin timbul
apabila tidak segera dipikirkan solusi terbaiknya, dapat disederhanakan seperti pada Tabel
2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1. Ringkasan Situasi Problematik (Situation Considered Problematic)
1. Masih tingginya kadar involusi kebijakan, yakni suatu kebijakan yang baik secara
proses dan rumusannya namun tidak memberikan kebaikan bagi publik.
2. Kapasitas legislasi di pusat dan daerah yang rendah.
3. Kepentingan politik praktis dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha,
lembaga donor).
4. Tingginya egoisme sektoral yang mengakibatkan hubungan kewenangan antar
lembaga menjadi tidak jelas atau seringkali tumpang tindih.
5. Koordinasi antar lembaga yang lambat dan tidak efektif.
6. Harmonisasi peraturan yang sulit dilakukan karena adanya egoisme sektoral.
7. Keberadaan dan keberfungsian forum komunikasi kebijakan yang belum optimal.
8. Orientasi policy maker dalam perumusan kebijakan yang keliru dan seringkali lebih di-
drive oleh motif politik daripada pertimbangan teknokratik.
9. Pemaknaan terhadap kinerja kebijakan yang keliru, dengan melihat kinerja kebijakan
sebagai kuantitas pembuatan peraturan perundang-undangan, bukan pada
kemanfaatan bagi publik.
26
10. Budaya akademik dalam siklus kebijakan/pengambilan keputusan yang sangat lemah.
11. Dukungan dari kajian kebijakan yang belum optimal karena manajemen kelitbangan
yang juga terbatas.
12. Link and Match antara kajian dengan kebijakan yang belum terbangun sinergis.
13. Peran lembaga think tank yang masih harus terus ditingkatkan.
14. Rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat terhadap sebuah rancangan
peraturan perundang-undangan.
C. Rich Picture Penguatan Peran LAN Dalam Peningkatan Kualitas Peraturan dan
Kebijakan Nasional Melalui Penajaman Kajian HAN
Diantara ke-14 situasi problematik diatas, beberapa diantaranya memiliki saling
keterkaitan yang cukup kuat, sehingga dapat dilakukan penggabungan situasi problematik
berdasarkan kemiripan dan kedekatannya. Dalam hal ini, dapat diidentifikasikan 5 (lima)
klasifikasi situasi problematik sebagai berikut:
1. Faktor Institusional, berkaitan dengan kapasitas legislasi yang rendah; kepentingan
politik praktis dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha, lembaga donor);
serta tingginya egoisme sektoral yang mengakibatkan hubungan kewenangan antar
lembaga menjadi tidak jelas atau seringkali tumpang tindih.
2. Faktor Networking, yakni situasi problematik yang berkenaan dengan koordinasi antar
lembaga lambat dan tidak efektif; harmonisasi peraturan sulit dilakukan; serta
keberadaan dan keberfungsian forum komunikasi kebijakan belum optimal.
3. Faktor Mindset, berhubungan dengan orientasi policy maker dalam perumusan
kebijakan yang keliru; serta pemaknaan terhadap kinerja kebijakan yang keliru.
4. Faktor Litbang/Kajian Kebijakan (Policy Research), yakni menyangkut budaya akademik
dalam siklus kebijakan sangat lemah; dukungan dari kajian kebijakan belum optimal
karena manajemen kajian lemah; link & match antara kajian dengan kebijakan belum
terbangun sinergis; serta peran lembaga think tank masih terbatas.
5. Faktor Partisipasi, yakni rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat
terhadap sebuah rancangan peraturan perundang-undangan.
Kelima kelompok inilah yang selanjutnya akan dituangkan ke dalam rich picture,
atau sering disebut sebagai problem situation expressed.4
Dalam analisis SSM, rich picture
4
Menurut Sudarsono Hardjosukarto (Soft System Methodology: Metode Serba Sistem Lunak, UI Press,
Jakarta: 2012, hal. 70), rich picture adalah alat yang lazim digunakan dalam SSM untuk pengungkapan
(expressed) situasi dunia nyata yang dianggap problematik. Dengan mengutip Checkland (1999),
27
adalah langkah untuk memilah, mengelompokkan, dan menyederhanakan masalah yang
dikemukakan oleh para pemangku kepentingan tanpa menghilangkan inti dari
permasalahan tersebut. Adapun rich picture dari kompleksitas issu yang diangkat pada
KTP-2 ini dapat dimodelkan sebagaimana Gambar 2.2. dibawah ini.
Gambar 2.2.
Rich Picture
D. Root Definition dan CATWOE Analysis
Dalam konstelasi permasalahan yang digambarkan diatas, LAN (cq. Deputi III)
memiliki posisi dan peran strategis pada cluster ke-3, yakni Faktor Litbang/Kajian Kebijakan
(Policy Research). Dalam hal ini, LAN merupakan lembaga think tank yang harus memiliki
budaya akademik unggul, yang didukung dengan manajemen kajian yang efektif, serta
mampu mengkaitkan hasil kajian dengan perumusan kebijakan. Untuk itu, peran LAN
Sudarsono menjelaskan bahwa informasi yang dikumpulkan dalam rangka pembuatan dan penyajian
rich picture meliputi struktur (structure), proses (process), hubungan antara struktur dengan proses
tersebut, serta pokok perhatian (concerns).
28
(Deputi III) harus terus diperkuat dalam menjalankan fungsi kajian kebijakan dan hukum
administrasi negara agar mampu berkontribusi dalam upaya mewujudkan profil peraturan
perundang-undangan dan kebijakan nasional yang berkualitas.
Atas dasar hal ini, selanjutnya dilakukan analisis CATWOE sebagai upaya
memformulasi root definition sebagai berikut:5
Tabel 2.2. Analisis CATWOE Untuk Menyusun Root Definition
Elemen CATWOE Deskripsi Aplikasi Untuk Analisis KTP-2
C (Costumer) Siapa yang dirugikan atau
diuntungkan dengan
adanya transformasi dari
situasi problematik saat ini
ke situasi yang
diharapkan.
Masyarakat pengguna jasa layanan
pemerintah.
A (Actor) Siapa yang
bertanggungjawab untuk
melakukan transformasi?
LAN (cq Deputi III), Unsur Legislatif
(DPR, DPRD), Unsur Eksekutif
(Presiden beserta
Kementerian/Lembaga), Unsur
Yudikatif (MA, MK).
T (Transformation) Apa input dan output dari
transformasi tersebut?
Penguatan peran LAN (cq. Deputi III)
untuk melaksanakan dan
mempertajam Kajian Hukum
Administrasi Negara
W
(Weltanschauung,
World view)
Apa yang membuat
transformasi bermakna
secara kontekstual?
Penajaman Kajian Hukum
Administrasi Negara diyakini dapat
meningkatkan kualitas peraturan
perundang-undangan dan kebijakan
nasional di bidang administrasi
negara
O (Owner) Siapa yang dapat
menghentikan proses
transformasi tersebut?
LAN (cq Deputi III), Unsur Legislatif
(DPR, DPRD), Unsur Eksekutif
(Presiden beserta
Kementerian/Lembaga), Unsur
Yudikatif (MA, MK).
E (Environmental
Constraint)
Elemen diluar sistem mana
yang baku (taken as
given)
Suksesi Kepemimpinan Nasional
2014, Birokrasi Kelas Dunia 2025.
5
Menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 89-91), root definition adalah deskripsi terstruktur dari
sebuah sistem aktivitas manusia yang relevan dengan situasi problematis yang menjadi perhatian di
dalam penelitian SSM yang berbasis tindakan, yang didalamnya tergambar proses (apa, mengapa, dan
bagaimana) transformasi dalam organisasi. Root definition merupakan sebuah pernyataan yang jelas
tentang aktivitas yang terjadi atau mungkin terjadi di dalam organisasi yang tengah diteliti.
29
Dari analisis CATWOE diatas dapat dirumuskan root definition sebagai berikut:
“Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara (P) Melalui
Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara (Q) Guna Meningkatkan
Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang
Administrasi Negara (R)”
Analisis CATWOE sendiri juga merupakan alat uji atau alat bantu untuk mengingat
(mnemotic) apakah root definition yang disusun benar-benar dapat digunakan sebagai
dasar pembuatan model konseptual (Sudarsono Hardjosukarto, 2012: 96-97).
E. Conceptual Model dan Perbandingannya Dengan Dunia Nyata (Real World)
Setelah dirumuskan root definition, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan
model konseptual (conceptual mdoel). Menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 103-104),
pembuatan model konseptual didasarkan pada root definition yang telah dipilih dan diberi
nama pada tahap sebelumnya. Posisi root definition berkenaan dengan what system is,
sedangkan model konseptual berkenaan dengan apa yang harus dilakukan oleh sistem
tersebut supaya menjadi seperti apa yang dinyatakan dalam root definition.
Model konseptual yang dibuat dalam SSM bukanlah gambaran utuh tentang dunia
nyata, melainkan hanyalah duplikat (notional) dari sistem atau serba sistem aktivitas
manusia yang relevan dan dipilih. Tidak ada model yang benar atau salah, yang ada adalah
model yang relevan dengan situasi problematis Sudarsono Hardjosukarto (2012: 109).
Adapun konseptual model yang penulis kembangkan dari situasi problematis yang diangkat
pada KTP-2 ini adalah sebagai berikut.
30
Gambar 2.3.
Conseptual Model of the System Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan
Kebijakan Nasional Bidang Administrasi Negara
Selanjutnya dari model konseptual diatas dilakukan pembandingan antara situasi
dunia nyata dengan model konseptual. Tahap ini tidak dimaksudkan untuk menilai
kekurangan situasi problematis dunia nyata dibandingkan dengan model konseptual yang
”sempurna”. Pembandingan ini dapat dilakukan dengan diskusi informal, diskusi formal,
penulisan skenario, atau pemodelan dunia nyata (Sudarsono Hardjosukarto, 2012: 110-
112).
Adapun perbandingan model konseptual dengan dunia nyata dalam KTP-2 ini
dapat dielaborasi sebagaimana pada Tabel 2.3. dibawah ini.
31
Tabel 2.3. Perbandingan Model Konseptual dengan Dunia Nyata (Real World)
AKTIVITAS DALAM MODEL DUNIA NYATA / REAL WORLD
Melakukan pemetaan masalah
rendahnya kualitas perundang-
undangan secara kausalistik.
Belum ada pemetaan yang terintegrasi antar
lembaga; setiap instansi memiliki peta masalah,
rencana pengambangan, dan program yang
terpisah satu dengan yang lain.
Menentukan prioritas pemecahan
masalah.
Belum ada sistem prioritas nasional kajian
kebijakan dan HAN. Selama ini banyak
dokumen yang bisa ditafsirkan sebagai prioritas
nasional, seperti Program Legislasi Nasional,
atau RPJM Nasional.
Membangun sinergi, koordinasi,
dan kemitraan dengan instansi
terkait.
Masih kuatnya egosime sektoral dalam
perumusan kebijakan serta tidak ada forum
komunikasi kebijakan antar instansi pemerintah.
Merumuskan common platform
peningkatan peraturan per-UU-an
nasional.
Tidak ada dokumen besar (grand design,
roadmap, atau blueprint) tentang pembangunan
sistem kebijakan nasional. UU No. 12/2011lebih
mengatur dari dimensi normative namun kurang
memberi guidance tentang strategi dan program
untuk mewujudkan kebijakan nasional yang
berkualitas.
Menumbuhkan budaya akademik
dalam proses perumusan
kebijakan nasional.
Pendekatan politis lebih mendominasi
pendekatan teknokratis dan akademis.
Merumuskan pedoman pelibatan
masyarakat untuk menjamin
kebijakan yang inklusif.
Masyarakat belum terlibat aktif dalam siklus
penyusunan kebijakan. Selain belum ada
peraturan yang “memaksa” masyarakat untuk
berpartisipasi, juga ada indikasi kurangnya
antusiasme masyarakat untuk terlibat dalam
perancangan hingga pelaksanaan
kebijakan.peraturan.
Menyusun agenda kajian kebijakan
berbasis kebutuhan dan evidence.
Agenda kebijakan baru sebatas disusun untuk
kebutuhan individual lembaga tertentu, belum
ada policy dialogue yang mempertemukan dan
mengintegrasikan agenda lintas lembaga.
Membenahi manajemen kajian
untuk meningkatkan peran
lembaga.
Kajian kebijakan dan HAN masih menghadapi
banyak kendala dilihat dari aspek SDM peneliti,
anggaran yang tersedia, mekanisme
perencanaan, dan sebagainya.
32
Melakukan kajian untuk
menghasilkan rekomendasi bagi
para pengambil kebijakan.
Hasil kajian dan rekomendasi kebijakan sering
diabaikan oleh para pengambil kebijakan karena
hasil kajian dan rekomendasi tersebut relatif
kurang berkualitas.
Menjamin adanya link and match
hasil kajian dengan peraturan per-
UU-an dan kebijakan.
Kajian dan kebijakan seolah terpisah oleh ruang
dan jarak yang sangat jauh. Selama ini belum
ada “jembatan” yang menghubungkan dan
mendekatkan keduanya.
Meningkatkan kualitas peraturan
per-UU-an dan kebijakan nasional
di bidang administrasi negara.
Kualitas peraturan perundang-undangan di
berbagai level masih relatif rendah, sehingga
kurang mampu mencapai tujuan
pembentukannya.
F. Perubahan yang Ingin Diwujudkan (Feasible and Desirable Changes)
Dari rangkaian langkah yang telah dilalui semenjak mengidentifikasikan situasi
problematik, mengekspresikan situasi problematik dalam bentuk rich picture, menemukan
root definition, merumuskan model konseptual, hingga membandingkan model konseptual
dengan dunia nyata, maka langkah selanjutnya atau langkah keenam adalah menetapkan
perubahan yang diinginkan dan layak diperjuangkan. Dalam hal ini, penulis memandang
ada 3 (tiga) perubahan yang sangat diinginkan, yakni perubahan pada level mikro, level
messo, dan level makro, sebagai berikut:
Gambar 2.4.
Perubahan yang Diinginkan
33
Ketiga perubahan tersebut bersifat unique. Pada satu sisi, ketiganya membentuk
hubungan sekuensial, yang berarti bahwa perubahan pada level mikro akan menentukan
berhasil tidaknya perubahan pada level messo, dan perubahan pada level messo akan
menjadi syarat mutlak bagi berubahnya situasi pada level makro. Namun pada sisi lain,
ketiga level perubahan ini juga dapat atau harus dilakukan secara simultan dan tidak dapat
saling menunggu, sehingga kegiatan yang dilakukan pada rencana aksi berkontribusi
secara terpisah atau secara bersama-sama membentuk perubahan pada ketiga level
tersebut. Perubahan pada level makro dapat pula dikatakan sebagai sasaran utama yang
diinginkan sebagai sebuah weltanschauung yang hendak diwujudkan melalui transformasi
pada level mikro dan messo.
G. Action to be Taken to Improve the Situation (Rencana Aksi)
Memperhatikan berbagai analisis pada tahapan sebelumnya, maka penulis
mengajukan beberapa kegiatan yang dipercaya dapat meningkatkan situasi problematik
yang dihadapi selama ini. Adapun rincian usulan kegiatan tersebut dapat dilihat pada Tabel
yang dimodifikasi sebagai berikut:
Tabel 2.4. Usulan Kegiatan Dalam Kerangka Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-
Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara
No.
Sasaran
Utama
Sasaran
Antara
Kegiatan
1 Meningkatnya
kualitas
peraturan per-
UU-an dan
kebijakan
nasional di
bidang
administrasi
negara.
Meningkatnya
kualitas produk
dan
manajemen
kajian Hukum
Adminstrasi
Negara
• Penyusunan Renstra Kedeputian 2013-
2017;
• Penajaman arah kebijakan, strategi, dan
program kajian HAN;
• Penyelenggaraan forum knowledge
enrichment dan konwledge shared forum
untuk mengasah kompetensi teknis peneliti;
• Penguatan kapasitas peneliti melalui
pengiriman dalam diklat-diklat yang relevan.
2 Menguatnya
peran LAN
dalam
membangun
evidence-based
research untuk
• Audiensi dengan lembaga terkait seperti
MA, MK, Komisi DPR-RI yang membidangi
hukum, Kementerian Kumham (cq. Ditjen
Perundang-Undangan, dst);
• Penyusunan Policy Brief untuk issu-issu
kebijakan kontemporer;
34
mewujudkan
research-based
policy
• Penyelenggaraan forum komunikasi
kebijakan untuk menjembatani kajian
hukum dan kebijakan dengan para policy
makers.
35
BAB III
PENGGAMBARAN MASA DEPAN SISTEM PERATURAN/KEBIJAKAN MENGGUNAKAN
SCENARIO PLANNING
A. Penetapan Focal Concern (FC)
Analisis pada Bab II dengan menggunakan piranti soft system methodology pada
hakekatnya penulis maksudkan untuk menghasilkan pemecahan masalah serta
rekomendasi berupa aktivitas untuk memperbaiki situasi problematik yang dihadapi. Dengan
demikian, dilihat dari kerangka waktunya (time frame), Bab II lebih dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan jangka pendek dan segera.
Sedangkan pada Bab III ini, penulis akan menggunakan piranti scenario planning
yang penulis maksudkan untuk menghasilkan gambaran di masa depan terkait issu atau
substansi yang dianalisis, yakni tentang kualitas peraturan perundang-undangan dan
kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Dengan demikian, kerangka waktunya
menjangkau sekitar 10 tahun kedepan, tepatnya tahun 2025. Pemilihan tonggak waktu 2025
ini sendiri didasarkan pada pertimbangan karena tahun tersebut merupakan akhir periode
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (UU No. 17/2007) dan akhir
periode dari Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 (Peraturan Presiden No.
81/2010).
Berakhirnya secara bersamaan dua dokumen besar tersebut memberi gambaran
bahwa tahun 2025 semestinya menjadi tahun pencapaian prestasi pemerintahan yang
sangat signifikan bagi bangsa Indonesia. Maka, melalui piranti scenario planning ini, penulis
ingin memaparkan gambaran atau deskripsi (bukan preskripsi) tentang kualitas peraturan
perundang-undangan dan kebijakan nasional di Indonesia pada tahun 2025. Dengan
memiliki deskripsi tentang kemungkinan masa depan ini, maka kebijakan, program, atau
kegiatan yang dilakukan pada jangka pendek akan mempunyai benang merah dan
kesinambungan dengan sasaran atau harapan pada jangka menengah atau panjang.
Adapun untuk mengawali analisis skenario ini, dimulai dengan menetapkan focal
concern. Dalam konteks KPT-2 ini, penulis menetapkan Focal Concern yakni: “Masa
Depam Sistem Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang
Administrasi Negara Tahun 2025”.
36
B. Identifikasi Driving Forces (DF)
Driving Forces pada hakekatnya adalah variabel-variabel yang menentukan
keberhasilan pencapaian Focal Concern. Dalam hal ini, agar terjadi konsistensi dalam
analisis, maka penulis memanfaatkan hasil analisis pada Bab II khususnya mengenai
situation considered problematic dan rich picture, yang dikonversi menjadi variabel
pendorong atau Driving Forces.
Tabel 3.1. Driving Forces
No. Diving Forces
1 Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi
2 Tingkat Egoisme Sektoral
3 Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga
4 Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan
5 Ketepatan Persepsi/Orientasi terhadap Peraturan/ Kebijakan
6 Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan
7 Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan
8 Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
9 Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
10 Efektivitas Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan hingga Implementasi
Peraturan/Kebijakan
11 Ketersediaan dan Tingkat Dukungan Sumber Daya Kajian/Litbang Kebijakan
(SDM, Anggaran)
C. Analisis Hubungan Antar Driving Forces (DF)
Terhadap Driving Forces yang telah ditentukan diatas, dilakukan analisis
hubungan atau keterkaitan antar Driving Forces secara non-linier, yakni dengan cara
berpikir serba sistem (systems thinking) menggunakan piranti CLD (causal loops diagram).
Metode ini merupakan pergeseran pola pikir linier ke pola pikir baru yang bersifat sistemik,
37
holistik, saling terkait (inter-connectedness), serta mengkombinasikan antara berpikir
analitikal dengan berpikir sintetikal. CLD sendiri merupakan cara yang tepat dan efektif
untuk menggambarkan secara ringkas pernyataan penyebab (causes) dan
mengidentifikasikan proses-proses balikan (Sumber: LAN, Modul Diklatpim II).
Adapun evaluasi dan penilaian driving forces dengan teknik non-linier dapat dilihat
sebagai berikut:
Gambar 3.1.
Evaluasi dan Penilaian Driving Force Dengan Teknik Non-linier
Dari analisis CLD diatas kemudian dihitung jumlah loops yang mencerminkan
variabel pengungkit sebagai berikut:
Tingkat
Kemampuan/Kapasitas
Legislasi
Tingkat Egoisme
Sektoral
Efektivitas
Koordinasi/Komunikasi
KebijakanAntar Lembaga
Efektivitas Harmonisasi
dalamPerumusan
Peraturan/Kebijakan
Ketepatan
Persepsi/Orientasiterhadap
Peraturan/ Kebijakan
Kadar Budaya Akademik
DalamSiklus Kebijakan/
PengambilanKeputusan
Tingkat Dukungan
Kajian/LitbangKebijakan
Efektivitas Lembaga
Kajian/LitbangKebijakan
KeluasanNetworking&
Kerjasama Antar Lembaga
Kajian/LitbangKebijakan
Efektivitas PartisipasiMasyarakat
dalamPerumusanhingga
ImplementasiPeraturan/Kebijakan
KetersediaandanTingkat
DukunganSumber Daya
Kajian/LitbangKebijakan
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
SS
S
S
S
S
S
O
S
R1
B1
S
O
B2
S
S
R2
S
S
R3
R5
S
R4
SS R7
S
S
O
O
R6
S
R8
S
S
O
B3
38
Tabel 3.2. Analisis Leverage
No Driving Forces
Jumlah &
Panjang Loops
Ranking
1 Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi 34/122 5
2 Tingkat Egoisme Sektoral 42/142 1
3 Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan
Antar Lembaga
33/123 6
4 Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan
Peraturan/Kebijakan
36/129 3
5 Ketepatan Persepsi/Orientasi terhadap Peraturan/
Kebijakan
– 9
6 Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/
Pengambilan Keputusan
35/118 4
7 Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan 37/126 2
8 Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan 4/6 7
9 Keluasan Networking & Kerjasama Antar
Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
4/6 7
10 Efektivitas Partisipasi Masyarakat dalam
Perumusan hingga Implementasi Peraturan/
Kebijakan
1/1 8
11 Ketersediaan dan Tingkat Dukungan Sumber
Daya Kajian/Litbang Kebijakan (SDM, Anggaran)
1/1 8
Dari analisis perbandingan tersebut dapat ditemukan 5 (lima) driving forces yang
paling berpengaruh, yakni: 1) Tingkat Egoisme Sektoral, 2) Tingkat Dukungan
Kajian/Litbang Kebijakan, 3) Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan
Peraturan/Kebijakan, 4) Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/Pengambilan
Keputusan, serta 5) Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi. Selanjutnya, dari kelima
driving forces tersebut diambil 2 (dua) urutan teratas (driving forces utama) yang diyakini
merupakan faktor pengungkit kunci (key leverage) dalam mewujudkan masa depan
peraturan perundang-undangan dan lebijakan nasional bidang administrasi negara yang
berkualitas.
Jika digambarkan uses tree-nya, kedua faktor pengungkit tersebut dapat dilihat
pada skema dibawah ini.
39
Leverage 1: Tingkat Egoisme Sektoral
Leverage 2: Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan
D. Menyusun Matriks Skenario
Kedua leverage diatas selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai sumbu axis (X) dan
ordinat (Y) dalam penyusunan matriks skenario. Prioritas pertama atau leverage tertinggi
yakni “Tingkat Egoisme Sektoral” akan ditempatkan pada sumbu X, sedangkan variabel
“Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan” akan berada pada sumbu Y, dengan masing-
masing memiliki titik ekstrim negatif (kiri, bawah) dan titik ekstrim positif (kanan, atas).
Tingkat Egoisme Sektoral
Efektivitas HarmonisasidalamPerumusan Peraturan/Kebijakan
(Efektivitas Koordinasi/KomunikasiKebijakan Antar Lembaga)
(Tingkat Egoisme Sektoral)
Efektivitas Koordinasi/KomunikasiKebijakan Antar Lembaga
(Efektivitas HarmonisasidalamPerumusan Peraturan/Kebijakan)
(Kadar Budaya Akademik DalamSiklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan)
(Tingkat Egoisme Sektoral)
Kadar Budaya Akademik DalamSiklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan
(Efektivitas Koordinasi/KomunikasiKebijakan Antar Lembaga)
(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)
(Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi)
Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan
(Efektivitas HarmonisasidalamPerumusan Peraturan/Kebijakan)
Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
(Kadar Budaya Akademik DalamSiklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan)
Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
(Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi)
Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi
(Efektivitas HarmonisasidalamPerumusan Peraturan/Kebijakan)
(Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan)
(Tingkat Egoisme Sektoral)
Tingkat DukunganKajian/Litbang Kebijakan
Efektivitas HarmonisasidalamPerumusanPeraturan/Kebijakan
Efektivitas Koordinasi/Komunikasi KebijakanAntar Lembaga
Tingkat Egoisme Sektoral
Efektivitas Lembaga Kajian/LitbangKebijakan
(KeluasanNetworking& Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan)
(Tingkat Dukungan Kajian/LitbangKebijakan)
Kadar Budaya Akademik DalamSiklus Kebijakan/ PengambilanKeputusan
(Efektivitas Koordinasi/KomunikasiKebijakanAntar Lembaga)
(Tingkat DukunganKajian/LitbangKebijakan)
(Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi)
Keluasan Networking& Kerjasama Antar Lembaga Kajian/LitbangKebijakan
(Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan)
(Tingkat DukunganKajian/Litbang Kebijakan)
Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi
(Efektivitas HarmonisasidalamPerumusanPeraturan/Kebijakan)
(Tingkat DukunganKajian/Litbang Kebijakan)
(Tingkat Egoisme Sektoral)
40
Gambar 3.2.
Matriks Skenario
E. Menentukan Ciri-Ciri Kutub
Dari matriks skenario diatas terdapat 4 (empat) titik ekstrem yang terletak pada
ujung kanan dan ujung kiri untuk variabel tingkat egoisme sektoral, serta ujung atas dan
ujung bawah untuk variabel dukungan kajian/litbang kebijakan. Adapun ciri-ciri setiap kutub
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kutub Kanan (Nihil Egoisme Sektoral), ciri-cirinya adalah:
• Jumlah aturan tidak banyak, cukup yang memiliki keterkaitan antar instansi atau
yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat;
• Perumusan kebijakan selalu dilakukan dalam sebuah forum kebijakan secara
inklusif;
• Dalam pembahasan rancangan peraturan, setiap instansi atau tokoh individual lebih
mengedepankan kepentingan nasional dibanding kepentingan pribadi atau
golongan;
• Produk hukum atau regulasi yang dihasilkan cenderung tidak ada penolakan atau
perlawanan dari stakeholders yang terkena regulasi tersebut.
41
2. Kutub Kiri (Egoisme Sektoral Sangat Kuat), ciri-cirinya adalah:
• Banyak instansi berlomba menghasilkan produk hukum di berbagai level;
• Jarang sekali bahkan hampir tidak pernah dilakukan komunikasi kebijakan dengan
berbagai stakeholders sejak awal perumusannya;
• Kepentingan rakyat banyak cenderung diabaikan, dan agenda kebijakan banyak
diwarnai oleh kepentingan kelompok/instansi tertentu;
• Rawan terhadap munculnya konflik kewenangan antar lembaga, atau benturan
substansi antar peraturan;
• Pembahasan suatu aturan selalu menyita waktu yang panjang dibumbui perdebatan
yang berlarut-larut;
• Ketiadaan strong leadership yang mampu mengakomodasi berbagai perbedaan
kepentingan kedalam kepentingan nasional yang lebih besar;
• Energi nasional terbuang sia-sia tanpa menghasilkan manfaat yang signifikan.
3. Kutub Atas (Dukungan Optimal Kajian Terhadap Kebijakan), ciri-cirinya adalah:
• Pertimbangan politis dalam perumusan kebijakan relatif kecil, sementara
pertimbangan akademik dan teknokratik lebih menonjol;
• Kualitas peraturan/kebijakan jauh lebih baik sehingga mengurangi kemungkinan diuji
materi atau direvisi dalam waktu singkat;
• Kebutuhan sosialisasi dan uji publik terhadap (rancangan) peraturan/kebijakan tidak
perlu dilakukan tersendiri, sehingga bisa menghemat sumber daya (anggaran);
• Para policy makers lebih confidence karena kebijakan yang diambil berdasarkan
pada bukti-bukti yang obyektif.
4. Kutub Bawah (Kebijakan Tanpa Dukungan Kajian), ciri-cirinya adalah:
• Peraturan/kebijakan sangat lemah baik secara filosofis, historis, sosiologis, maupun
teoretis;
• Kemungkinan gagalnya peraturan/kebijakan lebih besar yang melahirkan symbolic
policy atau involusi kebijakan;
• Inefisiensi program dan anggaran cukup besar karena perumusan kebijakan dan
pengkajian kebijakan memerlukan anggaran secara terpisah dan tidak reinforcing;
• Masyarakat tidak mendapatkan manfaat langsung dari fungsi pengaturan oleh
pemerintah;
• Kemungkinan uji materi dan revisi peraturan/kebijakan secara terus menerus sangat
besar.
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN
MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN

