SlideShare a Scribd company logo
1 of 72
Download to read offline
ð	
  
PROSIDING	
  WORKSHOP	
  
NASIONAL	
  
MASYARAKAT	
  PEMANTAU	
  PERADILAN	
  INDONESIA	
  FHUI	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  
BEKERJASA	
  SAMA	
  DENGAN	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  
KOMISI	
  PEMBERANTASAN	
  KORUPSI	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  
MSI/SIAP	
  1	
  -­‐	
  USAID	
  	
  	
  
	
  
	
  
	
  
	
  
	
  
2013	
  
	
  
PENANGANAN	
  PERKARA	
  TINDAK	
  PIDANA	
  KORUPSI	
  TERKAIT	
  
LINGKUNGAN	
  HIDUP	
  
  1	
  
DAFTAR ISI
KERANGKA ACUAN KEGIATAN ...............................................................................2
A. PENDAHULUAN........................................................................................................2
B. TUJUAN ........................................................................................................................2
C. JADWAL DAN WAKTU KEGIATAN.....................................................................2
D. PESERTA.....................................................................................................................3
E. PEMBICARA...............................................................................................................3
F. KERANGKA ACUAN SUBTEMA ...........................................................................3
1. Subtema: Penafsiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi di Bidang Lingkungan ...............................................................................3
2. Subtema: Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi di
Bidang Lingkungan Hidup ......................................................................................5
3. Subtema: Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi di
bidang lingkungan hidup .........................................................................................6
NOTULENSI KEGIATAN...............................................................................................8
BAHAN PRESENTASI WORKSHOP NASIONAL ...................................................47
A. BAHAN PRESENTASI MAPPI-FHUI ...................................................................47
B. BAHAN PRESENTASI SUBTEMA PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA
49
C. BAHAN PRESENTASI SUBTEMAPENGENAAN UANG PENGGANTI ........61
D. BAHAN PRESENTASI SUBTEMA TANGGUNG JAWAB KORPORASI.......62
LAMPIRAN .....................................................................................................................67
A. DAFTAR HADIR ......................................................................................................67
B. FOTO-FOTO .............................................................................................................69
  2	
  
KERANGKA ACUAN KEGIATAN
A. PENDAHULUAN
Saat ini tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime, karena
kejahatan ini sudah meliputi berbagai sektor penyelenggaraan negara dan menyebabkan
kerugian negara yang sangat besar, salah satunya korupsi di bidang lingkungan hidup
seperti sektor kehutanan. Kejahatan korupsi di bidang lingkungan berbeda dengan
kejahatan korupsi di bidang lainnya. Karena di dalam korupsi yang dilakukan di bidang
ini kerugian negara yang timbul atas perbuatannya bisa berakibat hingga beberapa
generasi ke depan. Untuk mendukung pemberantasan korupsi di bidang ini, maka MaPPI
mengangkat tema beberapa isu terkait Penanganan Perkara Korupsi di Lingkungan Hidup
untuk dibahas dalam Workshop Nasional. Terdapat beberapa sub tema yang akan
didiskusikan dalam Workshop ini. Sub tema tersebut adalah:
1. Penafsiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di
Bidang Lingkungan.
2. Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang
Lingkungan Hidup.
3. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi di bidang
lingkungan hidup.
B. TUJUAN
Penyelenggaraan Workshop Nasional bertujuan untuk:
1. Menggali perkembangan terkini terkait perkara korupsi di lingkungan hidup.
2. Menyebarluaskan peningkatan penanganan anti korupsi di lingkungan hidup
3. Sebagai forum dari stakeholder yang dapat mendorong penanganan anti korupsi di
lingkungan hidup
4. Menyuarakan rekomendasi dan kontribusi pemikiran terkait penanganan perkara
korupsi di perkara lingkungan hidup kepada pihak-pihak yang berkepentingan,
misalnya pengadilan, penuntut umum, kepolisian, pemerintah, dan lain sebagainya.
C. JADWAL DAN WAKTU KEGIATAN
Workshop Nasional diadakan di Hotel Atlet Century pada tanggal 3 September 2013,
dengan susunan acara sebagai berikut:
09.00 – 09.15 Sambutan dari Pjs Ketua Harian MaPPI FHUI
09.15 – 09.30 Prolog oleh Moderator
  3	
  
09.30 – 10.00 Pembicara Tema 1
10.00 – 10.30 Pembicara Tema 2
10.30 – 11.00 Pembicara Tema 3
11.00 – 12.30 Tanya Jawab
12.30 ISHOMA
D. PESERTA
Adapun peserta terdiri dari perwakilan pengadilan, kejaksaan, kepolisian, LSM,
wartawan, akademisi, dan lain sebagainya.
E. PEMBICARA
Pembicara adalah pakar dibidangnya sesuai dengan tema yang akan dibawakan, yakni:
1. Sub tema “Penafisiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup” adalah Prof. Dr. Ir. Bambang Hero
Saharjo, M.Agr.
2. Sub tema “Pengenaan uang pengganti” adalah Chandra Hamzah, SH., LLM
3. Sub tema “Tindak Pidana Korporasi” adalah Dr. Yunus Husein, SH., LLM
F. KERANGKA ACUAN SUBTEMA
1. Subtema: Penafsiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi di Bidang Lingkungan
Saat ini tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime, karena
kejahatan ini sudah meliputi berbagai sektor penyelenggaraan negara dan menyebabkan
kerugian negara yang sangat besar, salah satunya korupsi di bidang lingkungan hidup
seperti sektor kehutanan. Kejahatan korupsi di bidang lingkungan berbeda dengan
kejahatan korupsi di bidang lainnya. Karena di dalam korupsi yang dilakukan di bidang
ini kerugian negara yang timbul atas perbuatannya bisa berakibat hingga beberapa
generasi ke depan. Sehingga perlu adanya suatu perhitungan kerugian akibat dari
perusakan lingkungan yang disebabkan oleh para pelaku koruptor atas perbuatannya
kepada lingkungan hidup.
Sehingga dalam melihat kerugian negara akibat kerusakan dari para pelaku
koruptor lingkungan hidup perlu melihat kerugian negara dari sisi ekologisnya, yaitu
kerugian negara berdasarkan kerusakan alam yang dibuat dari para pelaku perusak
lingkungan. Di dalam negara kita juga tidak lepas dari masalah kerusakan lingkungan
yang begitu besar dan masif. Berdasarkan hasil peta paduserasi TGHK – RTRWP pada
  4	
  
tahun 1999 misalnya, dari luas kawasan hutan alam diduga sekitar 120.353.104 ha,
diperkirakan sudah terjadi degradasi hingga mencapai 50 juta ha (Haeruman, 2003). Hasil
penafsiran citra satelit pun menguatkan bukti kerusakan itu. laju perusakan hutan alam
tahun 1985 - 1997 tercatat 1,6 juta ha per tahun, tahun 1997 - 2000 tercatat 2,8 juta ha per
tahun, tahun 2000 - 2003 laju kerusakan semakin tidak terkendali (Purnama, 2003).
Akibat hilangnya hutan alam seluas 50 juta ha itu, Jika dinilai kerugian kayu nya saja,
Indonesia diperkirakan sudah mengalami kerugian sebesar Rp 30.000 Triliun. Bahkan
pada tahun 2008 lalu saja diperkirakan kawasan lahan negara yang terdegradasi
bertambah luas sebesar 77,8 juta ha.1
Menurut Kepala Seksi Hubungan Masyarakat dan Informasi Perum Perhutani
Unit 1 Jateng, Dadang Ishardianto, ia menyatakan “kerugian material akibat penebangan
pohon memang tidak seberapa namun kerugian secara ekologis sebenarnya sangat besar,
beliau menambahkan setiap pohon terutama yang berukuran besar memiliki nilai ekologis
yang relatif tinggi karena mampu menampung air dua kali lipat ketimbang luas tajuk dan
perakarannya”.2
Sehingga saat musim hujan, apabila satu pohon saja bisa menampung air
yang sangat besar dan mencegah potensi banjir, bisa dibayangkan bagaimana efek dari
banyaknya pohon terhadap mencegah potensi banjir yang sering melanda di negara ini.
Korupsi di sektor lingkungan hidup tentu saja akan menyebabkan kerugian ekologis yang
bersifat jangka panjang. Kerugian ini mungkin tidak terasa saat ini, namun bisa
dibayangkan apabila lingkungan hidup semakin rusak, tentu saja akan banyak kerugian
yang diderita oleh manusia secara keseluruhan, bisa saja alam rusak, bencana alam
terjadi, manusia kehabisan sumber daya alam, efek rumah kaca dan kerugian-kerugian itu
akan berdampak jauh lebih besar dibandingkan kerugian ekonomis yang diderita akibat
kerusakan di sektor lingkungan hidup.
Berdasarkan hal tersebut maka materi ini “Kerugian Negara atas Tindak Pidana Korupsi
di Sektor Lingkungan” akan dibahas lebih lanjut di Workshop Nasional ini, dengan
pokokbahasan sebagai berikut:
a. Apakah ada perbedaan kerugian negara yang disebabkan dari tindak pidana
korupsi di sektor lingkungan dengan tindak pidana korupsi di sektor lainnya?
b. Bagaimana menghitung kerugian negara yang disebkan kerusakan pada sektor
lingkungan.
c. Bagaimana menerapkan kerugian negara di sektor lingkungan ke dalam sistem
pembuktian di sistem hukum negara Indonesia
	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  
1
Basuki Wasis, Scientific Evidence Dalam Perkara Kerusakan Lingkungan Hidup (Perusakan
Akibat Pertambangan dan Ilegal Loging), (Kementerian Lingkungan Hidup dan Mahkamah Agung RI,
2011) hlm. 3
2
http://www.bumn.go.id/perhutani/id/publikasi/berita/banyak-kerugian-ekologis-dialami-
2
http://www.bumn.go.id/perhutani/id/publikasi/berita/banyak-kerugian-ekologis-dialami-
perhutani/ diunduh pada tanggal 14 November 2012 pada pukul 20.57 WIB	
  
  5	
  
2. Subtema: Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi di
Bidang Lingkungan Hidup
Uang pengganti yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) bertujuan
untuk memperkuat pidana pokok penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan
bersamaan. Selain itu terlihat jelas bahwa pembuat undang-undang membuka peluang
yang seluas-luasnya bagi para koruptor untuk mendapatkan hukuman terberat dengan
harapan timbulnya efek jera dan terselamatkannya kerugian negara yang hilang akibat
tindak korupsi tersebut.
Berbeda halnya dengan pidana pokok penjara dan denda yang memiliki ancaman
pidana minimal dan maksimal, Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No 31 Tahun
1999 hanya menyatakan bahwa besar pidana uang pengganti jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Selanjutnya Pasal 18 ayat 2 dinyatakan pula bahwa jika terpidana tidak membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.
Pembuktian unsur dan kalkulasi kerugian negara kemudian menjadi penting untuk
menentukan besar uang pengganti yang akan dijatuhkan pada pelaku. Selain itu perlu
dibuktikan pula bagian harta terdakwa/pelaku korupsi yang mana yang memang
diperoleh dari perbuatan korupsi yang didakwakan. Permasalahan lain juga timbul pada
pidana Subsider atau pidana kurungan pengganti yang diatur dapat menggantikan pidana
uang pengganti bagi Terdakwa perkara korupsi (Pasal 18 ayat (3)). Parameter penjatuhan
Pidana penjara subside yaitu keadaan tertentu terdakwa tidak mampu membayar harus
diatur dengan jelas agar tidak kontra produktif denga ntujuan awal dari uang pengganti
itu sendiri yaitu memulihkan kerugian Negara.
Sayangnya peraturan pelaksana yang mengatur lebih lanjut mengenai penerapan
uang pengganti termasuk teknis pengelolaannya hingga masuk ke kas negara belum jelas,
sehingga masing-masing instansi penegak hukum memiliki penafsiran yang berbeda.
Perbedaan misalnya terlihat pada kasus Probosutedjo yang langsung menyetorkan
uangpengganti pada Departemen Kehutanan untuk reboisasi sedangkan Terpidana kasus
korupsi lainnya langsung membayarkan padaKejaksaan Negeri yang berwenang.
Hal yang lebih kompleks timbul pada korupsi di sektor lingkungan hidup yang
menyebabkan kerugian ekologis yang bersifat jangka panjang dan dampak yang lebih
  6	
  
luas dari kerugian ekonomis semata, seperti bencana alam, manusia kehabisan sumber
daya alam, efek rumah kaca, dsb. Proses pemulihannya jelas lebih sulit dari sekedar
pemulihan keuangan negarasemata. Terlebih karena teknis pengalokasian uang pengganti
tersebut agar langsung dapat digunakan untuk memulihkan kerusakan lingkungan serta
potensi kerugian ekologis tersebut tidaklah mudah.
Berdasarkan hal tersebut maka materi ini “Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam
Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup” yangakan dibahas lebih lanjut di
Workshop Nasional ini akan membahas poin-poin sebagai berikut:
a. Apakah terdapat perbedaan dalam penetapan besar pidana uang pengganti yang
perlu dikenakan dalam kasus korupsi di bidang lingkungan hidup dengan kasus
korupsi pada umumnya? Bagaimana penerapannya?
b. Parameter seperti apa yang harusnya digunakan agar penjatuhan pidana penjara
subsider sejalan dengan penjatuhan uang pengganti?
c. Mekanisme pembayaran seperti apa yang dapat dilakukan untuk memastikan
proses pemulihan lingkungan hidup yang telah rusak akibat korupsi dapat
dilakukan menggunakan uang pengganti?
3. Subtema: Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi
di bidang lingkungan hidup
Pada abad pertengahan, khususnya di Eropa, pertanggungjawaban pidana dapat
dikenakan kepada kelompok, baik kepada keluarga, pemerintah daerah, serikat buruh,
dan sebagainya. Akan tetapi, pada periode berikutnya, terjadi pergeseran pemikiran dari
konsep pertanggungjawaban secara komunal menjadi pertanggungjawaban secara
individu.
Seiring dengan berkembangnya kehidupan masyarakat, korporasi mulai dikenal
sebagai suatu entitas yang mampu melakukan kejahatan pada abad ke-20. Prof. Nico
Keijzer berpendapat bahwa dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana
menunjukkan telah terjadi pegeseran tujuan pemidanaan yang semula dianggap sebagai
bentuk pembalasan semata (retributif) menjadi sarana untuk mempengaruhi dan menjaga
anggota masyarakat agar berada pada jalur yang benar.3
Selanjutnya, perdebatan berkembang pada penentuan unsur kesalahan bagi
korporasi yang melakukan tindak pidana dan memunculkan beberapa teori
pertanggungjawaban korporasi seperti aggregation theory, vicarious liability, strict
liability, identification theory, dan sebagainya. Penentuan sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada korporasi pun beragam dengan melihat pada pihak yang bertanggungjawab dalam
	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  
3
Nico Keijzer, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, disampaikan pada kuliah umum di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia tanggal 24 Mei 2013.
  7	
  
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, mulai dari penjatuhan denda hingga
penutupan perusahaan selama beberapa waktu tertentu.
Hal-hal di atas relevan untuk dibahas ketika membicarakan peran korporasi pada
tindak pidana di bidang perekonomian, tak terkecuali pada tindak pidana korupsi di
bidang lingkungan hidup. Hingga saat ini, hanya sedikit korporasi yang berhasil dijerat
melakukan tindak pidana korupsi di sektor kehutanan dan penegak hukum hanya fokus
memproses pejabat yang mengeluarkan izin atas kegiatan yang dilakukan oleh korporasi.
Padahal, kerusakan yang ditimbulkan akibat tindakan perusakan lingkungan yang
dilakukan oleh korporasi begitu masif dan meluas. Berdasarkan hasil peta paduserasi
TGHK-RTRWP pada tahun 1999, misalnya, dari luas kawasan hutan alam diduga sekitar
120.353.104 ha, diperkirakan sudah terjadi degradasi hingga mencapai 50 juta ha yang
diperkuat dengan hasil rekam satelit atas hal tersebut. Selain itu. laju perusakan hutan
alam pada periode 1985-1997 tercatat seluas 1,6 juta ha per tahun, tahun 1997-2000
tercatat seluas 2,8 juta ha per tahun, dan pada tahun 2000-2003 laju kerusakan tersebut
semakin tidak terkendali. Jika dinilai kerugian kayunya saja, Indonesia diperkirakan
sudah mengalami kerugian sebesar Rp 30.000 triliun. Bahkan pada tahun 2008,
diperkirakan kawasan lahan negara yang terdegradasi bertambah luas hingga 77,8 juta
ha.4
Berdasarkan hal-hal di atas, materi “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam
Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup” pada Workshop Nasional ini akan
diarahkan pada pembahasan hal-hal berikut:
1. Sejarah dan teori-teori yang berkembang mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi
2. Pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak pidana korupsi di bidang
lingkungan hidup dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
3. Tantangan dan hambatan dalam memproses korporasi yang melakukan korupsi di
bidang lingkungan hidup
	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  
4
Basuki Wasis, Scientific Evidence dalam Perkara Kerusakan Lingkungan Hidup (Perusakan Akibat
Pertambangan dan Illegal Logging), (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Mahkamah Agung Republik
Indonesia, 2011), hal. 3.
  8	
  
NOTULENSI KEGIATAN
Berikut adalah notulensi penyelenggaraan kegiatan:
Pembukaan oleh MC, M. Rizaldi
Ass. Wr. Wb.,
Selamat pagi Bapak dan Ibu sekalian. Selamat datang saya ucapkan di Hotel Atlet
Century Park dalam kegiatan Workshop Nasional MaPPI FHUI dengan judul Penanganan
Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.15,
oleh karena itu kita mulai saja kegiatan pada hari ini. Dan untuk memulai kegiatan pada
hari ini saya mulai dengan memanggil saudara Dio Ashar Wicaksana untuk
menyampaikan sepatah dua patah kata dan sekaligus membukan kegiatan pada pagi hari
ini. Kepada Saudara Dio saya persilahkan.
Kata Sambutan Plt Koordinator Badan Pekerja Harian MaPPI FHUI, Dio Ashar
Ass. Wr. Wb.,
Yang terhormat Bapak perwakilan dari KPK RI dan yang terhormat Bapak perwakilan
dari Pengadilan Tinggi Jakarta, yang terhormat Bapak perwakilan dari Kejaksaan Agung
dan yang terhormat Bapak perwakilan dari MSI, dan yang terhormat Mbak Sari selaku
perwakilan dari FHUI, dan yang terhormat para hadirin sekalian yang saya hormati.
Perkenankan saya mewakili MaPPI FHUI mengucapkan terima kasih atas kedatangan
para hadirin sekalian. Pertama-tama sebelum acara ini dimulai saya ingin menjelaskan
mengenai tujuan dari acara ini. Berhubungan dengan visi dari MaPPI FHUI di mana kami
ingin berperan aktif dalam penegakan hukum dan pembaruan peradilan maka kami
melakukan suatu kegiatan yang bernama bedah kasus perkara-perkara korupsi. Dalam
kegiatan ini kami bekerjasama dengan dua lembaga lainnya yaitu Jikalahari dan LBH
Surabaya, di mana dalam kegiatan bedah kasus ini kami melibatkan para ahli hukum,
praktisi hukum dan para sumber yang independen yang tidak ada hubungannya dengan
perkara yang kami analisis. Salah satunya perkara yang kami analisis yaitu adalah
perkara kasus Burhanuddin Husein yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di
Pekanbaru. Di dalam perkara tersebut, kami melihat ada beberapa isu menarik yang
  9	
  
mungkin bisa dijadikan suatu tema untuk diskusi hari ini, yaitu pertama di isu perkara
korupsi di lingkungan hidup. Kami melihat perkara yang melibatkan korupsi di
lingkungan hidup ini banyak menimbulkan kerugian tidak hanya kepada negara,
melainkan juga kepada masyarakat luas karena kerugian yang diakibatkan dari kejahatan
ini tidak hanya bersifat ekonomis saja melainkan kerugian sumber daya alam yang akan
berdampak bagi generasi ke depan. Kalau boleh saya mengutip pepatah dari Indian, jika
pohon terakhir ditebang, jika sungai terakhir tercemar, jika ikan terakhir ditangkap maka
dari situ kita menyadari bahwa kita tidak bisa memakan uang. Maka berdasarkan hal
tersebut, kami dari MaPPI FHUI ingin menarik tema Penanganan Perkara Tindak Pidana
Korupsi di Lingkungan Hidup untuk dijadikan tema di suatu workshop nasional ini.
Kurang lebih saya mewakili MaPPI FHUI mengucapkan terima kasih atas kedatangan
kalian dan mohon maaf apabila ada kesalahan kata dan perbuatan yang kami lakukan.
Sekian, Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Pemanggilan para pembicara ke depan panggung oleh MC
Terima kasih Saudara Dio dan tidak mengulur-ulur waktu lagi, langsung saja kita
mulai acara utama kita pada pagi hari ini yang akan dipimpin oleh moderator Saudara
Anugerah Rizki Akabari. Oleh karena itu, saya undang Saudara Anugerah Rizki untuk
maju ke depan dan disusul dengan dua narasumber kita yang sudah hadir di tengah-
tengah kita pada hari ini. Yang pertama, Bapak Prof. Bambang Hero Saharjo, Dekan
Fakultas Kehutanan IPB, kami persilahkan untuk maju ke depan. Yang kedua, Bapak Dr.
Yunus Husein selaku pakar hukum untuk maju ke depan mimbar kita pada pagi hari ini.
Baik, untuk memimpin jalannya diskusi kita pada pagi hari ini saya serahkan
kepada Anugerah Rizki.
Pemaparan Materi oleh Para Narasumber
Moderator:
Selamat pagi, Ass. Wr. Wb.
Terima kasih kepada MC yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk memimpin
diskusi kita pada pagi hari ini. Sebagaimana disampaikan oleh Plt Koordinator MaPPI
bahwa kegiatan kita kali ini adalah rangkaian dari kegiatan bedah kasus yang telah kami
  10	
  
lakukan selama 5 bulan terakhir dan dari kasus-kasus tersebut, satu tema kami ambil
karena menarik untuk kita bahas yang kebetulan akan kita diskusikan pada pagi hari ini,
yaitu mengenai penanganan tindak pidana korupsi di sektor lingkungan hidup.
Perkara ini menjadi menarik karena kerusakan-kerusakan lingkungan yang
diakibatkan oleh korupsi-korupsi memang akhirnya berdampak sistematis baik dalam hal
kerugian negara yang ditimbulkan, kerusakan lingkungan yang kemudian diakibatkan
serta bagaimana cara untuk upaya pemulihan lingkungan. Bersama kami di sini telah
hadir dua pembicara kita, yang pertama Prof. Bambang Hero Saharjo, beliau lahir di
Jambi, 10 November 1964, dan merupakan guru besar di bidang Perlindungan Hutan
Institut Pertanian Bogor sekaligus Dekan Fakultas Kehutanan IPB. Dan yang kedua ada
Bapak Dr. Yunus Husein S.H. LL.M., beliau pernah menjabat sebagai anggota Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum, Ketua PPATK dan tenaga ahli di UKP4 Republik
Indonesia. Dan satu lagi pembicara kita yang masih dalam perjalanan adalah Bang
Chandra M. Hamzah, beliau adalah Wakil Ketua KPK bidang Penindakan dan Informasi
dan Data pada tahun 2007-2011 serta praktisi hukum di Assegaf, Hamzah & Partners.
Pada kesempatan kali ini, kita akan mebagi diskusi menjadi 3 tema penting. Yang
pertama mengenai Penghitungan Kerugian Negara pada Kasus Korupsi di Sektor
Lingkungan. Prof. Bambang di sini akan menjelaskan apakah ada perbedaan dalam hal
menghitung kerugian negara di bidang lingkungan yang disebabkan oleh korupsi.
Kemudian yang kedua adalah mengenai Tanggung Jawab Korporasi di Bidang
Lingkungan yang akan dijelaskan oleh Bapak Dr. Yunus Husein berikut tantangan dan
hambatan untuk memproses korporasi-korporasi yang terkait dengan korupsi di sektor
lingkungan. Dan yang terakhir Bang Chandra akan membahas mengenai Pengenaan
Uang Pengganti pada Kasus Korupsi di Bidang Lingkungan yang berkisar pada
pembahasan apakah uang pengganti dapat menjadi sarana untuk memulihkan kerugian
lingkungan yang diakibatkan oleh korupsi oleh pejabat-pejabat di daerah.
Tanpa bermaksud berpanjang lebar, kami serahkan untuk pertama kalinya diskusi
ini kepada Prof. Bambang Hero Saharjo untuk membahas mengenai Penghitungan
Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi di Bidang Lingkungan. Kepada Prof. Bambang
kami persilahkan.
  11	
  
Bambang Hero Saharjo:
Terima kasih moderator. Bapak/Ibu yang saya hormati, Ass. Wr. Wb. Kesempatan baik
bagi kami untuk sharing terhadap apa yang telah kami lakukan terkait dengan
penghitungan kerugian negara. Dan apa yang akan saya sampaikan nanti juga sedang
digunakan sekarang untuk kasus yang sedang berjalan di Rawa Tripa, selain kemarin
sudah pemeriksaan setempat dan juga beberapa kasus lain.
Kebetulan saya menulis ini berdua dengan Pak Basuki Wasis. Pak Wasis masih di
TKP kebakaran di Riau. Saya juga baru pulang semalam, pulang duluan untuk bisa
sharing dengan Bapak/Ibu
(sambil memperlihatkan gambar-gambar di slide)
Ini contoh saja, bagaimana asap itu membungkus kota Palembang. Ini seperti
setelah Perang Dunia II, gelap semua. Berikut, ini adalah bagaimana kebakaran itu
menghancurkan tanaman di kawasan lindung di daerah gambut. Jadi, sekarang yang
terjadi itu apakah di Aceh, Kalimantan maupun Sumatera itu sebagian besar ada di daerah
gambut. Berikut, ini adalah kondisi di lapangan, inilah yang terjadi dan berulang terus.
Jadi, jangan pikir bahwa pohon itu tumbuh seperti tiang listrik di tengah lapangan
sepakbola, tapi dia adalah bagian dari suatu ekosistem. Berikut, ini kasus di Kalimantan
Tengah, setelah ditumbangkan, dibakar, kemudian dijadikan seperti itu. Silahkan
Bapak/Ibu tebang dan bakar, setelahnya mau tanam jagung, silahkan dicoba saja.
Alhamdulillah kami menang di kasasi. Berikut, ini di gambut di daerah Kalimantan
Barat, sama kondisinya, hutan itu ditebang, ditumbangkan, kemudian dibakar dan
sebagian dari ini juga masih belum alih fungsi. Sedihnya, ini malah bebas murni sampai
di kasasi Mahkamah Agung. Berikut, ini yang di Riau, dulu hutannya seperti yang di atas
itu, kemudian itulah hasil karyanya, yang di bawah. Ada 14 kasus kami angkat dan SP3.
Sekarang terbongkar lagi. Jadi kalau kita lihat dari kondisi ini, kehadiran pohon itu kan
bukan cuma patung, tapi dia juga hidup, melakkan proses fotosintesis dan sebagainya,
dan sekarang setelah ditumbangkan kapasitas penyerapannya juga berkurang, satwa yang
ada di dalam itu juga tidak tahu pergi ke mana, sementara itu yang busuk dari sisa
penebangan juga mereka terdekomposisi sehingga melepaskan CO2 dan sebagainya.
Nah, kalau kita memang tunduk dengan aturan, seharusnya tidak boleh dibuka itu karena
perkembangan gambutnya itu melebihi 3 meter dan menurut aturan yang ada, Perpres 32
  12	
  
tahun 1990 dan sebagainya, lebih dari 3 meter itu harus dikonservasi. Temuan kami di
lapangan yang lainnya juga, baik di Aceh maupun di Riau, terjadi juga seperti ini. Jadi,
sekali lagi Bapak/Ibu sekalian, tonggak-tonggak itu tidak berdiri sendiri, dia adalah
bagian dari suatu ekosistem. Berikut, ini di Sumatera Utara, di kiri-kanan dulu ada
pohonnya, saya dulu sempat konsultasi dengan Pak Yunus waktu di Satgas PMH karena
pelakunya itu Kapoldanya sendiri, istrinya dengan BIN. Ini contoh saja. Bukit itu
dibongkar sama mereka supaya ada akses jalan. Sungainya dibendung dan sebagainya.
Berikut, ini akibat pertambangan setelah dibuka jadilah seperti itu. Berikut, ini hasil
karyanya, tambang pasir kuasa, pada kawasan lindung yang tidak berizin. Ini kalau
dilihat dari atas, di daerah Bangka, dulu itu adalah hutan lindung, nah sekarang
pertanyaannya kenapa jadi putih semua? Nah, itu adalah bagian dari upaya perusakan
lingkungan.
Kemudian, kita mulai kembali ke definisi-definisi yang ada supaya menjadi clear.
Ini kadang-kadang sering ditukar antara kebakaran hutan dan lahan. Kalau kebakaran
hutan itu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan
yang menimbulkan tidak hanya kerugian ekonomis tetapi juga yang lain, misalnya
kelemahan ilmu pengetahun dan/atau lingkungan hidup. Begitu juga dengan lahan. Di
kita ini ada yang disebut dengan kawasan hutan, ada yang disebut hutan. Kawasan hutan
itu meskipun tidak ada pohonnya, hanya alang-alang saja, selama itu belum dicabut maka
statusnya tetap kawasan hutan sehingga tidak bisa langsung diubah menjadi kebun sawit.
Tapi fakta di lapangan, begitu tidak ada lagi hutannya, tinggal semak belukar, ya masuk
saja sawit dan sebagainya.
Kemudian, lahan adalah suatu areal atau kawasan hutan baik yang bervegetasi,
alang-alang, semak belukar dan sebagainya yang diperuntukkan bagi pembangunan di
bidang pertanian. Jadi, untuk mengubah dari hutan menjadi lahan itu memang
diperbolehkan menurut Pasal 19 UU 41 tahun 1999, harus melalui tiga, yaitu yang
pertama adalah harus ada tim untuk melakukan evaluasi; yang kedua, persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat; yang ketiga, harus dengan PP. Lucunya, PP itu baru keluar 2010.
Menjadi pertanyaan, kalau sebelum itu apakah sah itu. Kemudian, beda antara
pembakaran dan kebakaran. Kalau pembakaran itu, apinya yang seharusnya bergerak
  13	
  
