2. 2 M. T. LASUT, D. A. SUMILAT & O. LINTONG
laboratorium dan ditempatkan dalam wadah kaca pada beker glas.
(aquarium). ? Sperma langsung diambil dengan pinset, lalu
Larutan uji dan air laut yang digunakan diencerkan dan ditampung pada cawan petri.
masing-masing yaitu Potassium Sianida (KCN) ? Kemudian diambil 1 ml telur dari beker glas
dan air laut di ambil dari perairan tempat sampel dan dimasukkan ke dalam glas arloji yang
organisme uji diperoleh. berisi air laut steril.
Teknik fertilisasi buatan akan diaplikasi ? Telur dicuci sekurang-kurangnya 2 kali dan
dalam percobaan ini. Air laut yang digunakan ditempatkan pada cawan petri.
sebelumnya disaring dengan menggunakan filter ? Setelah itu diambil 1 ml sperma dan
ukuran 0,45 ? m dan disterilisasi dengan dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah
menggunakan autoclave sampai pada suhu 121o C berisi telur.
selama 30 menit. ? Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan
Percobaan dilakukan pada suhu air 28- mikroskop.
290 C (diukur dengan termometer), pH=7 Tahap ini akan kembali dilakukan apabila
(pengukurannya dilakukan dengan kertas pendedahan mencapai 4, 6, 8, dan 10 hari, untuk
lakmus), dan salinitas 33 ppt (diukur dengan organisme uji yang lain.
refraktometer). Adapun indikator yang digunakan sebagai
Pada Tahap Pendahuluan, organisme uji parameter dalam percobaan ini untuk mencapai
dikultur dalam wadah yang mengandung larutan tujuan penelitian adalah:
uji. Prosedur kultur dimo difikasi dari Hinegarder 1. Jumlah sel telur yang berhasil menjadi
(1975) menggunakan metode statis (air tidak pluteus, dinyatakan dalam persentase pluteus.
mengalir). Organisme uji diberi makan lamun 2. Berbagai perkembangan abnormal embrio
(rumput-rumputan laut) secukupnya. yang terjadi, yaitu: pembelahan 3 sel,
Ada 4 wadah kultur dalam percobaan, exogastrula dan sel-sel telur yang terbentuk
yakni wadah yang masing-masing mengandung menjadi pluteus tapi memiliki formasi
larutan uji dengan konsentrasi 0 ppm (kontrol), 5 struktur tidak normal (malformasi).
ppm, 10 ppm, dan 15 ppm di mana di dalamnya Untuk mengetahui keberhasilan
ditempatkan masing-masing 20 organisme uji. fertilisasi buatan dan perkembangan embrio dari
Untuk menjaga ketersediaan organisme uji maka bulu babi yang telah didedah pada konsentrasi
pada setiap konsentrasi digunakan tiga wadah. sianida dan lama pendedahan yang berbeda maka
Pendedahan (kontaminasi) dilakukan selama 2 – diaplikasikan Uji Sidik Ragam (ANOVA) Dua-
10 hari. Arah dan Uji-Tukey.
Setelah pendedahan berlangsung selaman Perhitungan hasil analisis ragam
2 hari, masing-masing wadah (tiap konsentrasi) dilakukan dengan menggunakan Program
diambil 3 pasang organisme uji, kemudian Komputer MINITAB Versi 8.0.
dibersihkan dan dibedah. Selanjutnya dilakukan
fertilisasi buatan di wadah yang bersih atau tanpa HASIL DAN PEMBAHASAN
larutan uji. Prosedur fertilisasi buatan Tabel 1 dan 2 masing-masing menampilkan
dimodifikasi dari Osani (1975), yaitu sebagai persentase rata-rata keberhasilan reproduksi
berikut: bulubabi E. mathei Tipe C pada konsentrasi
? Telur dirangsang keluar dengan pemberian sianida (KCN) dan waktu pendedahan yang
0,5 M KCI. Telur yang keluar ditampung berbeda. Indikator/parameter reproduksi yang
Tabel 1
Persentase rata-rata keberhasilan reproduksi bulubabi Echinometra
mathaei pada konsentrasi sianida (KCN) yang berbeda.
