Artikel ini membahas tentang pentingnya menganalisis rasio-rasio keuangan yang dapat dihitung berdasarkan laporan keuangan perusahaan. Terdapat empat kelompok rasio utama yaitu profitabilitas, likuiditas, manajemen aset, dan struktur modal. Artikel ini menjelaskan cara menghitung dan menginterpretasikan rasio profitabilitas dan likuiditas seperti gross margin ratio, profit margin ratio, dan return on assets ratio dengan menggunakan contoh laporan keuangan PT
2. 144
33
3
1
Produk akhir paling penting dari proses akuntansi adalah Laporan Keuangan. Namun tanpa
dianalisa, laporan keuangan tak lebih dari “buku diary” anak ABG. Apakah menghitung rasio-
rasio laporan keuangan sulit? Samasekali tidak. Yang sulit adalah menginterpretasikan dan
menindaklanjuti hasil analisa.
Sayangnya, setidaknya menurut pengetahuan saya, pekerjaan menganalisa ini lebih banyak
dilakukan oleh para analyst dibanding akuntan.
Di dalam perusahaan? Khususnya di skala kecil dan menengah, perusahaan jarang peduli
dengan hal beginian. Ada pegawai accounting yang jumlahnya sangat terbatas, sudah kewalahan
menangani tugas-tugas rutin terkait bookkeeping. Yang ironis, ketika agak lega sedikit, malah
difungsikan untuk hal-hal yang tak ada kaitannya dengan akuntansi. Sangat disayangkan, masih
banyak pelaku UKM yang belum menyadari pentingnya menganalisa laporan keuangan. Andai
rutinitas di accounting diefektifkan dan staf difungsikan dengan semestinya, saya yakin bisa
melakukan analisa-analisa, setidaknya yang terkait dengan “Indikator Kinerja Kunci” (Key
Performance Indicator).
Di bangku sekolah atau kampus, topik rasio laporan keuangan tak diajarkan serinci akuntansi
keuangan. Bisa jadi karena padatnya materi perkuliahan membuat proses belajar rasio terlalu
cepat, hanya sepintas lalu, sehingga tak begitu melekat di dalam ingatan.
Jika telah diajarkan secara initensif namun tetap saja sulit paham, saya kira, itu wajar. Bukan
karena mahasiswanya bodo, tapi lebih karena materi seperti ini memang sulit untuk dipahami
jika tak pernah berhadapan langsung dengan masalah riil di lapangan. Pahampun misalnya, tetap
3. saja hanya sebatas permukaan. Tidak praktikal. Sebab pembelajaran di kampus, setahu saya,
memang tidak dirancang untuk maksud seperti itu. Bisa menjawab soal ujian, sudah cukup. Dan
itu, sekalilagi, wajar. Hafal rumus dan paham logika dasarnya saja sudah bagus.
Tidak apa-apa. Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca JAK untuk melihat kembali
rasio-rasio laporan keuangan yang mungkin terlewatkan saat belajar di kampus. Disamping cara
menghitung, saya juga akan sertakan cara menginterpretasikan masing-masing rasio. Tentunya
dengan contoh kasus. Harapannya, setelah membaca tulisan ini, mudah-mudahan menjadi lebih
paham sekaligus mampu mengaplikasikannya sendiri di tempat kerja.
Empat Kelompok Rasio Laporan Keuangan
Jenis rasio keuangan—secara umum—sangatlah banyak. Semunya bagus dan penting. Namun
untuk akuntan dan orang accounting pada umumnya, saya rasa tak perlu menguasai semuanya.
Cukup rasio-rasio yang menggunakan Laporan Keuangan sebagai basis data saja.
Ada 4 kelompok utama rasio yang menggunakan laporan keuangan sebagai basis data, yaitu:
1. Kelompok Rasio PROFITABILITAS (Mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan
Laba)
2. Kelompok Rasio LIKUIDITAS (Mengukur kemampuan perusahaan membayar utang jangka
pendeknya)
3. Kelompok Rasio TATAKELOLA ASET (Mengukur efektifitas tatakelola aset perusahaan)
4. Kelompok Rasio STRUKTUR MODAL/LEVERAGE (Mengukur kemampuan perusahaan
membayar utang jangka panjangnya.)
JAK akan fokus pada empat kelompok rasio ini. Dan, karena banyaknya materi maka
pembahasan terpaksa akan dipecah menjadi dua bagian.
Di bagian pertama (dalam tulisan ini) JAK akan bahas dua kelompok pertama terlebih dahulu,
yakni PROFITABILITAS dan LIKUIDITAS. Mengapa? Diantara rasio-rasio lainnya, yang
paling penting dan krusial adalah Profitabilitas dan Likuiditas. Kita mulai dengan kelompok
rasio Profitabilitas.
Kelompok Rasio Profitabilitas (Profitability Ratio)
Sejak jaman sekolah sudah diajari bahwa tujuan suatu perusahaan didirikan adalah laba (profit).
Tak ada satu perusahaan pun yang didirikan untuk maksud selain profit. Semua aktivitas
operasional yang dilakukan oleh perusahaan—apapun jenis usahanya, apapun model bisnisnya,
dimanapun lokasinya, apapun strukturnya, seberapa besar pun skalanya—selalu bermuara pada
profit. Bisa dibilang, tak ada yang lebih penting dari profit.
4. (Catatan: Organisasi yang orientasinya bukan profit tidak disebut perusahaan, melainkan
yayasan atau istilah umumnya “lembaga non-profit.”)
Itu sebabnya, hal pertama yang ingin diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan adalah:
apakah perusahaan menghasilkan profit? Berapa?
ILUSTRASI: Agar menjadi praktikal, thus lebih mudah dipahami, saya gunakan PT. JAK
sebagai ilustrasi.
Semua pihak terkait PT JAK—baik internal maupun eksternal—berkepentingan atas
informasi profit yang dihasilkan oleh perusahaan:
Jika saya CEO PT JAK, maka saya ingin tahu apakah perusahaan yang saya pimpin
berhasil mencapai tujuannya, yaitu menghasilkan profit, atau gagal. Apakah mandat yang
diberikan oleh para pemegang saham untuk mengelola perusahaan terlaksana seperti yang
diharapkan sehingga bisa memberikan dividend atau tidak.
Andai saya adalah salahsatu manajer di PT JAK, maka saya ingin tahu apakah upaya
saya mengelola perusahaan ada hasilnya, yakni berupa profit, atau malah rugi. Apakah
kepercayaan CEO PT JAK yang mengangkat saya jadi manajer selama ini ada hasilnya
atau malah sia-sia. Apakah saya akan menerima bonus dan promosi atau malah digeser
lalu dipecat.
Jika saya salahsatu pemegang sahamnya PT. JAK, saya ingin tahu apakah uang yang
saya tanamkan di PT. JAK dikelola dengan benar sehingga perusahaan menghasilkan
profit dan akan berkembang atau sebaliknya. Dan yang tak kalah pentingnya, apakah saya
akan menerima dividend atau malah harus nyetor tambahan modal supaya perusahaan tak
bangkrut?
Seandainya saya jadi krediturnya PT JAK (entah sebagai pemasok atau lembaga
keuangan pemberi pinjaman), saya ingin tahu apakah perusahaan ini dalam kondisi
profitable thus mampu membayar utang/pinjamannya dengan lancar atau sebaliknya.
Apakah saya akan memberikan plafond kredit yang sama seperti sebelumnya atau perlu
diturunkan atau malah hentikan samasekali.
Ditjend Pajak, juga perlu tahu apakah PT JAK dalam kondisi untung atau merugi,
sebagai dasar untuk menentukan besaran pajak yang dikenakan.
“PT JAK berhasil membukukan profit Rp 979,000,000” bisik Chief Accountant nya PT. JAK
sambil menyodorkan satu set Laporan Keuangan per 31 Desember 2014.
Pada Laporan Keuangan, informasi Laba/Rugi perusahaan disajikan pada Laporan Laba/Rugi. Di
bawah ini (untuk ilustrasi) adalah Laporan Laba/Rugi PT JAK (angka dalam ribuan):
5. Dan di bawah ini adalah Laporan Posisi Keuangan atau Neraca PT. JAK (angka dalam ribuan):
6. Oke. PT JAK menghasilkan profit sebesar Rp 979,000,000 seperti nampak pada Laporan
Laba/Rugi.
Pertanyaannya: Apakah profit segini ini terbilang rendah, sedang, atau tinggi? Apakah capaian
profit ini sudah terbilang bagus atau belum? Apakah angka profit tersebut mencerminkan kinerja
yang bagus atau tidak? Apakah wajar atau tidak? Dan seterusnya.
Jawabannya: relative dan tergantung.
Ya saya tahu, jawaban “relative dan tergantung” sangatlah klise (semua orang juga tahu mah).
Namun itulah kenyataannya. Artinya, informasi “Laba Rp xxxxxx” atau “Rugi xxxxxx” tidaklah
cukup.
Itu sebabnya mengapa Laporan Keuangan (Neraca, Laba/Rugi dan Laporan Arus Kas) perlu
dianalisa. Khusus untuk menganalisa “tingkat laba” atau “profitabilitas” (profitability) yang
lumrah digunakan adalah rasio-rasio dari kelompok profitabilitas.
7. “Rasio Profitabilitas” mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba dengan cara
membandingkan antara laba (profit) dengan elemen-lemen lain laporan keuangan seperti
Penjualan, HPP, Aset, Ekuitas, Modal Saham, dlsb.
Ada 6 rasio profitabilitas yang paling sering digunakan, yakni: (1) Gross Margin on Sales (2)
Profit Margin on Sales atau Return on Sales—ROS (3) Return on Assets—ROA (4) Return on
Equity—ROE (5) Earnings Per Share—EPS dan (6) Dividend Payout Ratio.
Mari kita lihat satu-per-satu dengan menggunakan contoh Laporan Keuangan PT JAK di atas.
Kita mulai dengan Gross Margin On Sales.
1. Rasio Gross Margin On Sales
Seperti namanya, “Gross Margin On Sales”—kadang disebut “Gross Profit Margin On Sales”—
adalah angka perbandingan antara Laba Kotor (Gross Margin) dengan Penjualan Netto (Net
Sales). Yang disebut Penjualan Netto adalah Penjualan setelah dikurangi diskon, potongan rabat
dan retur. Sehingga formula untuk rasio ini adalah sbb:
Rasio Gross Margin on Sales = Gross Margin / Penjualan Netto
Sedangkan Gross Margin adalah sisa dari angka penjualan netto setelah dikurangi Harga Pokok
Penjualan (Cost of Goods Sold) yang bisa dipermulasikan dengan “Penjualan – Harga Pokok
Penjualan,” seperti nampak pada contoh Laporan Laba/Rugi di atas.
Rasio Gross Margin on Sales = (Penjualan Netto – HPP) / Penjualan Netto
Pada Laporan Laba/Rugi PT JAK, nampak Penjualan Netto Rp 10,907,000,000. Sedangkan
Gross Margin nya Rp 4,825,000,000 sehingga:
Rasio Gross Margin on Sales = 4,825,000,000/10,907,000,000 = 44%
Rasio Gross Margin on Sales = 44%. Apa artinya?
Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 penjualan bersih yang dihasilkan oleh PT JAK, Rp 0.56
dipergunakan untuk menutup Harga Pokok Penjualan, sehingga tersisa Rp 0.44 saja untuk
menutup biaya operasional, dan PT JAK berharap untuk menghasilkan profit. Dengan kata lain,
dari total penjualan netto yang dihasilkan, 56% nya habis digunakan untuk menutup HPP dan
hanya 44% yang tersisa untuk menutup biaya operasional, JAK berharap ada sisa laba bersih di
akhir perhitungan.
Pertanyaan: Apakah Rasio Gross Margin on Sales sebesar 44% itu tergolong tinggi, ideal, atau
rendah?
8. Jawaban: Berbeda antara bidang usaha yang satu dengan lainnya. Misalnya: perusahaan jenis
hospitality (hotel dan restoran) berbeda dengan manufaktur, berbeda dengan banking, berbeda
dengan retailer, berbeda dengan jasa konstruksi, berbeda dengan maskapai, dlsb. Untuk itu perlu
dibandingkan dengan rasio yang sama pada perusahaan sejenis, istilahnya di “benchmark”.
Catatan: Yang menjadi penentu tinggi rendahnya angka “benchmark” adalah tingkat persaingan
(competitiveness) dalam suatu bidang usaha. Misalnya: Benchmark ideal untuk bidang usaha
retailer produk consumer goods mungkin hanya 60% karena persaingan yang ketat. Akan tetapi
untuk bidang usaha retailer produk butik mungkin mencapai 200% karena persaingannya tidak
ketat. Dan lain sebagainya.
Rekomendasi: Sekedar ilustrasi, katakanlah PT JAK adalah manufaktur pakaian jadi dan
benchmark rasio Gross Margin On Sales untuk bidang usaha ini adalah 70%. Artinya, PT JAK
boros di HPP, entah karena harga jual yang terlalu rendah (karena marketingnya yang lemah atau
kualitas produknya yang rendah) atau bisa jadi karena manufacturing cost PT JAK yang
ketinggian akibat inefisiensi. Sudah tentu perlu investigasi lebih lanjut untuk mengetahui
permasalahan yang sebenarnya, sehingga bisa mencari solusi yang paling tepat.
2. Rasio Profit Margin On Sales
Rasio Profit Margin on Sales—atau sering disebut “Return on Sales” (ROS)—adalah angka
perbandingan antara Laba Bersih (Net Profit) dengan Penjualan Netto (Net Sales). Sehingga
formulanya:
Rasio Profit Margin On Sales = Laba Bersih / Penjualan Netto
Dalam kasus PT. JAK, dengan menggunakan Laporan Laba/Rugi di atas, menjadi:
Rasi Profit Margin on Sales = Rp 979,000,000 / 10,907,000,000 = 9%
Artinya apa?
Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 dari penjualan netto yang dihasilkan, laba bersih yang tersisa
hanya Rp 0.09. Sedangkan yang Rp 0.91 habis untuk menutup HPP, biaya operasional dan pajak.
Dengan kata lain, dari total penjualan netto yang dihasilkan, PT JAK hanya menyisakan 9% laba
bersih. Sedangkan 91% nya habis untuk menutup HPP, Biaya Operasional dan Pajak.
Berapa rasio idealnya? Sama seperti rasio sebelumnya—relatif, tergantung berapa benchmark
untuk bidang usaha sejenis.