normal suka-suka apinya tapi faktanya dia bisa milih. Kalau kita lihat di TKP kemarin,
apinya bisa milih hanya di LC saja.
Berikut, ini beberapa definisi saja. Yang disebut dengan pembalakan liar: untuk di
kawasan hutan, penebangan di luar kawasan, pohon yang dilarang, penebangan oleh
individu. Kemudian berikut, ini beberapa kegiatan yang termasuk pembalakan liar:
penebangan di luar konsesi, pengubahan kawasan untuk kawasan lain, penebangan di luar
kavling, penebangan hutan di kawasan lindung dan sebagainya.
Berikutnya adalah perambahan, yang dimaksud perambahan adalah melakukan
pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Lalu, ini
adalah indikasinya, yang pertama terdapat penebangan pohon, pemusnahan belukar
dengan cara menebang, menebas, membakar. Kemudian ada pengolahan tanah untuk
dijadikan ladang atau kebun jadi kawasannya dulu kawasan hutan tapi kemudian diubah
menjadi ladang atau kebun. Kemudian terdapat benih atau bibit yang akan ditanam.
Berikut, ini definisi pertambangan menurut UU 4 tahun 2009, adalah sebagian atau
seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral
atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
dan sebagainya. Kemudian wilayah pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi
mineral dan/atau batubara yang tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan
yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Berikut, ini pertambangan illegal;
pertama, pertambangan di luar ijin, kemudian di luar kawasan tambang, kemudian
penambangan tidak memiliki dokumen lingkungan, penambangan pada kawasan lindung,
dan sebagainya. Berikut, kalau kita kembali ke UU 32 tahun 2009, perusakan lingkungan
hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup. Untuk kriteria baku itu mestinya selalu berubah sesuai kondisi
lapangan baik di tingkat nasional maupun di lokasi kejadian.
Kemudian, perusakan dan kerusakan itu beda, termasuk juga kriteria bakunya karena
kriteria baku yang digunakan sekarang itu sudah perlu direvisi seharusnya karena
berdasarkan tahun 2000. Berikut ini contoh saja bagaimana environmental destruction itu
terjadi. Jadi, ini gambut di atas itu, kalau gambutnya utuh (tidak terjadi penurunan mutu
air), maka air itu akan menggenangi gambut. Tapi dengan adanya kanal, maka water table
  14	
  
turun, di situlah kemudian terjadi aksi dan biasanya sebagian besar itu adalah
pembakaran. Lahan gambut yang terbakar itu melepaskan emisi gas rumah kaca,
mengurangi kapasitas penyimpanan air kemudian juga tidak bisa dia kembali lagi.
Berikut, pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya (sengaja dan tidak sengaja)
makhluk hidup, zat, energi, komponen ke dalam lingkungan hidup dari kegiatan manusia
sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Baku mutunya
ada sendiri. Nah, ini harus hati-hati. Kalau kita tidak paham soal baku mutu ini maka data
itu akan memakan kita sendiri. Pernah kejadian kasus kebakaran, emisi yang dihitung
menggunakan alat itu memang melewati baku mutu. Tapi pertanyaannya adalah apakah
saudara yakin bahwa parameter gas yang didetect oleh alat itu memang berasal dari
sumber karena pada saat itu untuk kasus kebakaran bisa saja dari berbagai tempat masuk.
Jadi kita punya cara penanganannya dengan metode Seiler Crutzen. Crutzen ini peraih
Nobel bidang kimia tahun 1995. Kalau dengan metode dia, clear. Kalau terjadi kebakaran
satu hektar, dengan kondisi bahan bakar sekian, maka segitulah hasilnya.
Berikut, ini contoh kalau kita memang ingin menghitung dampak dari asap.
Kejadian tahun 2006, sumbernya kita semua tahu, kalau tidak Sumsel, Riau, Jambi.
Setelah Pak Presiden minta maaf, kejadian lagi. Ini juga menjadi bahan pertimbangan
kami ketika menghitung kerugian. Bahkan, kemarin itu sudah mendekati, definisinya
sudah mentok, sudah lewat. Mestinya 300-400, itu sudah 900.
Berikut, dalam perhitungan ganti kerugian ada beberapa tahapannya: kita lihat apakah
ada perubahan sumber daya alam yang terjadi, kemudian kita asses, kemudian diassesnya
itu kita harus mengenali karakteristik dari masing-masing sumber daya alam itu,
kemudian berapa lama proses itu berjalan dan kemudian apakah proses kerusakan itu
langsung atau tidak langsung dan seberapa besar proses perusakan itu dan kemudian
setelah itu baru kita breakdown untuk mencari siapa yang paling bertanggungjawab.
Karena biasanya kalau kita ke lapangan, oh itu punya masyarakat pak, atau kadang-
kadang meskipun dia punya HGU-nya, oh itu HGU-nya punya kami pak tapi itu diambil
oleh masyarakat. Jadi dari sana diasses, kita tahu apakah kepemilikan pribadi apakah
kemudian korporasi dan sebagainya. Nah, ini juga ada aturan main, contoh misalnya di
Permentan 26 tahun 2007 yang Pasal 6 itu, 25 hektar saja punya lahan kebun sawit itu
harus memenuhi 13 hal: amdal dan sebagainya. Faktanya di lapangan itu yang punya 200
  15	
  
hektar sudah banyak, tidak ada yang berani nuntut. Padahal mestinya itu bisa kena proses,
tidak punya ijin, tidak punya apa. Nah, itu yang kita klarifikasi di lapangan.
Berikut, ini beberapa saja berbagai baku mutunya, yang mesti direvisi, misalnya
akibat dari kerusakan itu menyebabkan erosi itu batasannya, untuk tanah 20 cm ambang
kritisnya itu adalah 0,1 ton/hektar/tahun. Berikut, ini untuk yang lahan kering kita lihat
untuk ambang kritisnya dan sebagainya, sehingga tentu saja ketika melakukan sampling
itu kita gunakan kaedah-kaedah ilmiah seperti penelitian kecil. Jadi dari gambaran overall
kemudian kita blocking, dari masing-masing itu kita sampling kemudian kita ambil
sample yang kembali dari sample itu kita masukkan ke lab dan lab lah yang
membunyikan ini. Dari lab itu lah kemudian keluar, itu yang kita berikan. Umpama kita
ke lapangan, kasus kebakaran banyak yang mengatakan, oh itu pak dua bulan yang lalu,
padahal kita sudah tahu ketika alang-alang itu baru 10 cm, itu paling lama 1 minggu.
Ketika alang-alang sudah keluar bulir putih, itu paling lama 1 bulan. Sehingga dengan
data itu kita tidak bisa dibohongi. Kalo kita iya-iya saja, bisa-bisa kita dimakan mereka.
Berikut, ini contoh yang gambut, subsidennya seperti itu, kedalaman liquid, dan
sebagainya. Ini kita gunakan baku mutu yang 150-2000 itu kita bandingkan dengan data
yang kita ambil. Sayangnya, temen-temen di persidangan tidak paham yang seperti ini,
kita jelaskan satu per satu. Berikut, untuk sampling ini kasus di Riau kemarin. Ke
lapangan selain mengukur, kita ambil itu. Itulah yang menjadi kawan kami, itu setelah
disita kita masukan di lab. Hasil analisa lab yang membantu membunyikan fakta
sesungguhnya di lapangan. Jadi, betul-betul seperti penelitian karena dari sini bisa anda
publish juga ke jurnal. Ini studi kasus di Riau, di PP 34 tahun 2002 mengatakan kalau
membangun HP itu lahan kosong, padang alang-alang, semak belukar. Pertanyaannya,
hebat sekali alang-alang di Riau, diameternya sampai hampir 20 meter. Itu dari Dinas
Kehutanannya sendiri tidak tahu. Tapi untuk memastikan dia, dia paham tidak itu.
Bahkan kita temukan, satu perusahaan besar setahun dia mengeluarkan 1,3 juta meter
kubik.
Berikut, ini sama, jadi ketika cek di lapangan juga, oh pak itu kami tanam pak, di
dalamnya kan menurut peraturan menteri dan juga petunjuk teknisnya di dalam lubang
tanam misalnya untuk sawit itu ada pupuk sekian, ada kapur sekian. Kalau kita percaya
saja, lewat. Nah, kalau saya, kita rekonstruksi bangunannya, kita bongkar itu, baru lah di
  16	
  
lapangan kita tahu. Jadi, secara visual kita bisa lihat kemudian di bawahnya itu kita ambil
sampelnya, kita bawa ke lab. Bisa kita lihat juga, kalau misalnya satu hektar itu perlu
kapur sekian ton, kalau dia buka seribu, maka sekian ribu ton kapur itu harus ada. Lalu,
kita tanya sama mereka, di mana gudangnya. Kita sampai berpikir ke arah situ gitu.
Berikut, inilah yang membuat kewalahan kami tadi untuk mengumumkan siapa yang
bertanggung jawab, yaitu siapa yang membuat kerusakan hutan atau lahan lingkungan
tadi, siapa yang terkena dampaknya, kemudian bagaimana property guidenya, jenis
dampaknya, besaran dampaknya, lamanya, dan jenis sumber daya alam dan lingkungan
yang terkena dampak termasuk wilayah sumber daya alam. Seperti yang saya katakana
tadi juga ketika kita melihat satu pohon itu, janganlah pernah berpikir bahwa pohon itu
seperti tiang listrik di lapangan sepakbola. Tentunya itu adalah bagian dari suatu
ekosistem karena kalau tidak, ini kita akan hilang semua ini.
Berikut, sekarang sebetulnya secara legal formal sudah ada itu di Permen LH
Nomor 13 tahun 2011. Berikut, ini pembuktian tadi, makanya tadi kita turun ke TKP,
kemudian sampling, berdasarkan itu baru kemudian kita menghitung total kerugian yang
terjadi. Berikut, ini yang pertanyaannya: berapa kerugian yang timbul, apakah semua
kerugian yang timbul itu bisa dihitung, bagaimana cara menghitung kerugiannya, data
apa saja yang dibutuhkan dalam penghitungan tersebut, jadi secara scientific ini yang
kami lakukan di lapangan. Berikut, ini ada Metode Prinsip Biaya Penuh, ini mengacu
pada prinsip bahwa penggunaan sumber daya alam harus membayar kerugian negara
yang diakibatkan oleh perubahan pada sistem sumber daya alam dan lingkungan. Berikut,
ini bisa juga pendekatan Nilai Dasar untuk mengestimasi nilai kerugian, karena kita tidak
tahu, misalnya mati gajah di taman nasional, satu ekor itu berapa. Apakah dinilai dari
gadingnya, apakah dinilai dari kilonya, tentu saja bisa.
Berikut, kembali ini hanya mengingatkan saja bahwa pertimbangan yang harus
dilakukan adalah harus menggunakan teknik yang valid, kemudian dapat diterima oleh
institusi, dapat dikuasai pengguna dan yang paling penting yang terakhir, teknik yang
digunakan sederhana dan tidak membutuhkan biaya besar. Apalagi kalau penyidik, JPU
dan sebagainya, kalau sudah melihat angkanya besar kemudian mikir juga, makanya kita
cari yang simple tetapi secara scientific dapat dipertanggungjawabkan.
  17	
  
Berikut, ini adalah jenis biaya dan kerugian yang menjadi perhatian, yang pertama
adalah biaya kewajiban, kemudian biaya verifikasi dan pengawasan, biaya pemulihan,
kemudian biaya atau nilai kerugian lingkungan, dan yang terakhir adalah nilai kerugian
masyarakat karena masyarakat juga khususnya yang mendapatkan sesuatu tetapi dengan
adanya ini malah tidak mendapat. Ini misalnya di sungai itu dihajar dengan peti, dulu
masyarakat bisa ambil ikan dan sebagainya, sekarang karena itu tidak bisa. Berikut, ini
ganti ruginya itu adalah ini ya, ada kerugian ekologis, ekonomis, pemulihan, kerugian
masyarakat dan biaya yang dikeluarkan selama proses menghitung ganti rugi. Berikut,
pertama, contoh saja ini, kalau lihat kebakaran maka tentu saja kita harus menghitung
waktu kebakarannya. Kalau sehektar dua hektar kita bisa ukur dengan meteran dan
sebagainya tapi kalau sudah seribu hektar tidak mungkin menggunakan meteran, kurang
panjang. Jadi kita harus menggunakan GPS, itu setelah kita pastikan ground check karena
hotspot itu tidak selalu sama dengan di BAP.
Berikut, ini apakah dia gambut atau hutan, apakah dia penetrasinya dalam atau
tidak, konsumsi bahan bakar dan sebagainya, termasuk pada akhirnya kita harus
menghitung emisi gas rumah kaca. Berikut, ini contohnya persamaan Seiler Crutzen, ini
simple tapi sebetulnya sudah jadi yurisprudensi. Ini data wajibnya, berapa karbon yang
dilepaskan, termasuk juga CO2 yang dilepaskan, baik pada gambut maupun non gambut.
Berikut, ini untuk yang jenis lain misalnya NH3, NOx, metan, O3 dan sebagainya.
Berikut, ini untuk menghitung total bahan partikel, kebakaran itu kan menimbulkan
partikel, ini bisa kita hitung. Berikut, barulah kita kemudian menghitung kerugian, jadi
apa yang saya sampaikan di sini ini tidak turun dari langit. Tapi ini adalah hasil penelitian
dari tim, dari ahli ekonominya, sumber daya alamnya, kehutanan, beberapa ahli
lingkungan juga. Misalnya yang pertama kita hitung adalah fungsi tata air, ini
persamaannya. Sebetulnya gampang saja, bisa berhitung pake quick count, selama kita
punya data. Yang membedakan itu adalah di mana kejadian itu.
Berikut, ini adalah pengendalian erosi dan limpasan, kita ke hutan dan sebagainya
itu kita harus memperhitungkan juga bahwa kalau itu terganggu maka akan timbul erosi
dan limpasan. Berikut, ini juga fungsi pengurai limbah, kita tahu biaya pada saat kejadian
itu berapa lalu kita masukkan ke persamaan ini. Berikut, ini kita pake dua juta tujuh ratus,
default, jadi kalau kita punya data yang lebih valid, itu akan lebih bagus. Misalnya kan ini
  18	
  
tentu saja beda antar asatu areal dengan kawasan yang banyak gajahnya, yang banyak
harimaunya, atau yang cuma alang-alang. Itu tentu saja nilainya akan berbeda. Berikut,
ini pemulihan kinetik, kita tidak pernah tahu bahwa lahan gambut yang dihancurkan tadi
itu sebenarnya menghasilkan sesuatu. Berikut, ini biaya pelepasan karbon, jadi emisi
yang kita lepaskan tadi kita hitung. Ini satu lagi biaya pengurangan kapasitas penyerapan
karbon, jadi itu tadi tinggal dijumlah saja, kerugian ekologisnya. Berikut, ini kerugian
masyarakatnya, tentu saja harga sekarang akan berbeda, tentu saja kita dapatkan setelah
kita turun ke lapangan, itu adalah bagian dari kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan.
Berikut, umur pakai lahan juga kita hitung karena akan beda, kemarin di lapangan juga
terjadi perdebatan. Jadi secara alami khususnya untuk gambut, terjadi subsiden 0,5-0,6
cm per tahun. Itu juga perlu kita pertimbangkan untuk menghitung ini. Berikut, ini yang
pertambangan, prinsipnya sama saja, tinggal ditambahkan berapa katakanlah emas atau
tambang yang keluar dari sana. Berikut, ini jadi betul-betul kita anggap dia merusak itu
betul merusak lingkungan tidak hanya ambil itunya kemudian pergi karena si bahan
tambang yang diambil itu adalah bagian dari ekosistem yang rusak.
Berikut, ini contoh saja di Sumatera Selatan, habis. Kejadiannya bukan kemarin
sore, sudah puluhan tahun lalu pun kejadian cuma pertanyaannya itu dilaporkan atau
tidak. Berikut, ini silahkan Bapak/Ibu bayangkan, untuk pemadaman seperti ini, sama
seperti kemarin itu, di 2006, republik ini pernah sewa BE 200-2009, itu US$ 20 juta, 200
milyar. Pertanyaannya padam ga apinya? Padam. Karena apa? Karena hujan. Sementara
yang 200 milyar tadi ke mana. Kawan-kawan saya di Rusia tertawa. Sebaiknya kalau bisa
ini dihindarkan. Sewa ini per jam US$ 2000 sampai US$ 3000. Berikut, inilah harapan
kita, mudah-mudahan, kalau kita bicara tentang kerusakan itu semua itu seperti itu. Itu
adalah bagian dari ekosistem. Itu saja, terima kasih, Wass. Wr. Wb.
Moderator:
Terima kasih Prof. Bambang atas materinya yang sudah disampaikan. Dari pemaparan
tadi kita dapat melihat bahwa sebetulnya kerugian yang diakibatkan oleh kasus-kasus
kerusakan lingkungan sangat besar. Berikut tadi dijelaskan metode penghitungan
kerugian negara serta gambar-gambar yang menunjukkan rusaknya hutan dan alam kita
karena kasus-kasus korupsi di bidang lingkungan. Selanjutnya, setelah kita tahu kerugian
  19	
  
ini melebar ke mana-mana menarik untuk kita membahas bagaimana sebanarnya peran
penegak hukum dalam kasus ini. Selanjutnya, Bang Chandra Hamzah selaku Mantan
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan dan Informasi dan Data, kita ingin tahu
sebenarnya bagaimana waktu itu usaha kita untuk memulihkan kerugian-kerugian yang
ditimbulkan oleh korupsi di sektor lingkungan dan termasuk pengenaan uang
penggantinya karena di Undang-Undang Anti Korupsi disebutkan bahwa uang pengganti
jumlahnya sebanyak-banyak harta benda yang diperoleh oleh terpidana dalam kasus
korupsi. Kita ingin melihat bagaimana peran penegak hukum kemudian pidana tambahan
yang bisa digunakan untuk merestorasi kerugian-kerugian ditimbulkan dari kasus
lingkungan. Kepada Bang Chandra kami persilahkan.
Chandra Hamzah:
Terima kasih, Ass. Wr. Wb., selamat pagi.
Hal yang pertama yang perlu kita pahami adalah bagaimana mengkonstruksikan suatu
tindak pidana di bidang sumber daya alam menjadi korupsi. Apakah tindakan/peristiwa
ini dapat dikategorikan sebagai perkara korupsi atau tidak? Di sini ada beberapa kasus
yang pernah kita tangani, jadi waktu itu salah satu fokus kita adalah sumber daya alam.
Kenapa sumber daya alam? Alasannya sangat sederhana: kalau APBN itu ada batasnya.
Katakanlah APBN kita 1 triliun. Terhitung. Kalau semuanya dikorupsi sama siapapun, ya
1 triliun. Tapi kalau sumber daya alam itu tidak ada batasnya. Siapa yang bisa hitung?
Berapa harga hutan kita? Berapa harga tambang kita? Itu tidak terhitung dan ini jauh
lebih besar dibandingkan korupsi APBN. Bukan APBN menjadi tidak penting, tetap
penting. Berapa korupsi di migas, berapa korupsi di batubara, berapa korupsi di
kehutanan, itu tidak terhitung. Dan sebagian orang merasa ini bukan korupsi, tidak
merugikan negara karena tidak ada uang APBN yang diambil.
Kemudian, bagaimana kita mengkonstruksikan suatu peristiwa kejahatan di bidang
lingkungan hidup atau sumberdaya alam bisa dikategorikan sebagai kasus korupsi. Kita
ambil beberapa contoh. Di sini ada kasus, yang pertama Al Amin Nasution, ini dituntut
dengan Pasal 5. Kemudian Tengku Azmun Jaafar, ini kita tuntut dengan Pasal 3. Pasal 2
dan Pasal 3. Nah, kenapa kita pakai Pasal 2 dan Pasal 3? Jadi, sebenarnya ada sedikit
anomali di UU Korupsi. Anomali itu begini: bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 adalah pasal
  20	
  
umum. Di dalam Pasal 2 ada melawan hukum, Pasal 3 ada menyalahgunakan
kewenangan. Apa itu melawan hukum? MK sudah bilang, melanggar formal dan
material. Pasal 2 melawan hukum, Pasal 3 menyalahgunakan kewenangan. Ini seharusnya
dapat dikategorikan sebagai pasal umum. Kemudian, pasal-pasal selanjutnya, Pasal 5
penyuapan, pemerasan, penggelapan dan selanjutnya itu harusnya pasal khusus. Tetapi
hukumannya harusnya pasal khusus lebih besar daripada pasal umum. Tetapi ternyata
Pasal 2 dan Pasal 3 hukumannya jauh lebih berat dibandingkan Pasal 5, Pasal 7, Pasal 12.
Itu salah satu anomali. Saya ambil contoh klasik, 338 dan 340. 338 pembunuhan saja, 340
pembunuhan dengan perencanaan, spesifik. 340 lebih berat dibandingkan 338.
Nah, kalau kita lihat Pasal 5, suap, apakah menerima pemberian dalam bentuk
apapun itu adalah melawan hukum? Iya harusnya. Atau memberi, apakah itu melawan
hukum? Iya harusnya. Jadi, Pasal 5 dan selanjutnya sebetulnya terabsorb oleh Pasal 2 dan
Pasal 3. Tetapi kenapa hukuman Pasal 2 dan Pasal 3 lebih berat dibandingkan Pasal 5
atau Pasal 12? Beratnya di mana? Salah satunya indikasinya adalah hukuman penjara.
Pasal 2 dan Pasal 3 bisa 20 tahun. Pasal 5 maksimum cuma 5 tahun. Coba lihat kasus Al
Amin Nasution, penjara 8 tahun. Dia ini tadi Pasal 5, apakah ia bisa dikenakan uang
pengganti atau tidak? Kalau di Pasal 5 tidak ada itu. Jadi, ini anomali konstruksi dari UU
Tipikor.
Coba lihat Pasal 2, unsur paling pentingnya ini melawan hukum. Kemudian Pasal 3,
intinya di Pasal 3 itu penyalahgunaan kewenangan. Kemudian, coba lompat ke Pasal 18
yang a, selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud KUHAP, perampasan barang
bergerak, berwujud, yang digunakan atau diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk
perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi itu dilakukan. Ini belum
pernah dilakukan. Pertanyaannya adalah apakah uang pengganti itu adalah termasuk yang
ini? Beda kan? Jadi, uang pengganti kerugian itu on top dari yang a. Jadi kalau kita ingin
memaksimalkan si terpidana maka gunakanlah yang a. Ini tidak ada hubungannya dengan
uang pengganti, yang digunakan, instrumen untuk melakukan kejahatan. Ini sesuai
dengan Pasal 39 KUHP, barang-barang yang diperoleh atau digunakan untuk melakukan
tindak kejahatan bisa dirampas.
Yang b, membayar uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Pertanyaan: apakah yang B ini hanya bisa
  21	
  
digunakan untuk pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3? Kenapa tidak bisa digunakan untuk
Pasal 5? Di sini tidak disebutkan lho bahwa yang b ini harus cuma Pasal dan Pasal 3.
Sebagian orang bilang karena kerugian negara ada di Pasal dan Pasal 3, maka hanya bisa
digunakan di Pasal 2 dan Pasal 3. Unsur kerugian negara tidak ada di Pasal 5 maka ini
tidak bisa digunakan. Kenapa kita tidak pernah coba Pasal 98 KUHAP? Saya bacakan:
jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di suatu pemeriksaan perkara pidana
oleh pengadilan menimbulkan kerugian bagi orang lain maka hakim ketua sidang atas
permintaan orang tersebut dapat menetapkan menggabungkan perkara gugatan ganti
kerugian kepada perkara pidana. Jadi, kalau JPU perkara pidana menggunakan Pasal 5
untuk pejabat yang menerima suap, maka Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara (JPN)
bilang negara telah dirugikan, masuk Pasal 98 KUHAP, gabungkan, hitung kerugian
negara dengan Pasal 98. Dan ini belum pernah dilakukan. Jadi, pertama, yang a bisa
dimaksimalkan. Yang b uang pengganti, apakah ini bisa digunakan untuk pelanggaran
Pasal 5? Sebagian orang bilang bisa, sebagian lagi tidak bisa. Maka, kalau dianggap tidak
bisa, gunakanlah mekanisme Pasal 98 KUHAP.
Kalau kembali ke yang pertama, seluruh perkara korupsi harusnya, baik suap, baik
pemerasan, menerima atau memberi suap, tuntutan utamanya itu Pasal 2 dan Pasal 3. Jadi
kalau kembali ke kasus Al Amin, harusnya ini jangan dituntut Pasal 5. Pasal 2 atau Pasal
3, subsider baru Pasal 5 karena unsur melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan,
masuk itu. Pasal 2 dan Pasal 3 itu adalah pasal yang mengabsorb seluruh perbuatan
melawan hukum, menyelahgunakan kewenangan yang ada di Pasal 5 dan selanjutnya.
Untuk apa? Supaya ganti kerugian negara bisa diambil. Yang kedua, kalau kembali ke
Pasal 18, maka yang a ini harus dipahami sebagai di luar uang pengganti, ini harta benda
yang digunakan dan hasil instrumen dan benefit dari hasil korupsi. Yang b pemidanaan
uang pengganti, kalau seandainya hakim pengadilan berpendapat Pasal 5 tidak ada uang
pengganti, maka apapun yang terjadi Jaksa JPN bilang bahwa negara telah dirugikan,
masuk lewat mekanisme Pasal 98 KUHAP. Bagaimana tata caranya? Sayangnya,
Mahkamah Agung belum pernah mengatur. Mungkin saya yang salah ya. Kan biasanya
“belum ada hukum acaranya, karena belum ada hukum acaranya tidak bisa dijalankan.”
Itu argumentasi yang nyebelin tetapi valid karena hukum acara bersifat positif, yang
  22	
  
diatur itu yang dilakukan, yang tidak diatur tidak boleh dilakukan. Beda dengan hukum
material.
Coba kita kembali ke kasus Tengku Azmun Jaafar, ini kita kategorikan sebagai upaya
yang sedikit berputar untuk bilang bahwa ini korupsi. Pertama, penyidik harus tahu yang
namanya industri, kalo ini kan perkebunan ya, Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu,
Hutan Tanaman…IUPHHH. Kenapa kasus ini terjadi? Bisa tidak terdeteksi? Karena
begitu IUPHHH, sebutnya IUP saja ya, itu keluar, tahun berikutnya di RKT sudah ada
rencana penebangan sekian banyak pohon. Pertanyaan kita adalah memangnya pohon
umurnya satu tahun? Kemudian, akhirnya kita melakukan penyelidikan. Jadi, karena kita
tahu persis apa yang dinamakan IUP, kemudian yang namanya RKT, yang namanya
nanam pohon kalau di atas tanah yang ilalang itu 5 tahun, tidak mungkin RKT menebang
sekian banyak, berarti ini land clearing. Land clearing ada batasannya. Kalau ini berarti
IUP-nya diterbitkan di atas hutan alam. Kenapa dia bisa bikin RKT satu tahun sekian
banyak kubik kayu. Siapa yang salah? Kalau begitu PT-nya tidak salah dong karena PT-
nya dapat izin. IUP-nya ada? Ada. Dia land clearing boleh? Boleh. Jadi siapa yang salah?
Pemberi izin. Pemberi izin ngasih izin. Karena itulah kita bawa Azmun Jaafar. Tetapi
permasalahannya adalah PT yang melakukan pembersihan itu bilang “saya tidak
mengurus izin, saya beli PT lain, yang mengurus izin bukan saya, saya jangan
disalahkan.” Ternyata PT lain itu adalah PT keponakannya Tengku Azmun Jaafar. Jadi
kita bangun konstruksi Tengku Azmun Jaafar membuat PT-PT sebagai kendaraan dan
Tengku Azmun Jaafar uang masuknya tidak ada tuh yang masuk ke rekening dia. Tengku
Azmun Jaafar membuat PT-PT atas nama supirnya, istrinya, anaknya, keponakan,
keluarganya dan diberikanlah IUP kepada itu dan PT itu dijual kepada si big boss PT
besar itu. Kira-kira begitu. Korupsinya di mana? Korupsinya Pasal 3, Tengku Azmun
Jaafar dengan kewenangan dia selaku Bupati menerbitkan izin kepada PT-PT dan
kemudian untuk mendapatkan keuntungan. PT itu dijual, anaknya dapat uang, supirnya
dapat uang. Jadi, yang pertama perlu dilakukan penyidik adalah penyidik harus tahu
persis business process dari suatu industri. Kalau tidak, izinnya ada? Ada, selesai. SP3.
Tapi kita lihat, tidak mungkin RKT timbul hanya satu tahun semenjak IUP. Tidak
mungkin. Jadi, bukan hal yang mudah membuat suatu peristiwa dan peristiwa itu
peristiwa pidana dan pidana itu adalah pidana korupsi. Kalau ini kita muter otak berkali-
  23	
  
kali ini akhirnya dapat. Permasalahannya sekarang big bossnya, konglomerasinya itu
belum kena. Kenapa belum kena? Agak susah menjaring dia karena dia beli dari PT,
pembelian beritikad baik.
Jadi, pertama saya boleh sarankan seluruh perkara korupsi itu lebih bagus digunakan
Pasal 2 dan Pasal 3, untuk seluruh perkara korupsi. Subsidernya baru penyuapan dan lain-
lain. Kemudian untuk ganti kerugian, kalau untuk Pasal 2 dan Pasal 3 sudah pasti ada
ganti kerugian. Tetapi kalau dia dikenakan di Pasal 5, maka gunakan Pasal 98 KUHAP,
di mana orang yang dirugikan bisa menggabungkan tuntutan. Itu memang perlu JPN,
siapa dirugikan? Negara harus dinyatakan dirugikan. Berapa jumlah kerugiannya? Prof.
Bambang yang hitung, penyidik tidak akan bisa hitung. Waktu kita hitung Tengku
Azmun Jaafar, kita hitung menggunakan helikopter karena tidak mungkin menggunakan
meteran. Jadi, kondisi sebelum dan kondisi sesudah. Kondisi sebelum, tegakan sekian
jumlahnya dengan tingkat kerapatan sekian, diameternya sekian dari titik sana sampai
titik sana diukur, dikalikan.
Hal yang lain yang perlu saya sampaikan, tadi IUP diberikan di atas kawasan hutan,
pertanyaannya adalah kita tidak punya peta kawasan hutan yang satu. Setiap orang punya
peta. Bupati punya peta, Kehutanan punya peta. Untuk menetapkan suatu kawasan
sebagai kawasan hutan, itu tidak ada peta sehingga Bupati bilang ini bukan kawasan
hutan. Saya bilang: ini kawasan hutan, ada SK Menteri Kehutanan. Jadi, perdebatan-
perdebatan di situ yang tidak pernah selesai. Jadi, kalau ingin menyelamatkan hutan salah
satu proyek yang harus dilakukan adalah adanya peta tunggal mengenai kawasan hutan.
Saya pernah minta di KPK untuk minta donor untuk suatu pilot project di 2 atau 3
provinsi, untuk dilakukan pemotretan udara kemudian minta Menteri Kehutanan untuk
ditetapkan sebagai kawasan hutan. Perdebatannya adalah “Pak, kalau kita nyatakan suatu
kawasan itu kawasan hutan dan memang kawasan hutan, titik koordinatnya kawasan
hutan, tetapi ternyata ini tanah tandus.” Saya bilang saya tidak peduli, yang penting
tetapkan dulu itu kawasan hutan, mau ini sudah jadi ilalang atau apa, saya tidak peduli.
Bahwa ini ilalang, faktual, tidak apa-apa, nanti kita bereskan pelan-pelan, tetapi sudah
ada kepastian ini kawasan hutan, ini bukan. Buat pengusaha ini juga penting, pengusaha
bisa bilang: oh ini jelas bukan kawasan hutan, saya berusaha bukan di kawasan hutan,
jangan salahkan saya.
  24	
  
