1. 611
Pendahuluan
Islam sebagai sistem hidup mencakup berbagai
aspek kehidupan baik kolektif maupun
individual. Alquran dan Hadis sebagai sumber
hukum pertama memuat prinsip-prinsip dasar
untuk membangkitkan kesadaran manusia
yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan
Tuhan dan alam semesta untuk berbagai
kondisi. Hukum Islam merupakan salah satu
sendi penting dan utama dari ajaran-ajaran
Islam. Hukum Islam mempunyai peran yang
signifikan bagi perkembangan masyarakat
PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL
DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PEMBARUAN HUKUM ISLAM
Hendri K
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska Riau
Jl. HR. Soebrantas KM 15 No. 155 Simpang Baru Panam Pekanbaru Riau
E-mail: hendripejuang45@gmail.com
Abstract: The Thoughts of Muhammad Iqbal and Its Influences on Law Reform in Islam.
Muhammad Iqbal ideas, especially in the renewal of Islamic Law in India, are heavily influenced by
the social dynamics that occur among the people of Europe. Iqbal believes that ijtihad is the sole
source to develop Islamic law which refers to the interests and the progress of the people. According
to his understanding, the Qur’an and the Hadith as sources of ethics are able to adopt the dynamics
of times. The Muslims, therefore, should be able to understand wholy and deeply the messages of
the Qur’an and hadith in order to find a solution to social problems. Iqbal also see the importance
of transfering the authority of individual ijtihâd to the collective ijtihâd (ijmâ‘).
Keywords: thought, Muhammad Iqbal, Islamic law
Abstrak: Pemikiran Muhammad Iqbal dan Pengaruhnya Terhadap Pembaruan Hukum
Islam. Gagasan Muhammad Iqbal khususnya pada pembaruan hukum Islam di India banyak
dipengaruhi oleh dinamika sosial yang terjadi di kalangan masyarakat Eropa. Iqbal merasa bahwa
ijtihad merupakan kebutuhan yang sangat mendesak dalam mengembangkan hukum Islam yang
mengacu kepada kepentingan umat dan kemajuan umum. Menurut Iqbal pemahaman terhadap
Alquran dan Hadis sebagai sumber etika harus mampu mengadopsi dinamika perkembangan
zaman. Untuk itu, umat Islam harus mampu memahami kandungan nash-nash Syara’ (Alquran
dan Hadis) secara utuh dan mendalam guna menemukan solusi untuk masalah sosial yang
terus berkembang dan kompleks. Iqbal juga melihat pentingnya mengalihkan kekuasaan ijtihad
individual kepada ijtihad kolektif (ijma)’.
Kata Kunci: pemikiran, Muhammad Iqbal, hukum Islam
Muslim. Dimensi wahyu yang mewakili unsur
ilahi adalah dimensi utama dalam hukum
Islam. Hal inilah yang membedakan dan
menjadikan keistimewaan hukum Islam di
banding sistem hukum yang lain.
Hukum Islam adalah hukum yang bersifat
keagamaan. Namun bila kemudian hukum
Islam terlalu cenderung kepada dimensi
tekstual dikhawatirkan akan mengabaikan
dimensi manusiawi dan konteks historis
yang senantiasa berubah dan mengalami
perkembangan. Padahal dalam dimensi ini
2. 612| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
lah sebenarnya hukum Islam diturunkan.
Dalam konteks ini pula hukum Islam akan
dihadapkan dengan berbagai perubahan
dan tuntutan yang senantiasa terjadi dalam
masyarakat. Sebaliknya bila terlalu me
mentingkan aspek historis, kontekstual di
khawatirkan akan menjauhkan hukum itu
dari wahyu.
Untuk itu umat Islam dituntut mampu
menerjemahkan serta mengaplikasikan pesan
Alquran tanpa mengabaikan realitas kehidupan,
dinamika sosial yang senantiasa mengalami
perubahan. Tuntutan ini menjadi tantangan
sekaligus problematika umat. Penyikapan
terhadap Alquran melahirkan ekspresi ke
agamaan yang beragam, salah satunya adalah
perlakuan yang tidak proporsional serta
cenderung memahaminya secara parsial.
Pada gilirannya terjadi pemisahan secara
mekanis antara ayat yang bersifat hukum
dan nonhukum.
Pada dasarnya sumber hukum Islam
dikelompokkan menjadi dua bagian.
Pertama, sumber baku yaitu Alquran dan
Sunnah. Kedua, sumber pengembangan
yakni ijtihad.1
Ijtihad adalah penggunaan
penalaran kritis dan mendalam untuk
memahami isi kandungan Alquran dan
Sunnah yang merupakan sumber baku
agama, untuk memahami dan menafsirkan
sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman.
Dengan kata lain, ijtihad dapat dikatakan
sebagai upaya berpikir secara optimal dan
sungguh-sungguh dalam menggali hukum
Islam dari sumbernya untuk memperoleh
jawaban terhadap permasalahan hukum
yang timbul dalam masyarakat. Sekalipun
demikian, antara upaya ijtihad di satu
pihak dan tuntutan perubahan sosial di
pihak lain terdapat suatu interaksi. Ijtihad
secara langsung atau tidak, tidak terlepas
dari pengaruh perubahan sosial sedangkan
perubahan sosial tersebut harus dikontrol
oleh hukum, sehingga memenuhi hajat dan
kemaslahatan manusia.
1
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), h. 8.
Idealisasi cita-cita normatif hukum
Islam harus dilihat dengan kondisi sekarang.
Menarik untuk dicermati bahwa kondisi
hukum Islam bagaikan tenggelam dalam cerita
sejarah. Terjadi proses stagnasi hukum Islam,
di mana hukum Islam tidak mampu berperan
aktif merespon gejala-gejala perubahan zaman
dan memberikan solusi yang dapat menjadi
wacana bagi pengembangan hukum Islam
selanjutnya. Hukum Islam yang seharusnya
menjadi wilayah terbuka bagi berbagai
interaksi dan dinamika pemikiran, justru
semakin mengukuhkan nilai-nilai yang
dibangun oleh generasi yang berbeda corak
dan kondisi masyarakatnya. Pemikiran hukum
Islam diterima secara taken for granted. Ini
merupakan ironi sejarah yang harus dikaji
mengapa terjadi proses pembakuan pemikiran
Islam.
