SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 12
PENGARUH KEMATANGAN BERAGAMA TERHADAP KOMPETENSI
PEGAWAI DALAM PERSPEKTIF MANUSIA-UNGGUL-PARTISIPATORIS
Oleh : Mohamad Soleh S.Psi., MM., CHT., CNLP
Mohamad.soleh@gmail.com, 0818 74 90 89
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Perlu disadari, ada keterkaitan yang sangat erat antara kinerja pegawai dengan
kualitas kompetensi manusianya.. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kinerja pegawai,
maka perlu kiranya untuk meningkatkan kompetensi pegawainya. Kompetensi
pegawainya yang dimaksudkan dalam tulisan ini berdasarkan pada suatu kriteria tertentu
yang mengacu pada keunggulan SDM ---yang diharapkan mampu menghadapi tantangan
persaiangan global, yang terus-menerus berubah dengan cepat, termasuk juga arus
informasi dan teknologi--- yaitu kriteria Manusia-Unggul-Partisipatoris merupakan salah
satu konsep yang dibangun untuk menggambarkan SDM unggul yang diinginkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mutu kualitas seseorang muncul dan terlihat dari
suatu perilaku keseharian ditentukan atau di dominasi oleh adanya intensi, sikap, dan
keyakinan seseorang akan perbuatan yang dilakukannya (Fishbein dan Ajzen, 1975;
dalam Andrianto, 1999). Dimana salah satu sumber utama dari sikap, keyakinan, dan
nilai-nilai dalam diri individu adalah keberagamaan individu.
Ajaran agama mengandung nilai moral-nilai moral dan perilaku yang
melahirkan konsekuensi pada pemeluknya untuk mengamalkan nilai moral-nilai moral
tersebut ke dalam perilaku keseharian. Namun tidak semua individu dapat melakukannya.
Hanya individu yang memiliki kematangan dalam beragamalah yang berpeluang untuk
mewujudkannya. Salah satu ciri pribadi yang matang dalam dalam kehidupan beragama
ditandai dengan dimilikinya konsistensi antara nilai moral-nilai moral agama yang
tertanam dalam diri individu dengan perilaku keseharian yang dimunculkan. Dalam
bahasa yang sederhana dapat diungkapkan bahwa apabila individu matang dalam
kehidupan beragamanya, maka individu tersebut akan konsisten dengan ajaran agamanya.
Konsistensi ini akan membawa individu untuk berperilaku sesuai dengan ajaran
agamanya. Lebih jauh, melalui kematangan dalam kehidupan beragama individu akan
mampu untuk mengintegrasikan atau menyatukan ajaran agama dalam seluruh aspek
1
kehidupan. Secara khusus, keberagamaan yang matang akan lebih mendorong umat untuk
berperilaku sesuai dengan ajaran agama dalam setiap sisi kehidupan.
Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada
semua fakta, nila-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoretis
maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama. Termasuk ketika
setiap individu bekerja.
Banyak literatur yang menceritakan tentang berbagai perusahaan yang telah sukses
besar, dikarenakan adanya penerapan sisi spiritualitas pada setiap pegawainya. Atau
bahkan penerapan Corporate Culture yang berbasis agama. Semisal, keberhasilan
Mashusita (pendiri Matshusita Group, perusahaan elektronik Jepang terbesar),
menerapkan budaya disiplin dan rasa saling menyayangi terhadap pegawainya. Dan hal
ini merupakan salah satu perwujudan dari kematanga beragamanya yang tinggi. Hal ini
juga terjadi diberbagai perusahaan besar lainnya. Dalam konteks Indonesia, mulai tahun
2000an, sudah banyak perusahaan yang menyadari tentang pentingnya spiritualitas dalam
mengelola perusahaan, termasuk bekerja sebagai pegawai. Ada Blue Bird Group yang
mengadakan kegiatan keagamaan yang rutin untuk umat Islam dan Umat Kristiani.
Bahkan diyakini, bila pegawainya memiliki kematangan dalam beragama yang tinggi
maka secara otomatis, pegawai tersebut memiliki integritas, kedisiplinan, rasa tanggung
jawab, semangat kerja dan loyalitas yang tinggi.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah benarkah terdapat peranan kematangan
beragama terhadap tingginya kompetensi pegawai berdasarkan kriteria Manusia-Unggul-
Partisipatoris?
2
II. PEMBAHASAN
Kematangan Beragama
Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada
semua fakta, nila-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoretis
maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.
Allport (1953), selain memberikan definisi, juga menyertakan ciri-ciri individu
yang memiliki kematangan beragama dalam pembahasannya, yaitu :
a. Kemampuan melakukan diferensiasi. Kemampuan melakukan diferensiasi dengan
baik dimaksudkan sebagai individu dalam bersikap dan berperilaku terhadap agama
secara objektif, kritis, reflektif, berpikir terbuka atau tidak dogmatis, observatif,
dan tidak fanatik secara terbuka. Individu sering mengalami konflik antara rasio
dengan dogma agama. Individu yang memiliki kematangan beragama akan mampu
mengharmoniskan keduanya melalui kemampuannya dalam berpikir objektif,
melakukan observasi dan berani melakukan kritik terhadap apa yang dirasakannya.
Individu yang memiliki kehidupan beragama yang terdiferensiasi, akan mampu
menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan beragamanya,
sehingga pandangan terhadap agama menjadi lebih kompleks dan realistis (Allport,
1953), serta tidak terjebak pada pemikiran yang dogmatis.
b. Berkarakter dinamis. Dalam diri individu yang berkarakter dinamis, agama telah
mampu mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya. Aktivitas
keagamaan semuanya dilaksanakan demi kepentingan agama itu sendiri (Subandi,
1995). Karakter yang dinamis ini di dalamnya meliputi motivasi intrinsik, otonom,
dan independen dalam kehidupan beragama.
c. Konsistensi moral. Kematangan beragama ditandai dengan konsistensi individu
pada konsekuensi moral yang dimiliki dengan ditandai oleh keselarasan antara
tingkah laku dengan nilai moral. Agama dan moralitas memiliki keterkaitan yang
kompleks. Salah satunya adalah adanya keselarasan dan kesamaan antara tingkah
laku dengan nilai-nilai agama. Kepercayaan tentang agama yang intens akan
mampu mengubah atau mentransformasikan tingkah laku (Allport, 1953).
3
d. Komprehensif. Keberagamaan yang komprehensif dapat diartikan sebagai
keberagamaan yang luas, universal, dan toleran dalam arti mampu menerima
perbedaan (Allport, 1953). Dengan memandang agama sebagai hal yang universal,
akan mengarahkan individu untuk mencerna bahwa segala sesuatu yang terjadi
pada dirinya senantiasa dikembalikan pada Tuhan (Subandi, 1995).
e. Integral. Keberagamaan yang matang akan mampu mengintegrasikan atau
menyatukan agama dengan segenap aspek-aspek lain dalam kehidupan, termasuk di
dalamnya dengan ilmu pengetahuan (Subandi, 1995). Integrasi antara agama
dengan ilmu pengetahuan yang sangat penting, mengingat keduanya merupakan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perasaan yang integral ini menjadikan
individu yang dewasa akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan kejahatan.
f. Heuristik. Ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan menyadari
keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha untuk meningkatkan
pemahaman dan penghayatannya dalam beragama (Subandi, 1995). Kepercayaan
heuristik sendiri dapat dipandang sebagai suatu kepercayaan yang diyakini untuk
sementara sampai dapat di konfirmasikan untuk membantu menemukan
kepercayaan yang lebih valid. Orang yang beragama secara dewasa akan menyadari
bahwa dirinya tidak pernah sempurna, sehingga selalu berusaha meningkatkan
keimanannya.
Manusia-Unggul-Partisipatoris
Manusia-Unggul-Partisipatoris adalah manusia yang selalu menggali dan
mengembangkan potensi diri dan ikut serta secara aktif dalam pengembangan kualitas
suatu masyarakat. Ciri-ciri Manusia-Unggul-Partisipatoris, antara lain adalah :
1. Dedikasi dan disiplin
Seorang manusia unggul haruslah mempunyai rasa pengabdian terhadap tugas dan
pekerjaannya. Dia harus ---di dalam kaitan ini--- sadar arah. Memiliki visi jauh kedepan,
yaitu visi normatif atau idealis dan visi strategik. Visi normatif adalah visi ideal yang
belum kongkrit dan berfungsi sebagai prinsip-prinsip pengarah (gueding principle). Visi
