Ringkasan dari dokumen tersebut adalah:
1. Menteri Agama menyampaikan pentingnya rekontekstualisasi fikih Islam untuk menyesuaikan dengan zaman, namun hal ini ditentang karena dianggap melanggar syariat Islam yang bersifat universal dan sempurna.
2. Rekontekstualisasi fikih dianggap membahayakan umat karena dapat menimbulkan kebimbangan terhadap Islam, melemahkan penerapan hukum Islam, dan menghalangi p
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
Rekontekstualisasi fikih islam
1. SYARIAT ISLAM BUTUH DIIMPLEMENTASI, BUKAN
DIREKONTEKSTUALISASI
Dina A. Fakhrina
Menimbang Rekontekstualisasi
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memberikan sambutan pada
pembukaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang
ke-20 di Surakarta, Senin (25/10/2021). Dalam sambutan itu, dia antara lain
menyampaikan pentingnya melakukan rekontekstualisasi sejumlah konsep
fikih dalam rangka merespons tantangan zaman. Dia menambahkan bahwa
ketakstabilan sosial dan politik, perang saudara, dan terorisme disebabkan
oleh tindakan kelompok-kelompok muslim ultrakonservatif yang bersikeras
menerapkan elemen fikih tertentu dalam konteks yang tidak lagi sesuai dengan
norma klasik yang ada pada era awal Islam.
Melansir kemenag.go.id, AICIS merupakan Konferensi Studi Islam
Internasional tahunan hasil prakarsa Kementerian Agama. Tahun ini,
konferensi bertema “Islam in a Changing Global Context: Rethinking Fiqh
Reactualization and Public Policy” ini akan membahas lebih dari 5.000 jurnal
berisi temuan baru dalam studi Islam.
Rekontekstualisasi menurut Meriem-Webster Dictionary online adalah
menempatkan sesuatu dalam konteks yang berbeda (recontextualization: to
place (something, such as a literary or artistic work) in a different context).
“Rekontekstualisasi fikih” berarti menempatkan fikih dalam konteks yang
berbeda dengan fikih yang telah ada, yaitu menafsirkan ulang dalilnya lantas
membuat keputusan hukum yang berbeda. Misalnya, syariat jihad yang terkait
2. dengan perang meninggikan agama, direkontekstualisasi menjadi upaya
berjuang dalam makna lain, seperti dalam bidang pendidikan atau pengobatan.
Bila demikian halnya, berarti syariat Islam dinilai mempunyai kekurangan dan
tidak cocok lagi untuk situasi sekarang. Tentu saja hal ini bertentangan dengan
kenyataan yang ada dan juga bertentangan dengan syariat itu sendiri.
Allah Swt. berfirman,
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama
bagimu.” (QS Al-Maidah: 3)
Telah sangat jelas bahwa Islam adalah din sempurna yang mencakup seluruh
aspek kehidupan, tidak ada satu pun yang luput. Lebih dari itu, aturan Islam
tidak terikat waktu dan tempat. Dengan demikian, tampak jelas bahwa umat
Islam tidak butuh rekontekstualisasi fikih, bahkan haram hukumnya karena
sama saja dengan mengacak-acak syariat Islam, memorakporandakan fikih
Islam yang justru akan makin menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam
yang benar.
Dalam ajaran Islam, ada praktik ijtihad yang tentu berbeda dengan
rekontekstualisasi. Ijtihad hanya berlaku pada nas-nas syariat yang zhanni,
yang masih ada ruang ijtihad di dalamnya. Bisa juga terkait nas-nas yang
mengandung ‘illat (ilat, sebab pensyariatan hukum). Kaidah usul fikih yang
masyhur berbunyi: اًمَدَع ْ
وَأ ًاد ْ
وُجُو ِهِتَّلِع َعَم ُر ْ
ُودَي ُمْكُحْلَا “Hukum itu beredar bersama
ilatnya, ada ataupun tiadanya.” Oleh karena itu, pada masa Rasulullah saw.,
ganimah, misalnya, hanya dibagikan kepada kaum Muhajirin dan dua orang
Anshar saja. Namun, pada masa Khalifah Abu Bakar ra. ganimah dibagikan
kepada semua umat Islam. Dalam hal ini Khalifah Abu Bakar ra. tidak bisa
dipandang sedang mengubah atau merekontekstualiasi hukum. Beliau justru
sedang menerapkan hukum syariat sesuai dengan ilatnya, yakni agar harta
3. tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja, sebagaimana dinyatakan Al-
Qur’an (Lihat QS al-Hasyr [59]: 7).