More Related Content

What's hot

Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...
Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...
Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...Khairul Fadhli
 
1. lpp wildan ndh xlii-18-h - (ok)
1. lpp wildan ndh  xlii-18-h - (ok)1. lpp wildan ndh  xlii-18-h - (ok)
1. lpp wildan ndh xlii-18-h - (ok)efendi suyanto
 
Analisis penerapan konsep balanced scorecard bsc sebagai suatu alat penguku...
Analisis penerapan konsep balanced scorecard  bsc  sebagai suatu alat penguku...Analisis penerapan konsep balanced scorecard  bsc  sebagai suatu alat penguku...
Analisis penerapan konsep balanced scorecard bsc sebagai suatu alat penguku...Harry D. Fauzi
 
Tinjauan pelaksanaan disiplin kerja pegawai di kecamatan astanaanyar bandung
Tinjauan pelaksanaan disiplin kerja pegawai di kecamatan astanaanyar bandungTinjauan pelaksanaan disiplin kerja pegawai di kecamatan astanaanyar bandung
Tinjauan pelaksanaan disiplin kerja pegawai di kecamatan astanaanyar bandungMutiara Bunda Ulil Albab
 
4. kata pengantar laporan KKN 2013
4. kata pengantar laporan KKN 20134. kata pengantar laporan KKN 2013
4. kata pengantar laporan KKN 2013Esir R UKI Toraja
 
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY. “H” DENGA...
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY. “H” DENGA...MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY. “H” DENGA...
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY. “H” DENGA...Warnet Raha
 
Pengaruh kompetensi dan independensi
Pengaruh kompetensi dan independensiPengaruh kompetensi dan independensi
Pengaruh kompetensi dan independensiyogieardhensa
 
Hanjar Latihan Manajemen Kewilayahan untuk Para Kapolsek
Hanjar Latihan Manajemen Kewilayahan untuk Para KapolsekHanjar Latihan Manajemen Kewilayahan untuk Para Kapolsek
Hanjar Latihan Manajemen Kewilayahan untuk Para KapolsekWoro Handayani
 
Laporan aktualisasi rully kartika wijaya
Laporan aktualisasi rully kartika wijaya Laporan aktualisasi rully kartika wijaya
Laporan aktualisasi rully kartika wijaya rullykartikawijaya
 
Bahan Belajar (Hanjar) Pelatihan Menejemen Kewilayahan (Kapolsek)
Bahan Belajar (Hanjar) Pelatihan Menejemen Kewilayahan (Kapolsek)Bahan Belajar (Hanjar) Pelatihan Menejemen Kewilayahan (Kapolsek)
Bahan Belajar (Hanjar) Pelatihan Menejemen Kewilayahan (Kapolsek)Woro Handayani
 
Final skripsi kualifikasi terhadap perjanjian tertentu dan akibat hukumnya
Final skripsi kualifikasi terhadap perjanjian tertentu dan akibat hukumnyaFinal skripsi kualifikasi terhadap perjanjian tertentu dan akibat hukumnya
Final skripsi kualifikasi terhadap perjanjian tertentu dan akibat hukumnyaAlorka 114114
 

What's hot (18)

Kti novita sari
Kti novita sariKti novita sari
Kti novita sari
 
Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...
Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...
Analisis pengaruh indikator makroekonomi terhadap volume transaksi surat berh...
 
1. lpp wildan ndh xlii-18-h - (ok)
1. lpp wildan ndh  xlii-18-h - (ok)1. lpp wildan ndh  xlii-18-h - (ok)
1. lpp wildan ndh xlii-18-h - (ok)
 
Analisis penerapan konsep balanced scorecard bsc sebagai suatu alat penguku...
Analisis penerapan konsep balanced scorecard  bsc  sebagai suatu alat penguku...Analisis penerapan konsep balanced scorecard  bsc  sebagai suatu alat penguku...
Analisis penerapan konsep balanced scorecard bsc sebagai suatu alat penguku...
 
Tinjauan pelaksanaan disiplin kerja pegawai di kecamatan astanaanyar bandung
Tinjauan pelaksanaan disiplin kerja pegawai di kecamatan astanaanyar bandungTinjauan pelaksanaan disiplin kerja pegawai di kecamatan astanaanyar bandung
Tinjauan pelaksanaan disiplin kerja pegawai di kecamatan astanaanyar bandung
 
Kti siti aisah akbid paramata
Kti siti aisah akbid paramataKti siti aisah akbid paramata
Kti siti aisah akbid paramata
 
4. kata pengantar laporan KKN 2013
4. kata pengantar laporan KKN 20134. kata pengantar laporan KKN 2013
4. kata pengantar laporan KKN 2013
 
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY. “H” DENGA...
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY. “H” DENGA...MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY. “H” DENGA...
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY. “H” DENGA...
 