Rekomendasi: Sebagai ilustrasi, katakanlah benchmark Rasio Profit Margin On Sales untuk
bidang usaha sejenis adalah 20% sementara Rasio nya JAK kurang dari separuhnya (hanya 9%).
Artinya ini sejalan dengan Rasio Gross Margin on Sales-nya yang juga rendah. Hanya saja ruang
9. penelusuran menjadi lebih luas karena bisa jadi inefisiensi terkjadi juga di wilayah biaya
operasional.
3. Rasio Return On Assets (ROA)
“Return On Assets” (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas penggunaan aset dalam
menghasilkan profit. Dengan kata lain, rasio ini mencerminkan seberapa efektif manajemen
menggunakan Aset milik perusahaan guna menghasilkan Laba. Pengukuran dilakukan dengan
membandingkan Laba Bersih yang dihasilkan pada satu periode dengan nilai bersih total aset.
Formulanya:
Rasio Return On Assets = Laba Bersih / Total Aset
Laba Bersih PT JAK Rp 979,000,000. Sementara total nilai aset-nya (lihat Neraca) adalah Rp
10,715,000,000. Sehingga:
Rasio Return On Assets = Rp 979,000,000 / Rp 10,715,000,000 = 9.1%
Apa artinya?
Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 Aset yang digunakan, PT JAK hanya mampu menghasilkan Rp
0.091 Laba Bersih. Bisa juga dikatakan, PT JAK hanya mampu menghasilkan Laba Bersih 9.1%
dari total Aset yang digunakan.
Apakah ROA 9.1% ini tergolong layak atau tak layak? Sama seperti dua rasio sebelumnya,
harus dibandingkankan dengan rasio rata-rata (benchmark) untuk bidang usaha sejenis.
Rekomendasi: Jika ROA rata-rata perusahaan sejenis di atas 9.1%, itu artinya PT JAK tidak
cukup efektif dalam pengelolaan aset. Ada beberapa kemungkinan penyebab, diantaranya:
Kas menganggur (idle cash) yang tinggi, artinya banyak Kas PT. JAK yang tersimpan
begitu, mestinya kas dikelola sedimikian rupa sehingga tidak ada kas yang menganggur,
tanpa mengorbankan likuiditas. Namun sebelum sampai pada kesimpulan ini perlu uji
likuiditas terlebih dahulu (nanti kita bahas di rasio likuiditas). Jika pada hasil uji
likuiditas terbukti banyak kas menganggur, ke depannya manajemen PT JAK perlu
menerapkan kebijakan kas yang lebih ketat (missal: cash reserve dibatasi sampai pada
angka tertentu yan dinilai ideal). Selebihnya, kas harus diinvestasikan entah ke dalam
operasional perusahaan atau diinvestasikan di perusahaan lain atau membeli surat
berharga.
Perpuataran Piutang PT JAK rendah, artinya terlalu banyak penjualan secara kredit
dan proses penagihan tergolong lambat, akibatnya Kas yang nongkrong pada pelanggan
(dalam bentuk piutang) terlalu tinggi. Namun sebelum sampai pada kesimpulan itu, PT
JAK perlalu melakukan uji dengan menggunakan “Rasio Tata Kelola Aset” (di tulisan
berikutnya saya akan bahas kelompok rasio ini). Jika pada uji rasio tata kelola aset
10. terbukti perpuataran Piutang PT JAK rendah, maka ke depannya perlu menerapkan
kebijakan kredit yang lebih prudent untuk mencapai perputaran yang lebih tinggi (cepat).
Terlalu banyak Aset Tetap yang menganggur atau tidak digunakan secara efektif.
Dengan kata lain perusahaan tidak beroperasi dalam kapasitas yang penuh. Misalnya:
menyewa gedung ukuran 3000 meter persegi padahal yang dibutuhkan dan digunakan
secara efektif hanya 1000 meter persegi. Atau, PT JAK memiliki mesin yang beroperasi
di bawah kapasitas yang seharusnya atau malah menganggur samasekali. Atau PT JAK
memiliki kendaraan operasional yang terlalu banyak atau harganya yang terlalu tinggi.
Hal ini perlu diinvestigasi lebih lanjut.
4. Rasio Return On Equity (ROE) atau Return On Investment (ROI)
“Rasio Return On Equity” (ROE) digunakan untuk mengukur kemampuan efektifitas perusahaan
dalam memberikan penghasilan bagi setiap investasi dalam bentuk ekuitas yang ditanamkan oleh
pemegang saham. Itu sebabnya rasio ini sering disebut “Return on Investment (ROI).
Pengukuran dilakukan dengan cara membandingkan antara Laba Bersih yang dihasilkan pada
suatu periode dengan saldo rata-rata Ekuitas Pemilik pada Neraca. Formulanya:
Return on Equity (ROE) = Laba Bersih / Rata-Rata Ekuitas
Laba Bersih pada Laporan Laba/Rugi PT JAKmenunjukkan angka Rp 979,000,000. Sementara
total Ekuitas pada Neraca menunjukkan angka Rp 2,071,000,000. Sehingga:
ROE atau ROI = Rp 979,000,000 / 2,071,000,000 = 47.3%
Apa artinya?
Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 yang diinvestasikan pada PT JAK, pemegang saham
memperoleh tambahan nilai ekuitas Rp 0.473. Bisa juga dikatakan, dari total investasi pada PT
JAK, pemegang saham memperoleh kenaikan nilai ekuitas hampir separuhnya yakni 47.3%.
Apakah ROE atau ROI 47.3% tergolong tinggi, sedang atau rendah? Ini tergolong tinggi,
setidaknya jika dibandingkan dengan suku bunga deposito. Namun, yang kerap jadi persoalan
angka ROE atau ROI yang tinggi kerap tak diimbangi dengan pembayaran dividend yang sesuai,
karena hambatan likuiditas misalnya. Sehingga ROE/ROI bukanlah rasio satu-satunya yang
mereka lihat. Mereka lebih suka melihat fakta dividend yang akan dibagikan.
5. Rasio Earnings Per Share (EPS)
“Rasio Earning Per Share (EPS) mengukur kemampuan setiap lembar saham perusahaan dalam
menghasilkan pendapatan bagi para pemegangnya.
11. Catatan: Pada Laporan Keuangan perushaan berstatus Go Public yang disusun menggunakan
acuan GAAP, EPS wajib disajikan pada Laporan Laba/Rugi. Hal ini kemudian membuat nilai
EPS menjadi pusat perhatian semua pihak (internam maupun eksternal), sehingga angka EPS—
secara psikologis—lebih berpengaruh terhadap nilai saham di bursa dibandingkan Laba Bersih
atau ROE/ROI.
Perhitungan EPS tidak sederhana. Namun untuk penyederhanaan, bisa diformulasikan sbb:
EPS (Sederhana) = (Laba Bersih – Dividend Preferen) / Rata-Rata Tertimbang Saham
Beredar
Keterangan:
“Dividend Preferen” adalah dividend yang dibagikan bagi Saham Preferen (prefererred
stock). Sementara, saham preferen adalah jenis saham dimana pemegangnya memiliki
hak lebih dibandingkan saham biasa, sehingga sering disebut “saham istimewa.”
Kelebihan yang paling menonjol adalah berupa jadwal penerimaan dividend paling
pertama. Para pemegang saham biasa baru boleh menerima dividend setelah semua
pemegang saham preferen menerima secara penuh. Hal ini membuat pemegang saham
pereferen bisa menerima nilai dividend yang minimal tetap (fixed) atau naik setiap
periodenya. Bagian dividend untuk saham preferen inilah yang disebut “dividend
preference.”
“Rata-Rata Tertimbang Saham Bereda” adalah jumlah Saham Biasa (Common Stock)
beredar yang dirata-ratakan selama kurun waktu beredarnya saham.
Pertanyaan: Bagaimana jika perusahaan tidak memiliki saham preferen? EPS otomatis sama
dengan Laba Bersih dibagi Rata-Rata Tertimbang Saham Beredar
Misalnya: Jika perusahaan melaporkan Laba Bersih Rp 1,000,000,000, tidak memiliki saham
preferen, dan saham (biasa) beredarnya 1,000,000,000 lembar, maka EPS nya otomatis Rp 1.
Bagaimana jika dalam contoh di atas ada 750,000,000 lembar saham biasa baru diterbitkan di
akhir tahun buku (31 Desember)? Yang dihitung sebagai rata-rata tertimbang saham beredar
hanya 250,000,000 lembar saham saja. Sebab yang 750,000,000 dianggap belum beredar.
Sehingga EPS-nya menjadi Rp 1,000,000,000/250,000,000 lembar=Rp 4.00. Logikanya, uang
hasil penjualan 750,000,000 saham belum sempat digunakan untuk menghasilkan profit,
sehingga tidak berhak atas dividend.
Dalam kasus PT JAK, katakanlah harga saham per lembar nya Rp 0.25 (ini biasa disebut “par
value”). Modal saham disetor Rp 105,000,000 pada Neraca diterjemahkan menjadi total lembar
saham beredar sebanyak 105,000,000/0.25 = 420,000,000 lembar saham beredar. Jika
keseluruhan saham ini diasumsikan beredar sejak awal tahun tanpa mengalami perubahan, maka:
EPS (sederhana) = Rp 979,000,000 / 420,000,000 = Rp 2.33
12. 6. Rasio Pembayaran Dividend (Dividend Payout Ratio)
“Rasio Pembayaran Dividend” adalah rasio perbandingan antara pembayaran dividend saham
biasa dalam bentuk kas dengan Laba Bersih setelah dikurangi dividend preferen. Sehingga
formulanya menjadi:
Rasio Pembayaran Dividend = Dividend Kas Saham Biasa / (Laba Bersih – Dividend
Preferen)
Jika pada kasus PT JAK dividend kas yang dibayarkan untuk saham biasa sebesar Rp
450,000,000 sementara tidak ada dividend preferen, maka:
Rasio Pembayaran Dividend = Rp 450,000,000 / Rp 979,000 = 46%
Apa artinya?
Interpretasi: Untuk setiap Rp 1 laba bersih yang dihasilkan oleh PT JAK, yang dibagikan dalam
bentuk dividend kas kepada pemegang saham biasa hanya Rp 0.46. Atau bisa dibaca, dari total
laba bersih yang dihasilkan oleh PT JAK, yang dibagikan dalam bentuk dividend kas kepada
pemegang saham biasa hanya 46% nya.
Apakah Rasio Pembayaran Dividend 46% tergolong tinggi, rendah, atau sedang?
Agak sulit diekspresikan. Sebab pada kenyataannya, pembagian dividend kas kepada pemegang
saham biasa sering kali bersifat fluktuatif, bahkan ada kalanya pemegang saham tak menerima
dividend samasekali. Hal ini bisa terjadi ketika laba bersih perusahaan tergolong rendah,
sehingga laba habis dibagikan untuk pemegang saham preferen. Yang terpenting di sini adalah
tingkat kepuasan pemegang saham. Tingkat kepuasan ini tak bisa diukur dari satu snapshot,
mesti diukur dengan trending analysis dalam jangka waktu yang agak lama.
Catatan: Sesungguhnya masih ada satu rasio lagi yang lumrah digunakan untuk menganalisa
laporan keuangan, terutama terkait dengan kepentingan investor, yakni “Price-Earning Ratio”
(P/E Ratio). Karena agak rumit dan butuh penjelasan yang panjang lebar, maka terpaksa
pembahasan rasio ini saya tunda dahulu. Percuma jika tidak bisa dipahami dengan baik. Mudah-
mudahan bisa saya bahas, secara mengkhusus, di lain kesempatan.
Secara keseluruhan, rasio profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
profit. Bisa juga dipandang sabagai pengukuran terhadap efektifitas operasional perusahaan.
Namun, seperti telah saya singgung dalam penjelasan di atas, perlu disadari bahwa pengukuran
profitabilitas perusahaan kerap memerlukan tindaklanjut untuk menemukan sumber masalah
yang mungkin terjadi. Sehingga, bisa dikatakan profitability ratio tidak cukup. Perlu analisa-
analisa lanjutan.
Yang paling urgent setelah pegukuran profitabilitas adalah pengukuran likuiditas. Bahkan ada
juga yang berpendapat sebaliknya, justru pengukuran likuiditas lah yang lebih penting.
Argumentnya, setidaknya dari pihak eksternal, tingkat profitabilitas yang tinggi tak ada gunanya
13. jika perusahaan mengalami kesulitan likuiditas. Saat kesulitan likuiditas, jangankan membayar
dividend, mampu membiayai operasionalnya sendiri—tanpa berutang—saja sudah bagus.
Selanjutnya kita bahas tingkat likuiditas PT JAK dengan menggunakan kelompok rasio
likuiditas. Yuk pindah ke paragraf selanjutnya…
Kelompok Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio)
Seperti namanya, “Rasio Likuiditas” (Liquidity Ratio) digunakan untuk mengukur tingkat
likuiditas perusahaan.
Sebelum masuk lebih dalam, apa itu “tingkat likuiditas”?
Sederhananya, tingkat likuiditas = kemampuan membayar.
Ketika seseorang bertanya “apakah perusahaan dalam kondis likuid?” Itu artinya ia bertanya
apakah perusahaan memiliki kemampuan untuk membayar. Namun dalam bahasa formal, yang
dimaksud tingkat likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka
pendeknya.
Dengan demikian maka rasio likuiditas bisa didefinisikan sebagai:
rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka
pendeknya; atau
rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar utang jangka pendek.
Mengetahui tingkat likuiditas (=kemampuan bayar) sangat penting, baik bagi pihak eksternal
maupun eksternal.
Misalnya:
Andi berniat membeli mobil baru dengan menggunakan fasilitas kredit dari perusahaa
pembiayaan (finance). Di sisi lainnya dia juga punya cicilan rumah yang belum lunas dan
kebutuhan rutin lainnya seperti makan, minum, listrik, telepon, dlsb. Sebelum memutuskan untuk
menyetujui atau tidak, perusahaan finance perlu menilai kemampuan bayar (baca: tingkat
likuiditas) Andi terlebih dahulu. Mialnya perusahaan finance memperoleh data tentang Andi sbb:
Sisa saldo tabungan Andi setelah bayar uang muka = Rp xxxx (=aset lancar=likuid)
Andi punya piutang kepada A, B, C = Rp xxxx (=aset lancar=likuid)
Deposito jatuh tempo dlm 1 tahun = Rp xxxx (=aset lancar=likuid)
Tanah warisan 1 hektar di Bogor = Rp xxx (aset tak lancar=non-likuid)
14. Satu unit ruko di Tangerang = Rp xxx (aset tak lancer=non-liquid)
Andi dikatakan memiliki tingkat likuiditas yang cukup bila total nilai aset lancar yang tergolong
likuid bisa menutup semua kebutuhan Andi terhadap uang tunai (untuk bayar cicilan rumah,
cicilan mobil dan pengeluaran-pengeluaran lainnya) dalam jangka pendek. Mengetahui tingkat
likuiditas juga perlu bagi Andi sendiri, sehingga bisa lebih realistis dalam membuat suatu
rencana.
