3. I. DEFINISI HUKUM SYARA’
Menurut bahasa (etimologi) : Hukum (/الحكمal-
hukm) berarti : والقضاء والفصل =المنع mencegah,
memutuskan.
Menurut istilah ushul fiqh (terminologi) :
hukum syara’ adalah :
ًاوضع أو ،ًاتخيير أو ،ًاطلب ،المكلفين بأفعال المتعلق الشارع خطاب
Khitab (kalam) asy-syari’ (Pembuat
hukum/Allah SWT) yang berkaitan dengan
semua perbuatan mukallaf , baik berupa
iqtidha` (perintah, larangan, anjuran untuk
melakukan atau meninggalkan), takhyir
(memilih antara melakukan dan tidak
melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat,
atau penghalang/māni’).
4. Penjelasan Definisi al-Hukm
Yang dimaksud Khithab asy-syari’ adalah semua
bentuk dalil-dalil hukum, baik al-Qur’an, as-Sunnah,
maupun Ijma’ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya al-
Qur’an dan as-Sunnah. Adapun ijma’ dan qiyas sebagai
metode menyingkapan hukum dari al-Qur’an dan sunnah.
Al-Qur’an dianggap sebagai kalam Allah secara langsung,
dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung
karena Rasulullah saw tidak mengucapkan sesuatu di
bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman
Allah:
ى َوَهْلا َِنع ُقِطْنَي اَمَو.ىَحوُي ٌيْحَو اَّلِإ َوُه ْنِإ
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm : 3-4)
Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran
kepada al-Quran dan sunnah.
Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang
dilakukan oleh manusia dewasa, berakal sehat, termasuk
perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan
(seperti ghibah).
7. Definisi Hukum Taklifi
عنه والكف فعل بين تخييره أو فعله عن هّفك أو ،المكلف من فعل طلب اقتضى ما
Hukum yang mengandung perintah, larangan, atau
memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk
melakukan sesuatu atau tidak berbuat.
Contoh perintah melakukan sesuatu :
َة ََلاصال واُميِقَأَو (Dan dirikanlah sholat). (QS. Al-Baqoroh :
43)
Contoh perintah meninggalkan sesuatu :
اَن ِّالز واُبَرْقَت ََّلَو (Janganlah kalian mendekati perzinaan).
(QS. Al-Isra’ : 32)
Contoh pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu
:
ْاُوداَطْصاَف ْمُتْلَلَح اَذِإَ(وdan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu.) (QS. Al-Maidah :
2)
9. 1. Wajib
Pengertiannya :
ا على باتور ،ِزومُّلال ِهوج على فعله ُعاارشال َطلب ماِهمتثال
والعق ماذال ِةرْدُقال مع ِهترك وعلى ،َواباثوال َحالمدِبا
Yaitu yang dituntut syari’ untuk
melakukan suatu perbuatan dengan
tegas dan kuat, jika dilaksanakan
akan menyebabkan pujian dan
pahala, dan jika ditinggalkan dalam
keadaan mampu akan
menyebabkan celaan dan siksa.
10. 1. Wajib (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
wajib, di antaranya :
a. Fi’il amar, seperti : َة ََلاصال واُميِقَأَو = Dan
dirikanlah sholat. (QS. Al-Baqoroh : 43)
b. Kata ()أمر , seperti : ِْالَو ِلْدَعْلاِب ُرُمْأَي َ ااَّلل انِإيِذ ِاءَتيِإَو ِانَسْح
ىَبْرُقْل=ا Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat...(QS. An-Nahl : 90)
c. Kata ()كتب , seperti : ُماَي ِالص ُمُكْيَلَع َبِتُك = diwajibkan
bagia kalian berpuasa. (QS. Al-Baqoroh : 183)
d. Kata (ضَرَف) , seperti : َهاَنْضَرَفَو اَهاَنْلَزْنَأ ٌةَورُسا = (Ini
adalah) satu surat yang Kami turunkan dan
Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum
yang ada di dalam) nya.(QS. An-Nur : 1)
11. 1. Wajib (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan wajib
(lanjutan…)
e. Fi’il yang besambung dengan lamul amri, seperti : واُفوُيْلَو
مُهَورُذُنْْ = dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-
nazar mereka. (QS. Al-Hajj : 29)
f. Bentuk kata : (كذا ُلعِف عليك ُه/لbaginya untukmu melakukan
itu), seperti : ْيَلِإ َعاَطَتْسا ِنَم ِتْيَبْلا ُّج ِح ِاسانال ىَلَع ِ ّ َِّللَوًَليِبَس ِه =
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran : 97)
g. Bentuk berita yang menempatkan sesuatu yang dituntut
dalam posisi dilaksanakan secara sempurna sebagai
penguat perintah, seperti : وُرَذَيَو ْمُكْنِم َن ْواف َوَتُي َِينذالاَوَْنصابَرَتَي اًجاَوْزَأ َن
اًْرشَعَو ٍرُهْشَأ َةَعَبْرَأ انِهِسُفْنَأِب = Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan
sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah:234)
12. 1. Wajib (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
wajib (lanjutan…)
h. Adanya ancaman jika ditinggalkan,
seperti : َنِم ٍبْرَحِب واُنَذْأَف واُلَعْفَت ْمَل ْنِإَفِهِلوُسَرَو ِ ااَّلل = Maka
jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. (QS. Al-Baqarah:279)
i. Tidak dihitung amal perbuatan jika ada
sesuatu yang ditinggalkan. Seperti : َةصَل َّل
ِبالكتا ِةبفاتح ْيقرأ لم لمن = Tidak sah shalat bagi
orang yang tidak membaca surat al-
Fatihah. (Muttafaq ‘alaih)
13. 1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
a. Ditinjau dari segi waktu
pelaksanaannya terbagi kepada :
1) Wajib muwassa’, yaitu jika waktu yang
ditentukan itu dapat digunakan untuk
melaksanakannya dan melaksanakan kewajiban
sejenisnya yang lain. Contohnya adalah sholat.
