SlideShare a Scribd company logo
1 of 33
BAB I 
PENDAHULUAN 
1 
1.1 Latar Belakang 
Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan 
membutuhkan pengobatan operasi segera yang mempunyai insiden puncak pada 
anak remaja dan dewasa muda. Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi 
daripada di negara berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat 
perubahan pola makan di Negara berkembang yang banyak mengonsumsi 
makanan berserat. Di Amerika Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh 
lebih dari 40.000 rumah sakit tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi 
apendisitis, dengan rasio laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan risiko seumur 
hidup apendisitis yaitu pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan.1 
Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan 
tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Apendisitis 
perforasi adalah perjalanan kondisi apendisitis akut yang lama tertangani. 
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan 
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan 
pemeriksaan laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi 
diagnosis apendisitis berkisar 76-92%. Pengobatan untuk apendisitis adalah 
pembedahan, apendektomi. Sebelum pembedahan, pasien diberikan antibiotik 
perioperatif yang spectrum luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi 
dan pembentukan abses intraabdominal.2 
Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat, 
termasuk dalam tindakan apendektomi kasus apendisitis. Kata anesthesia berarti 
pembiusan yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, 
tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Secara umum berarti 
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan 
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah
2 
anesthesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 
1846.3 
Terdapat beberapa jenis anesthesia, antara lain local/infiltrasi, 
blok/regional, umum/general. Anesthesia umum adalah tindakan meniadakan 
nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali 
(reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri dari: hipnotik (hilang 
kesadaran), analgesia (hilang rasa sakit), dan relaksasi otot.3 
Persiapan prabedah harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya 
kesalahan anesthesia. Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk 
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan 
kualitas pelayanan kesehatan. Persiapan prabedah yang kurang memadai 
merupakan faktor penyumbang sebab-sebab terjadinya kesalahan anesthesia. 
Dokter spesialis anesthesiologi melakukan kunjungan pasien sebelum pasien 
dibedah untuk memantau kondisi pasien agar pasien dalam kondisi yang optimal 
pada waktu menjalani operasi. Berbagai penilaian harus dilakukan seperti 
anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sehingga 
kodisi pasien dapat dinilai.3 
Pada saat operasi, dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat satu 
hingga dua jam sebelum induksi anesthesia. Setelah itu, dilakukan induksi 
anesthesia yaitu membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga 
memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Sebelum memulai 
induksi anesthesia sebaiknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan 
sehingga seandainya terjadi kegawatan dapat diatasi dengan cepat dan baik. 
Setelah itu rumatan anesthesia dapat dikerjakan dengan secara intravena atau 
dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.3 
Setelah pembedahan, pemulihan dari anesthesia umum atau dari analgesia 
regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anesthesia 
(RR, Recovery Room atau PACU, Post Anesthesia Care Unit). Idealnya ketika 
pasien sadar secara bertahap, tanpa keluhan. Namun sering ditemukan beberapa 
hal akibat stres pasca bedah atau pasca anesthesia yang berupa gangguan napas,
3 
gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan 
kadang-kadang perdarahan.3 
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan 
dan pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai 
tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis perforasi.
4 
BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA 
2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif 
2.1.1 Penilaian Preoperatif 
Sebelum tindakan operasi dilakukan, penting diperhatikan 
persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan pasien sebelum 
dibedah sehingga dapat diketahui kelainan di samping kelainan yang 
akan dioperasi. 
Tujuannya adalah : 
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien 
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya 
riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik 
berupa dyspneu maupun urtikaria). 
3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien 
4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan 
status praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan) 
5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi 
(informed consent) kepada pasien. 
6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi 
dosis obat induksi.4 
Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang 
berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, 
alergi, atau decompensatio cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan 
pasien secara keseluruhan. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa 
menghindarkan kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi 
preoperasi meliputi history taking (AMPLE : pada pasien trauma), 
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, 
EKG, USG, foto thorax, dan sebagainya. Selanjutnya dokter anestesi 
harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang
5 
manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam 
informed consent.4 
a. History Taking 
History taking dapat dimulai dengan menanyakan riwayat 
alergi terhadap makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi 
dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan intoleransi 
(biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang 
dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan 
(termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat 
dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa 
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang 
review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit 
atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis. 
b. Pemeriksaan Fisik 
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama 
lain. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan 
asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, 
nadi, laju pernapasan, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, 
dan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga 
penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila 
ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional. 
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. 
Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, 
leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan 
menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk 
anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas 
wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu 
dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia, 
Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau
6 
vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi 
kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal. 
Skoring Mallampati: 
I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan 
II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula 
III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula 
IV. Hanya terlihat palatum durum 
Gambar 2.1. Kriteria Mallampati 
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko 
anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari 
efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan 
menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk 
ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA 
secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas 
perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak 
faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka 
tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. 
Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam 
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.5
7 
Tabel 2.1 Klasifikasi ASA 
Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau 
psikiatri. 
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, 
tanpa limitasi aktivitas sehari-hari. 
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi 
aktivitas normal. 
Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa 
dengan maupun tanpa operasi. 
Kelas V 
Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi 
tetap dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi. 
Kelas VI 
Pasien dengan kematian batang otak yang organ 
tubuhnya akan diambil untuk tujuan donor 
E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI 
diatas. 
c. Pemeriksaan Penunjang 
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung 
pada umur pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama 
seperti dasar dan luas dari prosedur bedah yang direncanakan. 
Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan 
Pemeriksaan rutin Indikasi 
Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi 
glukosa darah jika glukosa urine positif) 
FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun; 
semua bedah mayor 
Ureum, Creatinin, 
Elektrolit 
Bedah mayor 
ECG Umur > 50 tahun 
Foto Torak Umur > 60 tahun 
Tes fungsi hati (Liver 
Function Test) 
Bedah mayor pada pasien umur > 50 
tahun.
8 
Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya: 
No Test Indikasi 
1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya 
Penyakit ginjal 
Pasien yang menjalani kemoterapi 
2 Ureum, creatinin 
dan konsentrasi 
elektrolit 
Penyakit ginjal 
Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus 
Nutrisi abnormal 
Riwayat diare, muntah 
Obat-obatan yang merubah keseimbangan 
elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari 
adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik, 
diuretic, antihipertensi, kortikosteroid, 
hipoglikemik agent. 
3 Konsentrasi 
glukosa darah 
Diabetes Mellitus 
Penyakit hati yang berat 
4 Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru 
kronik 
Diabetes Mellitus 
5 Chest X-ray Penyakit respirasi 
Penyakit kardiovaskuler 
6 Arterial blood 
gases 
Pasien sepsis 
Penyakit paru 
Pasien dengan kesulitan respirasi 
Pasien obesitas 
Pasien yang akan thorakotomi 
7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi 
Penyakit paru sedang sampai berat seperti 
COPD, bronchiectasis 
8 Skreen koagulasi Penyakit hematologic 
Penyakit hati yang berat 
Koagulopati 
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral 
(warfarin) atau heparin 
9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilier 
Riwayat penyahgunaan alkohol 
Tumor dengan metastase ke hepar 
10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroid 
Riwayat penyakit thyroid 
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor 
pituitari
9 
Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode 
waktu, jarak dari yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, 
konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6 
bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam 
keadaan berikut: 
 Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah 
 Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium 
untuk hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis 
untuk pasien dengan gagal ginjal, produk darah untuk koreksi 
koagulopati. 
d. Informed Consent 
Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah 
informed consent. Informed consent yang tertulis mempunyai aspek 
medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam 
proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan 
informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan 
risikonya. 
2.1.2 Masukan Oral 
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi 
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan 
risiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk 
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk 
operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral 
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
10 
Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif 6 
Usia 
pasien 
Intake oral Lama puasa 
(jam) 
Σ puasa yg diberikan 
< 6 bln Clear fluid 
Breast milk 
Formula milk 
2 
3 
4 
20 cc/kg 
6 bln – 5 
thn 
Clear fluid 
Formula milk 
Solid 
2 
4 
6 
10 cc/kg 
>5 thn Clear fluid 
Solid 
2 
6 
10 cc/kg 
Adult, 
op. 
Pagi 
Clear fuid 
Solid 
2 
Puasa mulai 
jam 12 mlm 
Adult, 
op. 
Siang 
Clear fluid 
Solid 
2 
Puasa mulai 
jam 8 pagi 
2.1.3 Terapi Cairan 
Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan 
sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti 
pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan 
elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi 
gastrointestinal, keringat dan insensible water losses yang terus 
menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat 
diperkirakan dari tabel dibawah: 
Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal 7 
Berat Badan Jumlah 
10kg pertama 4 mL/kg/jam 
10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam 
Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam 
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan 
mengalami defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung 
dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
11 
2.1.4 Premedikasi 
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi 
anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun 
dari anesthesia diantaranya: 
 Meredakan kecemasan dan ketakutan 
 Memperlancar induksi anesthesia 
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus 
 Meminimalkan jumlah obat anestetik 
 Mengurangi mual muntah pasca bedah 
 Menciptakan amnesia 
 Mengurangi isi cairan lambung 
 Mengurangi reflek yang membahayakan 
Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi 
No. Jenis Obat Dosis (Dewasa) 
1 Sedatif: 
Diazepam 
Difenhidramin 
Promethazin 
Midazolam 
5-10 mg 
1 mg/kgBB 
1 mg/kgBB 
0,1-0,2 mg/kgBB 
2 Analgetik Opiat 
Petidin 
Morfin 
Fentanil 
Analgetik non opiat 
1-2 mg/kgBB 
0,1-0,2 mg/kgBB 
1-2 μg/kgBB 
Disesuaikan 
3 Antikholinergik: 
Sulfas atropine 
0,1 mg/kgBB 
4 Antiemetik: 
Ondansetron 
Metoklopramid 
4-8 mg (iv) dewasa 
10 mg (iv) dewasa
12 
5 Profilaksis aspirasi 
Cimetidin 
Ranitidine 
Antasid 
Dosis disesuaikan 
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan 
intramuskuler, diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) 
suntikan intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesia. 
Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan kepada 
pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang 
dijumpai pada pasien.8 
2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi 
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah: 
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan 
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya 
c. Alat-alat resusitasi (STATICS) 
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan. 
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, 
natrium bikarbonat dan lain-lainnya. 
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya. 
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang. 
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, 
misalnya; “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”. 
i. Kartu catatan medic anestesia 
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
13 
Tabel 2.7 Komponen STATICS 
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan 
jantung. 
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang 
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang. 
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa 
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed). 
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau 
pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini 
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk 
mengelakkan sumbatan jalan napas. 
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau 
tercabut. 
I Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik 
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu 