strategik yaitu visi yang dijabarkan dalam target-target dan terikat dalam suatu kurun
waktu tertentu yang perlu diwujudkan.
4
Visi yang jauh ke depan bukanlah proyeksi kekhawatiran dan kelemahan karakter
dari orang yang memberi masukan, tetapi lebih pada refleksi yang akurat tentang dirinya
sendiri. Ia dapat memutuskan pada dirinya bagaimana semua peristiwa atau stimulus akan
mempengaruhi dirinya. Ia merupakan orang yang proaktif yang digerakkan oleh nilai-
nilai yang sudah di pikirkan secara cermat, di seleksi dan di hayati. Respon mereka
terhadap stimulus yang didapat selalu didasarkan pada nilai tertentu (Covey,1997).
Selanjutnya seorang yang berdedikasi adalah seseorang yang berdisiplin, karena ia
terfokus pada apa yang ingin ia wujudkan.
2. Jujur
Kejujuran yang dimiliki manusia unggul adalah kejujuran terhadap diri sendiri
dan orang lain. Kejujuran terhadap diri sendiri adalah jujur terhadap kemampuan diri
sendiri. Mengakui apa yang bisa diperbuat dan yang tidak bisa di perbuat, suatu ciri sikap
profesionalisme. Sikap profesionalisme ini juga ditandai oleh seseorang manusia unggul
yang mengetahui kapan ia berdiri sendiri dan kapan ia harus bekerja sama.
Kejujuran terhadap diri sendiri ini dapat terjadi bila didukung dengan adanya
kesadaran diri. Sebuah kemampuan untuk memperhatikan secara terus-menerus keadaan
batinnya sendiri, dimana pikiran mengamati dan menggali pengalaman dirinya.
Kejujuran terhadap orang lain dapat dilihat dari kemampuan bekerja sama, karena
pada akhirnya suatu kerjasama akan didasarkan kepada saling percaya atau trust seperti
yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama (Tilaar, 1998), karena tanpa kejujuran manusia
unggul akan dapat survive.
3. Inovatif
Seorang manusia unggul bukanlah seorang manusia rutin yang puas dengan hasil
yang telah dicapai dan telah puas dengan status quo. Seorang manusia unggul adalah
yang selalu gelisah dan selalu mencari yang baru. Mencari yang baru tidak perlu
menciptakan sesuatu yang baru tetapi juga yang dapat menemukan fungsi yang baru dari
suatu penemuan. Hal itu hanya bisa dicapai dengan creative thinking. Hanya dengan
berpikir kreatif kita dapat terlepas dari cengkeraman birokrasi-feodalis kaku yang hanya
bergerak apabila ada petunjuk dari atasan. Budaya memohon petunjuk bertentangan
dengan manusia unggul.
4. Tekun
5
Seorang manuisa unggul adalah seorang yang dapat memfokuskan perhatian pada
tugas dan pekerjaan yang telah diserahkan kepadanya, atau suatu usaha yang sedang
dikerjakannya. Ia menghargai nilai-nilai sumber yang ada yang tidak akan menyebabkan
pemborosan, karena pemborosan bukanlah sesuatu yang sesuai dengan kehidupan yang
mementingkan mutu.
5. Ulet
Manusia adalah manusia yang tidak mudah putus asa. Ia akan terus-menerus
mencari dan mencari. Dibantu dengan sikapnya yang tekun, maka keuletan akan
membawa dia kepada suatu dedikasi terhadap pekerjaannya mencari yang lebih baik dan
bermutu.
6. Kemauan untuk belajar
Menurut UNESCO, belajar pada abad 21 haruslah didasarkan pada empat pilar
yaitu : 1) learning to think, 2) learning to do, 3) learning to be, dan 4) learning to live
together. Keempat pilar tersebut merupakan soko guru dari manusia abad 21 menghadapi
arus informasi dan kehidupan yang terus-menerus berubah.
Di dalam belajar berpikir ditunjukkan bahwa arus informasi yang begitu cepat
berubah dan makin lama makin banyak tidak mungkin lagi dikuasai oleh manusia karena
kemampuan otaknya yang terbatas. Oleh karena itu, proses belajar yang terus-menerus
terjadi seumur hidup ialah belajar bagaimana berpikir (learning to think).
Selain itu, bukan hanya sekedar berpikir, akan tetapi juga menuntut manusia yang
berbuat (learning to do). Yaitu, manusia yang ingin memperbaiki kualitas kehidupannya
dan menjadi manusia produktif. Tanpa berbuat sesuatu, pemikiran atau konsep tidak
mempunyai arti.
Selanjutnya, adanya bahaya yang mengancam planet bumi sebagai satu-satunya
tempat kehidupan sebelum di temukannya kemungkinan hidup di planet-planet lainnya.
Hal ini berarti bahwa setiap manusia di muka bumi dituntut secara sadar belajar
bagaimana untuk tetap hidup (learning to be).
Tuntutan kemauan untuk belajar yang terakhir adalah mempererat hidup bersama
antar individu dalam konteks lintas bangsa (learning to live together). Hal ini terutama
sebagai upaya untuk menghadapi dan mencegah terjadinya pertentangan budaya.
6
Peranan kematangan keberagamaan terhadap kompetensi Pegawai dalam
perspektif Manusia-Unggul-Partisipatoris
Ancok (1998) dalam tulisannya mengenai manusia menghadapi milenium III
mengungkapkan bahwa orang-orang yang survive adalah mereka yang memiliki
keyakinan yang kuat terhadap hal-hal transenden atau spiritual. Karena mereka memiliki
prinsip-prinsip yang mereka yakini kebenarannya dalam menjalankan kehidupan.
Keyakinan yang kuat dan diiringi dengan tindakan nyata adalah merupakan wujud nyata
kematangan beragama individu. Hal ini senada dengan konsep Covey (1997) bahwa
sebenarnya perbedaan persepsi yang mempengaruhi perilaku manusia tidak akan pernah
terjadi selama kita berpegang pada prinsip-prinsip universal [dalam hal ini ajaran agama]
yang dimiliki oleh manusia.
Menurut Setiadi dkk (1986), ada tujuh ciri-ciri dan dimensi kualitas pribadi
manusia Indonesia yang dominan yaitu : Ketaatan pada prinsip moral dan norma agama,
Pengembangan diri dan orientasi masa depan, Sikap sosial dalam hubungan antar
manusia, Persatuan bangsa, Efisiensi waktu, tenaga dan biaya, Kemandirian dan
Pengendalian diri. Selanjutnya mereka juga mengungkapkan,
“Dengan menggunakan sekor ketujuh dimensi analisa faktor dari data Indonesia,
telah dilakukan perbandingan antara apa yang ideal dianggap penting dengan apa
yang dipersepsikan ada dalam kenyataannya : baik untuk responden secara
keseluruhan, responden perkota, maupun untuk responden dosen, mahasiswa dan
masyarakat. Perbandingan tersebut antara peringkat ideal dan kenyataan dari
analisa faktor, seluruh responden menunjukkan bahwa ketaatan pada prinsip moral
dan norma agama sama-sama menduduki peringkat pertama. Hasil yang serupa
dijumpai pada kelompok dosen mahasiswa, masyarakat, dan 14 dari 15 kota”.
Dari hasil penelitian tersebut, menunjukkan dengan jelas betapa besar peranan
kematangan beragama ---dalam hal ini adalah ketaatan pada prinsip norma agama---
dalam menunjukkan kompetensi pegawai, khususnya manusia Indonesia.
Untuk lebih jelas betapa besarnya peranan kematangan beragama terhadap
kompetensi pegawaiberdasarkan kriteria, dibawah ini akan dijabarkan secara terperinci.
7
a.Peranan kematangan beragama terhadap Kompetensi disiplin dan dedikasi
Sebagaimana hasil penelitian Ahmad (1995) yang menunjukkan bahwa semakin
tingginya tingkat religiusitas seseorang maka semakin tinggi tingkat disiplin yang
dimilikinya, begitu pula dengan dedikasinya. Karena seseorang yang berdedikasi terlihat
dari kedisplinannya. Dinamika ini terbukti bila seseorang memiliki kematangan
beragama. Karena individu yang memiliki kematangan beragama, ia memiliki karakter
yang dinamis –yang mencakup motivasi intrinsik, otonom, dan mandiri dalam
berkehidupan agama--- dan konsistensi moral yang tinggi . Dimana kedua ciri tersebut
merupakan salah satu faktor tumbuhnya sikap disiplin dan dedikasi dalam diri individu.
Sebagai ilustrasi :
Dalam setiap agama ada rutinitas spiritual yang menuntut disiplin tinggi dan
ajaran untuk berkorban dengan sepenuh hati [dedikasi]. Untuk mencapai semua hal itu,
hanyalah individu yang memiliki kematangan beragama yang tinggi saja yang mampu
mencapainya. Maka jelaslah sudah bahwa kematangan beragama mempunyai peran
penting dalam menumbuhkan sikap disiplin dan dedikasi.
b.Peranan kematangan beragama terhadap Kompetensi Integritas
Salah satu substansi ajaran agama adalah Integritas. Maka seseorang yang
memiliki kematangan beragama tentu akan menjunjung tinggi Integritas terhadap dirinya