Konsentrasi Pluteus Pluteus Pembelahan Exogastrula
(ppm) Malformasi 3 sel
0 62,70 17,10 0 0
5 62,74 17,46 0,98 1,29
10 61,74 24,93 1,31 1,32
15 60,37 47,27 2,74 3,12
3. EFEK POTASSIUM SIANIDA TERHADAP Echinometra mathaei 3
Tabel 2
Persentase rata-rata keberhasilan reproduksi bulubabi Echinometra
mathaei dengan waktu pendedahan (kontaminasi) yang berbeda pada
sianida (KCN).
Konsentrasi Pluteus Pluteus Pembelahan Exogastrula
(ppm) Malformasi 3 sel
2 62,89 24,07 0,76 0,73
4 62,25 23,78 1,22 1,26
6 63,12 22,32 1,26 1,56
8 61,34 27,44 1,45 1,59
10 59,83 35,85 1,60 1,76
diamati adalah pluteus, pluteus malformasi, dipengaruhi polutan (bahan pencemar) dari
pembelahan 3 sel, dan exogastrula. Gambar 1 lokasi pengambilan, sehingga keberhasilan
dan 2 memperlihatkan bentuk dari tiap tahap fertilisasinya menurun. Oleh karena cara
perkembangan embrio secara normal dan paling sederhana mengetahui keberadaan
abnormal akibat efek sianida yang polutan di perairan laut adalah dengan
dikontaminasikan sebelum fertilisasi. menggunakan indikator biologi melalui uji
Besarnya ratio telur yang dapat mencapai biologi/bioassay (Xhapman & Long, 1983;
tahap larva pluteus dalam suatu fertilisasi buatan Abel, 1991; Ax iak, 1991), dan keberhasilan
yang dilakukan mengindikasikan tingkat fertilisasi buatan dan perkembangan embrio
kebersihan fertilisaasi buatan tersebut (Czihak, bulu babi, banyak digunakan sebagai
1975; Kobayashi 19994). Semakin besar ratio indikator pencemaran (Dinnel, 1994).
maka tingkat keberhasilan semakin tinggi dan Meskipun demikian, jumlah pluteus dapat
demikian sebaliknya. mencapai lebih dari 60% pada fertilisasi buatan
Dalam penelitian ini, persentase pluteus yang dilakukan dalam kontrol tersebut, hal ini
yang dapat dihasilkan tidak dapat mencapai dapat dikatakan bahwa organisme tersebut layak
100%, meskipun fertilisasi buatan dilakukan digunakan untuk menilai efek suatu polutan.
terhadap organisme uji dalam wadah kontrol. Asalkan dipastikan bahwa hampir semua telur
Persentase pluteus terbesar hanya mencapai dalam wadah fertilisasi membentuk membran
64,01 % atau terdapat sekitar 35,99 % sel telur fertilisasi (Dinnel, 1994; Dinnel, dkk . 1982;
yang gagal mencapai pluteus. Kobayashi, 1994).
Sel telur yang gagal mencapai pluteus Rata-rata jumlah pluteus pada wadah
dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu: kontrol adalah 62,7%. Sedangkan pada
1. Terjadinya perubahan kondisi fisik terutama organisme uji yang telah didedah
suhu dan salinitas dalam wadah fertilisasi (terkontaminasi) dalam konsentrasi 15 ppm
buatan yang tidak dapat terhindarkan. Suhu adalah 60,37%. Hal ini berarti bahwa ada
salinitas berbeda memberikan pengaruh penurunan sebesar 2,33%. Namun dari hasil
berbeda pada keberhasilan sel-sel telur untuk analisis data diketahui bahwa nilai penurunan
mencapai pluteus (Giudice 1986). Beberapa jumlah pluteus tersebut tidak signifikan. Dengan
spesies bulu babi memiliki kisaran suhu dan demikian pendedahan organisme uji pada ketiga
salinitas optimum pada fertilisasi yang tingkat konsentrasi larutan uji selama waktu
dilakukan secara buatan. Fertilisasi yang tertentu, tidak mempengaruhi jumlah pluteus
dilakukan di luar kisaran tersebut dapat yang dapat dihasilkan.