Apa batasannya? Batasannya setidaknya ada dua. Pertama: Harus berdasarkan
dalil baik dalil Al-Qur’an, as-Sunah, Ijmak Sahabat, maupun Qiyas syar’í.
“Ijtihad” yang terlepas sama sekali dari dalil, lalu mengikuti hawa nafsu
semata, jelas bukan ijtihad. Kedua: Tidak melanggar nas-nas yang qath’i.
“Ijtihad” yang menabrak nas-nas yang qath’i—baik qath’i tsubut (yakni Al-
Qur’an dan hadis mutawatir) maupun qath’i dalâlah (penunjukan
maknanya)—pada hakikatnya adalah perusakan terhadap agama Islam itu
sendiri.
Dengan mengkaji secara mendalam terhadap metode penafsiran yang dipakai
dalam rekontekstualisasi atau reinterpretasi Al-Qur’an, baik tafsir maqashidi
maupun tafsir kontekstual, terdapat beberapa konsep penafsiran yang tidak
sesuai dengan metode penafsiran Al-Qur’an yang berdasarkan akidah Islam.
Ketaksesuaian ini terdapat pada beberapa hal:
a. Dasar penafsiran bukan akidah Islam, tetapi moderasi Islam,
b. Tafsir maqashidi dan tafsir kontekstual tidak bisa dimasukkan dalam
tafsir bi al riwayah/tafsir ma’tsur karena tafsir maqashidi dan tafsir
kontekstual tidak menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ataupun
sabda Rasulullah ataupun perkataan Sahabat. Di samping itu, tafsir
maqashidi dan tafsir kontekstual juga tidak termasuk tafsir bi al
dirayah/bi ra’yi karena tafsir maqashidi dan tafsir kontekstual tidak
disusun dengan menyandarkan pada bahasa Arab dan berdasarkan
pendapat/ijtihad, yaitu upaya sungguh- sungguh menafsirkan Al-
Qur’an dengan menggunakan pendekatan bahasa dan bersandarkan
pada Al-Qur’an, misalnya QS An Nisa’: 34: ‘Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan
4. karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka.”
Contohnya, hukum waris yang sudah jelas dan tegas di dalam Al-Qur’an,
begitu direkontekstualisasikan dengan feminisme, justru ditabrak begitu rupa.
Contoh lain, terkait khamar. Dikatakan, misalnya, “Keharaman khamar ini
bersifat sekunder dan kontekstual. Karena itu vodka di Rusia bisa jadi halal
karena situasi di daerah itu sangat dingin.”
Bahkan yang lebih parah, antara iman dan kafir juga direkontekstualisasi.
Dengan gegabah sebagian orang berpendapat penggunaan istilah kafir
mengandung ‘kekerasan verbal’ kepada nonmuslim. Karena itu istilah kafir
mesti diganti dengan sebutan ‘muwathin’ atau warga negara.
Sebagian orang juga melakukan rekontekstualisasi ajaran Islam hingga
merusak hukum-hukum yang sudah jelas dengan dalih maqashid asy-syari’ah.
Maqashid asy-syari’ah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan yang dibawa
oleh syariat. Secara umum maqashid as-syari’ah mencakup dua hal: meraih
kemaslahatan atau menolak kemadaratan. Namun maqashid as-syari’ah yang
dimaksud juga sesuai dengan ketentuan syarak, bukan kemaslahatan menurut
akal atau hawa nafsu. Di sisi lain, para ulama ushul memang berbeda pendapat
terkait apakah meraih kemaslahatan atau menolak kemadaratan itu adalah
‘illat suatu hukum ataukah bukan. Namun, mereka tidak berbeda pendapat
terkait nas-nas syariat yang qath’i baik sumbernya maupun penunjukan
maknanya. Sebagai contoh, tujuan pensyariatan pernikahan antara lain adalah
untuk menjaga nasab. Namun, para ulama tidak ada yang berpendapat bahwa
jika dengan teknologi (DNA) nasab bisa diketahui maka pernikahan tidak lagi
diperlukan, lalu boleh melakukan zina, misalnya.
