Untuk mencapai keterampilan belajar, siswa membutuhkan self regulated learning (SRL) dalam belajar. SRL dibutuhkan siswa agar mengarahkan dirinya sendiri, mandiri dan tanggung jawab untuk mengatur sendiri proses belajarnya
Materi asesmen perilaku merupakan salah satu materi yang disampaikan pada Diklat Penanganan Masalah Perilaku Siswa Berkebutuhan Khusus, yang diselenggarakan oleh PPPPTK TK dan PLB pada program "Cloud Teacher Training".
Materi asesmen perilaku merupakan salah satu materi yang disampaikan pada Diklat Penanganan Masalah Perilaku Siswa Berkebutuhan Khusus, yang diselenggarakan oleh PPPPTK TK dan PLB pada program "Cloud Teacher Training".
Rpl Bimbingan dan Konseling tentang Penyesuaian Dirisayidatiasiyah
Penyesuaian diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungan.
Faktor-faktor yang menjadi kendala siswa dalam menyesuaikan diri di sekolah bisa melalui 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal biasanya berasal dari diri sendiri karena ketidakpercayaan diri, sifat yang pendiam, sukar bergaul dengan teman baru atau bisa saja karna dia takut. Faktor eksternal biasanya berasal dari lingkungan yang baru di masukinya, misalnya sekolah barunya, teman-teman baru dan guru-guru yang baru.
Rpl Bimbingan dan Konseling tentang Penyesuaian Dirisayidatiasiyah
Penyesuaian diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungan.
Faktor-faktor yang menjadi kendala siswa dalam menyesuaikan diri di sekolah bisa melalui 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal biasanya berasal dari diri sendiri karena ketidakpercayaan diri, sifat yang pendiam, sukar bergaul dengan teman baru atau bisa saja karna dia takut. Faktor eksternal biasanya berasal dari lingkungan yang baru di masukinya, misalnya sekolah barunya, teman-teman baru dan guru-guru yang baru.
Makalah model pengawasan laku Makalah model pengawasan laku Makalah model pengawasan laku Makalah model pengawasan laku Makalah model pengawasan laku Makalah model pengawasan laku Makalah model pengawasan laku Makalah model pengawasan laku
Dalam paper ini terdapat soal dan jawaban UTS Mata Kuliah Kurikulum dna Pembelajaran. dalam UTS ini terdapat beberapa soal, diantaraya mengenai keterkaitan kurikulum dan pembelajaran; 2. penjelasan peranan kurikulum; 3. Penjelasan empat landasan kurikulum;4. Penjelasan komponen kurikulum; 5. Penjelasan pengembangan prinsip pengembangan kurikulum; 6. Penjelasan secara singkat model pengembangan kurikulum menurut Tyler, Taba dan Olifa; Penjelasan Model konsep pengembangan kurikulum; 8. Penjelasan mengenai perbedaan KTSP dan kurikulm 2013.
Psychological foundation of education is a foundation in the education process that discusses various information about human life in general as well as symptoms related to aspects of the human person at each stage of a particular developmental age to recognize and respond to humans according to the stages of their developmental age aimed at facilitating the educational process . Psychological studies that are closely related to education are those related to intelligence, thinking, and learning (Tirtarahardja, 2005: 106).
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
SELF REGULATED LEARNER DALAM PERSPEKTIF CROSS CULTURE
1. SELF REGULATED LEARNER
DALAM PERSPEKTIF
CROSS CULTURE
Rahmad Agung Nugraha, S.Psi, M.Si
Dosen Progdi BK. Universitas Panca Sakti Tegal
2. SRL
with a series of special issues over the years.
SRL
Special issues
devoted to
academic studying
(Levin & Pressley,
1986)
Metacognition
(Paris, 1987)
SRL theories
(Zimmerman, 1990)
Motivational
influences on
education (Brophy,
1999)
social influences on
school adjustment
(Wentzel & Berndt,
1999).
4. Self regulated learning
Untuk mencapai keterampilan belajar, siswa membutuhkan
self regulated learning (SRL) dalam belajar. SRL dibutuhkan
siswa agar mengarahkan dirinya sendiri, mandiri dan
tanggung jawab untuk mengatur sendiri proses belajarnya
5. IDENTIFIKASI
PERMASALAHAN
Masih adanya siswa yang
mengalami kesulitan dalam
belajar.
Siswa yang mengalami
kesulitan belajar ini
mempunyai kecenderungan
prestasi akademik yang jauh
di bawah potensi
kemampuannya dan standar
tingkat penguasaan materi
pelajaran.
Menurut Pusat Statistik
Pendidikan, di tahun ajaran
2004-2005 terdapat 24.403
siswa SMA yang dinyatakan
tidak lulus dan 12.654 siswa
SMA yang lainnya dinyatakan
harus mengulang kelas
(Pusat Statistik Pendidikan
Depdiknas, 2007).
Banyaknya jumlah siswa
yang tidak lulus dan tidak
naik kelas menunjukkan
perlunya adanya perhatian
serius untuk memberikan
penanganan kepada siswa
yang mengalami berkesulitan
belajar.
6. Fenomena yang nampak
masih adanya
prestasi belajar
siswa yang
rendah
motivasi belajar
yang rendah
masih adanya para siswa yang
mengerjakan tugas dengan usaha belum
optimal dan tidak diselesaikan dengan tepat
waktu
masih adanya siswa yang tidak berusaha
dan kemauan siswa dalam meminta
perbaikan (remedial) kepada guru mata
pelajaran yang nilainya belum tuntas
masih adanya siswa yang belum memiliki
kemandirian belajar, yang diantaranya
ditunjukkan dengan masih banyak siswa
yang tidak memiliki jadwal belajar rutin
setiap hari, mereka akan belajar pada saat
akan ujian saja.