Awal kegagalan Islam dalam mengikuti
perkembangan modern salah satunya di
sebabkan hilangnya semangat ijtihad.2
Umat
Islam mulai merasa telah cukup dengan apa
yang telah dicapainya. Di bidang hukum
bermunculan imam-imam mazhab yang
berpengaruh, dan umat Islam menganggap
semua permasalahan hukum telah dipikirkan
dan dijawab oleh mazhab-mazhab yang ada.3
Sejak saat itu mulai berkembang semacam
konsensus bahwa tidak seorang pun yang
mempunyai kualifikasi untuk melakukan
ijtihad secara mutlak, yang tinggal hanyalah
aktifitas seputar penjelasan (syarah) dan
penafsiran doktrin yang telah dirumuskan.4
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan
bahwa walaupun secara formal pintu ijtihad
2
Muhammad Iqbal mengajukan tiga hipotesa tentang
sebab kemunduran Islam. Pertama, pertentangan antara golongan
rasionalis dengan kaum konservatif yang akhirnya dimenangkan
oleh kelompok konservatif. Kedua, berkembangnya kebiasaan sufi
yang berangsur-angsur membawa kebiasaan non-Islam. Ketiga,
jatuhnya Bagdad sebagai pusat pemikiran dan kebudayaan Islam.
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijatihad, diterjemahkan oleh
Anas Mahjudin, (Bandung: Pustaka, 1995), h. 227.
3
Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, di
terjemahkan oleh Ahmad Sudjono, (Bandung: al-Maarif, 1981),
h. 35-36.
4
Taufik Adnan Amal, Islam danTantangan Modernitas, Studi
atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1996),
h. 36.
3. Hendri K: Pemikiran Muhammad Iqbal |613
tidak pernah ditutup oleh siapapun namun
suatu keadaan lambat laun melanda dunia
Islam di mana seluruh kegiatan berpikir
secara umum terhenti.5
Ketidak berdayaan
melakukan kreatifitas intelektual semakin
diperparah dengan hadirnya ekspansi Eropa
dalam rangka penjajahan dunia Timur. Tidak
sebatas bidang politik, ekspansi tersebut masuk
ke segala bidang untuk menanamkan benih
kolonialisme dan menghancurkan tatanan
nilai-nilai Islam yang telah terbangun.6
Dalam kondisi yang seperti ini maka
yang muncul adalah sikap taklid, yaitu sikap
yang menerima apa adanya suatu doktrin
maupun mazhab-mazhab yang telah mapan
tanpa mempertanyakan lagi.7
Munculnya
empat mazhab besar dalam hukum Islam8
boleh dikatakan sebagai puncak pencapaian
intelektual dalam memahami ajaran Islam
dari segi hukum. Pada masa itu sumber-
sumber hukum Islam mengalami proses
pembakuan. Di sisi lain rumusan prinsip-
prinsip untuk melakukan ijtihad dirasa terlalu
mengidealkan masa lampau sehingga hampir
mustahil seseorang mempunyai klasifikasi
persyaratan tersebut.9
Padahal sekalipun
ijtihad bukan semudah membalik telapak
tangan tetapi upaya melakukan penafsiran
terhadap teks agama tidak boleh dihentikan.
Pada kondisi stagnansi pemikiran hukum
Islam, Iqbal tampil dengan menggemakan
semangat independensi dan kebebasan ber
pikir serta menolak setiap bentuk taklid,
Iqbal dengan tegas menyatakan bahwa
ijtihad adalah prinsip gerak dalam Islam (the
principle of movement in structure of Islam).10
5
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijatihad, h. 228.
6
Muhammad Arkoun dan Louis Gardet, Islam Kemarin
dan Esok, Ahsin Muhammad (pent.), (Bandung: Pustaka, 1984),
h.111-114.
7
Muhammad Iqbal menyebut sikap taklid sebagai
kemalasan intelektual (intellectual laziness), Muhammad Iqbal,
The Reconstruction, h.178.
8
Empat mazhab tersebut adalah Hanâfiyyah, Mâlikiyyah,
Syâfi’iyyah dan Hambâliyyah. Selain empat mazhab tersebut
masih ada yang lain, namun dari segi penyebaran, wilayah dan
kuantitas penganut empat mazhab yang paling mashur.
9
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas,
Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, h. 36.
10
Muhammad Iqbal, The Reconstruction, h. 148.
Kalimat ini menjadi prinsip yang luar biasa
pengaruhnya dan menimbulkan banyak
kontroversi pada masa itu. Iqbal memberi
pengertian ijtihad yang sangat berbeda dan
di luar mainstream pemikiran ulama-ulama
dan pemikir terdahulu. Para ulama terdahulu
secara umum memberi pengertian ijtihad
sebagai upaya serius menggali hukum dari nas
untuk menjawab perubahan sosial yang baru,
yang belum ada ketentuannya dalam nas.
Dalam artian yang dimaksud, ijtihad selalu
berkisar pada penjelasan dan penafsiran nas.
Hal ini berbeda dengan pemikiran Iqbal yang
meletakkan ijtihad dalam rangka keseluruhan
kegiatan atau proses yang menggerakkan dan
menghidupkan Islam. Letak perbedaan yang
mencolok dengan pemikiran terdahulu bahwa
pemikiran ijtihad Iqbal didasarkan kepada
kebebasan atau otonomi individu. Iqbal tidak
setuju bila ijtihad diklasifikasikan sebagaimana
yang ada dalam teori ulama-ulama Sunni.
Biografi Singkat
Muhamad Iqbal lahir di Sialkot, salah
satu kota tua bersejarah di Punjab tahun
1876.11
Sialkot terletak di perbatasan Punjab
Barat dan Kasymir, dari keluarga yang tidak
begitu kaya. Nenek moyangnya berasal dari
Lembah Kasymir.12
Ia meninggal dunia
di Lahore 21 April 1938. Ayahnya yang
pegawai negeri kemudian menjadi pedagang
merupakan seorang Muslim yang saleh
dengan kecenderungan kepada tasawuf. Iqbal
menerima pendidikan awalnya di sebuah
madrasah (maktab) dan kemudian di Scottish
Mission School. Dalam waktu kecilnya ia
mendapat pengaruh dari Sayyid Mir Hasan,
yang mengerti bakat yang besar dari Iqbal,
dan selalu memberinya semangat dalam
setiap kemungkinan. Leluhur Iqbal berasal
dari keturunan Brahmana dari Kasymir yang
telah memeluk agama Islam kira-kira tiga
abad sebelum Iqbal dilahirkan. Neneknya
11
W.C. Smith, Modern Islam in India, (New Jersey:
Pricenton University Press, 1957), h. 107.
12
Hafeez Malik dan Linda P. Malik, Filosof dan Penyair
dari Sialkot, dalam Ihsan Fauzi dan Nurul Agustina (pent.), Sisi
Manusia Iqbal, (Bandung: Mizan,1992), h. 10.
4. 614| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
pindah ke Punjab pada permulaan abad
ke-19 dan menetap di Sialkot. Ayahnya
yang bernama Nur Muhammad yang turut
membantu kematangan intelektual Iqbal.