KTI WIDYAISWARA
KTI WIDYAISWARAKTI WIDYAISWARA
KTI WIDYAISWARA
 
Pengaruh kompetensi dan independensi
Pengaruh kompetensi dan independensiPengaruh kompetensi dan independensi
Pengaruh kompetensi dan independensi
 
Kti wa ode rosmini
Kti wa ode rosminiKti wa ode rosmini
Kti wa ode rosmini
 
Hanjar Latihan Manajemen Kewilayahan untuk Para Kapolsek
Hanjar Latihan Manajemen Kewilayahan untuk Para KapolsekHanjar Latihan Manajemen Kewilayahan untuk Para Kapolsek
Hanjar Latihan Manajemen Kewilayahan untuk Para Kapolsek
 
Kti wa ode sitti nurbaedah
Kti wa ode sitti nurbaedahKti wa ode sitti nurbaedah
Kti wa ode sitti nurbaedah
 
Laporan aktualisasi rully kartika wijaya
Laporan aktualisasi rully kartika wijaya Laporan aktualisasi rully kartika wijaya
Laporan aktualisasi rully kartika wijaya
 
Akad 4
Akad 4Akad 4
Akad 4
 
Bahan Belajar (Hanjar) Pelatihan Menejemen Kewilayahan (Kapolsek)
Bahan Belajar (Hanjar) Pelatihan Menejemen Kewilayahan (Kapolsek)Bahan Belajar (Hanjar) Pelatihan Menejemen Kewilayahan (Kapolsek)
Bahan Belajar (Hanjar) Pelatihan Menejemen Kewilayahan (Kapolsek)
 
Jurnal ramadhan fokri 1438 h
Jurnal ramadhan fokri 1438 hJurnal ramadhan fokri 1438 h
Jurnal ramadhan fokri 1438 h
 
Final skripsi kualifikasi terhadap perjanjian tertentu dan akibat hukumnya
Final skripsi kualifikasi terhadap perjanjian tertentu dan akibat hukumnyaFinal skripsi kualifikasi terhadap perjanjian tertentu dan akibat hukumnya
Final skripsi kualifikasi terhadap perjanjian tertentu dan akibat hukumnya
 

Similar to MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN

Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...
Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...
Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...Tri Widodo W. UTOMO
 
Peningkatan Kualitas Kebijakan Publik Melalui Penguatan Manajemen dan Produk ...
Peningkatan Kualitas Kebijakan Publik Melalui Penguatan Manajemen dan Produk ...Peningkatan Kualitas Kebijakan Publik Melalui Penguatan Manajemen dan Produk ...
Peningkatan Kualitas Kebijakan Publik Melalui Penguatan Manajemen dan Produk ...Tri Widodo W. UTOMO
 
Rpp ppkn kls x bab 1 sistem pembagian kekuasaan negara
Rpp ppkn kls x bab 1 sistem pembagian kekuasaan negaraRpp ppkn kls x bab 1 sistem pembagian kekuasaan negara
Rpp ppkn kls x bab 1 sistem pembagian kekuasaan negaraeli priyatna laidan
 
Kesiapsiagaan Bela negara
Kesiapsiagaan Bela negaraKesiapsiagaan Bela negara
Kesiapsiagaan Bela negaradhiratamahatta
 
377029966 rancangan-rh
377029966 rancangan-rh377029966 rancangan-rh
377029966 rancangan-rhefaamalia
 
Sistem Administrasi Negara RI
Sistem Administrasi Negara RISistem Administrasi Negara RI
Sistem Administrasi Negara RISiti Sahati
 
Model Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Dalam Rangka Percepatan Pemb...
Model Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Dalam Rangka Percepatan Pemb...Model Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Dalam Rangka Percepatan Pemb...
Model Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Dalam Rangka Percepatan Pemb...Tri Widodo W. UTOMO
 
RPS-Anti-Korupsi.pdf
RPS-Anti-Korupsi.pdfRPS-Anti-Korupsi.pdf
RPS-Anti-Korupsi.pdfafifah273033
 
Perencanaan dan Pembangunan Daerah berbasis Astagatra
Perencanaan dan Pembangunan Daerah berbasis AstagatraPerencanaan dan Pembangunan Daerah berbasis Astagatra
Perencanaan dan Pembangunan Daerah berbasis AstagatraDadang Solihin
 
Makalah Konsep Akhlak dan Ruang Lingkup Dalam Berpolitik, Berdagang, dan Beru...
Makalah Konsep Akhlak dan Ruang Lingkup Dalam Berpolitik, Berdagang, dan Beru...Makalah Konsep Akhlak dan Ruang Lingkup Dalam Berpolitik, Berdagang, dan Beru...
Makalah Konsep Akhlak dan Ruang Lingkup Dalam Berpolitik, Berdagang, dan Beru...shevi22
 
RPS-SISTEM-PEMERINTAHAN-INDONESIA-2021.pdf
RPS-SISTEM-PEMERINTAHAN-INDONESIA-2021.pdfRPS-SISTEM-PEMERINTAHAN-INDONESIA-2021.pdf
RPS-SISTEM-PEMERINTAHAN-INDONESIA-2021.pdfPetrusPolyando
 
Contoh pelaksanaan aktualisasi nd asn
Contoh pelaksanaan aktualisasi nd asnContoh pelaksanaan aktualisasi nd asn
Contoh pelaksanaan aktualisasi nd asnAgus Triono
 
Tentang sosiometri
Tentang sosiometriTentang sosiometri
Tentang sosiometriAlexander Z
 
Bahan Tayang Agenda I PKP Angkatan 6_2023.pdf
Bahan Tayang Agenda  I PKP Angkatan 6_2023.pdfBahan Tayang Agenda  I PKP Angkatan 6_2023.pdf
Bahan Tayang Agenda I PKP Angkatan 6_2023.pdfGregoriusMtae
 
Perubahan kur pp kn revisi
Perubahan kur pp kn revisiPerubahan kur pp kn revisi
Perubahan kur pp kn revisiNarto Wastyowadi
 

Similar to MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN (20)

Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...
Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...
Agenda Kajian Administrasi Negara Berbasis Karakteristik dan Kebutuhan Wilaya...
 
Peningkatan Kualitas Kebijakan Publik Melalui Penguatan Manajemen dan Produk ...
Peningkatan Kualitas Kebijakan Publik Melalui Penguatan Manajemen dan Produk ...Peningkatan Kualitas Kebijakan Publik Melalui Penguatan Manajemen dan Produk ...
Peningkatan Kualitas Kebijakan Publik Melalui Penguatan Manajemen dan Produk ...
 
Promes pkn x
Promes pkn xPromes pkn x
Promes pkn x
 
Promes pkn x
Promes pkn xPromes pkn x
Promes pkn x
 
Promes pkn x
Promes pkn xPromes pkn x
Promes pkn x
 
Rpp ppkn kls x bab 1 sistem pembagian kekuasaan negara
Rpp ppkn kls x bab 1 sistem pembagian kekuasaan negaraRpp ppkn kls x bab 1 sistem pembagian kekuasaan negara
Rpp ppkn kls x bab 1 sistem pembagian kekuasaan negara
 
Kesiapsiagaan Bela negara
Kesiapsiagaan Bela negaraKesiapsiagaan Bela negara
Kesiapsiagaan Bela negara
 
377029966 rancangan-rh
377029966 rancangan-rh377029966 rancangan-rh
377029966 rancangan-rh
 
Promes pkn xii
Promes pkn xiiPromes pkn xii
Promes pkn xii
 
Sistem Administrasi Negara RI
Sistem Administrasi Negara RISistem Administrasi Negara RI
Sistem Administrasi Negara RI
 
Model Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Dalam Rangka Percepatan Pemb...
Model Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Dalam Rangka Percepatan Pemb...Model Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Dalam Rangka Percepatan Pemb...
Model Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Dalam Rangka Percepatan Pemb...
 
RPS-Anti-Korupsi.pdf
RPS-Anti-Korupsi.pdfRPS-Anti-Korupsi.pdf
RPS-Anti-Korupsi.pdf
 
Perencanaan dan Pembangunan Daerah berbasis Astagatra
Perencanaan dan Pembangunan Daerah berbasis AstagatraPerencanaan dan Pembangunan Daerah berbasis Astagatra
Perencanaan dan Pembangunan Daerah berbasis Astagatra
 
Makalah Konsep Akhlak dan Ruang Lingkup Dalam Berpolitik, Berdagang, dan Beru...
Makalah Konsep Akhlak dan Ruang Lingkup Dalam Berpolitik, Berdagang, dan Beru...Makalah Konsep Akhlak dan Ruang Lingkup Dalam Berpolitik, Berdagang, dan Beru...
Makalah Konsep Akhlak dan Ruang Lingkup Dalam Berpolitik, Berdagang, dan Beru...
 
RPS-SISTEM-PEMERINTAHAN-INDONESIA-2021.pdf
RPS-SISTEM-PEMERINTAHAN-INDONESIA-2021.pdfRPS-SISTEM-PEMERINTAHAN-INDONESIA-2021.pdf
RPS-SISTEM-PEMERINTAHAN-INDONESIA-2021.pdf
 
Contoh pelaksanaan aktualisasi nd asn
Contoh pelaksanaan aktualisasi nd asnContoh pelaksanaan aktualisasi nd asn
Contoh pelaksanaan aktualisasi nd asn
 
Tentang sosiometri
Tentang sosiometriTentang sosiometri
Tentang sosiometri
 
Bahan Tayang Agenda I PKP Angkatan 6_2023.pdf
Bahan Tayang Agenda  I PKP Angkatan 6_2023.pdfBahan Tayang Agenda  I PKP Angkatan 6_2023.pdf
Bahan Tayang Agenda I PKP Angkatan 6_2023.pdf
 
Perubahan kur pp kn revisi
Perubahan kur pp kn revisiPerubahan kur pp kn revisi
Perubahan kur pp kn revisi
 
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
Jurnal Borneo Administrator Vol. 8 No. 3 Tahun 2012
 

More from Tri Widodo W. UTOMO

Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian KesehatanBeyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian KesehatanTri Widodo W. UTOMO
 
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanStrategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanTri Widodo W. UTOMO
 
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiInovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTransformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTri Widodo W. UTOMO
 
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluStrategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluTri Widodo W. UTOMO
 
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNPengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNTri Widodo W. UTOMO
 
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTri Widodo W. UTOMO
 
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikManajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikTri Widodo W. UTOMO
 
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarProspek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarTri Widodo W. UTOMO
 
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightGamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightTri Widodo W. UTOMO
 
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahSignifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahTri Widodo W. UTOMO
 
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaPeta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaTri Widodo W. UTOMO
 
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiKab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiTri Widodo W. UTOMO
 
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanPerumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Recharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangRecharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTransformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTransformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTri Widodo W. UTOMO
 
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaKorpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaTri Widodo W. UTOMO
 
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakInovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakTri Widodo W. UTOMO
 

More from Tri Widodo W. UTOMO (20)

Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian KesehatanBeyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
 
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanStrategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
 
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiInovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
 
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTransformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
 
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
 
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluStrategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
 
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNPengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
 
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
 
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikManajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
 
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarProspek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
 
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightGamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
 
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahSignifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
 
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaPeta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
 
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiKab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
 
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanPerumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
 
Recharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangRecharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang Panjang
 
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTransformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
 
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTransformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
 
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaKorpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
 
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakInovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
 