7. MASALAH
Dengan melihat masih
adanya siswa yang
mengalami kesulitan belajar
dan tidak mendapatkan
perhatian khusus maka siswa
tersebut akan menjadi warga
negara yang tidak produktif,
menjadi beban sosial,
memiliki masalah perilaku dan
emosional sehingga terlibat
dalam berbagai tindakan
kriminal dan berbagai dampak
negatif lainnya yang nantinya
akan semakin melemahkan
daya saing bangsa Indonesia
dalam era globalisasi ini.
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Berlin dan Sum,
dimana hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa siswa
yang mengalami kegagalan
akademik :
sebanyak 69 % pernah
ditangkap polisi karena terlibat
tindak kriminalitas, sebanyak
79 % pemenuhan kebutuhan
hidupnya bergantung pada
orang lain, sebanyak 85 %
menjadi ibu tanpa menikah,
sebanyak 85 % keluar sekolah,
dan sebanyak 72 % menjadi
pengangguran. (The California
Department of Education,
2000;2)
8. Definisi Self regulated Learning
Self regulated learning
dapat didefinisikan
sebagai proses yang aktif-
konstruktif di mana siswa
mencanangkan tujuan
belajarnya dan kemudian
berusaha memonitor,
meregulasi dan
mengontrol kognisi,
motivasi, perilaku, dan
karakter konteks
lingkungan belajar guna
mencapai tujuan
belajarnya tersebut
(Pintrich dalam Montalvo
Self Regulated Learning
mengacu pada proses
dimana siswa secara
sistematis mengarahkan
pikiran-pikiran, perasaan-
perasaan, dan tindakan-
tindakan mereka kepada
pencapaian tujuan-tujuan
mereka (Schunk, 2012:35).
9. Self Regulated Learning (SRL)
Self Regulated Learning (SRL)
menekankan kemandirian dan
tanggung jawab peserta didik
untuk mengatur sendiri proses
belajarnya. Secara umum
terminologi ini terangkum
dalam sub-sub terminologi
dalam Strategi Kognitif,
Metacognitif, Motivasi yang
koheren yang terkonstruksi
dalam “Bagaimana Diri’
menjadi agen untuk
menetapkan tujuan dan taktik
pembelajaran dan bagaimana
setiap individu mempersepsikan
diri dan tugas yang
mempengaruhi tugas dan
menghasilkan kualitas tugas
yang baik”.( Scott G. Paris &
Alison H. Paris,2001:3)
10. self regulated learning
Siswa dikatakan telah
menerapkan self
regulated learning
apabila siswa tersebut
memiliki strategi
mengaktifkan
metakognisi, motivasi,
dan tingkah laku
dalam proses belajar
mereka sendiri
(Zimmerman dan
Martinez-Ponz,
Zimmerman, 1989).
11. self regulated learning
siswa yang mampu
mengarahkan dirinya
saat belajar (Self-
regulated learning)
dapat dilihat dari cara
mereka merencanakan,
mengorganisasikan
mengarahkan diri
sendiri, serta melakukan
evaluasi diri pada
berbagai tingkatan
selama proses
perolehan informasi.
Siswa yang memiliki
self regulated dapat
dikatakan sebagai
orang yang memiliki
kemampuan (self
efficator), memiliki
otonomi
(autonomous) dan
memiliki motivasi
dalam diri sendiri
(instrinsically
motivated)
(Zimmerman dan
Martinez-
12. SELF REGULATED LEARNING DALAM
PERSPEKTIF CROSS CULTURE
Culture and Development of Self-Regulation
Sumber : First Publ : Social and Personality Psychology Compass 3
(2009),5, pp.687-701, Oleh : Gisela Trommsdorff, Metode : studi literatur
Kajian ini menjelaskan teori budaya berbasis self regulation dan
menjelaskan beberapa fungsi yang saling konstitutif fenomena psikologis
dan sosiokultural, dimana mengkaitkan hubungan antara seseorang dan
budaya dan peran hubungan-hubungan dalam mengembangkan self
regulasi sehingga disajikan sebuah model agen budaya dan self regulasi
yang menunjukkan bagaimana menghubungkan budaya dan agen individu.
Hasil kajian ini memberikan pengertian bahwa Self regulasi seseorang
didasarkan pada motivasi untuk memodifikasi proses internal dan perilaku
untuk mencapai tujuan seseorang. Karena perkembangan self regulasi
tertanam dalam konteks budaya yang mengutamakan model tertentu dari
agency, sehingga proses self regulation berbeda yang diasumsikan lintas
budaya.
13. Strategies For Self-Regulated Learning: A Cross-Cultural
Comparison
Sumber : Eric, Paper presented at the Annual Conference of the American Educational
ResearchAssociation, San Francisco, April 1995, Oleh : Nola Purdie, Metode : studi
literature.