sendiri, baik kemampuan maupun kekurangannya. Hal ini sesuai dengan salah satu ciri
kematangan beragama, yaitu konsistensi moral. Dimana individu yang memiliki
kematangan beragama ia cenderung akan konsisten dengan ajaran agamanya, yaitu
bersikap jujur.
c. Peranan kematangan beragama terhadap Kompetensi Inovatif
Hasil penelitian pengalaman beragama (Subandi, 1997; dalam Diana 1998)
menunjukkan bahwa salah satu hasil pengalaman beragama adalah munculnya berbagai
gagasan yang orisinal atau kreatif, sehingga memungkinkan berkembanganya pemikiran-
pemikiran kreatif. Pemikiran-pemikiran kreatif (creative thinking) inilah yang
menghasilkan sikap inovatif dalam diri individu. Dinamika psikologis tersebut juga
didukung oleh hasil penelitian Diana (1998) yang menunjukkan bahwa semakin tingginya
8
religiusitas seseorang maka semakin tinggi pula tingkat kreatifitasnya. Hal ini bisa
dipahami karena seseorang yang memiliki kematangan beragama akan memahami betul
bahwa ia harus bersyukur atas karunia yang diberikan oleh Tuhannya berupa akal pikiran.
Dan wujud kesyukuran itu adalah dengan menggunakan dalam memikirkan segala hal
yang ada di dalam alam semesta ini. Kecuali hal-hal gaib yang tidak kelihatan, karena
tidak mampu dicapai oleh otak manusia yang hanya mampu menangkap hal yang realistis
dan obyektif. Maka hal-hal yang ada diluar jangkauan akalnya ia serahkan pada suatu
otoritas yang ia yakini kebenarannya, yaitu realitas transendental. Hingga ia tidak berfikir
pada hal-hal yang ia memang tidak mampu, dan menfokuskan pada hal-hal yang ia
mampu serta selalu berfikir apa yang terbaik untuk kehidupan manusia di dunia. Bisa
dipastikan ia akan selalu mencari inovasi-inovasi demi perintah dari Tuhannya dan
kehidupan ummat manusia
Qardhawi (1999) menyatakan bahwa hendaknya kaum cendekiawan mencurahkan
segenap potensi mereka untuk memikirkan penciptaan langit dan bumi beserta isinya
dengan seluruh keteraturan dan ketelitian penciptaannya.
d. Peranan kematangan beragama terhadap Kompetensi Ketekunan dan Keuletan
Ketekunan dan uletnya seseorang terlihat dari usahanya yang sungguh-sungguh
dan suka bekerja keras serta tidak putus asa. Hal ini terkait dengan ajaran agama yang
selalu menyuruh setiap umatnya untuk selalu berusaha dan bekerja keras serta jangan
mudah menyerah atau putus asa, dimana dalam memperjuangkan sesuatu setiap individu
perlu berusaha secara optimal Maka sewajarnyalah bila seseorang memiliki kematangan
dalam beragama maka ia mempunyai ketekunan dan keuletan yang tinggi. Hal ini juga
didukung oleh sebuah hasil penelitian tahun 1996 yang menunjukkan hubungan yang
positif antara orientasi kehidupan keagamaan dengan ketahanan mental atau tidak mudah
menyerah. Di sisi lain orang yang matang dalam beragama akan menyadari bahwa
dirinya tidak pernah sempurna, sehingga selalu berusaha meningkatkan [kualitas] diri.
e. Peranan kematangan beragama terhadap Kompetensi kemauan untuk belajar
Salah satu ciri kematangan beragama seseorang adalah karakter yang dinamis
yang didalamnya meliputi motivasi intrinsik. Maka secara langsung dapat dikatakan
9
bahwa seseorang yang memiliki kematangan beragama maka ia memiliki kemauan dari
dalam diri yang kuat termasuk kemauan untuk selalu belajar. Hal ini didukung oleh
penelitian Uyun (1998) yang menunjukkan adanya hubungan positif antara religiusitas
(dimensi ideologis, ritualistik, eksperiensial dan konsekuensial) dengan motivasi
berprestasi.
Begitu pula dengan ciri kemampuan melakukan diferensiasi yang dimiliki
individu yang mempunyai kematangan beragama. Kemampuan tersebut menuntut
individu untuk selalu bersikap kritis, obyektif, dan reflektif, sehingga terkembang
kemauannya untuk selalu belajar berpikir (learning to think) dan bertindak (learning to
do). Serta ciri konsistensi moral yang menjadikan individu selalu mencoba untuk
bertindak (learning to do) (Andrianto, 1999). Konsistensi moral individu selalu
menuntutnya untuk menyelaraskan antara hal-hal yang dipikirkannya dengan tindakan
nyata atau usaha untuk mencoba , sehingga adanya kemauan untuk memperbaiki kualitas
hidupnya atau lebih produktif.
Sedangkan kemauan untuk belajar dalam konteks hidup bersama atau berinteraksi
sosial (learning to live together), kematangan beragama juga memberi peranan yang
penting. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Andrianto (1999) yang menunjukkan
semakin tingginya kematangan beragama seseorang, maka semakin tinggi pula intensi
prososialnya. Serta hasil penelitian Suhartanto (1993) yang membuktikan bahwa ada
hubungan positif antara orientasi kehidupan keagamaan dengan intensi prososial. Dimana
perilaku prososial itu sendiri mencakup tindakan menolong, bekerja sama, berbagi
perasaan, bertindak jujur dan dermawan terhadap orang lain.
10
III. KESIMPULAN & SARAN
Berdasarkan pembahasan diatas, maka bisa disimpulkan bahwa kematangan
beragama seseorang dapat menjadikannya memiliki kompetensi yang tinggi sesuai
dengan kriteria yang diajukan oleh Thilaar (1998) yaitu Manusia-Unggul-Partisipatoris.
Oleh karena itu, untuk menyiapkan pegawai yang memiliki kompetensi unggul
dalam menghadapi persaiangan bisnis yang penuh dengan tantangan dan tingkat
turbulensi yang tinggi, maka saran-saran yang perlu dilakukan adalah :
 Adakan program kampanye & pembinaan agama yang tidak hanya mengutamakan
pengetahuan tetapi sampai pada tingkat kematangan yang ditunjukkan oleh perilaku
dan tingkat kesadaran menunaikan kewajiban menjalankan ajaran agama.
 Penciptaan lingkungan yang kondusif dan keterlibatan yang intensif dari para
manager, dan Board of Director dalam membentuk kematangan beragama disetiap
aktivitas kerja.
 Menjadikan agama sebagai salah satu landasan berpikir dan berperilaku serta
kebijakan-kebijakan yang diambil baik dalam mengelola perusahaan.
 Mengaktifkan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyentuh segala kalangan, baik
dari segi usia, jenis kelamin, budaya maupun posisi.
 Memanfaatkan media komunikasi yang ada dalam menanamkan kesadaran beragama,
hingga pada akhirnya dapat meningkatkan kematangan beragama.
 Mengupayakan terbentuknya sinergi antar pegawai dalam menyelesaikan setiap
permasalahan kerja berbasis nilai-nilai universal agama.
 Menjadikan para pemimpin perusahaan yang memiliki kematangan beragama dengan
kualitas unggul yang dimilikinya sebagai model atau figur bagi para pegawai.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D, 1998. Membangun Kompetensi Manusia dalam Millenium Ketiga.
Psikologika No 6 tahun III 1998. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UII.
Andrianto,1999. Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Intensi Prososial :
Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UII. Skripsi(tidak diterbitkan).Yogyakarta :
Fakultas Psikologi UII.
Covey, 1997. Tujuh Kebisaan Manusia yang Sangat Efektif. Jakarta : Gramedia.
Diana, 1998. Hubungan Antara Relegiusitas dan Kreativitas Siswa SMU Negeri III
Sukabumi. Ringkasan Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi
UGM.
Najib & Sukardiono, 1998. Amien Rais Sang Demokrat : Dilengkapi catatan harian
sampai jatuhnya Soeharto. Jakarta: Gema Insani Press.
Soleh, 2010: Kamus Kompetensi INDOCARE Group (tidak diterbitkan). Jakarta.
Pella, 2010: Kamus Kompetensi TASPEN (tidak diterbitkan). Jakarta.
Qardhawi, Y, 1999. Al-Qur’an : Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta :
Gema Insani.
Setiadi, dkk, 1986. Kualitas Pribadi Manusia Indonesia Penunjang Pembangunan : Suatu
Studi Mengenai Kualitas Ideal dan Kenyataannya di 15 Kota di Indonesia. Laporan
Penelitian(tidak diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi UI.
Suhartanto, 1993. Hubungan Orientasi Kehidupan Keagamaan, Locus of Control, dan
Harga Diri dengan Intensi Prososial. Ringkasan Skripsi.Yogyakarta : Fakultas
Psikologi UGM
Tilaar, H.A.R,.1998. Sistem Pendidikan Indonesia. Bandung : Rosdakarya.
Uyun,.Q, 1998. Relegiusitas dan Motif Berprestasi Mahasiswa. Laporan Penelitian.
Yogyakarta : Fakultas Psikologi UII.
12