MENINGKATKAN KUALITAS PERATURAN

  • 1. 0 KARYA TULIS PRESTASI PERSEORANGAN Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara DISUSUN OLEH: NAMA : TRI WIDODO WAHYU UTOMO NDH : 12 ASAL INSTANSI : LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT I, ANGKATAN XXV JAKARTA, 2013
  • 2. i Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara Disusun Oleh: Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA NDH: 12 Disahkan Jakarta, Mei 2013 Oleh Penguji: ( Sri Hadiati WK., SH.,MBA ) ( Sunari Sarwono, MA ) Penguji I Penguji II LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT I, ANGKATAN XXV JAKARTA, 2013 LEMBAR PENGESAHAN
  • 3. ii Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara Melalui Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA NDH: 12 Disetujui untuk diseminarkan Jakarta, Mei 2013 (DR. IR. TJUK SUKARDIMAN, M.SI) Pembimbing LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT I, ANGKATAN XXV JAKARTA, 2013 LEMBAR PERSETUJUAN PENYAJIAN
  • 4. iii RINGKASAN EKSEKUTIF Deputi III bidang Penelitian dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara (Litbang APOAN) memiliki tugas untuk melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan administrasi pembangunan dan otomasi administrasi negara. Dalam menjalankan tugasnya ini, Deputi III masih menghadapi kendala baik internal maupun eksternal. Meskipun demikian, Deputi III memiliki komitmen penuh untuk terus menerus meningkatkan kualitas proses dan hasil kajian, termasuk kemanfaatan bagi seluruh stakeholder. Sehubungan dengan hal tersebut, KPT-2 ini ingin menganalisis permasalahan dan menghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara melalui peningkatan peran Deputi III. Dengan demikian, tujuan dari KTP-2 ini adalah Untuk mengenali dan menguraikan situasi problematik yang dihadapi LAN secara umum dan Deputi III secara khusus dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, untuk kemudian dianalisis dengan teknik tertentu (soft system methodology atau scenario planning), sehingga dapat dihasilkan gambaran keadaan masa depan, strategi, dan langkah-langkah kebijakan untuk memperbaiki situasi yang berkembang dewasa ini. Dari analisis yang dilakukan ditemukan adanya 14 (empat belas) situasi problematik yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas Deputi III sehingga cita-cita mewujudkan sistem perundang-undangan/kebijakan yang berkualitas belum dapat diwijudkan secara optimal. Dari ke-14 kemudian dikelompokkan menjadi 5 (lima) issu yakni issu institusional, networking, mindset, partisipasi masyarakat, dan kajian/litbang administrasi negara, sebagaimana digambarkan dalam rich picture. Setelah dirumuskan conceptual model-nya dan dibandingkan dengan real world, maka dapat diidentifikasikan 3 (tiga) perubahan yang sangat diinginkan, yakni perubahan pada level mikro, level messo, dan level makro. Pada level mikro, transformasi atau perubahan yang diinginkan adalah meningkatnya kualitas produk dan manajemen kajian Hukum Adminstrasi Negara; pada level messo adalah menguatnya peran LAN dalam membangun evidence-based research untuk mewujudkan evidence-based policy atau research-based policy; sedangkan pada level makro adalah meningkatnya kualitas peraturan perrundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Selanjutnya analisis scenario planning telah menghasilkan 11 (sebelas) variabel atau driving forces yang mempengaruhi upaya untuk mewujudkan kualitas peraturan perundang-undangan/ kebijakan nasional di bidang administrasi negara pada masa mendatang, tepatnya 2025. Setelah dilakukan analisis keterkaitan antar driving forces dengan teknik non-linier menggunakan CLD, ditemukan 2 (dua) driving forces yang paling berpengaruh yakni tingkat egoisme sektoral yang masih tinggi, tingkat dukungan kajian yang masih rendah terhadap perumusan kebijakan.kedua leverage inilah yang digunakan untuk menyusun skenario. Dari ciri-ciri kutub kedua leverage tersebut dan kombinas sumbu positif dan negatif, telah ditemukan 4 (empat) skenario dengan karakeristik berbeda-beda. Untuk memudahkan pemahaman, maka setiap skenario diberi nama sebagai metafora skenario sebagai berikut:
  • 5. iv 1. Skenario 1 (kuadran 1): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana; 2. Skenario 2 (kuadran 2): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Laksamana; 3. Skenario 3 (kuadran 3): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Kumbakarna; 4. Skenario 4 (kuadran 4): Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Rahwana/Dasamuka, Dari keempat skenario diatas, maka rekomendasi kebijakan yang dipilih adalah Skenario 1, yakni Sistem Peraturan/Kebijakan Berkarakter Wibisana, dengan harapan dapat memperbaiki situasi pada 3 (tiga) kuadran lainnya. Dan agar cita-cita membangun sistem kebijakan/peratuan yang berkualitas unggul pada tahun 2025 dapat terstruktur dalam kerangka pemikiran jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek/tahunan, maka KTP-2 ini telah menuangkan dalam logika perencanaan strategis, paling tidak komponen-komponen utamanya. Dalam kaitan ini, telah dirumuskan pernyataan Visi, Misi, Nilai-Nilai Organsiasi (Values), serta Tujuan dan Sasaran sebagai strategi implementasi untuk mewujudkan cita-cita diatas.
  • 6. v KATA PENGANTAR “Kasih sayang dan pertolongan Allah selalu lebih besar dari pada hambatan dan cobaan yang membentang”. Atas dasar keyakinan seperti itulah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP-2), sebagai kelengkapan administratif dan akademis dan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam Diklat Kepemimpinan Tingkat I Angkatan XXV ini. Untuk itu, rasa syukur tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah Sang Maha Pemurah dan Maha Berilmu, yang telah memberi setitik kemampuan bagi penulis untuk berpikir, menyodorkan kosep, kemudian merajutnya dalam tulisan sederhana ini. Selain sebagai syarat kelulusan mengikuti Diklatpim, KTP-2 ini tentu bukan hanya formalitas belaka, itulah sebabnya, penulis mencoba semaksimal mungkin berdasarkan kemampuan penulis untuk membuat karya ini lebih berarti, baik bagi diri pribadi penulis, tempat kerja dan tempat mengabdi penulis di LAN-RI, serta bagi khalayak birokrat dan intelektual, serta bagi bangsa negara Indonesia secara keseluruhan. Ide, konsep, maupun pemikiran rinci dari karya tulis ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. Terselesaikannya KTP-2 ini tentu bukan hasil “keringat” penulis sendiri. Ini adalah sintesa kasat mata maupun transendental dari berbagai pihak terkait yang memungkinkan “takdir” ini terjadi. Oleh karenanya, wajib bagi penulis mempersembahkan rasa terima kasih yang tulus kepada Bapak Kepala LAN, Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA yang telah menugaskan dan memberi kepercayaan yang besar kepada penulis untuk mengikuti Diklatpim Tingkat I Angkatan XXV. Atas dasar kepercayaan itu pulalah, penulis mencoba untuk tidak mengecewakan selama menjalankan kewajiban selaku peserta. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Bapak Deputi III, Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc, atasan langsung penulis, yang telah memberi dukungan moril dan selalu menjadi mentor yang baik bagi penulis. Demkian pula untuk para peneliti dan staf Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara, penulis menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya. Tanpa keberadaan Kapusnya di tempat, ternyata tidak menyurutkan semangat untuk mengukir preastasi dan kinerja terbaik. Kepada para penyelenggara Diklatpim I, dari Bapak Deputi Spimnas Bidang Kepemimpinan, Prof. Dr. Ismail Sai, SH.,MH., Kapusdiklat Spimnas Bidang Kepemimpinan, Dra. Reni Suzana, MPPM, hingga pada tenaga administrasi yang telah memberikan pelayanan siang malam dengan setulus hari, pak Parlan, mas Haris, mas Ari Noviono, mas Bambang Setyo, dan lain-lain yang tidak dapat disebut satu-persatu, penulis ucapkan terima kasih,
  • 7. vi dengan disertai doa semoga pengabdian bapak/ibu semua menjadi amal jariyah yang dibalas dengan pahala tidak pernah terputus dari Allah SWT. Kepada seluruh rekan-rekan peserta yang telah menjadikan waktu 11 minggu tidak terasa lama dan penuh dengan aura positif, penulis sampaikan terima kasih, semoga kebersamaan dan jalinan kekeluargaan yang telah terpatri dapat terus kita pelihara di hari-hari mendatang. Tidak lupa pula kepada seluruh Tim Widyaiswara yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, khususnya kepada pembimbing KTP-2, Bapak Dr. Ir. Tjuk Sukardiman, M.Si., penulis menghaturkan jutaan terima kasih atas segala ilmu yang dicurahkan, kesabaran yang terus ditebarkan, serta kebijaksanaan (wisdom) yang diteladankan kepada seluruh peserta. Terakhir, untuk istri penulis tersayang, R. Kania Bratadiredja, dan anak-anak penulis Teteh Syifa, Mbak Rara, Kakak Tria, Kang Mizan, dan Adik Nizam, karya tulis ini adalah persembahan dan wujud dedikasi penulis untuk keluarga. Meskipun Kakak Tria, Kang Mizan, dan Adik Nizam sakit-sakitan dalam 3 minggu terakhir, namun cinta yang terpancar dan sentuhan-sentuhan kejiwaan dari istri dan kelima anak penulis jauh lebih besar dan membuat penulis mampu menyelesaikan KTP-2 ini meski terpaksa agak terhambat dan tersendat. Semoga Allah ar Rahman ar Rahiem al Kariem senantiasa melimpahkan segala kebaikan dan keberkahan dari segala penjuru langit dan bumi untuk kemuliaan kalian semua. Akhirul kalam, karya sederhana ini tentu menyimpan banyak kelemahan dan kecacatan, dibalik ide-ide yang mungkin cukup orisinal dan baik untuk perbaikan institusional. Adanya kebaikan sepenuhnya adalah hidayah Allah, dan keburukan yang ada sepenuhnya adalah wujud kefakiran ilmu dari penulis. Untuk itu, penulis mengundang sidang pembaca untuk memberi pengayaan dan pelurusan terhadap karya tulis ini. Wassalamu’alaikum Salam semangat tak pernah padam! Jakarta, 14 Mei 2013 (Ultah Kakak Tria ke-6) Tri Widodo W. Utomo NDH 12
  • 8. vii LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT DIKLAT SPIMNAS BIDANG KEPEMIMPINAN PAKTA INTEGRITAS Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP-2) saya susun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Diklatpim Tingkat II yang seluruhnya merupakan hasil karya sendiri. Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan KTP-2 yang saya kutip secara langsung atau tidak langsung dari hasil karya orang lain telah saya tuliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian KTP-2 ini bukan karya tulis saya sendiri, atau ada indikasi adanya plagiasi di bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Pakta Integritas ini dibuat dengan sebenarnya, tanpa tekanan dari siapapun, dan Pakta Integritas ini digunakan untuk seperlunya. Jakarta, 14 Mei 2013 Tri Widodo Wahyu Utomo NDH. 12
  • 9. viii DAFTAR ISI Halaman Judul ………………………………………………………………………………….. i Lembar Pengesahan …………………………………………………………………………… ii Lembar Persetujuan Penyajian ………………………………………………………………… iii Ringkasan Eksekutif …………………………………………………………………………….. iv Kata Pengantar ………………………………………………………………………………….. vi Pakta Integritas ………………………………………………………………………………….. viii Daftar Isi ………………………………………………………………………………………….. ix Daftar Tabel ………………………………………………………………………………………. xi Daftar Gambar ……………………………………………………………………………………. xii Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 1 A. Latar Belakang ………………………………………………………………….. 1 B. Potret Kinerja Kebijakan di Indonesia …………………………………………. 5 1. Pengujian Undang-Undang (Judicial Reviel/Constitutional Review) ..... 5 2. Evaluasi dan Klarifikasi Peraturan Daerah ............................................ 7 3. Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan (beschikking) ......................................................................................... 10 4. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara .................................... 10 C. Symbolic Policy vs Evidence-based Policy …………………………………… 10 D. Sistem Administrasi Negara (SAN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) …………………………………………………………………………….. 12 E. Maksud dan Tujuan Penulisan KTP-2 ………………………………………… 17 F. Metode dan Teknik Analisis …………………………………………………… 17 G. Sistematika Penulisan ………………………………………………………….. 18 Bab II Perumusan dan Pemecahan Masalah Menggunakan SSM …………………. 20 A. Permasalahan (Situation Considered Problematic) Terkait Tugas dan Fungsi Instansi ………………………………………………………………….. 20 B. Dampak Apabila Permasalahan Tidak Diselesaikan ……………………….. 24
  • 10. ix C. Rich Picture Penguatan Peran LAN Dalam Peningkatan Kualitas Peraturan dan Kebijakan Nasional Melalui Penajaman Kajian HAN ……… 25 D. Root Definition dan CATWOE Analysis ……………………………………… 27 E. Conceptual Model dan Perbandingannya Dengan Dunia Nyata (Real World) ……………………………………………………………………………. 29 F. Perubahan yang Ingin Diwujudkan (Feasible and Desirable Changes) …… 32 G. Action to be Taken to Improve the Situation (Rencana Aksi) ………………. 33 Bab III Penggambaran Masa Depan Sistem Peraturan/Kebijakan Dengan Scenario Planning ………………………………………………………………… 35 A. Penetapan Focal Concern (FC) ……………………………………………….. 35 B. Identifikasi Driving Force (DF) …………………………………………………. 36 C. Analisis Hubungan Antar Driving Forces (DF) ………………………………. 36 D. Menyusun Matriks Skenario ……………………………………………………. 39 E. Menentukan Ciri-Ciri Kutub …………………………………………………….. 40 F. Metafora dan Narasi Skenario …………………………………………………. 42 G. Rekomendasi Kebijakan ……………………………………………………….. 45 Bab IV Pengembangan Kebijakan dan Rencana Implementasinya ……………….. 46 A. Penetapan Visi dan Misi ……………………………………………………….. 46 B. Nilai-Nilai Organisasi (Values) ………………………………………………… 47 C. Tujuan dan Sasaran …………………………………………………………….. 48 D. Kebijakan dan Program …………………………………………………………. 50 Bab V Penutup ……………………………………………………………………………… 52 Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………. 55
  • 11. x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Potret Undang-Undang yang Tidak Berkualitas Dilihat dari Tahun dan Materinya ………………………………………………………………………… 6 Tabel 1.2. Rekapitulasi Pembatalan dan Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009) … 8 Tabel 1.3. Rekapitulasi Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009) …………………… 9 Tabel 1.4. Intisari Materi Sistem Administrasi Negara (SAN) Berdasarkan Textbook Ilmu Administrasi Negara ……………………………………………………… 14 Tabel 1.5. Perbandingan Tahapan Metode SSM dan Metode Scenario Planning …… 18 Tabel 2.1. Ringkasan Situasi Problematik (Situation Considered Problematic) ……… 25 Tabel 2.2. Analisis CATWOE Untuk Menyusun Root Definition ……………………….. 28 Tabel 2.3. Perbandingan Model Konseptual dengan Dunia Nyata (Real World) ......... 31 Tabel 2.4. Usulan Kegiatan Dalam Kerangka Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara ........................................................................................................ 33 Tabel 3.1. Driving Forces (DF) ……………………………………………………………. 36 Tabel 3.2. Analisis Leverage ……………………………………………………………… 38
  • 12. xi DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Kerangka Logis Pembenahan Kajian Kebijakan Dalam Membangun Penyelenggaraan Negara yang Baik (Pendekatan Sistem: Input-Output- Outcome) ……………………………………………………………………….. 24 Gambar 2.2. Rich Picture …………………………………………………………………….. 27 Gambar 2.3. Conseptual Model of the System Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional Bidang Administrasi Negara ………………………………………………………………………….. 30 Gambar 2.4. Perubahan yang Diinginkan ........................................................................ 32 Gambar 3.1. Evaluasi dan Penilaian Driving Force Dengan Teknik Non-linier ………… 37 Gambar 3.2. Matriks Skenario ……………………………………………………………… 40 Gambar 3.3. Metafora Skenario ……………………………………………………………… 42 Gambar 4.1. Peta Strategi Deputi III LAN …………………………………………………… 51
  • 13. 1 BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Dilihat dari sejarahnya, Lembaga Administrasi Negara (selanjutnya disebut LAN) didirikan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna administrasi negara. Hal ini bisa disimak dari Pidato Perdana Menteri Djuanda tanggal 5 Mei 1958 pada saat pelantikan Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo sebagai Direktur LAN, yang antara lain menegaskan sebagai berikut: “… telah menjadi kenyataan, terutama di negara-negara Asia, bahwa kelambatan dari usaha-usaha pembangunan ekonomi dan masyarakat disebabkan oleh struktur dan cara bekerja Administrasi Negara yang kurang berdayaguna. Oleh sebab itu pula, … yang menjadi salah satu tugas pokok dari LAN adalah penyelidikan (research) di lapangan Administrasi Negara, baik yang bersifat induktif dan empiris (mengumpulkan bahan-bahan didalam negeri guna memperoleh kesimpulan yang akan dijadikan faktor penting untuk menentukan corak administrasi negara kita), maupun yang bersifat komparatif (mengumpulkan bahan-bahan keterangan sistem dan struktur administrasi di negara-negara lain guna dijadikan bahan perbandingan dan perbincangan didalam usaha-usaha menemukan dan menyusun suatu Administrasi Negara Indonesia yang berdayaguna). Dan salah satu bagian di lapangan research dari LAN ini yang sangat penting adalah “Bagian Konsultasi” yang harus terdiri atas ahli administrasi dan manajemen … yang mampu memberikan advis-advis mengenai administrasi, organisasi, metode-metode, manajemen, dsb.” Untuk dapat memahami lebih dalam tentang LAN, perlu juga disimak Pidato Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo sebagai berikut: “Keputusan Pemerintah untuk mendirikan LAN, yang berarti bahwa Pemerintah secara tegas hendak membangun Public Administration di Indonesia, adalah suatu titik perubahan pokok di dalam sejarah kenegaraan kita. Dengan keputusan tersebut kita meninggalkan azas Negara Hukum yang kita pelajari dari Belanda, dan dengan tidak meninggalkan hukum itu, kita sekarang sedang menuju ke suatu ”Negara Administratif” ... Dengan mendirikan LAN ini, Pemerintah ingin mempercepat proses perubahan jiwa Pegawai-pegawai Negeri kita, yang pada masa ini masih selalu menjadi ejekan masyarakat, yaitu perubahan dari pegawai negeri yang ”hanya menjalankan peraturan” saja ke Pegawai Negeri Indonesia yang baru, yang mempunyai entrepreneurship dan leadership yang berjiwa sebagai ”managers
  • 14. 2 of the state” atau ”public managers” yang penuh inisiatif sendiri serta berjiwa dinamis, dan yang selalu berusaha untuk mempertinggi produktivitas kerja, produktivitas negara, produktivitas modal nasional, dan sebagainya ... ” Pidato Perdana Menteri Djuanda diatas dapat dikatakan sebagai philosophische grondslag (dasar filosofis) dari keberadaan LAN, dan senantiasa harus dijadikan sebagai rujukan dalam mengkaji kinerja dan kebutuhan pengembangan organisasi LAN dimasa- masa selanjutnya. Tanpa merujuk pada pola pikir dan semangat awal pendiriannya, pembicaraan tentang LAN bisa terjebak pada siatuasi ahistoris, dimana perdebatan tentang LAN tidak fokus dan mengakar pada cita-cita dan mandat yang diberikan oleh para pimpinan negara waktu itu. Dari penggalan pidato kedua pejabat diatas nampak jelas bahwa LAN tidak hanya memiliki tugas dalam mendidik dan melatih PNS, namun juga mengemban fungsi penelitian (kajian) dan perkonsultasian. Itulah sebabnya, dalam berbagai peraturan yang menjadi payung hukum eksistensi LAN hingga saat ini, fungsi penelitian atau kajian masih tetap dipertahankan. Dan mengacu pada Keputusan Presiden No. 103/2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen jo. Peraturan Presiden No. 64/2005, LAN pada prinsipnya adalah unit pemikir (think tank) pemerintah untuk memperbaiki sistem administrasi negara dan kualitas kebijakan publik, baik pada tataran nasional maupun daerah. Dalam menjalankan tugas dan fungsi LAN tersebut, Deputi III bidang Penelitian dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara (Litbang APOAN). Deputi III memiliki tugas untuk melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan administrasi pembangunan dan otomasi administrasi negara. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Deputi Bidang Litbang APOAN memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Penyusunan telaahan kebijakan di bidang administrasi pembangunan, pengembangan system informasi dan otomasi administrasi negara, kerjasama regional dan internasional di bidang administrasi negara dan kajian hukum administrasi negara, 2. Penyusunan agenda kajian kebijakan di bidang administrasi pembangunan, pengembangan sistem informasi dan otomasi administrasi negara, kerja sama regional dan internasional di bidang administrasi negara dan kajian hukum administrasi negara, 3. Pengkajian administrasi pembangunan dan kerjasama regional, 4. Pengkajian dan pengembangan sistem informasi dan otomasi administrasi negara,