Selanjutnya Iqbal masuk Government
College di Lahore di mana ia bertemu dengan
Thomas Arnold, yang sangat mempengaruhi
pribadinya. Kedua pengaruh ini, yaitu pe
ngaruh Sayid Mir Hasan dan Thomas
Arnold, telah membentuk pemikiran-
pemikiran Iqbal. Iqbal lulus pada tahun
1897 dan memperoleh beasiswa dan medali
emas karena baiknya bahasa Inggris dan
Arabnya. Ia akhirnya memperoleh gelar M.A
dalam bidang filsafat pada tahun 1899.13
Setelah menyelesaikan pelajarannya, Iqbal
menjadi staff dosen di perguruan tinggi
Pemerintah (Government College), tetapi karir
sastranya telah membayangi semua aspek
kerjanya terlebih dahulu. Pada waktu itu
Iqbal mulai menulis bukunya dalam bahasa
Urdu yang pertama kali mengenai ekonomi.
Mengikuti nasehat Thomas Arnold, Iqbal,
penyair dari Punjab itu pada tahun 190514
berangkat ke Eropa untuk melanjutkan pen
didikannya dalam bidang filsafat Barat diTrinity
College dari Universitas Cambridge, sambil
menghadiri kuliah-kuliah hukum di Lincoln’s
Inn, London. Dari Inggris ia pergi ke Jerman
di mana ia memperoleh gelar Doktor dengan
disertasinya The Development of Metapysics
in Persia pada tanggal 4 November 1907 di
bawah bimbingan F. Hommel. Selama di
Eropa ia banyak bertemu dengan pikiran-
pikiran filosof seperti Niezsche, Whithehead
dan Bergson.
Pada tahun 1908, Iqbal seorang doktor
lulusan dari Universitas Munich Jerman ini
kembali ke Lahore,15
ia bekerja sebagai pe
ngacara dan menjadi dosen filsafat. Bukunya
Reconstruction of Religius in Islam adalah hasil
ceramah-ceramahnya yang diberikannya di
13
A. Mukti Ali, Ijtihad alam Pikiran Islam Modern,(Jakarta:
Bulan Bintang, 1990) h. 174
14
Hafeez Malik dan Linda P. Malik, “Filosof dan Penyair
dari Sialkot”, h. 117-118.
15
Hafeez Malik dan Linda P. Malik, “Filosof dan Penyair
dari Sialkot”, h. 143.
beberapa universitas di India. Kemudian ia
memasuki bidang politik dan di tahun 1930
dipilih menjadi presiden Liga Muslimin. Di
dalam perundingan meja bundar di London ia
turut dua kali dalam mengambil bagian.
Ia juga menghadiri konferensi Islam yang
diadakan di Yerusalem. Di tahun 1933 ia di
undang ke Afganistan untuk membicarakan
pembentukan Universitas Kabul.
Pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal
Pemikiran Iqbal tampak dalam hal-hal seperti
berikut ini. Pertama, dia menggabungkan ilmu
kalam, tasawuf, falsafah, ilmu sosial dan sastra
dalam pemikirannya sebagai rangka untuk
memahami ajaran Islam. Dengan demikian
ia menggunakan perspektif secara luas, yang
membedakannya dari pemikir Muslim lain yang
kebanyakan parsial dan hanya menekankan
pada segi tertentu. Kedua, dalam memahami
kondisi umat Islam dan perkembangan pe
mikirannya, ia tidak memisahkan falsafah
dan teologi dari persoalan sosial budaya yang
dihadapi umat Islam. Ini membuatnya menjadi
seorang filosof dan budayawan berwawasan luas.
Ketiga, pemikiran-pemikirannya yang paling
cemerlang sebagian besar diungkapkan dalam
puisi yang indah dan menggugah, sehingga
menempatkan dirinya sebagai penyair filosof
Asia yang besar pada abad ke-20. Keempat, dia
berpendapat bahwa penyelamatan spiritual dan
pembebasan kaum Muslim secara politik hanya
dapat terwujud dengan cara memperbaiki nasib
umat Islam dalam kehidupan sosial, politik,
ekonomi dan kebudayaan.
Pandangannya senantiasa bertolak dari
ayat-ayat Alquran dan Hadis. Bagi Iqbal,
dengan melihat sejarah masyarakat Asia,
agama memainkan peranan penting dalam
kehidupan umat manusia, termasuk per
kembangan peradaban dan kebudayaan.
Mengkritik penyimpangan dan pengaburan
ajaran agama oleh para sultan, ulama,
cendekiawan dan pemimpin Islam yang
menjadikan agama sebagai kendaraan
untuk mencapai keuntungan politik dan
ekonomi. Semua itu bagi Iqbal sumber
dari degradasi moral umat. Dia sangat kritis
5. Hendri K: Pemikiran Muhammad Iqbal |615
terhadap peradaban dan kebudayaan Barat,
sebagaimana terhadap Islam. Menurut Iqbal,
peradaban dan kebudayaan Islam bisa maju
hanya bisa dilakukan dengan melakukan dua
hal secara serentak,16
yaitu idealisasi Islam
dan pembaruan pemikiran agama. Untuk
bisa bangkit dari kejatuhan kaum Muslim
harus memiliki akses pada kebenaran ajaran
agama dan sejarah panjang peradabannya.
Pemikiran politik Muhammad Iqbal ter
lihat sepulangnya dari Eropa. Iqbal terjun
ke dunia politik, bahkan menjadi tulang
punggung Partai Liga Muslim India. Ia
terpilih menjadi anggota legislatif Punjab.
Dan pada tahun 193017
terpilih sebagai
Presiden Liga Muslim. Karir Iqbal semakin
bersinar dan namanyapun harum ketika
dirinya diberi gelar ‘Sir’ oleh pemerintah
Kerajaan Inggris. Gelar ini menunjukkan
pengakuan dari Kerajaan Inggris atas ke
mampuan intelektualnya dan memperkuat
bargaining position politik perjuangan umat
Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan
sebagai bapak Pakistan yang pada setiap
tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan
dengan sebutan ‘Iqbal day’.
Pemikiran dan aktifitas Iqbal untuk
mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan
sejak terpilih menjadi Presiden Liga Muslim
tahun 1930. Ia memandang bahwa tidaklah
mungkin umat Islam dapat bersatu dengan
penuh persaudaraan dengan warga India
yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh
karenanya ia berpikir bahwa kaum Muslim
harus mendirikan Negara sendiri. Ide ini
ia lontarkan ke berbagai pihak melalui
Liga Muslim dan mendapat dukungan
kuat dari seorang politikus Muslim yang
sangat berpengaruh, yaitu Muhammad Ali
Jinnah (yang mengakui bahwa gagasan
Negara Pakistan adalah dari Iqbal), bahkan
didukung pula oleh mayoritas Hindu yang
saat itu sedang dalam posisi terdesak saat
16
Muhammad. Iqbal, The Reconstruction of Religion, h.
159-163.
17
Sjafruddin Prawira Negara, Islam Sebagai Pandangan
Hidup, (Jakarta: Idayu Press, 1986), h.274.
menghadapi Front Melawan Inggris. Bagi
Iqbal, dunia Islam seluruhnya merupakan
satu keluarga yang terdiri atas republik-
republik, dan Pakistan yang akan dibentuk
menurutnya adalah salah satu republik itu.