menurunkan keberhasillan fertilisasi yang Tidak berpengaruhnya larutan uji
dilakukan (Czihak, 1975; Osanai, 1975). terhadap jumlah pluteus yang dihasilkan,
Selain itu, kondisi fertillisasi buatan yang tampaknya disebabkan oleh sifat toksik larutan
tidak steril sempurna sehingga terdapat uji sianida (KCN) yang digunakan. Sianida
organisme lain seperti siliata yang dapat merupakan bahan toksik yang bersifat efek akut.
menurunkan stok telur dalam wadah. Penjelasan lainnya yang beralasan adalah
aspek yang berhubungan dengan kematangan
2. Karena stok-stok organisme uji yang
gonad. Bulubabi yang telah matang gonad,
digunakan dalam penelitian ini telah
4. 4 M. T. LASUT, D. A. SUMILAT & O. LINTONG
dengan sendirinya akan memijah dan tidak lagi fertilisasi buatan yang dilakukan pada organisme
dipengaruhi oleh intervensi bahan asing, uji yang telah didedah pada konsentasi 15 ppm
termasuk polutan. Lebih mungkin suatu polutan selama 10 hari, yakni sebesar 63,10%.
dapat mempengaruhi reproduksi bulubabi jika Kobayashi (1984; 1994) dalam
polutan itu berada selama proses gametogenesis. serangkaian penelitiannya menyimpulkan bahwa
Tetapi dari penelitian ini tampak bahwa sebagian besar polutan, meskipun pada kondisi
pendedahan dalam larutan uji sianida pencemaran berat, tidak mempengaruhi secara
berpengaruh pada formasi pluteus yang nyata jumlah pluteus yang dihasilkan. Tetapi
dihasilkan. Dari hasil analisis data, konsentrasi menyebabkan perubahan pada formasi pluteus-
10 dan 15 ppm menyebabkan penigkatan jumlah pluteus yang dihasilkan. Karena itu untuk
pluteus malformasi (pluteus yang memiliki menilai efek suatu polutan disarankan untuk
formasi struktur yang tidak normal). Pada melihat formasi pluteus, disamping melihat
konsentrasi 10 ppm menyebabkan peningkatan jumlah pluteus yang dihasilkan.
pluteus malformasi pada lama pendedahan 8 dan Unsur-unsur bahan pencemar (misalnya
10 hari. Konsentrasi 15 ppm, menyebabkan logam berat dan sianida) masuk ke dalam tubuh
penigkatan pada lama pendedahan 2 hari. Jumlah organisme perairan melalui insang dan difusi
pluteus malformasi tertinggi terjadi dalam permukaan kulit. Khusus untuk sianida, bahan
Efek
Sianida
(KCN)
bb’
d e f
c
a b
Perkembangan
i g
embrio normal
ii’ h
gg’
ii’
Gambar 1. Perkembangan embrio bulubabi Echinometra mathaei Tipe C dan perkembangan abnormal
(malformasi) yang terjadi sebagai respon dari efek sianida (a: sel telur, b: dua sel, c: 4 sel, d: 8 sel, e: 16 sel,
f: blastula, g: gastrula, h: prisma, i: pluteus, bb’: 3 sel, gg’: exogasrula, ii’: pluteus malformasi).
