Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) IGD dianggap sebagai etalase pelayanan rumah sakit karena merupakan paparan pertama pasien akut, namun pandangan ini perlu dievaluasi
2) IGD sebenarnya hanya merupakan salah satu sistem mikro di rumah sakit, dan mutu rumah sakit tidak hanya ditentukan oleh IGD
3) Berdasarkan regulasi di Indonesia, IGD diatur terpisah dari rumah sakit dan memiliki karakter
1. RAD Journal 2015:12:023
Instalasi Gawat Darurat dan Etalase Rumah Sakit, Robertus Arian Datusanantyo | 1
Instalasi
Gawat
Darurat
dan
Etalase
Rumah
Sakit
Pendahuluan
Di
berbagai
tempat
banyak
disebutkan
bahwa
instalasi
gawat
darurat
(IGD)
adalah
etalase
pelayanan
rumah
sakit.
Disebut
demikian
karena
IGD
dianggap
sebagai
paparan
pertama
pasien
akut
yang
datang
ke
rumah
sakit.
Mereka
yang
percaya
bahwa
IGD
adalah
etalase
rumah
sakit
mengatakan
bahwa
mutu
rumah
sakit
dan
bagaimana
pelayanannya
akan
tergambar
jelas
dari
bagaimana
pasien
di
IGD
diperlakukan.
Sebagai
etalase,
IGD
dianggap
mewakili
mutu
rumah
sakit.
Dalam
kerangka
perbaikan
mutu
IGD,
hal
ini
dapat
diterima
karena
meningkatkan
motivasi
peningkatan
kinerja
staf
IGD.
Sistem
Mikro,
Rantai
Nilai,
dan
Regulasi
Walau
demikian,
dengan
cara
pandang
bahwa
IGD
adalah
salah
satu
sistem
mikro
di
rumah
sakit
(Berwick
2002),
sebutan
ini
perlu
dievaluasi.
Sistem
mikro
adalah
sekumpulan
orang
yang
secara
teratur
bekerja
sama
melayani
suatu
subpopulasi
tertentu
(Nelson
et
al.
2002).
Sistem
mikro
biasanya
merupakan
bagian
dalam
suatu
sistem
makro
tertentu
dan
saling
terhubung
dengan
sistem-‐sistem
mikro
yang
lain
secara
longgar
maupun
ketat.
Secara
umum,
IGD
sebagai
sistem
mikro
merupakan
bagian
dari
sistem
makro
yang
disebut
rumah
sakit.
Di
rumah
sakit,
sistem
mikro
tidak
hanya
IGD.
Dengan
batasan
definisi
longgar
yang
berubah
dari
waktu
ke
waktu,
sistem
mikro
di
rumah
sakit
bisa
sangat
bervariasi
dalam
hal
jumlah
dan
bentuk.
Konsep
ini
akan
lebih
menarik
bila
dilihat
dari
perspektif
mutu.
Mutu
rumah
sakit
tidak
dapat
melampaui
mutu
kumpulan
sistem
mikro
yang
ada
di
dalamnya.
Mutu
IGD,
dengan
demikian
tidak
otomatis
menggambarkan
mutu
rumah
sakit.
Sebagai
salah
satu
sistem
mikro,
IGD
hanyalah
salah
satu
bahan
bangunan
dalam
mutu
rumah
sakit.
Pendekatan
lain
yang
dapat
dipakai
mengevaluasi
anggapan
bahwa
IGD
adalah
etalase
rumah
sakit
adalah
pendekatan
rantai
nilai
dari
Michael
Porter.
Dalam
konsep
rantai
nilai
ini,
keseluruhan
proses
asupan
sampai
luaran
pasien
yang
dilayani
di
IGD
didukung
oleh
sistem
pendukung
yang
berupa
infrastruktur,
kepemimpinan
dan
pengelolaan
sumber
daya
manusia,
penelitian
dan
pengembangan,
dan
teknologi
informasi
(Acharyulu
&
Shekhar
2012).
Dalam
konsep
rantai
nilai
ini,
keempat
sistem
pendukung
tersebut
menyangga
aktivitas
mulai
dari
asupan
pasien
sampai
luaran
pasien.
Aktivitas
tersebut
dilakukan
tidak
hanya
oleh
IGD.
Dengan
demikian,
paling
tidak
ada
dua
implikasi
yang
timbul.
Implikasi
pertama
adalah
kinerja
yang
tampak
di
IGD
bukan
hasil
kerja
staf
IGD
saja
namun
juga
kinerja
sistem
pendukung.
Kedua,
kinerja
sistem
pendukung
mempengaruhi
semua
pelayanan
di
rumah
sakit.
Dengan
penjelasan
kedua
implikasi
ini,
semakin
jelas
bahwa
pelayanan
rumah
sakit
tidak
dapat
dilihat
dari
kinerja
IGD
saja.
Dari
sisi
regulasi
di
Indonesia,
evaluasi
juga
dapat
dilakukan
terhadap
anggapan
bahwa
IGD
merupakan
etalase
rumah
sakit.
Undang-‐undang
no.
44
tahun
2009
dengan
jelas
mengatakan
bahwa
rumah
sakit
memiliki
tiga
macam
layanan
utama
yaitu
rawat
inap,
rawat
jalan,
dan
gawat
darurat.
Konsep
ini
sejalan
dengan
akreditasi
rumah
sakit
yang
saat
ini
memiliki
paradigma
berpusat
pada
pasien,
mutu,
dan
keselamatan
pasien.