2) Wajib mudlayyaq, yaitu yang hanya
cukup untuk melaksanakan satu kewajiban
saja, seperti puasa. Sesungguhnya setelah
terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari
hanya cukup untuk melaksanakan satu puasa
saja.
14. 1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
b. Ditinjau dari segi ukuran dan
batasannya dibagi kepada :
1) Wajib muqaddar/muhaddad
(kewajiban yang ditentukan atau dibatasi
ukurannya), seperti : nishab zakat dan
kadar yang dikeluarkannya.
2) wajib ghairu muqaddar/muhaddad
(kewajiban yang tidak ditentukan atau
dibatasi ukurannya), seperti : ukuran
nafkah wajib bagi suami terhadap isterinya,
berbuat baik bagi manusia.
15. 1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
c. Ditinjau dari segi ditentukan atau tidak
ditentukannya, wajib terbagi kepada :
1) Wajib mu’ayyan (tertentu), yaitu kewajiban
yang harus dilakukan tanpa ada pilihan, Ini
merupakan kebanyakan kewajiban, seperti shalat lima
waktu.
2) Wajib gahiru mu’ayyan (tidak ditentukan),
seperti kafarat sumpah pada firman Allah : ْطِإ ُهُت َارَّفَكَفُماَع
ْسِك ْوَأ ْمُكيِلْهَأ َونُمِعْطُت اَم ِطَس ْوَأ ْنِم َينِكاَسَم ِة ََرشَعٍََََ َر ُير ِرْحَت ْوَأ ْمُُُت َو (tetapi
Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar)
sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak). (Al
Maidah : 89)
16. 1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
d. Ditinjau dari segi pelakunya, wajib dibagi
kepada :
1) Wajib ‘ain, yaitu kewajiban yang harus
dilakukan oleh setiap orang Islam yang mukallaf
secara pribadi-pribadi, seperti shalat lima waktu dan
puasa.
b) Wajib kifayah, yaitu bahwa yang diperintahkan
adalah melaksanakan perbuatan dan tidak
disyaratkan harus dilakukan oleh seseorang tertentu,
seperti memandikan mayyit dan menshalatkannya.
Dan kadang-kadang wajib kifayah itu berubah
menjadi wajib ‘ain, seperti jika suatu negeri itu
membutuhkan kepada para hakim dan di sana hanya
ada dua orang saja, maka jadilah menjadi hakim itu
merupakan kewajiban atas keduanya.
17. 2. Mandub
Pengertiannya :
ِهامتثال على باتور ،ٍإلزام غير من ُهُلفع ُعاارشال َطلب ماَحالمد
ُوالعقاب ُّماذال ِهِكتر على َوليس ،َواباثوال
Yaitu yang dituntut syari’ untuk
melakukan suatu perbuatan tidak
dengan tegas dan kuat, jika
dilaksanakan akan menyebabkan pujian
dan pahala, dan jika ditinggalkan tidak
menyebabkan celaan dan siksa.
18. 2. Mandub (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan mandub,
di antaranya :
a. Fi’il amr yang ada dalil yang menunjukkan tidak
kuatnya perintah. Seperti : َيَادَت اَذِإ واُنَمآ َِينذالا اَهُّيَأ اَيىَلِإ ٍنْيَدِب ْمُتْن
ُهوُبُتْكاَف ىًّمَسُم ٍلَجَأ = Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. (QS. Al-Baqaqrah : 282).
b. Bentuk berita yang menunjukkan anjuran, bukan
perintah, seperti : bentuk-bentuk anjuran untuk
melakukan dzikir atau shalat tertentu.
c. Setiap perbuatan Nabi saw yang bersifat
pembentukan hukum. Seperti shalat sunnah rawatib,
shaum sunnah, dsb.