supaya pipa trakea mudah dimasukkan. 
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia. 
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya. 
2.2 Pemilihan Teknik Anestesi 
Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan 
keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan 
dalam hal ini adalah: 
1. Usia pasien 
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada 
pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dapat 
dilakukan teknik anestesi lokal atau umum. 
2. Status fisik pasien 
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui 
apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi.
14 
Apakah ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami 
saat itu. Pertanyaan mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan 
pada ada tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, 
meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menjadi suatu perhatian 
saat pasien memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati 
atau dicurigai adanya penyakit neuromuskular, antara lain 
poliomielitis dan miastenia gravis. Sebaiknya tindakan anestesi 
regional dicegah untuk pasien dengan neuropati diabetes karena 
mungkin dapat memperburuk gejala yang telah ada. 
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari 
penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi 
lokal atau regional. 
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan 
gangguan jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum. 
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering 
timbul gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik 
anestesi regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal. 
3. Posisi pembedahan 
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan 
anestesi umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. 
Demikian juga dengan pembedahan yang berlangsung lama. 
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah 
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan 
dan kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk 
mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian 
adrenalin untuk bedah plastik, dan lain-lain. 
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi 
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat 
menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan 
teknik anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
15 
6. Keinginan pasien 
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan 
dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak 
membahayakan keberhasilan operasi. 
7. Bahaya kebakaran dan ledakan 
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah 
pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter. 
8. Pendidikan 
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan 
lama karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, 
mahasiswa, atau perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah 
anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal atau regioal perlu 
diberikan sedasi yang cukup.4 
2.3 General Anesthesia 
General anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan 
rasa nyeri secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih 
kembali (reversibel). Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari 
hipnotik, analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat dicapai dengan 
menggunakan obat yang berbeda secara terpisah. Sekarang anestesi umum 
tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut namun lebih luas, 
hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia 
(hilangnya reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien), 
relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi 
trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur) 
Perjalanan anestesi umum terdiri dari enam bagian yang berbeda yang 
meliputi: premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan dan 
masa pasca operasi. Obat yang dipakai pada masing – masing bagian 
berinteraksi dengan obat yang dipakai pada bagian lain dan interaksi obat ini 
merupakan hal yang penting. Anestesi umum bukan hanya masalah
16 
farmakologi melainkan juga merupakan suatu keseimbangan antara kerja obat 
dan rangsangan pembedahan.3 
Pada tahap premedikasi ada dua tujuan jelas dalam penggunaan obat 
premedikasi yang pertama, adalah mencegah efek parasimpatometik anastesi, 
dan yang kedua berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan sedasi 
aktif atau untuk menimbulkan amnesia. Tahap Induksi adalah bagian kedua 
anestesi, tujuan dari tahap ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk 
memulai agar proses anestesi cepat dan nyaman. Masa pemeliharaan 
merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah masa sesudah induksi dan 
ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain dilaksanakan. Sesudah masa 
pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu masa pengembalian. 
Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangat penting dan 
berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan dan 
dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya 
dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum 
adalah masa pasca operasi. 
2.3.1 Stadium Anestesi 
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 
stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu : 
 Stadium I (analgesi): 
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut 
Stadium analgesia, tapi sensasi terhadap rangsang sakit tidak 
berubah, biasanya operasi-operasi kecil sudah bisa dilakukan. 
Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu 
mata. 
 Stadium II (eksitasi): 
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang 
irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola 
mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri 
dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
17 
 Stadium III (pembedahan): 
 Plana 1: Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan 
torakal sama kuat dgn pernafasan abdominal, pergerakan bola 
mata terhenti, kadang-kadang letaknya eksentrik, pupil 
mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan 
meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, tonus 
otot menurun. 
 Plana 2: Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal 
menurun dan frekuensi pernafasan naik. Mulai terjadi 
depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir ditengah, 
pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun dan 
refleks kornea menghilang. Reflek kornea dan laring hilang. 
 Plana 3: Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih 
dominan daripada torakal karena paralisis otot interkostal 
yang makin bertambah sehingga pada akhir plana 3 terjadi 
paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi paralisis 
otot-otot diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan 
menghilang pada akhir plana 3 ini, lakrimasi refleks faring & 
peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin menurun. 
 Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi 
abdominal. Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’ 
karena paralisis otot diafragma yg makin nyata, pada akhir 
plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin menurun 
dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-), 
refleks sfingter ani menghilang. 
 Stadium IV (paralisis medulla oblongata): 
Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium 
III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, 
denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. 
Kelumpuhan pernafasan pada stadium ini tidak dapat diatasi 
dengan pernafasan buatan.3
18 
Komplikasi general anestesi meliputi durante operasi dan pasca 
operasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada durante operasi 
dapat meliputi obstruksi respirasi, batuk, depresi respirasi, 
hipotensi, hipertensi, aritmia, hiccup (cegukan), gigi patah, mual 
muntah, menggigil. 
2.4 Intubasi 
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam 
trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau 
dikendalikan. Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu 
memudahkan atau mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea adalah : 
 Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit). 
 Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala). 
 Relaksasi otot yang baik. 
Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting 
yang harus diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang 
disebut SALT, yaitu: 
 Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring 
pasien terdapat benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. 
Disamping itu, aspirasi dari paru juga harus dihindari. 
 Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah 
jatuhnya lidah ke bagian belakang faring. 
 Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu 
penempatan pipa endotracheal. 
 Tube. Pipa Endotrakeal memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya 
pada orang dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9 
Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk: 
 Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi 
udara inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan 
memakai stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk
19 
ke bronkus kanan sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. 
Pipa harus ditarik sedikit, lalu periksa kembali dengan stetoskop. 
 Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat 
diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di 
inflasi/ditiup). 
 Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak 
bergerak (malposisi). 
2.5 Monitoring 
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi 
adalah: 
- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter 
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya 
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time 
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek 
palpebra) 
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi 
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu. 
2.6 Manajemen Anestesi Post-Operasi 
2.6.1 Recovery dari General Operasi 
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus 
diperiksa tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse 
oximetry harus dimonitor terus menerus pada pasien yang masih berada 
dalam proses recovery dari general anestesi, paling tidak sampai pasien 
mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus dinilai misalnya 
mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala 
deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan 
output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan. 
Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus 
mendapatkan oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hipoksemia
20 
pada pasien yang sehat sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada 
pasien-pasien yang menjalani operasi di daerah upper abdominal atau 
toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan 
mungkin memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama. 
Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika 
mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa 
dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien dimotivasi 
untuk nafas dalam dan batuk. 
2.6.2 Kriteria Discharge dari PACU 
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU 
berdasarkan kriteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan 
adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan 
di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa. 
Tabel 2.8 Aldrete Score 
Objek Kriteria Nilai 
Aktivitas 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 
2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas 
3. Tidakmampu menggerakkan 
ekstremitas 
2 
1 
0 
Respirasi 1. Mampu nafas dalam dan batuk 
2. Sesak atau pernafasan terbatas 
3. Henti nafas 
2 
1 
0 
Tekanan Darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah 
2. Berubah 20-50% dari pra bedah 
3. Berubah > 50% dari pra bedah 
2 
1 
0 
Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik 
2. Sadar setelah dipanggil 
3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang 
2 
1 
0 
Warna Kulit 1. Kemerahan 
2. Pucat agak suram 
3. Sianosis 
2 
1 
0 
Nilai Total
21 
2.6.3 Kunjungan Post-Operatif 
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 – 48 jam setelah 
operasi dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus 
meliputi review dari rekam medis, anamnesis terkait perasaan atau 
keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang, 
termasuk pemeriksaan kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri 
tenggorokan, kerusakan gigi, cedera saraf, cedera okular, pneumonia, 
atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus dilakukan terapi 
atau konsultasi lebih lanjut.9
22 
BAB III 
LAPORAN KASUS 
3.1 Identitas Pasien 
Nama : Tn. C 
Usia : 36 th 
Jenis Kelamin : Laki-laki 
Alamat : Jl. Panca Usaha Lr. Keluarga RT 58 RW 
14, Palembang 
Pekerjaan : Buruh 
No. Register : 116839 
Berat Badan : 70 kg 
Tinggi Badan :168 cm 
Tanggal dilakukan Anesthesia : 11 Oktober 2014 
Lama anesthesia : ±1 jam 20 menit (10.45-12.05) 
Diagnosa pra bedah : Appendicitis perforasi 
Jenis pembedahan : Appendectomy per laparotomi 
Jenis anesthesia : General Anesthesia 
Anesthesia dengan : Induksi dengan Propofol, Analgesia 
dengan Fentanyl, Maintenance 
dengan Sevofluran + O2 + N2O 
Pre-op 
Anamnesis Pre op 
Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS. 
Nyeri perut disertai mual (+), muntah (-), demam (-). Pasien dibawa ke 
IGD RSUD Palembang Bari. Riwayat pengobatan sebelumnya (-), obat 
hipertensi (-), Alergi Makanan (-), Alergi Obat (-). Riwayat Asma (-), 
Riwayat DM (-), merokok (-), konsumsi alkohol (-). Makan/minum 
terakhir pukul 02.00 11 Oktober 2014.
23 
Pemeriksaan Fisik Pre-op 
B1 : Airway paten, napas spontan simetris, RR 22 x/mnt, Rh (-), 
Wh(-), Struma (-), Stiffness (-), Buka mulut > 3 jari, 
Mandibulahyoid < 2 cm, Mallampati score I, pernafasan cuping 
hidung (-), gigi geligi dbN, oklusi dbN, gerak leher bebas,nyeri 
telan (-), massa di leher (-), trakea di tengah, saturasi O2 95% 
room air 
B2 : Akral hangat, kering, merah, CRT < 2 “, nadi 80 x/mnt kuat 
angkat, TD 120/80, S1 S2 tunggal regular, murmur (-), T.axilla : 
36,5o C 
B3 : GCS 456, PBI 3mm/3mm, Reflek Kornea +/+, Reflek Cahaya +/+ 
B4 : BAK (+), Catheter (+), Produksi Urin 250 ml dalam 3 jam, kuning 
jernih 
B5 : Flat, soefl, Bising Usus (+) Normal, nyeri tekan perut kanan 
bawah (+) 
B6 : Mobilitas (+), anemis (-),ikterik (-), sianosis (-), edema (-) 
Pemeriksaan Laboratorium (11 Oktober 2014) 
Darah Lengkap 
o Hb :14,6 gr/dl 
o Leukosit : 13.400/ul 
o Trombosit : 208.000 /μl 
o Hematokrit : 45 % 
o Diff Count : 0/0/0/82/10/8
24 
3.2 Laporan Anestesi Preoperatif 
Assessment: ASA 1, emergensi 
 Diagnosa pra bedah : Appendecitis perforasi 
 Keadaan pra bedah (11 Oktober 2014): 
TD: 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, RR 22x/menit, suhu 36,5o C 
Hb: 14,6 gr/dl 
 Pasien puasa pre-operasi 
Jenis pembedahan : Appendectomy per laparotomi 
3.3 Durante Operasi 
 Jenis anesthesia : General Anastesi 
 Teknik anesthesia : Intubasi oral 
 Lama anesthesia : 10.45 – 12.05 
 Lama operasi : 11.00 – 12.00 
 Posisi : Supine 
 Infus : RL 500 ml 
Obat-obatan yang diberikan : 
 Obat premedikasi : Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di kamar operasi) 
 Obat induksi: 
1. Inj. Fentanil 100 μg 
2. Inj. Propofol 100 mg titrasi 
3. Inj. Atracurium 50 mg IV 
 Obat maintenance anesthesia : Sevofluran dan O2 
 Obat analgetik durante operasi : N2O 
Ekstubasi : inj. Neostigmin 0,5 mg IV 
Medikasi post op : Dexametason inj 10 mg IV 
Obat analgetik postoperasi: Inj. Ketorolac 30 mg IV 
 Cairan masuk: 
 Pre operatif : RL 1500 cc 
 Durante operatif : RL 600 cc
25 
 Cairan keluar: 
 Perdarahan: +200 cc 
 Produksi urin : Preoperatif : 400 cc (dibuang) 
Durante operatif : 200 cc 
3.4 Postoperatif di RR jam 12.10 
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-) 
Pemeriksaan fisik: 
B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-), 
saturasi oksigen 96% dengan O2 nasal canul 3 lpm. 
B2 : Akral hangat, CRT < 2 detik, kulit merah, nadi 81x/menit, TD 
120/80 mmHg, S1S2 tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,4o C 
B3 : GCS 456, PBI 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+, Reflek kornea 
+/+ 