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Psikologi agama BY dianto irawan
Psikologi agama BY dianto irawanPsikologi agama BY dianto irawan
Psikologi agama BY dianto irawanDIANTO IRAWAN
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-haripjj_kemenkes
 
Manusia dan agama
Manusia dan agamaManusia dan agama
Manusia dan agamaIndra West
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-haripjj_kemenkes
 
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas X
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas XNila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas X
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas XRizka A. Hutami
 
Nilai nilai murni dalam setiap agama di malaysia
Nilai nilai murni dalam setiap agama di malaysiaNilai nilai murni dalam setiap agama di malaysia
Nilai nilai murni dalam setiap agama di malaysiaZarina Zam
 
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islam
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islamNilai agama dan adat kepercayaan - agama islam
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islamSherly Jewinly
 
Makalah agama
Makalah agamaMakalah agama
Makalah agamaRudi Ajip
 
CONTOH MAKALAH AGAMA
CONTOH MAKALAH AGAMACONTOH MAKALAH AGAMA
CONTOH MAKALAH AGAMAEman Syukur
 
Makalah psikologi
Makalah psikologiMakalah psikologi
Makalah psikologiHary Ihsan
 
Bab 6 kepelbagaian agama
Bab 6   kepelbagaian agamaBab 6   kepelbagaian agama
Bab 6 kepelbagaian agamaMaizatul Akmal
 
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam KehidupanEksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam KehidupanOki Ma'arif
 
ANALISIS KONSEP DAN NILAI MURNI PELBAGAI AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI MALAYSIA
ANALISIS KONSEP DAN NILAI MURNI PELBAGAI AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI MALAYSIA  ANALISIS KONSEP DAN NILAI MURNI PELBAGAI AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI MALAYSIA
ANALISIS KONSEP DAN NILAI MURNI PELBAGAI AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI MALAYSIA Santa Barbara
 

Was ist angesagt? (20)

Makalah agama
Makalah agamaMakalah agama
Makalah agama
 
Psikologi agama BY dianto irawan
Psikologi agama BY dianto irawanPsikologi agama BY dianto irawan
Psikologi agama BY dianto irawan
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
 
Manusia dan agama
Manusia dan agamaManusia dan agama
Manusia dan agama
 
Kedudukan akhlak dalam islam
Kedudukan akhlak dalam islamKedudukan akhlak dalam islam
Kedudukan akhlak dalam islam
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
 
Spe Bab6
Spe Bab6Spe Bab6
Spe Bab6
 
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas X
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas XNila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas X
Nila nilai keagamaan dan kepercayaan masyarakat_PPKN kelas X
 
Konsep Ketuhanan dan Kepercayaan
Konsep Ketuhanan dan KepercayaanKonsep Ketuhanan dan Kepercayaan
Konsep Ketuhanan dan Kepercayaan
 
Nilai nilai murni dalam setiap agama di malaysia
Nilai nilai murni dalam setiap agama di malaysiaNilai nilai murni dalam setiap agama di malaysia
Nilai nilai murni dalam setiap agama di malaysia
 
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islam
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islamNilai agama dan adat kepercayaan - agama islam
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islam
 
Makalah agama
Makalah agamaMakalah agama
Makalah agama
 
Agama di malaysia
Agama di malaysiaAgama di malaysia
Agama di malaysia
 
CONTOH MAKALAH AGAMA
CONTOH MAKALAH AGAMACONTOH MAKALAH AGAMA
CONTOH MAKALAH AGAMA
 
Makalah psikologi
Makalah psikologiMakalah psikologi
Makalah psikologi
 
Akhlak
AkhlakAkhlak
Akhlak
 
Bab 6 kepelbagaian agama
Bab 6   kepelbagaian agamaBab 6   kepelbagaian agama
Bab 6 kepelbagaian agama
 
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam KehidupanEksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Eksistensi dan Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
 
KONSELOR ISLAM
KONSELOR ISLAMKONSELOR ISLAM
KONSELOR ISLAM
 
ANALISIS KONSEP DAN NILAI MURNI PELBAGAI AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI MALAYSIA
ANALISIS KONSEP DAN NILAI MURNI PELBAGAI AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI MALAYSIA  ANALISIS KONSEP DAN NILAI MURNI PELBAGAI AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI MALAYSIA
ANALISIS KONSEP DAN NILAI MURNI PELBAGAI AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI MALAYSIA
 

Ähnlich wie Kematangan Beragama

Proses perkembangan moral dan spiritual peserta didik
Proses perkembangan moral dan spiritual peserta didikProses perkembangan moral dan spiritual peserta didik
Proses perkembangan moral dan spiritual peserta didikDeep Walker
 
Be & gg tugas ethics value rame priyanto_55117120122
Be & gg tugas ethics value rame priyanto_55117120122Be & gg tugas ethics value rame priyanto_55117120122
Be & gg tugas ethics value rame priyanto_55117120122Rame Priyanto
 
Kultur organisasi p pt
Kultur organisasi p ptKultur organisasi p pt
Kultur organisasi p ptlenin888
 
Fungsi aqidah2
Fungsi aqidah2Fungsi aqidah2
Fungsi aqidah2mamogi
 
Jawaban ujian budaya organisasi
Jawaban ujian budaya organisasiJawaban ujian budaya organisasi
Jawaban ujian budaya organisasiRoby Irzal Maulana
 
KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI MASYARAKAT
KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI MASYARAKATKEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI MASYARAKAT
KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI MASYARAKATArdiSeptyanto1
 
Haris krismana ii.a p.e
Haris krismana ii.a p.eHaris krismana ii.a p.e
Haris krismana ii.a p.eRizz Aee
 
Cara Pendekatan Sosial Budaya dalam Praktik Kebidanan
Cara Pendekatan Sosial Budaya dalam Praktik KebidananCara Pendekatan Sosial Budaya dalam Praktik Kebidanan
Cara Pendekatan Sosial Budaya dalam Praktik Kebidananpjj_kemenkes
 
Budaya organisasi ... perilaku keorganisasian
Budaya organisasi ... perilaku keorganisasianBudaya organisasi ... perilaku keorganisasian
Budaya organisasi ... perilaku keorganisasianFriskatriana
 
1. SIKAP, PRIBADI DAN TINGKAH LAKU.pdf
1. SIKAP, PRIBADI DAN TINGKAH LAKU.pdf1. SIKAP, PRIBADI DAN TINGKAH LAKU.pdf
1. SIKAP, PRIBADI DAN TINGKAH LAKU.pdfBhinekaTemplate
 