Itu contoh kasus sederhana yang terjadi pada individual.
Bagaimana dengan kasus perusahaan?
Sama saja. Baik pihak eksternal maupun internal sama-sama perlu mengukur tingkat likuiditas
perusahaan:
Bagi kreditur (eksternal), mengentahui tingkat likuiditas calon debitur penting untuk
memutuskan apakah akan memberikan fasilitas kredit atau tidak (mereka ingin
pembayaran yang lancar dan tepat waktu.)
Bagi investor (eksternal), baik perorangan atau badan usaha, mengetahui tingkat
likuiditas calon perusahaan investee penting untuk memutuskan apakah akan berinvestasi
di sana atau tidak (mereka mengharapkan pembayaran dividen yang lancar.)
Bagi manjemen perusahaan (internal), mengetahui kemampuan bayar diri mereka
sendiri juga sangat penting untuk menentukan strategi binis yang akan diterapkan
(mereka menginginkan rencana yang tidak saja bagus tapi juga realistis.)
Nah, untuk mengetahui tingkat likuiditas perusahaan, apa yang diukur? Bagaimana melakukan
pengukuran? Rasio apa yang digunakan? Bagaimana caranya menghitung dan bagaimana
caranya menginterpretasikan hasil hitung rasio likuiditas?
Neraca di atas menunjukkan PT. JAK memiliki saldo Kas sebesarRp 411,000,000.
Pertanyaannya: Dengan saldo kas sebesar itu, apakah PT. JAK bisa dikatakan likuid atau
tidak?
Ada 2 rasio yang lumrah digunakan untuk mengukur likuiditas perusahaan, yaitu Current Ratio
dan Quick Ratio. Kita lihat satu-per-satu.
1. Current Ratio
Seperti namanya, mengukur tingkat likuiditas dengan “current ratio” artinya anda
membandingkan antara “current asset” (=aset lancar) dengan “current liabilities” (=liabilitas
lancar). Sehingga formulanya:
Current Ratio = Aset Lancar / Utang Lancar
15. Pada Neraca PT. JAK di atas, total nilai Aset Lancarnya adalah Rp 2,428,000,000. Sedangkan
total nilai Utang Lancarnya Rp 4,020,000,000. Sehingga:
Current Ratio PT. JAK = 2,428,000,000/Rp 4,020,000,000 = 0.60
Catatan: Contoh Neraca di atas sangat sederhana, item aset lancar dan utang lancar yang
tercantum sangat sedikit. Pada kenyataannya bisa sangat banyak. Namun intinya, aset yang
diperkirakan bisa dikonversikan menjadi kas dalam jangka pendek sudah masuk ke dalam
kelompok aset lancar. Di sisi lainnya, kewajiban apapun yang akan jatuh tempo dan harus
dibayar dalam jangka pendek tergolong utang lancar. Dan, “jangka pendek” di sini maksudnya
maksimal 1 tahun buku.
Jadi, current ratio PT JAK = 0.60 (bisa juga dibaca “60 persen”). Apa artinya?
Interpretasi: Ini skor rasio yang tak sehat. Jikapun semua aset lancar bisa “dicairkan” menjadi
kas (dijual misalnya), PT JAK saat ini hanya punya Rp 0.60 untuk membayar setiap Rp 1 utang
lancarnya yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari 1 tahun buku. Atau, bisa dikatakan,
hasi penjualan seluruh aset lancar PT JAK hanya mampu menutup 60 persen dari total utang
lancarnya yang akan jatuh tempo dalam jangka pendek.
Berapa current ratio yang ideal? Tidak ada satu angka pasti untuk ini. Sangat tergantung pada
kepentingan. Umumnya, current ratio yang ideal—setidaknya menurut bank dan lembaga
keuangan yang biasa menydiakan fasilitas kredit—ada pada kisaran antara 2.00 hingga 3.00
(=200 hingga 300%). Rasio minimal yang bisa diterima ada pada kisaran antara 1 hingga 1.5
(=antara 100 hingga 150%.) Bagi manajemen perusahaan, ideal tak idealanya rasio likuiditas
tergantung target yang hanya mereka sendirilah yang paling tahu. Jika targetnya memang hanya
0.60 (karena tahun sebelumnya hanya 0.40 misalnya) berarti tujuan tercapai.
Yang pasti jangan berpikir makin likuid perusahaan makin bagus. Sebab sangat mungkin
lukuiditas yang tinggi justru mencerminkan pengelolaan kas yang buruk (perusahaan hanya cari
aman sementara membiarkan peluang bisnis bagus lewat begitu saja).
Rekomendasi: PT JAK dalam kondisi kekurangan likuiditas. Yang bisa dilakukan oleh PT JAK
adalah sbb:
Berupaya untuk menghindari berbelanja tunai; pilah-pilah vendor mana yang
menyediakan kredit (tanpa menaikkan harga) dan mana yang tidak.
Menegosiasikan utang yang segera akan jatuh tempo, minta penundaan pembayaran
khususnya kepada pemasok kebutuhan yang sifatnya tak rutin.
Jika tahun lalu sudah, tahun ini mungkin tidak bayar dividend. Kalau terpaksa, bisa bayar
dividend dengan saham.
Jangan ada alokasi budget untuk Aset Tetap. Jika terlanjur ada, buat revisi budget.
Bagaimanapun juga, coba lihat satu kwartal ke depan; apakah rasio ini bisa diperbaiki
atau tidak. Jika iya, penggunaan kas bisa dinormalkan. Jika tidak, maka harus diperketat.
Bagaimana dengan pihak eksternal, khususnya kreditur?
16. Mereka tak terlalu bergantung pada current ratio. Menurut mereka, ukuran current ratio belum
mewakili likuiditas sebenarnya, sehingga masih mengandung risiko yang tinggi. Mengapa? Ada
2 alasan:
Uang Muka atau Prepaid atau Deposit, yang masuk kelompok aset lancar, BUKAN
aset yang bisa diuangkan. Jarang ada deposit atau uang muka biaya yang dibatalkan dan
kembali menjadi kas. Yang lebih sering terjadi, item ini biasanya berubah menjadi biaya
atau aset non-kas. Sehingga mengikutsertakan ini dalam pengukuran likuiditas adalah
tidak tepat.
Persediaan, yang masuk kelompok aset lancar, juga tidak sepenuhnya lancar atau
current. Sebagiannya mungkin persediaan lama yang tak laku dijual namun tetap
disimpan dengan maksud agar nilai aset lancar nampak tinggi. Terlebih-lebih pada
perusahaan yang memproduksi barang bukan pesanan, persediaan seringkali ngendon di
gudang bertahun-tahun tanpa tahu kapan akan laku dijual. Jikapun nantinya laku,
mungkin dijual secara kredit sehingga butuh waktu untuk melakukan penagihan, itupun
mungkin dengan nilai yang sudah turun drastis.
Itu sebabnya pihak eksternal jarang mau menggunakan current ratio. Mereka lebih memilih
“Quick Ratio” (baca quick ratio di bawah). Namun bukan berarti quick ratio tak dipakai
samasekali. Hanya saja, mereka biasanya mematok ratio yang tinggi. Seperti sudah saya
sampaikan diatas, mereka mematok current ratio antara 2.00 hingga 3.00.
2. Quick (Acid Test) Ratio
Quick ratio—kadang disebut “Acid Test Ratio”—adalah rasio kedua yang bisa digunakan untuk
mengukur tingkat likuiditas perusahaan. Pihak eksternal lebih memilih menggunakan rasio ini
sebab lebih konservatif (baca: lebih ketat)—thus lebih aman bagi mereka—dibandingkan current
ratio.
Pada quick ratio, uang muka dan persediaan tidak diikutsertakan, sehingga formulanya menjadi
sbb:
Quick (Acid Test) Ratio = (Aset Lancar – Uang Muka – Persediaan) / Utang Lancar
Pada Neraca PT. JAK di atas, Total Aset Lancar=2,428,000,000. Uang Muka
Biaya=248,000,000 dan Persediaan = 824,000,000. Sedangkan Total Utang Lancar =
4,020,000,000. Sehingga:
Quick (Acid Test) Ratio = (2,428,000,000 – 248,000,000 – 824,000,000) / 4,020,000,000
Quick (Acid Test) Ratio = 0.34 (bisa juga dibaca “34 persen”)
Apa artinya?
17. Interpretasi: Quick ratio 0.34 artinya: untuk setiap Rp 1 utang lancar yang dimiliki, PT JAK
hanya mampu bayar Rp 0.34 atau 34 sen. Dengan kata lain, jika semua aset lancar—selain uang
muka biaya dan persediaan—dicairkan atau diuangkan—maka hanya akan menutup 34 persen
dari total utang lancar PT JAK yang akan jatuh tempo dalam satu tahun buku. Quick ratio 0.34
sementara current ratio 0.60 artinya, aset lancar separuhnya berupa “Uang muka biaya” dan
“Persediaan.” Sekalilagi, ini tergolong rasio berskor rendah.
Berapa quick ratio yang ideal? Sama seperti current ratio, tidak ada angka tunggal yang ideal.
Jika menggunakan kaca mata eksternal, khususnya kreditur, quick ratio ideal ada pada kisaran
1.5 hingga 2.00, sehingga perusahaan masih memiliki ekstra kas selain utang lancar yang telah
ada. Minimal yang bisa diterima ada pada kisaran 1.00 hingga 1.50.
Rekomendasi untuk PT JAK: Disamping mengambil langkah-langkah yang telah
direkomendasikan pada current ratio, pihak manajemen juga perlu melakukan hal-hal berikut ini:
Segera mengambil tindakan yang tepat untuk menjual persediaan yang saat ini telah
menumpuk. Harus habis terjual dalam waktu satu turnover (biasnya 3 bulan). Jika tidak,
perusahaan akan SEGERA mengalami kesulitan likuiditas. Jika ini terjadi, mungkin
vendor mulai menghentikan pasokan dan akan kesulitan untuk belanja secara kredit.
Ke depan, PT JAK perlu melakukan analisa peringkat product; memililah-milah
mana product yang cepat laku dan mana yang tidak. Selanjutnya perusahaan perlu
mengurangi persediaan product yang tergolong lambat lakunya.
Jika PT JAK adalah manufaktur yang memproduksi barang pesanan, perlu
mengatur jadwal pasokan yang lebih ketat, yakni dengan cara mempersempit jarak
antara waktu barang jadi dengan waktu pengiriman barang ke pelanggan, sehingga
penumpukan persediaan barang jadi bisa diminimalkan. Hal ini hanya bisa dilakukan jika
perusahaan mampu mengukur waktu berproduksi (lead-time) dengan lebih akurat. Dan
lead time bisa diestimasi secara akurat hanya jika perusahaan mampu mengukur kapasitas
(mesin dan orang) dengan lebih akurat pula.
Pada wilayah bahan baku, PT. JAK juga perlu membuat strategi pasokan yang
lebih ketat, baik dari kuantitas maupun waktu penyerahan. Dalam hal kuantitas,
perusahaan sebaiknya menurunkan angka cadangan (reserve) untuk bahan baku dan
penolong. Dalam hal waktu penyerahan, perusahaan sebaiknya mempersempit jarak
waktu antara jadwal bahan baku diterima dengan jadwal bahan baku masuk produksi. Hal
ini hanya bisa dilakukan bila perusahaan memiliki production planning dan vendor
relation yang bagus.
Melihat angka uang muka biaya yang cukup besar, artinya manajemen kerap
membayar uang muka (deposit) kepada vendor. Hal ini terjadi karena manajemen tidak
memiliki jumlah vendor yang cukup atau tidak memiliki hubungan yang baik. Ke
depannya perlu ditingkatkan. Uang muka biaya yang tinggi juga bisa terjadi karena
membeli susuatu terlalu dini (belum dibutuhkan) atau melebihi yang dibutuhkan. Untuk
memenuhi matching principle, perusahaan mengakui porsi yang belum digunakan (baca:
belum memberi manfaat) sebagai “uang muka biaya”. Ke depan, perlu menerapkan
prosedur kebijakan yang lebih ketat.
18. Secara keseluruhan, Rasio Likuiditas (Liquid Ratio) mencerminkan tingkat likuiditas, yakni
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Mengetahui rasio
likuiditas sangatlah penting. Sebab bisa memperkirakan apakah perusahaan akan lancar
beroperasi dalam jangka pendek atau tidak.
Sampai di sini, pembahasan rasio profitabilitas dan likuiditas saya anggap sudah cukup.
Nemuan perlu disadari bahwa, pengukuran tingkat likuiditas dan profitabilitas belum
mencerminkan kondisi perusahaan secara keseluruhan.
Hasil pengukuran “Return On Assets” (ROA) pada kelompok profitabilitas PT JAK misalnya,
belum mampu menjelaskan “mengapa ROA-nya rendah?” Mengapa kapasitas aset PT JAK tidak
digunakan secara optimal? Mengapa aset tidak terkelola dengan efektif? Pada kelompok aset
mana ketidakefektifan terjadi; apakah pada Kas? Piutang? Persediaan? Atau Aset Tetap? Dan
seterusnya.
Pengukuran dengan rasio profitabilitas dan likuiditas masih menyisakan berbagai pertanyaan.
Dan repotnya, justru pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi kunci apakah manajemen
perushaan mampu menemukan sumbermasalah lalu mengatasinya.
Pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab dengan cara melakukan analisa dengan menggunakan
rasio-rasio yang ada pada kelompok “Tata Kelola Asset”(Asset Management) yang—jika tidak
ada halangan—rencananya akan saya bahas di tulisan berikutnya. Untuk sementara, silahkan
coba aplikasikan rasio-rasio ini terlebih dahulu. Setelah dapat hasil, lalu pikirkan: dimana letak
masalahnya? Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah itu? Selamat mencoba.
Apakah artikel ini membantu?
Ya Tidak
analisa laporan keuangan Laporan Keuangan menghitung menghitung rasio laporan keuangan
menginterpretasikan rasio keuangan rasio rasio laporan keuangan
Pengakuan Aset Tetap Bangunan
Belum Jadi
19. Pengakuan: Langsung Dibebankan,
Dibiayakan, Dikapitalisasi?
