SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 59
HUKUM SYARA’
I. DEFINISI HUKUM SYARA’
Menurut bahasa (etimologi) : Hukum (‫/الحكم‬al-
hukm) berarti : ‫والقضاء‬ ‫والفصل‬ ‫=المنع‬ mencegah,
memutuskan.
Menurut istilah ushul fiqh (terminologi) :
hukum syara’ adalah :
ً‫ا‬‫وضع‬ ‫أو‬ ،ً‫ا‬‫تخيير‬ ‫أو‬ ،ً‫ا‬‫طلب‬ ،‫المكلفين‬ ‫بأفعال‬ ‫المتعلق‬ ‫الشارع‬ ‫خطاب‬
Khitab (kalam) asy-syari’ (Pembuat
hukum/Allah SWT) yang berkaitan dengan
semua perbuatan mukallaf , baik berupa
iqtidha` (perintah, larangan, anjuran untuk
melakukan atau meninggalkan), takhyir
(memilih antara melakukan dan tidak
melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat,
atau penghalang/māni’).
Penjelasan Definisi al-Hukm
Yang dimaksud Khithab asy-syari’ adalah semua
bentuk dalil-dalil hukum, baik al-Qur’an, as-Sunnah,
maupun Ijma’ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya al-
Qur’an dan as-Sunnah. Adapun ijma’ dan qiyas sebagai
metode menyingkapan hukum dari al-Qur’an dan sunnah.
Al-Qur’an dianggap sebagai kalam Allah secara langsung,
dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung
karena Rasulullah saw tidak mengucapkan sesuatu di
bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman
Allah:
‫ى‬ َ‫و‬َ‫ه‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫َن‬‫ع‬ ُ‫ق‬ِ‫ط‬ْ‫ن‬َ‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬.‫ى‬َ‫ح‬‫و‬ُ‫ي‬ ٌ‫ي‬ْ‫ح‬َ‫و‬ ‫ا‬‫َّل‬ِ‫إ‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm : 3-4)
Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran
kepada al-Quran dan sunnah.
Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang
dilakukan oleh manusia dewasa, berakal sehat, termasuk
perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan
(seperti ghibah).
II. JENIS-JENIS HUKUM SYARA’
A. Hukum Taklifi
B. Hukum Wadh’i
A. HUKUM TAKLIFI
Definisi Hukum Taklifi
‫عنه‬ ‫والكف‬ ‫فعل‬ ‫بين‬ ‫تخييره‬ ‫أو‬ ‫فعله‬ ‫عن‬ ‫ه‬ّ‫ف‬‫ك‬ ‫أو‬ ،‫المكلف‬ ‫من‬ ‫فعل‬ ‫طلب‬ ‫اقتضى‬ ‫ما‬
Hukum yang mengandung perintah, larangan, atau
memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk
melakukan sesuatu atau tidak berbuat.
Contoh perintah melakukan sesuatu :
َ‫ة‬ َ‫َل‬‫ا‬‫ص‬‫ال‬ ‫وا‬ُ‫م‬‫ي‬ِ‫ق‬َ‫أ‬َ‫و‬ (Dan dirikanlah sholat). (QS. Al-Baqoroh :
43)
Contoh perintah meninggalkan sesuatu :
‫ا‬َ‫ن‬ ِّ‫الز‬ ‫وا‬ُ‫ب‬َ‫ر‬ْ‫ق‬َ‫ت‬ َ‫َّل‬َ‫و‬ (Janganlah kalian mendekati perzinaan).
(QS. Al-Isra’ : 32)
Contoh pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu
:
ْ‫ا‬‫ُو‬‫د‬‫ا‬َ‫ط‬ْ‫ص‬‫ا‬َ‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ل‬َ‫ل‬َ‫ح‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬َ‫(و‬dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu.) (QS. Al-Maidah :
2)
Pembagian Hukum Taklifi
1. Wajib
2. Mandub
3. Haram
4. Makruh
5. Mubah
1. Wajib
Pengertiannya :
‫ا‬ ‫على‬ ‫ب‬‫ا‬‫ت‬‫ور‬ ،ِ‫زوم‬ُّ‫ل‬‫ال‬ ِ‫ه‬‫وج‬ ‫على‬ ‫فعله‬ ُ‫ع‬‫اار‬‫ش‬‫ال‬ َ‫طلب‬ ‫ما‬ِ‫ه‬‫متثال‬
‫والعق‬ ‫م‬‫ا‬‫ذ‬‫ال‬ ِ‫ة‬‫ر‬ْ‫د‬ُ‫ق‬‫ال‬ ‫مع‬ ِ‫ه‬‫ترك‬ ‫وعلى‬ ،َ‫واب‬‫ا‬‫ث‬‫وال‬ َ‫ح‬‫المد‬ِ‫ب‬‫ا‬
Yaitu yang dituntut syari’ untuk
melakukan suatu perbuatan dengan
tegas dan kuat, jika dilaksanakan
akan menyebabkan pujian dan
pahala, dan jika ditinggalkan dalam
keadaan mampu akan
menyebabkan celaan dan siksa.
1. Wajib (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
wajib, di antaranya :
a. Fi’il amar, seperti : َ‫ة‬ َ‫َل‬‫ا‬‫ص‬‫ال‬ ‫وا‬ُ‫م‬‫ي‬ِ‫ق‬َ‫أ‬َ‫و‬ = Dan
dirikanlah sholat. (QS. Al-Baqoroh : 43)
b. Kata (‫)أمر‬ , seperti : ِْ‫ال‬َ‫و‬ ِ‫ل‬ْ‫د‬َ‫ع‬ْ‫ل‬‫ا‬ِ‫ب‬ ُ‫ر‬ُ‫م‬ْ‫أ‬َ‫ي‬ َ ‫ا‬‫اَّلل‬ ‫ا‬‫ن‬ِ‫إ‬‫ي‬ِ‫ذ‬ ِ‫اء‬َ‫ت‬‫ي‬ِ‫إ‬َ‫و‬ ِ‫ان‬َ‫س‬ْ‫ح‬
‫ى‬َ‫ب‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫=ا‬ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat...(QS. An-Nahl : 90)
c. Kata (‫)كتب‬ , seperti : ُ‫م‬‫ا‬َ‫ي‬ ِ‫الص‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫ب‬ِ‫ت‬ُ‫ك‬ = diwajibkan
bagia kalian berpuasa. (QS. Al-Baqoroh : 183)
d. Kata (‫ض‬َ‫ر‬َ‫ف‬) , seperti : َ‫ه‬‫ا‬َ‫ن‬ْ‫ض‬َ‫ر‬َ‫ف‬َ‫و‬ ‫ا‬َ‫ه‬‫ا‬َ‫ن‬ْ‫ل‬َ‫ز‬ْ‫ن‬َ‫أ‬ ٌ‫ة‬َ‫ور‬ُ‫س‬‫ا‬ = (Ini
adalah) satu surat yang Kami turunkan dan
Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum
yang ada di dalam) nya.(QS. An-Nur : 1)
1. Wajib (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan wajib
(lanjutan…)
e. Fi’il yang besambung dengan lamul amri, seperti : ‫وا‬ُ‫ف‬‫و‬ُ‫ي‬ْ‫ل‬َ‫و‬
‫م‬ُ‫ه‬َ‫ور‬ُ‫ذ‬ُ‫ن‬ْْ = dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-
nazar mereka. (QS. Al-Hajj : 29)
f. Bentuk kata : (‫كذا‬ ُ‫ل‬‫ع‬ِ‫ف‬ ‫عليك‬ ُ‫ه‬‫/ل‬baginya untukmu melakukan
itu), seperti : ْ‫ي‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ َ‫ع‬‫ا‬َ‫ط‬َ‫ت‬ْ‫س‬‫ا‬ ِ‫ن‬َ‫م‬ ِ‫ت‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُّ‫ج‬ ِ‫ح‬ ِ‫اس‬‫ا‬‫ن‬‫ال‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ِ ّ ِ‫َّلل‬َ‫و‬ً‫َل‬‫ي‬ِ‫ب‬َ‫س‬ ِ‫ه‬ =
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran : 97)
g. Bentuk berita yang menempatkan sesuatu yang dituntut
dalam posisi dilaksanakan secara sempurna sebagai
penguat perintah, seperti : ‫و‬ُ‫ر‬َ‫ذ‬َ‫ي‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬‫ا‬‫ف‬ َ‫و‬َ‫ت‬ُ‫ي‬ َ‫ِين‬‫ذ‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬َ‫و‬َ‫ْن‬‫ص‬‫ا‬‫ب‬َ‫ر‬َ‫ت‬َ‫ي‬ ‫ا‬ً‫ج‬‫ا‬َ‫و‬ْ‫ز‬َ‫أ‬ َ‫ن‬
‫ا‬ً‫ْر‬‫ش‬َ‫ع‬َ‫و‬ ٍ‫ر‬ُ‫ه‬ْ‫ش‬َ‫أ‬ َ‫ة‬َ‫ع‬َ‫ب‬ْ‫ر‬َ‫أ‬ ‫ا‬‫ن‬ِ‫ه‬ِ‫س‬ُ‫ف‬ْ‫ن‬َ‫أ‬ِ‫ب‬ = Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan
sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah:234)
1. Wajib (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
wajib (lanjutan…)
h. Adanya ancaman jika ditinggalkan,
seperti : َ‫ن‬ِ‫م‬ ٍ‫ب‬ْ‫ر‬َ‫ح‬ِ‫ب‬ ‫وا‬ُ‫ن‬َ‫ذ‬ْ‫أ‬َ‫ف‬ ‫وا‬ُ‫ل‬َ‫ع‬ْ‫ف‬َ‫ت‬ ْ‫م‬َ‫ل‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ِ‫ه‬ِ‫ل‬‫و‬ُ‫س‬َ‫ر‬َ‫و‬ ِ ‫ا‬‫اَّلل‬ = Maka
jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. (QS. Al-Baqarah:279)
i. Tidak dihitung amal perbuatan jika ada
sesuatu yang ditinggalkan. Seperti : َ‫ة‬‫صَل‬ ‫َّل‬
ِ‫ب‬‫الكتا‬ ِ‫ة‬‫بفاتح‬ ْ‫يقرأ‬ ‫لم‬ ‫لمن‬ = Tidak sah shalat bagi
orang yang tidak membaca surat al-
Fatihah. (Muttafaq ‘alaih)
1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
a. Ditinjau dari segi waktu
pelaksanaannya terbagi kepada :
1) Wajib muwassa’, yaitu jika waktu yang
ditentukan itu dapat digunakan untuk
melaksanakannya dan melaksanakan kewajiban
sejenisnya yang lain. Contohnya adalah sholat.
2) Wajib mudlayyaq, yaitu yang hanya
cukup untuk melaksanakan satu kewajiban
saja, seperti puasa. Sesungguhnya setelah
terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari
hanya cukup untuk melaksanakan satu puasa
saja.
1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
b. Ditinjau dari segi ukuran dan
batasannya dibagi kepada :
1) Wajib muqaddar/muhaddad
(kewajiban yang ditentukan atau dibatasi
ukurannya), seperti : nishab zakat dan
kadar yang dikeluarkannya.
2) wajib ghairu muqaddar/muhaddad
(kewajiban yang tidak ditentukan atau
dibatasi ukurannya), seperti : ukuran
nafkah wajib bagi suami terhadap isterinya,
berbuat baik bagi manusia.
1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
c. Ditinjau dari segi ditentukan atau tidak
ditentukannya, wajib terbagi kepada :
1) Wajib mu’ayyan (tertentu), yaitu kewajiban
yang harus dilakukan tanpa ada pilihan, Ini
merupakan kebanyakan kewajiban, seperti shalat lima
waktu.
2) Wajib gahiru mu’ayyan (tidak ditentukan),
seperti kafarat sumpah pada firman Allah : ْ‫ط‬ِ‫إ‬ ُ‫ه‬ُ‫ت‬ َ‫ار‬َّ‫ف‬َ‫ك‬َ‫ف‬ُ‫م‬‫ا‬َ‫ع‬
ْ‫س‬ِ‫ك‬ ْ‫و‬َ‫أ‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬‫ي‬ِ‫ل‬ْ‫ه‬َ‫أ‬ َ‫ون‬ُ‫م‬ِ‫ع‬ْ‫ط‬ُ‫ت‬ ‫ا‬َ‫م‬ ِ‫ط‬َ‫س‬ ْ‫و‬َ‫أ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫ين‬ِ‫ك‬‫ا‬َ‫س‬َ‫م‬ ِ‫ة‬ َ‫َر‬‫ش‬َ‫ع‬ٍََََ َ‫ر‬ ُ‫ير‬ ِ‫ر‬ْ‫ح‬َ‫ت‬ ْ‫و‬َ‫أ‬ ْ‫م‬ُُُ‫ت‬ َ‫و‬ (tetapi
Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar)
sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak). (Al
Maidah : 89)
1. Wajib (lanjutan…)
Pembagian Wajib :
d. Ditinjau dari segi pelakunya, wajib dibagi
kepada :
1) Wajib ‘ain, yaitu kewajiban yang harus
dilakukan oleh setiap orang Islam yang mukallaf
secara pribadi-pribadi, seperti shalat lima waktu dan
puasa.
b) Wajib kifayah, yaitu bahwa yang diperintahkan
adalah melaksanakan perbuatan dan tidak
disyaratkan harus dilakukan oleh seseorang tertentu,
seperti memandikan mayyit dan menshalatkannya.
Dan kadang-kadang wajib kifayah itu berubah
menjadi wajib ‘ain, seperti jika suatu negeri itu
membutuhkan kepada para hakim dan di sana hanya
ada dua orang saja, maka jadilah menjadi hakim itu
merupakan kewajiban atas keduanya.
2. Mandub
Pengertiannya :
ِ‫ه‬‫امتثال‬ ‫على‬ ‫ب‬‫ا‬‫ت‬‫ور‬ ،ٍ‫إلزام‬ ‫غير‬ ‫من‬ ُ‫ه‬ُ‫ل‬‫فع‬ ُ‫ع‬‫اار‬‫ش‬‫ال‬ َ‫طلب‬ ‫ما‬َ‫ح‬‫المد‬
ُ‫والعقاب‬ ُّ‫م‬‫ا‬‫ذ‬‫ال‬ ِ‫ه‬ِ‫ك‬‫تر‬ ‫على‬ َ‫وليس‬ ،َ‫واب‬‫ا‬‫ث‬‫وال‬
Yaitu yang dituntut syari’ untuk
melakukan suatu perbuatan tidak
dengan tegas dan kuat, jika
dilaksanakan akan menyebabkan pujian
dan pahala, dan jika ditinggalkan tidak
menyebabkan celaan dan siksa.
2. Mandub (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan mandub,
di antaranya :
a. Fi’il amr yang ada dalil yang menunjukkan tidak
kuatnya perintah. Seperti : َ‫ي‬‫َا‬‫د‬َ‫ت‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬ ‫وا‬ُ‫ن‬َ‫م‬‫آ‬ َ‫ِين‬‫ذ‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ه‬ُّ‫ي‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫ي‬‫ى‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ٍ‫ن‬ْ‫ي‬َ‫د‬ِ‫ب‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ن‬
ُ‫ه‬‫و‬ُ‫ب‬ُ‫ت‬ْ‫ك‬‫ا‬َ‫ف‬ ‫ى‬ًّ‫م‬َ‫س‬ُ‫م‬ ٍ‫ل‬َ‫ج‬َ‫أ‬ = Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. (QS. Al-Baqaqrah : 282).
b. Bentuk berita yang menunjukkan anjuran, bukan
perintah, seperti : bentuk-bentuk anjuran untuk
melakukan dzikir atau shalat tertentu.
c. Setiap perbuatan Nabi saw yang bersifat
pembentukan hukum. Seperti shalat sunnah rawatib,
shaum sunnah, dsb.
2. Mandub (lanjutan…)
Nama-nama Mandub :
a. Sunnah,
b. Nafilah,
c. Mustahab,
d. Tathawwu’,
e. Fadhilah
Sebagian ulama ada yang menamakan
mandub jika berkaitan dengan
kemaslahatan akhirat, dan irsyad jika
berkaitan dengan kemaslahatan
duniawi.
2. Mandub (lanjutan…)
Derajat Mandub :
a. Sunnah muakkad, yaitu amalan sunnah
yang dilakukan Nabi saw secara terus
menerus. Dan kadang-kadang dibarengi
dengan anjuran dalam bentukperkataan.
Seperti : shalat sunnah dua rakaat
sebelum shalat shubuh. Sabda Rasulullah
saw : “‫فيها‬ ‫وما‬ ‫ُّنيا‬‫د‬‫ال‬ ‫من‬ ٌ‫خير‬ ِ‫الفجر‬ ‫ا‬َ‫ت‬‫ع‬ْ‫ك‬‫ر‬ “ “Dua rakaat
sebelum shubuh lebih baik dari pada dunia
dan isinya”. (HR. Muslim)
b. Sunnah ghairu muakkad, yaitu amalan
sunnah yang tidak dilakukan secara terus
menerus. Seperti shalat sunnah 4 rakaat
sebelum shalat ashar.
2. Mandub (lanjutan…)
Derajat Mandub :
Termasuk dalam kategori ini adalah amalan-amalan
sunah yang diperintahkan Rasulullah saw melalui
perkataan tapi dalam prakteknya beliau tidak
melakukannya secara terus menerus. Seperti beliau
menganjurkan untuk umrah, tapi dalam hidupnya
hanya melakukan 4 kali, dan satu kali haji.
c. Fadhilah wa adab (keutamaan dan adab),
dinamakan juga sunnah az-zawaid (sunnah
tambahan) dan sunnah al-‘adah (sunnah kebiasaan).
Yaitu perbuatan Nabi saw yang bukan termasuk
‘ubudiyah. Seperti sifat makan, minum, berpakaian,
berjalannya, dsb. Karena meneladani beliau saw
merupakan sebuah keutamaan dan terpuji.
3. Haram
Pengertian Haram
‫و‬ ،ِ‫واللزام‬ ِ‫م‬ْ‫ت‬َ‫ح‬‫ال‬ ِ‫ه‬‫وج‬ ‫على‬ ‫عنه‬ ‫ا‬‫الكف‬ ُ‫ع‬ ِ‫اار‬‫ش‬‫ال‬ َ‫ب‬َ‫ل‬‫ط‬ ‫ما‬ُ‫ه‬ُ‫ك‬‫تار‬ ُ‫يثاب‬
‫ا‬ً‫اختيار‬ ُ‫ه‬ُ‫ل‬‫فاع‬ ُ‫عاقب‬ُ‫ي‬‫و‬ ،ً‫َّل‬‫امتثا‬
Yang dituntut Syari’ untuk ditinggalkan
dengan tegas dan kuat, jika
ditinggalkan karena ketaatan mendapat
pahala, dan jika dilakukan secara sadar
mendapat siksa.
Haram dinamakan juga mahzhur
(larangan).
3. Haram (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram :
a. Kata : ‫حرم‬ , seperti : َ‫و‬ ُ‫م‬‫ا‬‫د‬‫ال‬َ‫و‬ ُ‫ة‬َ‫ت‬ْ‫ي‬َ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ْ‫ت‬َ‫م‬ ِّ‫ر‬ُ‫ح‬‫ير‬ ِ‫ز‬ْ‫ن‬ ِ‫خ‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُ‫م‬ْ‫ح‬َ‫ل‬ِْ =