Jurnal ini melaporkan hasil penelitian yang membandingkan strategi yang digunakan oleh
tiga berbagai kelompok siswa sekolah menengah atas untuk mengatur proses belajar
mereka sendiri: siswa Australia, siswa Jepang di sekolah di Jepang, dan siswa Jepang
yang saat ini belajar di sekolah-sekolah Australia. Cara di mana strategi dikategorikan
ditemukan menjadi penting dalam membuat perbandingan antara kelompok. Meskipun
siswa menggunakan berbagai strategi serupa di tiga kelompok, pola penggunaan untuk
setiap kelompok budaya bervariasi. Variasi dalam pola penggunaan strategi juga dikaitkan
dengan tingkat prestasi akademik. Penataan lingkungan fisik untuk keperluan studi dan
pemeriksaan pekerjaan seseorang adalah dua strategi yang paling penting untuk masing-
masing kelompok. Para siswa Jepang menggunakan strategi menghafal lebih signifikan
daripada siswa Australia. Selanjutnya, meskipun siswa Jepang sekarang belajar di
Australia menunjukkan kesamaan yang lebih besar dengan kerja sama siswa Australia
pada banyak strategi, mereka masih melekat secara lebih besar signifikannya penting
penggunaan menghafal. Temuan ini membahas secara jelas penafsiran Konfusianisme
tentang hubungan antara hafalan dan pemahaman.
14. Learner Self-Regulation in Distance
Education: A Cross Cultural Study
Sumber : 24th Annual Conference on Distance Teaching &
Learning, Oleh : Aisha S. Al-Harthi Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada perbedaan yang signifikan antara peserta didik jarak
jauh Arab dan Amerika dalam cara mereka mengatur
pembelajaran mereka dan dalam orientasi budaya mereka
terhadap waktu dan saling ketergantungan kelompok. Siswa
Amerika lebih tinggi daripada mahasiswa Arab pada manajemen
perencanaan, pemantauan, tenaga, waktu dan lingkungan dan
self-efficacy, sedangkan siswa Arab lebih tinggi daripada siswa
Amerika dalam bantuan. Siswa Amerika lebih tinggi daripada
orang-orang Arab pada kedua kelompok dan saling
ketergantungan orientasi masa depan. Sementara itu yang
diharapkan bahwa siswa Amerika akan lebih berorientasi ke
masa depan, ternyata diketemukan juga kelompok yang juga
lebih saling bergantung, yang lebih bergaul dengan budaya
kolektif seperti budaya individualistis Amerika. Di Dalam model
ini, self-regulasi itu dibagi lagi menjadi dua faktor yaitu (1) meta-
kognisi yang terdiri dari perencanaan, pemantauan, dan
manajemen waktu dan lingkungan, dan (2) motivasi yang terdiri
15. Stevenson H,W & Hofer, B.K (1999) Education policy in the United States and
abroad : What we can learn from each other. In G.J. Cizek (Ed), Handbook of
educational policy. San diego : Academic Press
dalam buku ini disebutkan bahwa perbandingan budaya individualis dan
kolektif antara siswa Amerika dengan siswa China, Jepang dan Taiwan.
Perbandingan siswa Amerika dengan siswa China, Jepang, dan Taiwan
menunjukkan bahwa siswa Amerika cenderung melakukan pekerjaan
secara lebih independen, sementara siswa Asia kemungkinan besar
bekerja dalam kelompok-kelompok. Perbedaan-perbedaan dalam
budaya ini telah dideskripsikan dengan dua istilah Individualisme dan
kolektivisme. Individualisme merujuk pada sekumpulan nilai yang lebih
memprioritaskan tujuan pribadi dari pada tujuan kelompok. Nilai-nilai
individualis meliputi perasaan senang, pengakuan pribadi, dan
kebebasan. Kolektivisme terdiri atas sekumpulan nilai yang mendukung
kelompok. Tujuan pribadi dikesampingkan untuk mempertahankan
integritas kelompok, saling ketergantungan dari anggota-anggota
kelompok, dan hubungan yang harmonis. Banyak budaya barat seperti
budaya Amerika serikat, Kanada, UK dan Belanda dideskripsikan
sebagai Individualis. Banyak budaya timur seperti seperti budaya
budaya China, Jepang, India, dan Thailand dideskripsikan sebagai
kolektivis. Budaya Meksiko juga mempunyai karakteristik kolektivis yang
lebih kuat daripada budaya AS. Namun, AS mempunyai banyak
subbudaya kolektivis, seperti China-Amerika dan Meksiko-Amerika.
16. Self-Regulation Across Cultures: New Perspective on Culture and
Cognition Research,
oleh Takeshi Hamamura
(hamamura@interchange.ubc.ca) dan Steven J.
Heine (heine@psych.ubc.ca) Department of
Psychology, 2136 West Mall Vancouver, BC V6T1Z4
Canada. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa cara
yang berbeda dalam meningkatkan prestasi dan
penyelesaian tugas merupakan penting sebagai
fungsi pendidikan budaya dan penelian ini
menemukan perbedaan budaya bias memori bahwa
masyarakat Kanada cenderung untuk lebih
meningkatkan informasi yang baru daripada di
kalangan masyarakat Jepang dimana variasi Budaya
dalam fokus regulasi diri merupakan adalah
perspektif teoritis yang akan memberikan kontribusi.