19. 2. Mandub (lanjutan…)
Nama-nama Mandub :
a. Sunnah,
b. Nafilah,
c. Mustahab,
d. Tathawwu’,
e. Fadhilah
Sebagian ulama ada yang menamakan
mandub jika berkaitan dengan
kemaslahatan akhirat, dan irsyad jika
berkaitan dengan kemaslahatan
duniawi.
20. 2. Mandub (lanjutan…)
Derajat Mandub :
a. Sunnah muakkad, yaitu amalan sunnah
yang dilakukan Nabi saw secara terus
menerus. Dan kadang-kadang dibarengi
dengan anjuran dalam bentukperkataan.
Seperti : shalat sunnah dua rakaat
sebelum shalat shubuh. Sabda Rasulullah
saw : “فيها وما ُّنيادال من ٌخير ِالفجر اَتعْكر “ “Dua rakaat
sebelum shubuh lebih baik dari pada dunia
dan isinya”. (HR. Muslim)
b. Sunnah ghairu muakkad, yaitu amalan
sunnah yang tidak dilakukan secara terus
menerus. Seperti shalat sunnah 4 rakaat
sebelum shalat ashar.
21. 2. Mandub (lanjutan…)
Derajat Mandub :
Termasuk dalam kategori ini adalah amalan-amalan
sunah yang diperintahkan Rasulullah saw melalui
perkataan tapi dalam prakteknya beliau tidak
melakukannya secara terus menerus. Seperti beliau
menganjurkan untuk umrah, tapi dalam hidupnya
hanya melakukan 4 kali, dan satu kali haji.
c. Fadhilah wa adab (keutamaan dan adab),
dinamakan juga sunnah az-zawaid (sunnah
tambahan) dan sunnah al-‘adah (sunnah kebiasaan).
Yaitu perbuatan Nabi saw yang bukan termasuk
‘ubudiyah. Seperti sifat makan, minum, berpakaian,
berjalannya, dsb. Karena meneladani beliau saw
merupakan sebuah keutamaan dan terpuji.
22. 3. Haram
Pengertian Haram
و ،ِواللزام ِمْتَحال ِهوج على عنه االكف ُع ِاارشال َبَلط ماُهُكتار ُيثاب
اًاختيار ُهُلفاع ُعاقبُيو ،ًَّلامتثا
Yang dituntut Syari’ untuk ditinggalkan
dengan tegas dan kuat, jika
ditinggalkan karena ketaatan mendapat
pahala, dan jika dilakukan secara sadar
mendapat siksa.
Haram dinamakan juga mahzhur
(larangan).
23. 3. Haram (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram :
a. Kata : حرم , seperti : َو ُمادالَو ُةَتْيَمْلا ُمُكْيَلَع ْتَم ِّرُحير ِزْن ِخْلا ُمْحَلِْ =
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi. (QS. Al Maidah : 3)
b. Menafikan/meniadakan kehalalan, seperti : َف اَهَقالَط ْنِإَفََل
ُهَرْيَغ اًج ْوَز َحِكْنَت ىاتَح ُدْعَب ْنِم ُهَل ُّل ِحَت = Kemudian jika si suami
menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia
kawin dengan suami yang lain.(QS. Al-Baqarah :
230)
c. Kata (هيان)ال /nahy/larangan, seperti : َاشْحَفْلا َِنع ىَهْنَيَوِء
ِيْغَبْلاَو َِركْنُمْلاَو = dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. (QS. An-Nahl : 90)
24. 3. Haram (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
haram (lanjutan…) :
d. Kata (َجرَز) /melarang, seperti : قال ِبيرُّالز أبي ِثحدي:
اًجابر ُسألت(عبدهللا َابن يعني)ق ؟ ِورانِّسوال ِبالكل ِنَمَث عنَلا:ُّيبانال َجرَز-
وسلم عليه هللا صلى-َذلك عن = Hadits Abu Zubair, ia
berkata : Saya bertanya kepada Jabir tentang
anjing dan kucing. Jabir berkata : Nabi saw
melarangnya”. (HR. Muslim)
e. Bentuk perintah mengakhiri atau berhenti ,
seperti : ْمُكَل اًرْيَخ واُهَتْنا ٌةَث ََلَث واُلوُقَت ََّلَو = janganlah
kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga",
berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik
bagimu. (QS. An-Nisa’:171)
f. Bentuk fi’il mudhari’ yang disertai la nahiyah ,
seperti : اَن ِّالز واُبَرْقَت ََّلَو = Janganlah kalian
mendekati perzinaan. (QS. Al-Isra’ : 32)
25. 3. Haram (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram
(lanjutan…) :
g. Kata (ينبغي /َّلtidak pantas,wajar), seperti sabda
Rasulullah saw tenang sutra : “َقيناتللم هذا ينبغي ”َّل = “Ini
tidak pantas bagi orang-orang yang bertakwa”.