PPT 2_KELOMPOK 5_B1A_PENGANTAR MANAJEMEN_KEUANGAN DAN PERBANKAN MINAT PERBANK...
PPT 2_KELOMPOK 5_B1A_PENGANTAR MANAJEMEN_KEUANGAN DAN PERBANKAN MINAT PERBANK...PPT 2_KELOMPOK 5_B1A_PENGANTAR MANAJEMEN_KEUANGAN DAN PERBANKAN MINAT PERBANK...
PPT 2_KELOMPOK 5_B1A_PENGANTAR MANAJEMEN_KEUANGAN DAN PERBANKAN MINAT PERBANK...BrillianSatria1
 
Asigment pembangunan sahsiah betul
Asigment pembangunan sahsiah betulAsigment pembangunan sahsiah betul
Asigment pembangunan sahsiah betulSiti Jaharah Muhamad
 
Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritual
Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritualPerilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritual
Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritualIndra1980
 
Landasan bimbingan dan konseling
Landasan bimbingan dan konselingLandasan bimbingan dan konseling
Landasan bimbingan dan konselingIndra Gunawan
 

Ähnlich wie Kematangan Beragama (20)

Proses perkembangan moral dan spiritual peserta didik
Proses perkembangan moral dan spiritual peserta didikProses perkembangan moral dan spiritual peserta didik
Proses perkembangan moral dan spiritual peserta didik
 
Be & gg tugas ethics value rame priyanto_55117120122
Be & gg tugas ethics value rame priyanto_55117120122Be & gg tugas ethics value rame priyanto_55117120122
Be & gg tugas ethics value rame priyanto_55117120122
 
Kultur organisasi p pt
Kultur organisasi p ptKultur organisasi p pt
Kultur organisasi p pt
 
Fungsi aqidah2
Fungsi aqidah2Fungsi aqidah2
Fungsi aqidah2
 
Kurikulum pembelajaran
Kurikulum pembelajaranKurikulum pembelajaran
Kurikulum pembelajaran
 
Jawaban ujian budaya organisasi
Jawaban ujian budaya organisasiJawaban ujian budaya organisasi
Jawaban ujian budaya organisasi
 
KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI MASYARAKAT
KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI MASYARAKATKEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI MASYARAKAT
KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI MASYARAKAT
 
Rumusan artikel 4
Rumusan artikel 4Rumusan artikel 4
Rumusan artikel 4
 
Haris krismana ii.a p.e
Haris krismana ii.a p.eHaris krismana ii.a p.e
Haris krismana ii.a p.e
 
Cara Pendekatan Sosial Budaya dalam Praktik Kebidanan
Cara Pendekatan Sosial Budaya dalam Praktik KebidananCara Pendekatan Sosial Budaya dalam Praktik Kebidanan
Cara Pendekatan Sosial Budaya dalam Praktik Kebidanan
 
424-672-1-SM.pdf
424-672-1-SM.pdf424-672-1-SM.pdf
424-672-1-SM.pdf
 
Budaya organisasi ... perilaku keorganisasian
Budaya organisasi ... perilaku keorganisasianBudaya organisasi ... perilaku keorganisasian
Budaya organisasi ... perilaku keorganisasian
 
1. SIKAP, PRIBADI DAN TINGKAH LAKU.pdf
1. SIKAP, PRIBADI DAN TINGKAH LAKU.pdf1. SIKAP, PRIBADI DAN TINGKAH LAKU.pdf
1. SIKAP, PRIBADI DAN TINGKAH LAKU.pdf
 
PPT 2_KELOMPOK 5_B1A_PENGANTAR MANAJEMEN_KEUANGAN DAN PERBANKAN MINAT PERBANK...
PPT 2_KELOMPOK 5_B1A_PENGANTAR MANAJEMEN_KEUANGAN DAN PERBANKAN MINAT PERBANK...PPT 2_KELOMPOK 5_B1A_PENGANTAR MANAJEMEN_KEUANGAN DAN PERBANKAN MINAT PERBANK...
PPT 2_KELOMPOK 5_B1A_PENGANTAR MANAJEMEN_KEUANGAN DAN PERBANKAN MINAT PERBANK...
 
kel. 5.docx
kel. 5.docxkel. 5.docx
kel. 5.docx
 
ULASAN ARTIKEL 4
ULASAN ARTIKEL 4ULASAN ARTIKEL 4
ULASAN ARTIKEL 4
 
Asigment pembangunan sahsiah betul
Asigment pembangunan sahsiah betulAsigment pembangunan sahsiah betul
Asigment pembangunan sahsiah betul
 
Bab 16
Bab 16Bab 16
Bab 16
 
Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritual
Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritualPerilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritual
Perilaku kewirausahaan berbasis kecerdasan spiritual
 
Landasan bimbingan dan konseling
Landasan bimbingan dan konselingLandasan bimbingan dan konseling
Landasan bimbingan dan konseling
 

Mehr von Mohamad Soleh AIDA Consultant (10)

Pertumbuhan cina
Pertumbuhan cinaPertumbuhan cina
Pertumbuhan cina
 
Peranan Teknologi Pada Pengembangan Bisnis
Peranan Teknologi Pada Pengembangan BisnisPeranan Teknologi Pada Pengembangan Bisnis
Peranan Teknologi Pada Pengembangan Bisnis
 
Team work by soleh
Team work by solehTeam work by soleh
Team work by soleh
 
Dinamika Penerapan E-Business Di Indonesia
Dinamika Penerapan E-Business Di IndonesiaDinamika Penerapan E-Business Di Indonesia
Dinamika Penerapan E-Business Di Indonesia
 
Problem Solving
Problem SolvingProblem Solving
Problem Solving
 
Spiritual leadership
Spiritual leadershipSpiritual leadership
Spiritual leadership
 
Implementasi Kurikulum 2013 by Mohamad Soleh, S.Psi, MM, CNLP
Implementasi Kurikulum 2013 by Mohamad Soleh, S.Psi, MM, CNLPImplementasi Kurikulum 2013 by Mohamad Soleh, S.Psi, MM, CNLP
Implementasi Kurikulum 2013 by Mohamad Soleh, S.Psi, MM, CNLP
 
Jusuf kalla memenuhi kriteria sebagai pemimpin bangsa
Jusuf kalla memenuhi kriteria sebagai pemimpin bangsaJusuf kalla memenuhi kriteria sebagai pemimpin bangsa
Jusuf kalla memenuhi kriteria sebagai pemimpin bangsa
 
Tulisan Ilmiah tentang Simple Empowerment Technique
Tulisan Ilmiah tentang Simple Empowerment TechniqueTulisan Ilmiah tentang Simple Empowerment Technique
Tulisan Ilmiah tentang Simple Empowerment Technique
 
Materi Training Simple Empowerment Technique : Tehnik Pemberdayaan Diri dan S...
Materi Training Simple Empowerment Technique : Tehnik Pemberdayaan Diri dan S...Materi Training Simple Empowerment Technique : Tehnik Pemberdayaan Diri dan S...
Materi Training Simple Empowerment Technique : Tehnik Pemberdayaan Diri dan S...
 