17. A Cross-Cultural Comparison of Self-Regulated Learning Skills
between Korean and Filipino College Students
Sumber: Asian Social Science, Vol. 5, No. 12,
www.ccsenet.org/journal.html Desember 2009. oleh :
Joanne P. Turingan and Yong-Chil Yang. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan yang
mungkin terjadi antara mahasiswa Filipina dan Korea di
tingkat keterampilan self regulated learning (SRL). Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa siswa Filipina
memiliki keterampilan SRL yang lebih tinggi daripada
Korea. Berikut dapat dijelaskan sebagai alasan untuk
hasil seperti itu. Pertama, perbedaan dalam keterampilan
SRL antara Filipina dan mahasiswa Korea dapat
dijelaskan sebagai faktor budaya, seperti sosial, nilai
harapan dan keyakinan terhadap pendidikan perguruan
tinggi, dan menghormati otoritas. latar belakang Budaya
telah dilaporkan sebagai faktor pembeda dalam tingkat
18. Lanjutan A Cross-Cultural Comparison of Self-
Regulated Learning Skills between Korean and Filipino
College Students
Korea lebih cenderung untuk memiliki tutor pribadi dan cara yang lebih baik bagaimana
memfasilitasi pembelajaran mereka, sementara Filipina cenderung lebih tergantung pada
sistem sekolah saja. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa Korea
mewujudkan self regulated learning yang lebih tinggi untuk kegiatan non-sekolah mereka
seperti mereka menghabiskan lebih banyak waktu dan upaya keluar dari kegiatan sekolah.
Hal ini berbeda dengan kasus mahasiswa Filipina yang diberikan tugas belajar lebih
individual, seperti laporan individu, tugas, dan pekerjaan rumah pada perguruan tinggi
mereka. Oleh karena itu, mahasiswa Filipina lebih cenderung untuk menggunakan
keterampilan SRL dibanding Korea. Kedua, ada kemungkinan bahwa perbedaan latar
belakang pendidikan antara kedua negara menyebabkan hasil tersebut. Hal ini dalam Itu
sering diberikan penghargaan akademik dalam sistem pendidikan Filipina bahkan pada
tingkat kelas awal mencerminkan insentif yang kuat nilai persetujuan sosial dan
pengakuan. Jajaran akademik individual yang digunakan untuk menentukan seberapa baik
siswa melakukan dalam pengaturan kelas kuliah Filipina. Juga, sebagian besar perguruan
tinggi negeri di Filipina menerapkan nilai rata-rata poin yang diperlukan tinggi dimana
siswa yang gagal memenuhi persyaratan tidak kembali mengakui untuk semester
berikutnya atau tahun ajaran. Misalnya, siswa yang terdaftar pendidikan untuk
mempertahankan IPK yang tinggi dan meningkat untuk dapat tetap di studi utama pilihan
mereka. Siswa yang tidak mampu untuk mendaftar di sekolah swasta karena tingkat biaya
kuliah biasanya belajar keras untuk melanjutkan mereka mengejar untuk gelar sarjana
meskipun persyaratan yang ketat.
19. Lanjutan A Cross-Cultural Comparison of Self-
Regulated Learning Skills between Korean and Filipino
College Students
Motivasi akademik siswa Filipina menunjukkan aspek ekstrinsik atau
instrumental yang kuat, karena status ekonomi yang lebih baik adalah
prioritas utama. Oleh karena itu, ada pemikiran umum di antara orang
Filipina menuju nilai instrumental pragmatis untuk kuliah pendidikan,
sehingga mereka percaya bahwa itu merupakan faktor penting dalam
mencapai tujuan-tujuan penting lainnya dalam hidup mereka. Di sisi lain,
mahasiswa Korea merasa bahwa salah satu poin yang paling penting
dalam hidup mereka adalah proses masuk perguruan tinggi, tapi begitu
mereka mengaku ke perguruan tinggi, beberapa mahasiswa biasanya
tidak menamatkan. Dengan demikian, secara umum persepsi mereka
adalah menjadi mahasiswa sudah dapat dikatakan sukses di Korea. Bagi
banyak orang, setelah kerja secara intensif diperlukan untuk masuk ke
perguruan tinggi, perguruan tinggi adalah lebih seperti tahun liburan, dan
terasa seperti jenis kebebasan baru. Siswa menghadiri kelas secara
teratur tetapi sering sedikit yang dituntut dalam cara pekerjaan rumah atau
kegiatan belajar. Selain itu, ide-ide eksplisit pendidikan Konghucu
mendominasi sistem sekolah, termasuk konsep otoriter peran anggota
fakultas, kecenderungan untuk mengandalkan kuliah bukan diskusi, dan
kurangnya keterbukaan terhadap tantangan mahasiswa (Jung, & Stinett,
2005;. Lee et al, 2003).
20. Secara keseluruhan, tampaknya bahwa latar belakang pendidikan Korea dan
situasi perguruan bertanggung jawab atas keterampilan SRL rendah siswa
mereka, dibandingkan dengan keterampilan 'SRL mahasiswa Filipina. Akhirnya,
mungkin juga bahwa tingkat tahun sekolah dan rasio jenis kelamin dari dua
kelompok berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki dampaknya terhadap
perbedaan dalam keterampilan SRL. Karena mahasiswa Filipina berada di tahun
ketiga dan keempat perguruan tinggi, maka diharapkan situasi belajar mereka
berbeda dari mahasiswa Korea yang berada di tahun pertama dan kedua,
sehingga memerlukan tingkat yang lebih tinggi keterampilan SRL atau motivasi.