Menurut Menag, ada empat alasan pentingnya rekontekstualisasi ortodoksi
Islam. Pertama, bahwa pengamalan Islam adalah operasionalisasi dari nilai-
nilai substansialnya atau pesan-pesan utamanya, yaitu tauhid, kejujuran,
5. keadilan, dan rahmah (rahmat). Kedua, bahwa model operasionalisasi tersebut
harus dikontekstualisasikan dengan realitas aktual agar praktik-praktik yang
diklaim sebagai pengamalan Islam tidak justru membawa akibat yang
bertentangan dengan pesan-pesan utama Islam itu sendiri. Alasan ketiga
tentang pentingnya rekontekstualisasi fikih adalah bahwa dakwah Islam harus
berjalan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat secara keseluruhan.
Keempat, bahwa walaupun tidak menjadikan nonmuslim berpindah (identitas)
agama menjadi muslim, pengadopsian nilai-nilai substansial Islam sebagai
nilai-nilai operasional dalam masyarakat adalah capaian dakwah yang amat
tinggi harganya.
Mari kita analisis satu persatu alasan yang dikemukakan oleh Menag. Untuk
alasan pertama, memahami Islam secara substansial atau kontekstual bukan
lagi tekstual merupakan ciri khas orang-orang liberal sekuler
mengompromikan Islam dengan kondisi sekarang. Maksud dari ortodoksi
Islam yang Menag sampaikan adalah pemahaman “syariat jadul” yang ia nilai
sudah tidak relevan lagi dengan zaman. Artinya, Islam harus tampil mengikuti
arus modernisasi kehidupan saat ini. Seolah hukum Islam itu jadul dan sudah
tidak cocok dengan zaman sekarang.
Untuk alasan kedua, Menag seakan tidak meyakini penerapan syariat Islam
“klasik” sejatinya memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Adakah bukti empiris dan historis yang menganggap pengamalan Islam
bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri? Kalaulah ada, yang salah bukan
Islamnya, tetapi orang yang mengamalkannya. Adapun syariat Islam sudah
sempurna karena ia berasal dari Zat Mahasempurna, Allah Swt..
Adapun alasan ketiga, dakwah Islam harus berjalan dengan tetap memelihara
harmoni masyarakat. Apakah harmoni yang ia maksud adalah kompromi
dengan ide-ide Barat, seperti moderasi atau sekularisasi? Jika demikian, ini
6. sama saja mencampuradukkan antara yang hak dan batil karena
menyepadankan hukum Islam dengan hukum versi Barat.
Mengenai alasan keempat, capaian dakwah tertinggi adalah saat kita
menyaksikan ketinggian dan kemuliaan Islam dapat terterapkan dalam segala
aspek kehidupan, bukan hanya sekedar substansi. Rasulullah saw. bersabda,
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR Ad
Daruquthni).
Bahaya Besar bagi Umat
Rekontekstualisasi fikih mengandung bahaya lebih besar bagi umat Islam.
Pertama, menimbulkan kebimbangan terhadap Islam. Islam mereka utak-atik
sesuai selera yang berkepentingan merusak Islam. Jelas hal ini sangat
menguntungkan musuh Islam. Dengan sekularisme dan liberalisme saja
mereka sudah berhasil mengacak-acak pemahaman umat sehingga kaum
muslim kian jauh dari ajarannya. Apalagi sudah masuk ke ranah fikih, tentu
lebih besar lagi pengaruhnya dalam kehidupan umat.
Kedua, mengebiri dan mendangkalkan cakupan Islam dan kandungannya
sebatas nilai atau substansi semata. Hal ini mengakibatkan umat tidak lagi
memandang pentingnya mempelajari hukum atau fikih Islam sesuai kaidah
syariat Islam. Lebih luas, hal ini berefek pada penafsiran Islam sesuai
pemikiran manusia dan fakta yang ada. Jadinya, Islam yang diatur-atur, bukan
menjadi subjek yang mengatur manusia.
Ketiga, memunculkan kaidah-kaidah yang menguliti dan mematikan ajaran
Islam. Sebagai contoh, ajaran Khilafah mereka anggap berbahaya karena
relevansinya dengan Indonesia tidak ada. Padahal, Khilafah adalah produk
fikih, bukan sekadar sejarah untuk dikenang. Lebih dari itu, Khilafah adalah
pemahaman fikih yang butuh terealisasikan dalam kehidupan umat.