Jadi, ini beberapa pandangan untuk mengkonstruksikan suatu perbuatan menjadi
tindak pidana dan tindak pidana itu kita kategorikan sebagai korupsi. Kedua,
memaksimalkan uang pengganti kerugian negara. Mungkin itu sedikit gambaran dari
saya, terima kasih, Ass.Wr. Wb.
Moderator:
Terima kasih Bang Chandra atas pemaparannya yang sangat menarik dan faktual
mengenai rekonstruksi peristiwa pidana menjadi korupsi di bidang lingkungan, kemudian
bagaimana cara kita untuk memaksimalkan penegakan hukum korupsi di sektor
lingkungan. Tadi ada satu statement menarik dari Bang Chandra mengenai sulitnya
memproses korporasi-korporasi yang terlibat dalam sektor lingkungan. Oleh karena itu,
pembicara kita selanjutnya Pak Yunus Husein akan mencoba untuk menggali bagaimana
sebenarnya konsep hukum pidana mengenai pertanggungjawaban korporasi serta
tantangan dan hambatannya dalam penegakan hukum nasional. Kepada Pak Yunus kami
persilahkan.
Yunus Husein:
Terima kasih atas waktu yang diberikan. Selamat pagi, Ass. Wr. Wb.
Senang bisa jumpa pagi ini turut berbincang-bincang mengenai pidana korporasi
terkait dengan tindak pidana yang berkaitan lingkungan hidup. Dalam pembahasan saya
ini saya tidak menyinggung UU Lingkungan Hidup karena kami di UKP4 pernah
meneliti 9 undang-undang yang terkait dengan pelanggaran di bidang lingkungan hidup
dan sumber daya alam, termasuk kehutanan yang UU 41 tahun 1999.
Korporasi ini memang selama ini tidak banyak dikejar. Padahal dalam praktek
internasional, pencucian uang misalnya, itu korporasi sudah banyak dipakai, baik
korporasi yang dicampur untuk kegiatan-kegiatan atau sumber-sumber tidak sah, apalagi
yang sengaja dibuat. Dalam kasus Nazaruddin saja 158 korporasi dipakai untuk tender di
mana-mana. Korporasinya belum pernah dikejar. Dalam kasus, korporasi baru ada satu
saja yang dipidana di Kalimantan Selatan. Dalam bidang lingkungan hidup baru ada satu
atau dua, saya baru dengar ada satu di Kalimantan Tengah, satu lagi di Bekasi. Memang
sudah saatnya bukan saja pelaku natural yang dikejar tetapi juga pelaku korporasi
  25	
  
walaupun dia memang tidak punya akal, tidak punya kesadaran tetapi bisa mencari
untung, bisa juga berbuat kesalahan melalui orang-orang yang me-manage perusahaan
itu.
Kalau kita lihat perkembangan dalam praktek internasional pun, sejak tahun 1976 sudah
ada, korporasi sangat jelas, kemudian konvensi di Eropa, angket UN Convention Against
Corruption, kemudian UN Convention Against Corruption, semuanya sudah
memperkenalkan korporasi yang bisa dimintai pertanggunjawaban. Di Indonesia ini
penegak hukum itu kurang begitu nafsu mengejar korporasi. Saya kurang tahu, saya
berkali-kali tanya, Pak Ramlan saya pernah tanya, mungkin pemahamannya yang kurang,
mungkin juga karena kalau orang lebih mudah. Memang jarang sekali sehingga ada 2 hal
yang kami coba lihat: pertama, penegakan hukum di beberapa daerah, termasuk mengejar
korporasi ini, di Kalimantan Tengah, di Aceh, Kalimantan Barat, Pak Bambang ini
selalau menjadi ahli bersama Pak Wasis, terus terang tidak gampang menegakkan hukum
di bidang kehutanan. Mencari ahli seperti beliau sangat sangat susah, sangat jarang dan
belum tentu berani kalaupun ada. Harus turun ke lapangan, melihat koordinatnya,
menghitung ganti kerugian dan sebagainya. Celakanya lagi kita ajukan ahli dari sini, dari
instansi pemerintah yang sama memberikan ahli yang mewakili pihak lawan/terdakwa.
Itu terjadi sampai sekarang. Jadi kita ajukan ahli dari sini, dari sana ada ahli dari instansi
pemerintah juga. Ini membuat kita agak susah menegakkan hukum. Jadi, totalnya
kasusnya ada sekitar 27 yang sedang ditangani, itu 5 di Aceh, 1 di Kalimantan Barat, 14
di Kalimantan Tengah, 7 lagi di Riau pembakaran hutan HTI. Kami juga sedang kirim
orang dan memang dari grup-grup besar juga, dia dia juga. Kira-kira kita semua sudah
tahu ya, ada yang pakai sinar-sinar, ada yang pakai garuda. Jadi, kalau dia buat iklan di
TV, Sinar Mas dimulai dengan menanam terus jadi kertas Al-Qur’an segala macam itu
iklan lebih banyak bohongnya itu. Itu menyesatkan itu. Cuma celakanya lagi Sinar Mas
ini selalu jadi sponsor, selalu dilibatkan khusus sponsor utamanya dia di Istana. Makin
lama makin kuat dia.
Sekarang kita coba lihat materi bagaimana pertanggungjawaban korporasi dalam hukum
di Indonesia pada umumnya yang terkait dengan lingkungan hidup pada 9 undang-
undang tadi dan dari sini akan kelihatan sebenarnya politik hukum itu tidak jelas
mengenai pemidanaan korporasi, sangat bervariasi. Pengertian korporasi, di sini saya
  26	
  
kutip saja dari UU TPPU dan Tipikor, adalah perkumpulan orang atau harta kekayaan
baik berbadan hukum atau tidak. Itu tidak harus bentuknya PT. Terus, ini KUHP kta kan
sudah dari jaman Belanda jadi belum mengatur ini, kebanyakan diatur di luar KUHP.
Terus, ini menurut Pak Remy sebetulnya saya kutip ini, jadi bisa korporasi berbuat
korporasi yang bertanggungjawab, korporasi berbuat pengurus yang bertanggungjawab,
dan dalam UU 41 tahun 1999 pengurus berbuat dia yang bertanggungjawab, bisa juga
korporasi dan pengurus sebagai pelaku dan kedua-duanya dimintai pertanggungjawaban.
Itu beberapa kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ini juga mengutip dari buku dan
sebenarnya pernah saya sajikan di seminar Maret yang lalu di Hotel Meridien, ada strict
liability, kalau strict liability ini dia otomatis dianggap bertanggungjawab, tidak perlu
pembuktian segala macam pokoknya kalau terjadi, tanggung jawab. Vicarious liability
artinya orang menggantikan tanggung jawab dari orang lain yang berbuat. Delegation ini
terkait dengan perusahaan-perusahaan karena mendelegasikan sesuatu kepada
pegawainya maka kalau ada apa-apa dia yang mengambil alih tanggung jawab tadi.
Doctrine of identification, teori identifikasi, jadi dilihat siapa yang melakukan, kalau
perusahaan diidentifikasikan dari pelaku fungsionalnya atau direksinya, dari sana bisa
diidentifikasikan bahwa yang bertanggungjawab adalah korporasi. Aggregation ini
melihat culture, melihat tidak hanya satu atau dua yang di atas tetapi lebih banyak
menyeluruh. Kemudian ada gabungan.
Berikutnya, ini bentuk pidana terhadap korporasi, ada pidana pokok. Pidana pokok itu
biasanya denda karena korporasi tidak bisa dipenjara, tidak bisa dikurung. Kemudian
pidana tambahannya macam-macam, tergantung dari undang-undangnya dan sangat
sangat bervariasi. Terus, ada beberapa yang mengatur pidana korporasi di lingkungan
hidup misalnya UU Minerba, UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, UU Tata Ruang,
UU Tipikor, UU TPPU, UU Kepabeanan. Ada juga yang tidak mengatur sama sekali,
misalnya UU Perkebunan, padahal di Indonesia itu yang punya kebun justru korporasi,
mereka rata-rata punya di atas 10.000 hektar. Dan kalau tahu siapa yang punya kebun-
kebun sawit itu kita miris ya, yang punya itu banyak konglomerat tadi, Garuda Mas,
Sinar Mas, dia dia juga di seluruh Indonesia itu. Jadi, sangat beragam pengaturan.
Beragamnya baik dilihat dari perumusan deliknya, ada yang pakai penegakan formal,
material, baik mengatur mens rea-nya beda-beda, kemudian mengatur siapa yang
  27	
  
bertanggung jawab sangat berbeda, persyaratan-persyaratan itu sangat berbeda.
Kemudian yang terkait dengan lingkungan hidup ada 2 kasus di sini, PT Giri Jaladhi
Wana ini tipikor di Kalimantan Selatan, kemudian ada PT Dongwoo Environmental
Indonesia itu di Bekasi, lingkungan hidup ya pakai undang-undang yang lama. Ada 3
orang yang terkena, korporasinya kena, dirutnya kena, sama pelaku di lapangan kena.
Jadi, korporasi kena, pelaku fungsional Presdir sama Direkturnya kena sama pelaku
lapangan, salah satunya supirnya kena, supir yang buang limbah B3 yang mengakibatkan
masyarakat ada yang batuk-batuk, pusing-pusing, mual dan lain sebagainya. Itu terjadi
tahun 2006. Kemudian, ini yang PT Dongwoo Environmental Indonesia tadi, mereka
inkracht di tingkat Mahkamah Agung pada tahun 2010, pelaku lapangannya kena 2 tahun,
sementara Presiden Direktur dan Direkturnya kena cuma 6 bulan saja. Kemudian denda
terhadap korporasi Rp 650.000.000. Kemudian PT itu ditutup, ada perampasan beberapa
keuntungan yang diperoleh dari…katakanlah dia lalai menangani masalah B3 ini.
Terus, ini contohnya beberapa perumusan saja ya. Kalau mau mengejar pelanggaran
terkait lingkungan hidup, jangan hanya pakai UU Lingkungan Hidup, yang lainnya juga
bisa dipakai. Kami juga pernah mengkoordinir, pada bulan Desember yang lalu, membuat
satu MoU antara berbagai instansi untuk menerapkan penegakan yang namanya
multidoor, lebih dari satu undang-undang, bisa secara alternatif, bisa secara kumulatif.
Kemudian sudah ada juklaknya, ditandatangan oleh eselon I. Selain itu, kami buat yang
kedua adalah, bersama-sama Kejaksaan dan Mahkamah Agung, kita membuat pedoman.
Pedoman bagaiamana menuntut korporasi. Sekarang sedang dalam proses untuk
Kejaksaan. Mahkamah Agung juga sudah setuju, saya sudah bicara dengan Pak Artidjo.
Jadi, saat itu Mas BW sempat presentasi, mereka setuju untuk membuat pedoman
bagaimana memidanakan korporasi. Selama ini tidak ada pedoman, sehingga persepsi
sangat berbeda, ada yang bilang bisa, ada yang bilang tidak. Kalau ada yang bilang tidak
bisa, ini seperti aliran Jerman. Katanya di Jerman sekarang ini korporasi tidak bisa
dipidana. Dia tidak punya jiwa, tidak punya kehendak, tidak bisa berbuat salah. Padahal
di negara-negara lain di Eropa, termasuk di Amerika bisa. Nah, ini yang kedua,
pengaturannya seperti ini. Pasalnya, kemudian subjeknya adalah korporasi, pengurus dan
pelaku lapangan. Kemudian bagaimana perbuatan yang dilarang, dirumuskan secara
  28	
  
formal. Kemudian, kesalahan, mens rea ini hanya kesengajaan saja yang bisa dihukum.
Kalau culpa tidak bisa kena.
Kemudian UU Minerba, ini biasa denda ya, ada pidana pokok, pidana tambahan. Kriteria
implementasinya bagaimana harus diterapkan tidak jelas. Kemudian, ini UU Kehutanan,
dibebankan kepada pengurus, korporasi tidak bisa dipidana sesuai UU 41 tahun 1999.
Undang-undang ini sepertinya harus diubah karena ada putusan MK yang terkait dengan
tanah adat, kira-kira banyak terkait dengan UU 41 tahun 1999 ini. Perumusan sangat
berbeda, kalau kita lihat satu sama lain, ini juga begitu. Kesalahan bisa dolus, bisa culpa.
Rumusan delik ada formal, ada materiil.
Terus, UU Tata Ruang juga mengatur masalah korporasi ini. Cuma pengaturannya ya
seperti tadi, tidak sempurna dan satu dengan yang lain saling tidak sama. Kemudian
Perkebunan, di sini perkebunan tidak ada mengatur korporasi bisa diminta
pertanggungjawaban. Kalau tadi kita lihat yang punya kebun itu kebanyakan korporasi-
korporasi. Terus, ini UU TPPU cukup detail ya, kapan dia bisa kena, persyaratan,
hukumannya cukup berat seratus miliar, deliknya formal, ada hukuman pokok dan
hukuman tambahan, bisa kena korporasi. Termasuk partai juga bisa kena, kalau partai
terima sumbangan uang haram, kalau jaksanya berani jaksa bisa minta menuntut
dibubarkan. Terus, ini persyaratan untuk implementasinya, ada beberapa dipersyaratkan
agar korporasi bisa dimintakan pertanggungjawaban.
Terus, Tipikor tadi sudah disinggung oleh Pak Chandra, pidananya terlalu ringan ya,
cuma 1 M kalau tidak salah. Terus, Kepabeanan tidak ada mengatur khusus, cuma karena
wajib pajak juga adalah juga korporasi, dalam kasus terakhir Asian Agri, yang juga
punya perkebunan sawit yang banyak, kemarin korporasinya disuruh bayar. Terus, ini
UU Kepabeanan ada juga di sana terkait dengan lingkungan hidup, termasuk hasil-hasil
tambang ataupun hasil-hasil hutan yang diselundupkan. Ini terkahir, UU Lingkungan
Hidup yang baru. Ini mendekati aturan di Belanda dan dianggap cukup baik, aturan
mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam UU 32 tahun 2009. Jadi, subjeknya bisa
badan usaha, bisa orang yang melakukan di lapangan, bisa juga pelaku-pelaku yang
mempunyai jabatan. Rumusan deliknya ada yang formal, ada yang materiil. Kesalahan
bisa dolus, bisa culpa. Sanksinya pidana, ada penjara dan denda. Lalu, ada pidana
tambahan: perampasan keuntungan, perbaikan kerusakan, penempatan perusahaan dalam
  29	
  
pengampuan. Kriteria implementasi ada power and acceptance, ada diatur di Pasal 118.
Pasal 118 itu mengatur bahwa ini bisa diimplementasikan kalau memang ada pelaku
fungsional. Jadi, terkait dengan jabatan, korporasinya bisa kena, pelakunya itu katakanlah
direksinya. Kemudian ada acceptance, menurut Penjelasan Pasal 118 acceptance itu
artinya perbuatan yang dilakukan oleh anak buahnya di lapangan misalnya itu dibiarkan,
tidak ada pengawasan, tidak ada upaya untuk memperbaiki dan sudah diterima sehingga
kalau ada kewenangan (power) tadi, ada penerimaan oleh perusahaan pada perbuatan
orang-orangnya tadi, maka menurut Pasal 118 itu bisa dimintai pertanggungjawaban
korporasi. Bisa kena orangnya, bisa korporasinya. Orangnya itu bisa pelaku lapangan,
bisa pejabat fungsional yang memegang jabatan misalnya sebagai manajemen.
Kembali ke soal penerapan, kami menyarankan kalau mau mengejar para pelaku
lingkungan hidup bukan saja pakai satu undang-undang. Kalau bisa dibuat kumulatif.
Yang dikejar jangan hanya orangnya tetapi juga perusahaannya. Kalau kumulatif lebih
kuat karena bukan hanya hukum materiil yang digabungkan tetapi juga hukum acara, ada
pembuktian-pembuktian terbalik yang bisa dipakai. Terus, ini dilakukan juga oleh
pemerintah. Tadi disebutkan sudah ada proses pemberlakuan KUHAP melalui gugatan.
Kita juga sedang mengajukan gugatan kepada dua perusahaan. Yang pertama digugat, di
Aceh, PT Kalista Alam yang gugat itu KLH, kita rugi 366 M karena dia membakar lahan
di Aceh sana. Kemudian yang kedua Surya Panen Subur, ini sedang dalam proses, belum
putus. Ganti ruginya yang tadi, 366 M, jadi kita kombinasikan. Saya tidak tahu
bagaimana cara menggabung gugatan perdata dengan pidana. Ini sedang dikejar secara
pidana juga Kalista Alam dan Surya Panen Subur. Dan kita ada pertemuan periodik
dengan para penegak hukum, termasuk dengan ahli-ahli, kepolisian, penyidik kehutanan,
penyidik lingkungan hidup, kita kumpulkan, kita koordinir. Karena kalau tidak begitu
susah, nanti jalan sendiri-sendiri. Terakhir saya ke Papua itu melihat kasus Labora
Sitorus, kirim kayu ke Cina, ke beberapa negara, omzetnya besar sekali, tetapi yang disita
cuma 17 juta. Saya tanya kok cuma 17 juta. Kita mendengar dia beberapa tahun yang lalu
menjadi sponsor ulang tahun Bhayangkara itu dia menyumbang 3 miliar itu, sekarang
yang disita cuma 17 juta. Kasus ini mungkin dalam beberapa hari ini sudah P21. Jadi,
yang mengerjakan itu Kapolda Papua dan Bareskrim, Kejaksaan Agung juga turun
tangan.
  30	
  
Ini rekomendasi yang tadi sudah saya singgung, jadi perlu alat ukur yang jelas bagaimana
mengejar korporasi. Kedua, untuk menutupi kekurangan yang ada, perlu dibuat pedoman
untuk tingkat penyidikan, penuntutan ataupun Mahkamah Agung. Kemudian, persepsi
yang sama diperlukan sehingga perlu sosialisasi dan edukasi kepada penegak hukum.
Mudah-mudahan pedoman yang dibuat bisa selesai dalam waktu tidak terlalu lama. Saya
kira itu saja, terima kasih, Ass. Wr.Wb.
Tanya Jawab
Moderator:
Terima kasih kepada Pak Yunus serta pembicara yang telah memberikan materi, mohon
applause dulu untuk para pembicara kita.
Selanjutnya, kami buka sesi tanya jawab untuk termin pertama mungkin 3 penanya
terlebih dahulu. Satu di belakang, Bapak yang menggunakan baju coklat, kami
persilahkan.
Penanya 1:
Terima kasih. Kami ingin menambahkan atau memberi tanggapan atas penjelasan dari
Bapak Chandra Hamzah mengenai uang pengganti di mana dalam Pasal 17 UU 31 tahun
1999, pasal tersebut menyatakan ‘dapat’. Jadi, pembayaran uang pengganti sebagai
pidana tambahan ini tidak bersifat imperatif, demikian pula dengan jumlah uang
pengganti tidak ekuivalen dengan kerugian negara dan sebanyak-banyaknya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, apa yang
disampaikan oleh Pak Chandra saya apresiasi sekali dengan memanfaatkan Pasal 98
KUHAP. Namun demikian, ada beberapa hal dari Pasal 98 KUHAP tersebut apabila
digabungkan dengan tuntutan ganti kerugian ada segi positif dan negatifnya. Artinya,
dengan digabungkan gugatan ganti kerugian tersebut, proses akan lebih cepat, namun
demikian titik lemahnya adalah apabila perkara pidana inkracht, maka gugatan tersebut
akan mengikuti juga. Ini juga harus dipertimbangkan dalam arti bahwa apabila ada
langkah dari JPN melakukan tuntutan ganti kerugian ini harus dipersiapkan secara
matang sehingga ganti kerugian negara dapat dicapai secara maksimal. Kemudian,
  31	
  
praktek yang ada bahwa penggabungan ganti kerugian itu diperbolehkan sebelum
tuntutan dibacakan. Jadi, tentunya ini harus diperhitungkan juga oleh JPN.
Beberapa pasal mengenai gugatan di UU 31 tahun 1999, itu ada satu pasal yang
mungkin saya belum dengar, Pasal 32 itu, tadi Prof. Bambang menyatakan bahwa ada
beberapa perkara lingkungan hidup yang dibebaskan, tentunya dengan Pasal 32 ini JPN
harus jeli karena gugatan itu bisa diajukan walaupun putusannya bebas karena putusan
bebas itu dapat dituntut kerugian terhadap keuangan negara. Pasal tersebut sudah pernah
atau belum pernah digunakan saya belum tahu karena selain Pasal 32, Pasal 33 dan 34 itu
mengenai terdakwa yang sudah meninggal. Jadi saya apresiasi apa yang sudah
disampaikan Bapak Chandra Hamzah dan hanya melengkapi saja. Terima kasih.
Penanya 2, Arsil dari LeIP:
Terima kasih. Saya Arsil dari LeIP. Saya mau bertanya soal kaitannya kerugian negara
dengan uang pengganti. Dalam Pasal 18 ayat (1) b mengatakan bahwa uang pengganti
sebanyak-banyaknya uang yang diperoleh dari tindak pidana, bukan kerugian yang
ditimbulkan. Nah, dalam praktek selama ini saya jarang melihat, paling tidak dari
pemberitaan, itu ada yang menghitung berapa keuntungan yang diperoleh oleh terpidana
tapi kita selama ini fokus pada berapa kerugian yang ditimbulkan, misalnya ada audit
BPK segala macam yang mencari berapa kerugian. Padahal kalau kita mau
mengembalikan kekayaan yang hilang tadi maka yang perlu dihitung itu adalah
keuntungan yang diperoleh karena bisa jadi kerugian yang ditimbulkan misalnya
pengadaan barang 10 miliar tetapi keuntungan yang diperoleh akibat itu berlipat-lipat.
Kalau kita lihat hanya kerugian negaranya, bisa jadi itu kecil. Nah, saya mau tanya
kepada Bang Chandra bagaimana praktek di KPK selama ini? Apakah dalam menentukan
uang pengganti selama ini penuntut di KPK itu yang dihitung adalah kerugian negara
yang ditimbulkan atau keuntungan yang diperoleh dari si pelaku? Terima kasih.
Penanya 3, Faiq dari LBH Surabaya:
Terima kasih, Ass. Wr. Wb. Selamat pagi menjelang sang buat kita semua. Perkenalkan
nama saya Faiq dari LBH Surabaya. Saya tertarik dengan tadi yang disampaikan oleh
Prof. Bambang terkait dengan bagaimana menghitung kerugian negara khususnya di
  32	
  
bidang lingkungan, baik itu sumber daya alam, hutan, tambang dan seterusnya dikaitkan
dengan bagaimana negara melakukan tuntutan terhadap pelaku atau pihak yang turut
serta melakukan. Kalau tadi disampaikan oleh Prof. Bambang bagaimana cara
menghitungnya, pertanyaan saya seberapa cepat kita dapat menghitung itu, menemukan
nominal kerugian itu, karena itu juga akan dibutuhkan oleh JPN untuk mendapatkan
nominal ketika dia akan melakukan tuntutan terhadap si pelaku. Lalu yang kedua, saya
tadi coba ngecek terkait beberapa pasal dan juga apa yang disampaikan oleh Pak Yunus
terkait bagaimana korporasi bertanggung jawab dalam hal ini. Pertanyaannya adalah
ketika ini digabungkan dengan dakwaan yang disampaikan oleh JPU dalam satu
kelembagaan yang sama apakah bisa itu disampaikan? Karena pada saat dakwaan itu
disampaikan maka harus ada pihak lain untuk meminta bahwa ada kerugian di sini.
Padahal di satu sisi negara sudah diwakili oleh JPU dalam kasus itu. Dalam hukum acara
ini yang agak pening, ini yang harus diluruskan juga. Kemudian yang korporasi, di satu
sisi memang saya setuju ketika kerugian negara itu ditentukan terlebih dahulu maka ini
butuh kecepatan dalam penghitungannya. Kalau digabungkan, menurut saya, ini agak
berat bagi JPN tetapi ketika ini diputus oleh pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum
tetap, kemudian dipisahkan sedemikian rupa, JPU baru melakukan tuntutan ganti
kerugian negara, nah jelas ini. Karena di dalam konsep keperdataan, gugatan ganti
kerugian kan ada yang pelakunya langsung, atau orang melakukan itu menimbulkan
kerugian lain tetapi ini menjadi tanggung jawab korporasi. Menurut saya begitu. Terima
kasih.
Bambang Hero Saharjo:
Terima kasih. Selama datanya ada, 1 bulan itu sudah bisa hadir, tidak perlu lama-lama.
Selama data yang dibutuhkan ada. Kuncinya itu adalah data, jadi kita katakan menurut
peta yang mereka berikan posisinya di sini. Kareana kami pernah hampir dikadali, itu
yang kasus 2006, itu sumbu X dan sumbu Y-nya diganti. Jadi, kita turun yang pertama,
sudah dapat titik, yang kedua, mereka katakan waktu di KLH, data saudara salah, karena
kami tidak menemukan titik itu. Setelah kita utak atik, konfirmasi dengan pihak BPN,
akhirnya tahu bahwa yang north dibikin east, yang east dibikin north. Sehingga itulah
yang agak lama di lapangan itu. Jadi, selama data itu ada, kita punya batas minimal untuk
  33	
  