Hal ini konsisten dengan temuan Winne yang menyarankan bahwa sifat tugas
mahasiswa diminta untuk melengkapi dapat mempengaruhi tingkat keterampilan
SRL (1993). Pintrich et al (1994) juga menunjukkan bahwa kedua individu
perbedaan awal dan aspek konteks kelas (yaitu perilaku guru, sifat tugas) yang
berkaitan dengan perubahan tingkat keterampilan SRL. Juga, jenis kelamin
mungkin masalah lain bagi hasil, Karena mahasiswa Korea yang berpartisipasi
pada penelitian ini sebagian besar laki-laki, sebagian besar mahasiswa Filipina
yang berpartisipasi di penelitian ini adalah perempuan. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan cenderung lebih tinggi dalam
kemampuan belajar dibandingkan siswa laki-laki (Niemverta, 1997; Pokay &
Blumenfield, 1990, Zimmerman & Martinez-Pons, 1990; Wolters, 1999). Namun,
tampaknya bahwa penelitian lebih lanjut harus dilakukan pada perbedaan gender
dalam penggunaan strategi SRL atau kemampuan belajar.
21. Cross-Cultural Validation of
Self Regulated Learning In Singapore
oleh Jerome I Rotgans and Henk G. Schidt. Hasil penelitian
pertama menunjukkan bahwa MSLQ (Motivated Strategies for
Learning Questionnaire) adalah instrumen yang valid dan dapat
diandalkan yang mampu mengukur keyakinan motivasi dan
strategi self-regulasi dalam konteks belajar multicultural
Singapura, hasil penelitian yang kedua menunjukan bahwa ada
perbedaan antara China, Melayu, dan India semua variabel
motivasi peserta didik. perbedaan terbesar terjadi antara populasi
mahasiswa Cina, dan Melayu. Temuan menunjukkan bahwa nilai
mean untuk sebagian motivasi variabel yang tertinggi bagi
mahasiswa terdiri dari Melayu, diikuti oleh Mahasiswa India dan
terendah untuk mahasiswa Cina.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan
untuk penggunaan strategi pembelajaran antara, Cina Melayu
dan India. Hasil menunjukkan bahwa siswa dengan berbagai latar
belakang budaya memiliki persepsi yang berbeda tentang apa
yang memotivasi mereka untuk belajar.
23. Student Differences in Self-Regulated Learning: Relating Grade,
Sex,and Giftedness to Self-Efficacy and Strategy Use
oleh Barry J. Zimmerman dan Manuel Martinez-Pons, sumber Journal of
Educational Psychology 1990, Vol. 82, No. 1,51-59, hasil penelitian ini
memberikan bukti bahwa 'persepsi peningkatan keberhasilan akademis
siswa, guru menggunakan instruksional atau penilaian prosedur yang
mengurangi perbandingan sosial dan fokus pada tugas untuk
memastikan penguasaan motivasi yang optimal. Selain itu penelitian ini,
membuktikan bahwa siswa berbakat menunjukkan tingkat yang sangat
tinggi selfefficacy sehingga menjelaskan motivasi luar biasa dan
pencapaian para siswa. Dengan demikian Guru menggunakan tindakan
self-efficacy untuk lebih memahami siswa dengan motivasi sedikit serta
untuk lebih mengenali bidang bakat siswa. Hasil penelitian yang Ketiga,
memberikan fakta bahwa siswa berbakat memanfaatkan lebih dari
strategi belajar yang dirancang untuk mengatur proses pribadi, perilaku
fungsi, dan peristiwa lingkungan. Itu prestasi para siswa di sekolah
menunjukkan bahwa triadic model pengaturan diri mungkin memiliki
manfaat bagi siswa pelatihan untuk menjadi pelajar yang lebih efektif.
Bersama temuan menunjukkan bahwa persepsi siswa terhadap
keberhasilan akademik dapat menyediakan jendela penting untuk
memahami perbedaan individu dalam belajar dan motivasi.
24. Chinese Parenting Styles and Children's Self-
Regulated Learning
oleh Huang, Juan, Prochner, Larry, Journal of
Research in Childhood Education sumber Journal
of Research in Childhood Education, Spring 2004,
Tujuan penelitian ini akan menguji hubungan
pola asuh orangtua Cina dan keterlibatan anak-
anak dalam self-regulated learning. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang
demokratis dan berwibawa dengan mantap dan
secara positif ada hubungannya dengan self-
regulated learning siswa, dibandingkan dengan
pola asuh orang tua yang otoriter.
25. Goal Orientation and Self-Regulated Learning in the
College Classroom: A Cross-Cultural Comparison
oleh Paul R. Pintrich, Akane Zusho, Ulrich
Schiefele, Reinhard Pekrun, sumber DOI
10.1007/978-1-4615-1273-8_8 Springer US. Hasil
kajian ini menemukan bahwa, berdasarkan dan
mengadopsi norma dalam keluarga dan
masyarakat, memberikan nilai yang positif atas
penguasaan pelajaran siswa secara positif
dihubungkan dengan self-efficacy.
26. A Cross – Cultural Comparison of Major Features of Good
Learning Situation
oleh H. Soini, M. Tensing, S. Koivula and M. Flynn
University of Oulu, Finland, University of Saskatchewan,
Canada, sumber :
www.edu.oulu.fi/homepage/jumbo/across.htm. hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Menurut analisis awal
data ada beberapa perbedaan antara yang
menguntungkan kelembagaan dan situasi belajar
sehari-hari. Dalam situasi sehari-hari siswa menekankan
penguasaan lebih mandiri dan pribadi belajar. Belajar
dipandang sebagai perspektif yang lebih besar dalam
pengaturan sehari-hari dan hal itu dijelaskan dari sudut
pandang pengembangan pribadi dan sebagai pribadi.