B4 : Catheter (+), Produksi Urin 600cc 
B5 : Bising Usus (+) Normal, mual (-), muntah (-) 
B6 : Mobilitas normal, detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-) 
Terapi Pasca Bedah 
o Infus: infus RL 1500cc/24 jam 
o Antibiotika: Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr IV 
o Obat-obatan: Inj. Ranitidin 3x 50 mg iv, Inj. Ketorolac 3x 30 mg iv, 
Inj. ondancetron 3x10 mg iv 
o Bila mual/muntah : Kepala miring, head down, suction k/p. Inj 
Ondansetron 4mg iv. 
o Minum/makan: bertahap, jika tidak didapatkan mual dan muntah. 
Bising usus
26 
BAB IV 
PEMBAHASAN 
Pasien Tn. C umur 36 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD 
Palembang BARI pada tanggal 11 Oktober 2014 pukul 01.30 dengan keluhan 
mual yang disertai nyeri perut kanan bawah. Berdasarkan history taking 
didapatkan bahwa pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan, belum makan sejak 
pukul 02.00. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi abnormalitas yang 
tidak muncul pada anamnesa. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien in 
meliputi tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, laju pernafasan, serta suhu. 
Dilakukan juga pemeriksaan airway, jantung dan paru-paru. Tidak ditemukan 
kelainan. 
 B1 – Breathing 
Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi yang perlu 
diperhatikan. Lain-lain dalam breathing dalam batas normal. 
 B2 – Blood 
Pada blood, dalam batas normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan 
anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi. 
 B3 – Brain 
Dalam batas normal. 
 B4 – Bladder 
BAK dengan menggunakan kateter, produksi urin ditampung berwarna 
kuning jernih. 
 B5 – Bowel 
Pada bowel, didapatkan bising usus normal. 
 B6 – Bone 
Tulang dan sendi pasien termasuk mobilitas dalam batas normal.
27 
Luas cakupan pemeriksaan penunjang preanestesi telah sesuai dengan 
keadaan dan kebutuhan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah 
yang direncanakan. Pada pasien ini didapatkan leukositosis (13.400). Dari hasil 
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien dalam kondisi 
sehat fisik tanpa penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari, sehingga 
diklasifikasikan dengan ASA-1 emergensi. 
Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama 
anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah 
menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa 
pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American 
Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi, 
makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam 
preoperasi, dimana pasien tidak mengkonsumsi makanan sejak pukul 02.00 (8 jam 
sebelum operasi). Premedikasi pada pasien ini diberikan 1 jam sebelum operasi, 
dengan obat premedikasi Obat premedikasi Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di 
kamar operasi). Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, 
atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low 
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid 
juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa 
polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk 
sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan 
dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.7 
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. 
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan 
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik 
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut 
cairan jenis replacement. 
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan 
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum 
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek 
yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi
28 
cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah 
durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali 
jumlah volume darah yang hilang.7 
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan 
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual 
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon 
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap 
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah, namun pada 
operasi pasien ini tidak dilakukan. 
Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan dari suction + kassa 
besar + kassa kecil dengan perkiraan total 200cc. 
Operasi ini termasuk bedah sedang sehingga menggunakan rumus cairan 4 
ml/kg. Sehingga O2 x berat badan pasien adalah 280 cc. 
Oleh karena operasi berlangsung selama 1 jam, maka kebutuhan cairan 
selama operasi adalah: 
Kebutuhan cairan rumatan/maintenance : 110 cc/jam x 1 jam = 110 cc 
Cairan yang hilang O2 : 280 cc/jam x 1 jam = 280 cc 
Jumlah produksi urine durante operasi : = 200 cc 
Jumlah darah yang hilang x 3 RL : 200 cc x 3 = 600 cc + 
1190 cc 
Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi: 
RL : 600 cc 
Proses monitoring pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen 
pesien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S: 
110 - 130, D: 50 - 70), nadi antara 70-90x/menit. RR : 16-20 x/menit. 
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa di 
RR OK sentral sampai pasien stabil. Monitoring tambahan didapatkan tidak ada 
mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, dan
29 
perdarahan dalam batas normal. Pasien mendapatkan oksigen 3 lpm melalui NC 
serta dimonitor dengan pulse. 
Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum 
dikeluarkan dari RR berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini 
didapatkan Aldrete score dengan total 10. Dengan nilai total aldrete score pasien 
kemudian dipindahkan ke ruang perawatan bedah. 
Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 jam setelah operasi dan telah 
dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam 
medis, anamnesa terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan 
pemeriksaan fisik post operasi. Pada kunjungan postoperatif pasien ini dari 
anamnesa tidak didapatkan keluhan dan pada pemeriksaan fisik dan penunjang 
secara keseluruhan dalam batas normal.
30 
BAB V 
KESIMPULAN 
Pasien adalah pria usia 36 tahun dengan apendisitis perforasi, yang 
dilakukan operasi apendektomi per laparotomi pada tanggal 11 Oktober 2014. 
Tindakan anestesi yang dilakukan adalah general anestesi dengan intubasi. Hal ini 
dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi general anestesi. 
Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan 
kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya general anestesi. 
Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif 
stabil sampai operasi selesai. 
Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak 
didapatkan keluhan. Selama di RR pasien cukup stabil dengan Aldrete Score 
bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang 
rawat biasa. Seluruh tatalaksana pasien dilakukan dengan baik.
31 
DAFTAR PUSTAKA 
1. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based 
Management of Suspected Appendicitis In The Emergency Department 
Vol.13 Number 10. 2011:1-32 
2. Frogat, P. Harmston, C. 2011. Acute Appendicitis. North American Journal 
of Surgery 29:8. 
3. Soenarto, Ratna F dan Chandra, Susilo. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. 
Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI, Jakarta. 
4. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis 
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi 
Intensif FKUI 
5. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott 
Williams & Wilkins. 
6. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for 
Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce 
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures: 
An Updated Report by The American Society of Anesthesiologists Committee 
on Standards and Practice parameters. USA: Lippincott Williams & Wilkins 
7. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 
4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. 
8. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Miller’s 
Anesthesia 7th ed. US : Elsevier 
9. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison, 
Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The 
Massachusets General
32 
LAMPIRAN
33