5. EFEK POTASSIUM SIANIDA TERHADAP Echinometra mathaei 5
kimia ini kemudian akan mempengaruhi kemampuan sel untuk mengikat oksigen selama
organisme tersebut sesuai dengan daya fertilisasi dan perkembangan embrio. Sehingga
toksiknya. sel tidak memiliki cukup oksigen yang sangat
Menurut Edward & Hassall (1980, Heath dibutuhkan untuk melangsungkan perkembangan
(1987), Manahan (1992), daya toksik (toxicity) secara normal.
sianida dalam tubuh organisme disebabkan oleh Hal tersebut lebih dipertegas lagi dengan
kemampuannya berikatan dengan Fe(III) dalam adanya data hasil penelitian ini, di mana terjadi
oksidasi Ferrisitokrom (Fe(III) Oksidase), suatu peningkatan jumlah pembelahan abnormal (3 sel)
metaloprotein yang megandung besi dan bersifat dan exogastrula selama perkembangan embrio.
sebagai akseptor elektron selama oksidasi gula. Pembelahan abnormal (3 sel) terjadi
Keadaan ini menyebabkan terhalangnya reduksi ketika suatu sel dalam embrio membelah
enzim ferrisitokrom Oksidase menjadi sedangkan sel lainnya tidak dapat melakukan
ferrositokrom oksidase. Hasilnya adalah pembelahan. Akibatnya, kelihatan sel yang
ferrositokrom oksidase yang dibutuhkan untuk terbentuk hanya 3. Demikian pula halnya dengan
bereaksi dengan oksigen tidak terbentuk, dan abnormal lainnya, pembelahan 3 sel cepat atau
dengan demikian penggunaan oksigen dalam sel lambat akan rusak sehingga tidak dapat
terhalang/terhambat. melanjutkan perkembangan normalnya (Dinnel
Selanjutnya Yanagisawa (1975) dalam dkk ., 1982; Farmanfamaian & Giese, 1963;
penelitiannya mengenai tingkat konsumsi Kobayashi, 1984) dan akhirnya menyebabkan
oksigen oleh sel yang diamati selama terjadinya mortalitas.
perkembangan embrio berlangsung, menyimpul- Dalam penelitian ini, diketahui bahwa
kan bahwa konsumsi oksigen oleh sel akan pada semua kombinasi perlakuan, jumlah sel
meningkat selama fertilisasi dan perkembangan yang membelah abnormal (3 sel) kurang dari 4%.
embrio. Semakin tinggi tahap perkembangan Tetapi dari hasil analisis data, pendedahan pada
embrio, konsumsi oksigen akan semakin tinggi. tingkat larutan uji yang dicobakan tersebut
Dalam hubungannya dengan sianida, oleh menyebabkan peningkatan secara nyata jumlah
karena sianida merupakan agen penghambat sel yang membelah abnormal tersebut, meskipun
(bloker) enzim sitokrom oksidase (Heath 1987), dari jumlahnya masih dikategorikan sebagai efek
bahan ini diduga menyebabkan penurunan penghambatan ringan (slight inhibition)
Pembelahan 3
Efek Sel
Exogastrula
sianida
M
O
R
T
Sel Pembelahan Hatching blastula gastrula A
telur 2, 4, 8, 16 sel
L
(n-sel) I
PERKEMBANGAN EMBRIO NORMAL T
A
S
Organisme pluteus prisma
malformasi
Gambar 2. Skema perkembangan embrio bulubabi dan perkembangan abnormal yang terjadi
akibat efek sianida (KCN).
6. 6 M. T. LASUT, D. A. SUMILAT & O. LINTONG
(Kobayashi, 1984). cell toxicity test for marine waters. Halaman
Sedangkan exogastrula terbentuk ketika 82-89 dalam J. G. Pearson, R. B. Foster & W.
air laut terkontaminasi bahan toksik seperti ion- E. Bishop (eds.). Aquatic toxicity and hazard
ion yang bersifat logam (metalik). Archenteron assessment. STP 766 Amer. Soc. Test. Mater.
tidak terbentuk dalam emb rio selama proses Philadelphia. 400 hal.
gastrulasi dan jaringan yang menghubungkan Dinnel, P. A. 1994. Toxicity testing in marine
endoderm menjulur keluar embrio. Kondisi environment. SNC-Lavalin International Inc.
inilah yang disebut exogastrula (Waterman, Edward, N.A. & K.A. Hassall. 1980. Bioche-
1937). mistry and physiology of the cell: an
Dari hasil analisis, diketahui bahwa introductory text. Second Edition. McGraw-
semua tingkat konsentrasi larutan uji yang Hill Book Co. (UK) Ltd. London. 448 hal.
dicobakan, menyebabkan peningkatan jumlah Farmanfamaian, A. & A. C. Giese. 1963.
exogastrula pada perkembangan embrio. Namun Thermal tolerance and acclimation in the
pada semua kombinasi perlakuan, jumlah western purple sea urchin, Strongylocentrotus
exogastrula yang terjadi kurang dari 4%. purpuratus. Physiol. Zool. 36: 237-243.