Dalam situasi kelembagaan siswa Finlandia dalam
sampel penelitian ini menekankan penelitian kolaboratif,
terutama kolaboratif bekerja dalam kelompok kecil
dengan rekan-rekan mereka. Para siswa Kanada lebih
mungkin untuk menggambarkan diarahkan situasi guru
27. The Role of Self –Regulated Learning in contextual
teaching: Principles and Practices for Teacher
Preaparation
Sumber : Paris/Winograd CIERA Archive #01–03, Oleh: Scott
G. Paris University of Michigan dan Peter Winograd University of
New Mexico, tujuan kajian ini adalah Mengkaji kemitraan yang
sukses antara perguruan tinggi, masyarakat, dan pendidik dalam
memperlakukan prinsip-prinsip self-regulated learning dalam
konteks otentik belajar-mengajar. Kesimpulan yang di dapat
adalah inovasi kolaboratif memberikan kesempatan bagi para
guru untuk menjadi mandiri, strategis, dan memotivasi diri mereka
sendiri karena mereka menemukan metode guru mengajar dan
menilai siswa yang meniru proses inovasi kolaboratif, guru
menginginkan siswa untuk menemukan dan menciptakan. Ini
adalah model membangun pengembangan profesional bersama
pengalaman-pengalaman yang berarti serta Dengan berfokus
pada SRL mempersiapkan pendidik untuk menggunakan
pembelajaran kontekstual dan membantu pendidik baru untuk
lebih memahami diri sebagai seorang pemikir sehingga dapat
memengaruhi dan memberi ransangan kurikulum metakognitif
kepada siswa
28. Gender Differences in
Self-Regulated Learning
oleh Temi Bidjerano University at Albany, State University of New York
tb7733@albany.edu sumber Paper presented at the 36th /2005 Annual
Meeting of the Northeastern Educational Research Association,
Kerhonkson, NY, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki
perbedaan gender dalam penggunaan strategi pembelajaran mandiri.
Studi ini menemukan perbedaan gender yang kuat dalam penggunaan
enam strategi. Siswa perempuan melampaui siswa laki-laki dalam
kemampuan mereka untuk menggunakan latihan, organisasi,
metakognisi, keterampilan manajemen waktu, elaborasi, dan usaha.
Selain itu, analisis multivariat dilakukan menunjukkan bahwa siswa
perempuan dan laki-laki berbeda sebagian besar sehubungan dengan
penggunaan strategi latihan dan organisasi. Analisis ini tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik mengenai
mencari bantuan, rekan belajar, dan keterampilan berpikir kritis.
Beberapa alternatif penjelasan dari temuan studi dapat didukung. Hasil
penelitian mungkin mencerminkan kenyataan bahwa siswa laki-laki dan
perempuan menunjukkan kecenderungan diferensial untuk
menggunakan strategi ini dalam pembelajaran mereka. Hasil dari
penelitian ini adalah konsisten dengan temuan dari penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa siswa perempuan cenderung
mengungguli siswa laki-laki dalam hal penggunaan strategi (misalnya
29. Lanjutan Gender Differences in
Self-Regulated Learning
Kemungkinan lain bisa jadi bahwa mahasiswa perempuan mungkin lebih reflektif
pada pengalaman belajar mereka dan akibatnya lebih sadar strategi yang
mereka gunakan secara konsisten dalam proses pembelajaran. Mereka mungkin
juga menunjukkan kemauan yang lebih besar untuk melaporkan tentang
penggunaan strategi ini. Hasilnya, mungkin juga menunjukkan bahwa wakil-wakil
dari kedua jenis kelamin, telah merespon secara berbeda terhadap kuesioner.
Perbedaan gender yang ditemukan mungkin fungsi keyakinan stereotip bahwa
perempuan yang diharapkan untuk berperilaku dengan cara tertentu dalam
pengaturan akademik. Perempuan diharapkan lebih teliti, terorganisir, dan
terampil mengelola lingkungan belajar mereka. Hipotesis yang dibuat oleh para
peneliti bahwa perbedaan gender dalam "variabel akademik mungkin
merupakan stereotip fungsi dari keyakinan tentang gender mahasiswa, bukan
gender itu sendiri" (Pajaras & Valiante 2002, p.216). Pajaras dan Valiante (2002)
telah menemukan bahwa ketika stereotipe peran gender dikendalikan,
perbedaan gender dalam variabel akademis cenderung tidak ada. Lebih khusus,
penulis menetapkan bahwa perbedaan gender dalam keyakinan self-efficacy,
merupakan aspek penting dari pengaturan diri, hilang ketika stereotip jender
atau keyakinan orang terus tentang gender diperhitungkan. Kata lain, stereotip
jender memediasi pengaruh gender pada keterampilan self-regulatory.
Kesimpulannya, hasil penelitian mendukung siswa perempuan dalam
penggunaan strategi pembelajaran self regulasi yang membingungkan dan
memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Penelitian lebih lanjut tentang peran
gender dalam regulasi diridiperlukan untuk memperjelas sifat yang tepat dari
30. Disciplinary Differences in Self-Regulated
Learning in College Students
Sumber: CONTEMPORARY EDUCATIONAL PSYCHOLOGY
21, 345–362 (1996) ARTICLE NO. 0026, Oleh : SCOTT
W. VANDERSTOEP (Calvin College), PAUL R. PINTRICH
(University of Michigan) AND ANGELA FAGERLIN (Kent State
University) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Siswa yang
berhasil baik lebih cenderung memiliki keyakinan adaptif
motivasi dan self efficacy yang sangat tinggi dan keyakinan nilai
Tugas, serta menggunakan kognitif dan strategi metakognitif
hal ini ditunjukan oleh mahasiswa ilmu sosial. Jumlah terbesar
dari perbedaan yang signifikan dalam motivasi dan
menggunakan strategi dengan tingkat prestasi terjadi bagi
siswa dalam ilmu alam, di mana sembilan variabel secara
signifikan berbeda sebagai fungsi dari tingkat prestasi. Siswa
ilmu sosial menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
motivasi dan self-regulasi dan penggunaan strategi dengan
tingkat prestasi. Strategi kognitif akan berkorelasi dengan
ukuran obyektif seperti pemahaman. Oleh karena itu,
penggunaan strategi ini berkorelasi dengan prestasi dalam ilmu
alam dan ilmu sosial.