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi. (QS. Al Maidah : 3)
b. Menafikan/meniadakan kehalalan, seperti : َ‫ف‬ ‫ا‬َ‫ه‬َ‫ق‬‫ا‬‫ل‬َ‫ط‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬َ‫َل‬
ُ‫ه‬َ‫ر‬ْ‫ي‬َ‫غ‬ ‫ا‬ً‫ج‬ ْ‫و‬َ‫ز‬ َ‫ح‬ِ‫ك‬ْ‫ن‬َ‫ت‬ ‫ى‬‫ا‬‫ت‬َ‫ح‬ ُ‫د‬ْ‫ع‬َ‫ب‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ُ‫ه‬َ‫ل‬ ُّ‫ل‬ ِ‫ح‬َ‫ت‬ = Kemudian jika si suami
menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia
kawin dengan suami yang lain.(QS. Al-Baqarah :
230)
c. Kata (‫هي‬‫ا‬‫ن‬‫)ال‬ /nahy/larangan, seperti : ‫َا‬‫ش‬ْ‫ح‬َ‫ف‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫َن‬‫ع‬ ‫ى‬َ‫ه‬ْ‫ن‬َ‫ي‬َ‫و‬ِ‫ء‬
ِ‫ي‬ْ‫غ‬َ‫ب‬ْ‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ ِ‫َر‬‫ك‬ْ‫ن‬ُ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ = dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. (QS. An-Nahl : 90)
3. Haram (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
haram (lanjutan…) :
d. Kata (َ‫جر‬َ‫ز‬) /melarang, seperti : ‫قال‬ ِ‫بير‬ُّ‫الز‬ ‫أبي‬ ِ‫ث‬‫حدي‬:
‫ا‬ً‫جابر‬ ُ‫سألت‬(‫عبدهللا‬ َ‫ابن‬ ‫يعني‬)‫ق‬ ‫؟‬ ِ‫ور‬‫ا‬‫ن‬ِّ‫س‬‫وال‬ ِ‫ب‬‫الكل‬ ِ‫ن‬َ‫م‬َ‫ث‬ ‫عن‬َ‫ل‬‫ا‬:ُّ‫ي‬‫ب‬‫ا‬‫ن‬‫ال‬ َ‫جر‬َ‫ز‬-
‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬-َ‫ذلك‬ ‫عن‬ = Hadits Abu Zubair, ia
berkata : Saya bertanya kepada Jabir tentang
anjing dan kucing. Jabir berkata : Nabi saw
melarangnya”. (HR. Muslim)
e. Bentuk perintah mengakhiri atau berhenti ,
seperti : ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ل‬ ‫ا‬ً‫ر‬ْ‫ي‬َ‫خ‬ ‫وا‬ُ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ن‬‫ا‬ ٌ‫ة‬َ‫ث‬ َ‫َل‬َ‫ث‬ ‫وا‬ُ‫ل‬‫و‬ُ‫ق‬َ‫ت‬ َ‫َّل‬َ‫و‬ = janganlah
kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga",
berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik
bagimu. (QS. An-Nisa’:171)
f. Bentuk fi’il mudhari’ yang disertai la nahiyah ,
seperti : ‫ا‬َ‫ن‬ ِّ‫الز‬ ‫وا‬ُ‫ب‬َ‫ر‬ْ‫ق‬َ‫ت‬ َ‫َّل‬َ‫و‬ = Janganlah kalian
mendekati perzinaan. (QS. Al-Isra’ : 32)
3. Haram (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram
(lanjutan…) :
g. Kata (‫ينبغي‬ ‫/َّل‬tidak pantas,wajar), seperti sabda
Rasulullah saw tenang sutra : “َ‫قين‬‫ا‬‫ت‬‫للم‬ ‫هذا‬ ‫ينبغي‬ ‫”َّل‬ = “Ini
tidak pantas bagi orang-orang yang bertakwa”.
(Hadits Muttafaq ‘alaih)
h. Bentuk perintah meninggalkan dengan kata selain
kata (nahy), seperti : َ‫و‬ ِ‫ان‬َ‫ث‬ ْ‫و‬َ ْ‫اْل‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫س‬ْ‫ج‬ ِّ‫الر‬ ‫وا‬ُ‫ب‬ِ‫ن‬َ‫ت‬ْ‫اج‬َ‫ف‬َ‫ل‬ ْ‫و‬َ‫ق‬ ‫وا‬ُ‫ب‬ِ‫ن‬َ‫ت‬ْ‫اج‬
ِ‫ور‬ُّ‫الز‬ = maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang
najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.
(QS. Al- Hajj : 30); ً‫ذ‬َ‫أ‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ ْ‫ل‬ُ‫ق‬ ِ‫يض‬ ِ‫ح‬َ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫َن‬‫ع‬ َ‫ك‬َ‫ن‬‫و‬ُ‫ل‬َ‫أ‬ْ‫س‬َ‫ي‬َ‫و‬َ‫ء‬‫ا‬َ‫س‬ِّ‫ن‬‫ال‬ ‫وا‬ُ‫ل‬ ِ‫ز‬َ‫ت‬ْ‫ع‬‫ا‬َ‫ف‬ ‫ى‬
ِ‫يض‬ ِ‫ح‬َ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬ ‫ي‬ِ‫ف‬= Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid. (QS.al-Baqarah :222)
3. Haram (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram
(lanjutan…) :
i. Ancaman atau laknat jika melakukannya, baik ancaman
dunia, ataupun akhirat, seperti : ُ‫ع‬َ‫ط‬ْ‫اق‬َ‫ف‬ ُ‫ة‬َ‫ق‬ ِ‫ار‬‫ا‬‫س‬‫ال‬َ‫و‬ ُ‫ق‬ ِ‫ار‬‫ا‬‫س‬‫ال‬َ‫و‬‫ا‬َ‫م‬ُ‫ه‬َ‫ي‬ِ‫د‬ْ‫ي‬َ‫أ‬ ‫وا‬ =
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Maidah : 38)
j. Mensifati perbuatan dengan dosa, seperti hadits : ٍ‫أنس‬ ‫عن‬
‫قال‬ ُ‫ه‬‫عن‬ ‫هللا‬ ‫رضي‬:ُّ‫ي‬‫ب‬‫ا‬‫ن‬‫ال‬ ‫ئل‬ُ‫س‬-‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬-‫قال‬ ‫؟‬ ِ‫الكبائر‬ ‫عن‬(( :ُ‫الشراك‬،‫باهلل‬
ِ‫ور‬ُّ‫الز‬ ُ‫ة‬َ‫د‬‫وشها‬ ، ِ‫فس‬‫ا‬‫ن‬‫ال‬ ُ‫ل‬‫وقت‬ ،ِ‫الوالدين‬ ُ‫ق‬‫وعقو‬)) = Dari Anas ra, ia berkata :
Nabi saw ditanya tentang dosa besar, beliau menjawab : “
Menyekutukan Allah, membunuh jiwa, dan kesaksian
palsu”. (Hadits Muttafaq ‘alaih)
k. Mensifati perbuatan dengan pelanggaran, kezaliman,
kejahatan, kefasikan, dan semacamnya, seperti : ‫وا‬ُ‫ل‬َ‫ع‬ْ‫ف‬َ‫ت‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫و‬
ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ب‬ ٌ‫ق‬‫و‬ُ‫س‬ُ‫ف‬ ُ‫ه‬‫ا‬‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ = Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
(QS. Al-Baqarah : 282)
3. Haram (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram
(lanjutan…) :
l. Pelaku suatu perbuatan disamakan dengan binatang,
setan, orang-orang kafir, orang-orang yang merugi,
atau semacamnya, seperti : َ‫ان‬َ‫و‬ْ‫خ‬ِ‫إ‬ ‫وا‬ُ‫ن‬‫َا‬‫ك‬ َ‫ين‬ ِ‫ِر‬ّ‫ذ‬َ‫ب‬ُ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬‫ن‬ِ‫إ‬ِ‫ين‬ِ‫اط‬َ‫ي‬‫ا‬‫ش‬‫ال‬ =
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara setan. (QS. Al-Isra’ : 27)
m. Menamakan perbuatan dengan nama lain yang
diharamkan yang keharamannya sudah dimaklumi,
seperti mensifati perbuatan dengan perzinahan,
pencurian, kemusyrikan, atau yang lain. Di
antaranya sabda Rasulullah saw : “َ‫أشرك‬ ْ‫د‬َ‫ق‬‫ف‬ ‫هللا‬ ِ‫بغير‬ َ‫حلف‬ ْ‫من‬
“ “barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain
Allah, sungguh ia telah berbuat syirik”. (HR. Abu
Daud, Tirmidzi dan lainnya).
3. Haram (lanjutan…)
Pembagian Haram :
Dalam syari’at Islam pengharaman tidak diberikan kecuali
pada sesuatu yang kerusakannya bersifat murni atau
bersifat secara umum. Kerusakan pada yang diharamkan
terjadi pada dzat yang diharamkan itu sendiri, atau pada
sebabnya. Oleh karena itu haram terbagi kepada 2 bagian.
a. Muharram lidzatih atau haram karena dzatnya, seperti
syirik, zina, mencuri, memakan daging babi, dsb.
b. Muharram lighairih atau haram karena yang lain. Ini pada
dasarnya mubah atau legal karena tidak mengandung
kerusakan atau karena aspek kemaslahatannya kuat,
akan tetapi karena kondisi tertentu,ia menjadi haram
karena sebagai sebab timbulnya kerusakan. Maka dalam
keadaan itu, ia menjadi haram. Seperti berjual beli pada
dasarnya boleh dan disyari’atkan, tetapi kalau dilakukan
saat azan shalat jum’at sudah dikumandangkan, ia
menjadi haram.
4. Makruh
Pengertian Makruh :
ْ‫ت‬‫الح‬ ِ‫ه‬‫وج‬ ‫على‬ ‫َّل‬ ُ‫ه‬َ‫ك‬‫تر‬ ِ‫ف‬‫ا‬‫ل‬‫المك‬ ‫من‬ ُ‫ع‬‫اار‬‫ش‬‫ال‬ َ‫طلب‬ ‫ما‬،ِ‫واللزام‬ ِ‫م‬
ُ‫ه‬ُ‫ل‬‫فاع‬ ُ‫يعاقب‬ ‫وَّل‬ ،ً‫َّل‬‫امتثا‬ ‫ُه‬‫ك‬‫تار‬ ُ‫ويثاب‬
Yang dituntut Syari’ dari seorang
mukallaf untuk ditinggalkan tidak
dengan tegas dan kuat, jika
ditinggalkan karena ketaatan
mendapat pahala, dan tidak disiksa
jika dilakukan.
4. Makruh (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
makruh :
a. Kata (karaha =tidak suka/ benci). Seperti
sabda Rasulullah saw : ((َ‫عقوق‬ ‫ُم‬‫ك‬‫علي‬ ‫م‬‫ا‬‫حر‬ ‫هللا‬ ‫ا‬‫إن‬
‫وك‬ ،َ‫ل‬‫وقا‬ َ‫ل‬‫قي‬ ‫ُم‬‫ك‬‫ل‬ ‫ه‬ ِ‫وكر‬ ،ِ‫ت‬‫وها‬ َ‫ع‬‫ومن‬ ،ِ‫ت‬‫البنا‬ َ‫د‬‫وأو‬ ،ِ‫ت‬‫ها‬‫ا‬‫م‬‫اْل‬َ‫ة‬‫ثر‬
ِ‫ل‬‫الما‬ َ‫َة‬‫ع‬‫وإضا‬ ،ِ‫ل‬‫ؤا‬ُّ‫س‬‫ال‬)) = Sesungguhnya Allah
telah mengharmkan mendurhakai ibu,
mengubur anak wanita hidup-hidup, tidak
mau memberi, dan Allah membenci desas
desus, banyak bertanya, dan menyia-
nyiakan harta”. (Hadits Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits inidibedakan antara haram
dan makruh.
4. Makruh (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan makruh
(lanjutan…):
c. Bentuk larangan yang disertai dalil yang memalingkannya
dari haram, seperti hadits Abdullah bin Umar, ia berkata :
ِ‫وم‬ُّ‫ث‬‫ال‬ ِ‫ل‬‫أك‬ ‫عن‬ َ‫خيبر‬ َ‫م‬‫يو‬ ‫نهى‬ =Rasulullah saw melarang makan
bawang putih pada hari Perang Khaibar. Larangan ini
dalam arti makruh dengan dalil hadits Abu Ayyub al-
Anshari, ia berkata : Rasulullah saw apabila diberikan
makanan, beliau memakannya dan memberikan sisanya
kepada saya. Pada suatu hari beliau memberikan
makanan sisa yang belum beliau makan, karena ada
bawang putih pada makanan itu. Lalu saya bertanya
kepadanya : Apakah itu haram?. Beliau bersabda : “Tidak,
akan tetapi saya tidak menyukainya karena baunya”. Abu
Ayyub berkata : Kalau begitu saya tidak menyukai apa
yang engkau tidak sukai. (HR. Muslim)
d. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi saw dengan maksud
penentuan hokum, bukan karena tabiat kemanusiaan.
5. Mubah
Pengertiannya :
ُ‫ق‬‫يلح‬ ‫وَّل‬ ،ِ‫ه‬‫وترك‬ ِ‫ه‬‫فعل‬ ‫بين‬ ‫ف‬‫ا‬‫ل‬‫المك‬ ُ‫ع‬‫اار‬‫ش‬‫ال‬ ‫ر‬‫ا‬‫ي‬‫خ‬ ‫ما‬ٌ‫ح‬‫مد‬ ُ‫ه‬
ِ‫ه‬ِ‫ك‬‫تر‬ ‫أو‬ ِ‫ه‬‫بفعل‬ ٌّ‫م‬‫ذ‬ ‫وَّل‬ ٌّ‫ي‬‫شرع‬ .
Pemberian kebebasan memilih dari
Syari’kepada mukallaf untuk
melakukan atau meninggalkan
sesuatu, tidak ada pujian dan celaan
syar’I dalam melakukan atau
meninggalkannya.
5. Mubah (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
mubah
a. Adanya kata halal secara jelas, seperti : َ‫م‬ ْ‫و‬َ‫ي‬ْ‫ل‬‫ا‬
َ‫ت‬ِ‫ك‬ْ‫ل‬‫ا‬ ‫وا‬ُ‫ت‬‫و‬ُ‫أ‬ َ‫ين‬ِ‫ذ‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬ ُ‫م‬‫ا‬َ‫ع‬َ‫ط‬َ‫و‬ ُ‫ات‬َ‫ب‬ِّ‫ي‬‫ا‬‫ط‬‫ال‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ل‬ ‫ا‬‫ل‬ ِ‫ح‬ُ‫أ‬ْ‫م‬ُ‫ه‬َ‫ل‬ ٌّ‫ل‬ ِ‫ح‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ُ‫م‬‫ا‬َ‫ع‬َ‫ط‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ل‬ ٌّ‫ل‬ ِ‫ح‬ َ‫اب‬ =
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-
baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal pula bagi mereka. (QS. Al-Maidah
: 5)
b. Meniadakan dosa dalam melakukannya,
seperti : ْ‫ث‬ِ‫إ‬ َ‫َل‬َ‫ف‬ ٍ‫د‬‫َا‬‫ع‬ َ‫َّل‬َ‫و‬ ٍ‫اغ‬َ‫ب‬ َ‫ر‬ْ‫ي‬َ‫غ‬ ‫ا‬‫ر‬ُ‫ط‬ْ‫ض‬‫ا‬ ِ‫ن‬َ‫م‬َ‫ف‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫م‬ = Tetapi
barang siapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS. Al-
Maidah : 173)
5. Mubah (lanjutan…)
Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan
mubah (lanjutan…)
c. Bentuk perintah setelah larangan, seperti :
ِ‫ض‬ْ‫ر‬َ ْ‫اْل‬ ‫ي‬ِ‫ف‬ ‫وا‬ُ‫ر‬ِ‫ش‬َ‫ت‬ْ‫ن‬‫ا‬َ‫ف‬ ُ‫ة‬ َ‫َل‬‫ا‬‫ص‬‫ال‬ ِ‫ت‬َ‫ي‬ ِ‫ض‬ُ‫ق‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ِ ‫ا‬‫اَّلل‬ ِ‫ل‬ْ‫ض‬َ‫ف‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫وا‬ُ‫غ‬َ‫ت‬ْ‫ب‬‫ا‬َ‫و‬ =
Apabila telah ditunaikan sembahyang,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah. (QS. Al-Jumu’ah
: 10). Ini perintah setelah adanya larangan
pada ayat sebelumnya.
d. Mubah sebagai hokum asal sebagaimana
dikatakan bahwa dasar pada sesuatu itu
adalah boleh. Segala sesuatu itu mubah
selama tidak ada dalil yang memindahkan
kemubahan itu pada hukum lain.
B. HUKUM WADH’I
Definisi Hukum Wadh’i
‫ما‬‫منه‬ ‫مانعا‬ ‫أو‬ ، ‫له‬ ‫شرطا‬ ‫أو‬ ،‫لشيء‬ ‫سببا‬ ‫شيء‬ ‫وضع‬ ‫اقتضى‬
Ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’
(sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Contoh sesuatu menjadi sebab adanya
hukum taklifi :
‫ف‬ ِ‫ة‬‫َل‬‫ا‬‫ص‬‫ال‬ ‫ى‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫م‬ُ‫ق‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ن‬َ‫م‬‫آ‬ َ‫ِين‬‫ذ‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ه‬ُّ‫ي‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫ي‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ي‬ِ‫د‬ْ‫ي‬َ‫أ‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ه‬‫و‬ُ‫ج‬ُ‫و‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ل‬ِ‫س‬ْ‫غ‬‫ا‬‫ى‬
ِ‫ق‬ِ‫ف‬‫ا‬َ‫ر‬َ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan salat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki. (QS. Al-Maidah : 6)
Definisi Hukum Wadh’I (lanjutan…)
Contoh sesuatu menjadi syarat
adanya hukum taklifi :
َ‫ط‬َ‫ت‬ْ‫س‬‫ا‬ ِ‫ن‬َ‫م‬ ِ‫ت‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُّ‫ج‬ ِ‫ح‬ ِ‫اس‬‫ا‬‫ن‬‫ال‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ِ ّ ِ‫َّلل‬َ‫و‬ً‫َل‬‫ي‬ِ‫ب‬َ‫س‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ َ‫ع‬‫ا‬
mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran
: 97)
Contoh sesuatu yang menjadi
mani’ (penghalang) hukum taklifi :
ُ‫ل‬ِ‫ت‬‫ا‬َ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُ‫ث‬ ِ‫ر‬َ‫ي‬ َ‫َّل‬
Yang membunuh tidak mendapat
warisan “. (HR. Ahmad)
Definisi Hukum Wadh’I (lanjutan…)
Dinamakan hukum wadh’i, karena yang menentukan
atau menetapkan hukum itu adalah Syari’ (Pembuat
hukum/Allah). Umpamanya, Allah-lah yang
menentukan bahwa hendak melakukan shalat sebagai