More Related Content

What's hot

Hasil pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan penunjangHasil pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan penunjang
Richard Leonardo
 

What's hot (20)

Ikterus Neonatorum
Ikterus NeonatorumIkterus Neonatorum
Ikterus Neonatorum
 
Bronkopneumonia
BronkopneumoniaBronkopneumonia
Bronkopneumonia
 
Tb duplex lama aktif
Tb duplex lama aktifTb duplex lama aktif
Tb duplex lama aktif
 
Sepsis
SepsisSepsis
Sepsis
 
Hasil pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan penunjangHasil pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan penunjang
 
Giovanni status bedah
Giovanni   status bedahGiovanni   status bedah
Giovanni status bedah
 
Overview syok
Overview syokOverview syok
Overview syok
 
DISPROPORSI KEPALA PANGGUL
DISPROPORSI KEPALA PANGGULDISPROPORSI KEPALA PANGGUL
DISPROPORSI KEPALA PANGGUL
 
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
 
Ca mammae
Ca mammaeCa mammae
Ca mammae
 
Laporan kasus ii
Laporan kasus iiLaporan kasus ii
Laporan kasus ii
 
2. konjungtiva
2. konjungtiva2. konjungtiva
2. konjungtiva
 
Laporan Kasus Tinea (Pityriasis) versicolor
Laporan Kasus Tinea (Pityriasis) versicolorLaporan Kasus Tinea (Pityriasis) versicolor
Laporan Kasus Tinea (Pityriasis) versicolor
 
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)
 
Fototerapi
FototerapiFototerapi
Fototerapi
 
Kaspan katarak senilis imatur
Kaspan   katarak senilis imaturKaspan   katarak senilis imatur
Kaspan katarak senilis imatur
 
3. lensa
3. lensa3. lensa
3. lensa
 
Manuver leopold
Manuver leopoldManuver leopold
Manuver leopold
 
trauma pelvis penatalaksanaan
trauma pelvis penatalaksanaantrauma pelvis penatalaksanaan
trauma pelvis penatalaksanaan
 
Tuberkulosis milier (milliary tb) dosen pkk ibu sri
Tuberkulosis milier (milliary tb) dosen pkk ibu sriTuberkulosis milier (milliary tb) dosen pkk ibu sri
Tuberkulosis milier (milliary tb) dosen pkk ibu sri
 

Similar to Lapsus anes

Konsep dasar keperawatan perioperatif
Konsep dasar keperawatan perioperatifKonsep dasar keperawatan perioperatif
Konsep dasar keperawatan perioperatif
Agung Haryadi
 
Laporan pendahuluan dispepsia
Laporan pendahuluan dispepsiaLaporan pendahuluan dispepsia
Laporan pendahuluan dispepsia
Is Muhar
 
Keperawatan perioperatif (2)
Keperawatan perioperatif (2)Keperawatan perioperatif (2)
Keperawatan perioperatif (2)
conesti08com
 

Similar to Lapsus anes (20)

Pedoman pelayanan anestesi
Pedoman pelayanan anestesiPedoman pelayanan anestesi
Pedoman pelayanan anestesi
 
Presentasi Kasus Anastesiologi : Anastesi Umum pada Apendisitis Akut
Presentasi Kasus Anastesiologi : Anastesi Umum pada Apendisitis AkutPresentasi Kasus Anastesiologi : Anastesi Umum pada Apendisitis Akut
Presentasi Kasus Anastesiologi : Anastesi Umum pada Apendisitis Akut
 
162697358 case-anestesi
162697358 case-anestesi162697358 case-anestesi
162697358 case-anestesi
 
Perioperative
PerioperativePerioperative
Perioperative
 
Perioperative
PerioperativePerioperative
Perioperative
 
Terapki Kanker Payudara | www.terapikankerindonesia.com
Terapki Kanker Payudara | www.terapikankerindonesia.comTerapki Kanker Payudara | www.terapikankerindonesia.com
Terapki Kanker Payudara | www.terapikankerindonesia.com
 
Konsep dasar keperawatan perioperatif
Konsep dasar keperawatan perioperatifKonsep dasar keperawatan perioperatif
Konsep dasar keperawatan perioperatif
 
Kata penganta1
Kata penganta1Kata penganta1
Kata penganta1
 
ASKEP Osteoporosis_2.pdf
ASKEP Osteoporosis_2.pdfASKEP Osteoporosis_2.pdf
ASKEP Osteoporosis_2.pdf
 
PERSIAPAN DAN PERAWATAN OPERASI
PERSIAPAN DAN PERAWATAN OPERASIPERSIAPAN DAN PERAWATAN OPERASI
PERSIAPAN DAN PERAWATAN OPERASI
 