Sebagai seorang negarawan yang matang,
tentu pandangan-pandangannya terhadap
ancaman luar sangat tajam. Bagi Iqbal,
budaya Barat adalah budaya imperialisme,
materialisme, anti spiritual dan jauh dari
norma insani. Karenanya ia sangat menentang
pengaruh buruk dari budaya Barat. Dia yakin
bahwa faktor terpenting bagi reformasi dalam
diri manusia adalah jati dirinya. Dengan
pemahaman yang dilandasi di atas ajaran
Islam itulah maka ia berjuang menumbuhkan
rasa percaya diri terhadap umat Islam dan
identitas ke-Islaman-nya. Umat Islam tidak
boleh merasa rendah diri menghadapi budaya
Barat. Dengan cara itu kaum Muslimin dapat
melepaskan diri dari belenggu imperialis.
Sejalan dengan hal itu, Muhammad Asad
mengingatkan bahwa imitasi yang dilakukan
umat Islam kepada Barat baik secara personal
maupun sosial dikarenakan hilangnya ke
percayaan diri, maka lambat laun akan
menghancurkan peradaban Islam.
Mengenai paham Iqbal yang ‘mem
bangunkan’ kaum Muslim dari ‘tidurnya’
adalah “dinamisme Islam” yaitu dorongannya
terhadap umat Islam supaya bergerak
dan jangan tinggal diam. Inti sari hidup
adalah gerak, sedang hukum hidup adalah
menciptakan, maka Iqbal menyeru kepada
umat Islam agar bangun dan menciptakan
dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai
gerak, sehingga ia menyebut bahwa seolah-
olah orang kafir yang aktif kreatif ‘lebih
baik’ daripada Muslim yang ‘suka tidur’.
Iqbal juga memiliki pandangan
politik yang khas, yaitu gigih menentang
nasionalisme yang mengedepankan
sentimen etnis dan kesukuan (ras). Baginya,
kepribadian manusia akan tumbuh dewasa
dan matang di lingkungan yang bebas dan
jauh dari sentimen nasionalisme. Demikian
tegasnya prinsip Iqbal, ia berpandangan
bahwa dalam Islam, politik dan agama
6. 616| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
tidaklah dapat dipisahkan, bahwa negara dan
agama adalah dua keseluruhan yang tidak
terpisah. Dengan gerakan membangkitkan
khudi (pribadi; kepercaaan diri) inilah Iqbal
dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk
bangkit dari keterpurukan yang dialami
dewasa ini. Ia kembalikan semangat yang
dulu dapat dirasakan kejayaan oleh umat
Islam. Akhir dari konsep kepercayaan diri
inilah yang membawa Pakistan merdeka
sehingga ia disebut sebagai Bapak Pakistan.
Pemikiran Muhammad Iqbal dalam
PembaruanHukumIslamdanPengaruhnya
Pembaruan hukum Islam sebagaimana
dilakukan Muhammad Iqbal tidak terlepas
dari pandangannya terhadap sumber-sumber
hukum Islam. Hal ini dapat diuraikan secara
singkat sebagai berikut:
a. Pemikirannya Tentang Alquran
Iqbal percaya kalau Alquran itu memang
benar diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril
dengan sebenar-benar percaya. Menurut
Iqbal, Alquran adalah sebagai sumber hukum
yang utama dengan pernyataannya, “The
Quran is a book which emphazhise ‘deed’
rather than ‘idea” (Alquran adalah kitab
yang lebih mengutamakan amal daripada
cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa
Alquran bukanlah undang-undang. Dia ber
pendapat bahwa penafsiran Alquran dapat
berkembang sesuai dengan perubahan zaman.
Alquran dapat ditafsirkan melalui berbagai
disiplin ilmu, dan pintu ijtihad tidak pernah
tertutup. Tujuan utama Alquran adalah
membangkitkan kesadaran manusia yang
lebih tinggi dalam hubungannya dengan
Tuhan dan alam semesta. Alquran tidak
memuatnya secara detail maka manusialah
yang dituntut mengembangkannya.
Dalam istilah fikih hal ini disebut ijtihad.
Ijtihad dalam pandangan Iqbal disebut
dengan prinsip gerak dalam struktur Islam.
Oleh karenanya, walaupun Alquran tidak
melarang mempertimbangkan karya besar
ulama terdahulu, namun masyarakat juga
harus berani mencari rumusan baru secara
kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang mereka hadapi
“akibat pemahaman yang kaku terhadap
pendapat ulama terdahulu”. Maka ketika
masyarakat bergerak maju, hukum tetap
berjalan di tempat.18
Meskipun Iqbal sangat menghargai pe
rubahan dan penalaran ilmiah dalam me
mahami Alquran, namun dia melihat ada
dimensi-dimensi di dalam Alquran yang
sudah merupakan ketentuan yang baku dan
tidak dapat dirubah, sebab ketentuan itu
berlaku konstan. Menurut Iqbal, para mullah
dan sufi telah membawa umat Islam jauh
dari maksud Alquran.19
Pendekatan mereka
tentang hidup menjadi negatif dan fatalis.
Iqbal mengeluh ketidakmampuan umat Islam
dalam memahami Alquran disebabkan ke
tidakmampuan terhadap memahami bahasa
Arab dan telah salah impor ide-ide Hindu
dan Yunani ke dalam Islam dan Alquran.
Dia begitu terobsesi menyadarkan umat
Islam untuk lebih progresif dan dinamis
dari keadaan statis dan stagnan dalam men
jalankan kehidupan duniawi. Bagi Iqbal,
politik pemerintahan dan agama tidak ada
pemisahan sama sekali. Inilah yang di
kembangkannya dalam merumuskan ide
berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan
diri dari India yang mayoritas Hindu.
Pemahaman yang universal serta utuh
terhadap Alquran menggerakkan umat untuk
lebih kreatif dan dinamis dalam menye
lesaikan berbagai problematika sebagai kon
sekuensi dari perubahan kondisi riil suatu
masyarakat melalui pendekatan rasional
terhadap Alquran yang menghargai gerak
dan perubahan. Kendati demikian, Iqbal
tidak mengabaikan dimensi lain di dalam
Alquran yang bersifat konstan bahkan harus
dipertahankan. Sebagaimana kritik Iqbal
terhadap tuntutan Zia Gokal, penyair dan
18
Muhammad. Iqbal, The Reconstruction, h. 172.
19
Parveen Shaukat Ali, The Political of Iqbal, (Lahore:
Publisher United Ltd, 1978), h. 165.
7. Hendri K: Pemikiran Muhammad Iqbal |617
sosiolog Turki yakni menuntut persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan dalam
masalah talak, perceraian dan warisan.