7. Keempat, menggerus keimanan kaum muslim. Rekontekstualisasi fikih adalah
makna lain dari deislamisasi. Pada akhirnya, umat merasa tidak perlu tunduk
dan taat sepenuhnya pada syariat Islam. Pengamalan ketaatan cukup dalam
nilai humanis saja.
Kelima, menahan dan menghalangi kaum muslim dari puncak amal dalam
Islam, yaitu penegakan Khilafah dan jihad fi sabilillah. Dengan
rekontekstualisasi, hukum-hukum Islam seputar aturan bagi nonmuslim
mereka nilai tidak dapat mewujudkan kehidupan harmoni antarumat
beragama. Padahal, harmonisasi justru tidak terbentuk selama hukum sekuler
terterapkan. Intoleransi justru meningkat sejak dunia mengadopsi ideologi
kapitalisme sekularisme.
Untuk menghadapi hal tersebut, perlu langkah-langkah untuk membentuk
ketahanan ideologi Islam atau ketahanan pemikiran di tengah umat. Umat
Islam pun harus dibentuk imunitasnya terhadap pemikiran-pemikiran beracun,
yang sesat, dan menyesatkan. KH Shiddiq al-Jawi menjelaskan langkahnya,
“Caranya, pertama, memberikan imunisasi pemikiran berupa pemikiran-
pemikiran Barat yang sudah dilemahkan yang dibarengi kritik terhadapnya.
Kedua, sekaligus membangun dan menancapkan pemikiran Islam yang sahih
ke tengah-tengah umat. Yang batil kita hancurkan dan yang hak kita
tegakkan,”
Khatimah
Fikih bukanlah produk pemikiran sebagaimana pendapat pemikir atau filosof,
melainkan pemahaman terhadap wahyu, yaitu dalil syara’ dengan kaidah yang
telah syariat tetapkan. Fikih pasti mengandung kemaslahatan bagi umat
manusia. Mudarat justru terjadi manakala umat menjauhkan diri dari Islam
dan pemahaman fikih yang sahih. Sebagai hamba-Nya yang lemah dan serba
8. terbatas, tidak pantas rasanya mengutak-atik hukum sesuai selera atau
kepentingan kekuasaan. Dalam Islam sudah sangat jelas perbedaan kebenaran
dan kebatilan. Cukuplah peringatan Allah Swt. menjadi renungan bagi setiap
individu, apa pun kedudukannya, layakkah mencari jalan selain yang sudah
Allah dan Rasul-Nya gariskan? “Dan janganlah kamu campur adukkan
kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran,
sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS Al-Baqarah: 42).
Pada kenyataannya yang dibutuhkan oleh umat ini adalah penerapan syariat
Islam secara total dan menyeluruh. Bukan rekontekstualisasi fikih Islam. Hari
ini kaum muslim, baik di Tanah Air maupun di seluruh dunia, tidak
menerapkan syariat Islam secara kafah. Hanya sebagian kecil saja dari syariat
Islam yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari seperti fikih ibadah,
fikih rumah tangga, dan sebagian kecil fikih muamalah. Padahal kunci
kebangkitan umat adalah manakala mereka menjalankan syariat Islam
sebagaimana generasi terdahulu. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-
Hasani rahimahulLâhu dalam Syarî’atulLâh al-Khâlidah menjelaskan;
“Sekiranya kaum muslim hari ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama
Islam sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya mereka akan menjadi
umat yang terdepan dan paling bahagia.” Alhasil, pernyataan Menag bahwa
umat membutuhkan ortodoksi atau fikih alternatif menjadi tidak relevan.
Apalagi jika fikih alternatif yang dimaksud adalah penafsiran terhadap Islam
yang tunduk pada kepentingan kaum kapitalis dan liberalis untuk
melanggengkan imperialisme mereka di dunia Islam.
Referensi
1. https://www.muslimahnews.com/2021/11/03/rekontekstualisasi-
fikih-arus-baru-sekularisasi-islam/
9. 2. Buletin Kaffah. Syariat Islam Butuh Diterapkan, Bukan
Direkontekstualisasi. Kaffah Edisi 217, 2021.
3. https://www.muslimahnews.com/2021/11/13/rekontekstualisasi-
bukan-solusi-kebutuhan-umat-terhadap-fikih-islam/
4. https://www.muslimahnews.com/2021/11/29/rekontekstualisasi-
ajaran-islam-berbahayakah/