sebab wajibnya berwudhu, istitha’ah
(kemampuan)sebagai syarat bagi wajib melaksanakan
ibadah haji, pembunuhan pewaris terhadapahli
warisnya sebagai penghalang mendapatkan warisan,
tanpa berhubungan dengan permintaan dari mukallaf.
Dari penjelasan ini dapat dibedakan antara hukum
taklifi dengan hukum wadh’i, yaitu bahwa hukum
taklifi didasarkan pada kemampuan mukallaf,
sedangkan hukum wadh’i tidak didasarkan pada
kemampuan atau tidak mampunya mukallaf. Ada atau
tidak adanya sesuatu didasarkan pada ketentuan
syari’at.
Pembagian Hukum Wadh’i
1. Sebab
2. Syarat
3. Mani’
4. Sah dan Batal
5. ‘Azimah dan Rukhshah
1. Sebab
Pengertian Sebab
Secara bahasa berarti :
ِ‫ه‬ ِ‫غير‬ ‫إلى‬ ِ‫ه‬‫ب‬ ُ‫ل‬‫توص‬ُ‫ي‬ ٍ‫شيء‬ ُّ‫ل‬ُ‫ك‬
Sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang
kepada sesuatu yg lain.
Secara istilah, sebab yaitu :
‫وع‬ ،ِ‫كم‬ُ‫ح‬‫ال‬ ِ‫د‬‫وجو‬ ‫على‬ ً‫عَلمة‬ ُ‫ه‬َ‫د‬‫وجو‬ ُ‫ع‬‫ار‬‫ش‬‫ال‬ َ‫ل‬‫جع‬ ‫ذي‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬ ُ‫اْلمر‬‫على‬ ً‫عَلمة‬ ُ‫ه‬َ‫م‬َ‫د‬
ِ‫كم‬ُ‫ح‬‫ال‬ ِ‫َم‬‫د‬‫ع‬
Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai
tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya
sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
1. Sebab (lanjutan…)
Pembagian Sebab
a. Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf,
dan berada di luar kemampuannya. Namun, sebab
itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi,
karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan
bagi adanya suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh mukallaf. Misal, tergelincir
matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya
waktu shalat dhuhur, masuknya awal bulan
ramadhan menjadi sebab bagi kewajiban puasa
ramadhan.
b. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan
dalam batasan kemampuannya. Misal: perjalanan
(safar) menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa
di siang ramadhan, akad jual beli menjadi sebab
bagi perpindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli.
2. Syarat
Pengertian Syarat
Secara bahasa berarti : ُ‫ة‬َ‫م‬‫العَل‬ / tanda.
Secara istilah, syarat yaitu :
‫ذل‬ ِ‫ت‬‫ذا‬ ‫من‬ ‫ا‬ً‫ء‬ْ‫جز‬ َ‫هو‬ َ‫وليس‬ ،ِ‫ه‬ِ‫د‬‫وجو‬ ‫على‬ ِ‫ايء‬‫ش‬‫ال‬ ُ‫د‬‫وجو‬ َ‫ف‬‫ا‬‫ق‬‫ماتو‬،ِ‫ايء‬‫ش‬‫ال‬ َ‫ك‬
ِ‫ه‬‫في‬ ‫ا‬ً‫ط‬ْ‫شر‬ َ‫كان‬ ‫ما‬ ُ‫د‬‫جو‬ُ‫و‬ ِ‫ه‬ِ‫د‬‫جو‬ ‫من‬ ُ‫م‬‫يلز‬ ‫َّل‬ ‫كما‬ ،ُ‫ه‬‫عن‬ ٌ‫ج‬‫خار‬ َ‫هو‬ ْ‫ل‬‫ب‬
Sesuatu yang tergantung kepadanya ada
sesuatu yang lain, ia bukan bagian dari sesuatu
yang lain itu, tetapi berada di luar hakikat
sesuatu itu, sebagaimana adanya sesuatu itu
tidak menuntut adanya sesuatu yang lain yang
mengsyaratkannya.
Contoh : wudhu merupakan syarat bagi
sahnya shalat, sahnya shalat tergantung
adanya wudhu, tetapi wudhu itu bukan
merupakan bagian dari shalat, dan juga adanya
wudhu tidak mesti adanya shalat.
2. Syarat (lanjutan…)
Pembagian Syarat
a. Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang
langsung dari syari’at itu sendiri. contoh ,
adanya haul (cukup satu tahun) bagi harta
yang sudah mencapai nishab merupakan
syarat bagi wajibnya zakat.
b. Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang
dari kemauan orang mukallaf itu sendiri
dalam tindakan dan mu’amalah, bukan
dalam masalah ibadah. Contoh : syarat-
syarat yang ditentukan orang-orang yang
melakukan berbagai transaksi.
3. Mani’
Pengertian Mani’
Secara bahasa berarti penghalang
dari sesuatu.
Secara istilah, mani’ adalah :
َ‫م‬َ‫د‬‫الع‬ ِ‫ه‬ِ‫د‬‫وجو‬ ‫على‬ ُ‫ع‬‫ار‬‫ش‬‫ال‬ ‫ب‬‫ا‬‫ت‬‫ر‬ ‫ما‬
ْSesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi adanya
hukum, atau penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab.
3. Mani’ (lanjutan...)
Pembagian Mani’
a. Māni’ lil-Hukm, yaitu : sesuatu yang
ditetapkan syariat sebagai penghalang
bagi adanya hukum. Misal: haid wanita
sebagai penghalang shalat.
b. Māni’ lis-Sabab, yaitu sesuatu yang
ditetapkan syariat sebagai penghalang
bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga
sebab itu tidak lagi mempunyai akibat
hukum. Contoh : adanya hutang
merupakan penghalang bagi wajibnya
zakat harta sekalipun sudah mencapai
nishab dan haul.
4. Sah dan Batal
Pengertian Sah dan Batal :
Sah/Shihhah/Shah : maksudnya perbuatan
hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’,
yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada
m ā ni’. Sah dapat diartikan lepas tanggung
jawab atau gugur kewajiban di dunia serta
memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat.
Misal: mengerjakan shalat dhuhur setelah
tergelincir matahari (sebab), didahului dengan
wudhu’ (syarat), dan tidak ada halangan haid
bagi pelakunya (m ā ni’). Shalat yang dilakukan
itu hukumnya sah. Tapi jika sebab tidak ada,
syarat tidak terpenuhi, maka shalatnya
dikatakan tidak sah, walaupun m ā ni’-nya
tidak ada.
4. Sah dan Batal (lanjutan...)
Pengertian Sah dan Batal :
Batal/Buthlan/Bathil : yaitu
terlepasnya hukum syara’ dari
ketentuan yang ditetapkan dan tidak
ada akibat hukum yang
ditimbulkannya. Batal juga dapat
diartikan tidak melepaskan tanggung
jawab, tidak menggugurkan kewajiban
di dunia, dan di akhirat tidak
memperoleh pahala.
4. Sah dan Batal (lanjutan...)
Perbedaan para ulama tentang
penggunaan istilah sah dan batal
dalam masalah muamalah :
Menurut Jumhur ulama, tidak ada
perbedaan dalam ibadah dan
muamalah, dalam keduanya berlaku
“sah atau batal”.
Sebagian ulama mazhab Hanafi :
– Dalam maslah ibadah sependapat
dengan jumhur ulama, yaitu hanya ada
“sah atau batal”.
4. Sah dan Batal (lanjutan...)
– Dalam masalah muamalah, yaitu dalam
masalah ‘uqud, perjanjian yang tidak sah
terbagi dua: batal dan fasid (rusak). Bila
cacat terdapat dalam rukun & syarat, maka
akad menjadi batal, ia tidak mengakibatkan
timbulnya hukum karena tidak ada sebab.
Sedang jika cacat itu ada dalam suatu syarat
dari beberapa syarat yang berhubungan
dengan hukum maka akad itu menjadi fasid,
tapi tidak batal, dan berakibat timbulnya
sebagian pengaruh hukum. Misal: akad nikah
dengan wanita muhrimat adalah batal. Tapi
pernikahan yang tidak dihadiri dua orang saksi
disebut fasid, pengaruhnya suami wajib bayar
mahar, isteri tetap menjalankan masa ‘iddah,
anak masih dapat dihubungkan dengan
suaminya.
5. ‘Azimah dan Rukhshah
Pengertian ‘Azimah :
Secara bahasa : ‘azaimah berarti kemauan
yang kuat.
Menurut istilah adalah :
ِ‫بالعوارض‬ ٍ‫ق‬ِّ‫ل‬‫متع‬ ُ‫غير‬ ِ‫ت‬‫المشروعا‬ ‫في‬ ُ‫ل‬‫اْلص‬ َ‫هو‬ ‫لما‬ ٌ‫م‬‫اس‬
Suatu ungkapan tentang hukum-hukum yang
disyari’atkan Allah sejak semula, tidak
berkaitan dengan suatu peristiwa baru. Contoh
: Hukum shalat Dhuhur 4 raka’at adalah hukum
asal, itu disebut ‘azimah. Hukum makan
bangkai adalah haram adalah hukum asal, itu
adalah ‘azimah.
5. ‘Azimah dan Rukhshah
(lanjutan...)
Pengertian Rukhshah :
Menurut bahasa: rukhshah berarti mudah
dan gampang.
Menurut istilah rukhshah berarti :
‫ب‬ ِ‫ه‬‫أصل‬ ‫عن‬ ِ‫ه‬ِ‫ف‬‫وص‬ ‫في‬ ‫ا‬ً‫ج‬‫خار‬ ِ‫بالعوارض‬ ‫ا‬ً‫ق‬ِّ‫ل‬‫متع‬ َ‫ع‬‫ُر‬‫ش‬ ‫ما‬ِ‫ل‬ ٌ‫م‬‫اس‬ِ‫ر‬ْ‫ذ‬ُ‫ع‬‫ال‬
Suatu nama bagi hukum yang disyari’atkan
karena adanya peristiwa baru yang keluar dari
hukum asal karena ada udzur. Contoh :
menjama’ dua shalat karena ada udzur safar
(perjalanan) dan hujan; menqashar shalat bagi
musafir; boleh makan bangkai bagi orang yang
dalam keadaan darurat. Hukum-hukum ini
keluar dari hukum asal, dan yang
mempengaruhinya adalah karena ada udzur.
5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...)
Faktor Penyebab adanya Rukhshah
1. Lemah fisik. Seperti : tidak adanya kewajiban atas
anak kecil dan orang gila, gugurnya kewajiban shalat
jum’at bagi wanita.
2. Sakit. Seperti boleh berbuka puasa bagi orang yang
sakit.
3. Perjalanan. Seperti boleh menqashar shalat yang
empat rakaat.
4. Lupa. Seperti sah puasa orang yang makan dan
minum karena lupa.
5. Jahl/bodoh/tidak tahu. Seperti gugurnya siksaan
orang yang tidak bisa dalam belajar jika terjadi
karena tidak melalaikan.
6. Keadaan terpaksa. Seperti boleh makan bangkai
bagi orang yang kelaparan dan takut mati kalau
tidak makan.
7. Bencana yang bersifat umum, yaitu dalam keadaan
yang sulit melepaskan darinya.
5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...)
Macam-macam Rukhshah
1. Boleh melakukan yang haram karena
keadaan darurat. Seperti boleh makan
daging babi karena darurat.
2. Boleh meninggalkan yang wajib.
Seperti tidak berdiri dalam shalat bagi
orang yang tidak mampu.
3. Membenarkan sebagian akad yang
kurang persyaratan umumnya untuk
menghilangkan kesulitan dan
memudahkan manusia. Seperti akad
salam dan jasa kerja.
5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...)
Derajat Mengambil Rukhshah
1. Boleh memilih antarmengambil rukhshah atau
meninggalkannya. Seperti boleh berbuka
puasa bagi musafir atau tetap berpuasa.
2. Lebih utama mengambil rukhshah. Seperti
menqashar shalat bagi musafir, karena
Rasulullah saw selalu mengqashar shalat
dalam safar.
3. Lebih utama meninggalkan rukhshah. Seperti
sabar menanggung penderitaan ketika dipaksa
mengatakan kata kekufuran.
4. Wajib mengambil rukhshah. Seperti wajib
makan bangkai bagi orang yang dalam
keadaan darurat agar tidak mati.
Ada’, I’adah, Qadha’
Tiga istilah syari’at yang berhubungan
dengan hukum wadh’i dilihat dari sisi waktu
pelaksanaan ibadah :
1. Ada’, yaitu melakukan suatu ibadah pada
waktu yang ditentukan menurut syari’at.
2. I’adah (pengulangan), yaitu melakukan suatu
ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh
syari’at untuk kedua kalinya karena ada
semacam kerusakan atau kekurangan dalam
menunaikannya.
3. Qadha’, yaitu melakukan suatu ibadah setelah
keluar dari waktu yang telah ditentukan oleh
syari’at, baik karena kerusakan dalam
menunaikan atau karena meninggalkannya
secara keseluruhan, karena adanya suatu
udzur atau tanpa udzur.
Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...)
Catatan :
Bahwa qadha tidak ada dalil yang
memerintahkan qadha kecuali dalam
melakukan ibadah setelah keluar
waktunya disebabkan adanya udzur
seperti tidak shalat disebabkan
ketiduran, atau puasa bagi wanita
haidh dan nifas. Adapun keluarnya
waktu tanpa udzur, tidak ada dalil yang
memerintahkan qadha. Ini berbeda
dengan pendapat kebanyakan ulama
fiqh.
Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...)
Ini diperkuat oleh masalah yang dilontarkan
oleh para ulama ushul fiqh, apakah qadha itu
berdasarkan perintah pertama, atau
membutuhkan perintah baru?
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa qadha
membutuhkan perintah baru. Inilah pendapat
yang benar, karena ibadah yang berkaitan
dengan waktu, dimaksudkan oleh Syari’
dilaksanakan pada waktu yang telah
ditentukan. Jika seorang mukallaf
mengabaikannya lalu melaksanakannya di luar
waktunya tanpa udzur, berarti ia tidak
melakukannya sesuai perintah. Padahal nabi
saw telah bersabda : “Barangsiapa yang
melakukan suatu amal tidak berdasarkan
perintah kami, maka amal itu ditolak”. (HR.
Muslim).
Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...)
Ini berbeda dengan orang yang punya udzur.
Bisa jadi syari’at menggugurkan kewajibannya
dan tidak memerintahkannya seperti menqadha
shalat bagi wanita haidh. Atau karena ada
perintah baru, seperti perintah mengqadha
shalat bagi orang yang tidur dan lupa, perintah
mengqadha puasa bagi wanita haidh dan nifas
dan bagi musafir, menggantikan haji bagi
orang yang tidak mampu melaksanakan haji di
masa hidupnya.
Dari permasalahan ini timbul masalah baru,
yaitu mengqadha shalat, puasa dan
semacamnya bagi orang yang
meninggalkannnya pada waktunya dengan
sengaja. Ini baginya tidak ada rukhshah untuk
mengqadhanya, tetapi caranya dengan taubat
dan banyak melakukan ibadah sunnah.
Semoga dapat dipahami!
‫إال‬ ‫الاله‬ ‫أن‬ ‫أشهد‬ ‫وبحمدك‬ ‫اللهم‬ ‫سبحانك‬
‫إليك‬ ‫واتوب‬ ‫استغفرك‬ ‫انت‬
‫والسالم‬‫وبركاته‬ ‫هللا‬ ‫حمة‬‫ر‬‫و‬ ‫عليكم‬
‫هللا‬ ‫في‬ ‫أخوكم‬:
‫الدين‬ ‫شفيع‬ ‫أسنين‬
082110609056
asnin_syafiuddin@yahoo.co.id
http://abufathirabbani.blogspot.com