Kematangan Beragama

  • 1. PENGARUH KEMATANGAN BERAGAMA TERHADAP KOMPETENSI PEGAWAI DALAM PERSPEKTIF MANUSIA-UNGGUL-PARTISIPATORIS Oleh : Mohamad Soleh S.Psi., MM., CHT., CNLP Mohamad.soleh@gmail.com, 0818 74 90 89 I. LATAR BELAKANG MASALAH Perlu disadari, ada keterkaitan yang sangat erat antara kinerja pegawai dengan kualitas kompetensi manusianya.. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kinerja pegawai, maka perlu kiranya untuk meningkatkan kompetensi pegawainya. Kompetensi pegawainya yang dimaksudkan dalam tulisan ini berdasarkan pada suatu kriteria tertentu yang mengacu pada keunggulan SDM ---yang diharapkan mampu menghadapi tantangan persaiangan global, yang terus-menerus berubah dengan cepat, termasuk juga arus informasi dan teknologi--- yaitu kriteria Manusia-Unggul-Partisipatoris merupakan salah satu konsep yang dibangun untuk menggambarkan SDM unggul yang diinginkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa mutu kualitas seseorang muncul dan terlihat dari suatu perilaku keseharian ditentukan atau di dominasi oleh adanya intensi, sikap, dan keyakinan seseorang akan perbuatan yang dilakukannya (Fishbein dan Ajzen, 1975; dalam Andrianto, 1999). Dimana salah satu sumber utama dari sikap, keyakinan, dan nilai-nilai dalam diri individu adalah keberagamaan individu. Ajaran agama mengandung nilai moral-nilai moral dan perilaku yang melahirkan konsekuensi pada pemeluknya untuk mengamalkan nilai moral-nilai moral tersebut ke dalam perilaku keseharian. Namun tidak semua individu dapat melakukannya. Hanya individu yang memiliki kematangan dalam beragamalah yang berpeluang untuk mewujudkannya. Salah satu ciri pribadi yang matang dalam dalam kehidupan beragama ditandai dengan dimilikinya konsistensi antara nilai moral-nilai moral agama yang tertanam dalam diri individu dengan perilaku keseharian yang dimunculkan. Dalam bahasa yang sederhana dapat diungkapkan bahwa apabila individu matang dalam kehidupan beragamanya, maka individu tersebut akan konsisten dengan ajaran agamanya. Konsistensi ini akan membawa individu untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Lebih jauh, melalui kematangan dalam kehidupan beragama individu akan mampu untuk mengintegrasikan atau menyatukan ajaran agama dalam seluruh aspek 1
  • 2. kehidupan. Secara khusus, keberagamaan yang matang akan lebih mendorong umat untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agama dalam setiap sisi kehidupan. Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nila-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoretis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama. Termasuk ketika setiap individu bekerja. Banyak literatur yang menceritakan tentang berbagai perusahaan yang telah sukses besar, dikarenakan adanya penerapan sisi spiritualitas pada setiap pegawainya. Atau bahkan penerapan Corporate Culture yang berbasis agama. Semisal, keberhasilan Mashusita (pendiri Matshusita Group, perusahaan elektronik Jepang terbesar), menerapkan budaya disiplin dan rasa saling menyayangi terhadap pegawainya. Dan hal ini merupakan salah satu perwujudan dari kematanga beragamanya yang tinggi. Hal ini juga terjadi diberbagai perusahaan besar lainnya. Dalam konteks Indonesia, mulai tahun 2000an, sudah banyak perusahaan yang menyadari tentang pentingnya spiritualitas dalam mengelola perusahaan, termasuk bekerja sebagai pegawai. Ada Blue Bird Group yang mengadakan kegiatan keagamaan yang rutin untuk umat Islam dan Umat Kristiani. Bahkan diyakini, bila pegawainya memiliki kematangan dalam beragama yang tinggi maka secara otomatis, pegawai tersebut memiliki integritas, kedisiplinan, rasa tanggung jawab, semangat kerja dan loyalitas yang tinggi. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah benarkah terdapat peranan kematangan beragama terhadap tingginya kompetensi pegawai berdasarkan kriteria Manusia-Unggul- Partisipatoris? 2
  • 3. II. PEMBAHASAN Kematangan Beragama Kematangan beragama dapat dipandang sebagai keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nila-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoretis maupun praktek dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama. Allport (1953), selain memberikan definisi, juga menyertakan ciri-ciri individu yang memiliki kematangan beragama dalam pembahasannya, yaitu : a. Kemampuan melakukan diferensiasi. Kemampuan melakukan diferensiasi dengan baik dimaksudkan sebagai individu dalam bersikap dan berperilaku terhadap agama secara objektif, kritis, reflektif, berpikir terbuka atau tidak dogmatis, observatif, dan tidak fanatik secara terbuka. Individu sering mengalami konflik antara rasio dengan dogma agama. Individu yang memiliki kematangan beragama akan mampu mengharmoniskan keduanya melalui kemampuannya dalam berpikir objektif, melakukan observasi dan berani melakukan kritik terhadap apa yang dirasakannya. Individu yang memiliki kehidupan beragama yang terdiferensiasi, akan mampu menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan beragamanya, sehingga pandangan terhadap agama menjadi lebih kompleks dan realistis (Allport, 1953), serta tidak terjebak pada pemikiran yang dogmatis. b. Berkarakter dinamis. Dalam diri individu yang berkarakter dinamis, agama telah mampu mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya. Aktivitas keagamaan semuanya dilaksanakan demi kepentingan agama itu sendiri (Subandi, 1995). Karakter yang dinamis ini di dalamnya meliputi motivasi intrinsik, otonom, dan independen dalam kehidupan beragama. c. Konsistensi moral. Kematangan beragama ditandai dengan konsistensi individu pada konsekuensi moral yang dimiliki dengan ditandai oleh keselarasan antara tingkah laku dengan nilai moral. Agama dan moralitas memiliki keterkaitan yang kompleks. Salah satunya adalah adanya keselarasan dan kesamaan antara tingkah laku dengan nilai-nilai agama. Kepercayaan tentang agama yang intens akan mampu mengubah atau mentransformasikan tingkah laku (Allport, 1953). 3
  • 4. d. Komprehensif. Keberagamaan yang komprehensif dapat diartikan sebagai keberagamaan yang luas, universal, dan toleran dalam arti mampu menerima perbedaan (Allport, 1953). Dengan memandang agama sebagai hal yang universal, akan mengarahkan individu untuk mencerna bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirinya senantiasa dikembalikan pada Tuhan (Subandi, 1995). e. Integral. Keberagamaan yang matang akan mampu mengintegrasikan atau menyatukan agama dengan segenap aspek-aspek lain dalam kehidupan, termasuk di dalamnya dengan ilmu pengetahuan (Subandi, 1995). Integrasi antara agama dengan ilmu pengetahuan yang sangat penting, mengingat keduanya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perasaan yang integral ini menjadikan individu yang dewasa akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan kejahatan. f. Heuristik. Ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan menyadari keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatannya dalam beragama (Subandi, 1995). Kepercayaan heuristik sendiri dapat dipandang sebagai suatu kepercayaan yang diyakini untuk sementara sampai dapat di konfirmasikan untuk membantu menemukan kepercayaan yang lebih valid. Orang yang beragama secara dewasa akan menyadari bahwa dirinya tidak pernah sempurna, sehingga selalu berusaha meningkatkan keimanannya. Manusia-Unggul-Partisipatoris Manusia-Unggul-Partisipatoris adalah manusia yang selalu menggali dan mengembangkan potensi diri dan ikut serta secara aktif dalam pengembangan kualitas suatu masyarakat. Ciri-ciri Manusia-Unggul-Partisipatoris, antara lain adalah : 1. Dedikasi dan disiplin Seorang manusia unggul haruslah mempunyai rasa pengabdian terhadap tugas dan pekerjaannya. Dia harus ---di dalam kaitan ini--- sadar arah. Memiliki visi jauh kedepan, yaitu visi normatif atau idealis dan visi strategik. Visi normatif adalah visi ideal yang belum kongkrit dan berfungsi sebagai prinsip-prinsip pengarah (gueding principle). Visi strategik yaitu visi yang dijabarkan dalam target-target dan terikat dalam suatu kurun waktu tertentu yang perlu diwujudkan. 4