Tentang Penulis
Mr. JAK
Seorang Akuntan yang prihatin akan mahalnya biaya pendidikan dan bahan ajar, khususnya
terkait dengan bidang Akuntansi, Keuangan dan pajak di Indonesia.
Lihat semua artikel
Baca juga
Akuntansi • Dasar
Cara Membuat Rekonsiliasi Bank: Selangkah Demi...
20. Akunpreneur • Akuntansi • Intermediate
Bagaimana Mencatat Pengeluaran Sebelum Perusahaan...
Akuntansi • Dasar
Siklus Pembukuan dan Akuntansi Selangkah-Demi-
Selangkah
Akuntansi • Dasar
Format Laporan Keuangan 1: Laporan Laba-Rugi
Akuntansi • Dasar
Menjurnal Selisih Kelebihan Pembayaran Piutang Dagang
Akuntansi • Pajak
PPN Masuk ke Laba-Rugi atau Neraca? (Penjurnalan dan...
21. 16 Komentar
Andri Chaniago
Mar 15, 2015 at 8:59 am
Semoga saya bisa sedikit membantu pertanyaan teman-teman, karena saya lihat tidak ada
balasan yang bisa diberikan penulis untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.
@Sukanto_1988 :Pada Rasio Gross Profit Margin untuk memahaminya jika misalkan pak
sukanto jual buah durian 2 juta . Trus, mas beli duriannya dari Medan harganya 1,1 juta
dan ongkir ke tempat mas 0,2 juta . Maka HPP menjadi 1,3 juta. Nah, setelah kita hitung,
HPP ada 1,3 juta dan Penjualan mas atas durian sebesar 2 juta . maka laba kotornya
adalah ? ya. 700 ribu . 700 ribu inilah yang kita hitung persentasenya ke penjualan mas
yang 2 juta tadi. maka dapat 35%. Artinya apa ? Artinya, mas dapat untung kotor atas
penjualan durian mas 35% dari jumlah HPP (Bahasa awamnya modal ya ? Hehe) yang
mas keluarkan. Jadi kalo mas jual Apel (Bukan Durian lagi) sebesar 4 juta, maka mas
dapat laba kotor 35% dari total penjualan mas (Persentase HPP kita perhitungkan sama).
Dan Begitu Seterusnya .
Balas
« Previous 1 2
Silahkan berkomentar
Nama *
Surel *
Website
Komentar anda
Bimbingan Karir
22. Terpopular
Cara Membuat Rekonsiliasi Bank: Selangkah Demi...
Bagaimana Mencatat Pengeluaran Sebelum Perusahaan...
Siklus Pembukuan dan Akuntansi...
Format Laporan Keuangan 1: Laporan Laba-Rugi
Menjurnal Selisih Kelebihan Pembayaran Piutang Dagang
Terkini
23.
Bagaimana Cara Auditor Memeriksa Aspek Going Concern...
Apa Saja Yang Diungkapkan Dalam Catatan Laporan...
Komponen Laporan Keuangan Lengkap Beserta Contoh dan...
Menyusun Laporan Keuangan: 12 Hal Penting Untuk...
Pengakuan: Langsung Dibebankan, Dibiayakan...
25. Mungkin ini kenyataan pahit yang harus ditelan, sekaligus tantangan yang harus dijawab oleh
rekan-rekan akuntan pendidik (pengajar akuntansi di kampus-kampus) bahwa, apa yang selama
ini diajarkan lebih banyak kulit ketimbang isinya. Sehingga output yang dihasilkan adalah anak-
anak akuntansi yang bisa menjurnal dan membuat laporan keuangan tetapi tidak sungguh-
sungguh memahami logika atas apa yang mereka buat.
Jurnal dan laporan keuangan yang mereka hasilkan, secara teknis, benar. Tetapi begitu ada
masalah mereka mengalami kesulitan untuk menelusuri darimana sumber masalahnya. Al hasil
mereka tidak (belum) mampu memberikan masukan yang diharapkan oleh pihak manajemen
perusahaan. Lebih parahnya lagi, bahkan untuk sekedar menjelaskan “mengapa bisa demikian?”-
pun tidak bisa.
Misalnya:
1. Angka pendapatan tinggi, tetapi mengapa Laporan Laba Rugi menunjukan angka laba yang
sangat kecil? (Tolong jangan buru-buru menjawab “karena cost-nya tinggi,” nanti terjebak
sendiri.)
2. Angka penjualan rendah, tetapi mengapa Laporan Laba Ruginya menunjukan angka minus
alias rugi? Bukankah bila penjualan rendah berarti aktivitas produksi juga rendah sehingga
mestinya tidak rugi?
3. Penjualan begitu tinggi, Laporan Laba Rugi menunjukan angka laba yang signifikan, tetapi
mengapa begitu banyak vendor (supplier) yang mengeluhkan keterlambatan pembayaran?
4. Ekuitas Pemilik menunjukan peningkatan yang cukup besar, tetapi mengapa tidak ada dividen
yang bisa dibagikan kepada pemegang saham?
Keempat pertanyaan di atas sesungguhnya hanya memerlukan logika akuntansi yang sangat
sederhana dan lumrah terjadi di hampir semua perusahaan. Kenyataannya, saat ditanya pegawai
accounting seringkali gelagapan, akhirnya tidak bisa menjelaskan dengan baik. Setidaknya,
minimal mereka bisa menjelaskan “mengapa bisa terjadi demikian?”.
Idealnya, jika mereka memahami logika-logika dibalik sebuah laporan keuangan, mestinya
mereka bisa memberi saran dan masukan bagi manajemen mengenai apa yang perlu (atau tak
perlu) dilakukan di masa-masa yang akan datang agar masalah yang sama tidak terjadi lagi.
Mengingat kembali masa-masa kuliah dahulu (bisa jadi sekarang sudah jauh lebih baik),
materi mata kuliah begitu banyak sementara waktu yang tersedia sangat sempit, “so little time, so
many things to do.”
Mata kuliah ‘Akuntansi Dasar’ (Basic Accounting) misalnya. Dengan materi yang begitu
banyak, harus bisa diselesaikan hanya dalam 48 kali pertemuan. Setiap pertemuan selalu
digunakan untuk mengejar penyelesaian materi yang isinya memang semuanya bersifat teknikal.
26. Samasekali tidak ada ruang untuk menanamkan pemahaman-pemahaman logika akuntansi
(mulai dari siklus akuntansi, menjurnal hingga membuat laporan keuangan).
Bahwa kematangan logika bertumbuh seiring dengan pengalaman kerja, BETUL. Bahwa bangku
kuliah hanya memberikan bekal dasar, boleh jadi IYA (terutama untuk universitas non-elite,
tanpa AC, tanpa dasi, masih pakai kapur tulis, seperti tempat saya berkuliah dahulu).
Di sinilah akhirnya bermuara: TERGANTUNG MASING-MASING INDIVIDU.
Tantangan utamanya—terutama bagi kita yang sudah bekerja: Bagimana caranya mengasah
kemampuan logika akuntansi diantara himpitan tugas rutin sehari-hari yang seolah tak ada
habisnya?
Itulah semangat dasar yang menjadi latar belakang mengapa ‘Jurnal Akuantansi Keuangan’
(JAK) ada, yaitu: menjadi tempat untuk sharing dan diskusi sambil mengasah skill akuntansi
(hard maupun soft skill) di sela-sela rutinitas sehari-hari. Pengelola JAK sadar sepenuhnya
bahwa keberadaan JAK pastinya masih jauh dari apa yang diharapkan. Tetapi mudah-mudahan
bisa menjadi alternative sekaligus awal yang baik.
Melalui tulisan sederhana ini, saya pribadi ingin mengajak siapa saja yang tertarik untuk
mengksplorasi logika-logika di balik sebuah laporan keuangan.
Seperti telah saya sampaikan di awal, produk akhir dari akuntansi adalah laporan keuangan.
Dengan membaca laporan keuangan, mereka yang berkepentingan bisa mengetahui kondisi
keuangan perusahaan.
Kondisi apa saja yang bisa dilihat dengan membaca laporan keuangan?
Untuk sungguh-sungguh memahami logikanya, anda harus memposisikan diri sebagai sesorang
yang sangat berkepentingan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Untuk sementara
lupakan status anda saat ini (sebagai pegawai accounting), anggap diri anda adalah pemilik
usaha.
Nah, sebagai pemilik usaha, apa yang ingin anda ketahui mengenai kondisi keuangan
perusahaan?
Saya coba menebak-nebak (dengan menggunakan kelaziman). Sebagai pengusaha, minimal anda
ingin tahu 2 hal berikut ini:
1. Kekayaan Perusahaan
27. Pertanyaan paling mendasar di wilayah ini adalah: Apakah perusahaan dalam kondisi baik-baik
saja? “Baik-baik saja” dalam hal ini maksudnya: Dapat beroperasi secara lancar.
Perusahaan hanya akan bisa lancar beroperasi bila:
(a) Memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional sehari-hari;
(b) Memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, yaitu: mampu
membayar utang kepada vendor/supplier, bank, dan membayar dividen kepada pemegang saham;
(c) Memiliki persediaan (bahan baku untuk diproduksi atau barang jadi untuk di jual);
(d) Memiliki sarana dan fasilitas yang cukup untuk menunjang kelancaran operasional
perusahaan.
Dengan kata lain, apakah perusahaan memiliki “kekayaan” yang cukup untuk bisa beroperasi
dengan lancar? Jawaban atas pertanyaan itu ada di NERACA—yang sering juga disebut sebagai
“Laporan Posisi Keuangan.”
Masih ingat dengan persamaan akuntansi di bawah ini?
Aktiva (asset) = Kewajiban (Liability) + Ekuitas Pemilik (equity)
Itulah isi utama dari sebuh Neraca. Untuk visualisasi, silahkan lihat contoh necara sederhana di
bawah ini:
28. Dari contoh Neraca di atas anda sebagai pemilik PT. JAK bisa melihat posisi keuangan
perusahaan dan memperoleh informasi sbb:
Kekayaan kotor perusahaan sama dengan total nilai aktiva (asset)-nya. Dalam contoh ini
adalah 137. Jika dibandingkan dengan total kewajiban (utang) yang sebesar 67, masih ada selisih
kekayaan sebesar 70. Selisih yang 70 inilah yang disebut dengan “Kekayaan Bersih (Net Asset
atau Net Worth)” perusahaan.
Dari sini jelas tergambar bahwa perusahaan memiliki kemampuan yang cukup untuk memenuhi
semua kewajibannya, dengan asumsi: jika semua asset dijual maka semua utang bisa dilunasi.
Jika kembali ke contoh pertanyaan yang saya sampaikan di awal tulisan: Mestinya perusahaan
bisa memenuhi kewajibannya, tetapi mengapa banyak vendor (supplier) yang mengeluhkan
keterlambatan pembayaran?
Untuk menjawab pertanyaan spesifik seperti ini, perhatian harus diarahkan ke elemen-elemen
neraca yang lebih kecil. Pada sisi aktiva nampak akun “Kas” saldonya hanya 10, sementara akun
“Utang Dagang” di sisi sisi Kewajiban nampak sebesar 30. Jelas perusahaan akan mengalami
29. defisit (kekurangan) kas sebesar 20, sehingga banyak vendor yang mengalami penundaan
pembayaran.
Mengapa terjadi demikian? Bagaimana cara mengatasinya? Apa yang perlu dilakukan
oleh manajemen agar kondisi ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang?
Bentuk Neraca sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menjawab semua
kemungkinan pertanyaan yang ada. Dengan catatan, anda harus memahami logikanya. Dari total
aktiva (asset) sebesar 137, mengapa akun kas nilainya hanya 10, dimana sisanya? Perhatian di
alihkan ke elemen-elemen aktiva (asset) lainnya, yaitu:
Piutang = 85
Persediaan = 32
Aktiva Tetap = 10.
Nah ketahuan sudah, asset menumpuk di akun “Piutang” sebesar 85. Sehingga pertanyaan
“mengapa”-nya sudah terjawab. Tinggal berpikir bagaimana cara mengatasinya dan cara
mencegahnya di waktu yang akan datang. Untuk mengatasinya manajemen perusahaan perlu
memfokuskan perhatian pada proses penagihan piutang—mungkin dengan menawarkan
potongan untuk pembayaran lebih awal, kalau perlu panggil debt collector jika mengalami
kesulitan penagihan. Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi di masa yang akan datang,
manajemen perlu mengubah kebijakan kredit—mungkin di buat lebih ketat lagi, lebih selektif
terhadap pemberian kredit, termin pembayaran di perpendek, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, dari Neraca yang sama anda juga bisa melihat bahwa total “Ekuitas Pemilik”
meningkat 20. Dari modal awal sebesar 50 kini menjadi 70. Mengapa angkanya sama dengan
“Kekayaan Bersih” perusahaan yaitu 70, apakah karena kebetulan?
Tidak. Ini berasal dari persamaan dasar akuntansi: Asset = Kewajiban + Equitas Pemilik. Dengan
demikian, maka: Equitas Pemilik = Asset – Kewajiban. Nah jika Kekayaan Bersih = Asset –
Kewajiban, Maka otomatis: Kekayaan Bersih = Ekuitas Pemilik.
Jika kembali ke pertanyaan di awal tulisan: “Mengapa ekuitas pemiliki meningkat tetapi tidak
ada dividen yang bisa dibagikan kepada pemegang saham”? (dengan kata lain perusahaan
tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada pemegang saham)
Jawabannya kembali ke masalah ketersediaan kas. Perusahaan tidak memiliki cukup persediaan
Kas. Bagaimana mengatasinya? Sama seperti solusi sebelumnya.
Lebih detail mengenai ketersediaan kas dan pengalokasiannya (apakah sudah seperti yang
direncanakan, apakah dipergunakan secara efeisien, dan lain sebagainya) bisa dilihat di “Laporan
Arus Kas”.
Laporan Arus Kas, untuk perusahaan yang sudah Go Publik (listing di bursa saham) wajib ada.
Sedangkan untuk perusahaan non-publik bisa ada bisa tidak. Mengapa boleh ada boleh tidak?
Karena “Laporan Arus Kas” hanya merupakan rincian lebih detail dari akun “Kas” di Neraca.
30. Sehingga pada dasarnya, nilai akhir dari laporan arus kas sama dengan saldo yang ada pada akun
“Kas” di Neraca. (Catatan: Saya akan membahas laporan arus kas secara terpisah (di tulisan
lain).