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Kaedah pengambilan hukum a1
Kaedah pengambilan hukum a1Kaedah pengambilan hukum a1
Kaedah pengambilan hukum a1Kamarudin Jaafar
 
Menyambut Ramadhan Dengan Ketakwaan Hakiki
Menyambut Ramadhan Dengan Ketakwaan HakikiMenyambut Ramadhan Dengan Ketakwaan Hakiki
Menyambut Ramadhan Dengan Ketakwaan HakikiAnas Wibowo
 
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)Marhamah Saleh
 
istihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalahistihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalahMarhamah Saleh
 
Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ibnu Ahmad
 
06.3 RINGKASAN HUKUM RIBA, QARD, & DAIN
06.3 RINGKASAN HUKUM RIBA, QARD, & DAIN06.3 RINGKASAN HUKUM RIBA, QARD, & DAIN
06.3 RINGKASAN HUKUM RIBA, QARD, & DAINfissilmikaffah1
 
02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukum02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukumasnin_syafiuddin
 
Ulumul hadits
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul haditsMoh Yakub
 
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaihTerminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaihMarhamah Saleh
 
Fiqih Zakat Fitrah Dan Zakat Uang
Fiqih Zakat Fitrah Dan Zakat UangFiqih Zakat Fitrah Dan Zakat Uang
Fiqih Zakat Fitrah Dan Zakat UangMaulanaFirdaus19
 

Was ist angesagt? (20)

Mutlaq Muqayyad
Mutlaq MuqayyadMutlaq Muqayyad
Mutlaq Muqayyad
 
MAhkum Fih dan Mahkum Alaih
MAhkum Fih dan Mahkum AlaihMAhkum Fih dan Mahkum Alaih
MAhkum Fih dan Mahkum Alaih
 
Kaedah pengambilan hukum a1
Kaedah pengambilan hukum a1Kaedah pengambilan hukum a1
Kaedah pengambilan hukum a1
 
Menyambut Ramadhan Dengan Ketakwaan Hakiki
Menyambut Ramadhan Dengan Ketakwaan HakikiMenyambut Ramadhan Dengan Ketakwaan Hakiki
Menyambut Ramadhan Dengan Ketakwaan Hakiki
 
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
Presentasi Ushul Fiqh (Hukum Taklifi & Wadh'i)
 
al-quran; sumber ajaran islam
al-quran; sumber ajaran islamal-quran; sumber ajaran islam
al-quran; sumber ajaran islam
 
istihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalahistihsan, istishhab, mashlahah mursalah
istihsan, istishhab, mashlahah mursalah
 
Materi haji dan umrah
Materi haji dan umrahMateri haji dan umrah
Materi haji dan umrah
 
Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)
 
Ushul Fiqh
Ushul FiqhUshul Fiqh
Ushul Fiqh
 
Fiqh zakat
Fiqh zakatFiqh zakat
Fiqh zakat
 
naskh wa mansukh
naskh wa mansukhnaskh wa mansukh
naskh wa mansukh
 
Tafsir maudhui pengantar
Tafsir maudhui pengantarTafsir maudhui pengantar
Tafsir maudhui pengantar
 
Hijab syar'iku
Hijab syar'ikuHijab syar'iku
Hijab syar'iku
 
Dakwah 4 Better Life
Dakwah 4 Better LifeDakwah 4 Better Life
Dakwah 4 Better Life
 
06.3 RINGKASAN HUKUM RIBA, QARD, & DAIN
06.3 RINGKASAN HUKUM RIBA, QARD, & DAIN06.3 RINGKASAN HUKUM RIBA, QARD, & DAIN
06.3 RINGKASAN HUKUM RIBA, QARD, & DAIN
 
02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukum02. pengertian dan pembagian hukum
02. pengertian dan pembagian hukum
 
Ulumul hadits
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul hadits
 
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaihTerminologi  hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
Terminologi hakim, mahkum fih, mahkum 'alaih
 
Fiqih Zakat Fitrah Dan Zakat Uang
Fiqih Zakat Fitrah Dan Zakat UangFiqih Zakat Fitrah Dan Zakat Uang
Fiqih Zakat Fitrah Dan Zakat Uang
 

Andere mochten auch

Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.jimoh370
 
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumpengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumRifa Ramadhani
 
20. keterikatan terhadap hukum syara'
20. keterikatan terhadap hukum syara'20. keterikatan terhadap hukum syara'
20. keterikatan terhadap hukum syara'Ahmad Harmoko
 
Aqidah & Proses Beriman
Aqidah & Proses BerimanAqidah & Proses Beriman
Aqidah & Proses BerimanNur Rohim
 
PAI - SUMBER HUKUM ISLAM
PAI - SUMBER HUKUM ISLAMPAI - SUMBER HUKUM ISLAM
PAI - SUMBER HUKUM ISLAMSarah Nadhila
 
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’isumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’iOppi Ulandari
 
Keterikatan terhadap hukum syara’
Keterikatan terhadap hukum syara’Keterikatan terhadap hukum syara’
Keterikatan terhadap hukum syara’Nur Rohim
 
Bab 5 hukum islam
Bab 5 hukum islamBab 5 hukum islam
Bab 5 hukum islamIsmail Zain
 
Protah fiqih MA kelas XII, 1-2
Protah fiqih  MA kelas XII, 1-2Protah fiqih  MA kelas XII, 1-2
Protah fiqih MA kelas XII, 1-2Muhammad Idris
 

Andere mochten auch (20)

IJTIHAD
IJTIHADIJTIHAD
IJTIHAD
 
Power poin Fiqih
Power poin FiqihPower poin Fiqih
Power poin Fiqih
 
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
Usul fiqh, hukum taklifi & hukum wadh'ie.
 