  • 5. Visi yang jauh ke depan bukanlah proyeksi kekhawatiran dan kelemahan karakter dari orang yang memberi masukan, tetapi lebih pada refleksi yang akurat tentang dirinya sendiri. Ia dapat memutuskan pada dirinya bagaimana semua peristiwa atau stimulus akan mempengaruhi dirinya. Ia merupakan orang yang proaktif yang digerakkan oleh nilai- nilai yang sudah di pikirkan secara cermat, di seleksi dan di hayati. Respon mereka terhadap stimulus yang didapat selalu didasarkan pada nilai tertentu (Covey,1997). Selanjutnya seorang yang berdedikasi adalah seseorang yang berdisiplin, karena ia terfokus pada apa yang ingin ia wujudkan. 2. Jujur Kejujuran yang dimiliki manusia unggul adalah kejujuran terhadap diri sendiri dan orang lain. Kejujuran terhadap diri sendiri adalah jujur terhadap kemampuan diri sendiri. Mengakui apa yang bisa diperbuat dan yang tidak bisa di perbuat, suatu ciri sikap profesionalisme. Sikap profesionalisme ini juga ditandai oleh seseorang manusia unggul yang mengetahui kapan ia berdiri sendiri dan kapan ia harus bekerja sama. Kejujuran terhadap diri sendiri ini dapat terjadi bila didukung dengan adanya kesadaran diri. Sebuah kemampuan untuk memperhatikan secara terus-menerus keadaan batinnya sendiri, dimana pikiran mengamati dan menggali pengalaman dirinya. Kejujuran terhadap orang lain dapat dilihat dari kemampuan bekerja sama, karena pada akhirnya suatu kerjasama akan didasarkan kepada saling percaya atau trust seperti yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama (Tilaar, 1998), karena tanpa kejujuran manusia unggul akan dapat survive. 3. Inovatif Seorang manusia unggul bukanlah seorang manusia rutin yang puas dengan hasil yang telah dicapai dan telah puas dengan status quo. Seorang manusia unggul adalah yang selalu gelisah dan selalu mencari yang baru. Mencari yang baru tidak perlu menciptakan sesuatu yang baru tetapi juga yang dapat menemukan fungsi yang baru dari suatu penemuan. Hal itu hanya bisa dicapai dengan creative thinking. Hanya dengan berpikir kreatif kita dapat terlepas dari cengkeraman birokrasi-feodalis kaku yang hanya bergerak apabila ada petunjuk dari atasan. Budaya memohon petunjuk bertentangan dengan manusia unggul. 4. Tekun 5
  • 6. Seorang manuisa unggul adalah seorang yang dapat memfokuskan perhatian pada tugas dan pekerjaan yang telah diserahkan kepadanya, atau suatu usaha yang sedang dikerjakannya. Ia menghargai nilai-nilai sumber yang ada yang tidak akan menyebabkan pemborosan, karena pemborosan bukanlah sesuatu yang sesuai dengan kehidupan yang mementingkan mutu. 5. Ulet Manusia adalah manusia yang tidak mudah putus asa. Ia akan terus-menerus mencari dan mencari. Dibantu dengan sikapnya yang tekun, maka keuletan akan membawa dia kepada suatu dedikasi terhadap pekerjaannya mencari yang lebih baik dan bermutu. 6. Kemauan untuk belajar Menurut UNESCO, belajar pada abad 21 haruslah didasarkan pada empat pilar yaitu : 1) learning to think, 2) learning to do, 3) learning to be, dan 4) learning to live together. Keempat pilar tersebut merupakan soko guru dari manusia abad 21 menghadapi arus informasi dan kehidupan yang terus-menerus berubah. Di dalam belajar berpikir ditunjukkan bahwa arus informasi yang begitu cepat berubah dan makin lama makin banyak tidak mungkin lagi dikuasai oleh manusia karena kemampuan otaknya yang terbatas. Oleh karena itu, proses belajar yang terus-menerus terjadi seumur hidup ialah belajar bagaimana berpikir (learning to think). Selain itu, bukan hanya sekedar berpikir, akan tetapi juga menuntut manusia yang berbuat (learning to do). Yaitu, manusia yang ingin memperbaiki kualitas kehidupannya dan menjadi manusia produktif. Tanpa berbuat sesuatu, pemikiran atau konsep tidak mempunyai arti. Selanjutnya, adanya bahaya yang mengancam planet bumi sebagai satu-satunya tempat kehidupan sebelum di temukannya kemungkinan hidup di planet-planet lainnya. Hal ini berarti bahwa setiap manusia di muka bumi dituntut secara sadar belajar bagaimana untuk tetap hidup (learning to be). Tuntutan kemauan untuk belajar yang terakhir adalah mempererat hidup bersama antar individu dalam konteks lintas bangsa (learning to live together). Hal ini terutama sebagai upaya untuk menghadapi dan mencegah terjadinya pertentangan budaya. 6
  • 7. Peranan kematangan keberagamaan terhadap kompetensi Pegawai dalam perspektif Manusia-Unggul-Partisipatoris Ancok (1998) dalam tulisannya mengenai manusia menghadapi milenium III mengungkapkan bahwa orang-orang yang survive adalah mereka yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap hal-hal transenden atau spiritual. Karena mereka memiliki prinsip-prinsip yang mereka yakini kebenarannya dalam menjalankan kehidupan. Keyakinan yang kuat dan diiringi dengan tindakan nyata adalah merupakan wujud nyata kematangan beragama individu. Hal ini senada dengan konsep Covey (1997) bahwa sebenarnya perbedaan persepsi yang mempengaruhi perilaku manusia tidak akan pernah terjadi selama kita berpegang pada prinsip-prinsip universal [dalam hal ini ajaran agama] yang dimiliki oleh manusia. Menurut Setiadi dkk (1986), ada tujuh ciri-ciri dan dimensi kualitas pribadi manusia Indonesia yang dominan yaitu : Ketaatan pada prinsip moral dan norma agama, Pengembangan diri dan orientasi masa depan, Sikap sosial dalam hubungan antar manusia, Persatuan bangsa, Efisiensi waktu, tenaga dan biaya, Kemandirian dan Pengendalian diri. Selanjutnya mereka juga mengungkapkan, “Dengan menggunakan sekor ketujuh dimensi analisa faktor dari data Indonesia, telah dilakukan perbandingan antara apa yang ideal dianggap penting dengan apa yang dipersepsikan ada dalam kenyataannya : baik untuk responden secara keseluruhan, responden perkota, maupun untuk responden dosen, mahasiswa dan masyarakat. Perbandingan tersebut antara peringkat ideal dan kenyataan dari analisa faktor, seluruh responden menunjukkan bahwa ketaatan pada prinsip moral dan norma agama sama-sama menduduki peringkat pertama. Hasil yang serupa dijumpai pada kelompok dosen mahasiswa, masyarakat, dan 14 dari 15 kota”. Dari hasil penelitian tersebut, menunjukkan dengan jelas betapa besar peranan kematangan beragama ---dalam hal ini adalah ketaatan pada prinsip norma agama--- dalam menunjukkan kompetensi pegawai, khususnya manusia Indonesia. Untuk lebih jelas betapa besarnya peranan kematangan beragama terhadap kompetensi pegawaiberdasarkan kriteria, dibawah ini akan dijabarkan secara terperinci. 7
  • 8. a.Peranan kematangan beragama terhadap Kompetensi disiplin dan dedikasi Sebagaimana hasil penelitian Ahmad (1995) yang menunjukkan bahwa semakin tingginya tingkat religiusitas seseorang maka semakin tinggi tingkat disiplin yang dimilikinya, begitu pula dengan dedikasinya. Karena seseorang yang berdedikasi terlihat dari kedisplinannya. Dinamika ini terbukti bila seseorang memiliki kematangan beragama. Karena individu yang memiliki kematangan beragama, ia memiliki karakter yang dinamis –yang mencakup motivasi intrinsik, otonom, dan mandiri dalam berkehidupan agama--- dan konsistensi moral yang tinggi . Dimana kedua ciri tersebut merupakan salah satu faktor tumbuhnya sikap disiplin dan dedikasi dalam diri individu. Sebagai ilustrasi : Dalam setiap agama ada rutinitas spiritual yang menuntut disiplin tinggi dan ajaran untuk berkorban dengan sepenuh hati [dedikasi]. Untuk mencapai semua hal itu, hanyalah individu yang memiliki kematangan beragama yang tinggi saja yang mampu mencapainya. Maka jelaslah sudah bahwa kematangan beragama mempunyai peran penting dalam menumbuhkan sikap disiplin dan dedikasi. b.Peranan kematangan beragama terhadap Kompetensi Integritas Salah satu substansi ajaran agama adalah Integritas. Maka seseorang yang memiliki kematangan beragama tentu akan menjunjung tinggi Integritas terhadap dirinya sendiri, baik kemampuan maupun kekurangannya. Hal ini sesuai dengan salah satu ciri kematangan beragama, yaitu konsistensi moral. Dimana individu yang memiliki kematangan beragama ia cenderung akan konsisten dengan ajaran agamanya, yaitu bersikap jujur. c. Peranan kematangan beragama terhadap Kompetensi Inovatif Hasil penelitian pengalaman beragama (Subandi, 1997; dalam Diana 1998) menunjukkan bahwa salah satu hasil pengalaman beragama adalah munculnya berbagai gagasan yang orisinal atau kreatif, sehingga memungkinkan berkembanganya pemikiran- pemikiran kreatif. Pemikiran-pemikiran kreatif (creative thinking) inilah yang menghasilkan sikap inovatif dalam diri individu. Dinamika psikologis tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Diana (1998) yang menunjukkan bahwa semakin tingginya 8