Hal yang tak kalah pentingnya untuk diketahui dari sebuah Neraca adalah “Tanggal
Neraca” (dibawah tulisan “NERACA PT. JAK”), dalam contoh ini adalah “Per 31 Januari 2012.”
Artinya: Kekayaan Kotor sebesar 137 dan Kekayaan Bersih sebesar 70 adalah “Kekayaan
Perusahaan” per tanggal 31 Januari 2012. Itu sebabnya mengapa dalam teori akuntansi, Neraca
didefinisikan sebagai “Laporan yang menyajikan posisi keuangan perusahaan pada tanggal
tertentu.” Di U.S. sana sering disebut dengan “Snapshot of Financial Position.”
2. Untung atau Rugi
Mengetahui berapa besarnya kekayaan perusahaan, mengetahui apakah perusahaan mampu
melunasi utang-utangnya saja, belumlah cukup. Sebagai pengusaha anda juga ingin tahu:
Apakah bulan/tahun ini anda untung atau rugi? Jika rugi, mengapa?
Apakah operasional perusahaan berjalan dengan efisien atau sebaliknya, boros?
Apakah sumber daya perusahaan lebih banyak digunakan untuk aktivitas yang
menghasilkan barang/jasa atau untuk hal-hal di luar itu?
Semua jawabanya ada di ‘Laporan Laba Rugi.’ Untuk visualisasi silahkan lihat contoh Laporan
Laba Rugi PT. JAK di bawah ini:
31. Memperhatikan Laporan Laba Rugi di atas, anda bisa melihat dengan jelas bahwa:
(a) Pendapatan (Revenue) sebesar 187
(b) Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold) sebesar 50
(c) Laba Kotor (Gross Profit) sebesar 137
(d) Biaya-biaya 132
(e) Laba Bersih (Net Profit) sebesar 5
Diantara kelima angka-angka di atas, mana yang paling penting bagi anda sebagai
pengusaha? Sudah pasti “Laba Bersih”. Laba bersih menunjukan angka 5. Ini sangat kecil jika
dibandingkan dengan nilai Revenue anda yang menunjukan angka 187. Dengan kata lain, profit
margin anda hanya 3% (=5/187). Kalau begini ceritanya mah mendingan uangnya di taruh di
deposito kan?
32. Lalu anda tanya orang accounting “Mengapa labanya hanya 5, padahal revenuenya tinggi? Pasti
ada yang tidak beres di sini.”
Mungkin dengan cekatan mereka menjawab “Karena biayanya tinggi, boss.”
Ya iyalah. Revenue tinggi, wajar jika biaya juga tinggi (kecuali yang bikin barang dari golongan
jin.) Tidak usah orang manajemen, Mbok Jum warung sebelah juga tahu pendapatan dikurangi
biaya sama dengan laba atau rugi. Tapi, bukankah bila revenue tinggi, biaya tinggi, mestinya
laba masih tetap tinggi?
Pertama, mungkin mereka akan memeriksa kembali angka-angka di laporan, dibandingkan
dengan neraca saldo, dibandingkan dengan buku besar, bahkan bukti transaksi dibandingkan
dengan catatan transaksi (jurnal) satu-per-satu. Semua perhitungan diperiksa satu per
satu. Beberapa hari kemudian mereka kembali dengan jawaban “Semua angka sudah saya
periksa, hasilnya benar dan akurat. Semua jurnal sudah benar, tidak ada transaksi yang tertinggal
atau diposting dua kali”.
Nah inilah yang saya sebutkan di awal: menguasai teknis akuntansi, mahir menjunal dan
membuat laporan keuangan, tetapi tidak (belum) memahami logika akuntansi dengan
baik.
Andai sudah memahami logika di balik Laporan Keuangan (Laba Rugi dalam hal ini), mereka
tidak perlu sampai memeriksa transaksi satu-per-satu, bahkan mungkin tidak sampai perlu
memeriksa saldo buku besar. Cukup hanya dengan melihat Laporan secara sepintas (scanning)
dari atas kebawah:
Pertama anda lihat “Pendapatan (revenue)”, lalu anda bandingkan dengan “Harga Pokok
Penjualan”, apakah angkanya terlihat logis? Dengan pendapatan sebesar 187, apakah logis jika
harga pokok penjualannya 50 sehingga laba kotornya menjadi 137? Permasalahan dilokalisir
sampai di sini dahulu.
Untuk mengetahui logis-atau-tidak logis, sebenarnya sudah disediakan alat bantu di bawah “Laba
Kotor (Gross Profit)” yang disebut dengan “Gross Profit Margin” yang menunjukan angka 73%.
Angka ini tidak akan ada di sana jika tidak ada fungsinya. Apa fungsinya? Untuk mengetahui
apakah perbandingan antara pendapatan dengan laba kotor. Pertanyaaan selanjutnya: apakah
gross profit margin sebesar 73% itu wajar? Anda bisa memanggil cost accountant anda,
merekalah yang paling tahu berapa besarnya gross profit margin untuk produk yang dijual.
Separah-parahnya, anda bisa membandingkan angka 73% ini dengan angka gross profit margin
bulan lalu—jika perlu, tarik hingga satu tahun ke belakang untuk melihat ‘trend’-nya.
Saya pribadi, untuk penelusuran cepat, memilih menggunakan kelaziman dan benchmark. Dari
sana saya tahu bahwa untuk jenis usaha manufaktur gross profit margin ada di kisaran 25 hingga
50%. Untuk jenis perusahaan jasa ada di kisaran 50 hingga 70%. Dan untuk jenis usaha trading
(termasuk retail) ada di kisaran 70 hingga 200%.
33. Nah jika PT. JAK dalam contoh ini adalah perusahaan manufaktur, maka angka gross profit
margin sebesar 73% tergolong tinggi. Sehingga akar masalahnya sudah pasti tidak ada di antara
wilayah revenue hingga harga pokok penjualan. Lalu dimana? Sudah pasti ada di wilayah biaya-
biaya.
Selanjutnya tinggal scanning wilayah akun-akun biaya yang ada di laporan laba rugi. Diantara
biaya-biaya tersebut mana yang terlihat tidak wajar? Jika anda punya laporan laba rugi bulan
sebelumnya, anda tinggal meletakannya secara bersisian dengan laporan laba rugi Januari 2012
ini, lalu bandingkan. Dalam contoh ini saya tidak buatkan laporan laba rugi bulan sebelumnya
sebagai pembanding. Angka yang janggal langsung saja saya beri warna merah, yaitu “Biaya
Telepon” sebesar 35. Mengapa ini janggal? Bandingkan dengan “Biaya Gaji?”—apakah logis
biaya telepon lebih besar dibandingkan biaya gaji dalam sebuah perusahaan manufaktur? Tidak
logis.
“Bukankah tadi sudah diperiksa oleh orang accounting dan mereka mengatakan semua transaksi
sudah diperiksa hingga ke nota-nya dan hasilnya akurat?”
Yup. Jika jurnal dan angka di nota benar, berarti yang salah adalah: ORANG YANG BOROS
MENGGUNAKAN TELEPHONE. Biaya telephone bengkak begitu besar sudah pasti ada
pemakaian yang luar biasa tinggi di luar kebutuhan perusahaan. Selanjutnya tinggal kirim memo
ke HRD untuk investigasi lebih lanjut (siapa yang menelpon pacar berjam-jam setiap hari?).
Untuk mencegah agar tidak tejadi lagi di masa yang akan datang, mungkin HRD perlu membuat
aturan pemakaian telepon. Misalnya: Akses inetrlokal, handphone dan SLI hanya untuk manajer
ke atas dengan menggunakan PIN—sehingga penggunaannya bisa diketahui. Sedangkan untuk
staff, jika perlu interlokal, SLI atau handphone harus via operator (front office) dengan approval
dari manajer.
Logika-logika dasar seperti ini sangat perlu terus diasah, agar penguasaan akuntansi dan
keuangan menjadi semakin matang, sehingga bisa menjalankan fungsi dengan baik, bisa
memberi masukan yang bermanfaat bagi perusahaan.
Ini baru sebagian kecil dan masih di permukaan. Semakin dalam menyelam, semakin
detail, sudah pasti semakin banyak pula ragam logika akuntansi yang harus dipelajari.
Tentunya ini bukan sesuatu yang bisa dikuasai secara instant. Butuh waktu, kesabaran
dan kesungguhan.
Bagi mereka yang sudah bekerja, dan masih merasa perlu mengasah kemampuan
akuntansi melalui pemahaman logika-logikanya, tidak ada cara selain “Learn as you go.”
Modal awalnya hanya satu: selalu penasaran/ingin tahu. Selanjutnya tergantung pada
seberapa besar keberanian kita dalam mengikuti instinct rasa ingin tahu itu.
Semoga sukses!
386
34.
60
11
2
Apakah artikel ini membantu?
Ya Tidak
berita Laporan Keuangan Laporan Laba Rugi Memahami Logika Laporan Keuangan Neraca
slider
Bagimana Caranya Mengelola Modal
Kerja Secara Efektif
35. Format Laporan Keuangan 1: Laporan
Laba-Rugi
Tentang Penulis
Mr. JAK
Seorang Akuntan yang prihatin akan mahalnya biaya pendidikan dan bahan ajar, khususnya
terkait dengan bidang Akuntansi, Keuangan dan pajak di Indonesia.
Lihat semua artikel
Baca juga
Dasar
Cara Mudah Membuat Jurnal Akuntansi
36. Akuntansi • Dasar
Cara Membuat Rekonsiliasi Bank: Selangkah Demi...
Akunpreneur • Akuntansi • Intermediate
Bagaimana Mencatat Pengeluaran Sebelum Perusahaan...
Akuntansi • Dasar
Siklus Pembukuan dan Akuntansi Selangkah-Demi-
Selangkah
Akuntansi • Dasar
Menjurnal Selisih Kelebihan Pembayaran Piutang Dagang
Akuntansi • Dasar
Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual
37. 98 Komentar
bowo
Jun 8, 2014 at 4:45 pm
hmm.. gross profit margin 200% itu kok bisa ya? Laba kotor 2x lipat dari pendapatan?
Balas
dono
Aug 13, 2014 at 10:04 am
kisaran brp u/ GPM usaha distributor consumer goods
Balas
eca anjani
Aug 29, 2014 at 2:29 pm
pak saya baru saja akan masuk kuliah angkatan 2014 jurusan yg saya pilih yaitu
akuntansi ,, tapi saya takut dgn perhitungan matematika ,, apa saya mampu untuk
mengatsi semua itu ?dan apa dasar-dasar akuntansi agar mudah dimengerti dan kita tidak
merasa parno.. terimaksih pak
Balas
Arisuwie
Sep 3, 2014 at 4:44 am
38. Semakin tertarik belajar tentang laporan keuangan, trimakasih
Balas
jbh
Sep 18, 2014 at 5:07 am
Thx infonya Mr JAK
Balas
epsant abdillah
Oct 21, 2014 at 3:21 am
bagaimana cara saya harus melaporkan pd instansi pajak dari hasil membaca laporan
keuangan yg Mr. Jak formulasikan itu. makasih Jak petunjuknya
Balas
reza hakim
Oct 29, 2014 at 4:17 am
Mr. Jak setelah melakukan perhitungan Rasio Keuangan terutama untuk Rasio
Profitability & Liquidity bagaimana Merangkum dalam satu Kertas Kerja Presentasi ke
Manajemen? Terima kasih.
Balas
manari yasa
39. Nov 12, 2014 at 2:30 am
pencerahan yang sederhana dan mudah dimengerti lanjutkan yang lainnya saya sangat
suka
Balas
arista
Dec 15, 2014 at 9:50 am
terimakasih infonya sagat bermanfaat, meskipun basic saya bukan akuntansi tp ini sangat
mudah dipahami untuk orang awam seperti saya.
Balas
Robert
Apr 2, 2015 at 3:11 pm
Mantap Boss Mr.Jak,
Saya mau tanya nih..kami menerima laporan neraca dr ***mart atas gerai toko yg kami
pegang, yg pada pos Pajak dibayar dimuka di Aktiva Nilainya Minus/negatif. Pertanyaan
saya:
1. Apakah hal seperti itu lazim di neraca ?? Kok bisa terjadi ya ??
Mohon pencerahannya. TrimsBalas
;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
Cara Mudah Membuat Jurnal Akuntansi
Banyak pemula dan mahasiswa akuntansi yang masih mengalami kesulitan dalam
membuat jurnal. Masih bingung untuk memutuskan akun mana yang didebit dan akun mana
yang dikredit. Dari pengalaman saya menyeleksi staf di bagian yang saya pimpin, setidaknya 5
dari 10 kandidat masih mengalami kesulitan, 3 diantaranya ragu-ragu—tidak sungguh-sungguh
40. yakin apakah jurnal yang dibuatnya benar atau salah, dan hanya 2 orang saja yang sungguh-
sungguh memahami aktivitas menjurnal dengan mantap.
Saya meyakini sebagian besar orang accounting pernah berada di situasi ini. Tak jauh berbeda
dengan aktivitas belajar naik sepeda, semuanya berawal dari tidak bisa, lalu mulai belajar, ragu-
ragu, sering jatuh, lama-lama akan terbiasa—stang sepeda seolah-olah belok dengan sendirinya
tanpa diperintah
Tentu harus tahu teknik dasarnya terlebih dahulu. Nah untuk belajar menjurnal, tehnik akuntansi
dasar seperti apa yang harus dikuasai terlebih dahulu? Pahami mekanisme akuntansi terlebih
dahulu.
Mekanisme Dasar Akuntansi
Jika ada seseorang bertanya: “Berapa biaya kuliah S1-mu?” Mungkinkah anda bisa langsung
memberikan jawaban (“100 juta” misalnya)? Atau “kira-kira 150 juta”? Katakanlah anda nekad
menjawab secara spontan, apakah orang yang bertanya akan percaya terhadap jawaban anda?
Jelas tidak. Untuk menjawab pertanyaan ini secara pasti, akurat dan bisa dipercaya perlu:
(1) mengumpulkan data pengeluaran sejak pertama kuliah hingga lulus—berupa nota, buku
tabungan, bukti transfer, dan bukti pengeluaran lainnya;
(2) menganalisa dan mengelompokkan bukti-bukti pengeluaran tersebut; mana saja pengeluaran
yang terkait dengan urusan kuliah;
(3) menjumlahkan pengeluaran-pengeluarang terkait dengan urusan kuliah; dan
(4) menjawab pertanyaan tersebut, Rp 50 juta misalnya.
Bandingkan. Di lain kesempatan seseorang bertanya: “Berapa pengeluaran makan siangmu
bulan Agustus kemarin?” Untuk memberikan jawaban pasti, anda perlu melakukan keempat
langkah di atas lagi.