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumpengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
 
NEGERI SERBA PALSU
NEGERI SERBA PALSUNEGERI SERBA PALSU
NEGERI SERBA PALSU
 
20. keterikatan terhadap hukum syara'
20. keterikatan terhadap hukum syara'20. keterikatan terhadap hukum syara'
20. keterikatan terhadap hukum syara'
 
Keterikatan hukum syara
Keterikatan hukum syaraKeterikatan hukum syara
Keterikatan hukum syara
 
Aqidah & Proses Beriman
Aqidah & Proses BerimanAqidah & Proses Beriman
Aqidah & Proses Beriman
 
Dalil dalil syara'
Dalil dalil syara'Dalil dalil syara'
Dalil dalil syara'
 
PAI - SUMBER HUKUM ISLAM
PAI - SUMBER HUKUM ISLAMPAI - SUMBER HUKUM ISLAM
PAI - SUMBER HUKUM ISLAM
 
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’isumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
sumber-sumber hukum islam, hukum Takfili, dan Hukum Wad’i
 
Keterikatan terhadap hukum syara’
Keterikatan terhadap hukum syara’Keterikatan terhadap hukum syara’
Keterikatan terhadap hukum syara’
 
BAHAYA MENGGUNAKAN HARTA HARAM
BAHAYA MENGGUNAKAN HARTA HARAMBAHAYA MENGGUNAKAN HARTA HARAM
BAHAYA MENGGUNAKAN HARTA HARAM
 
Taubatnya Seorang Ahli Maksiat
Taubatnya Seorang Ahli MaksiatTaubatnya Seorang Ahli Maksiat
Taubatnya Seorang Ahli Maksiat
 
Silabus ushul fiqih
Silabus ushul fiqihSilabus ushul fiqih
Silabus ushul fiqih
 
Bab 5 hukum islam
Bab 5 hukum islamBab 5 hukum islam
Bab 5 hukum islam
 
Kepribadian islam
Kepribadian islamKepribadian islam
Kepribadian islam
 
Empat Sikap Terhadap Syariat
Empat Sikap Terhadap Syariat Empat Sikap Terhadap Syariat
Empat Sikap Terhadap Syariat
 
Protah fiqih MA kelas XII, 1-2
Protah fiqih  MA kelas XII, 1-2Protah fiqih  MA kelas XII, 1-2
Protah fiqih MA kelas XII, 1-2
 
Ushul fiqh hukum taklifi
Ushul fiqh hukum taklifiUshul fiqh hukum taklifi
Ushul fiqh hukum taklifi
 

Ähnlich wie HUKUM SYAR'I

Presentation hadits istiqamah
Presentation hadits istiqamahPresentation hadits istiqamah
Presentation hadits istiqamahsitibanjar25
 
sumber-hukum-islamfani.ppt
sumber-hukum-islamfani.pptsumber-hukum-islamfani.ppt
sumber-hukum-islamfani.pptaziz251418
 
03 hukum syariat
03 hukum syariat03 hukum syariat
03 hukum syariatdodorokanda
 
Ushul Fiqh II Lafadz dari Segi Taklif
Ushul Fiqh II Lafadz dari Segi TaklifUshul Fiqh II Lafadz dari Segi Taklif
Ushul Fiqh II Lafadz dari Segi TaklifAuroraEsef
 
PowerPoint Al qur'an Hadits kelas XI.pdf
PowerPoint  Al qur'an Hadits kelas XI.pdfPowerPoint  Al qur'an Hadits kelas XI.pdf
PowerPoint Al qur'an Hadits kelas XI.pdfunforgottenbitty05
 
fikih ibadah dan prinsip ibadah 1.docx
fikih ibadah dan prinsip ibadah 1.docxfikih ibadah dan prinsip ibadah 1.docx
fikih ibadah dan prinsip ibadah 1.docxRyanbaron6
 
Hukum dalam islam
Hukum dalam islamHukum dalam islam
Hukum dalam islamAhmad Rudi
 
Jilid 1 (Revisi 2013) - 10 Dosa Besar - Tausiyah Ustad Yusuf Mansur
Jilid 1 (Revisi 2013) - 10 Dosa Besar - Tausiyah Ustad Yusuf Mansur Jilid 1 (Revisi 2013) - 10 Dosa Besar - Tausiyah Ustad Yusuf Mansur
Jilid 1 (Revisi 2013) - 10 Dosa Besar - Tausiyah Ustad Yusuf Mansur 10 Dosa Besar
 
Tugas Hadis (Ghalib Ilham R).pptx
Tugas Hadis (Ghalib Ilham R).pptxTugas Hadis (Ghalib Ilham R).pptx
Tugas Hadis (Ghalib Ilham R).pptxAlex21233
 
Presentation1.pptx
Presentation1.pptxPresentation1.pptx
Presentation1.pptxRijal61
 
Hukum di indonesia menurut agama islam / law in indonesia, according to islam
Hukum di indonesia menurut agama islam / law in indonesia, according to islamHukum di indonesia menurut agama islam / law in indonesia, according to islam
Hukum di indonesia menurut agama islam / law in indonesia, according to islamPak Udin
 
Agama taklifi
Agama taklifiAgama taklifi
Agama taklififarezzz
 
Materi IBC 23 Metode Penarikan Hukum Syariat
Materi IBC 23 Metode Penarikan Hukum SyariatMateri IBC 23 Metode Penarikan Hukum Syariat
Materi IBC 23 Metode Penarikan Hukum SyariatUmi Sa'adah
 

Ähnlich wie HUKUM SYAR'I (20)

bab Nahi
bab Nahibab Nahi
bab Nahi
 
Al ushul
Al ushulAl ushul
Al ushul
 
Presentation hadits istiqamah
Presentation hadits istiqamahPresentation hadits istiqamah
Presentation hadits istiqamah
 
sumber-hukum-islamfani.ppt
sumber-hukum-islamfani.pptsumber-hukum-islamfani.ppt
sumber-hukum-islamfani.ppt
 
Aqidah kls 8
Aqidah kls 8Aqidah kls 8
Aqidah kls 8
 
Ilmu nasikh dan mansukh
Ilmu nasikh dan mansukhIlmu nasikh dan mansukh
Ilmu nasikh dan mansukh
 
Al qur'an
Al qur'anAl qur'an
Al qur'an
 
03 hukum syariat
03 hukum syariat03 hukum syariat
03 hukum syariat
 
Ushul Fiqh II Lafadz dari Segi Taklif
Ushul Fiqh II Lafadz dari Segi TaklifUshul Fiqh II Lafadz dari Segi Taklif
Ushul Fiqh II Lafadz dari Segi Taklif
 
PowerPoint Al qur'an Hadits kelas XI.pdf
PowerPoint  Al qur'an Hadits kelas XI.pdfPowerPoint  Al qur'an Hadits kelas XI.pdf
PowerPoint Al qur'an Hadits kelas XI.pdf
 
fikih ibadah dan prinsip ibadah 1.docx
fikih ibadah dan prinsip ibadah 1.docxfikih ibadah dan prinsip ibadah 1.docx
fikih ibadah dan prinsip ibadah 1.docx
 
Hukum dalam islam
Hukum dalam islamHukum dalam islam
Hukum dalam islam
 
Jilid 1 (Revisi 2013) - 10 Dosa Besar - Tausiyah Ustad Yusuf Mansur
Jilid 1 (Revisi 2013) - 10 Dosa Besar - Tausiyah Ustad Yusuf Mansur Jilid 1 (Revisi 2013) - 10 Dosa Besar - Tausiyah Ustad Yusuf Mansur
Jilid 1 (Revisi 2013) - 10 Dosa Besar - Tausiyah Ustad Yusuf Mansur
 
Tugas Hadis (Ghalib Ilham R).pptx
Tugas Hadis (Ghalib Ilham R).pptxTugas Hadis (Ghalib Ilham R).pptx
Tugas Hadis (Ghalib Ilham R).pptx
 
Presentation1.pptx
Presentation1.pptxPresentation1.pptx
Presentation1.pptx
 
Hukum di indonesia menurut agama islam / law in indonesia, according to islam
Hukum di indonesia menurut agama islam / law in indonesia, according to islamHukum di indonesia menurut agama islam / law in indonesia, according to islam
Hukum di indonesia menurut agama islam / law in indonesia, according to islam
 
Agama taklifi
Agama taklifiAgama taklifi
Agama taklifi
 
Bab 5
Bab 5Bab 5
Bab 5
 
Bab 5
Bab 5Bab 5
Bab 5
 
Materi IBC 23 Metode Penarikan Hukum Syariat
Materi IBC 23 Metode Penarikan Hukum SyariatMateri IBC 23 Metode Penarikan Hukum Syariat
Materi IBC 23 Metode Penarikan Hukum Syariat
 

Kürzlich hochgeladen

Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Adam Hiola
 
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...RobertusLolok1
 
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptxMateri akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptxWahyuSolehudin1
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4Adam Hiola
 
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptxSosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptxMarto Marbun
 
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHANKHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHANGilbertFibriyantAdan
 

Kürzlich hochgeladen (6)

Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
 
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...
MATERI PPT NILAI-NILAI KRISTIANI.hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...
 
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptxMateri akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
Materi akhlak jamaah haji dan Budaya Arab.pptx
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 4
 
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptxSosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
Sosok Ester Yang Bijaksana di Tengah Pergumulan.pptx
 
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHANKHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
KHOTBAH MINGGU 7 APRIL MENGEMBANGKAN KARUNIA TUHAN
 