Pandangan Iqbal tentang kehidupan yang
equilibrium antara moral dan agama; etik
dan politik, ritual dan duniawi, sebenarnya
bukanlah hal baru dalam pemikiran Islam.
Namun, dalam perjalanan sejarah, pemikiran
demikian terkubur bersama arus kehidupan
politik umat Islam yang semakin memburuk,
terutama sejak keruntuhan dan kehancuran
Baghdad. Sehingga umat Islam tidak mampu
lagi menangkap visi dinamis dalam doktrin
Islam (Alquran). Akhirnya, walaupun tidak
dinyatakan secara tegas ke dalam konsep
oleh para sufi, lahirlah pandangan pemisahan
antara kehidupan dunia dan agama yang
menyeret umat untuk meninggalkan ke
hidupan duniawi. Akibatnya hukumpun
menjadi statis dan Alquran tidak mampu
dijadikan sebagai referensi utama dalam
menjawab setiap problematika.
Oleh sebab itu, Iqbal ingin menggerak
kan umat Islam untuk kreatif dan dinamis
dalam menghadapi hidup dan menciptakan
perubahan-perubahan di bawah tuntun
an ajaran Alquran. Nilai-nilai dasar ajaran
Alquran harus dapat dikembangkan dan digali
secara serius untuk dijadikan pedoman dalam
menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah
dengan mengadakan pendekatan rasional
Alquran dan mendalami semangat yang ter
kandung di dalamnya, bukan menjadikan
sebagai buku undang-undang yang berisi
kumpulan peraturan-peraturan yang mati
dan kaku. Walaupun demikian, Iqbal melihat
ada dimensi-dimensi dalam Alquran yang
merupakan ketentuan yang baku dan tidak
dapat dirubah, sebab ketentuan itu berlaku
konstan.
Salah satu pendapat Iqbal mengenai
Alquran yang perlu digarisbawahi adalah
ia sangat menekankan pada aspek hakikat
yang bisa diamati. Tujuan Alquran dalam
pengamatan reflektif atas alam ini adalah
untuk membangkitkan kesadaran pada
manusia tentang alam yang dipandang
sebagai sebuah simbol.20
Iqbal menyatakan
hal ini berdasarkan kutipan beberapa ayat,
di antaranya: “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan
bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna
kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang mengetahui” (Q.s. al- Rûm
[30]: 22).
b. Pendapatnya Tentang Hadis
Kajian Iqbal terhadap Hadis didasarkan
pada situasi dan kondisi masyarakat yang
berkembang pada waktu itu. Pandangan ini,
di tengah tarik ulur kedudukan Hadis sebagai
sumber hukum antara umat Islam di suatu
pihak, dan kaum orientalis di lain pihak
yang sampai hari ini masih terus berlangsung.
Tentu saja maksud dan pemahamannya
berangkat dari kajian tersebut berbeda pula.
Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung
jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam.
Sedangkan orientalis mengkajinya hanya
untuk kepentingan ilmiah, bahkan terkadang
hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam.
Kalangan orientalis yang pertama melakukan
studi tentang Hadis adalah Ignaz Goldziher.
Menurutnya, sejak masa awal Islam (masa
sahabat) dan masa-masa berikutnya Hadis
mengalami proses evolusi, mulai dari sahabat
dan seterusnya sehingga berkembang menjadi
mazhab-mazhab fikih. Iqbal berkesimpulan
bahwa tidak semua koleksi dari para ahli
Hadis dapat dibenarkan.21
Iqbal sepakat dengan apa yang telah
dikemukan oleh Syah Waliyullah mengenai
Hadis, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan
dakwah Islam dengan memperhatikan ke
biasaan, cara-cara dan keganjilan yang di
hadapinya ketika itu. Selain itu, Nabi juga
memperhatikan sekali adat istiadat penduduk
setempat. Dalam penyampaiannya, Nabi
lebih menekankan pada prinsip-prinsip
dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat
20
Muhammad Iqbal, Tajdîd al-Tafkîr al-Dînî fî al-Islâm,
(Kairo: Tnp., 1968), h. 20-21.
21
Muhammad Iqbal, The Reconstruction, h. 172.
8. 618| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
pada saat itu, tanpa terikat oleh ruang dan
waktu. Iqbal menanamkan prinsip-prinsip
dasar syariat “dar’u al-mafâsid wa jalbu al-
mashâlih”. Iqbal juga memperhatikan adat
istiadat serta tradisi daerah setempat.22
Kaitannya dengan keyakinan bahwa Islam
sebagai rahmatan lil’âlamin tanpa terikat
oleh ruang dan waktu, maka apa yang Nabi
sampaikan pada umat generasi pertama tidak
dapat dipandang konstan atau tekstual untuk
generasi selanjutnya yang dipastikan me
ngalami perubahan dan dinamika serta
melahirkan problematika yang lebih
kompleks. Sehingga hukum yang diberlaku
kan untuk umat generasi sesudahnya me
ngacu pada prinsip kemaslahatan.23
Iqbal
sepakat dengan konsep Abû Hanîfah tentang
al-istihsân. Konsep al-istihsân adalah sesuatu
yang sangat wajar sebagai konsekuensi dari
memahami universalitas hukum Islam. Iqbal
menganggap wajar saja kalau Abû Hanîfah
lebih banyak mempergunakan konsep al-
istihsân daripada Hadis yang masih diragukan
keasliannya. Sikap ini diambil Abû Hanîfah
karena ia lebih cenderung memandang
tujuan-tujuan universal Hadis daripada
tekstual Hadis.
Iqbal juga melakukan pembedaan
antara Hadis hukum dan nonhukum,
juga Hadis yang mengandung kebiasaan
pra-Islam. Beliau melakukan pemilahan
posisi Nabi Muhammad sebagai Rasul dan
manusia biasa.24
Dalam artian tidak semua
Hadis merupakan Hadis hukum yang wajib
ditaati, ada Hadis yang hanya merupakan
kebiasaan yang menurut Iqbal tidak wajib
diikuti. Iqbal memahami Hadis secara
kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial
yang berkembang bukan sebagai koleksi
peraturan tingkah laku Muslim yang kaku,
mengabaikan atau tidak realistis terhadap
22
Muhammad Iqbal, The Reconstruction, h. 171.
23
Muhammad Iqbal, The Reconstruction, h. 171.
24
Lihat Muhammad Quraisy Shihab dalam Pengantar
Buku, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw., karya Muhammad al-
Ghazâlî, al-Muhammad Baqir (pent.), (Bandung: Mizan), h. 9.
Lihat juga Syihabuddin al-Qarafi, al-Furuq, j. I (Kairo: Dâr Ihyâ
al-Kutub, 1992), h. 206.
dinamika masyarakat. Apa yang diajarkan
oleh Nabi terhadap generasi awal (sahabat)
adalah contoh dan nilai-nilai universal yang
terkandung dalam Hadis itulah hakikat
Hadis Nabi yang sebenarnya.