(Hadits Muttafaq ‘alaih)
h. Bentuk perintah meninggalkan dengan kata selain
kata (nahy), seperti : َو ِانَث ْوَ ْاْل َنِم َسْج ِّالر واُبِنَتْاجَفَل ْوَق واُبِنَتْاج
ِورُّالز = maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang
najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.
(QS. Al- Hajj : 30); ًذَأ َوُه ْلُق ِيض ِحَمْلا َِنع َكَنوُلَأْسَيَوَءاَسِّنال واُل ِزَتْعاَف ى
ِيض ِحَمْلا يِف= Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid. (QS.al-Baqarah :222)
26. 3. Haram (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram
(lanjutan…) :
i. Ancaman atau laknat jika melakukannya, baik ancaman
dunia, ataupun akhirat, seperti : ُعَطْاقَف ُةَق ِاراسالَو ُق ِاراسالَواَمُهَيِدْيَأ وا =
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Maidah : 38)
j. Mensifati perbuatan dengan dosa, seperti hadits : ٍأنس عن
قال ُهعن هللا رضي:ُّيبانال ئلُس-وسلم عليه هللا صلى-قال ؟ ِالكبائر عن(( :ُالشراك،باهلل
ِورُّالز ُةَدوشها ، ِفسانال ُلوقت ،ِالوالدين ُقوعقو)) = Dari Anas ra, ia berkata :
Nabi saw ditanya tentang dosa besar, beliau menjawab : “
Menyekutukan Allah, membunuh jiwa, dan kesaksian
palsu”. (Hadits Muttafaq ‘alaih)
k. Mensifati perbuatan dengan pelanggaran, kezaliman,
kejahatan, kefasikan, dan semacamnya, seperti : واُلَعْفَت ْنِإَو
ْمُكِب ٌقوُسُف ُهانِإَف = Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
(QS. Al-Baqarah : 282)
27. 3. Haram (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram
(lanjutan…) :
l. Pelaku suatu perbuatan disamakan dengan binatang,
setan, orang-orang kafir, orang-orang yang merugi,
atau semacamnya, seperti : َانَوْخِإ واُنَاك َين ِِرّذَبُمْلا انِإِينِاطَياشال =
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara setan. (QS. Al-Isra’ : 27)
m. Menamakan perbuatan dengan nama lain yang
diharamkan yang keharamannya sudah dimaklumi,
seperti mensifati perbuatan dengan perzinahan,
pencurian, kemusyrikan, atau yang lain. Di
antaranya sabda Rasulullah saw : “َأشرك ْدَقف هللا ِبغير َحلف ْمن
“ “barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain
Allah, sungguh ia telah berbuat syirik”. (HR. Abu
Daud, Tirmidzi dan lainnya).
28. 3. Haram (lanjutan…)
Pembagian Haram :
Dalam syari’at Islam pengharaman tidak diberikan kecuali
pada sesuatu yang kerusakannya bersifat murni atau
bersifat secara umum. Kerusakan pada yang diharamkan
terjadi pada dzat yang diharamkan itu sendiri, atau pada
sebabnya. Oleh karena itu haram terbagi kepada 2 bagian.
a. Muharram lidzatih atau haram karena dzatnya, seperti
syirik, zina, mencuri, memakan daging babi, dsb.
b. Muharram lighairih atau haram karena yang lain. Ini pada
dasarnya mubah atau legal karena tidak mengandung
kerusakan atau karena aspek kemaslahatannya kuat,
akan tetapi karena kondisi tertentu,ia menjadi haram
karena sebagai sebab timbulnya kerusakan. Maka dalam
keadaan itu, ia menjadi haram. Seperti berjual beli pada
dasarnya boleh dan disyari’atkan, tetapi kalau dilakukan
saat azan shalat jum’at sudah dikumandangkan, ia
menjadi haram.
29. 4. Makruh
Pengertian Makruh :
ْتالح ِهوج على َّل ُهَكتر ِفالالمك من ُعاارشال َطلب ما،ِواللزام ِم
ُهُلفاع ُيعاقب وَّل ،ًَّلامتثا ُهكتار ُويثاب
Yang dituntut Syari’ dari seorang
mukallaf untuk ditinggalkan tidak
dengan tegas dan kuat, jika
ditinggalkan karena ketaatan
mendapat pahala, dan tidak disiksa
jika dilakukan.