HUKUM SYAR'I

  • 1.
  • 3. I. DEFINISI HUKUM SYARA’ Menurut bahasa (etimologi) : Hukum (‫/الحكم‬al- hukm) berarti : ‫والقضاء‬ ‫والفصل‬ ‫=المنع‬ mencegah, memutuskan. Menurut istilah ushul fiqh (terminologi) : hukum syara’ adalah : ً‫ا‬‫وضع‬ ‫أو‬ ،ً‫ا‬‫تخيير‬ ‫أو‬ ،ً‫ا‬‫طلب‬ ،‫المكلفين‬ ‫بأفعال‬ ‫المتعلق‬ ‫الشارع‬ ‫خطاب‬ Khitab (kalam) asy-syari’ (Pembuat hukum/Allah SWT) yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf , baik berupa iqtidha` (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/māni’).
  • 4. Penjelasan Definisi al-Hukm Yang dimaksud Khithab asy-syari’ adalah semua bentuk dalil-dalil hukum, baik al-Qur’an, as-Sunnah, maupun Ijma’ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya al- Qur’an dan as-Sunnah. Adapun ijma’ dan qiyas sebagai metode menyingkapan hukum dari al-Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an dianggap sebagai kalam Allah secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena Rasulullah saw tidak mengucapkan sesuatu di bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman Allah: ‫ى‬ َ‫و‬َ‫ه‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫َن‬‫ع‬ ُ‫ق‬ِ‫ط‬ْ‫ن‬َ‫ي‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬.‫ى‬َ‫ح‬‫و‬ُ‫ي‬ ٌ‫ي‬ْ‫ح‬َ‫و‬ ‫ا‬‫َّل‬ِ‫إ‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬ dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm : 3-4) Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah. Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa, berakal sehat, termasuk perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan (seperti ghibah).
  • 5. II. JENIS-JENIS HUKUM SYARA’ A. Hukum Taklifi B. Hukum Wadh’i
  • 7. Definisi Hukum Taklifi ‫عنه‬ ‫والكف‬ ‫فعل‬ ‫بين‬ ‫تخييره‬ ‫أو‬ ‫فعله‬ ‫عن‬ ‫ه‬ّ‫ف‬‫ك‬ ‫أو‬ ،‫المكلف‬ ‫من‬ ‫فعل‬ ‫طلب‬ ‫اقتضى‬ ‫ما‬ Hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu atau tidak berbuat. Contoh perintah melakukan sesuatu : َ‫ة‬ َ‫َل‬‫ا‬‫ص‬‫ال‬ ‫وا‬ُ‫م‬‫ي‬ِ‫ق‬َ‫أ‬َ‫و‬ (Dan dirikanlah sholat). (QS. Al-Baqoroh : 43) Contoh perintah meninggalkan sesuatu : ‫ا‬َ‫ن‬ ِّ‫الز‬ ‫وا‬ُ‫ب‬َ‫ر‬ْ‫ق‬َ‫ت‬ َ‫َّل‬َ‫و‬ (Janganlah kalian mendekati perzinaan). (QS. Al-Isra’ : 32) Contoh pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu : ْ‫ا‬‫ُو‬‫د‬‫ا‬َ‫ط‬ْ‫ص‬‫ا‬َ‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ل‬َ‫ل‬َ‫ح‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬َ‫(و‬dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.) (QS. Al-Maidah : 2)
  • 8. Pembagian Hukum Taklifi 1. Wajib 2. Mandub 3. Haram 4. Makruh 5. Mubah
  • 9. 1. Wajib Pengertiannya : ‫ا‬ ‫على‬ ‫ب‬‫ا‬‫ت‬‫ور‬ ،ِ‫زوم‬ُّ‫ل‬‫ال‬ ِ‫ه‬‫وج‬ ‫على‬ ‫فعله‬ ُ‫ع‬‫اار‬‫ش‬‫ال‬ َ‫طلب‬ ‫ما‬ِ‫ه‬‫متثال‬ ‫والعق‬ ‫م‬‫ا‬‫ذ‬‫ال‬ ِ‫ة‬‫ر‬ْ‫د‬ُ‫ق‬‫ال‬ ‫مع‬ ِ‫ه‬‫ترك‬ ‫وعلى‬ ،َ‫واب‬‫ا‬‫ث‬‫وال‬ َ‫ح‬‫المد‬ِ‫ب‬‫ا‬ Yaitu yang dituntut syari’ untuk melakukan suatu perbuatan dengan tegas dan kuat, jika dilaksanakan akan menyebabkan pujian dan pahala, dan jika ditinggalkan dalam keadaan mampu akan menyebabkan celaan dan siksa.
  • 10. 1. Wajib (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan wajib, di antaranya : a. Fi’il amar, seperti : َ‫ة‬ َ‫َل‬‫ا‬‫ص‬‫ال‬ ‫وا‬ُ‫م‬‫ي‬ِ‫ق‬َ‫أ‬َ‫و‬ = Dan dirikanlah sholat. (QS. Al-Baqoroh : 43) b. Kata (‫)أمر‬ , seperti : ِْ‫ال‬َ‫و‬ ِ‫ل‬ْ‫د‬َ‫ع‬ْ‫ل‬‫ا‬ِ‫ب‬ ُ‫ر‬ُ‫م‬ْ‫أ‬َ‫ي‬ َ ‫ا‬‫اَّلل‬ ‫ا‬‫ن‬ِ‫إ‬‫ي‬ِ‫ذ‬ ِ‫اء‬َ‫ت‬‫ي‬ِ‫إ‬َ‫و‬ ِ‫ان‬َ‫س‬ْ‫ح‬ ‫ى‬َ‫ب‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫=ا‬ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat...(QS. An-Nahl : 90) c. Kata (‫)كتب‬ , seperti : ُ‫م‬‫ا‬َ‫ي‬ ِ‫الص‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫ب‬ِ‫ت‬ُ‫ك‬ = diwajibkan bagia kalian berpuasa. (QS. Al-Baqoroh : 183) d. Kata (‫ض‬َ‫ر‬َ‫ف‬) , seperti : َ‫ه‬‫ا‬َ‫ن‬ْ‫ض‬َ‫ر‬َ‫ف‬َ‫و‬ ‫ا‬َ‫ه‬‫ا‬َ‫ن‬ْ‫ل‬َ‫ز‬ْ‫ن‬َ‫أ‬ ٌ‫ة‬َ‫ور‬ُ‫س‬‫ا‬ = (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya.(QS. An-Nur : 1)
  • 11. 1. Wajib (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan wajib (lanjutan…) e. Fi’il yang besambung dengan lamul amri, seperti : ‫وا‬ُ‫ف‬‫و‬ُ‫ي‬ْ‫ل‬َ‫و‬ ‫م‬ُ‫ه‬َ‫ور‬ُ‫ذ‬ُ‫ن‬ْْ = dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar- nazar mereka. (QS. Al-Hajj : 29) f. Bentuk kata : (‫كذا‬ ُ‫ل‬‫ع‬ِ‫ف‬ ‫عليك‬ ُ‫ه‬‫/ل‬baginya untukmu melakukan itu), seperti : ْ‫ي‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ َ‫ع‬‫ا‬َ‫ط‬َ‫ت‬ْ‫س‬‫ا‬ ِ‫ن‬َ‫م‬ ِ‫ت‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُّ‫ج‬ ِ‫ح‬ ِ‫اس‬‫ا‬‫ن‬‫ال‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ِ ّ ِ‫َّلل‬َ‫و‬ً‫َل‬‫ي‬ِ‫ب‬َ‫س‬ ِ‫ه‬ = mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran : 97) g. Bentuk berita yang menempatkan sesuatu yang dituntut dalam posisi dilaksanakan secara sempurna sebagai penguat perintah, seperti : ‫و‬ُ‫ر‬َ‫ذ‬َ‫ي‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬‫ا‬‫ف‬ َ‫و‬َ‫ت‬ُ‫ي‬ َ‫ِين‬‫ذ‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬َ‫و‬َ‫ْن‬‫ص‬‫ا‬‫ب‬َ‫ر‬َ‫ت‬َ‫ي‬ ‫ا‬ً‫ج‬‫ا‬َ‫و‬ْ‫ز‬َ‫أ‬ َ‫ن‬ ‫ا‬ً‫ْر‬‫ش‬َ‫ع‬َ‫و‬ ٍ‫ر‬ُ‫ه‬ْ‫ش‬َ‫أ‬ َ‫ة‬َ‫ع‬َ‫ب‬ْ‫ر‬َ‫أ‬ ‫ا‬‫ن‬ِ‫ه‬ِ‫س‬ُ‫ف‬ْ‫ن‬َ‫أ‬ِ‫ب‬ = Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah:234)
  • 12. 1. Wajib (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan wajib (lanjutan…) h. Adanya ancaman jika ditinggalkan, seperti : َ‫ن‬ِ‫م‬ ٍ‫ب‬ْ‫ر‬َ‫ح‬ِ‫ب‬ ‫وا‬ُ‫ن‬َ‫ذ‬ْ‫أ‬َ‫ف‬ ‫وا‬ُ‫ل‬َ‫ع‬ْ‫ف‬َ‫ت‬ ْ‫م‬َ‫ل‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ِ‫ه‬ِ‫ل‬‫و‬ُ‫س‬َ‫ر‬َ‫و‬ ِ ‫ا‬‫اَّلل‬ = Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqarah:279) i. Tidak dihitung amal perbuatan jika ada sesuatu yang ditinggalkan. Seperti : َ‫ة‬‫صَل‬ ‫َّل‬ ِ‫ب‬‫الكتا‬ ِ‫ة‬‫بفاتح‬ ْ‫يقرأ‬ ‫لم‬ ‫لمن‬ = Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al- Fatihah. (Muttafaq ‘alaih)
  • 13. 1. Wajib (lanjutan…) Pembagian Wajib : a. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya terbagi kepada : 1) Wajib muwassa’, yaitu jika waktu yang ditentukan itu dapat digunakan untuk melaksanakannya dan melaksanakan kewajiban sejenisnya yang lain. Contohnya adalah sholat. 2) Wajib mudlayyaq, yaitu yang hanya cukup untuk melaksanakan satu kewajiban saja, seperti puasa. Sesungguhnya setelah terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari hanya cukup untuk melaksanakan satu puasa saja.
  • 14. 1. Wajib (lanjutan…) Pembagian Wajib : b. Ditinjau dari segi ukuran dan batasannya dibagi kepada : 1) Wajib muqaddar/muhaddad (kewajiban yang ditentukan atau dibatasi ukurannya), seperti : nishab zakat dan kadar yang dikeluarkannya. 2) wajib ghairu muqaddar/muhaddad (kewajiban yang tidak ditentukan atau dibatasi ukurannya), seperti : ukuran nafkah wajib bagi suami terhadap isterinya, berbuat baik bagi manusia.
  • 15. 1. Wajib (lanjutan…) Pembagian Wajib : c. Ditinjau dari segi ditentukan atau tidak ditentukannya, wajib terbagi kepada : 1) Wajib mu’ayyan (tertentu), yaitu kewajiban yang harus dilakukan tanpa ada pilihan, Ini merupakan kebanyakan kewajiban, seperti shalat lima waktu. 2) Wajib gahiru mu’ayyan (tidak ditentukan), seperti kafarat sumpah pada firman Allah : ْ‫ط‬ِ‫إ‬ ُ‫ه‬ُ‫ت‬ َ‫ار‬َّ‫ف‬َ‫ك‬َ‫ف‬ُ‫م‬‫ا‬َ‫ع‬ ْ‫س‬ِ‫ك‬ ْ‫و‬َ‫أ‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬‫ي‬ِ‫ل‬ْ‫ه‬َ‫أ‬ َ‫ون‬ُ‫م‬ِ‫ع‬ْ‫ط‬ُ‫ت‬ ‫ا‬َ‫م‬ ِ‫ط‬َ‫س‬ ْ‫و‬َ‫أ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫ين‬ِ‫ك‬‫ا‬َ‫س‬َ‫م‬ ِ‫ة‬ َ‫َر‬‫ش‬َ‫ع‬ٍََََ َ‫ر‬ ُ‫ير‬ ِ‫ر‬ْ‫ح‬َ‫ت‬ ْ‫و‬َ‫أ‬ ْ‫م‬ُُُ‫ت‬ َ‫و‬ (tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak). (Al Maidah : 89)
  • 16. 1. Wajib (lanjutan…) Pembagian Wajib : d. Ditinjau dari segi pelakunya, wajib dibagi kepada : 1) Wajib ‘ain, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang Islam yang mukallaf secara pribadi-pribadi, seperti shalat lima waktu dan puasa. b) Wajib kifayah, yaitu bahwa yang diperintahkan adalah melaksanakan perbuatan dan tidak disyaratkan harus dilakukan oleh seseorang tertentu, seperti memandikan mayyit dan menshalatkannya. Dan kadang-kadang wajib kifayah itu berubah menjadi wajib ‘ain, seperti jika suatu negeri itu membutuhkan kepada para hakim dan di sana hanya ada dua orang saja, maka jadilah menjadi hakim itu merupakan kewajiban atas keduanya.
  • 17. 2. Mandub Pengertiannya : ِ‫ه‬‫امتثال‬ ‫على‬ ‫ب‬‫ا‬‫ت‬‫ور‬ ،ٍ‫إلزام‬ ‫غير‬ ‫من‬ ُ‫ه‬ُ‫ل‬‫فع‬ ُ‫ع‬‫اار‬‫ش‬‫ال‬ َ‫طلب‬ ‫ما‬َ‫ح‬‫المد‬ ُ‫والعقاب‬ ُّ‫م‬‫ا‬‫ذ‬‫ال‬ ِ‫ه‬ِ‫ك‬‫تر‬ ‫على‬ َ‫وليس‬ ،َ‫واب‬‫ا‬‫ث‬‫وال‬ Yaitu yang dituntut syari’ untuk melakukan suatu perbuatan tidak dengan tegas dan kuat, jika dilaksanakan akan menyebabkan pujian dan pahala, dan jika ditinggalkan tidak menyebabkan celaan dan siksa.
  • 18. 2. Mandub (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan mandub, di antaranya : a. Fi’il amr yang ada dalil yang menunjukkan tidak kuatnya perintah. Seperti : َ‫ي‬‫َا‬‫د‬َ‫ت‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬ ‫وا‬ُ‫ن‬َ‫م‬‫آ‬ َ‫ِين‬‫ذ‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ه‬ُّ‫ي‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫ي‬‫ى‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ٍ‫ن‬ْ‫ي‬َ‫د‬ِ‫ب‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ن‬ ُ‫ه‬‫و‬ُ‫ب‬ُ‫ت‬ْ‫ك‬‫ا‬َ‫ف‬ ‫ى‬ًّ‫م‬َ‫س‬ُ‫م‬ ٍ‫ل‬َ‫ج‬َ‫أ‬ = Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqaqrah : 282). b. Bentuk berita yang menunjukkan anjuran, bukan perintah, seperti : bentuk-bentuk anjuran untuk melakukan dzikir atau shalat tertentu. c. Setiap perbuatan Nabi saw yang bersifat pembentukan hukum. Seperti shalat sunnah rawatib, shaum sunnah, dsb.
  • 19. 2. Mandub (lanjutan…) Nama-nama Mandub : a. Sunnah, b. Nafilah, c. Mustahab, d. Tathawwu’, e. Fadhilah Sebagian ulama ada yang menamakan mandub jika berkaitan dengan kemaslahatan akhirat, dan irsyad jika berkaitan dengan kemaslahatan duniawi.
  • 20. 2. Mandub (lanjutan…) Derajat Mandub : a. Sunnah muakkad, yaitu amalan sunnah yang dilakukan Nabi saw secara terus menerus. Dan kadang-kadang dibarengi dengan anjuran dalam bentukperkataan. Seperti : shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat shubuh. Sabda Rasulullah saw : “‫فيها‬ ‫وما‬ ‫ُّنيا‬‫د‬‫ال‬ ‫من‬ ٌ‫خير‬ ِ‫الفجر‬ ‫ا‬َ‫ت‬‫ع‬ْ‫ك‬‫ر‬ “ “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari pada dunia dan isinya”. (HR. Muslim) b. Sunnah ghairu muakkad, yaitu amalan sunnah yang tidak dilakukan secara terus menerus. Seperti shalat sunnah 4 rakaat sebelum shalat ashar.
  • 21. 2. Mandub (lanjutan…) Derajat Mandub : Termasuk dalam kategori ini adalah amalan-amalan sunah yang diperintahkan Rasulullah saw melalui perkataan tapi dalam prakteknya beliau tidak melakukannya secara terus menerus. Seperti beliau menganjurkan untuk umrah, tapi dalam hidupnya hanya melakukan 4 kali, dan satu kali haji. c. Fadhilah wa adab (keutamaan dan adab), dinamakan juga sunnah az-zawaid (sunnah tambahan) dan sunnah al-‘adah (sunnah kebiasaan). Yaitu perbuatan Nabi saw yang bukan termasuk ‘ubudiyah. Seperti sifat makan, minum, berpakaian, berjalannya, dsb. Karena meneladani beliau saw merupakan sebuah keutamaan dan terpuji.
  • 22. 3. Haram Pengertian Haram ‫و‬ ،ِ‫واللزام‬ ِ‫م‬ْ‫ت‬َ‫ح‬‫ال‬ ِ‫ه‬‫وج‬ ‫على‬ ‫عنه‬ ‫ا‬‫الكف‬ ُ‫ع‬ ِ‫اار‬‫ش‬‫ال‬ َ‫ب‬َ‫ل‬‫ط‬ ‫ما‬ُ‫ه‬ُ‫ك‬‫تار‬ ُ‫يثاب‬ ‫ا‬ً‫اختيار‬ ُ‫ه‬ُ‫ل‬‫فاع‬ ُ‫عاقب‬ُ‫ي‬‫و‬ ،ً‫َّل‬‫امتثا‬ Yang dituntut Syari’ untuk ditinggalkan dengan tegas dan kuat, jika ditinggalkan karena ketaatan mendapat pahala, dan jika dilakukan secara sadar mendapat siksa. Haram dinamakan juga mahzhur (larangan).