Lalu bandingkan dengan pertanyaan: “Berapa keuntungan perusahaan selama tahun fiskal
2010 kemarin?” Untuk dapat memberikan jawaban yang akurat, dan bisa
dipertanggungjawabkan anda perlu melakukan langkah-langkah yang sama seperti menjawab
kedua pertanyaan sebelumnya:
Langkah-1. Mengumpulkan data transaksi
Langkah-2. Menganalisa data transaksi
Langkah-3. Memilah dan mengelompokkan transaksi ke dalam akun-akun
Langkah-4. Membuat laporan keuangan
41. Langkah-langkah itu terus berulang sepanjang waktu selama perusahaan masih beroperasi.
Sama persis, bukan? Nah itulah yang disebut dengan ‘SIKLUS AKUNTANSI‘. Siklus
akuntansi adalah mekanisme akuntansi paling dasar yang harus betul-betul dipahami sebelum
mencoba memahami konsep-konspe akuntansi lainnya.
“Lalu, hubungannya dengan menjurnal?”, mungkin ada yang bertanya seperti itu.
Kegiatan menjurnal ada di sekitar langkah ke 2 dan ke 3 dari siklus akuntansi di atas. Artinya,
sebelum menjurnal maka langkah ke-1 dan ke-2 harus dilakukan terlebih dahulu. Tanpa data
yang benar dan pasti, mustahil mampu menghasilkan jurnal yang benar serta akurat. Oleh sebab
itu, untuk menghasilkan jurnal yang benar, pastikan bukti transaksinya ada, datanya jelas dan
benar (bisa dipertanggungjawabkan).
Lebih detail mengenai “Siklus Pembukuan dan Akuntansi Selangkah-Demi-Selangkah” bisa
dibaca di tulisan saya [ini].
Tiga Hal Yang Perlu Dikuasai Sebelum Belajar Menjurnal
Sebelum belajar menjurnal, ada 3 (tiga) hal yang harus dikuasai terlebih dahulu:
1. Kuasai format NERACA dan LAPORAN LABA RUGI sederhana di samping ini.
42. Pahami betul-betul isi Neraca dan Laporan
Laba Rugi.
Kalau memang lebih suka menghafalkan dahulu baru kemudian di logikakan, silahkan lakukan
itu. Tetapi kalau lebih suka memahami logikanya dahulu baru kemudian dihafalkan, silahkan
juga. Terserah bagaimana caranya, yang penting 2 bentuk laporan ini bisa anda hafalkan di luar
kepala.
Sangat bagus jika bentuk neraca dan Laporan Laba Rugi bisa anda visualisasikan di dalam benak
anda. Usahakan agar kedua format tersebut selalu melekat di kepala anda.
Kalau mau agak ekstrim, usahakan agar apapun yang anda lihat, nampak seperti bentuk neraca
dan laporan laba rugi!
Cara menguji apakah anda sudah benar-benar bisa memvisualisasikannya di dalam benak: Ambil
kertas kosong dan pena, buat format neraca dan laporan laba rugi sambil memejamkan mata.
43. 2. Kuasai PERSAMAAN AKUNTANSI berikut ini:
Aktiva = Kewajiban + Ekuitas Pemilik
Logika dibalik persamaan akuntansi di atas:
AKTIVA (juga disebut ‘aset’) adalah kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan, bisa berupa:
uang tunai disebut kas, piutang atau tagihan kepada pihak lain, persediaan barang, dan aktiva
tetap. Dari mana perusahaan memperoleh aktiva tersebut? Apakah tiba-tiba runtuh dari langit?
Jelas tidak. Perusahaan memperoleh aktiva tersebut dari:
(a) MODAL—yang disetorkan oleh pemilik usaha (maka disebut “Ekuitas Pemilik”); atau
(b) UTANG—“Kewajiban” yang suatu saat nanti harus dibayar (dikembalikan); atau
Sehingga jika digabung:
Kekayaan Perusahaan (AKTIVA) = kewajiban (alias UTANG) + Ekuitas Pemilik (alias
MODAL)
Dengan kata lain: di satu sisi perusahaan memiliki aktiva (kekayaan), di sisi lainnya perusahaan
juga memiliki utang (kewajiban) dan modal (ekuitas pemilik). Kondisi ini akan terus berlansung
secara seimbang dari waktu-ke-waktu. Perhatikan kembali gambar contoh NERACA di atas, di
sisi sebelah kiri (Aktiva) jumlah nilainya 70, di sisi kewajiban dan ekuitas jumlah nilainya juga
70, seimbang (balance). Setiap perubahan di satu elemen selalu diimbangi oleh perubahan pada
elemen lain.
Saya akan sajikan contoh farmat laporan keuangan (Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Arus
Kas, dan Perubahan Modal di kesempatan berikutnya.
3. Kuasai prosedur DEBIT dan KREDIT di bawah ini – Jika logika persamaan akuntansi di
atas bisa dipahami dengan baik, maka menghafalkan prosedur debit dan kredit akan menjadi
mudah.
44. Prosedur DEBIT dan KREDIT ini adalah vital sifatnya. Seseorang tidak akan mampu membuat
jurnal dengan baik dan benar jika belum menguasai prosedur ini. Setelah tigal hal di atas sudah
dikuasai dengan baik (hafal, bisa memvisualisasikannya, dan memahami logikanya), maka
silahkan lanjutkan dengan belajar menjurnal.
Apa arti diagram di atas? Dasarnya adalah persamaan akuntansi yang sudah saya sebutkan
sebelumnya, yaitu:
Aktiva = Kewajiban + Ekuitas Pemilik
Disamping ada ketiga elemen utama (aktiva, kewajiban, dan ekuitas pemilik), juga ada Laba
Ditahan, Modal (saham), Dividen, kemudian Biaya dan Pendapatan (catatan: Biaya dan
Pendapatan berasal dari format ‘Laporan Laba Rugi’). Elemen-elemen itu disebut dengan
“AKUN” (account).
Saya akan jelaskan lebih lanjut sambil belajar menjurnal.
Prosedur Menjurnal Yang Benar (dan Mudah)
45. Katakanlah bukti transaksi sudah ada ditangan anda, yaitu berupa surat pinjaman dari bank.
Perusahaan meminjam uang sebesar Rp 250,000,000 dari bank. Bagaimana membuat jurnal atas
transaksi ini?
Untuk menjurnal, ada 3 (tiga) tahapan langkah analisa yang harus dilewati:
Langkah-1. Identifikasi: AKUN mana yang terlibat dalam transaksi ini? Perhatikan contoh
format NERACA sebelumnya. Pinjaman dari bank tergolong utang maka akun yang terlibat
adalah akun ‘Utang’ Uang yang diterima dari bank akan dimasukan ke kas, maka akun lainya
yang terlibat adalah akun ‘Kas’. Sehingga ada 2 akun yang terlibat dalam transaksi ini, yaitu:
Utang dan Kas
Langkah-2. Identifikasi: Bertambah atau berkurang? untuk masing-masing akun yang
terlibat, apakah nilai akun tersebut akan menjadi bertambah atau berkurang, akibat dari transaksi
yang akan anda jurnal? Akun ‘Utang’ sudah pasti bertambah, di sisi lainnya akun ‘Kas’ juga
bertambah.
Langkah-3. Hitung: berapa nilai akun yang terlibat akan bertambah atau berkurang?
Masing-masing Rp 250,000,000.
Kesimpulan analisa: akibat dari transaksi tersebut, akun ‘Utang’ bertambah Rp 250,000,000,
dan akun ‘Kas’ juga bertambah Rp 250,000,000.
Lalu, jurnalnya?
Dari contoh format NERACA sebelumnya diketahui bahwa akun ‘Kas’ masuk kelompok
‘AKTIVA’, dan akun ‘Utang’ masuk kelompok ‘KEWAJIBAN’. Selanjutnya perhatikan bagan
prosedur di atas. Disana disebutkan bahwa:
Pada Aktiva: catat ‘Debit’ jika nilainya bertambah, atau catat ‘Kredit’ bila nilainya
berkurang. Dalam contoh kasus ini kas bertambah sehingga dicatat di ‘Debit’.
Pada Kewajiban: Catat ‘Debit’ jika nilainya berkurang, atau catat ‘Kredit’ bila nilainya
bertambah. Dalam contoh kasus ini utang bertambah, sehingga dicatat di ‘kedit’.
Dengan demikian, maka jurnalnya: Debit akun ‘Kas’ sebesar Rp 250,000,000 dan Kredit akun
‘Utang’ sejumlah senilai yang sama. Saya biasa menuliskannya dengan cara:
[Debit]. Kas = Rp 250,000,000
[Kredit]. Utang = Rp 250,000,000
Mudah sekali. Bisa? Pasti bisa Jangan khawatir, anda tidak akan jadi gila, saya sendiri butuh
10 tahunan untuk menguasainya. Dan sekarang? Bukannya jadi gila, malahan saya bisa
menjurnal transaksi keuangan apapun jenisnya dengan tingkat kesalahan mendekati nol!
46. Di tulisan-tulisan berikutnya saya akan banyak membahas mengenai prosedur ini dalam contoh-
contoh kasus yang lebih variatif dan lebih rumit tentunya.
446
91
11
5
Apakah artikel ini membantu?
Ya Tidak
berita Cara Membuat Jurnal Format Neraca dan Laporan Laba Rugi Sederhana Jurnal Akuntansi
Mekanisme Dasar Akuntansi Membuat Jurnal Akuntansi Persamaan Akuntansi Prosedr
Menjurnal Yang Benar Prosedur Debit dan Kredit slider Tiga Hal Yang Perlu Dikuasai Sebelum
Belajar Menjurnal
Cara Menangani Invoice dan Jurnal
Transaksi Penjualan
47. Membuat Jurnal Dan Menangani
Barang Kembali atau Retur
Tentang Penulis
Mr. JAK
Seorang Akuntan yang prihatin akan mahalnya biaya pendidikan dan bahan ajar, khususnya
terkait dengan bidang Akuntansi, Keuangan dan pajak di Indonesia.
Lihat semua artikel
Baca juga
Akunpreneur • Dasar
Memahami Logika Laporan Keuangan (Neraca dan Laba
Rugi)
48. Akuntansi • Dasar
Cara Membuat Rekonsiliasi Bank: Selangkah Demi...
Akuntansi • Dasar
Siklus Pembukuan dan Akuntansi Selangkah-Demi-
Selangkah
Akuntansi • Dasar
Format Laporan Keuangan 1: Laporan Laba-Rugi
Akuntansi • Dasar
Menjurnal Selisih Kelebihan Pembayaran Piutang Dagang
49. Akuntansi • Dasar
Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual
183 Komentar
Kasturi
Nov 14, 2014 at 10:55 pm
Terima kasih ilmunya Pak Jak,, membuka kedekatan kalangan awam dengan akuntansi,
pendekatan nya ok pak
Balas
suaibatul aslamia siregar
Nov 23, 2014 at 1:47 pm
thanks ilmu’y
Balas
diah widoyani
Feb 9, 2015 at 12:06 am
saya ingin mempelajari laporan keuangan yg lain krn penjelasan anda lebih dapat
dimengerti oleh saya
Balas
Dream
50. Apr 15, 2015 at 12:38 am
Pak saya lulusan komputer..
Saya ingin berkarir di dunia akuntansi..
Harus dimulai dari mana ya Pak..
Apa ikut kursus akuntansi dulu lalu ambil brevet A ato B..
Terima kasih
Balas
Eko Trisatono
Apr 16, 2015 at 5:42 am
Dear Mr. JAK,
Thanks atas knowledge sharingnya, sangat membantu untuk orang awam seperti saya
maklum newbie dalam hal akuntansi, namun ada hal yang ingin saya tanyakan pada
pembahasan diatas, kenapa pada contoh laporan rugi laba, untuk cost element pendapatan
pada posisi debit bukankah harusnya normal transaksi pada posisi kredit, begitu juga
biaya/beban bukan posisi normalnya pada posisi kredit ?
Thanks & regards,
Eko
Balas
Eko Trisatono
Apr 16, 2015 at 5:44 am
Dear Mr. JAK,
Thanks atas knowledge sharingnya, sangat membantu untuk orang awam seperti saya
maklum newbie dalam hal akuntansi, namun ada hal yang ingin saya tanyakan pada
pembahasan diatas, kenapa pada contoh laporan rugi laba, untuk cost element pendapatan
pada posisi debit bukankah harusnya normal transaksi pada posisi kredit, begitu juga
biaya/beban bukan posisi normalnya pada posisi debit ?
51. Thanks & regards,
Eko
Balas
« Previous 1 … 6 7 8
Silahkan berkomentar
Nama *
Surel *
Website
Komentar anda
Bimbingan Karir
Terpopular
Cara Mudah Membuat Jurnal Akuntansi
Memahami Logika Laporan Keuangan (Neraca dan Laba...
52.
Cara Membuat Rekonsiliasi Bank: Selangkah Demi...
Format Laporan Keuangan 1: Laporan Laba-Rugi
Siklus Pembukuan dan Akuntansi...
Terkini
Pengakuan: Langsung Dibebankan, Dibiayakan...
Apa Bedanya Jurnal Penyesuaian dengan Pembetulan?
53.
Spesialisasi: Akuntansi Keuangan Vs Akuntansi...
Akuntansi Dasar: Akun, Jenis dan Nama Akun, Menurut...
Apakah Perusahaan Kecil Perlu Menerapkan...
;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
Analisis Laporan Keuangan BANK BRI Syariah
Neraca
Tanggal 31 Januari 2009 dan 2008
57. Perhitungan Rasio Keuangan Tanggal 31 Desember 2009 dan 2008
Perhitungan rasio keuangan menurut metode camel mempunyai 5 aspek, yaitu :
1. Capital
Dengan menggunakan suatu indikator yaitu CAR yang diperoleh dengan membandingkan modal
sendiri dengan aktiva tertimbang menurut resiko yang dihitung dari bank yang bersangkutan.
Rumus : CAR = Modal Sendiri /Aktiva Tertimbang
Pada laporan keuangan diatas CAR mengalami perubahan yang signifikan, pada tahun 2008
sebesar 45.45% sedangkan pada tahun 2009 CAR mengalami penurunan sebesar 17.04%. Karena
CAR ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar jumlah aktiva yang memiliki resiko yang
dibiayai oleh modal selain dana bank, sehingga dapat dikatakan Bank BRI tidak mampu
mepertahankan sejumlah aktiva yang memiliki resiko.