menghitung itu, maka paling tidak sebulan itu sudah keluar. Yang kebakaran malah lebih
cepat. Jadi kalau misalnya kita tahu saja data luasan kebakaran itu, dengan konsumsi
bahan bakar, emisinya pun bisa kita hitung, itu tidak sampai 1 bulan. Mau cepat seperti
apa lagi? Karena untuk analisis tanah itu dibutuhkan waktu 2-3 minggu, itu pun kita
bypass, kalau antri bisa 3-4 bulan. Labnya pun tidak bisa sembarangan.
Penanya 3, Faiq dari LBH Surabaya:
Prof. mohon maaf, maksud saya meted-metode seperti ini apakah dikenal di lembaga-
lembaga kementerian? Karena kalau ngomong soal larutan terbakar, itu secara teknis
teori, tapi mau tidak mau harus ada legitimasi secara hukum bahwa iya perhitungan ini
benar.
Bambang Hero Saharjo:
Jadi begini, seperti yang saya katakan tadi secara legal formal, hitungan ini sudah ada di
Permen LH Nomor 13 tahun 2011. Sebelumnya tahun 2006 juga sudah keluar, cuma
tidak legal formal, hanya pedoman saja. Tetapi berdasarkan Permen LH 13 tahun 2011,
itu sudah disahkan. Tinggal masalahnya tadi, yang menghitung siapa? Kalau kami
langsung ditunjuk Menteri LH dengan SKK-nya. Kira-kira begitu.
Moderator:
Selanjutnya Bang Chandra, mengenai mekanisme penentuan ganti kerugian dalam
perkara pidana serta penghitungan keuntungan dalam menghitung uang pengganti yang
bisa dikenakan terhadap terpidana. Silahkan.
Chandra Hamzah:
Di sini saya mencoba menjawab pertanyaannya, rata-rata sama. Pertama, mungkin
pedoman penghitungan kerugian negara. Kalau kita dulu menghitung sesuatu itu rugi atau
tidak rugi itu tergantung dari sudut pandang. Secara akuntansi kita bisa bikin ini rugi dan
ini tidak rugi. Saya ambil contoh begini: adakah pedoman menghitung kerugian import
mobil pemadam kebakaran? Tidak ada. Itu satu contoh. Yang penting adalah kita punya
ahli, ahli itu memang punya keahlian, kemudian ia merumuskan metode
  34	
  
penghitungannya. Pada saat kasus Tengku Azmun Jaafar, untuk bandingkan antara
sebelum dan sesudah, kan kita tidak mungkin dapatkan kayunya, kayunya kan sudah
berubah bentuk menjadi kertas, sudah masuk rekening. Bahwa ini hutan alam, kita punya
data dan kemudian tingkat kerapatannya sekian, siameter tegakannya rata-rata sekian,
dengan luas sekian maka bisa dapatkan hasil sekian. Jadi, apakah metode ini benar atau
tidak benar, yang penting ini bisa dipertanggungjawabkan dan itu yang perlu
dipertahankan. Jadi, kalau menurut saya, ini metode penghitungan kerugian negara yang
sah atau resmi, kalau buat kami dulu sangat jarang metode untuk menghitung kerugian
negara yang ada SK-nya. Karena itu, tinggal kita menghitung secara masuk akal,
metodenya bisa dipertanggungjawabkan dan ahlinya bisa mempertahankan. Apakah
pernah dihitung keuntungan yang diperoleh si tersangka? Tersu terang tidak pernah. Jadi,
yang kita hitung adalah berapa kerugian negara yang dia nikmati. Mengapa di UU 31
tahun 1999 bilang kerugian negara yang dinikmati? Karena di UU 3 tahun 1971 tidak
begitu, itu lebih sadis, UU 3 tahun 1971 adalah mengganti kerugian negara yang
ditimbulkan. Tetapi, konsekuensinya apa? Konsekuensinya adalah yang dibebankan
mengganti kerugian negara adalah si pegawai negeri saja. Pasal 2 dan Pasal 3 maka
secara logika yang harus disidangkan terlebih dahulu itu adalah si pegawai negeri. Baru
kemudian si pengusaha kena Pasal 55 KUHP. Nah, penuntut umum atau penyidik
mengambil gampangnya, begitu pegawai negerinya diproses, di UU 3 tahun 1971, maka
seluruh uang pengganti kerugian negara dibebankan kepada dia dan itu tidak pernah
kembali, pegawai negeri tidak punya uang. Sebesar-besarnya pejabat kita, tetapi jauh
lebih banyak uang si pengusaha. Nah, karena itu, UU 31 tahun 1999 jadi ‘dinikmati’ dan
pengusahanya bisa dikenakan dengan Pasal 55. Menghitung? Tidak pernah Pak Arsil.
Kenapa tidak pernah menghitung? Karena bunyi pasalnya kerugian negara yang
dinikmati. Bagi para penafsir yang sangat literalis, positifis, terjemahannya ya literalis.
Kerugian negara yang dinikmati, jadi kita tidak menghitung keuntungan.
Kemudian, Mas yang pertama tadi, bahwa itu ‘dapat’ ya memang. Kalau tidak ada
kerugian negara, sifatnya memang tidak mutlak. Kemudian, mengenai penggabungan,
jadi begini, kasus Al Amin ambil contoh. Dia terima uang sekian ratus juta. Kemudian
dia dihukum. Kena Pasal 12. Kemudian, atas perbuatan dia Pasal 5, tentu saja ada
kerugian negara kan karena dia ngasih izin maka ada kerugian negara. Cuma karena
  35	
  
dituntut Pasal 12A atau Pasal 12B, sementara Pasal 12A atau 12B tidak ada dia harus
mengganti kerugian negara, maka sayang kan. Sementara negara sudah dirugikan dengan
dia menerima suap. Pertanyaannya adalah apakah Pasal 18 huruf b itu bisa dituntut
kepada Al Amin yang dituntut dengan Pasal 12A dan Pasal 12B? Itu pertanyaan yang
belum terjawab sampai sekarang karena Pasal 12A dan 12B tidak mensyaratkan unsur
kerugian negara.
Oleh karena itu, saran saya sekarang kalau ada kasus penyuapan ketahuan dan itu terkait
lingkungan hidup, maka minta ke KPK agar ia dituntut dengan Pasal 2 atau Pasal 3. Pasal
5 atau Pasal 12A atau 12B subsider supaya dapat kerugian negara. Karena apa? Suap ini
kan melawan hukum, masuk Pasal 2. Suap itu kan menyalahgunakan kewenangan. Dia
punya kewenangan, dia lakukan itu, tetapi disalahgunakan. Pasal 3 bisa masuk itu, dia
punya kewenangan, itu kewenangan dia, dia sah menggunakan kewenangan itu tetapi dia
menggunakan kewenangan itu dengan salah agar orang lain untung, dengan itu ia
menerima uang. Nah, kalau Pasal 3 masuk, kerugian itu bisa dihitung. Berapa yang mesti
diganti Al Amin? Sebesar suap yang diterima. Sisanya siapa yang tanggung? Orang yang
menyuap. Atau alternatif lain, oke dia pakai Pasal 5 atau Pasal 12A atau 12B, tetapi JPN
menggabungkan melalui mekanisme Pasal 98.
Ini pertanyaan tadi lagi, bagaimana dengan satu institusi. Pasal 98 tidak secara tegas
menyebutkan itu Jaksa tetapi orang yang dirugikan dapat meminta untuk menggabungkan
tuntutan kepada Penuntut Umum. Yang bermain pada saat penuntutan adalah Penuntut
Umum, bukan Jaksa. Orang yang dirugikan ini siapa? Orang yang dirugikan adalah
dalam hal ini negara. Negara diwakili oleh siapa? Dijelaskan oleh UU Kejaksaan negara
diwakili oleh Kejaksaan, selaku pengacara negara. Beda, yang maju ke pengadilan itu
bukan jaksa, tetapi Penuntut Umum. Penuntut Umum ini siapa? Ya jaksa. Tapi pada saat
sidang dia Penuntut Umum. Katakanlah pada saat itu saya selaku Penuntut Umum.
Kemudian orang yang dirugikan siapa? Negara. Negara itu siapa? Diwakili oleh jaksa
sebagai JPN. Bang Yunus maju sebagai JPN umpamanya. Jadi, itu ada 2 fungsi yang
beda. Satu, orang yang dirugikan, negara yang diwakili JPN. Yang kedua, Penuntut
Umum yang menyidangkan perkara pidana. Tipis, tetapi berbeda. Apakah strategi ini
dapat berdampak positif atau tidak, perlu panduan mengenai penggunaan Pasal 98.
  36	
  
Bagaimana mekanismenya. Yang kedua, yang perlu dicatat, kalau pidananya gagal maka
tuntutan ganti ruginya dengan sendirinya gagal.
Mengenai waktu penghitungan kerugian negara, untuk Pasal 2 dan Pasal 3 yang ada
kerugian negara menghitungnya juga cukup lama. Tidak semua cepat. Karena ini perlu
koordinasi yang kuat antara jaksa selaku JPN dan jaksa selaku Penuntut Umum agar
waktunya bisa disesuaikan. Kemudian kalau masuk ke Pasal 32 tadi, dalam hal penyidik
menemukan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terbukti
sedangkan dengan nyata ada keuangan negara maka penyidik segera menyerahkan berkas
untuk dituntut. Kalau Pasal 32 ini maksudnya adalah bahwa perbuatannya bukan
perbuatan tindak pidana, tetapi negara dirugikan. Jadi, ini masalah perdata aja. Ini sedikit
komentar saja, saya agak sedikit risih kalau ada pengadilan yang menyatakan
perbuatannya terbukti tetapi ini bukan perbuatan pidana karena pengadilan pidana hanya
membuktikan perbuatan pidananya terbukti atau tidak. Jadi, kalau penyidik bilang
perbuatannya bukan perbuatan pidana, maka digugat ke perdata saja. Beda denga Pasal
98, kalau di 98 perbuatan itu pidana tetapi menimbulkan kerugian. Itu sekedar gambaran
dari saya, terima kasih.
Yunus Husein:
Kayaknya tidak ada yang spesifik ke saya pertanyaannya, tetapi sedikit mengenai tadi
pidana dan perdata, kami selama ini untuk 27 kasus pidananya jalan, perdata juga jalan.
Perdata itu yang maju 3, JPN, inhouse lawyer dan LH dan kita juga pakai professional
lawyer. Kalau JPN karena selama ini jadi jaksa biasanya tidak terlalu profesional ya jadi
ditambah inhouse lawyer LH dan professional lawyer. Kami memang belum berpikir
untuk menggabungkan pidana dan perdata. Tapi ya dua-duanya jalan, pidananya jalan di
locus delictinya, kalau perdatanya jalan sesuai kedudukan si tergugat. Terus terang kami
mengkoordinir saja lebih banyak dan banyak dukungn dari para ahli. Kalau tidak ada ahli
susah. Perkara LH ini memang agak susah. Perlu ahli, perlu keberanian, perlu ke
lapangan, mengukur ini itu, dan sebagainya, tidak sederhana. Ini lah kita sarankan selalu
pakai kombinasi,kalau bisa kumulatif. Jangan hanya pakai undang-undang yang teknis
tetapi juga pakai penegakan lain, tipikor, pajak, TPPU sehingga bisa saling mengisi,
saling menguatkan. Itu saja tambahan sedikit dari saya.
  37	
  
Chandra Hamzah:
Keuntungan penggabungan adalah begini: kalau perdata tidak ada upaya paksa untuk
menghadirkan saksi. Tetapi kalau digabungkan, melalui mekanisme upaya paksa
menghadirkan saksi, maka kita bisa mendapat keterangan untuk mendukung gugatan
ganti rugi. Ini keuntungannya. Betul, prosesnya akan lama. Satu lagi, korporasi sebagai
tersangka itu sebenarnya udah ada di undang-undang tindak pidana ekonomi di tahun ‘55.
Kedua, korporasi sebagai tersangka unsurnya di undang-undang ’55, UU Terorisme, UU
Tipikor, itu cuma dua syarat. Di UU TPPU 4 syarat, di UU Lingkungan Hidup 4 syarat.
Secara faktual memang sangat sedikit dijalankan. Di Belanda, korporasi sebagai
tersangka sudah mulai juga di tahun ’55 itu. Jadi kita mengadopsi korporasi sebagai
tersangka dari Belanda di tahun ’55. Terima kasih.
Yunus Husein:
Di Belanda kalau saya lihat statistik itu, 2010 saja lebih dari seribu korporasi. Kemudian
success storynya 25%, berarti 1.100 yang bisa dipidana itu. Kita saja baru berapa tadi,
korupsi satu, lingkungan hidup satu. Dua lah ya.
Penanya 4, Made dari Riau:
Ass. Wr. Wb. Saya Made Ali dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau. Saya mau
tanya kepada Pak Chandra, korupsi kehutanan di Riau itu kan ditangani oleh KPK
jamannya Pak Chandra, itu tahun 2008. Lalu, sampai sekarang sudah ada 2 Bupati, 3
Kepala Dinas Kehutanan, 1 Gubernur insya Allah mau sidang. Pertanyaan teman-teman
Riau, KPK ini penakut, dia cuma berani melawan 2 Bupati, 3 Kepala Dinas, 1 Gubernur.
Korporasinya mana? Kebakaran hutan yang terjadi di Riau sekarang banyak atau
tidaknya itu kan juga tanggung jawabnya KPK. Kalau seandainya pasca putusan Tengku
Azmun Jaafar KPK berhenti menangkap pejabat negara, langsung ke korporasi, saya kira
kebakaran lahan yang terjadi hari ini bisa diminimalisir. Itu pesan dari teman-teman di
Riau. Nah, 5 putusan korupsi kehutanan itu kan turut serta, Pasal 55 itu semua terbukti.
Kenapa KPK tidak langsung menangkap korporasi? Yang kedua, pendekatan money
laundering kan bisa dipakai, karena Pasal 55 terbukti, tindak pidana asal terbukti, kenapa
itu tidak dipakai? Misal ada aliran dana uang haram dari kerugian negara yang PSDADR
  38	
  
itu artinya RKT-nya illegal, masuk ke 20 perusahaan di Pelalawan dan Siak. Kenapa itu
tidak dipakai di jaman Pak Chandra maupun sampai sekarang? Ini jadi pertanyaan besar.
Padahal, laporan kawan-kawan di Riau itu fokus kita dulu korporasinya. Kalau kita lihat
kajian kawan-kawan, bukan menyalahkan hanya mengingatkan, kalau seandainya
korporasi bisa dijadikan tersangka, saya kira mereka akan jera. Mereka akan takut karena
ada efek jera. Ini kita katakan RKT anda ini illegal, mereka tetap saja jalan menebang
hutan alam, membakar lahan, ini secara sosiologis dan kondisi di Riau.
Lalu, misal kenapa KPK menggunakan pendekatan penghitungan PSDADR? Dari 5
kasus ini, kawan-kawan di Riau melihat bahwa KPK tidak punya visi penyelamatan
lingkungan. Kalau di bedah kasus kita, yang Pak Bambang Hero jadi ahlinya,
menggunakan penghitungan ekologis. Dalam kasus Burhanuddin Husin, KPK hanya
menemukan kerugian negara menggunakan pendekatan PSDADR itu cuma 500 milyar.
Kalau pendekatan ekologis-ekonomis, setidaknya 600 triliun. Kenapa ini digunakan? Ini
untuk memberikan efek jera dan keadilan abgi lingkungan yang sudah dirusak.
Lalu, ada 1 putusan yang paling menarik terkait korporasi, misal kasus pajak Asian Agri.
Itu putusan MA di kasasi itu di luar tuntutan dan dakwaan jaksa lho. Di situ majelis
hakim mengatakan bahwa mens rea-nya itu “karena diperintah oleh perusahaan”. Dia
juga mengakui meskipun secara formal menghukum membayar denda korporasi itu di
luar dakwaan, dia bilang menurut perkembangan dari sisi sosiologi hukum,
pertanggungjawaban korporasi bisa dilakukan. Ini saya kira putusan di pajak Asian Agri
itu juga putusan yang hebat saya pikir terkait korporasi. Yang perlu saya tekankan pada
KPK sebenarnya, kapan korporasi ini bisa dijerat money laundering kah, atau dijerat
dengan UU korupsi kah? Karena kalau kita lihat bukan undang-undangnya tidak ada,
memang penegak hukumnya, terutama di KPK. Saya kira itu ya.
Penanya 5, Rosalita:
Terima kasih. Saya ingin bertanya kepada Prof. Bambang mengenai penghitungan ganti
kerugian, saya masih sedikit kurang paham. Mengenai metode penghitungan ganti rugi,
apakah hanya menggunakan metode prinsip biaya penuh atau ada cara yang lain? Dan
kemudian apakah metode ini sudah pernah diterapkan dalam praktek hukum yang
diketahui Prof. Bambang?
  39	
  
Kemudian yang berikutnya yang ingin saya tanyakan adalah selain kerugian ekologis,
memang ada kerugian negara atau kerugian masyarakat. Dalam kerugian masyarakat ini
apakah termasuk kita mempertimbangkan dampaknya, misalnya ada banjir bandang,
kemudian longsor, sehingga ada kematian dan sebagainya, apakah diperhitungkan sampai
sedemikian? Terima kasih.
Penanya 6, Dio Ashar dari MaPPI FHUI:
Ass. Wr. Wb., saya Dio dari MaPPI FHUI, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
pertanyaan sebelumnya mengenai kerugian ekologis. Saya ingin menanyakan dalam
perkara korupsi ini sebenarnya apa yang menjadi hambatan ini sulit diterapkan di perkara
korupsi untuk kerugian ekologis ini? Karena seperti Prof. Bambang jelaskan kerugian
ekologis itu bisa dijadikan perhitungan angka. Apakah ada hambatannya dalam perkara
korupsi? Karena seperti yang kita ketahui untuk kerugian ekologis ini hanya sering
dipakai di tindak pidana lingkungan hidup saja. Terus, saya juga ingin menanyakan
masalah uang pengganti kepada Pak Chandra, seperti sebenarnya teknisnya untuk
eksekusi uang pengganti itu bagaimana dan berapa banyak yang bisa dikonversi menjadi
penjara pengganti? Itu saja pertanyaan dari saya. Sekian Wass. Wr. Wb.
Bambang Hero Saharjo:
Terima kasih. Seperti yang disampaikan tadi dan ini ada di Permen LH Nomor 13 tahun
2011, di samping metode tadi itu, ini digabung dengan metode approaching karena kita
tidak bisa, seperti yang disampaikan tadi, menduga misalnya harga seekor gajah. Itu salah
satunya pendekatan juga untuk menghitung. Kemudian, seperti tadi menghitung tata air,
kita juga akhirnya menghitung melalui pendekatan reservoir. Kemudian juga untuk
menghitung pelepasan emisi gas rumah kaca.
Yang kedua, sudah pernahkah digunakan? Sebetulnya tadi menyambung apa yang
disampaikan Pak Chandra, bibitnya itu lahir sejak tahun 2000 ketika kami menangani
kasus Adi Plantation. Memang sempat ditanya itu oleh majelis kerugiannya berapa?
Karena ketua majelisnya adalah hakim agung. Kenapa Pak? Itu harus diungkap supaya
kami bisa membayangkan seberapa dahsyat kerusakan itu. Akhirnya keluarlah angka itu.
Kemudian, 2006 baru disusun pedomannya. Kemudian secara legal formal baru di 2011.
  40	
  
Sudah kita cobakan di Kalista Alam, minggu lalu baru pemeriksaaan setempat, itu 1.000
hektar, 366 miliar. Begitu juga satu lagi yang di SPS, juga seperti itu.
Apakah juga termasuk menghitung dampak? Tentu saja. Sehingga, kalau dilihat di
rekonstruksinya, semua itu ada, tidak hanya ekonomisnya tapi juga ekologisnya.
Sebelumnya kita masukkan juga imaterial karena begitu kita dianggap sebagai negara
pengekspor asap, berapa nilainya? Kita tidak tahu. Dalam penghitungan itu kita
masukkan. Jadi, semua aspek itu kita perhitungkan. Hanya saja ada yang menarik, ketika
kami di lapangan saat itu, semua investor dan sebagainya mendukung apa yang dilakukan
perusahaan. Tetapi ketika mereka mendapat bagian dari ganti rugi yang mereka terima,
semua berebut menjadi orang yang paling berjasa menangani kasus ini. Jadi lucu ya,
tadinya lawan kita, sekarang merapat. Saya tidak tahu apakah ada pembagiannya,
misalnya untuk negara berapa, untuk provinsi berapa, untuk kabupaten berapa. Ini juga
perlu, ketika terjadi ganti rugi itu misalnya 10 miliar, harus betul-betul hitam di atas putih
ke mana perginya 10 miliar itu. Jadi akan lebih baik kalau ada pedomannya, sehingga kita
juga bisa mengawasi ke mana perginya uang itu.
Chandra Hamzah:
Terima kasih. Jadi begini, tadi saya sampaikan kasus korupsi yang dimulai berdasarkan
Pasal 2 dan Pasal 3 maka penyidikannya dan penuntutannya dimulai dari pegawai negeri,
dari pejabat negara. Kemudian, bagaimana dengan swastanya? Swastanya di-Pasal 55-
kan. Itu tipikal, selalu begitu. Pasal 3 lebih gampang membuktikannya dibandingkan
Pasal 2. Kenapa? Karena Pasal 2 sejak ada putusan MK, selain ada pelanggaran materiil
juga harus ada pelanggaran formal. Kalau Pasal 3, penyalahgunaan kewenangan, tinggal
dicari mens rea-nya. Dia punya kewenangan, kewenangan itu disalahgunakan untuk
kepentingan orang lain. Lebih gampang membuktikan Pasal 3, sekarang. Kemudian
bagaimana pengusahanya? Mesti dibuktikan bersama-sama. Dalam Tengku Azmun
Jaafar, kita bilang dia bersama-sama, ditolak oleh majelis hakim. Konstruksinya begini:
Kalau kebakaran saya tidak tahu ada hubungannya atau tidak, karena yang dilakukan
waktu itu bukan pembakaran tetapi penebangan. Kita tidak bisa menghukum terhadap
perbuatan yang tidak ada. Yang waktu dulu tidak dibakar tetapi ditebang, karena kayunya
bagus. Izin itu diberikan kepada siapa? Kepada PT A, PT B, PT C, PT D. Siapa yang
  41	
  
memberikan? Tengku Azmun Jaafar. Jadi siapa yang perlu dijadikan pelaku kejahatan
korporasi? PT A, PT B, PT C, PT D. PT A ini PT apa? PT bodong. Yang punya itu siapa?
Anaknya. PT B siapa? Tetangganya, supirnya, istrinya. Mereka kita jadikan tersangka?
PT ini PT kosong, tidak punya aset.
Penanya 4, Made dari Riau:
Cuma 7 perusahaan yang bodong, selebihnya itu…kan ada 15.
Chandra Hamzah:
Ya, ini kan bodong. PT ini milik dari saudara. Kemudian, dijual kepada big boss di
belakang itu. Begitu kan? Big boss ini apa dia mengurus izin? Tidak. Big boss ini
mengambil sesuatu? Tidak. Siapa yang mengambil sesuatu? PT A B C D ini. Dia yang
menipu, memalsukan dokumen. Kita nyatakan dia tersangka? Korporasi ini? Tidak ada
gunanya. Karena ini dijual ke sana, yang melakukan kejahatan itu PT A B C D.
Menyatakan ini sebagai tersangka? Saya pikir tidak ada gunanya.
Penanya 4, Made dari Riau:
Dan yang membeli PT itu, namanya Rosman. Hilang dia. Itu yang tidak pernah diburu
oleh KPK.
Chandra Hamzah:
Siapa bilang? Tidak pernah dan tidak berhasil itu dua hal yang berbeda.
Penanya 4, Made dari Riau:
Tapi faktanya KPK juga tidak memburu. Tidak pernah ada ekspos di media. Beda dengan
Nazaruddin misalnya.
Chandra Hamzah:
Memang waktu kita memburu Nazaruddin kita ekspos kita nguber-nguber ke Kolombia?
Memang waktu kita mau tangkap Nazaruddin kita bilang kita telah investigasi?
  42	
  
Penanya 4, Made dari Riau:
Tapi kan publik bisa tahu.
Chandra Hamzah:
Publik bisa tahu Nazaruddin di Kolombia setelah Nazaruddin ngomong di Skype.
Kita memburu, publik tidak tahu. Kalau kita biang hari ini kita memburu Rosman, ya
kabur lah dia. Tidak berhasil dengan tidak dilakukan itu dua hal yang berbeda. Karena
saksi kuncinya hilang sampai sekarang. Itu sebabnya.
Sekarang apakah yang di belakangnya mau ditindaklanjuti? Ya pimpinan sekarang, yang
jelas ini sudah dimulai. Saya boleh katakan korupsi di bidang kehutanan, mungkin KPK
sudah banyak memulai. Kita mulai dari pejabat? Ya, karena itu Pasal 2 dan Pasal 3. Tidak
mungkin Pasal 2 dan Pasal 3 dimulai dari swasta. Bagaimana menghukum orang yang
membantu sementara yang dibantu belum dihukum? Logikanya tidak nyambung.
Kenapa kita menghitung kerugian negara seperti itu? Kita tidak masukkan ekologi. Betul.
Karena yang dilakukan mereka apa? Menebang. Mereka tidak membakar.
Penanya 4, Made dari Riau:
Dan mereka juga melanggar amdal. Maksudnya, cantolannya ada. Karena penghitungan
PSDADR juga masuk dalam rangkaian penghitungan ekologis-ekonomis. Kalau hanya
memikirkan kayunya, sementara di dalam izinnya juga ada amdal, amdal inilah
lingkungan itu bisa masuk.
Chandra Hamzah:
Betul. Saya jelaskan dulu ya. Mereka tidak membakar waktu itu, mereka menebang,
memanfaatkan kayu dan mereka dapatkan uang dari kayu itu. Kemudian, kenapa kita
lakukan begitu? Begini, tidak ada penghitungan kerugian negara yang baku. Pasal 18
huruf b sebenarnya semi perdata. Di negara lain konsep 18 huruf b ini tidak ada. Yang
ada apa? Denda. Cuma dendanya berapa? Dendanya bisa seratus juta dolar, dendanya
besar. Konsep ganti rugi 18 huruf b di negara lain nyaris tidak ada. Karena itu mungkin
dalam perubahan UU Tipikor, kalau mau, kalau konsep ganti kerugian kita hilangkan,
kita buat denda lebih besar. Jadi, tidak perlu membuktikan kerugian keuangan negara.
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan
Penafsiran Kerugian Lingkungan

More Related Content

Similar to Penafsiran Kerugian Lingkungan

Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08
Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08
Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08People Power
 
proposal fatimah lukman.pdf
proposal fatimah lukman.pdfproposal fatimah lukman.pdf
proposal fatimah lukman.pdfssuserd389df
 
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...Oswar Mungkasa
 
Analisis Ekonomi Dampak Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo
Analisis Ekonomi Dampak Semburan Lumpur Panas di SidoarjoAnalisis Ekonomi Dampak Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo
Analisis Ekonomi Dampak Semburan Lumpur Panas di SidoarjoRepository Ipb
 
Sampah metropolitan terhadap perubahan iklim
Sampah metropolitan terhadap perubahan iklimSampah metropolitan terhadap perubahan iklim
Sampah metropolitan terhadap perubahan iklimVika Sarastya Prastiwi
 
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Luhur Moekti Prayogo
 
Hak Atas Air. Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama
Hak Atas Air. Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian PertamaHak Atas Air. Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama
Hak Atas Air. Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian PertamaOswar Mungkasa
 
Draft 240410 pedoman_umum_stbm
Draft 240410 pedoman_umum_stbmDraft 240410 pedoman_umum_stbm
Draft 240410 pedoman_umum_stbmnanang_wardhana
 
Pencemaran lingkungan dan kesehatan
Pencemaran lingkungan dan kesehatanPencemaran lingkungan dan kesehatan
Pencemaran lingkungan dan kesehatanLianatul Munjiah
 
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.docx
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.docxPERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.docx
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.docxUlyaAhdaSalsabila
 
Presentasi Makalah Pencemaran Lingkungan
Presentasi Makalah Pencemaran LingkunganPresentasi Makalah Pencemaran Lingkungan
Presentasi Makalah Pencemaran LingkunganAal Katanya
 
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...oswarmungkasa1
 
Dokumen amdal studi_kasus_analisis_dampa
Dokumen amdal studi_kasus_analisis_dampaDokumen amdal studi_kasus_analisis_dampa
Dokumen amdal studi_kasus_analisis_dampaFahmi Gagap
 
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Luhur Moekti Prayogo
 
Makalah pencemaran lingkungan
Makalah pencemaran lingkunganMakalah pencemaran lingkungan
Makalah pencemaran lingkunganRohman Efendi
 

Similar to Penafsiran Kerugian Lingkungan (20)

Makalah Pengling
Makalah PenglingMakalah Pengling
Makalah Pengling
 
Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08
Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08
Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08
 
proposal fatimah lukman.pdf
proposal fatimah lukman.pdfproposal fatimah lukman.pdf
proposal fatimah lukman.pdf
 
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...
 