Lebih
lanjut,
pelayanan
IGD
diatur
dalam
Peraturan
Menteri
Kesehatan
no.
856
tahun
2009.
Dalam
peraturan
menteri
tersebut,
diatur
berbagai
standar
mengenai
IGD
dalam
empat
tingkat
pelayanan
sesuai
kelas
rumah
sakit.
Ada
beberapa
kekhususan
dalam
pelayanan
IGD
menurut
peraturan
menteri
ini,
salah
satunya
mengenai
indikator
mutu
pelayanan.
Walaupun
secara
eksplisit
tidak
diatur
dalam
peraturan
ini,
salah
satu
tolok
ukur
pelayanan
IGD
yang
baik
adalah
kecepatan
pelayanan.
Ketentuan
ini
berbeda
dari
pelayanan-‐pelayanan
lain
di
rumah
sakit
yang
lebih
condong
disebut
sebagai
pada
waktu
tertentu
atau
pada
waktu
yang
tepat.
Dalam
standar
pelayanan
minimal
rumah
sakit
yang
diatur
dalam
Keputusan
Menteri
Kesehatan
no.
129
tahun
2008
diatur
bahwa
IGD
harus
mampu
memberikan
pelayanan
medis
dalam
waktu
lima
menit
sejak
pasien
datang.
Kecepatan
dan
keselamatan
yang
harus
menjadi
nafas
pelayanan
IGD
tentu
membawa
konsekuensi
khusus
dalam
pengelolaan
kinerja
IGD.
Kekhususan
ini
menjadikan
keterwakilan
pelayanan
rumah
sakit
tidak
mungkin
terjadi
di
IGD.
2. RAD Journal 2015:12:023
Instalasi Gawat Darurat dan Etalase Rumah Sakit, Robertus Arian Datusanantyo | 2
Ketiga
pemikiran
di
atas
semakin
menguatkan
prinsip
bahwa
IGD
bukanlah
etalase
pelayanan
rumah
sakit.
Namun
demikian,
sebuah
penelitian
pernah
membandingkan
data
pelayanan
IGD
rumah
sakit
di
Australia
dan
Cina.
Data
pasien
IGD,
cara
masuknya,
dan
jenis
kegawatan
yang
dilayani
dapat
membantu
bagaimana
rumah
sakit
dibandingkan
satu
dengan
yang
lainnya
(Hou
&
Chu
2010).
Beban
yang
diterima
rumah
sakit
juga
dapat
dianalisis
dari
data-‐data
tersebut.
Dalam
hal
ini,
IGD
dapat
menjadi
tempat
pengukuran
yang
baik
bagi
penilaian
beban
rumah
sakit
terhadap
kasus-‐kasus
penyakit
trauma
dan
akut.
Penutup
Uraian
di
atas
dapat
memberikan
gambaran
mengapa
IGD
sebenarnya
tidak
tepat
disebut
sebagai
etalase
pelayanan
rumah
sakit.
Dengan
ketiga
alasan
di
atas,
nampak
bahwa
pelayanan
IGD
tidak
mewakili
pelayanan
rumah
sakit
karena
IGD
menangani
subpopulasi
yang
khusus
dari
populasi
yang
dilayani
rumah
sakit.
Walau
demikian,
IGD
sebagai
salah
satu
pintu
masuk
rumah
sakit
memang
perlu
didukung
karena
penilaian
customer
rumah
sakit
dapat
dimulai
sejak
di
IGD.
Penulis
Artikel
ini
merupakan
pendapat
pribadi
penulis:
dr.
Robertus
Arian
Datusanantyo,
M.P.H..
Penulis
adalah
dokter,
sedang
melanjutkan
pendidikan
dokter
spesialis,
dan
pernah
memimpin
instalasi
gawat
darurat
rumah
sakit
tipe
B.
Tulisan
ini
telah
diterbitkan
7
Desember
2015
dengan
tautan:
http://mutupelayanankesehatan.net/index.php/component/content/article/2113
di
website
Mutu
Pelayanan
Kesehatan.
Daftar
Bacaan
Acharyulu,
G.
&
Shekhar,
B.R.,
2012.
Role
of
Value
Chain
Strategy
in
Healthcare
Supply
Chain
Management:
An
Empirical
Study
in
India.
International
Journal
of
Management,
29(1),
pp.91–98.
Available
at:
http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:Role+of+Value+Chain+Strategy+in+Healthcare+Supp
ly+Chain+Management+:+An+Empirical+Study+in+India#9
[Accessed
October
19,
2013].
Berwick,
D.,
2002.
A
user’s
manual
for
the
IOM's
“Quality
Chasm”report.
Health
Affairs,
21(3),
pp.80–90.
Available
at:
http://content.healthaffairs.org/cgi/doi/10.1377/hlthaff.21.3.80
[Accessed
October
19,
2013].
Hou,
X.
&
Chu,
K.,
2010.
Emergency
department
in
hospitals
,
a
window
of
the
world :
A
preliminary
comparison
between
Australia
and
China.
World
Journal
of
Emergency
Medicine,
1(3),
pp.180–184.
Nelson,
E.C.
et
al.,
2002.
Microsystems
in
Health
Care:
Part
1.
Learning
from
High-‐Performing
Front-‐Line
Clinical
Units.
The
Joint
Commission
International
Journal
on
Quality
Improvement,
28(9),
pp.472–493.