ASUHAN GIZI DAN DIETETIKA BEDAH UROLOGI.pptx
ASUHAN GIZI DAN DIETETIKA BEDAH UROLOGI.pptxASUHAN GIZI DAN DIETETIKA BEDAH UROLOGI.pptx
ASUHAN GIZI DAN DIETETIKA BEDAH UROLOGI.pptx
 
Laporan pendahuluan dispepsia
Laporan pendahuluan dispepsiaLaporan pendahuluan dispepsia
Laporan pendahuluan dispepsia
 
Pertemuan_12.ppt
Pertemuan_12.pptPertemuan_12.ppt
Pertemuan_12.ppt
 
Tindakan Kolaborasi pada Efuisi pleura
Tindakan Kolaborasi pada Efuisi pleuraTindakan Kolaborasi pada Efuisi pleura
Tindakan Kolaborasi pada Efuisi pleura
 
appendisitis
appendisitisappendisitis
appendisitis
 
Keperawatan perioperatif (2)
Keperawatan perioperatif (2)Keperawatan perioperatif (2)
Keperawatan perioperatif (2)
 
Makalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detalMakalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detal
 
Makalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detalMakalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detal
 
Makalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detalMakalah kompetensi detal
Makalah kompetensi detal
 
Modul 2 cetak
Modul 2 cetakModul 2 cetak
Modul 2 cetak
 

Recently uploaded

1 FEB_KEBIJAKAN DAN SITUASI SURV PD3I_AK I CIKARANG.pptx
1 FEB_KEBIJAKAN DAN SITUASI SURV PD3I_AK I CIKARANG.pptx1 FEB_KEBIJAKAN DAN SITUASI SURV PD3I_AK I CIKARANG.pptx
1 FEB_KEBIJAKAN DAN SITUASI SURV PD3I_AK I CIKARANG.pptx
NezaPurna
 
399557772-Penyakit-Yang-Bersifat-Simptomatis.pptx PENYAKIT SIMTOMP ADALAH PEN...
399557772-Penyakit-Yang-Bersifat-Simptomatis.pptx PENYAKIT SIMTOMP ADALAH PEN...399557772-Penyakit-Yang-Bersifat-Simptomatis.pptx PENYAKIT SIMTOMP ADALAH PEN...
399557772-Penyakit-Yang-Bersifat-Simptomatis.pptx PENYAKIT SIMTOMP ADALAH PEN...
nadyahermawan
 
materi tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbarumateri tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbaru
PrajaPratama4
 
LOKAKARYA MINI tingkat puskesmas bulanan ppt
LOKAKARYA MINI tingkat puskesmas bulanan pptLOKAKARYA MINI tingkat puskesmas bulanan ppt
LOKAKARYA MINI tingkat puskesmas bulanan ppt
UserTank2
 
SISTEM KONDUKSI / KELISTRIKAN JANTUNG.ppt
SISTEM KONDUKSI / KELISTRIKAN JANTUNG.pptSISTEM KONDUKSI / KELISTRIKAN JANTUNG.ppt
SISTEM KONDUKSI / KELISTRIKAN JANTUNG.ppt
Acephasan2
 
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.ppt
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.pptANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.ppt
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.ppt
Acephasan2
 
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptxMateri 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
Yudiatma1
 
PPT-UEU-Keperawatan-Kesehatan-Jiwa-I-Pertemuan-13.ppt
PPT-UEU-Keperawatan-Kesehatan-Jiwa-I-Pertemuan-13.pptPPT-UEU-Keperawatan-Kesehatan-Jiwa-I-Pertemuan-13.ppt
PPT-UEU-Keperawatan-Kesehatan-Jiwa-I-Pertemuan-13.ppt
khalid1276
 
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptxPPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
Acephasan2
 
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
Cara Menggugurkan Kandungan 087776558899
 

Recently uploaded (20)

1 FEB_KEBIJAKAN DAN SITUASI SURV PD3I_AK I CIKARANG.pptx
1 FEB_KEBIJAKAN DAN SITUASI SURV PD3I_AK I CIKARANG.pptx1 FEB_KEBIJAKAN DAN SITUASI SURV PD3I_AK I CIKARANG.pptx
1 FEB_KEBIJAKAN DAN SITUASI SURV PD3I_AK I CIKARANG.pptx
 
399557772-Penyakit-Yang-Bersifat-Simptomatis.pptx PENYAKIT SIMTOMP ADALAH PEN...
399557772-Penyakit-Yang-Bersifat-Simptomatis.pptx PENYAKIT SIMTOMP ADALAH PEN...399557772-Penyakit-Yang-Bersifat-Simptomatis.pptx PENYAKIT SIMTOMP ADALAH PEN...
399557772-Penyakit-Yang-Bersifat-Simptomatis.pptx PENYAKIT SIMTOMP ADALAH PEN...
 
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
 
Referat Penurunan Kesadaran_Stase Neurologi
Referat Penurunan Kesadaran_Stase NeurologiReferat Penurunan Kesadaran_Stase Neurologi
Referat Penurunan Kesadaran_Stase Neurologi
 
materi tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbarumateri tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbaru
 
LOKAKARYA MINI tingkat puskesmas bulanan ppt
LOKAKARYA MINI tingkat puskesmas bulanan pptLOKAKARYA MINI tingkat puskesmas bulanan ppt
LOKAKARYA MINI tingkat puskesmas bulanan ppt
 
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitas
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitasDbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitas
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitas
 
SISTEM KONDUKSI / KELISTRIKAN JANTUNG.ppt
SISTEM KONDUKSI / KELISTRIKAN JANTUNG.pptSISTEM KONDUKSI / KELISTRIKAN JANTUNG.ppt
SISTEM KONDUKSI / KELISTRIKAN JANTUNG.ppt
 
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptxKONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
 