  • 15. 3 5. Pengkajian dan pengembangan hukum administrasi negara, 6. Pengembangan kerja sama internasional di bidang administrasi negara, 7. Pelaksanaan tugas lain yang terkait yang ditetapkan oleh Kepala. Ketujuh fungsi Deputi Litbang APOAN diatas secara operasional dilaksanakan oleh 3 (tiga) Pusat, yakni: 1. Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara (PKHAN), 2. Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI), 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Informasi dan Otomasi Administrasi Negara (Puslitbang SIOAN). Dalam melakukan tugas kajian/penelitian kebijakan tersebut, harus diakui LAN masih menghadapi beberapa kendala dan kelemahan, baik yang bersumber pada kondisi internal maupun eksternal. Pada aspek internal, beberapa masalah yang sering dihadapi adalah: Terbatasnya kapasitas (kuantitas dan kualitas) tenaga peneliti dibandingkan dengan lingkup substantif kajian administrasi negara yang sangat luas serta issu-issu aktual dan tuntutan publik yang semakin berkembang. Terbatasnya anggaran penelitian yang membatasi kebutuhan untuk penetapan lokus/sampel penelitian, pencetakan laporan/publikasi, pengiriman diklat bagi peneliti, dan sebagainya. Mekanisme perencanaan dan koordinasi kelitbangan antar unit-unit kajian yang belum terpola secara baku. Sementara itu, pada aspek eksternal terdapat masalah-masalah umum yang berada diluar kewenangan LAN, misalnya sebagai berikut: Belum adanya forum koordinasi kelitbangan khusus Paguyuban PAN. Hal ini mengakibatkan indikasi program kajian yang dilakukan Kantor Menpan, LAN, BKN, ANRI, dan BPKP tidak saling memperkuat dan bahkan membuka kemungkinan tumpang tindih, baik dalam hal judul kegiatan, substansi, maupun lokus penelitian. Forum kelitbangan yang ada saat ini, yakni FKK (Forum Koordinasi Kelitbangan) belum optimal karena selain bersifat sangat umum (tidak fokus pada issu tertentu), juga tidak terjadual secara rutin dengan agenda yang jelas dan tegas. Belum adanya penetapan dari instansi Pembina Jabatan Fungsional Peneliti, yakni LIPI, tentang standarisasi kompetensi peneliti. Kalaupun ada, nampaknya masih cenderung asal ada dan tidak mencerminkan kompetensi yang sesungguhnya.
  • 16. 4 Meskipun dihadapkan pada beberapa kelemahan, LAN memiliki komitmen penuh untuk terus menerus meningkatkan kualitas proses dan hasil kajian, termasuk kemanfaatan bagi seluruh stakeholder. Komitmen ini antara lain ditandai dengan upaya melakukan revitalisasi kelembagaan dalam rangka organizational development, restrukturisasi program dan kegiatan untuk mempertajam output dan outcomes, serta menerapkan pola baru dalam promosi dan mutasi pegawai. Terlepas dari permasalahan umum diatas, perlu dikemukakan disini bahwa hasil kajian/penelitian yang ada saat inipun sudah cukup menunjukkan kemanfaatan yang nyata. Bentuk-bentuk kemanfaatan beragam dari pemanfaatan sebagai bahan bacaan, koleksi perpustakaan, rujukan dalam menyusun pidato pejabat, rujukan dalam penulisan skripsi/thesis/disertasi di berbagai Perguruan Tinggi, penggunaan sebagai bahan ajar perkuliahan di Perguruan Tinggi atau diklat-diklat, pengembangan wawasan bagi aparat pemerintah, hingga adopsi sebagai muatan (content) suatu kebijakan tertentu. Beberapa kebijakan atau hukum positif yang merupakan kontribusi pemikiran LAN antara lain Keppres No. 44 dan 45 Tahun 1974, Inpres No. 7/1999, PP No. 101/2000, Permenpan No. 20, 25, dan 26 Tahun 2006, Permenpan No. 13/2009, dan sebagainya. Draft perubahan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, juga tidak lepas dari rekomendasi yang dihasilkan LAN. Di tingkat daerah, rekomendasi yang dihasilkan oleh PKP2A juga cukup banyak mewarnai kebijakan di level Provinsi, Kabupaten dan Kota. Di tengah-tengah kendala yang ada serta kemanfaatan yang telah diraih, LAN juga komit untuk melakukan pembenahan sistemik menuju manajemen kelitbangan yang lebih berbobot dan professional. Pembenahan ini dilakukan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasinya, yakni dengan mengoptimalkan fungsi unit- unit kerja terkait. Pada saat yang sama, upaya membangun kompetisi yang sehat antar unit kajian juga terus ditumbuhkan melalui berbagai program budaya kerja, salah satunya melalui penyelenggaraan knowledge shared forum sebagai media pengembangan tradisi akademik di unit litbang/ kajian. Dari deskripsi tentang filosofi pendirian, mandat organisasi (tugas dan fungsi), serta kendala dan kinerja yang dicapai tersebut diatas, dipandang perlu untuk lebih memperkuat peran Deputi III Bidang APOAN untuk memperkokoh kedudukan dan kontribusi LAN secara menyeluruh. Dan mengingat keragaman karakteristik tugas, fungsi, dan departementasi Deputi III, maka dalam rangka rencana penulisan Karya Tulis Prestasi
  • 17. 5 Perseorangan (KTP2) ini akan difokuskan pada tugas dan fungsi yang berkaitan dengan pengkajian Hukum Administrasi Negara. B. Potret Kinerja Kebijakan di Indonesia Sebagaimana telah disinggung pada Bab sebelumnya, kinerja kebijakan pemerintah secara umum kurang menggembirakan. Kebijakan pemerintah disini difokuskan pada perumusan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang dan Peraturan Daerah), penerbitan Keputusan, serta sengketa kewenangan antar lembaga negara. 1. Pengujian Undang-Undang (Judicial Reviel/Constitutional Review) Dari sejumlah permohonan yang diajukan ke MK sejak 2003 hingga 2012, tercatat 1.166 perkara yang telah ditangani oleh MK. Dari jumlah tersebut, jika dipilah berdasarkan kewenangan, terdapat 532 perkara (45%) Pengujian Undang-Undang (PUU), 21 perkara (2%) Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, 116 perkara (10%) Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden, serta 497 perkara (43%) PHPU Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Mahkamah Konstitusi, Laporan Tahunan 2012). Dari 532 perkara PUU yang ditangani sejak 2003 sampai 2012, MK telah menyelesaikan 460 perkara. Jumlah penyelesaian ini terdiri dari 414 (90%) putusan dan 46 (10%) perkara melalui Ketetapan. Adapun jumlah untuk masing-masing amar putusannya adalah 127 perkara (31%) dikabulkan, 154 perkara (37%) ditolak, dan 133 perkara (32%) tidak dapat diterima. Selebihnya, melalui ketetapan: 45 perkara (98%) ditarik kembali dan 1 perkara (2%) tidak berwenang (MK, Laporan Tahunan 2012). Sejak 2003 hingga 2012, tercatat 182 UU yang diuji ke MK. Dari jumlah ini, terdapat 2 UU yang paling banyak diuji, yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan frekuensi uji 36 kali, serta UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan jumlah uji 27 kali. Sedangkan jika ditilik berdasarkan tahun pembuatan undang-undangnya, produk legislasi tahun 2004 paling banyak diuji ke MK. Tercatat 22 UU yang dibuat pada tahun ini telah diuji ke MK sejak 2003 hingga 2012 (MK, Laporan Tahunan 2012). Jika banyaknya perkara PUU mengindikasikan lemahnya kapasitas perundang- undangan, maka kelemahan terburuk legislasi nasional terjadi pada tahun 2004 dimana dilakukan pengujian sebanyak 22 UU; disusul secara berurutan tahun 2009 (19 UU);
  • 18. 6 2008 (18 UU); 2003 (17 UU); 2007 dan 2011 (12 UU); 1999 dan 2002 (11 UU). Adapun jika frekuensi pengujian terhadap sebuah UU mencerminkan kualitas UU tersebut, maka UU yang paling rendah kualitasnya adalah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (36 kali pengujian); UU No. 8/1981 tentang KUHAP (27 kali); UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (25 kali); UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (18 kali); UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (16 kali); UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (15 kali); UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (12 kali); UU No. 20/2003 tentang Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (11 kali); serta UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (10 kali). Secara skematis, potret kualitas Undang-Undang berdasarkan hasil pengujian material Mahkamah Konstitusi dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Tabel 1.1. Potret Undang-Undang yang Tidak Berkualitas Dilihat dari Tahun dan Materinya No. Pengujian Berdasarkan Tahun Pengundangan Pengujian Berdasarkan Materi UU Tahun Jml UU yg Diuji Materi Frek. Pe- ngujian 1 2004 22 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; 36 2 2009 19 UU No. 8/1981 tentang KUHAP; 27 3 2008 18 UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; 25 4 2003 17 UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; 18 5 2007, 2011 12 UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 16 6 1999, 2002 11 UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; 15 7 1992, 2001, 2006, 2012 5 UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 12
  • 19. 7 8 2000 4 UU No. 20/2003 tentang Tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi; 11 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan; UU No. 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; 10 Sumber:Mahkamah Konstitusi, Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara: Laporan Tahunan 2012, MK, 2012 (diolah). 2. Evaluasi dan Klarifikasi Peraturan Daerah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 136 mengatur bahwa Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas daerah. Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selama ini, Pemerintah Pusat cq. Kementerian Dalam Negeri melakukan pengawasan terhadap Perda, yang terdiri dari Klarifikasi dan Evaluasi Perda. Menurut Permendagri No. 53/2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, sebagaimana telah dicabut dengan Permendagri No. 53/2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah guna mengetahui apakah peraturan daerah atau peraturan kepala daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan evaluasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala daerah untuk mengetahui apakah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.1 Terkait dengan issu peraturan daerah ini, Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (2012, Issu Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Dalam RUU Tentang 1 Selama ini dipahami secara luas bahwa evaluasi adalah bentuk pengawasan secara preventif, sedangkan klarifikasi adalah bentuk pengawasan secara represif. Namun perlu dicatat bahwa baik UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 27/2009 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), Permendagri No. 53/2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, serta Permendagri No. 53/2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, tidak satu pasal dan ayat-pun yang menggunakan istilah ini. Satu-satunya produk hukum yang menyebut adanya istilah pengawasan represif adalah Keputusan Mendagri No. 41/2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah. Oleh karena itu, sebaiknya klarifikasi dan evaluasi tidak lagi dikait-kaitkan dengan pengawasan represif dan preventif karena bisa menimbulkan kebingungan hukum dan kesalahpahaman dalam interpretasi.
  • 20. 8 Pemerintahan Daerah, bahan paparan) menyebutkan adalah 6 (enam) masalah pokok sebagai berikut: • Banyak peraturan daerah yang bermasalah. • Pengawasan preventif terhadap peraturan daerah tidak optimal. • Pembatalan peraturan daerah bermasalah langsung oleh presiden tidak efisien mengingat jumlah dan jenis peraturan daerah banyak dan beragam. • Kecenderungan daerah tidak menyampaikan peraturan daerah yang telah ditetapkan kepada pemerintah sehingga pemerintah tidak dapat melakukan klarifikasi atas peraturan daerah tersebut. • Sulit diketahui jumlah dan jenis peraturan daerah sehingga pengawasan terhadap peraturan daerah tidak optimal. • Tidak ada sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan peraturan daerah. Dengan banyaknya permasalahan di sekitar peraturan daerah, maka wajarlah jika selama ini kita dengar banyaknya peraturan daerah yang dibatalkan oleh pemerintah Pusat. Dalam hal ini, pada periode 2002-2009 klarifikasi yang menghasilkan keputusan berupa pembatalan peraturan daerah dapat disimak pada Tabel dibawah ini. Tabel 1.2. Rekapitulasi Pembatalan dan Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009) TAHUN PDRD MIHOL SP3 LAIN2 JUMLAH 2002 17 - 2 - 19 2003 95 3 1 6 105 2004 220 2 13 1 236 2005 118 1 4 3 126 2006 114 - - - 114 2007 161 1 4 7 173 2008 223 4 - 2 229 2009 831 11 5 29 876 Jumlah 1779 22 29 48 1878 Sumber: Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (2012). Keterangan: PDRD : Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Mihol : Minuman Beralkohol SP3 : Sumbangan Pihak Ketiga Lain-lain: Perijinan, Air Tanah, Pelayanan Terpadu, Syariah, dan sebagainya.
  • 21. 9 Semenjak tahun 2010, Menteri Dalam Negeri masih terus melakukan klarifikasi terhadap peraturan daerah, namun tidak lagi membatalkan perda-perda bermasalah. Pembatalan peraturan daerah dilakukan langsung melalui Peraturan Presiden. Tabel 1.3. Rekapitulasi Klarifikasi Peraturan Daerah (2002-2009) TAHUN PDRD MIHOL SP3 LAIN2 JUMLAH 2010 324 7 2 74 407 2011 265 12 69 5 351 2012 61 4 24 84 173 Jumlah 650 23 95 163 931 Sumber: Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (2012). Sementara untuk tahun 2013, sampai dengan Februari telah diklarifikasi 423 peraturan daerah, dengan 30 diantaranya dikategorikan sebagai perda bermasalah. Jumlah total sebanyak 931 peraturan daerah (2010-2012) yang diklarifikasi ini sering disebut dengan peraturan daerah yang bermasalah. Jika sebelum tahun 2010 peraturan daerah bermasalah khusus terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dibatalkan langsung oleh Menteri Dalam Negeri, maka semenjak keluarnya UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Menteri Dalam Negeri tidak berwenang lagi membatalkan Perda tentang PDRD, dan kewenangan pembatalan langsung dipegang oleh Presiden. Adapun yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri terkait dengan adanya Perda PDRD bermasalah adalah dengan menyampaikan hasil klarifikasi, dan meminta daerah yang bersangkutan untuk melakukan review terhadap perda tersebut. Dalam perspektif revisi UU Pemerintahan Daerah, pengaturan mengenai peraturan daerah juga turut berubah. Dalam hal ini, arah pengaturan baru dalam RUU Pemda untuk meminimalisir munculnya banyak Perda bermasalah adalah sebagai berikut: • Perda harus mendapatkan nomor register sebelum diundangkan. • Pemberian sanksi administratif bagi kepala daerah yang tidak menyampaikan Perda. • Pengawasan preventif diterapkan untuk 8 (delapan) Raperda yakni RPJPD, RPJMD APBD, perubahan APBD, pertanggung jawaban pelaksanaan APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan RUTR.
  • 22. 10 • Pengawasan represif dilakukan terhadap semua Perda. • Mendagri berwenang membatalkan semua Perda Provinsi, dan Gubernur berwenang membatalkan Perda Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. • Diberlakukannya mekanisme perbaikan kebijakan (peraturan) melalui executive review. • Sanksi bagi daerah, kepala daerah dan anggota DPRD yang masih memberlakukan Perda yang sudah dibatalkan. 3. Sengketa Tata Usaha Negara akibat dikeluarkannya Keputusan (beschikking) Selain rendahnya kualitas kebijakan berupa regeling atau peraturan perundang- undangan seperti Undang-Undang atau peraturan Daerah sebagaimana dikemukakan diatas, indikasi lemahnya kebijakan juga bisa dilihat dari maraknya sengketa TUN (Tata Usaha Negara) akibat dikeluarkannya beschikking atau keputusan. Dalam hal ini, publikasi Mahkamah Agung dalam website-nya menyebutkan bahwa dari periode 2004 hingga 2012, terdapat 3272 putusan atas sengketa TUN. 4. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Sejak 2003-2012 tidak banyak perkara SKLN yang dimohonkan ke MK, bahkan pada 2003 tidak ada satupun perkara yang diregistrasi. Meskipun begitu, pada 2006 dan 2008 terdapat 5 perkara SKLN yang ditangani. Pada 2004, 2005, 2009, dan 2010 masing-masing hanya menangani 1 perkara SKLN dalam setahun. Di tahun 2011, terjadi peningkatan jumlah perkara SKLN yang diperiksa oleh MK, yakni 7 perkara. Adapun di tahun 2012, MK menangani 6 perkara. Untuk perkara SKLN sejak 2003 hingga 2012 seluruhnya telah diselesaikan oleh MK. Di mana terdapat 17 putusan dan 4 ketetapan. Jika berdasarkan amarnya, putusan tersebut yakni 1 perkara (6%) dikabulkan, 3 perkara (18%) ditolak, dan 13 perkara (76%), tidak dapat diterima (Mahkamah Konstitusi, 2012). C. Symbolic Policy vs Evidence-based Policy Berbagai macam kelemahan kebijakan diatas – untuk tidak mengatakan kegagalan kebijakan serta dampak ikutan yang mungkin timbul bila tidak segera diperbaiki,
  • 23. 11 mengilustrasikan akan terjadinya symbolic policy dalam sistem penyelenggaraan negara, khususnya dalam hal sistem peraturan perundang-undangan. Konsep tentang kebijakan simbolik (symbolic policy) yang dipertentangkan dengan kebijakan berbasis bukti-bukti (evidence-based policy), dikembangkan oleh Michiel S. de Vries dalam papernya berjudul “Distinguishing symbolic and evidence- based policies: the Brazilian efforts to increase the quality of basic education” (International Review of Administrative Sciences, 77(3), Sage Publication, 2011). Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa symbolic policy terjadi jika sebuah kebijakan melenceng dari semangat awal serta menghasilkan keuntungan kepada pihak tertentu secara tidak seimbang; sementara evidence-based policy adalah kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata sehingga dapat meminimalisir kemungkinan munculnya dampak yang tidak diinginkan. De Vries menjelaskan bahwa simbol sering digunakan oleh para pengambil kebijakan untuk memperoleh dukungan meski kebijakan yang diambil tidak efektif dalam mengurangi masalah. Selain itu, simbol juga berfungsi untuk mengurangi kompleksitas suatu permasalahan sekaligus untuk menarik bagi media dengan cara mengurangi argumen yang kompleks. Dengan kedua fungsi ini, maka symbolic policy menurut de Vries dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1) being propagandistic, with an emphasis on illusions and appearances; 2) not caring about the effectiveness of the policies regarding the problem at hand, but rather caring about the exposure thereof; 3) being morally disputable because such policies deceive citizens, conceal hidden agendas and undermine social trust in replacing substantial arguments by strategic arguments and manipulation (see Blu¨ hdorn, 2007: 258); 4) the fact that ‘tangible resources and benefits are frequently not distributed to unorganized political group interests’ (Edelman, 1964: 23). Selanjutnya de Vries menyebutkan adanya 4 (empat) kriteria symbolic policy yang membedakannya dari evidence-based policy, yakni: 1) Being simplistic in its presentation (sederhana dalam penyajian); 2) Ignoring contextual features (mengabaikan fitur kontekstual); 3) Disregarding empirical analysis (mengabaikan analisis empirik); and 4)