30. 4. Makruh (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
makruh :
a. Kata (karaha =tidak suka/ benci). Seperti
sabda Rasulullah saw : ((َعقوق ُمكعلي ماحر هللا اإن
وك ،َلوقا َلقي ُمكل ه ِوكر ،ِتوها َعومن ،ِتالبنا َدوأو ،ِتهااماْلَةثر
ِلالما ََةعوإضا ،ِلؤاُّسال)) = Sesungguhnya Allah
telah mengharmkan mendurhakai ibu,
mengubur anak wanita hidup-hidup, tidak
mau memberi, dan Allah membenci desas
desus, banyak bertanya, dan menyia-
nyiakan harta”. (Hadits Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits inidibedakan antara haram
dan makruh.
31. 4. Makruh (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan makruh
(lanjutan…):
c. Bentuk larangan yang disertai dalil yang memalingkannya
dari haram, seperti hadits Abdullah bin Umar, ia berkata :
ِومُّثال ِلأك عن َخيبر َميو نهى =Rasulullah saw melarang makan
bawang putih pada hari Perang Khaibar. Larangan ini
dalam arti makruh dengan dalil hadits Abu Ayyub al-
Anshari, ia berkata : Rasulullah saw apabila diberikan
makanan, beliau memakannya dan memberikan sisanya
kepada saya. Pada suatu hari beliau memberikan
makanan sisa yang belum beliau makan, karena ada
bawang putih pada makanan itu. Lalu saya bertanya
kepadanya : Apakah itu haram?. Beliau bersabda : “Tidak,
akan tetapi saya tidak menyukainya karena baunya”. Abu
Ayyub berkata : Kalau begitu saya tidak menyukai apa
yang engkau tidak sukai. (HR. Muslim)
d. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi saw dengan maksud
penentuan hokum, bukan karena tabiat kemanusiaan.
32. 5. Mubah
Pengertiannya :
ُقيلح وَّل ،ِهوترك ِهفعل بين فالالمك ُعاارشال رايخ ماٌحمد ُه
ِهِكتر أو ِهبفعل ٌّمذ وَّل ٌّيشرع .
Pemberian kebebasan memilih dari
Syari’kepada mukallaf untuk
melakukan atau meninggalkan
sesuatu, tidak ada pujian dan celaan
syar’I dalam melakukan atau
meninggalkannya.
33. 5. Mubah (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
mubah
a. Adanya kata halal secara jelas, seperti : َم ْوَيْلا
َتِكْلا واُتوُأ َينِذالا ُماَعَطَو ُاتَبِّياطال ُمُكَل ال ِحُأْمُهَل ٌّل ِح ْمُكُماَعَطَو ْمُكَل ٌّل ِح َاب =
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-
baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal pula bagi mereka. (QS. Al-Maidah
: 5)
b. Meniadakan dosa dalam melakukannya,
seperti : ْثِإ ََلَف ٍدَاع ََّلَو ٍاغَب َرْيَغ ارُطْضا ِنَمَفِهْيَلَع َم = Tetapi
barang siapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS. Al-
Maidah : 173)
34. 5. Mubah (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
mubah (lanjutan…)
c. Bentuk perintah setelah larangan, seperti :
ِضْرَ ْاْل يِف واُرِشَتْناَف ُة ََلاصال ِتَي ِضُق اَذِإَفِ ااَّلل ِلْضَف ْنِم واُغَتْباَو =
Apabila telah ditunaikan sembahyang,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah. (QS. Al-Jumu’ah
: 10). Ini perintah setelah adanya larangan
pada ayat sebelumnya.
d. Mubah sebagai hokum asal sebagaimana
dikatakan bahwa dasar pada sesuatu itu
adalah boleh. Segala sesuatu itu mubah
selama tidak ada dalil yang memindahkan
kemubahan itu pada hukum lain.