  • 23. 3. Haram (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram : a. Kata : ‫حرم‬ , seperti : َ‫و‬ ُ‫م‬‫ا‬‫د‬‫ال‬َ‫و‬ ُ‫ة‬َ‫ت‬ْ‫ي‬َ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ْ‫ت‬َ‫م‬ ِّ‫ر‬ُ‫ح‬‫ير‬ ِ‫ز‬ْ‫ن‬ ِ‫خ‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُ‫م‬ْ‫ح‬َ‫ل‬ِْ = Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. (QS. Al Maidah : 3) b. Menafikan/meniadakan kehalalan, seperti : َ‫ف‬ ‫ا‬َ‫ه‬َ‫ق‬‫ا‬‫ل‬َ‫ط‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬َ‫َل‬ ُ‫ه‬َ‫ر‬ْ‫ي‬َ‫غ‬ ‫ا‬ً‫ج‬ ْ‫و‬َ‫ز‬ َ‫ح‬ِ‫ك‬ْ‫ن‬َ‫ت‬ ‫ى‬‫ا‬‫ت‬َ‫ح‬ ُ‫د‬ْ‫ع‬َ‫ب‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ُ‫ه‬َ‫ل‬ ُّ‫ل‬ ِ‫ح‬َ‫ت‬ = Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.(QS. Al-Baqarah : 230) c. Kata (‫هي‬‫ا‬‫ن‬‫)ال‬ /nahy/larangan, seperti : ‫َا‬‫ش‬ْ‫ح‬َ‫ف‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫َن‬‫ع‬ ‫ى‬َ‫ه‬ْ‫ن‬َ‫ي‬َ‫و‬ِ‫ء‬ ِ‫ي‬ْ‫غ‬َ‫ب‬ْ‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ ِ‫َر‬‫ك‬ْ‫ن‬ُ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ = dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. (QS. An-Nahl : 90)
  • 24. 3. Haram (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram (lanjutan…) : d. Kata (َ‫جر‬َ‫ز‬) /melarang, seperti : ‫قال‬ ِ‫بير‬ُّ‫الز‬ ‫أبي‬ ِ‫ث‬‫حدي‬: ‫ا‬ً‫جابر‬ ُ‫سألت‬(‫عبدهللا‬ َ‫ابن‬ ‫يعني‬)‫ق‬ ‫؟‬ ِ‫ور‬‫ا‬‫ن‬ِّ‫س‬‫وال‬ ِ‫ب‬‫الكل‬ ِ‫ن‬َ‫م‬َ‫ث‬ ‫عن‬َ‫ل‬‫ا‬:ُّ‫ي‬‫ب‬‫ا‬‫ن‬‫ال‬ َ‫جر‬َ‫ز‬- ‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬-َ‫ذلك‬ ‫عن‬ = Hadits Abu Zubair, ia berkata : Saya bertanya kepada Jabir tentang anjing dan kucing. Jabir berkata : Nabi saw melarangnya”. (HR. Muslim) e. Bentuk perintah mengakhiri atau berhenti , seperti : ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ل‬ ‫ا‬ً‫ر‬ْ‫ي‬َ‫خ‬ ‫وا‬ُ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ن‬‫ا‬ ٌ‫ة‬َ‫ث‬ َ‫َل‬َ‫ث‬ ‫وا‬ُ‫ل‬‫و‬ُ‫ق‬َ‫ت‬ َ‫َّل‬َ‫و‬ = janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. (QS. An-Nisa’:171) f. Bentuk fi’il mudhari’ yang disertai la nahiyah , seperti : ‫ا‬َ‫ن‬ ِّ‫الز‬ ‫وا‬ُ‫ب‬َ‫ر‬ْ‫ق‬َ‫ت‬ َ‫َّل‬َ‫و‬ = Janganlah kalian mendekati perzinaan. (QS. Al-Isra’ : 32)
  • 25. 3. Haram (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram (lanjutan…) : g. Kata (‫ينبغي‬ ‫/َّل‬tidak pantas,wajar), seperti sabda Rasulullah saw tenang sutra : “َ‫قين‬‫ا‬‫ت‬‫للم‬ ‫هذا‬ ‫ينبغي‬ ‫”َّل‬ = “Ini tidak pantas bagi orang-orang yang bertakwa”. (Hadits Muttafaq ‘alaih) h. Bentuk perintah meninggalkan dengan kata selain kata (nahy), seperti : َ‫و‬ ِ‫ان‬َ‫ث‬ ْ‫و‬َ ْ‫اْل‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫س‬ْ‫ج‬ ِّ‫الر‬ ‫وا‬ُ‫ب‬ِ‫ن‬َ‫ت‬ْ‫اج‬َ‫ف‬َ‫ل‬ ْ‫و‬َ‫ق‬ ‫وا‬ُ‫ب‬ِ‫ن‬َ‫ت‬ْ‫اج‬ ِ‫ور‬ُّ‫الز‬ = maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. (QS. Al- Hajj : 30); ً‫ذ‬َ‫أ‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ ْ‫ل‬ُ‫ق‬ ِ‫يض‬ ِ‫ح‬َ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫َن‬‫ع‬ َ‫ك‬َ‫ن‬‫و‬ُ‫ل‬َ‫أ‬ْ‫س‬َ‫ي‬َ‫و‬َ‫ء‬‫ا‬َ‫س‬ِّ‫ن‬‫ال‬ ‫وا‬ُ‫ل‬ ِ‫ز‬َ‫ت‬ْ‫ع‬‫ا‬َ‫ف‬ ‫ى‬ ِ‫يض‬ ِ‫ح‬َ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬ ‫ي‬ِ‫ف‬= Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. (QS.al-Baqarah :222)
  • 26. 3. Haram (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram (lanjutan…) : i. Ancaman atau laknat jika melakukannya, baik ancaman dunia, ataupun akhirat, seperti : ُ‫ع‬َ‫ط‬ْ‫اق‬َ‫ف‬ ُ‫ة‬َ‫ق‬ ِ‫ار‬‫ا‬‫س‬‫ال‬َ‫و‬ ُ‫ق‬ ِ‫ار‬‫ا‬‫س‬‫ال‬َ‫و‬‫ا‬َ‫م‬ُ‫ه‬َ‫ي‬ِ‫د‬ْ‫ي‬َ‫أ‬ ‫وا‬ = Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Maidah : 38) j. Mensifati perbuatan dengan dosa, seperti hadits : ٍ‫أنس‬ ‫عن‬ ‫قال‬ ُ‫ه‬‫عن‬ ‫هللا‬ ‫رضي‬:ُّ‫ي‬‫ب‬‫ا‬‫ن‬‫ال‬ ‫ئل‬ُ‫س‬-‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬-‫قال‬ ‫؟‬ ِ‫الكبائر‬ ‫عن‬(( :ُ‫الشراك‬،‫باهلل‬ ِ‫ور‬ُّ‫الز‬ ُ‫ة‬َ‫د‬‫وشها‬ ، ِ‫فس‬‫ا‬‫ن‬‫ال‬ ُ‫ل‬‫وقت‬ ،ِ‫الوالدين‬ ُ‫ق‬‫وعقو‬)) = Dari Anas ra, ia berkata : Nabi saw ditanya tentang dosa besar, beliau menjawab : “ Menyekutukan Allah, membunuh jiwa, dan kesaksian palsu”. (Hadits Muttafaq ‘alaih) k. Mensifati perbuatan dengan pelanggaran, kezaliman, kejahatan, kefasikan, dan semacamnya, seperti : ‫وا‬ُ‫ل‬َ‫ع‬ْ‫ف‬َ‫ت‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ب‬ ٌ‫ق‬‫و‬ُ‫س‬ُ‫ف‬ ُ‫ه‬‫ا‬‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ = Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. (QS. Al-Baqarah : 282)
  • 27. 3. Haram (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan haram (lanjutan…) : l. Pelaku suatu perbuatan disamakan dengan binatang, setan, orang-orang kafir, orang-orang yang merugi, atau semacamnya, seperti : َ‫ان‬َ‫و‬ْ‫خ‬ِ‫إ‬ ‫وا‬ُ‫ن‬‫َا‬‫ك‬ َ‫ين‬ ِ‫ِر‬ّ‫ذ‬َ‫ب‬ُ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬‫ن‬ِ‫إ‬ِ‫ين‬ِ‫اط‬َ‫ي‬‫ا‬‫ش‬‫ال‬ = Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan. (QS. Al-Isra’ : 27) m. Menamakan perbuatan dengan nama lain yang diharamkan yang keharamannya sudah dimaklumi, seperti mensifati perbuatan dengan perzinahan, pencurian, kemusyrikan, atau yang lain. Di antaranya sabda Rasulullah saw : “َ‫أشرك‬ ْ‫د‬َ‫ق‬‫ف‬ ‫هللا‬ ِ‫بغير‬ َ‫حلف‬ ْ‫من‬ “ “barangsiapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, sungguh ia telah berbuat syirik”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan lainnya).
  • 28. 3. Haram (lanjutan…) Pembagian Haram : Dalam syari’at Islam pengharaman tidak diberikan kecuali pada sesuatu yang kerusakannya bersifat murni atau bersifat secara umum. Kerusakan pada yang diharamkan terjadi pada dzat yang diharamkan itu sendiri, atau pada sebabnya. Oleh karena itu haram terbagi kepada 2 bagian. a. Muharram lidzatih atau haram karena dzatnya, seperti syirik, zina, mencuri, memakan daging babi, dsb. b. Muharram lighairih atau haram karena yang lain. Ini pada dasarnya mubah atau legal karena tidak mengandung kerusakan atau karena aspek kemaslahatannya kuat, akan tetapi karena kondisi tertentu,ia menjadi haram karena sebagai sebab timbulnya kerusakan. Maka dalam keadaan itu, ia menjadi haram. Seperti berjual beli pada dasarnya boleh dan disyari’atkan, tetapi kalau dilakukan saat azan shalat jum’at sudah dikumandangkan, ia menjadi haram.
  • 29. 4. Makruh Pengertian Makruh : ْ‫ت‬‫الح‬ ِ‫ه‬‫وج‬ ‫على‬ ‫َّل‬ ُ‫ه‬َ‫ك‬‫تر‬ ِ‫ف‬‫ا‬‫ل‬‫المك‬ ‫من‬ ُ‫ع‬‫اار‬‫ش‬‫ال‬ َ‫طلب‬ ‫ما‬،ِ‫واللزام‬ ِ‫م‬ ُ‫ه‬ُ‫ل‬‫فاع‬ ُ‫يعاقب‬ ‫وَّل‬ ،ً‫َّل‬‫امتثا‬ ‫ُه‬‫ك‬‫تار‬ ُ‫ويثاب‬ Yang dituntut Syari’ dari seorang mukallaf untuk ditinggalkan tidak dengan tegas dan kuat, jika ditinggalkan karena ketaatan mendapat pahala, dan tidak disiksa jika dilakukan.
  • 30. 4. Makruh (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan makruh : a. Kata (karaha =tidak suka/ benci). Seperti sabda Rasulullah saw : ((َ‫عقوق‬ ‫ُم‬‫ك‬‫علي‬ ‫م‬‫ا‬‫حر‬ ‫هللا‬ ‫ا‬‫إن‬ ‫وك‬ ،َ‫ل‬‫وقا‬ َ‫ل‬‫قي‬ ‫ُم‬‫ك‬‫ل‬ ‫ه‬ ِ‫وكر‬ ،ِ‫ت‬‫وها‬ َ‫ع‬‫ومن‬ ،ِ‫ت‬‫البنا‬ َ‫د‬‫وأو‬ ،ِ‫ت‬‫ها‬‫ا‬‫م‬‫اْل‬َ‫ة‬‫ثر‬ ِ‫ل‬‫الما‬ َ‫َة‬‫ع‬‫وإضا‬ ،ِ‫ل‬‫ؤا‬ُّ‫س‬‫ال‬)) = Sesungguhnya Allah telah mengharmkan mendurhakai ibu, mengubur anak wanita hidup-hidup, tidak mau memberi, dan Allah membenci desas desus, banyak bertanya, dan menyia- nyiakan harta”. (Hadits Muttafaq ‘alaih). Dalam hadits inidibedakan antara haram dan makruh.
  • 31. 4. Makruh (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan makruh (lanjutan…): c. Bentuk larangan yang disertai dalil yang memalingkannya dari haram, seperti hadits Abdullah bin Umar, ia berkata : ِ‫وم‬ُّ‫ث‬‫ال‬ ِ‫ل‬‫أك‬ ‫عن‬ َ‫خيبر‬ َ‫م‬‫يو‬ ‫نهى‬ =Rasulullah saw melarang makan bawang putih pada hari Perang Khaibar. Larangan ini dalam arti makruh dengan dalil hadits Abu Ayyub al- Anshari, ia berkata : Rasulullah saw apabila diberikan makanan, beliau memakannya dan memberikan sisanya kepada saya. Pada suatu hari beliau memberikan makanan sisa yang belum beliau makan, karena ada bawang putih pada makanan itu. Lalu saya bertanya kepadanya : Apakah itu haram?. Beliau bersabda : “Tidak, akan tetapi saya tidak menyukainya karena baunya”. Abu Ayyub berkata : Kalau begitu saya tidak menyukai apa yang engkau tidak sukai. (HR. Muslim) d. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi saw dengan maksud penentuan hokum, bukan karena tabiat kemanusiaan.
  • 32. 5. Mubah Pengertiannya : ُ‫ق‬‫يلح‬ ‫وَّل‬ ،ِ‫ه‬‫وترك‬ ِ‫ه‬‫فعل‬ ‫بين‬ ‫ف‬‫ا‬‫ل‬‫المك‬ ُ‫ع‬‫اار‬‫ش‬‫ال‬ ‫ر‬‫ا‬‫ي‬‫خ‬ ‫ما‬ٌ‫ح‬‫مد‬ ُ‫ه‬ ِ‫ه‬ِ‫ك‬‫تر‬ ‫أو‬ ِ‫ه‬‫بفعل‬ ٌّ‫م‬‫ذ‬ ‫وَّل‬ ٌّ‫ي‬‫شرع‬ . Pemberian kebebasan memilih dari Syari’kepada mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, tidak ada pujian dan celaan syar’I dalam melakukan atau meninggalkannya.
  • 33. 5. Mubah (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan mubah a. Adanya kata halal secara jelas, seperti : َ‫م‬ ْ‫و‬َ‫ي‬ْ‫ل‬‫ا‬ َ‫ت‬ِ‫ك‬ْ‫ل‬‫ا‬ ‫وا‬ُ‫ت‬‫و‬ُ‫أ‬ َ‫ين‬ِ‫ذ‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬ ُ‫م‬‫ا‬َ‫ع‬َ‫ط‬َ‫و‬ ُ‫ات‬َ‫ب‬ِّ‫ي‬‫ا‬‫ط‬‫ال‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ل‬ ‫ا‬‫ل‬ ِ‫ح‬ُ‫أ‬ْ‫م‬ُ‫ه‬َ‫ل‬ ٌّ‫ل‬ ِ‫ح‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ُ‫م‬‫ا‬َ‫ع‬َ‫ط‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ل‬ ٌّ‫ل‬ ِ‫ح‬ َ‫اب‬ = Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik- baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (QS. Al-Maidah : 5) b. Meniadakan dosa dalam melakukannya, seperti : ْ‫ث‬ِ‫إ‬ َ‫َل‬َ‫ف‬ ٍ‫د‬‫َا‬‫ع‬ َ‫َّل‬َ‫و‬ ٍ‫اغ‬َ‫ب‬ َ‫ر‬ْ‫ي‬َ‫غ‬ ‫ا‬‫ر‬ُ‫ط‬ْ‫ض‬‫ا‬ ِ‫ن‬َ‫م‬َ‫ف‬ِ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫م‬ = Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS. Al- Maidah : 173)
  • 34. 5. Mubah (lanjutan…) Bentuk-bentuk dalil yang menunjukkan mubah (lanjutan…) c. Bentuk perintah setelah larangan, seperti : ِ‫ض‬ْ‫ر‬َ ْ‫اْل‬ ‫ي‬ِ‫ف‬ ‫وا‬ُ‫ر‬ِ‫ش‬َ‫ت‬ْ‫ن‬‫ا‬َ‫ف‬ ُ‫ة‬ َ‫َل‬‫ا‬‫ص‬‫ال‬ ِ‫ت‬َ‫ي‬ ِ‫ض‬ُ‫ق‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ِ ‫ا‬‫اَّلل‬ ِ‫ل‬ْ‫ض‬َ‫ف‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫وا‬ُ‫غ‬َ‫ت‬ْ‫ب‬‫ا‬َ‫و‬ = Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. (QS. Al-Jumu’ah : 10). Ini perintah setelah adanya larangan pada ayat sebelumnya. d. Mubah sebagai hokum asal sebagaimana dikatakan bahwa dasar pada sesuatu itu adalah boleh. Segala sesuatu itu mubah selama tidak ada dalil yang memindahkan kemubahan itu pada hukum lain.
  • 36. Definisi Hukum Wadh’i ‫ما‬‫منه‬ ‫مانعا‬ ‫أو‬ ، ‫له‬ ‫شرطا‬ ‫أو‬ ،‫لشيء‬ ‫سببا‬ ‫شيء‬ ‫وضع‬ ‫اقتضى‬ Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi). Contoh sesuatu menjadi sebab adanya hukum taklifi : ‫ف‬ ِ‫ة‬‫َل‬‫ا‬‫ص‬‫ال‬ ‫ى‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫م‬ُ‫ق‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ن‬َ‫م‬‫آ‬ َ‫ِين‬‫ذ‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ه‬ُّ‫ي‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫ي‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ي‬ِ‫د‬ْ‫ي‬َ‫أ‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ه‬‫و‬ُ‫ج‬ُ‫و‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ل‬ِ‫س‬ْ‫غ‬‫ا‬‫ى‬ ِ‫ق‬ِ‫ف‬‫ا‬َ‫ر‬َ‫م‬ْ‫ل‬‫ا‬ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah : 6)
  • 37. Definisi Hukum Wadh’I (lanjutan…) Contoh sesuatu menjadi syarat adanya hukum taklifi : َ‫ط‬َ‫ت‬ْ‫س‬‫ا‬ ِ‫ن‬َ‫م‬ ِ‫ت‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُّ‫ج‬ ِ‫ح‬ ِ‫اس‬‫ا‬‫ن‬‫ال‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ِ ّ ِ‫َّلل‬َ‫و‬ً‫َل‬‫ي‬ِ‫ب‬َ‫س‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ َ‫ع‬‫ا‬ mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran : 97) Contoh sesuatu yang menjadi mani’ (penghalang) hukum taklifi : ُ‫ل‬ِ‫ت‬‫ا‬َ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُ‫ث‬ ِ‫ر‬َ‫ي‬ َ‫َّل‬ Yang membunuh tidak mendapat warisan “. (HR. Ahmad)