  • 24. 12 Resulting in policies benefiting the already advantaged group (menghasilkan kebijakan yang menguntungkan kelompok yang sudah mendapat banyak keuntungan). D. Sistem Administrasi Negara (SAN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) Sesuai dengan judulnya, KTP-2 ini ingin menganalisis permasalahan dan menghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Keppres No. 103/2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang mengamanatkan bahwa LAN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang administrasi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 4). Sayangnya, pemahaman tentang “administrasi negara” ini hingga saat ini masih belum jelas.2 Ada pemahaman umum bahwa administrasi negara adalah administrasi tentang negara, sehingga administrasi negara ada dan dipraktekkan di setiap Kementerian/Lembaga dan di seluruh jenjang pemerintahan. Disisi lain, ada semacam konvensi bahwa administrasi negara memiliki 3 (tiga) dimensi utama, yakni Kelembagaan, Ketatalaksanaan, dan SDM Aparatur. Belum adanya kesamaan persepsi tentang ruang lingkup administrasi negara ini semakin diperumit dengan adanya Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara, sehingga memunculkan pertanyaan baru, yakni bagaimana hubungan antara SAN dengan HAN? Dalam konteks memetakan ulang ruang lingkup administrasi negara tadi, penulis memandang perlu adanya perubahan cara pandang tentang SAN dan HAN. Selama ini terdapat kesan bahwa antara SAN dan HAN dianggap memiliki hubungan yang cukup jauh. Namun bagi penulis, keduanya ibarat satu koin mata uang dengan dua sisi yang berbeda, sehingga keduanya sangat dekat dan bahkan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, memahami Hukum Administrasi Negara akan lebih mudah jika didukung dengan pemahaman yang baik terhadap Sistem Administrasi Negara; demikian pula sebaliknya. 2 Dalam khazanah akademik, definisi dan ruang lingkup administrasi publik atau administrasi negara juga masih terus diperbincangkan dan belum tercapai pemahaman yang seragam. James Fesler (1980), misalnya, mengatakan bahwa public administration has never achieved a definition that commands general assent. Senada dengan itu, Richard Stillman (1980) menulis sebagai berikut: … no one has produced a simple definition of the study of public administration … what constitutes the core values and focus of twentieth-century public administration provides lively debates and even deep divisions between students of the field. Dengan belum jelasnya definisi dan ruang lingkup administrasi publik tersebut, semakin menegaskan perlunya redefinisi administrasi publik/negara.
  • 25. 13 Dengan cara berpikir seperti ini, maka antara sarjana administrasi negara dengan sarjana hukum administrasi negara tidak memiliki perbedaan kompetensi yang kontras. Meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat, namun tetap diperlukan adanya pembatasan wilayah substansi yang tegas antara SAN dan HAN. Dalam hal ini, salah satu pendekatan yang penulis pikirkan untuk membedakan keduanya adalah bahwa SAN berhubungan dengan filosofi perlunya kebijakan, pelibatan seluruh aktor dalam formulasi kebijakan, interaksi dan interdependensi dalam lingkungan kebijakan, serta evaluasi dampak kebijakan. Sementara HAN berhubungan dengan soal kewenangan lembaga/pejabat dalam perumusan kebijakan (bevoegdheid), benturan kepentingan atau konflik antar lembaga dalam sistem kebijakan, serta upaya dan mekanisme penegakan kebijakan. Sederhananya, SAN bicara soal substansi kebijakan (hukum material), sedangkan HAN lebih menyentuh pada sisi beracaranya (hukum formil). Disamping itu, redefinisi HAN sangat boleh jadi juga dibutuhkan. Dalam hal ini, saya saya menawarkan gagasan bahwa HAN identik dengan Hukum Konstitusi. Artinya, tugas utama HAN sesungguhnya adalah menjamin terwujudnya sinkronisasi antar hierarki peraturan penundang-undangan. Sepanjang masih terjadi pertentangan antar aturan, maka hal itu mencerminkan tidak bekerjanya HAN dengan baik. Dalam konteks melakukan redefinisi HAN dan SAN ini, penulis mencoba mengembalikan kepada “pakem” atau buku-buku teks (textbook) tentang SAN dan HAN. Pada wilayah Sistem Administrasi Negara, paling tidak ada 11 buku referensi yang dapat dijadikan sandaran untuk memahami sistem administrasi negara, sebagai berikut:
  • 26. 14 Tabel 1.4. Intisari Materi Sistem Administrasi Negara (SAN) Berdasarkan Textbook Ilmu Administrasi Negara No. Pengarang & Judul Buku Intisari Materi SAN 1 George E. Berkley, The Craft of Pubic Administration, Massachusetts: Allyn and Bacon Inc., 1975 • Sistem Politik Amerika: Fragmentasi, Legalisme, Anti- Governmentalism; • Anatomi Organisasi: Pyramids, Line and Staff; • Psikologi Organisasi: Motivasi, Patologi; • Personalia: Prosedur, Unionism; • Kepemimpinan: Kualitas & Teknik, Pengelolaan Staf; • Komunikasi: Formal & Informal, Alat & Metode; • Penganggaran; • Sentralisasi; • Tantangan Perubahan; • Hukum Administrasi dan Pengawasan Administrasi; • Masa Depan Administrasi. 2 William L. Morrow, Public Administration: Politics, Policy, and the Political System, 2nd Edition, New York: Random House, 1975 • Birokrasi Publik; • Demokrasi Prosedural vs Demokrasi Substantif; • Teori Dasar Administrasi Publik: Max Weber, Woodrow Wilson, Frederick Taylor, Luther Gulick, Teori Human Relations, Tradisi Sosial Politik; • Public Policy: Group Model, Elite Model, Incremental Model, System Model; • Organisasi: Lini dan Staf, Independent & Special Agency, Duplikasi Yurisdiksi & Misi, Reorganisasi; • Perilaku Administrasi: Eksekutif dan Legislatif; • Pelayanan Publik: Sistem Kepartaian, Karir vs Politis; Profesonalisme dan Sistem Merit, Reforming the Reform; • Partisipasi Masyarakat; • Penganggaran; • Issu Kontemporer: Bahasa Perencanaan dan Pluralisme, Policy Leadership, Policy Reform. 3 Howard E. McCurdy, Public Administration: A Synthesis, Cummings Publishing Co., 1977 • Organisasi: Hirarki dan Otoritas, Spesialisasi, Prinsip Staf, Penganggaran dan Personalia, Management by Objectives; • Perilaku Manusia dalam Organisasi: Komunikasi, Partisipasi, Pembuatan Keputusan, Konflik dan Kekuasaan, Kepemimpinan Institusional; • Birokrasi: Sisi Informal, Patologi Birokrasi, Biaya Birokrasi; • Politik Administrasi: Pluralisme, Pemerintah Daerah, Pengawasan Legislatif, Profesionalisme Pelayanan, Federalisme, Kepegawaian, Partisipasi Masyarakat; • Analisis Kebijakan: Planning-Programming-Budgeting, Cost-Benefit Analysis, Teori Public Choice, Riset dan Evaluasi Program, Incrementalists’ Disclaimer;
  • 27. 15 • Kekuasaan Eksekutif; • Ilmu Manajemen: Cybernetic, Operation Research, Mathematics, Simulation, Network Analysis; • Pengembangan Organisasi (OD); • Perbandingan Administrasi Publik: Masyarakat Prismatik, Ekologi Administrasi; • Masa Depan: Regulated State, Postbureaucratic Forms of Organization, New Public Administration, Administrative Contingencies Model, Identity Crisis. 4 James W. Fesler, Public Administration: Theory and Practice, Prentice Hall, 1980 • The nature and study of Public Administration; • Teori Organisasi: Pendekatan Struktural terhadap Organisasi Besar, Teori System, Tantangan Kelompok Pluralis dan Humanis; • Organisasi Dalam Praktek: Anatomi Cabang Eksekutif, Reorganisasi, Masalah-Masalah Organisasi; • Sistem Kepegawaian: Pegawai Pemerintah, Klasifikasi Jabatan, Staffing, Hak dan Kewajiban Pegawai; • Jabatan Tingkat Tinggi: Elite, Jabatan Politis, Jabatan Eksekutif Senior; • Pengambilan Keputusan Bidang Anggaran; • Model Pengambilan Keputusan: Rational, Case-to- Case, Incremental, Participative; • Implementasi: Sukses dan Gagal, Publik dan Privat; • Pengawasan: Kongres, Peradilan. 5 Richard J. Stillman, Public Administration: Concepts and Cases, Houghton Mifflin, 1980 • Lingkungan Administrasi Publik: Konsep Birokrasi; Konsep Ekologi; Konsep Kekuasaan Administratif; Konsep Federalisme; Konsep Informal Gorup; Konsep Professional State; • Fungsi Jamak Administrasi Publik: Pengambilan Keputusan (Konsep Public Choice); Komunikasi (Konsep Information Networks); Pengelolaan Pelayanan (Konsep Management by Objectives); Kepemimpinan Personalia; Perubahan Orga-nisasi Pemerintah (Teori Trade Offs dalam Reorganisasi); Penganggaran (Konsep Budgeting as Political Compromise and Strategy); Perencanaan Program (Konsep Policy Analysis); • Hubungan Legislatif-Eksekutif (Konsep Details of Adminis-tration); Hubungan Atasan/Majikan- Bawahan/Pekerja (Konsep Economy of Incentives); Etika dan Pelayanan (Konsep Moral Ambiguities of Public Choice). 6 Stuart MacRae and Douglas Pitt, Public Administration: An Introduction, Massachusetts: Pitman Publishing Inc., 1982 • The Nature of Public Administration: Organisasi, Administrasi, Publik vs Privat; • Lingkungan Sektor Publik: Kekuasaan, Kewenangan, Legitimasi; • Setting Institusi: Pemerintah Pusat, Kabinet, Parlemen, Peradilan, Tirani Birokrasi, Kelompok Kepentingan, Akuntabilitas, Efisiensi, Responsivitas, Keterbukaan;
  • 28. 16 • Struktur Organisasi: Pusat dan Daerah, Birokrasi Lokal; • Pembiayaan Sektor Publik; • Alokasi Sumberdaya; • Lembaga Independen dan Agen Voluntir; • Keberlanjutan dan Perubahan (Continuity & Change). 7 Rayburn Barton and William L. Chappell Jr., Public Administration: The Work of Government, Scott Foresman and Co. 1985 • Lingkungan Administrasi Publik: Eksternal & Politik; • Lembaga Publik: Tipe dan Struktur, Pusat dan Daerah; • Pembuatan Kebijakan; • Administrasi Personalis; • Penganggaran dan Administrasi Keuangan; • Tanggungjawab Administrasi; • Hubungan Antar Pemerintahan; • Studi Lembaga Publik: Teori Organisasi; Komunikasi, Pengambilan Keputusan, Kepemimpinan. 8 Jong S. Jun, Public Administration: Design and Problem Solving, Macmillan Publishing Co., 1986 • Konteks Administrasi Publik: Masyarakat, Administrasi Demokratis, Bilai Publik vs Privat; • Latar Belakang Administrasi Publik: Intervensi Pemerintah, Netralitas, Efisiensi, Sentralisasi vs Desentralisasi, Perbandingan Administrasi; • Paradigma, Teori dan Pendekatan; • Administrasi Publik Sebagai Desain Sosial; • Proses Pemecahan Masalah Publik; • Birokrasi Publik: Konsep, Keterbatasan, Klientilisme; • Dialektika Pemahaman Administrasi: Metode dan Bahasa, Dialog dan Pembelajaran Sosial, Action Research; • Politik dan Kebijakan Publik; • Tanggungjawab Administrasi: Kepentingan Publik, Dimensi Etika, Redesign Organisasi, Masa Depan Administrasi Publik (Transformasi). 9 Nicholas Henry, Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan, terjemahan Indonesia oleh Luciana D. Pontoh, Rajawali Press, 1988 • Paradigma Administrasi Negara: Birokrasi, Demokrasi, dan Legitimasi; Perkembangan 5 Paradigma Administrasi; • Organisasi Negara: Teori & Konsep Organisasi; Model Manusia Administratif; Etika Birokrasi; • Tennik-Teknik Administrasi Negara: Pendekatan Sistem; Evaluasi Program & Anggaran; Administrasi Kepegawaian; • Urusan Masyarakat. 10 H. George Frederickson, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey- Bass Publisher, 1997 • Administrasi Publik dan Givernance: Menemukan “Publik” dalam Administrasi Publik, Konteks Politik; • Issu Keadilan: Diskresi Administrasi, Konsep Intergenerational Administrasi Publik; • Etika, Kewarganegaraan, dan Kemurahhatian dalam Administrasi Publik.
  • 29. 17 E. Maksud dan Tujuan Penulisan KTP-2 Maksud dari penulisan KTP-2 ini adalah sebagai pemenuhan persyaratan kelulusan dalam program Diklatpim I Angkatan XXV. Adapun tujuan-tujuan ideal yang lebih spesifik dan ingin digapai dari karya tulis ini antara lain adalah: 1. Untuk mengenali dan menguraikan situasi problematik yang dihadapi LAN secara umum dan Deputi III secara khusus dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, untuk kemudian dianalisis dengan teknik tertentu (soft system methodology atau scenario planning), sehingga dapat dihasilkan gambaran keadaan masa depan, strategi, dan langkah- langkah kebijakan untuk memperbaiki situasi yang berkembang dewasa ini; 2. Jika gambaran keadaan masa depan, strategi, dan langkah-langkah kebijakan tadi dapat dihasilkan dengan baik, maka diyakini akan memberi kontribusi bagi penguatan peran LAN pada umumnya dan Deputi III pada khususnya dalam peningkatan kualitas peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara. F. Metode dan Teknik Analisis Karya Tulis ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini bertujuan untuk mengangkat fakta, situasi, peristiwa, dan fenomena, kemudian menyajikan dan menganalisis apa adanya. Dalam penelitian ini, kedudukan penulis selaku peneliti adalah instrumen utama sejak pengumpulan data hingga analisis, interpretasi, dan penyimpulan. Untuk membantu analisis dan interpretasi data hingga penyimpulan tersebut, penulis akan menggunakan tools yakni SSM (soft system methodology) serta scenario planning. Alasan yang mendasari pemilihan tools ini selain untuk menerapkan materi pembelajaran yang diberikan dalam Diklatpim I, juga pertimbangan kecocokan tools tersebut untuk mengurai dan menjelaskan masalah yang diangkat dalam karya tulis ini. Khusus mengenai SSM, menurut Peter Checkland (Systems Thinking, Systems Practice, John Wiley & Sons, 1999 pp. A15), ada empat tahapan utama dari SSM, yakni: 1. Finding out about a problem situation, including culturally/politically; 2. Formulating some relevant purposeful activity models; 3. Debating the situation, using the models, seeking from the debate both: a. Changes which would improve the situation and are regarded as both desirable and (culturally) feasible, and
  • 30. 18 b. The accommodations between conflicting interests which will enable action- to-improve to be taken; 4. Taking action in the situation to bring about improvement. Sementara menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 63-65), siklus baku dalam proses SSM terdiri dari 7 (tujuh) tahap kegiatan yang dikelompokkan kedalam 2 (dua) ranah, yaitu ranah dunia nyata, dan ranah berpikir serba sistem tentang dunia nyata. Dengan demikian, secara singkat dapat dikemukakan tentang tahapan dari masing-masing tools (SSM dan Scenario Planning), sebagai berikut. Tabel 1.5. Perbandingan Tahapan Metode SSM dan Metode Scenario Planning SSM Scenario Planning 1. Problem situation considered problematic; 2. Problem situation expressed; 3. Root definition of relevan purposeful activity systems; 4. Conceptual models of the systems (holon) named in the root definition; 5. Comparision of models and real world; 6. Change: systematically desirable, culturally feasible; 7. Action to improve the situation. 1. Menetapkan focal concern (FC); 2. Mengindentifikasi driving forces (DF); 3. Menganalisis hubungan antar-DF di satu pihak, dan antara DF’s dan FC; 4. Memilih DF yang paling berpengaruh. 5. Menyusun matriks skenario; 6. Menentukan ciri kunci tiap skenario; 7. Menyusun narasi skenario. G. Sistematika Penulisan KTP-2 ini disusun menjadi 5 (lima) Bab, dengan perincian sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan Bab ini berisi paparan tentang latar belakang historis dan mandat yang diberikan oleh para pimpinan negara pada saat pendirian LAN pada tahun 1957, sampai dengan perkembangan tugas dan kondisi umum organisasi hingga saat ini. Selain itu, Bab ini mencoba memotret kinerja kebijakan di Indonesia untuk memberi gambaran yang lebih komprehensif mengenai berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan sistem peraturan perundang-undangan yang berkualitas. Selanjutnya, Bab ini juga memberikan sedikit teori tentang Symbolic Policy vs. Evidence-based Policy serta hubungan dan karakteristik Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara. Akhirnya, Bab ini
  • 31. 19 menyajikan tentang maksud dan tujuan penulisan, metode dan teknik analisis yang digunakan, serta sistematika penulisan KTP-2. Bab 2 Perumusan dan Pemecahan Masalah Menggunakan SSM Bab ini juga memberi deskripsi tentang permasaahan atau situation considered problematic terkait pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi, serta dampak yang mungkin muncul jika situasi tadi tidak segera diatasi. Dari deskripsi ini selanjutnya akan diterapkan metode soft system methodology dengan membuat rich picture sebagai sebuah model untuk memahami keterkaitan antar situasi, disusul dengan penetapan root definition, analisis CATWOE, serta pengembangan conceptual model yang dibandingkan dengan kenyataan (real world). Terakhir akan ditetapkan bentuk perubahan yang ingin dilakukan (desired changes) serta langkah-langkah yang perlu diambil untuk memperbaiki situasi problematik yang dihadapi (action for improvement). Bab 3 Penggambaran Masa Depan Peraturan/Kebijakan Dengan Scenario Planning Bab ini akan melanjutkan analisis pada bab sebelumnya dengan mengaplikasikan teknis scenario planning. Dimulai dengan menetapkan focal concern, kemudian mengidentifikasi driving forces dan mencari keterkaitan antar driving force serta antara driving force dengan focal concern. Dari sini akan dihasilkan matriks skenario yang berisi tentang 4 (empat) gambaran situasi yang mungkin terjadi pada masa depan beserta ciri-ciri skenarionya. Selanjutnya, dari cirri-ciri skenario akan dikembangkan dengan metafora kebijakan dan narasi dari masing-masing skenario hingga pemilihan skenario terpilih yang akan dijadikan sebagai kebijakan yang direkomendasikan. Bab 4 Pengembangan Kebijakan dan Rencana Implementasinya Bab ini berisi analisis lebih lanjut dari bab sebelumnya dengan mengaplikasikan perencanaan stratejik sehingga ditemukan program yang dibutuhkan untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Bab 5 Penutup Bab ini berisi tentang simpulan dan catatan penutup.
  • 32. 20 BAB II PERUMUSAN DAN PEMECAHAN MASALAH MENGGUNAKAN SSM A. Permasalahan (Situation Considered Problematic) Terkait Tugas dan Fungsi Instansi Indonesia dapat dikatakan sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Dalam negara kesejahteraan ini, tugas utama pemerintah pada hakekatnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan atau derajat hidupnya. Tugas inilah yang diaktualisasikan dalam wujud fungsi pengaturan (regulatory functions). Oleh karenanya, setiap kebijakan haruslah bermuara pada semakin membaiknya kondisi kehidupan masyarakat pada berbagai dimensinya. Jika pelayanan tidak membaik dan kesejahteraan juga tidak meningkat, dapat dikatakan ada kesalahan pada kebijakan tersebut. Itulah sebabnya, kualitas kebijakan sangat menentukan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam khazanah ilmu hukum dikenal adagium yang berbunyi salus populi suprema lex (keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi). Sayangnya, hingga saat ini kualitas kebijakan publik diindikasikan masih belum optimal, yang antara lain diindikasikan dari beberapa hal sebagai berikut: a. Kinerja (output dan outcomes) pembangunan makro yang masih tertinggal dibanding negara tetangga, terlebih negara maju, yang dapat dilihat dari indikator dibawah ini: Skor efektivitas (government effectiveness) Indonesia sebesar -0,43 pada tahun 2004 dan meningkat menjadi -0,29 pada tahun 2008. Perkembangan skor ini memperlihatkan adanya kemajuan kapasitas birokrasi pemerintah meskipun belum signifikan dan masih kalah jauh dibanding negara lain, termasuk negara-negara di Asia Tenggara (Daniel Kaufman, Aart Kray, Massimo Mastruzzi, Governance Matters VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996-2008). Indeks Pembangunan Manusia (human development index) Indonesia sebesar 0.734 pada tahun 2009, dan berada pada peringkat ke 111 dari 182 negara, atau berada dalam kategori menengah seperti tahun sebelumnya (UNDP, Mengatasi Hambatan: Mobilitas Manusia dan Pembangunan, 2009). Peringkat doing business Indonesia cenderung membaik namun jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, masih tertinggal cukup jauh. Jumlah hari yang