36. Definisi Hukum Wadh’i
مامنه مانعا أو ، له شرطا أو ،لشيء سببا شيء وضع اقتضى
Ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’
(sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Contoh sesuatu menjadi sebab adanya
hukum taklifi :
ف ِةَلاصال ىَلِإ ْمُتْمُق اَذِإ ْاوُنَمآ َِينذالا اَهُّيَأ اَيَلِإ ْمُكَيِدْيَأَو ْمُكَهوُجُو ْاوُلِسْغاى
ِقِفاَرَمْلا
Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan salat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki. (QS. Al-Maidah : 6)
37. Definisi Hukum Wadh’I (lanjutan…)
Contoh sesuatu menjadi syarat
adanya hukum taklifi :
َطَتْسا ِنَم ِتْيَبْلا ُّج ِح ِاسانال ىَلَع ِ ّ َِّللَوًَليِبَس ِهْيَلِإ َعا
mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran
: 97)
Contoh sesuatu yang menjadi
mani’ (penghalang) hukum taklifi :
ُلِتاَقْلا ُث ِرَي ََّل
Yang membunuh tidak mendapat
warisan “. (HR. Ahmad)
38. Definisi Hukum Wadh’I (lanjutan…)
Dinamakan hukum wadh’i, karena yang menentukan
atau menetapkan hukum itu adalah Syari’ (Pembuat
hukum/Allah). Umpamanya, Allah-lah yang
menentukan bahwa hendak melakukan shalat sebagai
sebab wajibnya berwudhu, istitha’ah
(kemampuan)sebagai syarat bagi wajib melaksanakan
ibadah haji, pembunuhan pewaris terhadapahli
warisnya sebagai penghalang mendapatkan warisan,
tanpa berhubungan dengan permintaan dari mukallaf.
Dari penjelasan ini dapat dibedakan antara hukum
taklifi dengan hukum wadh’i, yaitu bahwa hukum
taklifi didasarkan pada kemampuan mukallaf,
sedangkan hukum wadh’i tidak didasarkan pada
kemampuan atau tidak mampunya mukallaf. Ada atau
tidak adanya sesuatu didasarkan pada ketentuan
syari’at.
40. 1. Sebab
Pengertian Sebab
Secara bahasa berarti :
ِه ِغير إلى ِهب ُلتوصُي ٍشيء ُّلُك
Sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang
kepada sesuatu yg lain.
Secara istilah, sebab yaitu :
وع ،ِكمُحال ِدوجو على ًعَلمة ُهَدوجو ُعارشال َلجع ذيالا ُاْلمرعلى ًعَلمة ُهَمَد
ِكمُحال َِمدع
Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai
tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya
sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
41. 1. Sebab (lanjutan…)
Pembagian Sebab
a. Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf,
dan berada di luar kemampuannya. Namun, sebab
itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi,
karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan
bagi adanya suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh mukallaf. Misal, tergelincir
matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya
waktu shalat dhuhur, masuknya awal bulan
ramadhan menjadi sebab bagi kewajiban puasa
ramadhan.
b. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan
dalam batasan kemampuannya. Misal: perjalanan
(safar) menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa
di siang ramadhan, akad jual beli menjadi sebab
bagi perpindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli.
42. 2. Syarat
Pengertian Syarat
Secara bahasa berarti : ُةَمالعَل / tanda.
Secara istilah, syarat yaitu :
ذل ِتذا من اًءْجز َهو َوليس ،ِهِدوجو على ِايءشال ُدوجو َفاقماتو،ِايءشال َك
ِهفي اًطْشر َكان ما ُدجوُو ِهِدجو من ُميلز َّل كما ،ُهعن ٌجخار َهو ْلب
Sesuatu yang tergantung kepadanya ada
sesuatu yang lain, ia bukan bagian dari sesuatu
yang lain itu, tetapi berada di luar hakikat
sesuatu itu, sebagaimana adanya sesuatu itu
tidak menuntut adanya sesuatu yang lain yang
mengsyaratkannya.
Contoh : wudhu merupakan syarat bagi
sahnya shalat, sahnya shalat tergantung
adanya wudhu, tetapi wudhu itu bukan
merupakan bagian dari shalat, dan juga adanya
wudhu tidak mesti adanya shalat.
43. 2. Syarat (lanjutan…)
Pembagian Syarat
a. Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang
langsung dari syari’at itu sendiri. contoh ,
adanya haul (cukup satu tahun) bagi harta
yang sudah mencapai nishab merupakan
syarat bagi wajibnya zakat.
b. Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang
dari kemauan orang mukallaf itu sendiri
dalam tindakan dan mu’amalah, bukan
dalam masalah ibadah. Contoh : syarat-
syarat yang ditentukan orang-orang yang
melakukan berbagai transaksi.
44. 3. Mani’
Pengertian Mani’
Secara bahasa berarti penghalang
dari sesuatu.
Secara istilah, mani’ adalah :
َمَدالع ِهِدوجو على ُعارشال باتر ما
ْSesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi adanya
hukum, atau penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab.
45. 3. Mani’ (lanjutan...)