Iqbal memandang perlu umat Islam
melakukan studi mendalam terhadap literatur
Hadis dengan berpedoman langsung kepada
Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai
otoritas untuk menafsirkan wahyu. Hal ini
sangat besar faidahnya dalam memahami
nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum
Islam. Iqbal menyerukan akan pentingnya
memaknai spirit dan ruh yang ada dalam
Hadis, dibandingkan hanya memahami
Hadis secara tekstual saja.
c. Pandangannya Tentang Ijtihad
Munculnya persoalan-persoalan baru
dalam kehidupan sosial akan menimbulkan
problem-problem baru dalam bidang hukum.
Dalam menggali pesan teks keagamaan yang
universal, tentu dibutuhkan upaya maksimal
yang sering disebut dengan ijtihad. Ijtihad
itu sendiri mengalami pasang surut bahkan
ijtihad mengalami stagnansi selama lima
ratus tahun. Hal ini menjadi sejarah gelap
umat Muslim yang disebabkan kekhawatiran
terjadinya disintegrasi umat pasca jatuhnya
Baghdad ke tangan Mongol.25
Iqbal merasa
bahwa ijtihad merupakan kebutuhan urgen
dalam mengembangkan hukum Islam
yang mengacu kepada kepentingan umat
dan kemajuan umum. Maka perlu segera
mengalihkan kekuasaan ijtihad individual
kepada ijtihad kolektif atau ijma’. Menurutnya
peralihan ijtihad individual yang mewakil
mazhab tertentu kepada lembaga legislatif
Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling
tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat
menggerakkan spirit dalam sistem hukum
Islam yang hilang.26
Komposisi anggota
lembaga legislatif hukum Islam ini beragam
bahkan bukan saja melibatkan ulama tapi
25
Muhammad Iqbal, The Reconstruction h. 149-151.
26
Muhammad Iqbal, The Reconstruction, h. 174
9. Hendri K: Pemikiran Muhammad Iqbal |619
harus melibatkan orang awam tentang hukum
Islam tetapi memiliki pandangan yang tajam
mengenai problem sosial yang berkembang
di masyarakat.27
Iqbal berpandangan bahwa hasil rumusan
ijma’ tidak harus mengikat seluruh umat
Islam. Tapi keberlakuan ijma’ kolektif lebih
memungkinkan bersifat regional namun
demikian ia menegaskan bahwa perlu di
bentuk lembaga internasional Negara-negara
Islam yang mengatur dan mendialogisasi
permasalahan dan kebutuhan umat Islam
di semua Negara Muslim. Menurut Iqbal,
kesalahan terbesar umat Islam terletak pada
terbelenggunya pikiran untuk menentukan
pilihan nasib mereka sendiri. Iqbal melihat
umat Islam sudah terkena sindrom jumud,
beku, statis dan tidak ada perubahan. Karena
dipengaruhi paham jumud, umat Islam
tidak menghendaki perubahan dan tidak
mau menerima perubahan. Mereka hanya
melakukan sesuatu hal yang berpegang teguh
pada tradisi.28
Fokus gerakan Iqbal adalah
mengeluarkan umat Islam dari ‘ilusi’ masa
lalu, di mana tradisi tersebut banyak yang
menyimpang dari Alquran dan Hadis.
Iqbal menyerukan pentingnya ijtihad.
Baginya, ijtihad tidak terbatas kepada
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
nas saja. Ijtihad memiliki fungsi yang sangat
luas, sebagai upaya dalam menjawab persoalan
yang terjadi di tengah-tengah umat. Iqbal
meyakini bahwa Islam sebagai kekuatan yang
hidup untuk membebaskan pikiran manusia
dari batas-batas kedaerahan dan percaya
bahwa agama adalah suatu kekuatan yang
paling penting dalam kehidupan individu
dan Negara.29
Konsep ijtihad Muhammad Iqbal me
rupakan sintesa dari dinamisme ajaran-ajaran
Islam dengan konsep otonomi individu dari
filsafat khudi-nya. Hakikat ijtihad adalah
27
Muhammad Iqbal, The Reconstruction, h. 175-176
28
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 62.
29
H.H. Bilgrami, Iqbal, Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-
pikirannya, Djohan Efendi (pent.), (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), h. 13.
proses gerak dalam struktur pemikiran
Islam, khususnya hukum Islam. Penekanan
ini penting, sebab bagi Iqbal hukum Islam
merupakan sentral dari keseluruhan ajaran
Islam. Gerak yang dimaksud di atas adalah
kreatifitas untuk mencari jawaban-jawaban
baru melalui interpretasi yang didasarkan
kepada kemampuan dan pengetahuan yang
memadai untuk menganalisis berbagai per
soalan dan perubahan yang ada dalam
masyarakat Islam.
Iqbal tidak sepakat bila ijtihad kemudian
dibatasi dan dibebani berbagai persyaratan
yang demikian ketat. Dari perspektif ushûl
fiqh, ijtihad Iqbal termasuk ke dalam ke
lompok ijtihâd fardi. Sebagai prinsip gerak,
ijtihad seharusnya dikembangkan dan di
eksplorasi lebih lanjut. Ijma’ sebagai salah
satu sumber hukum Islam yang penting, oleh
Iqbal dikembangkan dengan melembagakan
ijma’. Lembaga yang ideal memangku tugas
ini adalah lembaga atau majlis legislatif Islam
yang didalamnya terdapat orang-orang yang
memenuhi persyaratan sebagai ulama yang
mengetahui dan mendalami hukum Islam dan
mempunyai wawasan luas tentang berbagai
kondisi objektif masa kini. Lembaga ini
menyerap berbagai persoalan yang berkembang
di masyarakat untuk kemudian dibahas dan
diputuskan bersama-sama.
Menurut sisi hubungannya dengan nas,
ijtihad dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
ijtihâd al-syar’i dan ijtihâd al-‘aqli. Ijtihâd
al-syar’i adalah ijtihad yang didasarkan atas
ketentuan-ketentuan nas. Sedangkan ijtihâd
al-‘aqli adalah ijtihad yang didasarkan pada
pemikiran ilmiah filosofis. Penggunaan akal
sebagai instrumen ijtihad oleh sebagian
ulama dipandang sebagai hal yang mem
bahayakan karena sangat mungkin terjadi
penyimpangan maksud-maksud nas. ‘Abd.
al-Wahab Khallaf menyatakan ada dua
kemungkinan dalam penalaran atau ijtihad.
Pertama pendapat yang salah dan kedua
pendapat yang benar.
Pendapat yang salah adalah pendapat
yang didasarkan kecenderungan hawa nafsu
dan kepentingan-kepentingan tertentu
10. 620| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
yang terlepas dari kontrol dan pengawasan
prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam
ajaran Islam. Sedangkan pendapat yang benar
adalah pendapat yang diolah dengan kerja
kontemplatif dan pemikiran yang mendalam
tentang dalil-dalil syara’ dan dalam batas
koridor syara’. Inilah yang disebut dengan
ijtihad menurut Abd. al-Wahab Khallaf.