  • 33. 21 dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia membutuhkan waktu 5 (lima) kali lebih lama dibanding dengan Malaysia. Pada tahun 2010 Indonesia berada di peringkat ke 122 dari 183 negara, membaik dari peringkat 129 di tahun sebelumnya (International Finance Corporation, Bank Dunia, 2009). b. Banyaknya kebijakan yang cenderung bermasalah, yang diindikasikan oleh data dibawah ini: Banyaknya Perda dibatalkan (periode 2001-2008 sebanyak 1.121 Raperda dievaluasi, 67% di antaranya dibatalkan); UUD 1945 banyak diterjemahkan secara keliru oleh Undang-Undang, yang dibuktikan dengan banyaknya UU yang diuji materiil oleh MK, dan dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Pada periode 2003-2010, misalnya terdapat 325 gugatan, dan 92 diantaranya dikabulkan; Banyaknya sengketa Tata Usaha Negara, dimana pada periode 2004-2009 terdapat 1857 kasus yang diputuskan Mahkamah Agung. c. Selain kedua problematika diatas, ada juga problem kebijakan yang marak dalam sistem administrasi negara di Indonesia, misalnya berkenaan dengan hubungan kewenangan badan pemerintah yang tidak jelas dan membuka peluang terjadinya tumpang tindih antar instansi, atau saling menghambat. Sebagai contoh, Kementerian PDT yang mengkoordinasikan berbagai K/L dalam membangun daerah tertinggal, namun K/L yang lain memiliki program, indikator, dan target tersendiri. Contoh lain, Pemprov Kaltim sudah 10 tahun lebih tidak memiliki RTRW karena belum disetujui oleh Kementerian Kehutanan. Kasus Kementerian PDT ini juga dialami oleh kementerian lain seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, dan sebagainya. Demikian pula, kasus buruknya sinergi dan koordinasi seperti dialami Pemprov Kaltim juga dihadapi provinsi lain dalam kasus yang sama maupun yang berbeda. Hubungan kewenangan yang tidak jelas ini secara tersirat menggambarkan adanya egoisme sektoral yang jelas-jelas menyulitkan upaya melakukan harmonisasi kebijakan antar lembaga. Rendahnya kualitas kebijakan publik dan kondisi carut-marut sistem kebijakan diatas terjadi karena adanya indikasi pragmatisme dalam proses perumusan kebijakan, yakni kecenderungan mencari cara instant terhadap permasalahan yang timbul, tanpa dikaji efektivitas dari pilihan-pilihan kebijakan dan tanpa memperhitungkan tingkat probabilitas keberhasilan suatu kebijakan. Selain itu, para policy makers kurang mentradisikan atau
  • 34. 22 kurang menghargai policy research sebagai bagian tak terpisahkan dari policy making. Dengan kata lain, para pengambil keputusan dan perumus kebijakan di Republik ini sangat kurang memiliki budaya akademik dalam siklus kebijakan yang menjadi ruang lingkup tugasnya. Akibatnya, kebijakan yang ada memiliki kemungkinan gagal (implementation failure) yang lebih besar, atau hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu secara tidak berimbang. Situasi seperti inilah yang kemudian banyak melahirkan symbolic policy (de Vries, 2010). Serupa dengan kondisi seperti ini, Riant Nugroho (Public Policy, Elex Media Komputindo, 2012) memperkenalkan istilah Involusi Kebijakan, yakni suatu kebijakan yang baik secara proses dan rumusannya namun tidak memberikan kebaikan bagi publik. Hal ini terjadi karena politisi atau birokrat pembuatnya terjebak dalam ilusi untuk membangun citra tentang kebaikan suatu rezim atau kekuasaan politik. Disamping itu, faktor yang turut mempengaruhi kualitas kebijakan adalah rendahnya kapasitas legislasi pada tingkat Pusat dan Daerah (Mahfud MD., Refleksi Kinerja Mahkamah Konstitusi, 29-12-2009). Situasi ini lebih diperparah dengan fakta merebaknya epentingan politik dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha, lembaga donor, dan lain-lain) di lingkaran perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan strategis. Kasus hilanya pasal-pasal atau ayat-ayat dalam sebuah Rancangan Undang-Undang, atau justru munculnya pasal atau ayat tambahan yang tidak pernah dibahas sebeumnya dalam sidang resmi, menunjukkan adanya “kudeta redaksional” dan “penyelundupan norma hukum” yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.3 Dari sisi masyarakat sebagai pihak yang terkena langsung dampak dari sebuah kebijakan, rendahnya kualitas sebuah peraturan perundang-undangan juga sebagai konsekuensi dari rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat dalam pembahasan hingga implementasi sebuah kebijakan. Selama ini, partisipasi masih bisa 3 Fenomena kudeta redaksional misalnya terjadi pada Bagian ke-17 Pengamanan Zat Adiktif, Pasal 113 RUU Kesehatan. Ketika ditetapkan paripurna DPR, ada tiga ayat dalam Pasal 113 tersebut. Namun, ketika ditandatangani Presiden dan disahkan sebagai lembaran negara, pasal tersebut hanya terdiri dari dua ayat. Sedangkan fenomena penyelundupan norma hukum, misalnya terjadi pada kasus RUU KUHAP, khususnya bagian yang mengatur tentang kewenangan penyadapan oleh KPK. Pada Pasal 84 RUU KUHAP dinyatakan bahwa penyadapan bisa dilakukan dalam keadaan mendesak tanpa izin hakim. Namun, kemudian, katup tersebut dibatasi lagi dengan memunculkan frase tambahan dalam Pasal 84, yang menyatakan bahwa penyadapan harus dilaporkan paling lambat dua hari sejak penyadapan dilakukan.pasal 83-84 ini berpotensi bertentangan dengan substansi Pasal 12 Ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang secara eksplisit menyatakan bahwa lembaga ini berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.Tentang kedua fenomena ini, baca: Saldi Isra, Penyelundupan Norma Hukum (Kompas, 1-4-2013);
  • 35. 23 dikatakan semu dan nominal belaka karena masih adanya fenomena pengabaian terhadap aspirasi masyarakat (benign neglect). Padahal, pembentukan sebuah peraturan perundang- undangan secara normative harus melibatkan partisipasi masyarakat. Ketentuan seperti ini antara lain diatur pada pasal 53 UU 10/2004 Pembentukan Peraturan perundang- Undangan, dan Psl 139 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis, baik dalam tahap penyiapan maupun pembahasan Rancangan UU dan Rancangan Perda”. Mencermati berbagai hal tersebut diatas, maka diperlukan adanya sebuah perombakan yang cukup mendasar dalam sistem formulasi kebijakan di masa mendatang. Adanya kebijakan yang didasarkan pada hasil kajian (research-based policy), atau kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan bukti-bukti nyata (evidence-based policy), sangat perlu untuk dibudayakan. Dengan research-based policy, sebuah kebijakan hanya layak diimplementasikan apabila telah mengalami telaah akademis melalui kajian yang komprehensif dan teruji. Dengan evidence-based policy, sebuah kebijakan akan dibuat dan dilaksanakan apabila fakta-fakta obyektif memang menuntut untuk itu. Dengan kata lain, kedua hal ini diharapkan dapat menghindari merebaknya symbolic policy. Atas dasar kondisi tersebut, kajian/penelitian di lingkungan LAN diarahkan pada kajian kebijakan (policy research), yakni suatu proses yang dilakukan secara teratur dan sistematis, berdasarkan pengetahuan, metode ataupun teknik tertentu yang menghasilkan dokumen berupa saran kebijakan (policy recommendation), agenda kebijakan (policy action plan), atau naskah kebijakan (policy draft), sebagai pertimbangan pengambil kebijakan dalam merumuskan dan/atau menyempurnakan kebijakan yang telah ada. Dengan kata lain, kegiatan kajian/penelitian di lingkungan LAN diharapkan mampu menciptakan link yang kuat antara kebijakan publik dengan riset (research-based / analysis-based policy). Dalam konstelasi sistem kebijakan seperti dipaparkan diatas, maka paling tidak ada 3 (tiga) hal yang perlu mendapat perhatian serius oleh LAN, yakni: 1) pembenahan manajemen kajian kebijakan; 2) peningkatan peran LAN sebagai policy think tank; dan 3) jaminan tercapainya link and match antara kajian dengan kebijakan. Jika ketiga hal ini dapat dilakukan, maka secara logis akan dapat diwujudkan 2 (dua) sasaran penting, yakni: 1) kinerja kajian kebijakan yang makin baik dan unggul; serta 2) kualitas kebijakan publik di Indonesia yang semakin handal. Dua sasaran ini, jika tercapai, akan memberi kontribusi besar terhadap perbaikan sistem penyelenggaraan negara dalam arti luas.
  • 36. 24 Secara skematis, kerangka berpikir pembenahan kajian kebijakan LAN dalam rangka membangun sistem penyelenggaraan negara yang lebih baik melalui perumusan kebijakan yang berkualitas, dapat diilustrasikan pada model sebagai berikut: Sumber: konstruksi penulis. Gambar 2.1. Kerangka Logis Pembenahan Kajian Kebijakan Dalam Membangun Penyelenggaraan Negara yang Baik (Pendekatan Sistem: Input-Output-Outcome) B. Dampak Apabila Permasalahan Tidak Diselesaikan Sebagai institusi pemikir (think tank), LAN jelas merasa berkepentingan untuk turut mengurai permasalahan diatas. Selain untuk membuktikan kontribusi secara institusional, lebih penting lagi adalah untuk turut mengawal dan mempercepat pencapaian cita-cita Konstitusi. Sebab, apabila situasi problematik diatas tidak segera diatasi, akan menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan luas, antara lain: • Kegagalan pencapaian tugas negara mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimandatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pembangunan sosial, ekonomi, politik, maupun fisik, akan terancam mengalami kemandegan. Jika pembangunan pada berbagai bidang ini terhambat, maka kesinambungan pemerintahan juga dapat terancam. Kemungkinan kegagalan seperti ini bisa terjadi mengingat peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik merupakan instrumen negara kesejahteraan (welfare state) untuk melayani dan mensejahterakan rakyatnya.
  • 37. 25 • Benturan antar peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik akan dapat memacu konflik kewenangan antar lembaga, bahkan konflik sosial. • Berbagai situasi problematik diatas juga akan menyebabkan hubungan antar lembaga yang kurang harmonis dan menjadikan kurang fokus dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Dampak ini sendiri bisa berkembang laksana bola salju (snowball effect) yang merambah sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sementara bagi LAN, kegagalan kebijakan dan kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya akan berkorelasi terhadap penurunan kredibilitas institusi serta penurunan ekspektasi dan kepercayaan stakeholder, yang pada gilirannya akan menyebabkan kemanfaatan lembaga dipertanyakan. Oleh karena itu, LAN secara umum maupun Deputi III perlu melakukan introspeksi dan evaluasi diri guna memetakan kembali problema yang dihadapi, potensi yang dimiliki, tantangan dan peluang yang berkembang, serta peran-peran baru yang perlu dimainkan. Dalam kaitan penulisan KTP-2 ini, maka peran LAN (cq. Deputi III) yang diharapkan adalah melakukan pengkajian issu-issu aktual terkait situasi problematik tentang sistem dan hukum administrasi negara, serta menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk mencegah berulangnya situasi problematik dan dampak-dampaknya, sebagaimana dipaparkan diatas. Secara ringkas, berbagai situasi problematik dan dampak yang mungkin timbul apabila tidak segera dipikirkan solusi terbaiknya, dapat disederhanakan seperti pada Tabel 2.1 dibawah ini. Tabel 2.1. Ringkasan Situasi Problematik (Situation Considered Problematic) 1. Masih tingginya kadar involusi kebijakan, yakni suatu kebijakan yang baik secara proses dan rumusannya namun tidak memberikan kebaikan bagi publik. 2. Kapasitas legislasi di pusat dan daerah yang rendah. 3. Kepentingan politik praktis dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha, lembaga donor). 4. Tingginya egoisme sektoral yang mengakibatkan hubungan kewenangan antar lembaga menjadi tidak jelas atau seringkali tumpang tindih. 5. Koordinasi antar lembaga yang lambat dan tidak efektif. 6. Harmonisasi peraturan yang sulit dilakukan karena adanya egoisme sektoral. 7. Keberadaan dan keberfungsian forum komunikasi kebijakan yang belum optimal. 8. Orientasi policy maker dalam perumusan kebijakan yang keliru dan seringkali lebih di- drive oleh motif politik daripada pertimbangan teknokratik. 9. Pemaknaan terhadap kinerja kebijakan yang keliru, dengan melihat kinerja kebijakan sebagai kuantitas pembuatan peraturan perundang-undangan, bukan pada kemanfaatan bagi publik.
  • 38. 26 10. Budaya akademik dalam siklus kebijakan/pengambilan keputusan yang sangat lemah. 11. Dukungan dari kajian kebijakan yang belum optimal karena manajemen kelitbangan yang juga terbatas. 12. Link and Match antara kajian dengan kebijakan yang belum terbangun sinergis. 13. Peran lembaga think tank yang masih harus terus ditingkatkan. 14. Rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat terhadap sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. C. Rich Picture Penguatan Peran LAN Dalam Peningkatan Kualitas Peraturan dan Kebijakan Nasional Melalui Penajaman Kajian HAN Diantara ke-14 situasi problematik diatas, beberapa diantaranya memiliki saling keterkaitan yang cukup kuat, sehingga dapat dilakukan penggabungan situasi problematik berdasarkan kemiripan dan kedekatannya. Dalam hal ini, dapat diidentifikasikan 5 (lima) klasifikasi situasi problematik sebagai berikut: 1. Faktor Institusional, berkaitan dengan kapasitas legislasi yang rendah; kepentingan politik praktis dari aktor tertentu (politisi, elite birokrasi, pengusaha, lembaga donor); serta tingginya egoisme sektoral yang mengakibatkan hubungan kewenangan antar lembaga menjadi tidak jelas atau seringkali tumpang tindih. 2. Faktor Networking, yakni situasi problematik yang berkenaan dengan koordinasi antar lembaga lambat dan tidak efektif; harmonisasi peraturan sulit dilakukan; serta keberadaan dan keberfungsian forum komunikasi kebijakan belum optimal. 3. Faktor Mindset, berhubungan dengan orientasi policy maker dalam perumusan kebijakan yang keliru; serta pemaknaan terhadap kinerja kebijakan yang keliru. 4. Faktor Litbang/Kajian Kebijakan (Policy Research), yakni menyangkut budaya akademik dalam siklus kebijakan sangat lemah; dukungan dari kajian kebijakan belum optimal karena manajemen kajian lemah; link & match antara kajian dengan kebijakan belum terbangun sinergis; serta peran lembaga think tank masih terbatas. 5. Faktor Partisipasi, yakni rendahnya kepedulian dan partisipasi murni masyarakat terhadap sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Kelima kelompok inilah yang selanjutnya akan dituangkan ke dalam rich picture, atau sering disebut sebagai problem situation expressed.4 Dalam analisis SSM, rich picture 4 Menurut Sudarsono Hardjosukarto (Soft System Methodology: Metode Serba Sistem Lunak, UI Press, Jakarta: 2012, hal. 70), rich picture adalah alat yang lazim digunakan dalam SSM untuk pengungkapan (expressed) situasi dunia nyata yang dianggap problematik. Dengan mengutip Checkland (1999),
  • 39. 27 adalah langkah untuk memilah, mengelompokkan, dan menyederhanakan masalah yang dikemukakan oleh para pemangku kepentingan tanpa menghilangkan inti dari permasalahan tersebut. Adapun rich picture dari kompleksitas issu yang diangkat pada KTP-2 ini dapat dimodelkan sebagaimana Gambar 2.2. dibawah ini. Gambar 2.2. Rich Picture D. Root Definition dan CATWOE Analysis Dalam konstelasi permasalahan yang digambarkan diatas, LAN (cq. Deputi III) memiliki posisi dan peran strategis pada cluster ke-3, yakni Faktor Litbang/Kajian Kebijakan (Policy Research). Dalam hal ini, LAN merupakan lembaga think tank yang harus memiliki budaya akademik unggul, yang didukung dengan manajemen kajian yang efektif, serta mampu mengkaitkan hasil kajian dengan perumusan kebijakan. Untuk itu, peran LAN Sudarsono menjelaskan bahwa informasi yang dikumpulkan dalam rangka pembuatan dan penyajian rich picture meliputi struktur (structure), proses (process), hubungan antara struktur dengan proses tersebut, serta pokok perhatian (concerns).
  • 40. 28 (Deputi III) harus terus diperkuat dalam menjalankan fungsi kajian kebijakan dan hukum administrasi negara agar mampu berkontribusi dalam upaya mewujudkan profil peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional yang berkualitas. Atas dasar hal ini, selanjutnya dilakukan analisis CATWOE sebagai upaya memformulasi root definition sebagai berikut:5 Tabel 2.2. Analisis CATWOE Untuk Menyusun Root Definition Elemen CATWOE Deskripsi Aplikasi Untuk Analisis KTP-2 C (Costumer) Siapa yang dirugikan atau diuntungkan dengan adanya transformasi dari situasi problematik saat ini ke situasi yang diharapkan. Masyarakat pengguna jasa layanan pemerintah. A (Actor) Siapa yang bertanggungjawab untuk melakukan transformasi? LAN (cq Deputi III), Unsur Legislatif (DPR, DPRD), Unsur Eksekutif (Presiden beserta Kementerian/Lembaga), Unsur Yudikatif (MA, MK). T (Transformation) Apa input dan output dari transformasi tersebut? Penguatan peran LAN (cq. Deputi III) untuk melaksanakan dan mempertajam Kajian Hukum Administrasi Negara W (Weltanschauung, World view) Apa yang membuat transformasi bermakna secara kontekstual? Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara diyakini dapat meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara O (Owner) Siapa yang dapat menghentikan proses transformasi tersebut? LAN (cq Deputi III), Unsur Legislatif (DPR, DPRD), Unsur Eksekutif (Presiden beserta Kementerian/Lembaga), Unsur Yudikatif (MA, MK). E (Environmental Constraint) Elemen diluar sistem mana yang baku (taken as given) Suksesi Kepemimpinan Nasional 2014, Birokrasi Kelas Dunia 2025. 5 Menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 89-91), root definition adalah deskripsi terstruktur dari sebuah sistem aktivitas manusia yang relevan dengan situasi problematis yang menjadi perhatian di dalam penelitian SSM yang berbasis tindakan, yang didalamnya tergambar proses (apa, mengapa, dan bagaimana) transformasi dalam organisasi. Root definition merupakan sebuah pernyataan yang jelas tentang aktivitas yang terjadi atau mungkin terjadi di dalam organisasi yang tengah diteliti.
  • 41. 29 Dari analisis CATWOE diatas dapat dirumuskan root definition sebagai berikut: “Penguatan Peran Deputi III Lembaga Administrasi Negara (P) Melalui Penajaman Kajian Hukum Administrasi Negara (Q) Guna Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara (R)” Analisis CATWOE sendiri juga merupakan alat uji atau alat bantu untuk mengingat (mnemotic) apakah root definition yang disusun benar-benar dapat digunakan sebagai dasar pembuatan model konseptual (Sudarsono Hardjosukarto, 2012: 96-97). E. Conceptual Model dan Perbandingannya Dengan Dunia Nyata (Real World) Setelah dirumuskan root definition, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan model konseptual (conceptual mdoel). Menurut Sudarsono Hardjosukarto (2012: 103-104), pembuatan model konseptual didasarkan pada root definition yang telah dipilih dan diberi nama pada tahap sebelumnya. Posisi root definition berkenaan dengan what system is, sedangkan model konseptual berkenaan dengan apa yang harus dilakukan oleh sistem tersebut supaya menjadi seperti apa yang dinyatakan dalam root definition. Model konseptual yang dibuat dalam SSM bukanlah gambaran utuh tentang dunia nyata, melainkan hanyalah duplikat (notional) dari sistem atau serba sistem aktivitas manusia yang relevan dan dipilih. Tidak ada model yang benar atau salah, yang ada adalah model yang relevan dengan situasi problematis Sudarsono Hardjosukarto (2012: 109). Adapun konseptual model yang penulis kembangkan dari situasi problematis yang diangkat pada KTP-2 ini adalah sebagai berikut.