31. University Students’ Approaches to Learning, Self-Regulation, and
Cognitive and Attributional Strategies - Connections with Well-Being and
Academic Success
Sumber : Research Report 325 Academic
dissertation to be publicly discussed, by due
permission of the Faculty of Behavioural
Sciences at the University of Helsinki 2011,
Oleh : Annamari Heikkilä, Tujuan penelitian ini
adalah mengeksplorasi hubungan antara tiga
perspektif teoritis: pendekatan mahasiswa
'untuk belajar, self regulated learning, serta
strategi kognitif dan attribusi.sedangkan hasil
Penelitian ini memberikan informasi bahwa
aspek kognitif-emosional memainkan peran
penting dalam belajar
32. The Relationship between Flexible and Self-Regulated
Learning in Open and Distance Universities
Sumber : The International Review of Research in
Open and Distance Learning Oleh : Per Bernard
Bergamin, Egon Werlen, and Eva Siegenthaler, Simone
Ziska Tujuan penelitian ini untuk menyelidiki hubungan
antara pembelajaran fleksibel dan strategi self regulated
learning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kelompok
yang memiliki fleksibilitas tinggi dalam belajar
menunjukkan telah menggunakan strategi self regulated
learning dari pada kelompok dengan fleksibilitas yang
rendah selain itu juga dalam penelitian ini menunjukkan
ada efek positif dari pembelajaran fleksibel kaitannya
dengan tiga faktor yaitu manajemen waktu, hubungan
dosen, dan materi perkuliahan pada strategi self
regulated learning (kognitif, metakognitif, dan
pengaturan pembelajaran jarak jauh mahasiswa).
33. The Effects of Social Relationships on Self-
Regulation
Eli J. Finkel and Gráinne M. Fitzsimons,
chapter 21, Handbook of Self-Regulation
Research, Theory, and Applications second
edition, n Edited by Kathleen D. Vohs, Roy F.
Baumeister, apte The Guilford Press New York
London, 2011, dalam buku ini menunjukkan
hubungan yang mempengaruhi tiga komponen
social dalam regulasi diri yaitu tujuan inisiasi,
tujuan operasi, dan tujuan pemantauan.
34. Culturally Situated Self-Regulated Learning in
Statistics in a Computer-Supported Collaborative
Environment
A Thesis Submitted to McGill University in Partial
Fulfilment of the Requirement of the Degree of
Doctor of Philosoph oleh yeh Yongchao Shi, A
Thesis Submitted to McGill University in Partial
Fulfilment of the Requirement of the Degree of
Doctor of Philosophy, 2011, Disertasi ini menguji
peran konteks, terutama konteks budaya, di
model teori self-regulated learning, di mana
dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa
model selfregulated learning adanya peran
konteks sosial di dalam membentuk kemampuan
self-regulatory.
35. culturally relevant teaching: the key making
multicultural education work
oleh Landson-Billings, C.A Cranct(Ed), research and multicultural
education. London: Falmer Press, dalam buku ini menyebutkan bahwa
hasil penelitian Gloria Ladson-Billing yang meneliti guru-guru bermutu
tinggi di sebuah distrik sekolah di California yang melayani sebuah
komunitas Afrika-Amerika. Untuk menyeleksi guru-gurunya, ia meminta
para orang tua dan para kepala sekolah untuk menentukan
nominasinya. Para orang tua menominasikan guru-guru yang
menghormati mereka, yang menciptakan antusiame untuk belajar pada
diri anak-anak mereka, dan memahami kebutuhan anak-anak agar
dapat bekerja dengan sukses di dunia yang berbeda. Para kepala
sekolah menominasikan guru-guru yang tidak banyak memiliki rujukan
kedisiplinan, memiliki angka kehadiran yang tinggi, dan skor yang tinggi
pada tes-tes terstandar. Ladson-Billing mampu menelaah secara
mendalam 8 dari 9 guru yang dinominasikan oleh orang tua maupun
kepala sekolah. Berdasarkan penelitiannya, Ladson-Billing
mengembangkan sebuah konsepsi tentang mutu pengajaran yang baik
dengan istilah culturally relevant pedagogy untuk mendiskripsikan
pengajaran yang menyandarkan diri pada tiga proposisi. Siswa harus:
mengalami kesuksesan akademik, mengembangkan/mempertahankan
kompetensi kulturalnya, mengembangkan kesadaran kritis untuk
menantang status quo.