Sehingga efek penghambatannya dikategorikan Giudice, G. 1986. The sea urchin embryo: a
sebagai penghambatan ringan. development biological system. Springer-
Sama seperti perkembangan abnormal Verlag, Berlin, Heidelberg. 214 hal.
lainnya, exogastrula lama-kelamaan akan hancur Heath, A. G. 1987. Water pollution and fish
dan tidak dapat meneruskan perkembangan physiology. CRC Press, Boca Raton. Ann
(Kobayashi 1984) dan mengalami mortalitas, Arbor, London. 245 hal.
sehingga mengurangi jumlah telur yang dapat Hinegarder, R. 1975. Care and handling of sea
mencapai pluteus. urchin eggs, embryos and adults. Halaman
Terjadinya pembelahan 3 sel dan 10-22 dalam G. Czihak (ed.). The sea urchin
exogastrula selama perkembangan embrio diduga embryo. Biochemistry and Morphogenesis.
akibat penghambatan enzim sitokrom oksidase Springer-Verlag, Berlin.
oleh sianida. Akibatnya suplai oksigen selama Kobayashi, N. 1984. Marine ecotoxicological
perkembangan tidak mencukupi untuk testing with echinoderms. G. Persoone, E.
membentuk energi yang dibutuhkan sel agar Jaspers & C. Claus (eds.). State Univ. Ghent
dapat melangsungkan perkembangan normal and Inst. Mar. Sci. Res. Belgia. Vol. I. 798
(Gambar 2). hal.
Kobayashi, N. 1994. Application of eggs of the
REFERENSI sea urchin Diadema setosum on marine
Abel, P. D. 1991. Lethal toxicity test: theory and pollution bioassay. Phuket Marine Biological
methodology. Halaman 39-56 dalam P.D. Centre Research Bulletin 59: 91-94.
Abel & V. Axiak (eds.). Ecotoxicology and Manahan, S. E. 1992. Toxicology chemistry.
the marine environment. Ellis Horwood. New Second Edition. Lewis Publisher. Boca Raton
York. Ann Arbor. London. 449 hal.
Axiak, V. 1991. Sublethal toxicity test: Osani, K. 1975. Handling Japaness sea urchin
physiological responses. Halaman 132-136 and their embryo. Halaman 26-36 dalam G.
dalam P.D. Abel & V. Axiak (eds.). Czihak (ed.). The sea urchin embryo.
Ecotoxicology and the marine environment. Biochemistry and Morphogenesis. Springer-
Ellis Horwood. New York. Verlag, Berlin, Heidelberg, New York.
Chapman, P. M. & E. R. Long. 1983. The use of Waterman, A. J. 1937. Effect of salts of heavy
bioassay as part of a comphrehensive metals on development of the sea urchin
approach to marine pollution assessment. Arbacia punctulata. Biol. Bull 73: 401-420.
Marine Pollution Bulletin 14(3): 81-84. Yanagisawa, T. 1975. Respiration and energy
Czihak, G. 1975. The sea urchin embryo. metabolism. Halaman 510-538 dalam G.
Biochemistry and Morphogenesis. Springer- Czihak (ed.). The sea urchin embryo.
Verlag, Berlin Heidelberg, New York. 700 Biochemistry and Morphogenesis. Springer-
hal. Verlag, Berlin.
Dinnel, P. A., Q. J. Stober, S. C. Crumley & R.
E. Nakatani. 1982. Development of a sperm ISSN 1412-3487