  • 9. religiusitas seseorang maka semakin tinggi pula tingkat kreatifitasnya. Hal ini bisa dipahami karena seseorang yang memiliki kematangan beragama akan memahami betul bahwa ia harus bersyukur atas karunia yang diberikan oleh Tuhannya berupa akal pikiran. Dan wujud kesyukuran itu adalah dengan menggunakan dalam memikirkan segala hal yang ada di dalam alam semesta ini. Kecuali hal-hal gaib yang tidak kelihatan, karena tidak mampu dicapai oleh otak manusia yang hanya mampu menangkap hal yang realistis dan obyektif. Maka hal-hal yang ada diluar jangkauan akalnya ia serahkan pada suatu otoritas yang ia yakini kebenarannya, yaitu realitas transendental. Hingga ia tidak berfikir pada hal-hal yang ia memang tidak mampu, dan menfokuskan pada hal-hal yang ia mampu serta selalu berfikir apa yang terbaik untuk kehidupan manusia di dunia. Bisa dipastikan ia akan selalu mencari inovasi-inovasi demi perintah dari Tuhannya dan kehidupan ummat manusia Qardhawi (1999) menyatakan bahwa hendaknya kaum cendekiawan mencurahkan segenap potensi mereka untuk memikirkan penciptaan langit dan bumi beserta isinya dengan seluruh keteraturan dan ketelitian penciptaannya. d. Peranan kematangan beragama terhadap Kompetensi Ketekunan dan Keuletan Ketekunan dan uletnya seseorang terlihat dari usahanya yang sungguh-sungguh dan suka bekerja keras serta tidak putus asa. Hal ini terkait dengan ajaran agama yang selalu menyuruh setiap umatnya untuk selalu berusaha dan bekerja keras serta jangan mudah menyerah atau putus asa, dimana dalam memperjuangkan sesuatu setiap individu perlu berusaha secara optimal Maka sewajarnyalah bila seseorang memiliki kematangan dalam beragama maka ia mempunyai ketekunan dan keuletan yang tinggi. Hal ini juga didukung oleh sebuah hasil penelitian tahun 1996 yang menunjukkan hubungan yang positif antara orientasi kehidupan keagamaan dengan ketahanan mental atau tidak mudah menyerah. Di sisi lain orang yang matang dalam beragama akan menyadari bahwa dirinya tidak pernah sempurna, sehingga selalu berusaha meningkatkan [kualitas] diri. e. Peranan kematangan beragama terhadap Kompetensi kemauan untuk belajar Salah satu ciri kematangan beragama seseorang adalah karakter yang dinamis yang didalamnya meliputi motivasi intrinsik. Maka secara langsung dapat dikatakan 9
  • 10. bahwa seseorang yang memiliki kematangan beragama maka ia memiliki kemauan dari dalam diri yang kuat termasuk kemauan untuk selalu belajar. Hal ini didukung oleh penelitian Uyun (1998) yang menunjukkan adanya hubungan positif antara religiusitas (dimensi ideologis, ritualistik, eksperiensial dan konsekuensial) dengan motivasi berprestasi. Begitu pula dengan ciri kemampuan melakukan diferensiasi yang dimiliki individu yang mempunyai kematangan beragama. Kemampuan tersebut menuntut individu untuk selalu bersikap kritis, obyektif, dan reflektif, sehingga terkembang kemauannya untuk selalu belajar berpikir (learning to think) dan bertindak (learning to do). Serta ciri konsistensi moral yang menjadikan individu selalu mencoba untuk bertindak (learning to do) (Andrianto, 1999). Konsistensi moral individu selalu menuntutnya untuk menyelaraskan antara hal-hal yang dipikirkannya dengan tindakan nyata atau usaha untuk mencoba , sehingga adanya kemauan untuk memperbaiki kualitas hidupnya atau lebih produktif. Sedangkan kemauan untuk belajar dalam konteks hidup bersama atau berinteraksi sosial (learning to live together), kematangan beragama juga memberi peranan yang penting. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Andrianto (1999) yang menunjukkan semakin tingginya kematangan beragama seseorang, maka semakin tinggi pula intensi prososialnya. Serta hasil penelitian Suhartanto (1993) yang membuktikan bahwa ada hubungan positif antara orientasi kehidupan keagamaan dengan intensi prososial. Dimana perilaku prososial itu sendiri mencakup tindakan menolong, bekerja sama, berbagi perasaan, bertindak jujur dan dermawan terhadap orang lain. 10
  • 11. III. KESIMPULAN & SARAN Berdasarkan pembahasan diatas, maka bisa disimpulkan bahwa kematangan beragama seseorang dapat menjadikannya memiliki kompetensi yang tinggi sesuai dengan kriteria yang diajukan oleh Thilaar (1998) yaitu Manusia-Unggul-Partisipatoris. Oleh karena itu, untuk menyiapkan pegawai yang memiliki kompetensi unggul dalam menghadapi persaiangan bisnis yang penuh dengan tantangan dan tingkat turbulensi yang tinggi, maka saran-saran yang perlu dilakukan adalah :  Adakan program kampanye & pembinaan agama yang tidak hanya mengutamakan pengetahuan tetapi sampai pada tingkat kematangan yang ditunjukkan oleh perilaku dan tingkat kesadaran menunaikan kewajiban menjalankan ajaran agama.  Penciptaan lingkungan yang kondusif dan keterlibatan yang intensif dari para manager, dan Board of Director dalam membentuk kematangan beragama disetiap aktivitas kerja.  Menjadikan agama sebagai salah satu landasan berpikir dan berperilaku serta kebijakan-kebijakan yang diambil baik dalam mengelola perusahaan.  Mengaktifkan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyentuh segala kalangan, baik dari segi usia, jenis kelamin, budaya maupun posisi.  Memanfaatkan media komunikasi yang ada dalam menanamkan kesadaran beragama, hingga pada akhirnya dapat meningkatkan kematangan beragama.  Mengupayakan terbentuknya sinergi antar pegawai dalam menyelesaikan setiap permasalahan kerja berbasis nilai-nilai universal agama.  Menjadikan para pemimpin perusahaan yang memiliki kematangan beragama dengan kualitas unggul yang dimilikinya sebagai model atau figur bagi para pegawai. 11
  • 12. DAFTAR PUSTAKA Ancok, D, 1998. Membangun Kompetensi Manusia dalam Millenium Ketiga. Psikologika No 6 tahun III 1998. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UII. Andrianto,1999. Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan Intensi Prososial : Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UII. Skripsi(tidak diterbitkan).Yogyakarta : Fakultas Psikologi UII. Covey, 1997. Tujuh Kebisaan Manusia yang Sangat Efektif. Jakarta : Gramedia. Diana, 1998. Hubungan Antara Relegiusitas dan Kreativitas Siswa SMU Negeri III Sukabumi. Ringkasan Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM. Najib & Sukardiono, 1998. Amien Rais Sang Demokrat : Dilengkapi catatan harian sampai jatuhnya Soeharto. Jakarta: Gema Insani Press. Soleh, 2010: Kamus Kompetensi INDOCARE Group (tidak diterbitkan). Jakarta. Pella, 2010: Kamus Kompetensi TASPEN (tidak diterbitkan). Jakarta. Qardhawi, Y, 1999. Al-Qur’an : Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Gema Insani. Setiadi, dkk, 1986. Kualitas Pribadi Manusia Indonesia Penunjang Pembangunan : Suatu Studi Mengenai Kualitas Ideal dan Kenyataannya di 15 Kota di Indonesia. Laporan Penelitian(tidak diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi UI. Suhartanto, 1993. Hubungan Orientasi Kehidupan Keagamaan, Locus of Control, dan Harga Diri dengan Intensi Prososial. Ringkasan Skripsi.Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM Tilaar, H.A.R,.1998. Sistem Pendidikan Indonesia. Bandung : Rosdakarya. Uyun,.Q, 1998. Relegiusitas dan Motif Berprestasi Mahasiswa. Laporan Penelitian. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UII. 12