36. Training Self-Regulated Learning in the Classroom: Development
and Evaluation of Learning Materials to Train Self-Regulated
Learning during Regular Mathematics Lessons at Primary School
Sumber : Hindawi Publishing Corporation
Education Research International Volume 2012,
Article ID 735790, 14 pages
doi:10.1155/2012/735790, Oleh : Manuela Leidinger
and Franziska Perels, Tujuan penelitian ini adalah
meningkatkan lingkungan belajar yang kuat untuk
mendukung self regulated learning dengan
menggunakan bahan pembelajaran. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa siswa dengan pelatihan self
regulated leaning mempertahankan tingkat laporan
diri aktivitas self regulated learning dari pra-test ke
post-test, sedangkan penurunan yang signifikan
diamati untuk kontrol siswa. Mengenai prestasi
matematika siswa, peningkatan sedikit lebih besar
ditemukan untuk siswa dengan pelatihan self
regulated learning.
37. Use of cognitive organisers as a self
regulated learning strategy
Sumber : Issues in Educational Research, 18(2),
2008, Oleh : Kym Tan (Edith Cowan University),
Vaille Dawson (Curtin University of Technology )
Grady Venville (University of Western Australia),
Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah
menyelidiki penggunaan kognitif sebagai strategi
self regulated learning siswa berkebutuhan
khusus dan berbakat di kelas 9 di SMA
metropolitan di Perth, Australia Barat. Temuan
menunjukkan bahwa penggunaan kognitif siswa
untuk menyelesaikan tugas akademik tergantung
pada sifat dari tugas dan kebiasaan siswa dengan
kesesuaian untuk tugas itu.
38. Self-Regulated Learning in Malaysian Smart Schools: The
Environmental and Personal Determinants
oleh Ngleeyen( School of Education,
University of Science Malaysia, Malaysia),
Kamariah Abu Bakar, Samsilah Roslan, Wong
Su Luan, & Petri Zabariah Megat, Abd
Rahman (Faculty of Education, University
Putra Malaysia, Malaysia), penelitian ini
mencoba untuk menentukan faktor pribadi dan
lingkungan berhubungan dengan selfregulated
learning dalam integrasi IT, hasil penelitian
menunjukkan faktor lingkungan menjadi lebih
penting dibanding faktor pribadi siswa untuk
self-regulated learning.
39. Self-Regulated Learning in High and Low
Achieving Students at Al-Hussein Bin Talal
University (AHU) in Jordan
Sumber : http://www.questia.com/read/1G1-180029988/self-
regulated-learning-in-high-and-low-achieving Oleh: Al-Alwan,
Ahmed Falah, International Journal of Applied Educational
Studies, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbedaan tinggi rendahnya self regulated learning di
mahasiswa di Universitas Al-Hussein Bin Talal Yordania. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan antara mahasiswa berprestasi dan kurang
berprestasi dalam self regulated learning (orientasi tujuan
intrinsik, orientasi tujuan ekstrinsik, nilai tugas, keyakinan
pengendalian belajar, self-efficacy, tes kecemasan,
metakognisi self regulated , dan penggunaan waktu), hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam komponen berikut (usaha - regulasi,
pembelajaran sebaya, dan mencari bantuan).
40. Assessing Students Self-
Regulatory Skills
Sumber : m.mcmahon@ecu.edu.au
j.luca@ecu.edu.au, oleh : Mark McMahon & Joe Luca School of
Communications and Multimedia Edith Cowan University,
Australia, kajian ini Menyelidiki kerangka kerja konseptual untuk
mengidentifikasi keterampilan ' self-regulatory siswa dan
mempertimbangkan alat pengujian untuk mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan siswa yang dilaksanakan secara on
line. Jurnal ini memberikan kerangka konseptual untuk
membantu mengidentifikasi keterampilan self-regulatory siswa
serta pemetaan untuk validasi pengujian instrumen secara
online. Jurnal ini juga membentuk dasar pra test-, yang dapat
diberikan kepada kelompok siswa pada awal semester dengan
kesesuaian umpan balik kepada setiap siswa untuk membantu
meningkatkan keterampilan kesadaran mereka dan di bidang
yang dirasakan kurang . Sebuah post-test juga bisa diberikan
untuk membantu siswa merefleksikan kemajuan mereka selama
semester.. Salah satu aspek penting dari pengaturan diri adalah
pengaruh dari faktor eksternal.
41. 3 unsur Self Regulated learning (SRL)
SRL
METACOGNITIF MOTIVATIONALLY
BEHAVIORALLY
ACTIVE
PARTICIPANT
43. Perspektif dari social kognitif
Menurut Albert Bandura
(Zimmerman 1989:2) perspektif
dari social kognitif
memandang self-regulation
sebagai proses interaksi dari
personal, behavioral dan
lingkungan. Perilaku adalah
produk dari pengaruh akan
proses dalam diri (self-
generated) serta sumber dari
luar. Diasumsikan terdapat
hubungan timbal balik diantara
tiga aspek. Self-Regulated
Learning tidak semata-mata
ditentukan oleh proses
personal saja, namun juga
dipengaruhi oleh behavioral dan
lingkungan secara timbal balik.
Self-Regulated Learning
tidak semata-mata
ditentukan oleh proses
personal saja, namun
juga dipengaruhi oleh
behavioral dan lingkungan
secara timbal balik.
44. Pengaruh lingkungan bisa lebih kuat daripada personal atau
behavioral dalam konteks tertentu atau pada waktu tertentu.
Faktor dalam Diri
(Personal)
Faktor Perilaku
(Behavioral)
Faktor Lingkungan
(Environmental)
pengetahuan yang
dimiliki siswa, proses
pengambilan
keputusan
metakognitif, tujuan
akademis dan kondisi
afektif.
self-observation, self-
judgement dan self-
reaction. Self-
observation
pengalaman sosial
dan struktur