  • 42. 30 Gambar 2.3. Conseptual Model of the System Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional Bidang Administrasi Negara Selanjutnya dari model konseptual diatas dilakukan pembandingan antara situasi dunia nyata dengan model konseptual. Tahap ini tidak dimaksudkan untuk menilai kekurangan situasi problematis dunia nyata dibandingkan dengan model konseptual yang ”sempurna”. Pembandingan ini dapat dilakukan dengan diskusi informal, diskusi formal, penulisan skenario, atau pemodelan dunia nyata (Sudarsono Hardjosukarto, 2012: 110- 112). Adapun perbandingan model konseptual dengan dunia nyata dalam KTP-2 ini dapat dielaborasi sebagaimana pada Tabel 2.3. dibawah ini.
  • 43. 31 Tabel 2.3. Perbandingan Model Konseptual dengan Dunia Nyata (Real World) AKTIVITAS DALAM MODEL DUNIA NYATA / REAL WORLD Melakukan pemetaan masalah rendahnya kualitas perundang- undangan secara kausalistik. Belum ada pemetaan yang terintegrasi antar lembaga; setiap instansi memiliki peta masalah, rencana pengambangan, dan program yang terpisah satu dengan yang lain. Menentukan prioritas pemecahan masalah. Belum ada sistem prioritas nasional kajian kebijakan dan HAN. Selama ini banyak dokumen yang bisa ditafsirkan sebagai prioritas nasional, seperti Program Legislasi Nasional, atau RPJM Nasional. Membangun sinergi, koordinasi, dan kemitraan dengan instansi terkait. Masih kuatnya egosime sektoral dalam perumusan kebijakan serta tidak ada forum komunikasi kebijakan antar instansi pemerintah. Merumuskan common platform peningkatan peraturan per-UU-an nasional. Tidak ada dokumen besar (grand design, roadmap, atau blueprint) tentang pembangunan sistem kebijakan nasional. UU No. 12/2011lebih mengatur dari dimensi normative namun kurang memberi guidance tentang strategi dan program untuk mewujudkan kebijakan nasional yang berkualitas. Menumbuhkan budaya akademik dalam proses perumusan kebijakan nasional. Pendekatan politis lebih mendominasi pendekatan teknokratis dan akademis. Merumuskan pedoman pelibatan masyarakat untuk menjamin kebijakan yang inklusif. Masyarakat belum terlibat aktif dalam siklus penyusunan kebijakan. Selain belum ada peraturan yang “memaksa” masyarakat untuk berpartisipasi, juga ada indikasi kurangnya antusiasme masyarakat untuk terlibat dalam perancangan hingga pelaksanaan kebijakan.peraturan. Menyusun agenda kajian kebijakan berbasis kebutuhan dan evidence. Agenda kebijakan baru sebatas disusun untuk kebutuhan individual lembaga tertentu, belum ada policy dialogue yang mempertemukan dan mengintegrasikan agenda lintas lembaga. Membenahi manajemen kajian untuk meningkatkan peran lembaga. Kajian kebijakan dan HAN masih menghadapi banyak kendala dilihat dari aspek SDM peneliti, anggaran yang tersedia, mekanisme perencanaan, dan sebagainya.
  • 44. 32 Melakukan kajian untuk menghasilkan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan. Hasil kajian dan rekomendasi kebijakan sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan karena hasil kajian dan rekomendasi tersebut relatif kurang berkualitas. Menjamin adanya link and match hasil kajian dengan peraturan per- UU-an dan kebijakan. Kajian dan kebijakan seolah terpisah oleh ruang dan jarak yang sangat jauh. Selama ini belum ada “jembatan” yang menghubungkan dan mendekatkan keduanya. Meningkatkan kualitas peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Kualitas peraturan perundang-undangan di berbagai level masih relatif rendah, sehingga kurang mampu mencapai tujuan pembentukannya. F. Perubahan yang Ingin Diwujudkan (Feasible and Desirable Changes) Dari rangkaian langkah yang telah dilalui semenjak mengidentifikasikan situasi problematik, mengekspresikan situasi problematik dalam bentuk rich picture, menemukan root definition, merumuskan model konseptual, hingga membandingkan model konseptual dengan dunia nyata, maka langkah selanjutnya atau langkah keenam adalah menetapkan perubahan yang diinginkan dan layak diperjuangkan. Dalam hal ini, penulis memandang ada 3 (tiga) perubahan yang sangat diinginkan, yakni perubahan pada level mikro, level messo, dan level makro, sebagai berikut: Gambar 2.4. Perubahan yang Diinginkan
  • 45. 33 Ketiga perubahan tersebut bersifat unique. Pada satu sisi, ketiganya membentuk hubungan sekuensial, yang berarti bahwa perubahan pada level mikro akan menentukan berhasil tidaknya perubahan pada level messo, dan perubahan pada level messo akan menjadi syarat mutlak bagi berubahnya situasi pada level makro. Namun pada sisi lain, ketiga level perubahan ini juga dapat atau harus dilakukan secara simultan dan tidak dapat saling menunggu, sehingga kegiatan yang dilakukan pada rencana aksi berkontribusi secara terpisah atau secara bersama-sama membentuk perubahan pada ketiga level tersebut. Perubahan pada level makro dapat pula dikatakan sebagai sasaran utama yang diinginkan sebagai sebuah weltanschauung yang hendak diwujudkan melalui transformasi pada level mikro dan messo. G. Action to be Taken to Improve the Situation (Rencana Aksi) Memperhatikan berbagai analisis pada tahapan sebelumnya, maka penulis mengajukan beberapa kegiatan yang dipercaya dapat meningkatkan situasi problematik yang dihadapi selama ini. Adapun rincian usulan kegiatan tersebut dapat dilihat pada Tabel yang dimodifikasi sebagai berikut: Tabel 2.4. Usulan Kegiatan Dalam Kerangka Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang- Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara No. Sasaran Utama Sasaran Antara Kegiatan 1 Meningkatnya kualitas peraturan per- UU-an dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Meningkatnya kualitas produk dan manajemen kajian Hukum Adminstrasi Negara • Penyusunan Renstra Kedeputian 2013- 2017; • Penajaman arah kebijakan, strategi, dan program kajian HAN; • Penyelenggaraan forum knowledge enrichment dan konwledge shared forum untuk mengasah kompetensi teknis peneliti; • Penguatan kapasitas peneliti melalui pengiriman dalam diklat-diklat yang relevan. 2 Menguatnya peran LAN dalam membangun evidence-based research untuk • Audiensi dengan lembaga terkait seperti MA, MK, Komisi DPR-RI yang membidangi hukum, Kementerian Kumham (cq. Ditjen Perundang-Undangan, dst); • Penyusunan Policy Brief untuk issu-issu kebijakan kontemporer;
  • 46. 34 mewujudkan research-based policy • Penyelenggaraan forum komunikasi kebijakan untuk menjembatani kajian hukum dan kebijakan dengan para policy makers.
  • 47. 35 BAB III PENGGAMBARAN MASA DEPAN SISTEM PERATURAN/KEBIJAKAN MENGGUNAKAN SCENARIO PLANNING A. Penetapan Focal Concern (FC) Analisis pada Bab II dengan menggunakan piranti soft system methodology pada hakekatnya penulis maksudkan untuk menghasilkan pemecahan masalah serta rekomendasi berupa aktivitas untuk memperbaiki situasi problematik yang dihadapi. Dengan demikian, dilihat dari kerangka waktunya (time frame), Bab II lebih dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek dan segera. Sedangkan pada Bab III ini, penulis akan menggunakan piranti scenario planning yang penulis maksudkan untuk menghasilkan gambaran di masa depan terkait issu atau substansi yang dianalisis, yakni tentang kualitas peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang administrasi negara. Dengan demikian, kerangka waktunya menjangkau sekitar 10 tahun kedepan, tepatnya tahun 2025. Pemilihan tonggak waktu 2025 ini sendiri didasarkan pada pertimbangan karena tahun tersebut merupakan akhir periode Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (UU No. 17/2007) dan akhir periode dari Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 (Peraturan Presiden No. 81/2010). Berakhirnya secara bersamaan dua dokumen besar tersebut memberi gambaran bahwa tahun 2025 semestinya menjadi tahun pencapaian prestasi pemerintahan yang sangat signifikan bagi bangsa Indonesia. Maka, melalui piranti scenario planning ini, penulis ingin memaparkan gambaran atau deskripsi (bukan preskripsi) tentang kualitas peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di Indonesia pada tahun 2025. Dengan memiliki deskripsi tentang kemungkinan masa depan ini, maka kebijakan, program, atau kegiatan yang dilakukan pada jangka pendek akan mempunyai benang merah dan kesinambungan dengan sasaran atau harapan pada jangka menengah atau panjang. Adapun untuk mengawali analisis skenario ini, dimulai dengan menetapkan focal concern. Dalam konteks KPT-2 ini, penulis menetapkan Focal Concern yakni: “Masa Depam Sistem Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Nasional di Bidang Administrasi Negara Tahun 2025”.
  • 48. 36 B. Identifikasi Driving Forces (DF) Driving Forces pada hakekatnya adalah variabel-variabel yang menentukan keberhasilan pencapaian Focal Concern. Dalam hal ini, agar terjadi konsistensi dalam analisis, maka penulis memanfaatkan hasil analisis pada Bab II khususnya mengenai situation considered problematic dan rich picture, yang dikonversi menjadi variabel pendorong atau Driving Forces. Tabel 3.1. Driving Forces No. Diving Forces 1 Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi 2 Tingkat Egoisme Sektoral 3 Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga 4 Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan 5 Ketepatan Persepsi/Orientasi terhadap Peraturan/ Kebijakan 6 Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan 7 Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan 8 Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan 9 Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan 10 Efektivitas Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan hingga Implementasi Peraturan/Kebijakan 11 Ketersediaan dan Tingkat Dukungan Sumber Daya Kajian/Litbang Kebijakan (SDM, Anggaran) C. Analisis Hubungan Antar Driving Forces (DF) Terhadap Driving Forces yang telah ditentukan diatas, dilakukan analisis hubungan atau keterkaitan antar Driving Forces secara non-linier, yakni dengan cara berpikir serba sistem (systems thinking) menggunakan piranti CLD (causal loops diagram). Metode ini merupakan pergeseran pola pikir linier ke pola pikir baru yang bersifat sistemik,
  • 49. 37 holistik, saling terkait (inter-connectedness), serta mengkombinasikan antara berpikir analitikal dengan berpikir sintetikal. CLD sendiri merupakan cara yang tepat dan efektif untuk menggambarkan secara ringkas pernyataan penyebab (causes) dan mengidentifikasikan proses-proses balikan (Sumber: LAN, Modul Diklatpim II). Adapun evaluasi dan penilaian driving forces dengan teknik non-linier dapat dilihat sebagai berikut: Gambar 3.1. Evaluasi dan Penilaian Driving Force Dengan Teknik Non-linier Dari analisis CLD diatas kemudian dihitung jumlah loops yang mencerminkan variabel pengungkit sebagai berikut: Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi Tingkat Egoisme Sektoral Efektivitas Koordinasi/Komunikasi KebijakanAntar Lembaga Efektivitas Harmonisasi dalamPerumusan Peraturan/Kebijakan Ketepatan Persepsi/Orientasiterhadap Peraturan/ Kebijakan Kadar Budaya Akademik DalamSiklus Kebijakan/ PengambilanKeputusan Tingkat Dukungan Kajian/LitbangKebijakan Efektivitas Lembaga Kajian/LitbangKebijakan KeluasanNetworking& Kerjasama Antar Lembaga Kajian/LitbangKebijakan Efektivitas PartisipasiMasyarakat dalamPerumusanhingga ImplementasiPeraturan/Kebijakan KetersediaandanTingkat DukunganSumber Daya Kajian/LitbangKebijakan S S S S S S S S S S SS S S S S S O S R1 B1 S O B2 S S R2 S S R3 R5 S R4 SS R7 S S O O R6 S R8 S S O B3
  • 50. 38 Tabel 3.2. Analisis Leverage No Driving Forces Jumlah & Panjang Loops Ranking 1 Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi 34/122 5 2 Tingkat Egoisme Sektoral 42/142 1 3 Efektivitas Koordinasi/Komunikasi Kebijakan Antar Lembaga 33/123 6 4 Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan 36/129 3 5 Ketepatan Persepsi/Orientasi terhadap Peraturan/ Kebijakan – 9 6 Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan 35/118 4 7 Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan 37/126 2 8 Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan 4/6 7 9 Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan 4/6 7 10 Efektivitas Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan hingga Implementasi Peraturan/ Kebijakan 1/1 8 11 Ketersediaan dan Tingkat Dukungan Sumber Daya Kajian/Litbang Kebijakan (SDM, Anggaran) 1/1 8 Dari analisis perbandingan tersebut dapat ditemukan 5 (lima) driving forces yang paling berpengaruh, yakni: 1) Tingkat Egoisme Sektoral, 2) Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan, 3) Efektivitas Harmonisasi dalam Perumusan Peraturan/Kebijakan, 4) Kadar Budaya Akademik Dalam Siklus Kebijakan/Pengambilan Keputusan, serta 5) Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi. Selanjutnya, dari kelima driving forces tersebut diambil 2 (dua) urutan teratas (driving forces utama) yang diyakini merupakan faktor pengungkit kunci (key leverage) dalam mewujudkan masa depan peraturan perundang-undangan dan lebijakan nasional bidang administrasi negara yang berkualitas. Jika digambarkan uses tree-nya, kedua faktor pengungkit tersebut dapat dilihat pada skema dibawah ini.
  • 51. 39 Leverage 1: Tingkat Egoisme Sektoral Leverage 2: Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan D. Menyusun Matriks Skenario Kedua leverage diatas selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai sumbu axis (X) dan ordinat (Y) dalam penyusunan matriks skenario. Prioritas pertama atau leverage tertinggi yakni “Tingkat Egoisme Sektoral” akan ditempatkan pada sumbu X, sedangkan variabel “Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan” akan berada pada sumbu Y, dengan masing- masing memiliki titik ekstrim negatif (kiri, bawah) dan titik ekstrim positif (kanan, atas). Tingkat Egoisme Sektoral Efektivitas HarmonisasidalamPerumusan Peraturan/Kebijakan (Efektivitas Koordinasi/KomunikasiKebijakan Antar Lembaga) (Tingkat Egoisme Sektoral) Efektivitas Koordinasi/KomunikasiKebijakan Antar Lembaga (Efektivitas HarmonisasidalamPerumusan Peraturan/Kebijakan) (Kadar Budaya Akademik DalamSiklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan) (Tingkat Egoisme Sektoral) Kadar Budaya Akademik DalamSiklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan (Efektivitas Koordinasi/KomunikasiKebijakan Antar Lembaga) (Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan) (Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi) Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan (Efektivitas HarmonisasidalamPerumusan Peraturan/Kebijakan) Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan (Kadar Budaya Akademik DalamSiklus Kebijakan/ Pengambilan Keputusan) Keluasan Networking & Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan (Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi) Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi (Efektivitas HarmonisasidalamPerumusan Peraturan/Kebijakan) (Tingkat Dukungan Kajian/Litbang Kebijakan) (Tingkat Egoisme Sektoral) Tingkat DukunganKajian/Litbang Kebijakan Efektivitas HarmonisasidalamPerumusanPeraturan/Kebijakan Efektivitas Koordinasi/Komunikasi KebijakanAntar Lembaga Tingkat Egoisme Sektoral Efektivitas Lembaga Kajian/LitbangKebijakan (KeluasanNetworking& Kerjasama Antar Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan) (Tingkat Dukungan Kajian/LitbangKebijakan) Kadar Budaya Akademik DalamSiklus Kebijakan/ PengambilanKeputusan (Efektivitas Koordinasi/KomunikasiKebijakanAntar Lembaga) (Tingkat DukunganKajian/LitbangKebijakan) (Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi) Keluasan Networking& Kerjasama Antar Lembaga Kajian/LitbangKebijakan (Efektivitas Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan) (Tingkat DukunganKajian/Litbang Kebijakan) Tingkat Kemampuan/Kapasitas Legislasi (Efektivitas HarmonisasidalamPerumusanPeraturan/Kebijakan) (Tingkat DukunganKajian/Litbang Kebijakan) (Tingkat Egoisme Sektoral)
  • 52. 40 Gambar 3.2. Matriks Skenario E. Menentukan Ciri-Ciri Kutub Dari matriks skenario diatas terdapat 4 (empat) titik ekstrem yang terletak pada ujung kanan dan ujung kiri untuk variabel tingkat egoisme sektoral, serta ujung atas dan ujung bawah untuk variabel dukungan kajian/litbang kebijakan. Adapun ciri-ciri setiap kutub dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kutub Kanan (Nihil Egoisme Sektoral), ciri-cirinya adalah: • Jumlah aturan tidak banyak, cukup yang memiliki keterkaitan antar instansi atau yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat; • Perumusan kebijakan selalu dilakukan dalam sebuah forum kebijakan secara inklusif; • Dalam pembahasan rancangan peraturan, setiap instansi atau tokoh individual lebih mengedepankan kepentingan nasional dibanding kepentingan pribadi atau golongan; • Produk hukum atau regulasi yang dihasilkan cenderung tidak ada penolakan atau perlawanan dari stakeholders yang terkena regulasi tersebut.
  • 53. 41 2. Kutub Kiri (Egoisme Sektoral Sangat Kuat), ciri-cirinya adalah: • Banyak instansi berlomba menghasilkan produk hukum di berbagai level; • Jarang sekali bahkan hampir tidak pernah dilakukan komunikasi kebijakan dengan berbagai stakeholders sejak awal perumusannya; • Kepentingan rakyat banyak cenderung diabaikan, dan agenda kebijakan banyak diwarnai oleh kepentingan kelompok/instansi tertentu; • Rawan terhadap munculnya konflik kewenangan antar lembaga, atau benturan substansi antar peraturan; • Pembahasan suatu aturan selalu menyita waktu yang panjang dibumbui perdebatan yang berlarut-larut; • Ketiadaan strong leadership yang mampu mengakomodasi berbagai perbedaan kepentingan kedalam kepentingan nasional yang lebih besar; • Energi nasional terbuang sia-sia tanpa menghasilkan manfaat yang signifikan. 3. Kutub Atas (Dukungan Optimal Kajian Terhadap Kebijakan), ciri-cirinya adalah: • Pertimbangan politis dalam perumusan kebijakan relatif kecil, sementara pertimbangan akademik dan teknokratik lebih menonjol; • Kualitas peraturan/kebijakan jauh lebih baik sehingga mengurangi kemungkinan diuji materi atau direvisi dalam waktu singkat; • Kebutuhan sosialisasi dan uji publik terhadap (rancangan) peraturan/kebijakan tidak perlu dilakukan tersendiri, sehingga bisa menghemat sumber daya (anggaran); • Para policy makers lebih confidence karena kebijakan yang diambil berdasarkan pada bukti-bukti yang obyektif. 4. Kutub Bawah (Kebijakan Tanpa Dukungan Kajian), ciri-cirinya adalah: • Peraturan/kebijakan sangat lemah baik secara filosofis, historis, sosiologis, maupun teoretis; • Kemungkinan gagalnya peraturan/kebijakan lebih besar yang melahirkan symbolic policy atau involusi kebijakan; • Inefisiensi program dan anggaran cukup besar karena perumusan kebijakan dan pengkajian kebijakan memerlukan anggaran secara terpisah dan tidak reinforcing; • Masyarakat tidak mendapatkan manfaat langsung dari fungsi pengaturan oleh pemerintah; • Kemungkinan uji materi dan revisi peraturan/kebijakan secara terus menerus sangat besar.