Analisis Ekonomi Dampak Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo
Analisis Ekonomi Dampak Semburan Lumpur Panas di SidoarjoAnalisis Ekonomi Dampak Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo
Analisis Ekonomi Dampak Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo
 
Sampah metropolitan terhadap perubahan iklim
Sampah metropolitan terhadap perubahan iklimSampah metropolitan terhadap perubahan iklim
Sampah metropolitan terhadap perubahan iklim
 
materi-ttg-lingkungan-hidup.ppt
materi-ttg-lingkungan-hidup.pptmateri-ttg-lingkungan-hidup.ppt
materi-ttg-lingkungan-hidup.ppt
 
strategi pengelolaan
strategi pengelolaanstrategi pengelolaan
strategi pengelolaan
 
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
 
Hak Atas Air. Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama
Hak Atas Air. Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian PertamaHak Atas Air. Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama
Hak Atas Air. Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama
 
Draft 240410 pedoman_umum_stbm
Draft 240410 pedoman_umum_stbmDraft 240410 pedoman_umum_stbm
Draft 240410 pedoman_umum_stbm
 
Pencemaran lingkungan dan kesehatan
Pencemaran lingkungan dan kesehatanPencemaran lingkungan dan kesehatan
Pencemaran lingkungan dan kesehatan
 
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.docx
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.docxPERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.docx
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA.docx
 
KEL 1 ANPEL.pptx
KEL 1 ANPEL.pptxKEL 1 ANPEL.pptx
KEL 1 ANPEL.pptx
 
Presentasi Makalah Pencemaran Lingkungan
Presentasi Makalah Pencemaran LingkunganPresentasi Makalah Pencemaran Lingkungan
Presentasi Makalah Pencemaran Lingkungan
 
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...
 
Tugas hukum lingkungan
Tugas hukum lingkunganTugas hukum lingkungan
Tugas hukum lingkungan
 
Dokumen amdal studi_kasus_analisis_dampa
Dokumen amdal studi_kasus_analisis_dampaDokumen amdal studi_kasus_analisis_dampa
Dokumen amdal studi_kasus_analisis_dampa
 
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
 
Makalah pencemaran lingkungan
Makalah pencemaran lingkunganMakalah pencemaran lingkungan
Makalah pencemaran lingkungan
 

More from MAPPI FHUI - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia

More from MAPPI FHUI - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (20)

Peran kejaksaan sebagai dominus litis dalam kekisruhan kpk vs polri versi si...
Peran kejaksaan sebagai dominus litis dalam kekisruhan kpk  vs polri versi si...Peran kejaksaan sebagai dominus litis dalam kekisruhan kpk  vs polri versi si...
Peran kejaksaan sebagai dominus litis dalam kekisruhan kpk vs polri versi si...
 
Pembaharuan Kejaksaan (Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa)
Pembaharuan Kejaksaan (Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa)Pembaharuan Kejaksaan (Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa)
Pembaharuan Kejaksaan (Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa)
 
Pembaruan Sistem Pembinaan Karir Jaksa
Pembaruan Sistem Pembinaan Karir JaksaPembaruan Sistem Pembinaan Karir Jaksa
Pembaruan Sistem Pembinaan Karir Jaksa
 
Menunggu Perubahan dari Balik Jeruji
Menunggu Perubahan dari Balik JerujiMenunggu Perubahan dari Balik Jeruji
Menunggu Perubahan dari Balik Jeruji
 
Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa
Pembaruan Sistem Pengawasan JaksaPembaruan Sistem Pengawasan Jaksa
Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa
 
Panduan Pemantauan Peradilan
Panduan Pemantauan PeradilanPanduan Pemantauan Peradilan
Panduan Pemantauan Peradilan
 
Pembaruan Rekrutmen Calon Jaksa
Pembaruan Rekrutmen Calon JaksaPembaruan Rekrutmen Calon Jaksa
Pembaruan Rekrutmen Calon Jaksa
 
Pembaruan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI
Pembaruan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RIPembaruan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI
Pembaruan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI
 
Penelitian Maladministrasi di Lembaga Pengadilan
Penelitian Maladministrasi di Lembaga PengadilanPenelitian Maladministrasi di Lembaga Pengadilan
Penelitian Maladministrasi di Lembaga Pengadilan
 
Laporan Akhir Pelaksanaan Project Development of The Attorney General's Offic...
Laporan Akhir Pelaksanaan Project Development of The Attorney General's Offic...Laporan Akhir Pelaksanaan Project Development of The Attorney General's Offic...
Laporan Akhir Pelaksanaan Project Development of The Attorney General's Offic...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Tindak Pidana ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Tindak Pidana ...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Tindak Pidana ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Tindak Pidana ...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Gugatan Harta ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Gugatan Harta ...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Gugatan Harta ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Tentang Gugatan Harta ...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Mengenai Cerai Talak A...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Mengenai Cerai Talak A...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Mengenai Cerai Talak A...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Mengenai Cerai Talak A...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 1679-P...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 1679-P...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 1679-P...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 1679-P...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Gugatan Nona Nani Nura...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Gugatan Nona Nani Nura...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Gugatan Nona Nani Nura...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tingkat Banding Gugatan Nona Nani Nura...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Korupsi Atas PT Bank BNI Tbk (...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Korupsi Atas PT Bank BNI Tbk (...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Korupsi Atas PT Bank BNI Tbk (...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Korupsi Atas PT Bank BNI Tbk (...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 203-Pd...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 203-Pd...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 203-Pd...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perkara Perceraian (No. 203-Pd...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perbuatan Melawan Hukum oleh P...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perbuatan Melawan Hukum oleh P...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perbuatan Melawan Hukum oleh P...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Perbuatan Melawan Hukum oleh P...
 
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Kasus Pembunuhan Berencana di ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Kasus Pembunuhan Berencana di ...Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Kasus Pembunuhan Berencana di ...
Laporan Hasil Penelitian Putusan Hakim Tentang Kasus Pembunuhan Berencana di ...
 
Laporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPI
Laporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPILaporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPI
Laporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPI
 