Pembagian Mani’
a. Māni’ lil-Hukm, yaitu : sesuatu yang
ditetapkan syariat sebagai penghalang
bagi adanya hukum. Misal: haid wanita
sebagai penghalang shalat.
b. Māni’ lis-Sabab, yaitu sesuatu yang
ditetapkan syariat sebagai penghalang
bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga
sebab itu tidak lagi mempunyai akibat
hukum. Contoh : adanya hutang
merupakan penghalang bagi wajibnya
zakat harta sekalipun sudah mencapai
nishab dan haul.
46. 4. Sah dan Batal
Pengertian Sah dan Batal :
Sah/Shihhah/Shah : maksudnya perbuatan
hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’,
yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada
m ā ni’. Sah dapat diartikan lepas tanggung
jawab atau gugur kewajiban di dunia serta
memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat.
Misal: mengerjakan shalat dhuhur setelah
tergelincir matahari (sebab), didahului dengan
wudhu’ (syarat), dan tidak ada halangan haid
bagi pelakunya (m ā ni’). Shalat yang dilakukan
itu hukumnya sah. Tapi jika sebab tidak ada,
syarat tidak terpenuhi, maka shalatnya
dikatakan tidak sah, walaupun m ā ni’-nya
tidak ada.
47. 4. Sah dan Batal (lanjutan...)
Pengertian Sah dan Batal :
Batal/Buthlan/Bathil : yaitu
terlepasnya hukum syara’ dari
ketentuan yang ditetapkan dan tidak
ada akibat hukum yang
ditimbulkannya. Batal juga dapat
diartikan tidak melepaskan tanggung
jawab, tidak menggugurkan kewajiban
di dunia, dan di akhirat tidak
memperoleh pahala.
48. 4. Sah dan Batal (lanjutan...)
Perbedaan para ulama tentang
penggunaan istilah sah dan batal
dalam masalah muamalah :
Menurut Jumhur ulama, tidak ada
perbedaan dalam ibadah dan
muamalah, dalam keduanya berlaku
“sah atau batal”.
Sebagian ulama mazhab Hanafi :
– Dalam maslah ibadah sependapat
dengan jumhur ulama, yaitu hanya ada
“sah atau batal”.
49. 4. Sah dan Batal (lanjutan...)
– Dalam masalah muamalah, yaitu dalam
masalah ‘uqud, perjanjian yang tidak sah
terbagi dua: batal dan fasid (rusak). Bila
cacat terdapat dalam rukun & syarat, maka
akad menjadi batal, ia tidak mengakibatkan
timbulnya hukum karena tidak ada sebab.
Sedang jika cacat itu ada dalam suatu syarat
dari beberapa syarat yang berhubungan
dengan hukum maka akad itu menjadi fasid,
tapi tidak batal, dan berakibat timbulnya
sebagian pengaruh hukum. Misal: akad nikah
dengan wanita muhrimat adalah batal. Tapi
pernikahan yang tidak dihadiri dua orang saksi
disebut fasid, pengaruhnya suami wajib bayar
mahar, isteri tetap menjalankan masa ‘iddah,
anak masih dapat dihubungkan dengan
suaminya.
50. 5. ‘Azimah dan Rukhshah
Pengertian ‘Azimah :
Secara bahasa : ‘azaimah berarti kemauan
yang kuat.
Menurut istilah adalah :
ِبالعوارض ٍقِّلمتع ُغير ِتالمشروعا في ُلاْلص َهو لما ٌماس
Suatu ungkapan tentang hukum-hukum yang
disyari’atkan Allah sejak semula, tidak
berkaitan dengan suatu peristiwa baru. Contoh
: Hukum shalat Dhuhur 4 raka’at adalah hukum
asal, itu disebut ‘azimah. Hukum makan
bangkai adalah haram adalah hukum asal, itu
adalah ‘azimah.
51. 5. ‘Azimah dan Rukhshah
(lanjutan...)
Pengertian Rukhshah :
Menurut bahasa: rukhshah berarti mudah
dan gampang.
Menurut istilah rukhshah berarti :
ب ِهأصل عن ِهِفوص في اًجخار ِبالعوارض اًقِّلمتع َعُرش ماِل ٌماسِرْذُعال
Suatu nama bagi hukum yang disyari’atkan
karena adanya peristiwa baru yang keluar dari
hukum asal karena ada udzur. Contoh :
menjama’ dua shalat karena ada udzur safar
(perjalanan) dan hujan; menqashar shalat bagi
musafir; boleh makan bangkai bagi orang yang
dalam keadaan darurat. Hukum-hukum ini
keluar dari hukum asal, dan yang
mempengaruhinya adalah karena ada udzur.
52. 5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...)
Faktor Penyebab adanya Rukhshah
1. Lemah fisik. Seperti : tidak adanya kewajiban atas
anak kecil dan orang gila, gugurnya kewajiban shalat
jum’at bagi wanita.
2. Sakit. Seperti boleh berbuka puasa bagi orang yang
sakit.