2. Assets
Indikator kualitas aset yang dipakai adalah rasio kualitas produktif bermasalah dengan aktiva
produktif (NPL).
Rumus : NPL = Kualitas produktif bermasalah / aktiva produktif
Pada laporan keuangan diatas NPL mengalami perubahan, pada tahun 2008 NPL sebesar 0.26%
dan pada tahun 2009 NPL mengalami kenaikan sebesar 1.07%. Karena NPL ini digunakan untuk
mengetahui kualitas assets suatu bank, maka dapat disimpulkan bahwa Bank BRI bisa
mempertahankan kualitas asset pada tahun 2009.
3. Management
Kualitas manajemen dapat dilihat dari kualitas manusianya dalam bekerja, juga dapat dilihat dari
pendidikan serta pengalaman karyawannya dalam menangani berbagai kasus yang terjadi.
Unsur-unsur penilaian dalam kualitas manajemen adalah manajemen permodalan, aktiva, umum,
rentabilitas dan likuiditas, yang didasarkan pada jawaban dari pertanyaan yang diajukan.
4. Earning
Indikator yang dipakai adalah dan BO/PO yang digunakan untuk mengukur perbandingan biaya
operasi/biaya intermediasi terhadap pendapatan operasi yang diperoleh bank, dan NIM yang
diperoleh dengan membandingkan pendapatan bunga bersih dengan rata-rata aktiva produktif.
Rumus : BO/PO = Total beban operasional / total pendapatan operasional
NIM = Pendapatan bunga bersih / rata-rata aktiva produktif
58. # BOPO
Digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen lembaga keuangan dalam mengendalikan
biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio ini berarti semakin
efisien biaya operasional yang dikeluarkan lembaga keuangan yang bersangkutan sehingga
kemungkinan suatu lembaga keuangan dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Pada tahun
2008 rasio BOPO 215.58% namun pada tahun 2009 turun menjadi 97.50%, ini membuktikan
pengendalian yang baik antara biaya operasional dengan pendapatan operasionalnya karena
rasio semakin kecil atau turun.
# NIM
Rasio NIM pada data diatas tahun 2009 mengalami penurunan, sehingga menjadi 7.80% yang
pada tahun 2008 sebesar 11.20%. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen
bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan pendapatan bunga bersih.
Pendapatan bunga bersih diperoleh dari pendapatan bunga dikurangi beban bunga. Semakin
besar rasio ini maka meningkatnya pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola bank.
5. Liquidity
Indikator yang digunakan adalah loan to deposit ratio (LDR) dan reserve requirement atau giro
wajib minimum (GWM). LDR diperoleh dengan membandingkan antara seluruh penempatan
dan seluruh dana yang berhasil dihimpun ditambah dengan modal sendiri, sedangkan GWM
merupakan perbandingan giro pada Bank Indonesia dengan seluruh dana yang berhasil
dihimpun.
Rumus :
LDR = Seluruh penempatan/(seluruh dana yang berhasil di himpun+modal sendiri)
GWM = Giro pada bank indonesia/seluruh dana yang berhasil di himpun
# LDR (Quick Ratio= aktiva lancar / kewajiban lancar)
Di tahun 2008 551.05% dan pada tahun 2009 34.77%. Rasio ini digunakan untuk menilai
likuiditas suatu bank yang dengan cara membagi jumlah kredit yang diberikan oleh bank
terhadap dana pihak ketiga. Semakin tinggi rasio ini, semakin rendahnya kemampuan likuiditas
bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan
semakin besar.
# GWM
GWM atau Giro Wajib Minimum milik bank harus tetap terjaga untuk menghindari terjadinya
dampak buruk dari system perbankan dan perekonomian
Sumber :
http://www.brisyariah.co.id/?q=laporan-keuangan
;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
spirit motivasi indonesia
Rabu, 29 Februari 2012
analisa laporan keuangan dalam perbankan
59. ANALISIS LAPORAN KEUANGAN
A. PENDAHULUAN
Bank merupakan perusahaan keuangan yang bergerak dalam memberikan layanan
keuangan yang mengandalkan kepercayaan dari masyarakat dalam mengelola dananya. Tingkat
kesehatan bank adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap
kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan,
kualitas asset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar (PBI No.
6/10/PBI/2004). Sedangkan yang termasuk kondisi keuangan dalam kesehatan bank dapat dilihat
pada faktor permodalan (C/capital), kualitas aset (A/asset), rentabilitas (E/earning), dan likuiditas
(L/liquidity).
Kesehatan bank merupakan hal yang sangat penting di dalam berbagai bidang kehidupan,
baik bagi manusia maupun perusahaan. Kondisi yang sehat akan meningkatkan gairah kerja dan
kemampuan kerja serta kemampuan lainnya. Sama sepeti hal nya manusia yang harus selalu
menjaga kesehatannya, perbankan juga harus selalu dinilai kesehatannya agar tetap prima dalam
melayani para nasabahnya. Bank yang tidak sehat, bukan hanya membahayakan dirinya sendiri,
akan tetapi pihak lain.
Bank sebagai suatu lembaga yang melindungi dana nasabah juga berkewajiban menjaga
kerahasiaan terhadap dana nasabahnya dari pihak-pihak yang dapat merugikan nasabah. Dan
sebaliknya masyarakat yang mempercayakan dananya untuk dikelola oleh bank juga harus
dilindungi terhadap tindakan yang semena-mena yang dilakukan oleh bank yang dapat
60. merugikan nasabahnya. Hal ini sangat dibutuhkan karena sebagai lembaga keuangan, bank harus
mendapat kepercayaan dari masyarakat, dan kepercayaan dari masyarakat tersebut akan lahir
apabila semua data hubungan masyarakat dengan bank tersebut dapat tersimpan secara rapi atau
dirahasiakan, dan kesemuanya itu akan berdampak pada kesehatan bank tersebut.
Penilaian kesehatan bank amat penting disebabkan karena bank mengelola dana
masyarakat yang di percayakan kepada bank. Masyarakat pemilik dana dapat saja menarik dana
yang dimilikinya setiap saat dan bank harus anggup mengembalikan dana yang dipakainya jika
ingin tetap dipercaya oleh nasabahnya.
Tujuan penilaian kesehatan bank yaitu untuk menentukan apakah bank tersebut dalam
kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat atau tidak sehat. Standar untuk melakukan
penilaian kesehatan bank telah ditentukan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia.
Saran yang diberikan Bank Indonesia sebagai pengawas dan Pembina untuk perbaikan-
perbaikan bagi bank yang kurang sehat meliputi: perubahan manajemen, melakukan
penggabungan seperti merger, konsolidasi, akuisisi atau malah dilikuidir (dibubarkan)
keberadaannya jika memang sudah parah kondisi bank tersebut.
a. Aspek-aspek Penilaian
Penilaian untuk menentukan kondisi suatu bank, biasanya menggunakan berbagai alat
ukur. Salah satu alat ukur yang utama yang digunakan untuk menentukan kondisi suatu bank
dikenal dengan nama analisis CAMEL. Analisis ini terdiri dari aspek capital, assets,management,
earning dan liquidity. Hasil dari masing-masing aspek ini kemudian akan menghasilkan kondisi
suatu bank.
1. Aspek Pemodalan (Capital)
61. Penilaian pertama adalah aspek permodalan (capital) suatu bank.Dalam aspek ini yang di
nilai adalah permodalan yang dimiliki oleh bank yang didasarkan kepada kewajiban penyediaan
modal minimum bank. Penilaian tersebut didasarkan kepada CAR (Capital Adequacy
Ratio),yang telah ditetapkan BI. Perbandingan Rasio CAR adalah Rasio Modal terhadap aktiva
tertimbang menurut resiko (AMTR).Sesuai ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah,maka
CAR perbankan untuk tahun 2002 minimal 8%.Bagi bank yang memiliki CAR dibawah 8%
harus memperoleh perhatian dan penanganan yang serius untuk segera diperbaikin. Penambahan
CAR untuk mencapai seperti yang ditetapkan memerlukan waktu,sehingga pemerintahpun
memberikan waktu sesuai dengan ketentuan. Apabila sampai waktu yang telah ditentukan,target
CAR tidak tercapai,maka bank yang bersangkutan akan dikenakan sangsi.
2. Aspek Kualitas Aset (Asets)
Aspek yang kedua adalah mengukur kualitas asset bank. Dalam hal ini upaya yang
dilakukan adalah untuk menilai jenis-jenis asset yang dimiliki oleh bank. Penilaian asset harus
sesuai dengan peraturan oleh Bank Indonesia dengan memperbandingkan antara aktiva produktif
yang diklasifikasikan terhadap aktiva produktif. Kemudian rasio penyisihan penghapusan aktiva
produktif terhadap aktiva produktif diklasifikasikan. Rasio ini dapat dilihat dari neraca yang
telah dilaporkan secara berkala kepada bank Indonesia.
3. Aspek Kualitas Manajemen (Managemen)
Dalam aspek ini yang di nilai adalah manajemen permodalan,kualitas
aktiva,umum,rentabilitas, dan manajemen likuiditas. Penilaian didasarkan kepada jawaban dari
250 pertanyaan yang diajukan mengenai manajemen bank yang bersangkutan.
62. 4. Aspek Earning
Kegunaan aspek ini juga untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan provitabilitas yang
dicapai bank yang bersangkutan.
5. Aspek Likuiditas (Liquidity)
Penilaian dalam aspek ini meliputi :
1. Rasio kewajiban bersih Call Money terhadap aktiva Lancar.
2. Rasio kredit terhadap dana yang diterima oleh bank seperti KLBI, giro, tabungan,
deposito dan lain-lain.
Disamping dengan penilaian analisis CAMEL, Kesehatan Bank juga dipengaruhi hasil hasil
penilaian lainnya yaitu penil;aian terhadap :
1. Ketentuan pelaksanaan pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK) dan pelaksanaan Kredit
Ekspor.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK) atau Legal
Lending Limit.
3. Pelanggaran Posisi Devisa Netto.
Batas Minimal dan maksimal untuk mentukan predikat suatu bank dapat dilihat dalam table
berikut ini .
Nilai Kredit Predikat
81 – 100
66 – < 81
51 – < 66
0 – < 51
Sehat
Cukup Sehat
Kurang sehat
Tidak Sehat
6. Sensitivity Of Risk
Analisa terhadap risiko-risko yang mungkin terjadi
63. Dasar Hukum ketentuan rahasia bank di Indonesia, mula-mula adalah Undang-undang
no.7 tahun 1992 tentang Perbankan, tetapi kemudian diubah dengan Undang-undang no.10/1998.
Sesuai pasal 1 ayat 28 Undang-undang no.10/1998, berbunyi sebagai berikut:
Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan Simpanannya.
B. PEMBAHASAN
Pada umumnya, terdapat rasio-rasio yang digunakan dalam pengukuran kondisi keuangan
bank terutama bank-bank konvensional untuk berbagai aspek di antaranya:
1. Penilaian Permodalan (Capital/C)
Permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal bank untuk mencover eksposur saat
ini dan mengantisipasi eksposur risiko di masa datang. Rasio yang digunakan adalah CAR
(Capital Adequacy Ratio) yaitu rasio kecukupan modal yang didapatkan dari perhitungan :
CAR = Modal x 100 %
Aktiva Tertimabng Menurut Risiko (ATMR)
2. Penilaian Kualitas Aktiva Produktif (Assets Quality/A)
Analisis atas assets quality dialkukan untuk memastikan kualitas aset yang dimiliki bank dan
nilai riil dari aset tersebut. Kemerosotan kualitas dan nilai aset merupakan sumber erosi terbesar
bagi bank. Aktiva produktif adalah penanaman dana pada pihak terkait dan pihak tidak terkait.
Penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap kondisi aset bank dan kecukupan
64. manajemen risiko kredit/pembiayaan. Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor
kualitas aset antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen yang terkait
penanaman dana. Rasio-rasio keuangan yang digunkaan dalam penilaian kualitas aset adalah:
a. Rasio Kualitas Aktiva Produktif (KAP) digunakan untuk mengukur aktiva
produktif bank. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan semakin baik kualitas
aktiva yang dimiliki oleh bank.
KAP = PPAP yang dibentuk x 100 %
PPAP wajib
b. Non-Perfoming Financing (NPF) yaitu untuk mengukur tingkat permasalahan
pembiayaan yang dihadapi oleh bank. Semakin tinggi rasio ini, menunjukkan
bahwa kualitas pembiayaan semakin tidak sehat. Rumus perhitungan NPF adalah
sebagai berikut:
NPF = Pembiayaan bermasalah (KL, D, M) x 100 %
Total Pembiayaan
3. Penilaian Rentabilitas (Earning/E)
Yaitu penilaian terhadap kondisi rentabilitas bank untuk mendukung kegiatan operasionalnya
dan permodalan. Rentabilitas adalah hasil perolehan dari investasi (penanaman modal) yang
dikatakan dengan persentase dari besarnya investasi. Rasio-rasio keuangan yang digunakan
dalam penilaian rentabilitas bank adalah:
65. a. ROA (Return on Assets) adalah rasio laba sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir
terhadap rata-rata volume usaha dalam periode yang sama. ROA menggambarkan
perputaran aktiva yang diukur dari volume penjualan.
ROA = Laba Sebelum Pajak x 100 %
Total Aktiva
b. BOPO (Beban Operasional Pendapatan Operasional) adalah perbandingan antara
biaya operasional dengan pendapatan operasional dalam mengukur tingkat
efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Dalam hal
ini perlu diketahui bahwa usaha utama bank adalah menghimpun dana dari
masyarakat dan selanjutnya menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam
bentuk kredit. Sehingga beban bunga dan hasil bunga merupakan porsi terbesar
bagi bank.
BOPO = Biaya (Beban) Operasional x 100 %
Pendapatan Operasional
4. Penilaian Likuiditas (Liquidity/L)
Yaitu penilaian terhadap kemampuan bank untuk memelihara dan memenuhi kebutuhan
likuiditas yang memadai dan kecukupan manajemen risiko likuiditas. Bank dikatakan likuid
apabila mempunyai alat pembayaran berupa harta lancar lebih besar dibandingkan dengan
seluruh kewajibannya.
a. Loan to Deposit Ratio (LDR) yaitu rasio yang mengukur perbandingan jumlah
kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank, yang
66. menggambarkan kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana oleh
deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber
likuiditasnya.
b. Loan to Assets Ratio (LAR) untuk mengukur tingkat likuiditas bank yang
menunjukkan kemampuan bank untuk memenuhi permintaan kredit dengan
menggunakan total aset yang dimiliki bank. LAR merupakan perbandingan antar
besarnya kredit yang diberikan bank dengan besarnya total aset yang dimiliki
bank.