Penafsiran Kerugian Lingkungan

  • 1. ð   PROSIDING  WORKSHOP   NASIONAL   MASYARAKAT  PEMANTAU  PERADILAN  INDONESIA  FHUI                                                                                       BEKERJASA  SAMA  DENGAN                                                                                                                                                       KOMISI  PEMBERANTASAN  KORUPSI                                                                                                                                   MSI/SIAP  1  -­‐  USAID                 2013     PENANGANAN  PERKARA  TINDAK  PIDANA  KORUPSI  TERKAIT   LINGKUNGAN  HIDUP  
  • 2.   1   DAFTAR ISI KERANGKA ACUAN KEGIATAN ...............................................................................2 A. PENDAHULUAN........................................................................................................2 B. TUJUAN ........................................................................................................................2 C. JADWAL DAN WAKTU KEGIATAN.....................................................................2 D. PESERTA.....................................................................................................................3 E. PEMBICARA...............................................................................................................3 F. KERANGKA ACUAN SUBTEMA ...........................................................................3 1. Subtema: Penafsiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan ...............................................................................3 2. Subtema: Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup ......................................................................................5 3. Subtema: Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi di bidang lingkungan hidup .........................................................................................6 NOTULENSI KEGIATAN...............................................................................................8 BAHAN PRESENTASI WORKSHOP NASIONAL ...................................................47 A. BAHAN PRESENTASI MAPPI-FHUI ...................................................................47 B. BAHAN PRESENTASI SUBTEMA PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA 49 C. BAHAN PRESENTASI SUBTEMAPENGENAAN UANG PENGGANTI ........61 D. BAHAN PRESENTASI SUBTEMA TANGGUNG JAWAB KORPORASI.......62 LAMPIRAN .....................................................................................................................67 A. DAFTAR HADIR ......................................................................................................67 B. FOTO-FOTO .............................................................................................................69
  • 3.   2   KERANGKA ACUAN KEGIATAN A. PENDAHULUAN Saat ini tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime, karena kejahatan ini sudah meliputi berbagai sektor penyelenggaraan negara dan menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, salah satunya korupsi di bidang lingkungan hidup seperti sektor kehutanan. Kejahatan korupsi di bidang lingkungan berbeda dengan kejahatan korupsi di bidang lainnya. Karena di dalam korupsi yang dilakukan di bidang ini kerugian negara yang timbul atas perbuatannya bisa berakibat hingga beberapa generasi ke depan. Untuk mendukung pemberantasan korupsi di bidang ini, maka MaPPI mengangkat tema beberapa isu terkait Penanganan Perkara Korupsi di Lingkungan Hidup untuk dibahas dalam Workshop Nasional. Terdapat beberapa sub tema yang akan didiskusikan dalam Workshop ini. Sub tema tersebut adalah: 1. Penafsiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan. 2. Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup. 3. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi di bidang lingkungan hidup. B. TUJUAN Penyelenggaraan Workshop Nasional bertujuan untuk: 1. Menggali perkembangan terkini terkait perkara korupsi di lingkungan hidup. 2. Menyebarluaskan peningkatan penanganan anti korupsi di lingkungan hidup 3. Sebagai forum dari stakeholder yang dapat mendorong penanganan anti korupsi di lingkungan hidup 4. Menyuarakan rekomendasi dan kontribusi pemikiran terkait penanganan perkara korupsi di perkara lingkungan hidup kepada pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pengadilan, penuntut umum, kepolisian, pemerintah, dan lain sebagainya. C. JADWAL DAN WAKTU KEGIATAN Workshop Nasional diadakan di Hotel Atlet Century pada tanggal 3 September 2013, dengan susunan acara sebagai berikut: 09.00 – 09.15 Sambutan dari Pjs Ketua Harian MaPPI FHUI 09.15 – 09.30 Prolog oleh Moderator
  • 4.   3   09.30 – 10.00 Pembicara Tema 1 10.00 – 10.30 Pembicara Tema 2 10.30 – 11.00 Pembicara Tema 3 11.00 – 12.30 Tanya Jawab 12.30 ISHOMA D. PESERTA Adapun peserta terdiri dari perwakilan pengadilan, kejaksaan, kepolisian, LSM, wartawan, akademisi, dan lain sebagainya. E. PEMBICARA Pembicara adalah pakar dibidangnya sesuai dengan tema yang akan dibawakan, yakni: 1. Sub tema “Penafisiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup” adalah Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. 2. Sub tema “Pengenaan uang pengganti” adalah Chandra Hamzah, SH., LLM 3. Sub tema “Tindak Pidana Korporasi” adalah Dr. Yunus Husein, SH., LLM F. KERANGKA ACUAN SUBTEMA 1. Subtema: Penafsiran dan Penghitungan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Saat ini tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime, karena kejahatan ini sudah meliputi berbagai sektor penyelenggaraan negara dan menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, salah satunya korupsi di bidang lingkungan hidup seperti sektor kehutanan. Kejahatan korupsi di bidang lingkungan berbeda dengan kejahatan korupsi di bidang lainnya. Karena di dalam korupsi yang dilakukan di bidang ini kerugian negara yang timbul atas perbuatannya bisa berakibat hingga beberapa generasi ke depan. Sehingga perlu adanya suatu perhitungan kerugian akibat dari perusakan lingkungan yang disebabkan oleh para pelaku koruptor atas perbuatannya kepada lingkungan hidup. Sehingga dalam melihat kerugian negara akibat kerusakan dari para pelaku koruptor lingkungan hidup perlu melihat kerugian negara dari sisi ekologisnya, yaitu kerugian negara berdasarkan kerusakan alam yang dibuat dari para pelaku perusak lingkungan. Di dalam negara kita juga tidak lepas dari masalah kerusakan lingkungan yang begitu besar dan masif. Berdasarkan hasil peta paduserasi TGHK – RTRWP pada
  • 5.   4   tahun 1999 misalnya, dari luas kawasan hutan alam diduga sekitar 120.353.104 ha, diperkirakan sudah terjadi degradasi hingga mencapai 50 juta ha (Haeruman, 2003). Hasil penafsiran citra satelit pun menguatkan bukti kerusakan itu. laju perusakan hutan alam tahun 1985 - 1997 tercatat 1,6 juta ha per tahun, tahun 1997 - 2000 tercatat 2,8 juta ha per tahun, tahun 2000 - 2003 laju kerusakan semakin tidak terkendali (Purnama, 2003). Akibat hilangnya hutan alam seluas 50 juta ha itu, Jika dinilai kerugian kayu nya saja, Indonesia diperkirakan sudah mengalami kerugian sebesar Rp 30.000 Triliun. Bahkan pada tahun 2008 lalu saja diperkirakan kawasan lahan negara yang terdegradasi bertambah luas sebesar 77,8 juta ha.1 Menurut Kepala Seksi Hubungan Masyarakat dan Informasi Perum Perhutani Unit 1 Jateng, Dadang Ishardianto, ia menyatakan “kerugian material akibat penebangan pohon memang tidak seberapa namun kerugian secara ekologis sebenarnya sangat besar, beliau menambahkan setiap pohon terutama yang berukuran besar memiliki nilai ekologis yang relatif tinggi karena mampu menampung air dua kali lipat ketimbang luas tajuk dan perakarannya”.2 Sehingga saat musim hujan, apabila satu pohon saja bisa menampung air yang sangat besar dan mencegah potensi banjir, bisa dibayangkan bagaimana efek dari banyaknya pohon terhadap mencegah potensi banjir yang sering melanda di negara ini. Korupsi di sektor lingkungan hidup tentu saja akan menyebabkan kerugian ekologis yang bersifat jangka panjang. Kerugian ini mungkin tidak terasa saat ini, namun bisa dibayangkan apabila lingkungan hidup semakin rusak, tentu saja akan banyak kerugian yang diderita oleh manusia secara keseluruhan, bisa saja alam rusak, bencana alam terjadi, manusia kehabisan sumber daya alam, efek rumah kaca dan kerugian-kerugian itu akan berdampak jauh lebih besar dibandingkan kerugian ekonomis yang diderita akibat kerusakan di sektor lingkungan hidup. Berdasarkan hal tersebut maka materi ini “Kerugian Negara atas Tindak Pidana Korupsi di Sektor Lingkungan” akan dibahas lebih lanjut di Workshop Nasional ini, dengan pokokbahasan sebagai berikut: a. Apakah ada perbedaan kerugian negara yang disebabkan dari tindak pidana korupsi di sektor lingkungan dengan tindak pidana korupsi di sektor lainnya? b. Bagaimana menghitung kerugian negara yang disebkan kerusakan pada sektor lingkungan. c. Bagaimana menerapkan kerugian negara di sektor lingkungan ke dalam sistem pembuktian di sistem hukum negara Indonesia                                                                                                                 1 Basuki Wasis, Scientific Evidence Dalam Perkara Kerusakan Lingkungan Hidup (Perusakan Akibat Pertambangan dan Ilegal Loging), (Kementerian Lingkungan Hidup dan Mahkamah Agung RI, 2011) hlm. 3 2 http://www.bumn.go.id/perhutani/id/publikasi/berita/banyak-kerugian-ekologis-dialami- 2 http://www.bumn.go.id/perhutani/id/publikasi/berita/banyak-kerugian-ekologis-dialami- perhutani/ diunduh pada tanggal 14 November 2012 pada pukul 20.57 WIB  
  • 6.   5   2. Subtema: Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup Uang pengganti yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) bertujuan untuk memperkuat pidana pokok penjara dan pidana denda yang dapat dijatuhkan bersamaan. Selain itu terlihat jelas bahwa pembuat undang-undang membuka peluang yang seluas-luasnya bagi para koruptor untuk mendapatkan hukuman terberat dengan harapan timbulnya efek jera dan terselamatkannya kerugian negara yang hilang akibat tindak korupsi tersebut. Berbeda halnya dengan pidana pokok penjara dan denda yang memiliki ancaman pidana minimal dan maksimal, Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No 31 Tahun 1999 hanya menyatakan bahwa besar pidana uang pengganti jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Selanjutnya Pasal 18 ayat 2 dinyatakan pula bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Pembuktian unsur dan kalkulasi kerugian negara kemudian menjadi penting untuk menentukan besar uang pengganti yang akan dijatuhkan pada pelaku. Selain itu perlu dibuktikan pula bagian harta terdakwa/pelaku korupsi yang mana yang memang diperoleh dari perbuatan korupsi yang didakwakan. Permasalahan lain juga timbul pada pidana Subsider atau pidana kurungan pengganti yang diatur dapat menggantikan pidana uang pengganti bagi Terdakwa perkara korupsi (Pasal 18 ayat (3)). Parameter penjatuhan Pidana penjara subside yaitu keadaan tertentu terdakwa tidak mampu membayar harus diatur dengan jelas agar tidak kontra produktif denga ntujuan awal dari uang pengganti itu sendiri yaitu memulihkan kerugian Negara. Sayangnya peraturan pelaksana yang mengatur lebih lanjut mengenai penerapan uang pengganti termasuk teknis pengelolaannya hingga masuk ke kas negara belum jelas, sehingga masing-masing instansi penegak hukum memiliki penafsiran yang berbeda. Perbedaan misalnya terlihat pada kasus Probosutedjo yang langsung menyetorkan uangpengganti pada Departemen Kehutanan untuk reboisasi sedangkan Terpidana kasus korupsi lainnya langsung membayarkan padaKejaksaan Negeri yang berwenang. Hal yang lebih kompleks timbul pada korupsi di sektor lingkungan hidup yang menyebabkan kerugian ekologis yang bersifat jangka panjang dan dampak yang lebih
  • 7.   6   luas dari kerugian ekonomis semata, seperti bencana alam, manusia kehabisan sumber daya alam, efek rumah kaca, dsb. Proses pemulihannya jelas lebih sulit dari sekedar pemulihan keuangan negarasemata. Terlebih karena teknis pengalokasian uang pengganti tersebut agar langsung dapat digunakan untuk memulihkan kerusakan lingkungan serta potensi kerugian ekologis tersebut tidaklah mudah. Berdasarkan hal tersebut maka materi ini “Penerapan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup” yangakan dibahas lebih lanjut di Workshop Nasional ini akan membahas poin-poin sebagai berikut: a. Apakah terdapat perbedaan dalam penetapan besar pidana uang pengganti yang perlu dikenakan dalam kasus korupsi di bidang lingkungan hidup dengan kasus korupsi pada umumnya? Bagaimana penerapannya? b. Parameter seperti apa yang harusnya digunakan agar penjatuhan pidana penjara subsider sejalan dengan penjatuhan uang pengganti? c. Mekanisme pembayaran seperti apa yang dapat dilakukan untuk memastikan proses pemulihan lingkungan hidup yang telah rusak akibat korupsi dapat dilakukan menggunakan uang pengganti? 3. Subtema: Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi di bidang lingkungan hidup Pada abad pertengahan, khususnya di Eropa, pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada kelompok, baik kepada keluarga, pemerintah daerah, serikat buruh, dan sebagainya. Akan tetapi, pada periode berikutnya, terjadi pergeseran pemikiran dari konsep pertanggungjawaban secara komunal menjadi pertanggungjawaban secara individu. Seiring dengan berkembangnya kehidupan masyarakat, korporasi mulai dikenal sebagai suatu entitas yang mampu melakukan kejahatan pada abad ke-20. Prof. Nico Keijzer berpendapat bahwa dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana menunjukkan telah terjadi pegeseran tujuan pemidanaan yang semula dianggap sebagai bentuk pembalasan semata (retributif) menjadi sarana untuk mempengaruhi dan menjaga anggota masyarakat agar berada pada jalur yang benar.3 Selanjutnya, perdebatan berkembang pada penentuan unsur kesalahan bagi korporasi yang melakukan tindak pidana dan memunculkan beberapa teori pertanggungjawaban korporasi seperti aggregation theory, vicarious liability, strict liability, identification theory, dan sebagainya. Penentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi pun beragam dengan melihat pada pihak yang bertanggungjawab dalam                                                                                                                 3 Nico Keijzer, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, disampaikan pada kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 24 Mei 2013.
  • 8.   7   tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, mulai dari penjatuhan denda hingga penutupan perusahaan selama beberapa waktu tertentu. Hal-hal di atas relevan untuk dibahas ketika membicarakan peran korporasi pada tindak pidana di bidang perekonomian, tak terkecuali pada tindak pidana korupsi di bidang lingkungan hidup. Hingga saat ini, hanya sedikit korporasi yang berhasil dijerat melakukan tindak pidana korupsi di sektor kehutanan dan penegak hukum hanya fokus memproses pejabat yang mengeluarkan izin atas kegiatan yang dilakukan oleh korporasi. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan akibat tindakan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi begitu masif dan meluas. Berdasarkan hasil peta paduserasi TGHK-RTRWP pada tahun 1999, misalnya, dari luas kawasan hutan alam diduga sekitar 120.353.104 ha, diperkirakan sudah terjadi degradasi hingga mencapai 50 juta ha yang diperkuat dengan hasil rekam satelit atas hal tersebut. Selain itu. laju perusakan hutan alam pada periode 1985-1997 tercatat seluas 1,6 juta ha per tahun, tahun 1997-2000 tercatat seluas 2,8 juta ha per tahun, dan pada tahun 2000-2003 laju kerusakan tersebut semakin tidak terkendali. Jika dinilai kerugian kayunya saja, Indonesia diperkirakan sudah mengalami kerugian sebesar Rp 30.000 triliun. Bahkan pada tahun 2008, diperkirakan kawasan lahan negara yang terdegradasi bertambah luas hingga 77,8 juta ha.4 Berdasarkan hal-hal di atas, materi “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan Hidup” pada Workshop Nasional ini akan diarahkan pada pembahasan hal-hal berikut: 1. Sejarah dan teori-teori yang berkembang mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi 2. Pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak pidana korupsi di bidang lingkungan hidup dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia 3. Tantangan dan hambatan dalam memproses korporasi yang melakukan korupsi di bidang lingkungan hidup                                                                                                                 4 Basuki Wasis, Scientific Evidence dalam Perkara Kerusakan Lingkungan Hidup (Perusakan Akibat Pertambangan dan Illegal Logging), (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011), hal. 3.
  • 9.   8   NOTULENSI KEGIATAN Berikut adalah notulensi penyelenggaraan kegiatan: Pembukaan oleh MC, M. Rizaldi Ass. Wr. Wb., Selamat pagi Bapak dan Ibu sekalian. Selamat datang saya ucapkan di Hotel Atlet Century Park dalam kegiatan Workshop Nasional MaPPI FHUI dengan judul Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Bidang Lingkungan. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.15, oleh karena itu kita mulai saja kegiatan pada hari ini. Dan untuk memulai kegiatan pada hari ini saya mulai dengan memanggil saudara Dio Ashar Wicaksana untuk menyampaikan sepatah dua patah kata dan sekaligus membukan kegiatan pada pagi hari ini. Kepada Saudara Dio saya persilahkan. Kata Sambutan Plt Koordinator Badan Pekerja Harian MaPPI FHUI, Dio Ashar Ass. Wr. Wb., Yang terhormat Bapak perwakilan dari KPK RI dan yang terhormat Bapak perwakilan dari Pengadilan Tinggi Jakarta, yang terhormat Bapak perwakilan dari Kejaksaan Agung dan yang terhormat Bapak perwakilan dari MSI, dan yang terhormat Mbak Sari selaku perwakilan dari FHUI, dan yang terhormat para hadirin sekalian yang saya hormati. Perkenankan saya mewakili MaPPI FHUI mengucapkan terima kasih atas kedatangan para hadirin sekalian. Pertama-tama sebelum acara ini dimulai saya ingin menjelaskan mengenai tujuan dari acara ini. Berhubungan dengan visi dari MaPPI FHUI di mana kami ingin berperan aktif dalam penegakan hukum dan pembaruan peradilan maka kami melakukan suatu kegiatan yang bernama bedah kasus perkara-perkara korupsi. Dalam kegiatan ini kami bekerjasama dengan dua lembaga lainnya yaitu Jikalahari dan LBH Surabaya, di mana dalam kegiatan bedah kasus ini kami melibatkan para ahli hukum, praktisi hukum dan para sumber yang independen yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang kami analisis. Salah satunya perkara yang kami analisis yaitu adalah perkara kasus Burhanuddin Husein yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pekanbaru. Di dalam perkara tersebut, kami melihat ada beberapa isu menarik yang
  • 10.   9   mungkin bisa dijadikan suatu tema untuk diskusi hari ini, yaitu pertama di isu perkara korupsi di lingkungan hidup. Kami melihat perkara yang melibatkan korupsi di lingkungan hidup ini banyak menimbulkan kerugian tidak hanya kepada negara, melainkan juga kepada masyarakat luas karena kerugian yang diakibatkan dari kejahatan ini tidak hanya bersifat ekonomis saja melainkan kerugian sumber daya alam yang akan berdampak bagi generasi ke depan. Kalau boleh saya mengutip pepatah dari Indian, jika pohon terakhir ditebang, jika sungai terakhir tercemar, jika ikan terakhir ditangkap maka dari situ kita menyadari bahwa kita tidak bisa memakan uang. Maka berdasarkan hal tersebut, kami dari MaPPI FHUI ingin menarik tema Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Lingkungan Hidup untuk dijadikan tema di suatu workshop nasional ini. Kurang lebih saya mewakili MaPPI FHUI mengucapkan terima kasih atas kedatangan kalian dan mohon maaf apabila ada kesalahan kata dan perbuatan yang kami lakukan. Sekian, Wa’alaikumsalam Wr. Wb. Pemanggilan para pembicara ke depan panggung oleh MC Terima kasih Saudara Dio dan tidak mengulur-ulur waktu lagi, langsung saja kita mulai acara utama kita pada pagi hari ini yang akan dipimpin oleh moderator Saudara Anugerah Rizki Akabari. Oleh karena itu, saya undang Saudara Anugerah Rizki untuk maju ke depan dan disusul dengan dua narasumber kita yang sudah hadir di tengah- tengah kita pada hari ini. Yang pertama, Bapak Prof. Bambang Hero Saharjo, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, kami persilahkan untuk maju ke depan. Yang kedua, Bapak Dr. Yunus Husein selaku pakar hukum untuk maju ke depan mimbar kita pada pagi hari ini. Baik, untuk memimpin jalannya diskusi kita pada pagi hari ini saya serahkan kepada Anugerah Rizki. Pemaparan Materi oleh Para Narasumber Moderator: Selamat pagi, Ass. Wr. Wb. Terima kasih kepada MC yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk memimpin diskusi kita pada pagi hari ini. Sebagaimana disampaikan oleh Plt Koordinator MaPPI bahwa kegiatan kita kali ini adalah rangkaian dari kegiatan bedah kasus yang telah kami
  • 11.   10   lakukan selama 5 bulan terakhir dan dari kasus-kasus tersebut, satu tema kami ambil karena menarik untuk kita bahas yang kebetulan akan kita diskusikan pada pagi hari ini, yaitu mengenai penanganan tindak pidana korupsi di sektor lingkungan hidup. Perkara ini menjadi menarik karena kerusakan-kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh korupsi-korupsi memang akhirnya berdampak sistematis baik dalam hal kerugian negara yang ditimbulkan, kerusakan lingkungan yang kemudian diakibatkan serta bagaimana cara untuk upaya pemulihan lingkungan. Bersama kami di sini telah hadir dua pembicara kita, yang pertama Prof. Bambang Hero Saharjo, beliau lahir di Jambi, 10 November 1964, dan merupakan guru besar di bidang Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor sekaligus Dekan Fakultas Kehutanan IPB. Dan yang kedua ada Bapak Dr. Yunus Husein S.H. LL.M., beliau pernah menjabat sebagai anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Ketua PPATK dan tenaga ahli di UKP4 Republik Indonesia. Dan satu lagi pembicara kita yang masih dalam perjalanan adalah Bang Chandra M. Hamzah, beliau adalah Wakil Ketua KPK bidang Penindakan dan Informasi dan Data pada tahun 2007-2011 serta praktisi hukum di Assegaf, Hamzah & Partners. Pada kesempatan kali ini, kita akan mebagi diskusi menjadi 3 tema penting. Yang pertama mengenai Penghitungan Kerugian Negara pada Kasus Korupsi di Sektor Lingkungan. Prof. Bambang di sini akan menjelaskan apakah ada perbedaan dalam hal menghitung kerugian negara di bidang lingkungan yang disebabkan oleh korupsi. Kemudian yang kedua adalah mengenai Tanggung Jawab Korporasi di Bidang Lingkungan yang akan dijelaskan oleh Bapak Dr. Yunus Husein berikut tantangan dan hambatan untuk memproses korporasi-korporasi yang terkait dengan korupsi di sektor lingkungan. Dan yang terakhir Bang Chandra akan membahas mengenai Pengenaan Uang Pengganti pada Kasus Korupsi di Bidang Lingkungan yang berkisar pada pembahasan apakah uang pengganti dapat menjadi sarana untuk memulihkan kerugian lingkungan yang diakibatkan oleh korupsi oleh pejabat-pejabat di daerah. Tanpa bermaksud berpanjang lebar, kami serahkan untuk pertama kalinya diskusi ini kepada Prof. Bambang Hero Saharjo untuk membahas mengenai Penghitungan Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi di Bidang Lingkungan. Kepada Prof. Bambang kami persilahkan.
  • 12.   11   Bambang Hero Saharjo: Terima kasih moderator. Bapak/Ibu yang saya hormati, Ass. Wr. Wb. Kesempatan baik bagi kami untuk sharing terhadap apa yang telah kami lakukan terkait dengan penghitungan kerugian negara. Dan apa yang akan saya sampaikan nanti juga sedang digunakan sekarang untuk kasus yang sedang berjalan di Rawa Tripa, selain kemarin sudah pemeriksaan setempat dan juga beberapa kasus lain. Kebetulan saya menulis ini berdua dengan Pak Basuki Wasis. Pak Wasis masih di TKP kebakaran di Riau. Saya juga baru pulang semalam, pulang duluan untuk bisa sharing dengan Bapak/Ibu (sambil memperlihatkan gambar-gambar di slide) Ini contoh saja, bagaimana asap itu membungkus kota Palembang. Ini seperti setelah Perang Dunia II, gelap semua. Berikut, ini adalah bagaimana kebakaran itu menghancurkan tanaman di kawasan lindung di daerah gambut. Jadi, sekarang yang terjadi itu apakah di Aceh, Kalimantan maupun Sumatera itu sebagian besar ada di daerah gambut. Berikut, ini adalah kondisi di lapangan, inilah yang terjadi dan berulang terus. Jadi, jangan pikir bahwa pohon itu tumbuh seperti tiang listrik di tengah lapangan sepakbola, tapi dia adalah bagian dari suatu ekosistem. Berikut, ini kasus di Kalimantan Tengah, setelah ditumbangkan, dibakar, kemudian dijadikan seperti itu. Silahkan Bapak/Ibu tebang dan bakar, setelahnya mau tanam jagung, silahkan dicoba saja. Alhamdulillah kami menang di kasasi. Berikut, ini di gambut di daerah Kalimantan Barat, sama kondisinya, hutan itu ditebang, ditumbangkan, kemudian dibakar dan sebagian dari ini juga masih belum alih fungsi. Sedihnya, ini malah bebas murni sampai di kasasi Mahkamah Agung. Berikut, ini yang di Riau, dulu hutannya seperti yang di atas itu, kemudian itulah hasil karyanya, yang di bawah. Ada 14 kasus kami angkat dan SP3. Sekarang terbongkar lagi. Jadi kalau kita lihat dari kondisi ini, kehadiran pohon itu kan bukan cuma patung, tapi dia juga hidup, melakkan proses fotosintesis dan sebagainya, dan sekarang setelah ditumbangkan kapasitas penyerapannya juga berkurang, satwa yang ada di dalam itu juga tidak tahu pergi ke mana, sementara itu yang busuk dari sisa penebangan juga mereka terdekomposisi sehingga melepaskan CO2 dan sebagainya. Nah, kalau kita memang tunduk dengan aturan, seharusnya tidak boleh dibuka itu karena perkembangan gambutnya itu melebihi 3 meter dan menurut aturan yang ada, Perpres 32
  • 13.   12   tahun 1990 dan sebagainya, lebih dari 3 meter itu harus dikonservasi. Temuan kami di lapangan yang lainnya juga, baik di Aceh maupun di Riau, terjadi juga seperti ini. Jadi, sekali lagi Bapak/Ibu sekalian, tonggak-tonggak itu tidak berdiri sendiri, dia adalah bagian dari suatu ekosistem. Berikut, ini di Sumatera Utara, di kiri-kanan dulu ada pohonnya, saya dulu sempat konsultasi dengan Pak Yunus waktu di Satgas PMH karena pelakunya itu Kapoldanya sendiri, istrinya dengan BIN. Ini contoh saja. Bukit itu dibongkar sama mereka supaya ada akses jalan. Sungainya dibendung dan sebagainya. Berikut, ini akibat pertambangan setelah dibuka jadilah seperti itu. Berikut, ini hasil karyanya, tambang pasir kuasa, pada kawasan lindung yang tidak berizin. Ini kalau dilihat dari atas, di daerah Bangka, dulu itu adalah hutan lindung, nah sekarang pertanyaannya kenapa jadi putih semua? Nah, itu adalah bagian dari upaya perusakan lingkungan. Kemudian, kita mulai kembali ke definisi-definisi yang ada supaya menjadi clear. Ini kadang-kadang sering ditukar antara kebakaran hutan dan lahan. Kalau kebakaran hutan itu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan yang menimbulkan tidak hanya kerugian ekonomis tetapi juga yang lain, misalnya kelemahan ilmu pengetahun dan/atau lingkungan hidup. Begitu juga dengan lahan. Di kita ini ada yang disebut dengan kawasan hutan, ada yang disebut hutan. Kawasan hutan itu meskipun tidak ada pohonnya, hanya alang-alang saja, selama itu belum dicabut maka statusnya tetap kawasan hutan sehingga tidak bisa langsung diubah menjadi kebun sawit. Tapi fakta di lapangan, begitu tidak ada lagi hutannya, tinggal semak belukar, ya masuk saja sawit dan sebagainya. Kemudian, lahan adalah suatu areal atau kawasan hutan baik yang bervegetasi, alang-alang, semak belukar dan sebagainya yang diperuntukkan bagi pembangunan di bidang pertanian. Jadi, untuk mengubah dari hutan menjadi lahan itu memang diperbolehkan menurut Pasal 19 UU 41 tahun 1999, harus melalui tiga, yaitu yang pertama adalah harus ada tim untuk melakukan evaluasi; yang kedua, persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; yang ketiga, harus dengan PP. Lucunya, PP itu baru keluar 2010. Menjadi pertanyaan, kalau sebelum itu apakah sah itu. Kemudian, beda antara pembakaran dan kebakaran. Kalau pembakaran itu, apinya yang seharusnya bergerak
  • 14.   13   normal suka-suka apinya tapi faktanya dia bisa milih. Kalau kita lihat di TKP kemarin, apinya bisa milih hanya di LC saja. Berikut, ini beberapa definisi saja. Yang disebut dengan pembalakan liar: untuk di kawasan hutan, penebangan di luar kawasan, pohon yang dilarang, penebangan oleh individu. Kemudian berikut, ini beberapa kegiatan yang termasuk pembalakan liar: penebangan di luar konsesi, pengubahan kawasan untuk kawasan lain, penebangan di luar kavling, penebangan hutan di kawasan lindung dan sebagainya. Berikutnya adalah perambahan, yang dimaksud perambahan adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Lalu, ini adalah indikasinya, yang pertama terdapat penebangan pohon, pemusnahan belukar dengan cara menebang, menebas, membakar. Kemudian ada pengolahan tanah untuk dijadikan ladang atau kebun jadi kawasannya dulu kawasan hutan tapi kemudian diubah menjadi ladang atau kebun. Kemudian terdapat benih atau bibit yang akan ditanam. Berikut, ini definisi pertambangan menurut UU 4 tahun 2009, adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, dan sebagainya. Kemudian wilayah pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara yang tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Berikut, ini pertambangan illegal; pertama, pertambangan di luar ijin, kemudian di luar kawasan tambang, kemudian penambangan tidak memiliki dokumen lingkungan, penambangan pada kawasan lindung, dan sebagainya. Berikut, kalau kita kembali ke UU 32 tahun 2009, perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Untuk kriteria baku itu mestinya selalu berubah sesuai kondisi lapangan baik di tingkat nasional maupun di lokasi kejadian. Kemudian, perusakan dan kerusakan itu beda, termasuk juga kriteria bakunya karena kriteria baku yang digunakan sekarang itu sudah perlu direvisi seharusnya karena berdasarkan tahun 2000. Berikut ini contoh saja bagaimana environmental destruction itu terjadi. Jadi, ini gambut di atas itu, kalau gambutnya utuh (tidak terjadi penurunan mutu air), maka air itu akan menggenangi gambut. Tapi dengan adanya kanal, maka water table
  • 15.   14   turun, di situlah kemudian terjadi aksi dan biasanya sebagian besar itu adalah pembakaran. Lahan gambut yang terbakar itu melepaskan emisi gas rumah kaca, mengurangi kapasitas penyimpanan air kemudian juga tidak bisa dia kembali lagi. Berikut, pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya (sengaja dan tidak sengaja) makhluk hidup, zat, energi, komponen ke dalam lingkungan hidup dari kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Baku mutunya ada sendiri. Nah, ini harus hati-hati. Kalau kita tidak paham soal baku mutu ini maka data itu akan memakan kita sendiri. Pernah kejadian kasus kebakaran, emisi yang dihitung menggunakan alat itu memang melewati baku mutu. Tapi pertanyaannya adalah apakah saudara yakin bahwa parameter gas yang didetect oleh alat itu memang berasal dari sumber karena pada saat itu untuk kasus kebakaran bisa saja dari berbagai tempat masuk. Jadi kita punya cara penanganannya dengan metode Seiler Crutzen. Crutzen ini peraih Nobel bidang kimia tahun 1995. Kalau dengan metode dia, clear. Kalau terjadi kebakaran satu hektar, dengan kondisi bahan bakar sekian, maka segitulah hasilnya. Berikut, ini contoh kalau kita memang ingin menghitung dampak dari asap. Kejadian tahun 2006, sumbernya kita semua tahu, kalau tidak Sumsel, Riau, Jambi. Setelah Pak Presiden minta maaf, kejadian lagi. Ini juga menjadi bahan pertimbangan kami ketika menghitung kerugian. Bahkan, kemarin itu sudah mendekati, definisinya sudah mentok, sudah lewat. Mestinya 300-400, itu sudah 900. Berikut, dalam perhitungan ganti kerugian ada beberapa tahapannya: kita lihat apakah ada perubahan sumber daya alam yang terjadi, kemudian kita asses, kemudian diassesnya itu kita harus mengenali karakteristik dari masing-masing sumber daya alam itu, kemudian berapa lama proses itu berjalan dan kemudian apakah proses kerusakan itu langsung atau tidak langsung dan seberapa besar proses perusakan itu dan kemudian setelah itu baru kita breakdown untuk mencari siapa yang paling bertanggungjawab. Karena biasanya kalau kita ke lapangan, oh itu punya masyarakat pak, atau kadang- kadang meskipun dia punya HGU-nya, oh itu HGU-nya punya kami pak tapi itu diambil oleh masyarakat. Jadi dari sana diasses, kita tahu apakah kepemilikan pribadi apakah kemudian korporasi dan sebagainya. Nah, ini juga ada aturan main, contoh misalnya di Permentan 26 tahun 2007 yang Pasal 6 itu, 25 hektar saja punya lahan kebun sawit itu harus memenuhi 13 hal: amdal dan sebagainya. Faktanya di lapangan itu yang punya 200