3. Perjalanan. Seperti boleh menqashar shalat yang
empat rakaat.
4. Lupa. Seperti sah puasa orang yang makan dan
minum karena lupa.
5. Jahl/bodoh/tidak tahu. Seperti gugurnya siksaan
orang yang tidak bisa dalam belajar jika terjadi
karena tidak melalaikan.
6. Keadaan terpaksa. Seperti boleh makan bangkai
bagi orang yang kelaparan dan takut mati kalau
tidak makan.
7. Bencana yang bersifat umum, yaitu dalam keadaan
yang sulit melepaskan darinya.
53. 5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...)
Macam-macam Rukhshah
1. Boleh melakukan yang haram karena
keadaan darurat. Seperti boleh makan
daging babi karena darurat.
2. Boleh meninggalkan yang wajib.
Seperti tidak berdiri dalam shalat bagi
orang yang tidak mampu.
3. Membenarkan sebagian akad yang
kurang persyaratan umumnya untuk
menghilangkan kesulitan dan
memudahkan manusia. Seperti akad
salam dan jasa kerja.
54. 5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...)
Derajat Mengambil Rukhshah
1. Boleh memilih antarmengambil rukhshah atau
meninggalkannya. Seperti boleh berbuka
puasa bagi musafir atau tetap berpuasa.
2. Lebih utama mengambil rukhshah. Seperti
menqashar shalat bagi musafir, karena
Rasulullah saw selalu mengqashar shalat
dalam safar.
3. Lebih utama meninggalkan rukhshah. Seperti
sabar menanggung penderitaan ketika dipaksa
mengatakan kata kekufuran.
4. Wajib mengambil rukhshah. Seperti wajib
makan bangkai bagi orang yang dalam
keadaan darurat agar tidak mati.
55. Ada’, I’adah, Qadha’
Tiga istilah syari’at yang berhubungan
dengan hukum wadh’i dilihat dari sisi waktu
pelaksanaan ibadah :
1. Ada’, yaitu melakukan suatu ibadah pada
waktu yang ditentukan menurut syari’at.
2. I’adah (pengulangan), yaitu melakukan suatu
ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh
syari’at untuk kedua kalinya karena ada
semacam kerusakan atau kekurangan dalam
menunaikannya.
3. Qadha’, yaitu melakukan suatu ibadah setelah
keluar dari waktu yang telah ditentukan oleh
syari’at, baik karena kerusakan dalam
menunaikan atau karena meninggalkannya
secara keseluruhan, karena adanya suatu
udzur atau tanpa udzur.
56. Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...)
Catatan :
Bahwa qadha tidak ada dalil yang
memerintahkan qadha kecuali dalam
melakukan ibadah setelah keluar
waktunya disebabkan adanya udzur
seperti tidak shalat disebabkan
ketiduran, atau puasa bagi wanita
haidh dan nifas. Adapun keluarnya
waktu tanpa udzur, tidak ada dalil yang
memerintahkan qadha. Ini berbeda
dengan pendapat kebanyakan ulama
fiqh.
57. Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...)
Ini diperkuat oleh masalah yang dilontarkan
oleh para ulama ushul fiqh, apakah qadha itu
berdasarkan perintah pertama, atau
membutuhkan perintah baru?
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa qadha
membutuhkan perintah baru. Inilah pendapat
yang benar, karena ibadah yang berkaitan
dengan waktu, dimaksudkan oleh Syari’
dilaksanakan pada waktu yang telah
ditentukan. Jika seorang mukallaf
mengabaikannya lalu melaksanakannya di luar
waktunya tanpa udzur, berarti ia tidak
melakukannya sesuai perintah. Padahal nabi
saw telah bersabda : “Barangsiapa yang
melakukan suatu amal tidak berdasarkan
perintah kami, maka amal itu ditolak”. (HR.
Muslim).
58. Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...)
Ini berbeda dengan orang yang punya udzur.
Bisa jadi syari’at menggugurkan kewajibannya
dan tidak memerintahkannya seperti menqadha
shalat bagi wanita haidh. Atau karena ada
perintah baru, seperti perintah mengqadha
shalat bagi orang yang tidur dan lupa, perintah
mengqadha puasa bagi wanita haidh dan nifas
dan bagi musafir, menggantikan haji bagi
orang yang tidak mampu melaksanakan haji di
masa hidupnya.
Dari permasalahan ini timbul masalah baru,
yaitu mengqadha shalat, puasa dan
semacamnya bagi orang yang
meninggalkannnya pada waktunya dengan
sengaja. Ini baginya tidak ada rukhshah untuk
mengqadhanya, tetapi caranya dengan taubat
dan banyak melakukan ibadah sunnah.