Dari pemahaman di atas, ijtihad lebih luas
maknanya daripada sekedar qiyâs atau istihsân.30
Berdasarkan uraian di atas, disebutkan
bahwa ijtihad dapat menjadi sumber hukum
Islam. Menurut Ali Hasballah, ijtihad
merupakan sumber ketiga dari hukum Islam
setelah Alquran dan Hadis. Dengan ijtihad
sebagai sumber hukum, maka hukum Islam
akan dapat berkembang dan dapat merespon
perubahan zaman.31
Walau demikian, ada
kelompok yang tidak sependapat dengan
pemikiran di atas dan hanya setuju apabila
ijtihad berfungsi sebagai metode penetapan
hukum. Menurut mereka, sumber utama
hukum Islam tetap Alquran dan Hadis.
Ijtihad digunakan, tetapi dengan tetap me
rujuk kepada sumber utama.32
Menurut
mereka, dengan ijtihad sebagai sumber ketiga
maka kedudukan ijtihad akan setara dengan
Alquran dan Hadis. Hal ini tidak mungkin,
sebab hasil ijtihad bersifat zhanni. Sedangkan
ketentuan dalam Alquran dan Hadis bersifat
qath’i.
Menghadapi perubahan sosial yang begitu
cepat, maka ijtihad dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu ijtihâd tarjîhi dan ijtihâd
ibtidâ’i. Pertama, ijtihâd tarjîhi adalah ijtihad
yang dilakukan seseorang atau kelompok untuk
30
Ibrahim Hossen mengutip rekomendasi Lembaga
Penelitian Islam al-Azhar yang menyatakan bahwa ijtihad yang
didasarkan pemikiran ilmiah, yang dilakukan perorangan, bila
telah mampu memenuhi syarat dapat diterima dan boleh. Ijtihad
seperti ini disebut dengan ijtihâd fardi. Selain itu ada pula ijtihâd
jamâ’i, yaitu ijtihad yang dilakukan beberapa orang dari disiplin
ilmu yang berbeda untuk memutuskan permasalahan. Lihat
Ibrahim Hossen “Taqlid dan Tajdid, Beberapa Pengertian Dasar”,
dalam Budhi Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 358.
31
Ali Hasballah, Usul al Tasyrî al-Islâmi, (Kairo: Dâr al-
Ma’ârif, 1964), h. 65.
32
Ahmad Azhar Basyir, “Pokok-Pokok Ijtihad dalam
Hukum Islam”, dalam Haidar Bagir (ed.), Ijtihad., h. 40.
memilih pendapat ulama-ulama terdahulu
mengenai masalah-masalah tertentu, kemudian
menyeleksi pendapat-pendapat tersebut dan
memilih mana yang lebih râjih dan relevan
dengan konteks sekarang. Kedua, ijtihâd ibtidâ’i
adalah ijtihad untuk mengambil kesimpulan
hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang
belum dipecahkan ulama terdahulu. Ijtihad
ini pun dapat dilakukan perorangan maupun
kelompok dengan catatan, tentu membutuhkan
persyaratan yang lebih ketat dan kuat.33
Pemikiran serta gagasan-gagasan Iqbal
sangat berpengaruh dalam upaya pembentukan
Negara Islam Pakistan yang diploklamirkan
oleh Muhammad Ali Jinnah. Sepeninggal
Iqbal, berkembang kajian-kajian terhadap
pemikiran dan gagasan-gagasan beliau baik
yang intens maupun yang insidentil. Di antara
cendekiawan yang serius mengembangkan
gagasan-gagasannya adalah Fazlu Rahman,
meskipun tidak secara utuh. Sebab di samping
melakukan pembelaan terhadap Iqbal dari
serangan orientalis, ia juga memberikan
kritikan dalam beberapa hal. Pemikiran
Iqbal mengenai alam semesta, manusia,
dan Alquran cukup mendapat tempat dan
dikembangkan oleh Fazlu Rahman. Ia lebih
mempertajam pandangan Iqbal mengenai
Alquran. Menurutnya, Alquran sebagai kitab
yang berisi moral dan etik, bukan dokumen
yang memuat hukum yang kaku.34
Ia juga
menjelaskan tujuan dan prinsip yang menjadi
esensi berbagai hukum.35
Dalam menafsirkan
Alquran secara integral dan komprehensif, ia
menetapkan tiga hal yang tidak boleh diabaikan
yakni memperhatikan latar belakang sejarah
turunnya Alquran sehingga bisa dipahami
makna teksnya, membedakan antara ketetapan
hukum dan sasaran atau tujuan moral yang
dikandung Alquran dengan memperhatikan
latar belakang sosio-historisnya.
33
Yûsuf al-Qaradhâwi, Ijtihad dalam Syariat Islam,
Ahmad Syatori (pent.), cet. 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
h. 115-126.
34
Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (pent.),
(Bandung: Pustaka 1984), h. 43.
35
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Ahsin Muhammad
(pent.), (Bandung: Pustaka, 1985), h. 186.
11. Hendri K: Pemikiran Muhammad Iqbal |621
Rahman juga memandang Hadis sebagai
konsep yang memuat prinsip-prinsip moral
yang universal dan harus dipahami secara
dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Ijtihad dalam pengertian ‘jihad
intelektual’ bagi Rahman menjadi hak tiap
Muslim yang memiliki kemampuan dan tidak
menjadi otoritas golongan tertentu36
. Ia juga
menolak terhadap pembagian ijtihad: ijtihâd
muthlaq, muqayyad dan fî al-mazhabi. Rahman
juga mendukung pembentukan lembaga ijma’.37
Pemikirannya mengenai Alquran, alam semesta
dan manusia selanjutnya dikembangkan Fazlu
Rahman meskipun tidak secara utuh dan
khusus, gagasan Iqbal mengenai Alquran
dikembangkan secara tajam olehnya. Dan
melalui Fazlu Rahman beberapa tokoh
intelektual Muslim Indonesia mengembangkan
pemikiran Muhammad Iqbal di Indonesia,
antara lain Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Pengembangan gagasan Iqbal oleh Ahmad
Syafi’i Ma’arif terlihat dalam usahanya untuk
membedakan antara Islam sejarah dan Islam
cita-cita.38
Pandangannya ini sangat mirip
dengan prinsip dinamika dan konservasinya
Iqbal. Ia mengungkapkan pentingnya me
lakukan gerakan tajdîd, yang dipengaruhi
oleh tiga faktor: Pertama, pemahaman dan
penafsiran terhadap doktrin transendental
tidak pernah bernilai mutlak. Kedua, Islam
bertujuan untuk menciptakan suatu tata
sosio-politik di atas landasan etik dan moral
yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan
prinsip rahmatan lil ‘âlamin dalam ruang dan
waktu. Ketiga, tajdîd dalam pemikiran dan
pelaksanaan ajaran Islam pernah ditujukan
secara kreatif oleh genarasi sahabat, terutama
Khalifah ‘Umar.39
Hal ini tidak aneh, karena
Ma’arif adalah murid Fazlu Rahman, sementara
36
Fazlur Rahman, Islamic Concept of State, dalam Jhon
L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedia Masalah-
masalah, Machnun Husein (pent.), (Jakarta: Rajawali Press,
1988), h. 947.