  • 16.   15   hektar sudah banyak, tidak ada yang berani nuntut. Padahal mestinya itu bisa kena proses, tidak punya ijin, tidak punya apa. Nah, itu yang kita klarifikasi di lapangan. Berikut, ini beberapa saja berbagai baku mutunya, yang mesti direvisi, misalnya akibat dari kerusakan itu menyebabkan erosi itu batasannya, untuk tanah 20 cm ambang kritisnya itu adalah 0,1 ton/hektar/tahun. Berikut, ini untuk yang lahan kering kita lihat untuk ambang kritisnya dan sebagainya, sehingga tentu saja ketika melakukan sampling itu kita gunakan kaedah-kaedah ilmiah seperti penelitian kecil. Jadi dari gambaran overall kemudian kita blocking, dari masing-masing itu kita sampling kemudian kita ambil sample yang kembali dari sample itu kita masukkan ke lab dan lab lah yang membunyikan ini. Dari lab itu lah kemudian keluar, itu yang kita berikan. Umpama kita ke lapangan, kasus kebakaran banyak yang mengatakan, oh itu pak dua bulan yang lalu, padahal kita sudah tahu ketika alang-alang itu baru 10 cm, itu paling lama 1 minggu. Ketika alang-alang sudah keluar bulir putih, itu paling lama 1 bulan. Sehingga dengan data itu kita tidak bisa dibohongi. Kalo kita iya-iya saja, bisa-bisa kita dimakan mereka. Berikut, ini contoh yang gambut, subsidennya seperti itu, kedalaman liquid, dan sebagainya. Ini kita gunakan baku mutu yang 150-2000 itu kita bandingkan dengan data yang kita ambil. Sayangnya, temen-temen di persidangan tidak paham yang seperti ini, kita jelaskan satu per satu. Berikut, untuk sampling ini kasus di Riau kemarin. Ke lapangan selain mengukur, kita ambil itu. Itulah yang menjadi kawan kami, itu setelah disita kita masukan di lab. Hasil analisa lab yang membantu membunyikan fakta sesungguhnya di lapangan. Jadi, betul-betul seperti penelitian karena dari sini bisa anda publish juga ke jurnal. Ini studi kasus di Riau, di PP 34 tahun 2002 mengatakan kalau membangun HP itu lahan kosong, padang alang-alang, semak belukar. Pertanyaannya, hebat sekali alang-alang di Riau, diameternya sampai hampir 20 meter. Itu dari Dinas Kehutanannya sendiri tidak tahu. Tapi untuk memastikan dia, dia paham tidak itu. Bahkan kita temukan, satu perusahaan besar setahun dia mengeluarkan 1,3 juta meter kubik. Berikut, ini sama, jadi ketika cek di lapangan juga, oh pak itu kami tanam pak, di dalamnya kan menurut peraturan menteri dan juga petunjuk teknisnya di dalam lubang tanam misalnya untuk sawit itu ada pupuk sekian, ada kapur sekian. Kalau kita percaya saja, lewat. Nah, kalau saya, kita rekonstruksi bangunannya, kita bongkar itu, baru lah di
  • 17.   16   lapangan kita tahu. Jadi, secara visual kita bisa lihat kemudian di bawahnya itu kita ambil sampelnya, kita bawa ke lab. Bisa kita lihat juga, kalau misalnya satu hektar itu perlu kapur sekian ton, kalau dia buka seribu, maka sekian ribu ton kapur itu harus ada. Lalu, kita tanya sama mereka, di mana gudangnya. Kita sampai berpikir ke arah situ gitu. Berikut, inilah yang membuat kewalahan kami tadi untuk mengumumkan siapa yang bertanggung jawab, yaitu siapa yang membuat kerusakan hutan atau lahan lingkungan tadi, siapa yang terkena dampaknya, kemudian bagaimana property guidenya, jenis dampaknya, besaran dampaknya, lamanya, dan jenis sumber daya alam dan lingkungan yang terkena dampak termasuk wilayah sumber daya alam. Seperti yang saya katakana tadi juga ketika kita melihat satu pohon itu, janganlah pernah berpikir bahwa pohon itu seperti tiang listrik di lapangan sepakbola. Tentunya itu adalah bagian dari suatu ekosistem karena kalau tidak, ini kita akan hilang semua ini. Berikut, sekarang sebetulnya secara legal formal sudah ada itu di Permen LH Nomor 13 tahun 2011. Berikut, ini pembuktian tadi, makanya tadi kita turun ke TKP, kemudian sampling, berdasarkan itu baru kemudian kita menghitung total kerugian yang terjadi. Berikut, ini yang pertanyaannya: berapa kerugian yang timbul, apakah semua kerugian yang timbul itu bisa dihitung, bagaimana cara menghitung kerugiannya, data apa saja yang dibutuhkan dalam penghitungan tersebut, jadi secara scientific ini yang kami lakukan di lapangan. Berikut, ini ada Metode Prinsip Biaya Penuh, ini mengacu pada prinsip bahwa penggunaan sumber daya alam harus membayar kerugian negara yang diakibatkan oleh perubahan pada sistem sumber daya alam dan lingkungan. Berikut, ini bisa juga pendekatan Nilai Dasar untuk mengestimasi nilai kerugian, karena kita tidak tahu, misalnya mati gajah di taman nasional, satu ekor itu berapa. Apakah dinilai dari gadingnya, apakah dinilai dari kilonya, tentu saja bisa. Berikut, kembali ini hanya mengingatkan saja bahwa pertimbangan yang harus dilakukan adalah harus menggunakan teknik yang valid, kemudian dapat diterima oleh institusi, dapat dikuasai pengguna dan yang paling penting yang terakhir, teknik yang digunakan sederhana dan tidak membutuhkan biaya besar. Apalagi kalau penyidik, JPU dan sebagainya, kalau sudah melihat angkanya besar kemudian mikir juga, makanya kita cari yang simple tetapi secara scientific dapat dipertanggungjawabkan.
  • 18.   17   Berikut, ini adalah jenis biaya dan kerugian yang menjadi perhatian, yang pertama adalah biaya kewajiban, kemudian biaya verifikasi dan pengawasan, biaya pemulihan, kemudian biaya atau nilai kerugian lingkungan, dan yang terakhir adalah nilai kerugian masyarakat karena masyarakat juga khususnya yang mendapatkan sesuatu tetapi dengan adanya ini malah tidak mendapat. Ini misalnya di sungai itu dihajar dengan peti, dulu masyarakat bisa ambil ikan dan sebagainya, sekarang karena itu tidak bisa. Berikut, ini ganti ruginya itu adalah ini ya, ada kerugian ekologis, ekonomis, pemulihan, kerugian masyarakat dan biaya yang dikeluarkan selama proses menghitung ganti rugi. Berikut, pertama, contoh saja ini, kalau lihat kebakaran maka tentu saja kita harus menghitung waktu kebakarannya. Kalau sehektar dua hektar kita bisa ukur dengan meteran dan sebagainya tapi kalau sudah seribu hektar tidak mungkin menggunakan meteran, kurang panjang. Jadi kita harus menggunakan GPS, itu setelah kita pastikan ground check karena hotspot itu tidak selalu sama dengan di BAP. Berikut, ini apakah dia gambut atau hutan, apakah dia penetrasinya dalam atau tidak, konsumsi bahan bakar dan sebagainya, termasuk pada akhirnya kita harus menghitung emisi gas rumah kaca. Berikut, ini contohnya persamaan Seiler Crutzen, ini simple tapi sebetulnya sudah jadi yurisprudensi. Ini data wajibnya, berapa karbon yang dilepaskan, termasuk juga CO2 yang dilepaskan, baik pada gambut maupun non gambut. Berikut, ini untuk yang jenis lain misalnya NH3, NOx, metan, O3 dan sebagainya. Berikut, ini untuk menghitung total bahan partikel, kebakaran itu kan menimbulkan partikel, ini bisa kita hitung. Berikut, barulah kita kemudian menghitung kerugian, jadi apa yang saya sampaikan di sini ini tidak turun dari langit. Tapi ini adalah hasil penelitian dari tim, dari ahli ekonominya, sumber daya alamnya, kehutanan, beberapa ahli lingkungan juga. Misalnya yang pertama kita hitung adalah fungsi tata air, ini persamaannya. Sebetulnya gampang saja, bisa berhitung pake quick count, selama kita punya data. Yang membedakan itu adalah di mana kejadian itu. Berikut, ini adalah pengendalian erosi dan limpasan, kita ke hutan dan sebagainya itu kita harus memperhitungkan juga bahwa kalau itu terganggu maka akan timbul erosi dan limpasan. Berikut, ini juga fungsi pengurai limbah, kita tahu biaya pada saat kejadian itu berapa lalu kita masukkan ke persamaan ini. Berikut, ini kita pake dua juta tujuh ratus, default, jadi kalau kita punya data yang lebih valid, itu akan lebih bagus. Misalnya kan ini
  • 19.   18   tentu saja beda antar asatu areal dengan kawasan yang banyak gajahnya, yang banyak harimaunya, atau yang cuma alang-alang. Itu tentu saja nilainya akan berbeda. Berikut, ini pemulihan kinetik, kita tidak pernah tahu bahwa lahan gambut yang dihancurkan tadi itu sebenarnya menghasilkan sesuatu. Berikut, ini biaya pelepasan karbon, jadi emisi yang kita lepaskan tadi kita hitung. Ini satu lagi biaya pengurangan kapasitas penyerapan karbon, jadi itu tadi tinggal dijumlah saja, kerugian ekologisnya. Berikut, ini kerugian masyarakatnya, tentu saja harga sekarang akan berbeda, tentu saja kita dapatkan setelah kita turun ke lapangan, itu adalah bagian dari kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan. Berikut, umur pakai lahan juga kita hitung karena akan beda, kemarin di lapangan juga terjadi perdebatan. Jadi secara alami khususnya untuk gambut, terjadi subsiden 0,5-0,6 cm per tahun. Itu juga perlu kita pertimbangkan untuk menghitung ini. Berikut, ini yang pertambangan, prinsipnya sama saja, tinggal ditambahkan berapa katakanlah emas atau tambang yang keluar dari sana. Berikut, ini jadi betul-betul kita anggap dia merusak itu betul merusak lingkungan tidak hanya ambil itunya kemudian pergi karena si bahan tambang yang diambil itu adalah bagian dari ekosistem yang rusak. Berikut, ini contoh saja di Sumatera Selatan, habis. Kejadiannya bukan kemarin sore, sudah puluhan tahun lalu pun kejadian cuma pertanyaannya itu dilaporkan atau tidak. Berikut, ini silahkan Bapak/Ibu bayangkan, untuk pemadaman seperti ini, sama seperti kemarin itu, di 2006, republik ini pernah sewa BE 200-2009, itu US$ 20 juta, 200 milyar. Pertanyaannya padam ga apinya? Padam. Karena apa? Karena hujan. Sementara yang 200 milyar tadi ke mana. Kawan-kawan saya di Rusia tertawa. Sebaiknya kalau bisa ini dihindarkan. Sewa ini per jam US$ 2000 sampai US$ 3000. Berikut, inilah harapan kita, mudah-mudahan, kalau kita bicara tentang kerusakan itu semua itu seperti itu. Itu adalah bagian dari ekosistem. Itu saja, terima kasih, Wass. Wr. Wb. Moderator: Terima kasih Prof. Bambang atas materinya yang sudah disampaikan. Dari pemaparan tadi kita dapat melihat bahwa sebetulnya kerugian yang diakibatkan oleh kasus-kasus kerusakan lingkungan sangat besar. Berikut tadi dijelaskan metode penghitungan kerugian negara serta gambar-gambar yang menunjukkan rusaknya hutan dan alam kita karena kasus-kasus korupsi di bidang lingkungan. Selanjutnya, setelah kita tahu kerugian
  • 20.   19   ini melebar ke mana-mana menarik untuk kita membahas bagaimana sebanarnya peran penegak hukum dalam kasus ini. Selanjutnya, Bang Chandra Hamzah selaku Mantan Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan dan Informasi dan Data, kita ingin tahu sebenarnya bagaimana waktu itu usaha kita untuk memulihkan kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi di sektor lingkungan dan termasuk pengenaan uang penggantinya karena di Undang-Undang Anti Korupsi disebutkan bahwa uang pengganti jumlahnya sebanyak-banyak harta benda yang diperoleh oleh terpidana dalam kasus korupsi. Kita ingin melihat bagaimana peran penegak hukum kemudian pidana tambahan yang bisa digunakan untuk merestorasi kerugian-kerugian ditimbulkan dari kasus lingkungan. Kepada Bang Chandra kami persilahkan. Chandra Hamzah: Terima kasih, Ass. Wr. Wb., selamat pagi. Hal yang pertama yang perlu kita pahami adalah bagaimana mengkonstruksikan suatu tindak pidana di bidang sumber daya alam menjadi korupsi. Apakah tindakan/peristiwa ini dapat dikategorikan sebagai perkara korupsi atau tidak? Di sini ada beberapa kasus yang pernah kita tangani, jadi waktu itu salah satu fokus kita adalah sumber daya alam. Kenapa sumber daya alam? Alasannya sangat sederhana: kalau APBN itu ada batasnya. Katakanlah APBN kita 1 triliun. Terhitung. Kalau semuanya dikorupsi sama siapapun, ya 1 triliun. Tapi kalau sumber daya alam itu tidak ada batasnya. Siapa yang bisa hitung? Berapa harga hutan kita? Berapa harga tambang kita? Itu tidak terhitung dan ini jauh lebih besar dibandingkan korupsi APBN. Bukan APBN menjadi tidak penting, tetap penting. Berapa korupsi di migas, berapa korupsi di batubara, berapa korupsi di kehutanan, itu tidak terhitung. Dan sebagian orang merasa ini bukan korupsi, tidak merugikan negara karena tidak ada uang APBN yang diambil. Kemudian, bagaimana kita mengkonstruksikan suatu peristiwa kejahatan di bidang lingkungan hidup atau sumberdaya alam bisa dikategorikan sebagai kasus korupsi. Kita ambil beberapa contoh. Di sini ada kasus, yang pertama Al Amin Nasution, ini dituntut dengan Pasal 5. Kemudian Tengku Azmun Jaafar, ini kita tuntut dengan Pasal 3. Pasal 2 dan Pasal 3. Nah, kenapa kita pakai Pasal 2 dan Pasal 3? Jadi, sebenarnya ada sedikit anomali di UU Korupsi. Anomali itu begini: bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 adalah pasal
  • 21.   20   umum. Di dalam Pasal 2 ada melawan hukum, Pasal 3 ada menyalahgunakan kewenangan. Apa itu melawan hukum? MK sudah bilang, melanggar formal dan material. Pasal 2 melawan hukum, Pasal 3 menyalahgunakan kewenangan. Ini seharusnya dapat dikategorikan sebagai pasal umum. Kemudian, pasal-pasal selanjutnya, Pasal 5 penyuapan, pemerasan, penggelapan dan selanjutnya itu harusnya pasal khusus. Tetapi hukumannya harusnya pasal khusus lebih besar daripada pasal umum. Tetapi ternyata Pasal 2 dan Pasal 3 hukumannya jauh lebih berat dibandingkan Pasal 5, Pasal 7, Pasal 12. Itu salah satu anomali. Saya ambil contoh klasik, 338 dan 340. 338 pembunuhan saja, 340 pembunuhan dengan perencanaan, spesifik. 340 lebih berat dibandingkan 338. Nah, kalau kita lihat Pasal 5, suap, apakah menerima pemberian dalam bentuk apapun itu adalah melawan hukum? Iya harusnya. Atau memberi, apakah itu melawan hukum? Iya harusnya. Jadi, Pasal 5 dan selanjutnya sebetulnya terabsorb oleh Pasal 2 dan Pasal 3. Tetapi kenapa hukuman Pasal 2 dan Pasal 3 lebih berat dibandingkan Pasal 5 atau Pasal 12? Beratnya di mana? Salah satunya indikasinya adalah hukuman penjara. Pasal 2 dan Pasal 3 bisa 20 tahun. Pasal 5 maksimum cuma 5 tahun. Coba lihat kasus Al Amin Nasution, penjara 8 tahun. Dia ini tadi Pasal 5, apakah ia bisa dikenakan uang pengganti atau tidak? Kalau di Pasal 5 tidak ada itu. Jadi, ini anomali konstruksi dari UU Tipikor. Coba lihat Pasal 2, unsur paling pentingnya ini melawan hukum. Kemudian Pasal 3, intinya di Pasal 3 itu penyalahgunaan kewenangan. Kemudian, coba lompat ke Pasal 18 yang a, selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud KUHAP, perampasan barang bergerak, berwujud, yang digunakan atau diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi itu dilakukan. Ini belum pernah dilakukan. Pertanyaannya adalah apakah uang pengganti itu adalah termasuk yang ini? Beda kan? Jadi, uang pengganti kerugian itu on top dari yang a. Jadi kalau kita ingin memaksimalkan si terpidana maka gunakanlah yang a. Ini tidak ada hubungannya dengan uang pengganti, yang digunakan, instrumen untuk melakukan kejahatan. Ini sesuai dengan Pasal 39 KUHP, barang-barang yang diperoleh atau digunakan untuk melakukan tindak kejahatan bisa dirampas. Yang b, membayar uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Pertanyaan: apakah yang B ini hanya bisa
  • 22.   21   digunakan untuk pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3? Kenapa tidak bisa digunakan untuk Pasal 5? Di sini tidak disebutkan lho bahwa yang b ini harus cuma Pasal dan Pasal 3. Sebagian orang bilang karena kerugian negara ada di Pasal dan Pasal 3, maka hanya bisa digunakan di Pasal 2 dan Pasal 3. Unsur kerugian negara tidak ada di Pasal 5 maka ini tidak bisa digunakan. Kenapa kita tidak pernah coba Pasal 98 KUHAP? Saya bacakan: jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan menimbulkan kerugian bagi orang lain maka hakim ketua sidang atas permintaan orang tersebut dapat menetapkan menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana. Jadi, kalau JPU perkara pidana menggunakan Pasal 5 untuk pejabat yang menerima suap, maka Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara (JPN) bilang negara telah dirugikan, masuk Pasal 98 KUHAP, gabungkan, hitung kerugian negara dengan Pasal 98. Dan ini belum pernah dilakukan. Jadi, pertama, yang a bisa dimaksimalkan. Yang b uang pengganti, apakah ini bisa digunakan untuk pelanggaran Pasal 5? Sebagian orang bilang bisa, sebagian lagi tidak bisa. Maka, kalau dianggap tidak bisa, gunakanlah mekanisme Pasal 98 KUHAP. Kalau kembali ke yang pertama, seluruh perkara korupsi harusnya, baik suap, baik pemerasan, menerima atau memberi suap, tuntutan utamanya itu Pasal 2 dan Pasal 3. Jadi kalau kembali ke kasus Al Amin, harusnya ini jangan dituntut Pasal 5. Pasal 2 atau Pasal 3, subsider baru Pasal 5 karena unsur melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, masuk itu. Pasal 2 dan Pasal 3 itu adalah pasal yang mengabsorb seluruh perbuatan melawan hukum, menyelahgunakan kewenangan yang ada di Pasal 5 dan selanjutnya. Untuk apa? Supaya ganti kerugian negara bisa diambil. Yang kedua, kalau kembali ke Pasal 18, maka yang a ini harus dipahami sebagai di luar uang pengganti, ini harta benda yang digunakan dan hasil instrumen dan benefit dari hasil korupsi. Yang b pemidanaan uang pengganti, kalau seandainya hakim pengadilan berpendapat Pasal 5 tidak ada uang pengganti, maka apapun yang terjadi Jaksa JPN bilang bahwa negara telah dirugikan, masuk lewat mekanisme Pasal 98 KUHAP. Bagaimana tata caranya? Sayangnya, Mahkamah Agung belum pernah mengatur. Mungkin saya yang salah ya. Kan biasanya “belum ada hukum acaranya, karena belum ada hukum acaranya tidak bisa dijalankan.” Itu argumentasi yang nyebelin tetapi valid karena hukum acara bersifat positif, yang
  • 23.   22   diatur itu yang dilakukan, yang tidak diatur tidak boleh dilakukan. Beda dengan hukum material. Coba kita kembali ke kasus Tengku Azmun Jaafar, ini kita kategorikan sebagai upaya yang sedikit berputar untuk bilang bahwa ini korupsi. Pertama, penyidik harus tahu yang namanya industri, kalo ini kan perkebunan ya, Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu, Hutan Tanaman…IUPHHH. Kenapa kasus ini terjadi? Bisa tidak terdeteksi? Karena begitu IUPHHH, sebutnya IUP saja ya, itu keluar, tahun berikutnya di RKT sudah ada rencana penebangan sekian banyak pohon. Pertanyaan kita adalah memangnya pohon umurnya satu tahun? Kemudian, akhirnya kita melakukan penyelidikan. Jadi, karena kita tahu persis apa yang dinamakan IUP, kemudian yang namanya RKT, yang namanya nanam pohon kalau di atas tanah yang ilalang itu 5 tahun, tidak mungkin RKT menebang sekian banyak, berarti ini land clearing. Land clearing ada batasannya. Kalau ini berarti IUP-nya diterbitkan di atas hutan alam. Kenapa dia bisa bikin RKT satu tahun sekian banyak kubik kayu. Siapa yang salah? Kalau begitu PT-nya tidak salah dong karena PT- nya dapat izin. IUP-nya ada? Ada. Dia land clearing boleh? Boleh. Jadi siapa yang salah? Pemberi izin. Pemberi izin ngasih izin. Karena itulah kita bawa Azmun Jaafar. Tetapi permasalahannya adalah PT yang melakukan pembersihan itu bilang “saya tidak mengurus izin, saya beli PT lain, yang mengurus izin bukan saya, saya jangan disalahkan.” Ternyata PT lain itu adalah PT keponakannya Tengku Azmun Jaafar. Jadi kita bangun konstruksi Tengku Azmun Jaafar membuat PT-PT sebagai kendaraan dan Tengku Azmun Jaafar uang masuknya tidak ada tuh yang masuk ke rekening dia. Tengku Azmun Jaafar membuat PT-PT atas nama supirnya, istrinya, anaknya, keponakan, keluarganya dan diberikanlah IUP kepada itu dan PT itu dijual kepada si big boss PT besar itu. Kira-kira begitu. Korupsinya di mana? Korupsinya Pasal 3, Tengku Azmun Jaafar dengan kewenangan dia selaku Bupati menerbitkan izin kepada PT-PT dan kemudian untuk mendapatkan keuntungan. PT itu dijual, anaknya dapat uang, supirnya dapat uang. Jadi, yang pertama perlu dilakukan penyidik adalah penyidik harus tahu persis business process dari suatu industri. Kalau tidak, izinnya ada? Ada, selesai. SP3. Tapi kita lihat, tidak mungkin RKT timbul hanya satu tahun semenjak IUP. Tidak mungkin. Jadi, bukan hal yang mudah membuat suatu peristiwa dan peristiwa itu peristiwa pidana dan pidana itu adalah pidana korupsi. Kalau ini kita muter otak berkali-
  • 24.   23   kali ini akhirnya dapat. Permasalahannya sekarang big bossnya, konglomerasinya itu belum kena. Kenapa belum kena? Agak susah menjaring dia karena dia beli dari PT, pembelian beritikad baik. Jadi, pertama saya boleh sarankan seluruh perkara korupsi itu lebih bagus digunakan Pasal 2 dan Pasal 3, untuk seluruh perkara korupsi. Subsidernya baru penyuapan dan lain- lain. Kemudian untuk ganti kerugian, kalau untuk Pasal 2 dan Pasal 3 sudah pasti ada ganti kerugian. Tetapi kalau dia dikenakan di Pasal 5, maka gunakan Pasal 98 KUHAP, di mana orang yang dirugikan bisa menggabungkan tuntutan. Itu memang perlu JPN, siapa dirugikan? Negara harus dinyatakan dirugikan. Berapa jumlah kerugiannya? Prof. Bambang yang hitung, penyidik tidak akan bisa hitung. Waktu kita hitung Tengku Azmun Jaafar, kita hitung menggunakan helikopter karena tidak mungkin menggunakan meteran. Jadi, kondisi sebelum dan kondisi sesudah. Kondisi sebelum, tegakan sekian jumlahnya dengan tingkat kerapatan sekian, diameternya sekian dari titik sana sampai titik sana diukur, dikalikan. Hal yang lain yang perlu saya sampaikan, tadi IUP diberikan di atas kawasan hutan, pertanyaannya adalah kita tidak punya peta kawasan hutan yang satu. Setiap orang punya peta. Bupati punya peta, Kehutanan punya peta. Untuk menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan hutan, itu tidak ada peta sehingga Bupati bilang ini bukan kawasan hutan. Saya bilang: ini kawasan hutan, ada SK Menteri Kehutanan. Jadi, perdebatan- perdebatan di situ yang tidak pernah selesai. Jadi, kalau ingin menyelamatkan hutan salah satu proyek yang harus dilakukan adalah adanya peta tunggal mengenai kawasan hutan. Saya pernah minta di KPK untuk minta donor untuk suatu pilot project di 2 atau 3 provinsi, untuk dilakukan pemotretan udara kemudian minta Menteri Kehutanan untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan. Perdebatannya adalah “Pak, kalau kita nyatakan suatu kawasan itu kawasan hutan dan memang kawasan hutan, titik koordinatnya kawasan hutan, tetapi ternyata ini tanah tandus.” Saya bilang saya tidak peduli, yang penting tetapkan dulu itu kawasan hutan, mau ini sudah jadi ilalang atau apa, saya tidak peduli. Bahwa ini ilalang, faktual, tidak apa-apa, nanti kita bereskan pelan-pelan, tetapi sudah ada kepastian ini kawasan hutan, ini bukan. Buat pengusaha ini juga penting, pengusaha bisa bilang: oh ini jelas bukan kawasan hutan, saya berusaha bukan di kawasan hutan, jangan salahkan saya.
  • 25.   24   Jadi, ini beberapa pandangan untuk mengkonstruksikan suatu perbuatan menjadi tindak pidana dan tindak pidana itu kita kategorikan sebagai korupsi. Kedua, memaksimalkan uang pengganti kerugian negara. Mungkin itu sedikit gambaran dari saya, terima kasih, Ass.Wr. Wb. Moderator: Terima kasih Bang Chandra atas pemaparannya yang sangat menarik dan faktual mengenai rekonstruksi peristiwa pidana menjadi korupsi di bidang lingkungan, kemudian bagaimana cara kita untuk memaksimalkan penegakan hukum korupsi di sektor lingkungan. Tadi ada satu statement menarik dari Bang Chandra mengenai sulitnya memproses korporasi-korporasi yang terlibat dalam sektor lingkungan. Oleh karena itu, pembicara kita selanjutnya Pak Yunus Husein akan mencoba untuk menggali bagaimana sebenarnya konsep hukum pidana mengenai pertanggungjawaban korporasi serta tantangan dan hambatannya dalam penegakan hukum nasional. Kepada Pak Yunus kami persilahkan. Yunus Husein: Terima kasih atas waktu yang diberikan. Selamat pagi, Ass. Wr. Wb. Senang bisa jumpa pagi ini turut berbincang-bincang mengenai pidana korporasi terkait dengan tindak pidana yang berkaitan lingkungan hidup. Dalam pembahasan saya ini saya tidak menyinggung UU Lingkungan Hidup karena kami di UKP4 pernah meneliti 9 undang-undang yang terkait dengan pelanggaran di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam, termasuk kehutanan yang UU 41 tahun 1999. Korporasi ini memang selama ini tidak banyak dikejar. Padahal dalam praktek internasional, pencucian uang misalnya, itu korporasi sudah banyak dipakai, baik korporasi yang dicampur untuk kegiatan-kegiatan atau sumber-sumber tidak sah, apalagi yang sengaja dibuat. Dalam kasus Nazaruddin saja 158 korporasi dipakai untuk tender di mana-mana. Korporasinya belum pernah dikejar. Dalam kasus, korporasi baru ada satu saja yang dipidana di Kalimantan Selatan. Dalam bidang lingkungan hidup baru ada satu atau dua, saya baru dengar ada satu di Kalimantan Tengah, satu lagi di Bekasi. Memang sudah saatnya bukan saja pelaku natural yang dikejar tetapi juga pelaku korporasi
  • 26.   25   walaupun dia memang tidak punya akal, tidak punya kesadaran tetapi bisa mencari untung, bisa juga berbuat kesalahan melalui orang-orang yang me-manage perusahaan itu. Kalau kita lihat perkembangan dalam praktek internasional pun, sejak tahun 1976 sudah ada, korporasi sangat jelas, kemudian konvensi di Eropa, angket UN Convention Against Corruption, kemudian UN Convention Against Corruption, semuanya sudah memperkenalkan korporasi yang bisa dimintai pertanggunjawaban. Di Indonesia ini penegak hukum itu kurang begitu nafsu mengejar korporasi. Saya kurang tahu, saya berkali-kali tanya, Pak Ramlan saya pernah tanya, mungkin pemahamannya yang kurang, mungkin juga karena kalau orang lebih mudah. Memang jarang sekali sehingga ada 2 hal yang kami coba lihat: pertama, penegakan hukum di beberapa daerah, termasuk mengejar korporasi ini, di Kalimantan Tengah, di Aceh, Kalimantan Barat, Pak Bambang ini selalau menjadi ahli bersama Pak Wasis, terus terang tidak gampang menegakkan hukum di bidang kehutanan. Mencari ahli seperti beliau sangat sangat susah, sangat jarang dan belum tentu berani kalaupun ada. Harus turun ke lapangan, melihat koordinatnya, menghitung ganti kerugian dan sebagainya. Celakanya lagi kita ajukan ahli dari sini, dari instansi pemerintah yang sama memberikan ahli yang mewakili pihak lawan/terdakwa. Itu terjadi sampai sekarang. Jadi kita ajukan ahli dari sini, dari sana ada ahli dari instansi pemerintah juga. Ini membuat kita agak susah menegakkan hukum. Jadi, totalnya kasusnya ada sekitar 27 yang sedang ditangani, itu 5 di Aceh, 1 di Kalimantan Barat, 14 di Kalimantan Tengah, 7 lagi di Riau pembakaran hutan HTI. Kami juga sedang kirim orang dan memang dari grup-grup besar juga, dia dia juga. Kira-kira kita semua sudah tahu ya, ada yang pakai sinar-sinar, ada yang pakai garuda. Jadi, kalau dia buat iklan di TV, Sinar Mas dimulai dengan menanam terus jadi kertas Al-Qur’an segala macam itu iklan lebih banyak bohongnya itu. Itu menyesatkan itu. Cuma celakanya lagi Sinar Mas ini selalu jadi sponsor, selalu dilibatkan khusus sponsor utamanya dia di Istana. Makin lama makin kuat dia. Sekarang kita coba lihat materi bagaimana pertanggungjawaban korporasi dalam hukum di Indonesia pada umumnya yang terkait dengan lingkungan hidup pada 9 undang- undang tadi dan dari sini akan kelihatan sebenarnya politik hukum itu tidak jelas mengenai pemidanaan korporasi, sangat bervariasi. Pengertian korporasi, di sini saya
  • 27.   26   kutip saja dari UU TPPU dan Tipikor, adalah perkumpulan orang atau harta kekayaan baik berbadan hukum atau tidak. Itu tidak harus bentuknya PT. Terus, ini KUHP kta kan sudah dari jaman Belanda jadi belum mengatur ini, kebanyakan diatur di luar KUHP. Terus, ini menurut Pak Remy sebetulnya saya kutip ini, jadi bisa korporasi berbuat korporasi yang bertanggungjawab, korporasi berbuat pengurus yang bertanggungjawab, dan dalam UU 41 tahun 1999 pengurus berbuat dia yang bertanggungjawab, bisa juga korporasi dan pengurus sebagai pelaku dan kedua-duanya dimintai pertanggungjawaban. Itu beberapa kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ini juga mengutip dari buku dan sebenarnya pernah saya sajikan di seminar Maret yang lalu di Hotel Meridien, ada strict liability, kalau strict liability ini dia otomatis dianggap bertanggungjawab, tidak perlu pembuktian segala macam pokoknya kalau terjadi, tanggung jawab. Vicarious liability artinya orang menggantikan tanggung jawab dari orang lain yang berbuat. Delegation ini terkait dengan perusahaan-perusahaan karena mendelegasikan sesuatu kepada pegawainya maka kalau ada apa-apa dia yang mengambil alih tanggung jawab tadi. Doctrine of identification, teori identifikasi, jadi dilihat siapa yang melakukan, kalau perusahaan diidentifikasikan dari pelaku fungsionalnya atau direksinya, dari sana bisa diidentifikasikan bahwa yang bertanggungjawab adalah korporasi. Aggregation ini melihat culture, melihat tidak hanya satu atau dua yang di atas tetapi lebih banyak menyeluruh. Kemudian ada gabungan. Berikutnya, ini bentuk pidana terhadap korporasi, ada pidana pokok. Pidana pokok itu biasanya denda karena korporasi tidak bisa dipenjara, tidak bisa dikurung. Kemudian pidana tambahannya macam-macam, tergantung dari undang-undangnya dan sangat sangat bervariasi. Terus, ada beberapa yang mengatur pidana korporasi di lingkungan hidup misalnya UU Minerba, UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, UU Tata Ruang, UU Tipikor, UU TPPU, UU Kepabeanan. Ada juga yang tidak mengatur sama sekali, misalnya UU Perkebunan, padahal di Indonesia itu yang punya kebun justru korporasi, mereka rata-rata punya di atas 10.000 hektar. Dan kalau tahu siapa yang punya kebun- kebun sawit itu kita miris ya, yang punya itu banyak konglomerat tadi, Garuda Mas, Sinar Mas, dia dia juga di seluruh Indonesia itu. Jadi, sangat beragam pengaturan. Beragamnya baik dilihat dari perumusan deliknya, ada yang pakai penegakan formal, material, baik mengatur mens rea-nya beda-beda, kemudian mengatur siapa yang
  • 28.   27   bertanggung jawab sangat berbeda, persyaratan-persyaratan itu sangat berbeda. Kemudian yang terkait dengan lingkungan hidup ada 2 kasus di sini, PT Giri Jaladhi Wana ini tipikor di Kalimantan Selatan, kemudian ada PT Dongwoo Environmental Indonesia itu di Bekasi, lingkungan hidup ya pakai undang-undang yang lama. Ada 3 orang yang terkena, korporasinya kena, dirutnya kena, sama pelaku di lapangan kena. Jadi, korporasi kena, pelaku fungsional Presdir sama Direkturnya kena sama pelaku lapangan, salah satunya supirnya kena, supir yang buang limbah B3 yang mengakibatkan masyarakat ada yang batuk-batuk, pusing-pusing, mual dan lain sebagainya. Itu terjadi tahun 2006. Kemudian, ini yang PT Dongwoo Environmental Indonesia tadi, mereka inkracht di tingkat Mahkamah Agung pada tahun 2010, pelaku lapangannya kena 2 tahun, sementara Presiden Direktur dan Direkturnya kena cuma 6 bulan saja. Kemudian denda terhadap korporasi Rp 650.000.000. Kemudian PT itu ditutup, ada perampasan beberapa keuntungan yang diperoleh dari…katakanlah dia lalai menangani masalah B3 ini. Terus, ini contohnya beberapa perumusan saja ya. Kalau mau mengejar pelanggaran terkait lingkungan hidup, jangan hanya pakai UU Lingkungan Hidup, yang lainnya juga bisa dipakai. Kami juga pernah mengkoordinir, pada bulan Desember yang lalu, membuat satu MoU antara berbagai instansi untuk menerapkan penegakan yang namanya multidoor, lebih dari satu undang-undang, bisa secara alternatif, bisa secara kumulatif. Kemudian sudah ada juklaknya, ditandatangan oleh eselon I. Selain itu, kami buat yang kedua adalah, bersama-sama Kejaksaan dan Mahkamah Agung, kita membuat pedoman. Pedoman bagaiamana menuntut korporasi. Sekarang sedang dalam proses untuk Kejaksaan. Mahkamah Agung juga sudah setuju, saya sudah bicara dengan Pak Artidjo. Jadi, saat itu Mas BW sempat presentasi, mereka setuju untuk membuat pedoman bagaimana memidanakan korporasi. Selama ini tidak ada pedoman, sehingga persepsi sangat berbeda, ada yang bilang bisa, ada yang bilang tidak. Kalau ada yang bilang tidak bisa, ini seperti aliran Jerman. Katanya di Jerman sekarang ini korporasi tidak bisa dipidana. Dia tidak punya jiwa, tidak punya kehendak, tidak bisa berbuat salah. Padahal di negara-negara lain di Eropa, termasuk di Amerika bisa. Nah, ini yang kedua, pengaturannya seperti ini. Pasalnya, kemudian subjeknya adalah korporasi, pengurus dan pelaku lapangan. Kemudian bagaimana perbuatan yang dilarang, dirumuskan secara