  • 38. Definisi Hukum Wadh’I (lanjutan…) Dinamakan hukum wadh’i, karena yang menentukan atau menetapkan hukum itu adalah Syari’ (Pembuat hukum/Allah). Umpamanya, Allah-lah yang menentukan bahwa hendak melakukan shalat sebagai sebab wajibnya berwudhu, istitha’ah (kemampuan)sebagai syarat bagi wajib melaksanakan ibadah haji, pembunuhan pewaris terhadapahli warisnya sebagai penghalang mendapatkan warisan, tanpa berhubungan dengan permintaan dari mukallaf. Dari penjelasan ini dapat dibedakan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i, yaitu bahwa hukum taklifi didasarkan pada kemampuan mukallaf, sedangkan hukum wadh’i tidak didasarkan pada kemampuan atau tidak mampunya mukallaf. Ada atau tidak adanya sesuatu didasarkan pada ketentuan syari’at.
  • 39. Pembagian Hukum Wadh’i 1. Sebab 2. Syarat 3. Mani’ 4. Sah dan Batal 5. ‘Azimah dan Rukhshah
  • 40. 1. Sebab Pengertian Sebab Secara bahasa berarti : ِ‫ه‬ ِ‫غير‬ ‫إلى‬ ِ‫ه‬‫ب‬ ُ‫ل‬‫توص‬ُ‫ي‬ ٍ‫شيء‬ ُّ‫ل‬ُ‫ك‬ Sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yg lain. Secara istilah, sebab yaitu : ‫وع‬ ،ِ‫كم‬ُ‫ح‬‫ال‬ ِ‫د‬‫وجو‬ ‫على‬ ً‫عَلمة‬ ُ‫ه‬َ‫د‬‫وجو‬ ُ‫ع‬‫ار‬‫ش‬‫ال‬ َ‫ل‬‫جع‬ ‫ذي‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬ ُ‫اْلمر‬‫على‬ ً‫عَلمة‬ ُ‫ه‬َ‫م‬َ‫د‬ ِ‫كم‬ُ‫ح‬‫ال‬ ِ‫َم‬‫د‬‫ع‬ Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
  • 41. 1. Sebab (lanjutan…) Pembagian Sebab a. Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf, dan berada di luar kemampuannya. Namun, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh mukallaf. Misal, tergelincir matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya waktu shalat dhuhur, masuknya awal bulan ramadhan menjadi sebab bagi kewajiban puasa ramadhan. b. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batasan kemampuannya. Misal: perjalanan (safar) menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di siang ramadhan, akad jual beli menjadi sebab bagi perpindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.
  • 42. 2. Syarat Pengertian Syarat Secara bahasa berarti : ُ‫ة‬َ‫م‬‫العَل‬ / tanda. Secara istilah, syarat yaitu : ‫ذل‬ ِ‫ت‬‫ذا‬ ‫من‬ ‫ا‬ً‫ء‬ْ‫جز‬ َ‫هو‬ َ‫وليس‬ ،ِ‫ه‬ِ‫د‬‫وجو‬ ‫على‬ ِ‫ايء‬‫ش‬‫ال‬ ُ‫د‬‫وجو‬ َ‫ف‬‫ا‬‫ق‬‫ماتو‬،ِ‫ايء‬‫ش‬‫ال‬ َ‫ك‬ ِ‫ه‬‫في‬ ‫ا‬ً‫ط‬ْ‫شر‬ َ‫كان‬ ‫ما‬ ُ‫د‬‫جو‬ُ‫و‬ ِ‫ه‬ِ‫د‬‫جو‬ ‫من‬ ُ‫م‬‫يلز‬ ‫َّل‬ ‫كما‬ ،ُ‫ه‬‫عن‬ ٌ‫ج‬‫خار‬ َ‫هو‬ ْ‫ل‬‫ب‬ Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, ia bukan bagian dari sesuatu yang lain itu, tetapi berada di luar hakikat sesuatu itu, sebagaimana adanya sesuatu itu tidak menuntut adanya sesuatu yang lain yang mengsyaratkannya. Contoh : wudhu merupakan syarat bagi sahnya shalat, sahnya shalat tergantung adanya wudhu, tetapi wudhu itu bukan merupakan bagian dari shalat, dan juga adanya wudhu tidak mesti adanya shalat.
  • 43. 2. Syarat (lanjutan…) Pembagian Syarat a. Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’at itu sendiri. contoh , adanya haul (cukup satu tahun) bagi harta yang sudah mencapai nishab merupakan syarat bagi wajibnya zakat. b. Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri dalam tindakan dan mu’amalah, bukan dalam masalah ibadah. Contoh : syarat- syarat yang ditentukan orang-orang yang melakukan berbagai transaksi.
  • 44. 3. Mani’ Pengertian Mani’ Secara bahasa berarti penghalang dari sesuatu. Secara istilah, mani’ adalah : َ‫م‬َ‫د‬‫الع‬ ِ‫ه‬ِ‫د‬‫وجو‬ ‫على‬ ُ‫ع‬‫ار‬‫ش‬‫ال‬ ‫ب‬‫ا‬‫ت‬‫ر‬ ‫ما‬ ْSesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum, atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
  • 45. 3. Mani’ (lanjutan...) Pembagian Mani’ a. Māni’ lil-Hukm, yaitu : sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misal: haid wanita sebagai penghalang shalat. b. Māni’ lis-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contoh : adanya hutang merupakan penghalang bagi wajibnya zakat harta sekalipun sudah mencapai nishab dan haul.
  • 46. 4. Sah dan Batal Pengertian Sah dan Batal : Sah/Shihhah/Shah : maksudnya perbuatan hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada m ā ni’. Sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Misal: mengerjakan shalat dhuhur setelah tergelincir matahari (sebab), didahului dengan wudhu’ (syarat), dan tidak ada halangan haid bagi pelakunya (m ā ni’). Shalat yang dilakukan itu hukumnya sah. Tapi jika sebab tidak ada, syarat tidak terpenuhi, maka shalatnya dikatakan tidak sah, walaupun m ā ni’-nya tidak ada.
  • 47. 4. Sah dan Batal (lanjutan...) Pengertian Sah dan Batal : Batal/Buthlan/Bathil : yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Batal juga dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan di akhirat tidak memperoleh pahala.
  • 48. 4. Sah dan Batal (lanjutan...) Perbedaan para ulama tentang penggunaan istilah sah dan batal dalam masalah muamalah : Menurut Jumhur ulama, tidak ada perbedaan dalam ibadah dan muamalah, dalam keduanya berlaku “sah atau batal”. Sebagian ulama mazhab Hanafi : – Dalam maslah ibadah sependapat dengan jumhur ulama, yaitu hanya ada “sah atau batal”.
  • 49. 4. Sah dan Batal (lanjutan...) – Dalam masalah muamalah, yaitu dalam masalah ‘uqud, perjanjian yang tidak sah terbagi dua: batal dan fasid (rusak). Bila cacat terdapat dalam rukun & syarat, maka akad menjadi batal, ia tidak mengakibatkan timbulnya hukum karena tidak ada sebab. Sedang jika cacat itu ada dalam suatu syarat dari beberapa syarat yang berhubungan dengan hukum maka akad itu menjadi fasid, tapi tidak batal, dan berakibat timbulnya sebagian pengaruh hukum. Misal: akad nikah dengan wanita muhrimat adalah batal. Tapi pernikahan yang tidak dihadiri dua orang saksi disebut fasid, pengaruhnya suami wajib bayar mahar, isteri tetap menjalankan masa ‘iddah, anak masih dapat dihubungkan dengan suaminya.
  • 50. 5. ‘Azimah dan Rukhshah Pengertian ‘Azimah : Secara bahasa : ‘azaimah berarti kemauan yang kuat. Menurut istilah adalah : ِ‫بالعوارض‬ ٍ‫ق‬ِّ‫ل‬‫متع‬ ُ‫غير‬ ِ‫ت‬‫المشروعا‬ ‫في‬ ُ‫ل‬‫اْلص‬ َ‫هو‬ ‫لما‬ ٌ‫م‬‫اس‬ Suatu ungkapan tentang hukum-hukum yang disyari’atkan Allah sejak semula, tidak berkaitan dengan suatu peristiwa baru. Contoh : Hukum shalat Dhuhur 4 raka’at adalah hukum asal, itu disebut ‘azimah. Hukum makan bangkai adalah haram adalah hukum asal, itu adalah ‘azimah.
  • 51. 5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...) Pengertian Rukhshah : Menurut bahasa: rukhshah berarti mudah dan gampang. Menurut istilah rukhshah berarti : ‫ب‬ ِ‫ه‬‫أصل‬ ‫عن‬ ِ‫ه‬ِ‫ف‬‫وص‬ ‫في‬ ‫ا‬ً‫ج‬‫خار‬ ِ‫بالعوارض‬ ‫ا‬ً‫ق‬ِّ‫ل‬‫متع‬ َ‫ع‬‫ُر‬‫ش‬ ‫ما‬ِ‫ل‬ ٌ‫م‬‫اس‬ِ‫ر‬ْ‫ذ‬ُ‫ع‬‫ال‬ Suatu nama bagi hukum yang disyari’atkan karena adanya peristiwa baru yang keluar dari hukum asal karena ada udzur. Contoh : menjama’ dua shalat karena ada udzur safar (perjalanan) dan hujan; menqashar shalat bagi musafir; boleh makan bangkai bagi orang yang dalam keadaan darurat. Hukum-hukum ini keluar dari hukum asal, dan yang mempengaruhinya adalah karena ada udzur.
  • 52. 5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...) Faktor Penyebab adanya Rukhshah 1. Lemah fisik. Seperti : tidak adanya kewajiban atas anak kecil dan orang gila, gugurnya kewajiban shalat jum’at bagi wanita. 2. Sakit. Seperti boleh berbuka puasa bagi orang yang sakit. 3. Perjalanan. Seperti boleh menqashar shalat yang empat rakaat. 4. Lupa. Seperti sah puasa orang yang makan dan minum karena lupa. 5. Jahl/bodoh/tidak tahu. Seperti gugurnya siksaan orang yang tidak bisa dalam belajar jika terjadi karena tidak melalaikan. 6. Keadaan terpaksa. Seperti boleh makan bangkai bagi orang yang kelaparan dan takut mati kalau tidak makan. 7. Bencana yang bersifat umum, yaitu dalam keadaan yang sulit melepaskan darinya.
  • 53. 5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...) Macam-macam Rukhshah 1. Boleh melakukan yang haram karena keadaan darurat. Seperti boleh makan daging babi karena darurat. 2. Boleh meninggalkan yang wajib. Seperti tidak berdiri dalam shalat bagi orang yang tidak mampu. 3. Membenarkan sebagian akad yang kurang persyaratan umumnya untuk menghilangkan kesulitan dan memudahkan manusia. Seperti akad salam dan jasa kerja.
  • 54. 5. ‘Azimah dan Rukhshah (lanjutan...) Derajat Mengambil Rukhshah 1. Boleh memilih antarmengambil rukhshah atau meninggalkannya. Seperti boleh berbuka puasa bagi musafir atau tetap berpuasa. 2. Lebih utama mengambil rukhshah. Seperti menqashar shalat bagi musafir, karena Rasulullah saw selalu mengqashar shalat dalam safar. 3. Lebih utama meninggalkan rukhshah. Seperti sabar menanggung penderitaan ketika dipaksa mengatakan kata kekufuran. 4. Wajib mengambil rukhshah. Seperti wajib makan bangkai bagi orang yang dalam keadaan darurat agar tidak mati.
  • 55. Ada’, I’adah, Qadha’ Tiga istilah syari’at yang berhubungan dengan hukum wadh’i dilihat dari sisi waktu pelaksanaan ibadah : 1. Ada’, yaitu melakukan suatu ibadah pada waktu yang ditentukan menurut syari’at. 2. I’adah (pengulangan), yaitu melakukan suatu ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh syari’at untuk kedua kalinya karena ada semacam kerusakan atau kekurangan dalam menunaikannya. 3. Qadha’, yaitu melakukan suatu ibadah setelah keluar dari waktu yang telah ditentukan oleh syari’at, baik karena kerusakan dalam menunaikan atau karena meninggalkannya secara keseluruhan, karena adanya suatu udzur atau tanpa udzur.
  • 56. Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...) Catatan : Bahwa qadha tidak ada dalil yang memerintahkan qadha kecuali dalam melakukan ibadah setelah keluar waktunya disebabkan adanya udzur seperti tidak shalat disebabkan ketiduran, atau puasa bagi wanita haidh dan nifas. Adapun keluarnya waktu tanpa udzur, tidak ada dalil yang memerintahkan qadha. Ini berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama fiqh.
  • 57. Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...) Ini diperkuat oleh masalah yang dilontarkan oleh para ulama ushul fiqh, apakah qadha itu berdasarkan perintah pertama, atau membutuhkan perintah baru? Kebanyakan ulama berpendapat bahwa qadha membutuhkan perintah baru. Inilah pendapat yang benar, karena ibadah yang berkaitan dengan waktu, dimaksudkan oleh Syari’ dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Jika seorang mukallaf mengabaikannya lalu melaksanakannya di luar waktunya tanpa udzur, berarti ia tidak melakukannya sesuai perintah. Padahal nabi saw telah bersabda : “Barangsiapa yang melakukan suatu amal tidak berdasarkan perintah kami, maka amal itu ditolak”. (HR. Muslim).
  • 58. Ada’, I’adah, Qadha’ (lanjutan...) Ini berbeda dengan orang yang punya udzur. Bisa jadi syari’at menggugurkan kewajibannya dan tidak memerintahkannya seperti menqadha shalat bagi wanita haidh. Atau karena ada perintah baru, seperti perintah mengqadha shalat bagi orang yang tidur dan lupa, perintah mengqadha puasa bagi wanita haidh dan nifas dan bagi musafir, menggantikan haji bagi orang yang tidak mampu melaksanakan haji di masa hidupnya. Dari permasalahan ini timbul masalah baru, yaitu mengqadha shalat, puasa dan semacamnya bagi orang yang meninggalkannnya pada waktunya dengan sengaja. Ini baginya tidak ada rukhshah untuk mengqadhanya, tetapi caranya dengan taubat dan banyak melakukan ibadah sunnah.
  • 59. Semoga dapat dipahami! ‫إال‬ ‫الاله‬ ‫أن‬ ‫أشهد‬ ‫وبحمدك‬ ‫اللهم‬ ‫سبحانك‬ ‫إليك‬ ‫واتوب‬ ‫استغفرك‬ ‫انت‬ ‫والسالم‬‫وبركاته‬ ‫هللا‬ ‫حمة‬‫ر‬‫و‬ ‫عليكم‬ ‫هللا‬ ‫في‬ ‫أخوكم‬: ‫الدين‬ ‫شفيع‬ ‫أسنين‬ 082110609056 asnin_syafiuddin@yahoo.co.id http://abufathirabbani.blogspot.com