LAR = Jumlah Kredit yang diberikan x 100 %
Jumlah Aset
Rasio-rasio di atas sebenarnya dikembangkan dalam menilai kinerja bank konvensional.
Walaupun demikian penilaian kinerja bank Syariah pun bisa dilakukan dengan menggunakan
rasio-rasio di atas, namun harus dengan sedikit perubahan, yaitu dengan mengganti faktor kredit
menjadi pembiayaan dan suku bunga menjadi tingkat bagi hasil.
Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Bank BCA, Tbk. dengan Mandiri, Tbk.
1. Penilaian Permodalan (Capital –C)
CAR = Modal x 100 %
67. ATMR
BCA, Tbk Mandiri, Tbk.
CAR = 22.832.586 x 100 % CAR =
30.456.978 x 100 %
148.967.979
197.426.968
= 15,33 % = 15,43
%
2. Penilaian Kualitas Aktiva Produktif (Assets Quality-A)
a. Rasio Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
KAP = Aktiva Produktif yang diklasifikasikan x 100 %
Total Aktiva Produktif
BCA, Tbk.
Mandiri, Tbk.
KAP = 125.277.909 x 100 % KAP = 186.095.000 x 100 %
120.018.574 206.181.000
= 104.38 % = 90,25 %
b. Non Performing Financing (NPF)
NPF = Pembiayaan (KL, D, M) x 100 %
Total Pembiayaan
68. BCA, Tbk.
Mandiri, Tbk.
NPF = 3.226.555 x 100 % NPF = 1.222.696 x 100 %
119.595.661
184.690.704
= 2.70 % = 6,6 %
3. Penilaian Rentabilitas (earning-E)
a. ROA (Return On Assets)
ROA = Laba Sebelum Pajak x 100 %
Total aktiva
BCA, Tbk
Mandiri, Tbk.
ROA = 8.945.092 x 100 % ROA = 10.824.074 x 100 %
282.392.294 394.616.604
= 3.17 % = 2.74 %
70. 4. Penilaian Likuiditas (Liquidity-L)
a. Loan to Deposit Ratio (LDR)
LDR = Kredit yang diberikan x 100 %
DPK
BCA, Tbk
Mandiri, Tbk.
LDR = 119.595.661 x 100 %
LDR = 184.690.704 x 100 %
123.901.269
196.488.172
= 96.52 %
= 93.99 %
b. Loan to Assets Ratio (LAR)
LAR = Kredit yang Diberikan x 100 %
Total Aset
BCA, Tbk.
Mandiri, Tbk.
LAR = 119.595.661 x 100 LAR = 184.690.704 x 100 %
282.392.294 394.616.604
= 42.35 % = 46.80 %
Pembahasan
CAPITAL
Capital Adequacy Ratio (CAR) suatu bank menunjukkan tingkat kecukupan modal bank
atau kemampuan bank dalam memenuhi kemungkinan kerugian di dalam perkreditan
71. (pembiayaan) atau dalam perdagangan surat-surat berharga. CAR memberikan indikasi apakah
modal yang dimiliki telah memadai (adequate) untuk menutupi risiko kerugian yang mungkin
terjadi. Menurut standar BIS (Bank for International Settlements) CAR minimum adalah sebesar
8%. Jika kurang dari itu maka akan dikenakan sanksi oleh Bank Sentral.
Dari analisis laporan keuangan kedua bank, CAR Bank BCA sebesar 15,33 % sedangkan
CAR Bank Mandiri, Tbk. sebesar 15,43 %. Dari angka ini bisa diketahui bahwa dari sisi
permodalan, kedua bank tersebut mempunyai modal yang cukup untuk menutup kerugian yang
mungkin terjadi.
ASSETS QUALITY
Perhitungan Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dilakukan untuk mengetahui kondisi aset
produktifnya dalam mengantisipasi risiko gagal bayar pembiayaan yang dilakukan bank
(financing risk). Empat kriteria kesehatan bank dilihat dari Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
menutu SK Direksi Bank Indonesia No. 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 adalah
sebagai berikut :
Rasio KAP Predikat
82<KAP<103,33 Sehat
66<KAP<81,99 Cukup
51<KAP<65,99 Kurang Sehat
72. KAP<50,99 Tidak Sehat
Sedangkan kriteria peringkat kesehatan bank berdasarka nilai NPF adalah sebagai berikut:
Peringkat 1 = NPF <2%;
Peringkat 2 = 2 % < NPF < 5 %
Peringkat 3 = 5 % < NPF < 8 %
Peringkat 4 = 8 % < NPF < 12%; dan
Peringkat 5 = NPF > 12 %.
Dari analisis yang dilakukan, diketahui bahwa KAP Bank BCA, Tbk sebesar 104.38 %
dan Mandiri, Tbk. 60,88 %. Ini berarti bahwa rasio KAP kedua bank tersebut berada dalam
posisi sehat dan cukup sehat. Ini bearti bahwa baik bank BCA maupun Mandiri mempunyai
kemampuan yang cukup baik dalam mengantisipasi kemungkinan gagal bayar dari pembiayaan
yang dilakukan.
Selanjutnya, dengan melihat NPF (Non-Perfoming Financing) antara kedua bank,
diketahui bahwa NPF Bank BCA, Tbk (2.70 %) lebih rendah daripada Bank Mandiri, Tbk. (6,6
%). Dari perbandingan tersebut diketahui bahwa pembiayaan bermasalah di bank BCA, Tbk dan
bank Mandiri, Tbk tergolong kecil dan keduanya berada dalam posisi peringkat dua dan tiga
untuk kesehatan bank berdasarkan nilai NPF berdasar kriteria yang diberikan oleh BI.
EARNING
Return On Assets (ROA) mengindikasikan keberhasilan pihak manajemen dalam
menghasilkan laba. Kriteria penilaian ROA ini menurut BI (2007) adalah sebagai berikut:
Peringkat 1 = ROA > 1,5 %
Peringkat 2 = 1,25 % < ROA < 1,5 %
73. Peringkat 3 = 0,5 % < ROA < 1,25 %
Peringkat 4 = 0 % < ROA < 0,5 % dan
Peringkat 5 = ROA < 0 %.
Dari perhitungan ROA kedua bank, diketahui bahwa ROA Bank BCA adalah 3.17 %,
sedangkan ROA Bank Mandiri, Tbk. sebesar 2.74 %. Ini bearti bahwa kemampuan Manajemen
Bank BCA dalam mengelolah aset untuk menghasilkan laba, lebih baik daripada yang dilakukan
Bank Mandiri . Serta, dari kriteria kesehatan bank berdasarkan besaran ROA, Bank BCA
memperlihatkan kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan bank mandiri, Tbk.
LIQUIDITY
LDR menunjukkan komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah
dana masyarakat dan modal sendiri yang digunkan. LDR yang tinggi akan menunjukkan bahwa
manajemen bank cukup baik dalam menjalankan fungsinya menyalurkan dananya ke
masyarakat, dan secara tidak langsung bearti akan memberikan tingkat profitabilitas yang lebih
baik juga. Namun demikian, LDR yang tinggi juga memberikan indikasi terdapatnya risiko
likuiditas, yaitu kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Hal ini
(rendahnya likuiditas) harus selalu diperhatikan oleh bank, dalam upaya menghindari risiko
hilangnya kepercayaan konsumen atau nasabah.
Dari analisis LDR bank BCA, Tbk sebesar 96.52 % sedangkan bank Mandiri, Tbk.
sebesar 93.99 %. Ini mengindikasikan bahwa Bank BCA, Tbk mempunyai tingkat profitabilitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan Bank Mandiri, Tbk. Bagi Investor, hal ini cukup menarik
karena akan memebrikan peluang mendapatkan profit yang lebih tinggi ketika mereka
menyertakan dananya di bank BCA, Tbk, daripada di Bank Mandiri, Tbk.
74. Sebaliknya, bagi bank mandiri yang mempunyai LDR lebih rendah memberikan indikasi
bahwa bank Mandiri mempunyai kemampuan likuiditas yang lebih baik dibandingkan dengan
bank BCA, Tbk. Bagi nasabah penabung, yaitu nasabah yang menempatkan dananya untuk
kepentingan jangka pendek, bank Mandiri akan memberikan jaminan yang lebih baik daripada
bank BCA, Tbk, dalam memenuhi kewajiban bank yang harus dialkukan dengan segera.
DAFTAR PUSTAKA
Eugene, Bringham, Manajemen Keuangan, terjemahan edisi delapan, PT Gelora Aksara Pratama, 2001.
Hanafi, Mamduh, Analisis Laporan Keuangan, edisi empat, UPP STIM YKPN, 2009.
Hanafi, Mamduh, Manajemen Keuangan, cet. Pertama, BPFE, 2008.
Prihadi, Toto, Analisis Laporan Keuangan Teori dan Praktek, cet. Pertma, PPM, 2010.
Diposkan oleh edi jatmiko di 04.27
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: analisa laporan keuangan dalam perbankan
75. ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
1.1.1 Lingkup Analisis Laporan Keuangan
'
Laporan keuangan dapat dibagi menjadi laporan keuangan utama dan laporan
pendukung lainnya.
Contoh laporan keuangan utama adalah Balance Sheet atau Neraca, Income
Statement atau Laporan Laba Rugi, Comprehensive Income Statement atau Laporan
Laba Komprehensif, Statement of Changes in Equity atau Laporan Perubahan
Modal Saham, dan Statement of Cash Flows atau Laporan Arus Kas.
Contoh laporan pendukung lainnya adalah Management Discussion and Analysis
atau Diskusi dan Pembahasan oleh Manajemen, Audit Report atau Laporan Audit
dari Auditor, Corporate Governance Report atau Laporan Tata Kelola Perusahaan.
Laporan keuangan dapat dipahami sebagai media untuk berkomunikasi antara
perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan, seperti manajemen
perusahaan, pemegang saham perusahaan, perbankan, dan pemerintah. Didalam
laporan keuangan, berbagai peristiwa atau transaksi didalam perusahaan yang
disederhanakan dengan cara dirangkum kedalam berbagai pos yang sesuai dalam
laporan keuangan.
Contoh: Perusahaan melakukan penjualan setiap hari, dimana ada hari tertentu
penjualan meningkat, dan ada hari tertentu lainnya penjualan menurun. Analisis
kinerja penjualan perusahaan akan dipermudah jika penjualan selama 1 periode
waktu tertentu, misalnya 3 bulanan, atau 1 tahunan, dirangkum menjadi pos
penjualan.
Pemahaman kondisi perusahaan melalui laporan keuangan mengharuskan pembaca
memiliki kompetensi untuk memahami laporan keuangan, mulai dari transaksi yang
terjadi, pencatatan, dan penyesuaian yang dilakukan, dan waktu yang cukup lama
untuk membacanya. Mengacu pada keterbatasan kompetensi dan waktu, hasil
analisis laporan keuangan dari analis keuangan menjadi sangat penting. Analis
laporan keuangan membantu menjadikan laporan keuangan menjadi suatu “cerita”
mengenai kondisi keuangan perusahaan sehingga menarik untuk dibaca, mudah
diingat, mudah dipahami dalam waktu singkat, dan membantu pembaca untuk
mengetah
1.1.2 Pengguna Laporan Keuangan dan Fokus Analisisnya
'
Tujuan dari laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai kondisi keuangan
perusahaan dan perubahannya untuk berbagai pihak yang berkepentingan untuk membuat
keputusan yang bersifat ekonomis.
Pihak yang berkepentingan meliputi:
Manajer Perusahaan.
Laporan keuangan memberikan informasi mengenai keberhasilan manajemen dalam mengelola
dan meningkatkan kekuatan perusahaan dan mencari ruang peningkatan kinerja. Laporan
keuangan juga membantu manajer perusahaan untuk membuat keputusan strategis perusahaan.
76. Fokus analisis manajer perusahaan adalah maksimalisasi nilai investasi pemegang saham melalui
keberlanjutan bisnis perusahaan dalam jangka pendek sampai dengan jangka panjang. Bobot
bidang yang dianalisis terutama kinerja perusahaan, dan jika memungkinkan, perbandingan
kinerja dengan perusahaan pesaing.
Pemegang Saham Perusahaan
Pemegang saham, termasuk calon pemegang saham, berinvestasi pada perusahaan karena
mengharapkan untuk mendapatkan keuntungan, baik dalam bentuk dividen dan kenaikan harga
saham (capital gain).
Fokus analisis pemegang saham perusahaan adalah kemampuan dan prestasi manajer perusahaan
dalam mengelola perusahaan dan menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham.
Bobot bidang yang dianalisis dipengaruhi oleh kondisi perusahaan.
Tahap hidup perusahaan (firm life cycle)
Jika perusahaan berada pada tahap pertumbuhan (growth), maka fokus analisis adalah
pertumbuhan bisnis dan likuiditas.
Jika perusahaan berada pada tahap stabil (maturity), maka fokus analisis adalah besaran
dividen yang dapat dibagikan kepada pemegang saham.
Kondisi keuangan perusahaan (financial condition)
Jika perusahaan berada pada tahap kesulitan keuangan (financial distress), maka fokus
analisis adalah potensi perusahaan untuk diselamatkan atau ditutup.
Jika perusahaan berada pada tahap kondisi struktur keuangan yang belum optimal,
misalnya terlalu banyak modal saham atau terlalu banyak pinjaman, maka fokus analisis
adalah potensi peningkatan nilai perusahaan melalui penyesuaian struktur modal.
Perbankan
Perbankan, termasuk perusahaan multifinance, hanya tertarik untuk memberikan pendanaan
kredit pada perusahaan dengan kemampuan untuk melunasi cicilan bunga dan pokok pinjaman
yang baik.
Fokus analisis perbankan terutama pada likuiditas perusahaan dan kelayakan jaminan (collateral)
pinjaman.
Perusahaan Rating
Perusahaan Rating membantu investor produk investasi pendapatan tetap untuk menilai tingkat
risiko dari kredit yang diberikan pada perusahaan.
Fokus analisis perusahaan rating terutama pada likuiditas perusahaan dan kelayakan jaminan
(collateral) pinjaman.
Perusahaan Sekuritas
Bisnis utama perusahaan sekuritas ada 2 yaitu perantara pedagang efek (brokerage) dan
penjaminan emisi efek (underwriter atau investment banking). Untuk penyederhanaan, efek bisa
berbentuk saham atau obligasi.