  • 29.   28   formal. Kemudian, kesalahan, mens rea ini hanya kesengajaan saja yang bisa dihukum. Kalau culpa tidak bisa kena. Kemudian UU Minerba, ini biasa denda ya, ada pidana pokok, pidana tambahan. Kriteria implementasinya bagaimana harus diterapkan tidak jelas. Kemudian, ini UU Kehutanan, dibebankan kepada pengurus, korporasi tidak bisa dipidana sesuai UU 41 tahun 1999. Undang-undang ini sepertinya harus diubah karena ada putusan MK yang terkait dengan tanah adat, kira-kira banyak terkait dengan UU 41 tahun 1999 ini. Perumusan sangat berbeda, kalau kita lihat satu sama lain, ini juga begitu. Kesalahan bisa dolus, bisa culpa. Rumusan delik ada formal, ada materiil. Terus, UU Tata Ruang juga mengatur masalah korporasi ini. Cuma pengaturannya ya seperti tadi, tidak sempurna dan satu dengan yang lain saling tidak sama. Kemudian Perkebunan, di sini perkebunan tidak ada mengatur korporasi bisa diminta pertanggungjawaban. Kalau tadi kita lihat yang punya kebun itu kebanyakan korporasi- korporasi. Terus, ini UU TPPU cukup detail ya, kapan dia bisa kena, persyaratan, hukumannya cukup berat seratus miliar, deliknya formal, ada hukuman pokok dan hukuman tambahan, bisa kena korporasi. Termasuk partai juga bisa kena, kalau partai terima sumbangan uang haram, kalau jaksanya berani jaksa bisa minta menuntut dibubarkan. Terus, ini persyaratan untuk implementasinya, ada beberapa dipersyaratkan agar korporasi bisa dimintakan pertanggungjawaban. Terus, Tipikor tadi sudah disinggung oleh Pak Chandra, pidananya terlalu ringan ya, cuma 1 M kalau tidak salah. Terus, Kepabeanan tidak ada mengatur khusus, cuma karena wajib pajak juga adalah juga korporasi, dalam kasus terakhir Asian Agri, yang juga punya perkebunan sawit yang banyak, kemarin korporasinya disuruh bayar. Terus, ini UU Kepabeanan ada juga di sana terkait dengan lingkungan hidup, termasuk hasil-hasil tambang ataupun hasil-hasil hutan yang diselundupkan. Ini terkahir, UU Lingkungan Hidup yang baru. Ini mendekati aturan di Belanda dan dianggap cukup baik, aturan mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam UU 32 tahun 2009. Jadi, subjeknya bisa badan usaha, bisa orang yang melakukan di lapangan, bisa juga pelaku-pelaku yang mempunyai jabatan. Rumusan deliknya ada yang formal, ada yang materiil. Kesalahan bisa dolus, bisa culpa. Sanksinya pidana, ada penjara dan denda. Lalu, ada pidana tambahan: perampasan keuntungan, perbaikan kerusakan, penempatan perusahaan dalam
  • 30.   29   pengampuan. Kriteria implementasi ada power and acceptance, ada diatur di Pasal 118. Pasal 118 itu mengatur bahwa ini bisa diimplementasikan kalau memang ada pelaku fungsional. Jadi, terkait dengan jabatan, korporasinya bisa kena, pelakunya itu katakanlah direksinya. Kemudian ada acceptance, menurut Penjelasan Pasal 118 acceptance itu artinya perbuatan yang dilakukan oleh anak buahnya di lapangan misalnya itu dibiarkan, tidak ada pengawasan, tidak ada upaya untuk memperbaiki dan sudah diterima sehingga kalau ada kewenangan (power) tadi, ada penerimaan oleh perusahaan pada perbuatan orang-orangnya tadi, maka menurut Pasal 118 itu bisa dimintai pertanggungjawaban korporasi. Bisa kena orangnya, bisa korporasinya. Orangnya itu bisa pelaku lapangan, bisa pejabat fungsional yang memegang jabatan misalnya sebagai manajemen. Kembali ke soal penerapan, kami menyarankan kalau mau mengejar para pelaku lingkungan hidup bukan saja pakai satu undang-undang. Kalau bisa dibuat kumulatif. Yang dikejar jangan hanya orangnya tetapi juga perusahaannya. Kalau kumulatif lebih kuat karena bukan hanya hukum materiil yang digabungkan tetapi juga hukum acara, ada pembuktian-pembuktian terbalik yang bisa dipakai. Terus, ini dilakukan juga oleh pemerintah. Tadi disebutkan sudah ada proses pemberlakuan KUHAP melalui gugatan. Kita juga sedang mengajukan gugatan kepada dua perusahaan. Yang pertama digugat, di Aceh, PT Kalista Alam yang gugat itu KLH, kita rugi 366 M karena dia membakar lahan di Aceh sana. Kemudian yang kedua Surya Panen Subur, ini sedang dalam proses, belum putus. Ganti ruginya yang tadi, 366 M, jadi kita kombinasikan. Saya tidak tahu bagaimana cara menggabung gugatan perdata dengan pidana. Ini sedang dikejar secara pidana juga Kalista Alam dan Surya Panen Subur. Dan kita ada pertemuan periodik dengan para penegak hukum, termasuk dengan ahli-ahli, kepolisian, penyidik kehutanan, penyidik lingkungan hidup, kita kumpulkan, kita koordinir. Karena kalau tidak begitu susah, nanti jalan sendiri-sendiri. Terakhir saya ke Papua itu melihat kasus Labora Sitorus, kirim kayu ke Cina, ke beberapa negara, omzetnya besar sekali, tetapi yang disita cuma 17 juta. Saya tanya kok cuma 17 juta. Kita mendengar dia beberapa tahun yang lalu menjadi sponsor ulang tahun Bhayangkara itu dia menyumbang 3 miliar itu, sekarang yang disita cuma 17 juta. Kasus ini mungkin dalam beberapa hari ini sudah P21. Jadi, yang mengerjakan itu Kapolda Papua dan Bareskrim, Kejaksaan Agung juga turun tangan.
  • 31.   30   Ini rekomendasi yang tadi sudah saya singgung, jadi perlu alat ukur yang jelas bagaimana mengejar korporasi. Kedua, untuk menutupi kekurangan yang ada, perlu dibuat pedoman untuk tingkat penyidikan, penuntutan ataupun Mahkamah Agung. Kemudian, persepsi yang sama diperlukan sehingga perlu sosialisasi dan edukasi kepada penegak hukum. Mudah-mudahan pedoman yang dibuat bisa selesai dalam waktu tidak terlalu lama. Saya kira itu saja, terima kasih, Ass. Wr.Wb. Tanya Jawab Moderator: Terima kasih kepada Pak Yunus serta pembicara yang telah memberikan materi, mohon applause dulu untuk para pembicara kita. Selanjutnya, kami buka sesi tanya jawab untuk termin pertama mungkin 3 penanya terlebih dahulu. Satu di belakang, Bapak yang menggunakan baju coklat, kami persilahkan. Penanya 1: Terima kasih. Kami ingin menambahkan atau memberi tanggapan atas penjelasan dari Bapak Chandra Hamzah mengenai uang pengganti di mana dalam Pasal 17 UU 31 tahun 1999, pasal tersebut menyatakan ‘dapat’. Jadi, pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan ini tidak bersifat imperatif, demikian pula dengan jumlah uang pengganti tidak ekuivalen dengan kerugian negara dan sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, apa yang disampaikan oleh Pak Chandra saya apresiasi sekali dengan memanfaatkan Pasal 98 KUHAP. Namun demikian, ada beberapa hal dari Pasal 98 KUHAP tersebut apabila digabungkan dengan tuntutan ganti kerugian ada segi positif dan negatifnya. Artinya, dengan digabungkan gugatan ganti kerugian tersebut, proses akan lebih cepat, namun demikian titik lemahnya adalah apabila perkara pidana inkracht, maka gugatan tersebut akan mengikuti juga. Ini juga harus dipertimbangkan dalam arti bahwa apabila ada langkah dari JPN melakukan tuntutan ganti kerugian ini harus dipersiapkan secara matang sehingga ganti kerugian negara dapat dicapai secara maksimal. Kemudian,
  • 32.   31   praktek yang ada bahwa penggabungan ganti kerugian itu diperbolehkan sebelum tuntutan dibacakan. Jadi, tentunya ini harus diperhitungkan juga oleh JPN. Beberapa pasal mengenai gugatan di UU 31 tahun 1999, itu ada satu pasal yang mungkin saya belum dengar, Pasal 32 itu, tadi Prof. Bambang menyatakan bahwa ada beberapa perkara lingkungan hidup yang dibebaskan, tentunya dengan Pasal 32 ini JPN harus jeli karena gugatan itu bisa diajukan walaupun putusannya bebas karena putusan bebas itu dapat dituntut kerugian terhadap keuangan negara. Pasal tersebut sudah pernah atau belum pernah digunakan saya belum tahu karena selain Pasal 32, Pasal 33 dan 34 itu mengenai terdakwa yang sudah meninggal. Jadi saya apresiasi apa yang sudah disampaikan Bapak Chandra Hamzah dan hanya melengkapi saja. Terima kasih. Penanya 2, Arsil dari LeIP: Terima kasih. Saya Arsil dari LeIP. Saya mau bertanya soal kaitannya kerugian negara dengan uang pengganti. Dalam Pasal 18 ayat (1) b mengatakan bahwa uang pengganti sebanyak-banyaknya uang yang diperoleh dari tindak pidana, bukan kerugian yang ditimbulkan. Nah, dalam praktek selama ini saya jarang melihat, paling tidak dari pemberitaan, itu ada yang menghitung berapa keuntungan yang diperoleh oleh terpidana tapi kita selama ini fokus pada berapa kerugian yang ditimbulkan, misalnya ada audit BPK segala macam yang mencari berapa kerugian. Padahal kalau kita mau mengembalikan kekayaan yang hilang tadi maka yang perlu dihitung itu adalah keuntungan yang diperoleh karena bisa jadi kerugian yang ditimbulkan misalnya pengadaan barang 10 miliar tetapi keuntungan yang diperoleh akibat itu berlipat-lipat. Kalau kita lihat hanya kerugian negaranya, bisa jadi itu kecil. Nah, saya mau tanya kepada Bang Chandra bagaimana praktek di KPK selama ini? Apakah dalam menentukan uang pengganti selama ini penuntut di KPK itu yang dihitung adalah kerugian negara yang ditimbulkan atau keuntungan yang diperoleh dari si pelaku? Terima kasih. Penanya 3, Faiq dari LBH Surabaya: Terima kasih, Ass. Wr. Wb. Selamat pagi menjelang sang buat kita semua. Perkenalkan nama saya Faiq dari LBH Surabaya. Saya tertarik dengan tadi yang disampaikan oleh Prof. Bambang terkait dengan bagaimana menghitung kerugian negara khususnya di
  • 33.   32   bidang lingkungan, baik itu sumber daya alam, hutan, tambang dan seterusnya dikaitkan dengan bagaimana negara melakukan tuntutan terhadap pelaku atau pihak yang turut serta melakukan. Kalau tadi disampaikan oleh Prof. Bambang bagaimana cara menghitungnya, pertanyaan saya seberapa cepat kita dapat menghitung itu, menemukan nominal kerugian itu, karena itu juga akan dibutuhkan oleh JPN untuk mendapatkan nominal ketika dia akan melakukan tuntutan terhadap si pelaku. Lalu yang kedua, saya tadi coba ngecek terkait beberapa pasal dan juga apa yang disampaikan oleh Pak Yunus terkait bagaimana korporasi bertanggung jawab dalam hal ini. Pertanyaannya adalah ketika ini digabungkan dengan dakwaan yang disampaikan oleh JPU dalam satu kelembagaan yang sama apakah bisa itu disampaikan? Karena pada saat dakwaan itu disampaikan maka harus ada pihak lain untuk meminta bahwa ada kerugian di sini. Padahal di satu sisi negara sudah diwakili oleh JPU dalam kasus itu. Dalam hukum acara ini yang agak pening, ini yang harus diluruskan juga. Kemudian yang korporasi, di satu sisi memang saya setuju ketika kerugian negara itu ditentukan terlebih dahulu maka ini butuh kecepatan dalam penghitungannya. Kalau digabungkan, menurut saya, ini agak berat bagi JPN tetapi ketika ini diputus oleh pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, kemudian dipisahkan sedemikian rupa, JPU baru melakukan tuntutan ganti kerugian negara, nah jelas ini. Karena di dalam konsep keperdataan, gugatan ganti kerugian kan ada yang pelakunya langsung, atau orang melakukan itu menimbulkan kerugian lain tetapi ini menjadi tanggung jawab korporasi. Menurut saya begitu. Terima kasih. Bambang Hero Saharjo: Terima kasih. Selama datanya ada, 1 bulan itu sudah bisa hadir, tidak perlu lama-lama. Selama data yang dibutuhkan ada. Kuncinya itu adalah data, jadi kita katakan menurut peta yang mereka berikan posisinya di sini. Kareana kami pernah hampir dikadali, itu yang kasus 2006, itu sumbu X dan sumbu Y-nya diganti. Jadi, kita turun yang pertama, sudah dapat titik, yang kedua, mereka katakan waktu di KLH, data saudara salah, karena kami tidak menemukan titik itu. Setelah kita utak atik, konfirmasi dengan pihak BPN, akhirnya tahu bahwa yang north dibikin east, yang east dibikin north. Sehingga itulah yang agak lama di lapangan itu. Jadi, selama data itu ada, kita punya batas minimal untuk
  • 34.   33   menghitung itu, maka paling tidak sebulan itu sudah keluar. Yang kebakaran malah lebih cepat. Jadi kalau misalnya kita tahu saja data luasan kebakaran itu, dengan konsumsi bahan bakar, emisinya pun bisa kita hitung, itu tidak sampai 1 bulan. Mau cepat seperti apa lagi? Karena untuk analisis tanah itu dibutuhkan waktu 2-3 minggu, itu pun kita bypass, kalau antri bisa 3-4 bulan. Labnya pun tidak bisa sembarangan. Penanya 3, Faiq dari LBH Surabaya: Prof. mohon maaf, maksud saya meted-metode seperti ini apakah dikenal di lembaga- lembaga kementerian? Karena kalau ngomong soal larutan terbakar, itu secara teknis teori, tapi mau tidak mau harus ada legitimasi secara hukum bahwa iya perhitungan ini benar. Bambang Hero Saharjo: Jadi begini, seperti yang saya katakan tadi secara legal formal, hitungan ini sudah ada di Permen LH Nomor 13 tahun 2011. Sebelumnya tahun 2006 juga sudah keluar, cuma tidak legal formal, hanya pedoman saja. Tetapi berdasarkan Permen LH 13 tahun 2011, itu sudah disahkan. Tinggal masalahnya tadi, yang menghitung siapa? Kalau kami langsung ditunjuk Menteri LH dengan SKK-nya. Kira-kira begitu. Moderator: Selanjutnya Bang Chandra, mengenai mekanisme penentuan ganti kerugian dalam perkara pidana serta penghitungan keuntungan dalam menghitung uang pengganti yang bisa dikenakan terhadap terpidana. Silahkan. Chandra Hamzah: Di sini saya mencoba menjawab pertanyaannya, rata-rata sama. Pertama, mungkin pedoman penghitungan kerugian negara. Kalau kita dulu menghitung sesuatu itu rugi atau tidak rugi itu tergantung dari sudut pandang. Secara akuntansi kita bisa bikin ini rugi dan ini tidak rugi. Saya ambil contoh begini: adakah pedoman menghitung kerugian import mobil pemadam kebakaran? Tidak ada. Itu satu contoh. Yang penting adalah kita punya ahli, ahli itu memang punya keahlian, kemudian ia merumuskan metode
  • 35.   34   penghitungannya. Pada saat kasus Tengku Azmun Jaafar, untuk bandingkan antara sebelum dan sesudah, kan kita tidak mungkin dapatkan kayunya, kayunya kan sudah berubah bentuk menjadi kertas, sudah masuk rekening. Bahwa ini hutan alam, kita punya data dan kemudian tingkat kerapatannya sekian, siameter tegakannya rata-rata sekian, dengan luas sekian maka bisa dapatkan hasil sekian. Jadi, apakah metode ini benar atau tidak benar, yang penting ini bisa dipertanggungjawabkan dan itu yang perlu dipertahankan. Jadi, kalau menurut saya, ini metode penghitungan kerugian negara yang sah atau resmi, kalau buat kami dulu sangat jarang metode untuk menghitung kerugian negara yang ada SK-nya. Karena itu, tinggal kita menghitung secara masuk akal, metodenya bisa dipertanggungjawabkan dan ahlinya bisa mempertahankan. Apakah pernah dihitung keuntungan yang diperoleh si tersangka? Tersu terang tidak pernah. Jadi, yang kita hitung adalah berapa kerugian negara yang dia nikmati. Mengapa di UU 31 tahun 1999 bilang kerugian negara yang dinikmati? Karena di UU 3 tahun 1971 tidak begitu, itu lebih sadis, UU 3 tahun 1971 adalah mengganti kerugian negara yang ditimbulkan. Tetapi, konsekuensinya apa? Konsekuensinya adalah yang dibebankan mengganti kerugian negara adalah si pegawai negeri saja. Pasal 2 dan Pasal 3 maka secara logika yang harus disidangkan terlebih dahulu itu adalah si pegawai negeri. Baru kemudian si pengusaha kena Pasal 55 KUHP. Nah, penuntut umum atau penyidik mengambil gampangnya, begitu pegawai negerinya diproses, di UU 3 tahun 1971, maka seluruh uang pengganti kerugian negara dibebankan kepada dia dan itu tidak pernah kembali, pegawai negeri tidak punya uang. Sebesar-besarnya pejabat kita, tetapi jauh lebih banyak uang si pengusaha. Nah, karena itu, UU 31 tahun 1999 jadi ‘dinikmati’ dan pengusahanya bisa dikenakan dengan Pasal 55. Menghitung? Tidak pernah Pak Arsil. Kenapa tidak pernah menghitung? Karena bunyi pasalnya kerugian negara yang dinikmati. Bagi para penafsir yang sangat literalis, positifis, terjemahannya ya literalis. Kerugian negara yang dinikmati, jadi kita tidak menghitung keuntungan. Kemudian, Mas yang pertama tadi, bahwa itu ‘dapat’ ya memang. Kalau tidak ada kerugian negara, sifatnya memang tidak mutlak. Kemudian, mengenai penggabungan, jadi begini, kasus Al Amin ambil contoh. Dia terima uang sekian ratus juta. Kemudian dia dihukum. Kena Pasal 12. Kemudian, atas perbuatan dia Pasal 5, tentu saja ada kerugian negara kan karena dia ngasih izin maka ada kerugian negara. Cuma karena
  • 36.   35   dituntut Pasal 12A atau Pasal 12B, sementara Pasal 12A atau 12B tidak ada dia harus mengganti kerugian negara, maka sayang kan. Sementara negara sudah dirugikan dengan dia menerima suap. Pertanyaannya adalah apakah Pasal 18 huruf b itu bisa dituntut kepada Al Amin yang dituntut dengan Pasal 12A dan Pasal 12B? Itu pertanyaan yang belum terjawab sampai sekarang karena Pasal 12A dan 12B tidak mensyaratkan unsur kerugian negara. Oleh karena itu, saran saya sekarang kalau ada kasus penyuapan ketahuan dan itu terkait lingkungan hidup, maka minta ke KPK agar ia dituntut dengan Pasal 2 atau Pasal 3. Pasal 5 atau Pasal 12A atau 12B subsider supaya dapat kerugian negara. Karena apa? Suap ini kan melawan hukum, masuk Pasal 2. Suap itu kan menyalahgunakan kewenangan. Dia punya kewenangan, dia lakukan itu, tetapi disalahgunakan. Pasal 3 bisa masuk itu, dia punya kewenangan, itu kewenangan dia, dia sah menggunakan kewenangan itu tetapi dia menggunakan kewenangan itu dengan salah agar orang lain untung, dengan itu ia menerima uang. Nah, kalau Pasal 3 masuk, kerugian itu bisa dihitung. Berapa yang mesti diganti Al Amin? Sebesar suap yang diterima. Sisanya siapa yang tanggung? Orang yang menyuap. Atau alternatif lain, oke dia pakai Pasal 5 atau Pasal 12A atau 12B, tetapi JPN menggabungkan melalui mekanisme Pasal 98. Ini pertanyaan tadi lagi, bagaimana dengan satu institusi. Pasal 98 tidak secara tegas menyebutkan itu Jaksa tetapi orang yang dirugikan dapat meminta untuk menggabungkan tuntutan kepada Penuntut Umum. Yang bermain pada saat penuntutan adalah Penuntut Umum, bukan Jaksa. Orang yang dirugikan ini siapa? Orang yang dirugikan adalah dalam hal ini negara. Negara diwakili oleh siapa? Dijelaskan oleh UU Kejaksaan negara diwakili oleh Kejaksaan, selaku pengacara negara. Beda, yang maju ke pengadilan itu bukan jaksa, tetapi Penuntut Umum. Penuntut Umum ini siapa? Ya jaksa. Tapi pada saat sidang dia Penuntut Umum. Katakanlah pada saat itu saya selaku Penuntut Umum. Kemudian orang yang dirugikan siapa? Negara. Negara itu siapa? Diwakili oleh jaksa sebagai JPN. Bang Yunus maju sebagai JPN umpamanya. Jadi, itu ada 2 fungsi yang beda. Satu, orang yang dirugikan, negara yang diwakili JPN. Yang kedua, Penuntut Umum yang menyidangkan perkara pidana. Tipis, tetapi berbeda. Apakah strategi ini dapat berdampak positif atau tidak, perlu panduan mengenai penggunaan Pasal 98.
  • 37.   36   Bagaimana mekanismenya. Yang kedua, yang perlu dicatat, kalau pidananya gagal maka tuntutan ganti ruginya dengan sendirinya gagal. Mengenai waktu penghitungan kerugian negara, untuk Pasal 2 dan Pasal 3 yang ada kerugian negara menghitungnya juga cukup lama. Tidak semua cepat. Karena ini perlu koordinasi yang kuat antara jaksa selaku JPN dan jaksa selaku Penuntut Umum agar waktunya bisa disesuaikan. Kemudian kalau masuk ke Pasal 32 tadi, dalam hal penyidik menemukan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terbukti sedangkan dengan nyata ada keuangan negara maka penyidik segera menyerahkan berkas untuk dituntut. Kalau Pasal 32 ini maksudnya adalah bahwa perbuatannya bukan perbuatan tindak pidana, tetapi negara dirugikan. Jadi, ini masalah perdata aja. Ini sedikit komentar saja, saya agak sedikit risih kalau ada pengadilan yang menyatakan perbuatannya terbukti tetapi ini bukan perbuatan pidana karena pengadilan pidana hanya membuktikan perbuatan pidananya terbukti atau tidak. Jadi, kalau penyidik bilang perbuatannya bukan perbuatan pidana, maka digugat ke perdata saja. Beda denga Pasal 98, kalau di 98 perbuatan itu pidana tetapi menimbulkan kerugian. Itu sekedar gambaran dari saya, terima kasih. Yunus Husein: Kayaknya tidak ada yang spesifik ke saya pertanyaannya, tetapi sedikit mengenai tadi pidana dan perdata, kami selama ini untuk 27 kasus pidananya jalan, perdata juga jalan. Perdata itu yang maju 3, JPN, inhouse lawyer dan LH dan kita juga pakai professional lawyer. Kalau JPN karena selama ini jadi jaksa biasanya tidak terlalu profesional ya jadi ditambah inhouse lawyer LH dan professional lawyer. Kami memang belum berpikir untuk menggabungkan pidana dan perdata. Tapi ya dua-duanya jalan, pidananya jalan di locus delictinya, kalau perdatanya jalan sesuai kedudukan si tergugat. Terus terang kami mengkoordinir saja lebih banyak dan banyak dukungn dari para ahli. Kalau tidak ada ahli susah. Perkara LH ini memang agak susah. Perlu ahli, perlu keberanian, perlu ke lapangan, mengukur ini itu, dan sebagainya, tidak sederhana. Ini lah kita sarankan selalu pakai kombinasi,kalau bisa kumulatif. Jangan hanya pakai undang-undang yang teknis tetapi juga pakai penegakan lain, tipikor, pajak, TPPU sehingga bisa saling mengisi, saling menguatkan. Itu saja tambahan sedikit dari saya.
  • 38.   37   Chandra Hamzah: Keuntungan penggabungan adalah begini: kalau perdata tidak ada upaya paksa untuk menghadirkan saksi. Tetapi kalau digabungkan, melalui mekanisme upaya paksa menghadirkan saksi, maka kita bisa mendapat keterangan untuk mendukung gugatan ganti rugi. Ini keuntungannya. Betul, prosesnya akan lama. Satu lagi, korporasi sebagai tersangka itu sebenarnya udah ada di undang-undang tindak pidana ekonomi di tahun ‘55. Kedua, korporasi sebagai tersangka unsurnya di undang-undang ’55, UU Terorisme, UU Tipikor, itu cuma dua syarat. Di UU TPPU 4 syarat, di UU Lingkungan Hidup 4 syarat. Secara faktual memang sangat sedikit dijalankan. Di Belanda, korporasi sebagai tersangka sudah mulai juga di tahun ’55 itu. Jadi kita mengadopsi korporasi sebagai tersangka dari Belanda di tahun ’55. Terima kasih. Yunus Husein: Di Belanda kalau saya lihat statistik itu, 2010 saja lebih dari seribu korporasi. Kemudian success storynya 25%, berarti 1.100 yang bisa dipidana itu. Kita saja baru berapa tadi, korupsi satu, lingkungan hidup satu. Dua lah ya. Penanya 4, Made dari Riau: Ass. Wr. Wb. Saya Made Ali dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau. Saya mau tanya kepada Pak Chandra, korupsi kehutanan di Riau itu kan ditangani oleh KPK jamannya Pak Chandra, itu tahun 2008. Lalu, sampai sekarang sudah ada 2 Bupati, 3 Kepala Dinas Kehutanan, 1 Gubernur insya Allah mau sidang. Pertanyaan teman-teman Riau, KPK ini penakut, dia cuma berani melawan 2 Bupati, 3 Kepala Dinas, 1 Gubernur. Korporasinya mana? Kebakaran hutan yang terjadi di Riau sekarang banyak atau tidaknya itu kan juga tanggung jawabnya KPK. Kalau seandainya pasca putusan Tengku Azmun Jaafar KPK berhenti menangkap pejabat negara, langsung ke korporasi, saya kira kebakaran lahan yang terjadi hari ini bisa diminimalisir. Itu pesan dari teman-teman di Riau. Nah, 5 putusan korupsi kehutanan itu kan turut serta, Pasal 55 itu semua terbukti. Kenapa KPK tidak langsung menangkap korporasi? Yang kedua, pendekatan money laundering kan bisa dipakai, karena Pasal 55 terbukti, tindak pidana asal terbukti, kenapa itu tidak dipakai? Misal ada aliran dana uang haram dari kerugian negara yang PSDADR
  • 39.   38   itu artinya RKT-nya illegal, masuk ke 20 perusahaan di Pelalawan dan Siak. Kenapa itu tidak dipakai di jaman Pak Chandra maupun sampai sekarang? Ini jadi pertanyaan besar. Padahal, laporan kawan-kawan di Riau itu fokus kita dulu korporasinya. Kalau kita lihat kajian kawan-kawan, bukan menyalahkan hanya mengingatkan, kalau seandainya korporasi bisa dijadikan tersangka, saya kira mereka akan jera. Mereka akan takut karena ada efek jera. Ini kita katakan RKT anda ini illegal, mereka tetap saja jalan menebang hutan alam, membakar lahan, ini secara sosiologis dan kondisi di Riau. Lalu, misal kenapa KPK menggunakan pendekatan penghitungan PSDADR? Dari 5 kasus ini, kawan-kawan di Riau melihat bahwa KPK tidak punya visi penyelamatan lingkungan. Kalau di bedah kasus kita, yang Pak Bambang Hero jadi ahlinya, menggunakan penghitungan ekologis. Dalam kasus Burhanuddin Husin, KPK hanya menemukan kerugian negara menggunakan pendekatan PSDADR itu cuma 500 milyar. Kalau pendekatan ekologis-ekonomis, setidaknya 600 triliun. Kenapa ini digunakan? Ini untuk memberikan efek jera dan keadilan abgi lingkungan yang sudah dirusak. Lalu, ada 1 putusan yang paling menarik terkait korporasi, misal kasus pajak Asian Agri. Itu putusan MA di kasasi itu di luar tuntutan dan dakwaan jaksa lho. Di situ majelis hakim mengatakan bahwa mens rea-nya itu “karena diperintah oleh perusahaan”. Dia juga mengakui meskipun secara formal menghukum membayar denda korporasi itu di luar dakwaan, dia bilang menurut perkembangan dari sisi sosiologi hukum, pertanggungjawaban korporasi bisa dilakukan. Ini saya kira putusan di pajak Asian Agri itu juga putusan yang hebat saya pikir terkait korporasi. Yang perlu saya tekankan pada KPK sebenarnya, kapan korporasi ini bisa dijerat money laundering kah, atau dijerat dengan UU korupsi kah? Karena kalau kita lihat bukan undang-undangnya tidak ada, memang penegak hukumnya, terutama di KPK. Saya kira itu ya. Penanya 5, Rosalita: Terima kasih. Saya ingin bertanya kepada Prof. Bambang mengenai penghitungan ganti kerugian, saya masih sedikit kurang paham. Mengenai metode penghitungan ganti rugi, apakah hanya menggunakan metode prinsip biaya penuh atau ada cara yang lain? Dan kemudian apakah metode ini sudah pernah diterapkan dalam praktek hukum yang diketahui Prof. Bambang?
  • 40.   39   Kemudian yang berikutnya yang ingin saya tanyakan adalah selain kerugian ekologis, memang ada kerugian negara atau kerugian masyarakat. Dalam kerugian masyarakat ini apakah termasuk kita mempertimbangkan dampaknya, misalnya ada banjir bandang, kemudian longsor, sehingga ada kematian dan sebagainya, apakah diperhitungkan sampai sedemikian? Terima kasih. Penanya 6, Dio Ashar dari MaPPI FHUI: Ass. Wr. Wb., saya Dio dari MaPPI FHUI, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pertanyaan sebelumnya mengenai kerugian ekologis. Saya ingin menanyakan dalam perkara korupsi ini sebenarnya apa yang menjadi hambatan ini sulit diterapkan di perkara korupsi untuk kerugian ekologis ini? Karena seperti Prof. Bambang jelaskan kerugian ekologis itu bisa dijadikan perhitungan angka. Apakah ada hambatannya dalam perkara korupsi? Karena seperti yang kita ketahui untuk kerugian ekologis ini hanya sering dipakai di tindak pidana lingkungan hidup saja. Terus, saya juga ingin menanyakan masalah uang pengganti kepada Pak Chandra, seperti sebenarnya teknisnya untuk eksekusi uang pengganti itu bagaimana dan berapa banyak yang bisa dikonversi menjadi penjara pengganti? Itu saja pertanyaan dari saya. Sekian Wass. Wr. Wb. Bambang Hero Saharjo: Terima kasih. Seperti yang disampaikan tadi dan ini ada di Permen LH Nomor 13 tahun 2011, di samping metode tadi itu, ini digabung dengan metode approaching karena kita tidak bisa, seperti yang disampaikan tadi, menduga misalnya harga seekor gajah. Itu salah satunya pendekatan juga untuk menghitung. Kemudian, seperti tadi menghitung tata air, kita juga akhirnya menghitung melalui pendekatan reservoir. Kemudian juga untuk menghitung pelepasan emisi gas rumah kaca. Yang kedua, sudah pernahkah digunakan? Sebetulnya tadi menyambung apa yang disampaikan Pak Chandra, bibitnya itu lahir sejak tahun 2000 ketika kami menangani kasus Adi Plantation. Memang sempat ditanya itu oleh majelis kerugiannya berapa? Karena ketua majelisnya adalah hakim agung. Kenapa Pak? Itu harus diungkap supaya kami bisa membayangkan seberapa dahsyat kerusakan itu. Akhirnya keluarlah angka itu. Kemudian, 2006 baru disusun pedomannya. Kemudian secara legal formal baru di 2011.
  • 41.   40   Sudah kita cobakan di Kalista Alam, minggu lalu baru pemeriksaaan setempat, itu 1.000 hektar, 366 miliar. Begitu juga satu lagi yang di SPS, juga seperti itu. Apakah juga termasuk menghitung dampak? Tentu saja. Sehingga, kalau dilihat di rekonstruksinya, semua itu ada, tidak hanya ekonomisnya tapi juga ekologisnya. Sebelumnya kita masukkan juga imaterial karena begitu kita dianggap sebagai negara pengekspor asap, berapa nilainya? Kita tidak tahu. Dalam penghitungan itu kita masukkan. Jadi, semua aspek itu kita perhitungkan. Hanya saja ada yang menarik, ketika kami di lapangan saat itu, semua investor dan sebagainya mendukung apa yang dilakukan perusahaan. Tetapi ketika mereka mendapat bagian dari ganti rugi yang mereka terima, semua berebut menjadi orang yang paling berjasa menangani kasus ini. Jadi lucu ya, tadinya lawan kita, sekarang merapat. Saya tidak tahu apakah ada pembagiannya, misalnya untuk negara berapa, untuk provinsi berapa, untuk kabupaten berapa. Ini juga perlu, ketika terjadi ganti rugi itu misalnya 10 miliar, harus betul-betul hitam di atas putih ke mana perginya 10 miliar itu. Jadi akan lebih baik kalau ada pedomannya, sehingga kita juga bisa mengawasi ke mana perginya uang itu. Chandra Hamzah: Terima kasih. Jadi begini, tadi saya sampaikan kasus korupsi yang dimulai berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 maka penyidikannya dan penuntutannya dimulai dari pegawai negeri, dari pejabat negara. Kemudian, bagaimana dengan swastanya? Swastanya di-Pasal 55- kan. Itu tipikal, selalu begitu. Pasal 3 lebih gampang membuktikannya dibandingkan Pasal 2. Kenapa? Karena Pasal 2 sejak ada putusan MK, selain ada pelanggaran materiil juga harus ada pelanggaran formal. Kalau Pasal 3, penyalahgunaan kewenangan, tinggal dicari mens rea-nya. Dia punya kewenangan, kewenangan itu disalahgunakan untuk kepentingan orang lain. Lebih gampang membuktikan Pasal 3, sekarang. Kemudian bagaimana pengusahanya? Mesti dibuktikan bersama-sama. Dalam Tengku Azmun Jaafar, kita bilang dia bersama-sama, ditolak oleh majelis hakim. Konstruksinya begini: Kalau kebakaran saya tidak tahu ada hubungannya atau tidak, karena yang dilakukan waktu itu bukan pembakaran tetapi penebangan. Kita tidak bisa menghukum terhadap perbuatan yang tidak ada. Yang waktu dulu tidak dibakar tetapi ditebang, karena kayunya bagus. Izin itu diberikan kepada siapa? Kepada PT A, PT B, PT C, PT D. Siapa yang
  • 42.   41   memberikan? Tengku Azmun Jaafar. Jadi siapa yang perlu dijadikan pelaku kejahatan korporasi? PT A, PT B, PT C, PT D. PT A ini PT apa? PT bodong. Yang punya itu siapa? Anaknya. PT B siapa? Tetangganya, supirnya, istrinya. Mereka kita jadikan tersangka? PT ini PT kosong, tidak punya aset. Penanya 4, Made dari Riau: Cuma 7 perusahaan yang bodong, selebihnya itu…kan ada 15. Chandra Hamzah: Ya, ini kan bodong. PT ini milik dari saudara. Kemudian, dijual kepada big boss di belakang itu. Begitu kan? Big boss ini apa dia mengurus izin? Tidak. Big boss ini mengambil sesuatu? Tidak. Siapa yang mengambil sesuatu? PT A B C D ini. Dia yang menipu, memalsukan dokumen. Kita nyatakan dia tersangka? Korporasi ini? Tidak ada gunanya. Karena ini dijual ke sana, yang melakukan kejahatan itu PT A B C D. Menyatakan ini sebagai tersangka? Saya pikir tidak ada gunanya. Penanya 4, Made dari Riau: Dan yang membeli PT itu, namanya Rosman. Hilang dia. Itu yang tidak pernah diburu oleh KPK. Chandra Hamzah: Siapa bilang? Tidak pernah dan tidak berhasil itu dua hal yang berbeda. Penanya 4, Made dari Riau: Tapi faktanya KPK juga tidak memburu. Tidak pernah ada ekspos di media. Beda dengan Nazaruddin misalnya. Chandra Hamzah: Memang waktu kita memburu Nazaruddin kita ekspos kita nguber-nguber ke Kolombia? Memang waktu kita mau tangkap Nazaruddin kita bilang kita telah investigasi?
  • 43.   42   Penanya 4, Made dari Riau: Tapi kan publik bisa tahu. Chandra Hamzah: Publik bisa tahu Nazaruddin di Kolombia setelah Nazaruddin ngomong di Skype. Kita memburu, publik tidak tahu. Kalau kita biang hari ini kita memburu Rosman, ya kabur lah dia. Tidak berhasil dengan tidak dilakukan itu dua hal yang berbeda. Karena saksi kuncinya hilang sampai sekarang. Itu sebabnya. Sekarang apakah yang di belakangnya mau ditindaklanjuti? Ya pimpinan sekarang, yang jelas ini sudah dimulai. Saya boleh katakan korupsi di bidang kehutanan, mungkin KPK sudah banyak memulai. Kita mulai dari pejabat? Ya, karena itu Pasal 2 dan Pasal 3. Tidak mungkin Pasal 2 dan Pasal 3 dimulai dari swasta. Bagaimana menghukum orang yang membantu sementara yang dibantu belum dihukum? Logikanya tidak nyambung. Kenapa kita menghitung kerugian negara seperti itu? Kita tidak masukkan ekologi. Betul. Karena yang dilakukan mereka apa? Menebang. Mereka tidak membakar. Penanya 4, Made dari Riau: Dan mereka juga melanggar amdal. Maksudnya, cantolannya ada. Karena penghitungan PSDADR juga masuk dalam rangkaian penghitungan ekologis-ekonomis. Kalau hanya memikirkan kayunya, sementara di dalam izinnya juga ada amdal, amdal inilah lingkungan itu bisa masuk. Chandra Hamzah: Betul. Saya jelaskan dulu ya. Mereka tidak membakar waktu itu, mereka menebang, memanfaatkan kayu dan mereka dapatkan uang dari kayu itu. Kemudian, kenapa kita lakukan begitu? Begini, tidak ada penghitungan kerugian negara yang baku. Pasal 18 huruf b sebenarnya semi perdata. Di negara lain konsep 18 huruf b ini tidak ada. Yang ada apa? Denda. Cuma dendanya berapa? Dendanya bisa seratus juta dolar, dendanya besar. Konsep ganti rugi 18 huruf b di negara lain nyaris tidak ada. Karena itu mungkin dalam perubahan UU Tipikor, kalau mau, kalau konsep ganti kerugian kita hilangkan, kita buat denda lebih besar. Jadi, tidak perlu membuktikan kerugian keuangan negara.