37
Fazlur Rahma, Islam: Challeges and Opportunities, h. 388.
38
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Politik dan Demokrasi di Indonesia,
dalam Bosco Carvallo dan Dasrial, Aspirasi Umat Islam Indonesia,
(Jakarta: LEPPENAS, 1983), h. 38-39.
39
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Alquran: Realitas Sosial dan
Limbo Sejarah, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 99.
Rahman mengelaborasi gagasan-gagasan Iqbal.
Demikian juga dengan intelektual Muslim
Indonesia lainnya, seperti Harun Nasution
dan Djohan Effendi.
Penutup
Sumbangan pemikiran Muhammad Iqbal
dalam pembaruan hukum Islam di India
tidak terlepas dari pemahamannya terhadap
Alquran dan Hadis sebagai sumber hukum
Islam. Dia memahami Alquran sebagai
sumber etika yang senantiasa relevan dengan
perubahan dan dinamika masyarakat me
lalui mekanisme ijtihad. Dan Hadis dalam
pemahaman Iqbal bukanlah koleksi peraturan
tingkah laku yang kaku dan tekstual.
Konsep ijtihad Muhammad Iqbal me
rupakan sintesa dari dinamisme ajaran-ajaran
Islam dengan konsep otonomi individu dari
filsafat khudi-nya. Hakikat ijtihad adalah
proses gerak dalam struktur pemikiran
Islam, khususnya hukum Islam. Penekanan
ini penting, sebab bagi Iqbal hukum Islam
merupakan sentral dari keseluruhan ajaran
Islam. Gerak yang dimaksud di atas adalah
kreatifitas untuk mencari jawaban-jawaban
baru melalui interpretasi yang didasarkan
kepada kemampuan dan pengetahuan yang
memadai untuk menganalisis berbagai
persoalan dan perubahan yang ada dalam
masyarakat Islam. Iqbal tidak sepakat bila
ijtihad kemudian dibatasi dan dibebani
berbagai persyaratan yang demikian ketat.
Dari perspektif ushûl fiqh, ijtihad Iqbal
termasuk ke dalam kelompok ijtihâd fardi.
Sebagai prinsip gerak, ijtihad seharusnya
dikembangkan dan dieksplorasi lebih lanjut.
Ijma’ sebagai salah satu sumber hukum
Islam, menurut Iqbal, dikembangkan dengan
melembagakan ijma’. Lembaga yang ideal
memangku tugas ini adalah lembaga atau
majlis legislatif Islam yang di dalamnya
terdapat orang-orang yang memenuhi
persyaratan sebagai ulama yang mengetahui
dan mendalami hukum Islam dan mempunyai
wawasan luas tentang berbagai kondisi
objektif masa kini. Lembaga ini menyerap
12. 622| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 3, Juni 2015
berbagai persoalan yang berkembang di
masyarakat untuk kemudian dibahas dan
diputuskan bersama-sama.
Pustaka Acuan
Adnan, Taufiq, dan Syamsu Rizal,Tafsir
Kontekstual Alquran, Bandung: Mizan,
1989.
Ahmad, Manzhoor, dalam Pengantar Karya
Iqbal, Metafisika Persia: Suatu Sumbangan
Untuk Sejarah Filsafat Islam, Joebar
Ayyub (pet.), Bandung: Mizan, 1990.
Ali, Parveen Shaukat, The Political Philosofy
of Iqbal, Lahore: Publiser United Ltd,
1978.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan
Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1996.
Arkoun, Muhammad, dan Louis Gardet,
“Islam Kemarin dan Esok”, Ahsin
Muhammad (pent.), Bandung: Pustaka,
1984.
Gibb, H.A.R, Modern Trends in Islam,
Chicago: Pricenton, 1976.
Hasan, A, The Doctrin of Ijma’ in Islam, R.
Astuti (pent.), Ijma’, Bandung: Pustaka,
1985.
Hasballah, Ali, Usûl al-Tasyrî al-Islâmi, Kairo:
Dâr al-Ma’ârif, 1964.
Iqbal, Muhammad, The Reconstruction of
Religius Thught in Islam, New Delhi:
Kitab Bhavan, 1981, Osman Raliby
(pent.), Pembangunan Kembali Alam
Pikiran Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1983.
_____, Tajdîd at-Tafkîr al-Dînî fî al-Islâm,
Kairo: Dâr Qalam, 1968.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Alquran: Realitas
Sosial dan Limbo Sejarah, Bandung:
Pustaka, 1985.
_____, Politik dan Demokrasi di Indonesia,
dalam Bosco Carvallo dan Dasrial,
Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta:
LEPPENAS, 1983.
Mahmassani, Sobhi, Filsafat Hukum dalam
Islam, Ahmad Sudjono (pent.), Bandung:
al-Ma’arif, 1981.
Maitre, Luce-Calude, “Introduction to The
Thought of Iqbal”, Djohan Efendi
(pent.), Pengantar ke Pemikiran Iqbal,
Bandung: Mizan, 1989.
Malik, Hafeez, dan Linda P. Malik, Filosof
Penyair dari Sialkot, Ihsan Fauzi &
Nurul Agustina, Sisi Manusia Iqbal,
Bandung: Mizan, 1992.
Mukti Ali, A, Ijtihad dalam Pandangan
Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan
dan Muhammad Iqbal, Jakarta: Bulan
Bintang, 1990.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam,
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Prawiranegara, Sjafruddin, Islam sebagai
Pandangan Hidup, Jakarta: Idayu Press,
1986.
Qaradhawi, al-, Yusuf, Ijtihad dalam Syariat
Islam, Ahmad Syatori (pent.), cet. 1,
Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Rahman, Fazlur, “Islam: Challeges and
Opportunities”, dalam Harun Nasution
dan Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan
Moderen dalam Islam, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1984.
_____, Islam and Modernity, Ahsin
Muhammad (pent.), Bandung: Pustaka,
1985.
_____, “Islamic Concept of States” dalam
Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan
Ensiklopedia Masalah-masalah, Macnun
Husein (pent.), Jakarta: Rajawali Press,
1988.
Shihab, Muhammad Quraisy, dalam
Pengantar Buku, Studi Kritis atas Hadis
Nabi Saw., karya Muhammad al-Ghazali,
Muhammad Baqir (pent.), Bandung:
Mizan, 1992.
Smith,W.C, Modern Islam in India,
Precenton, New Jersey: Pricenton Univ
Press, 1957.