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf
 
Pentingnya-Service-Excellent-di-Rumah-Sakit.pdf
Pentingnya-Service-Excellent-di-Rumah-Sakit.pdfPentingnya-Service-Excellent-di-Rumah-Sakit.pdf
Pentingnya-Service-Excellent-di-Rumah-Sakit.pdf
 
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.ppt
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.pptANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.ppt
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.ppt
 
PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA
PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOAPROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA
PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA
 
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptxMateri 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
Materi 5.1 ASKEP pada pasien dengan HEPATITIS.pptx
 
Jenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdf
Jenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdfJenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdf
Jenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdf
 
PPT-UEU-Keperawatan-Kesehatan-Jiwa-I-Pertemuan-13.ppt
PPT-UEU-Keperawatan-Kesehatan-Jiwa-I-Pertemuan-13.pptPPT-UEU-Keperawatan-Kesehatan-Jiwa-I-Pertemuan-13.ppt
PPT-UEU-Keperawatan-Kesehatan-Jiwa-I-Pertemuan-13.ppt
 
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptxPPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
 
MEMBERIKAN OBAT INJEKSI (KEPERAWATAN DASAR).ppt
MEMBERIKAN OBAT INJEKSI (KEPERAWATAN DASAR).pptMEMBERIKAN OBAT INJEKSI (KEPERAWATAN DASAR).ppt
MEMBERIKAN OBAT INJEKSI (KEPERAWATAN DASAR).ppt
 
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatan
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatanLogic Model perencanaan dan evaluasi kesehatan
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatan
 
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
KUNCI CARA MENGGUGURKAN KANDUNGAN ABORSI JANIN 087776558899
 

Lapsus anes

  • 1. BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan pengobatan operasi segera yang mempunyai insiden puncak pada anak remaja dan dewasa muda. Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di Negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan berserat. Di Amerika Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh lebih dari 40.000 rumah sakit tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi apendisitis, dengan rasio laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan risiko seumur hidup apendisitis yaitu pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan.1 Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Apendisitis perforasi adalah perjalanan kondisi apendisitis akut yang lama tertangani. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi diagnosis apendisitis berkisar 76-92%. Pengobatan untuk apendisitis adalah pembedahan, apendektomi. Sebelum pembedahan, pasien diberikan antibiotik perioperatif yang spectrum luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi dan pembentukan abses intraabdominal.2 Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat, termasuk dalam tindakan apendektomi kasus apendisitis. Kata anesthesia berarti pembiusan yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah
  • 2. 2 anesthesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.3 Terdapat beberapa jenis anesthesia, antara lain local/infiltrasi, blok/regional, umum/general. Anesthesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri dari: hipnotik (hilang kesadaran), analgesia (hilang rasa sakit), dan relaksasi otot.3 Persiapan prabedah harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya kesalahan anesthesia. Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang sebab-sebab terjadinya kesalahan anesthesia. Dokter spesialis anesthesiologi melakukan kunjungan pasien sebelum pasien dibedah untuk memantau kondisi pasien agar pasien dalam kondisi yang optimal pada waktu menjalani operasi. Berbagai penilaian harus dilakukan seperti anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sehingga kodisi pasien dapat dinilai.3 Pada saat operasi, dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat satu hingga dua jam sebelum induksi anesthesia. Setelah itu, dilakukan induksi anesthesia yaitu membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Sebelum memulai induksi anesthesia sebaiknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan sehingga seandainya terjadi kegawatan dapat diatasi dengan cepat dan baik. Setelah itu rumatan anesthesia dapat dikerjakan dengan secara intravena atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.3 Setelah pembedahan, pemulihan dari anesthesia umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anesthesia (RR, Recovery Room atau PACU, Post Anesthesia Care Unit). Idealnya ketika pasien sadar secara bertahap, tanpa keluhan. Namun sering ditemukan beberapa hal akibat stres pasca bedah atau pasca anesthesia yang berupa gangguan napas,
  • 3. 3 gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang perdarahan.3 Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis perforasi.
  • 4. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif 2.1.1 Penilaian Preoperatif Sebelum tindakan operasi dilakukan, penting diperhatikan persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan pasien sebelum dibedah sehingga dapat diketahui kelainan di samping kelainan yang akan dioperasi. Tujuannya adalah : 1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien 2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu maupun urtikaria). 3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien 4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan) 5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent) kepada pasien. 6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat induksi.4 Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE : pada pasien trauma), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dan sebagainya. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang
  • 5. 5 manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam informed consent.4 a. History Taking History taking dapat dimulai dengan menanyakan riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis. b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, laju pernapasan, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional. Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau
  • 6. 6 vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal. Skoring Mallampati: I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula IV. Hanya terlihat palatum durum Gambar 2.1. Kriteria Mallampati Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.5
  • 7. 7 Tabel 2.1 Klasifikasi ASA Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri. Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari. Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal. Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun tanpa operasi. Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi. Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil untuk tujuan donor E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI diatas. c. Pemeriksaan Penunjang Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari prosedur bedah yang direncanakan. Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan Pemeriksaan rutin Indikasi Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi glukosa darah jika glukosa urine positif) FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua bedah mayor Ureum, Creatinin, Elektrolit Bedah mayor ECG Umur > 50 tahun Foto Torak Umur > 60 tahun Tes fungsi hati (Liver Function Test) Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.
  • 8. 8 Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya: No Test Indikasi 1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya Penyakit ginjal Pasien yang menjalani kemoterapi 2 Ureum, creatinin dan konsentrasi elektrolit Penyakit ginjal Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus Nutrisi abnormal Riwayat diare, muntah Obat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik, diuretic, antihipertensi, kortikosteroid, hipoglikemik agent. 3 Konsentrasi glukosa darah Diabetes Mellitus Penyakit hati yang berat 4 Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru kronik Diabetes Mellitus 5 Chest X-ray Penyakit respirasi Penyakit kardiovaskuler 6 Arterial blood gases Pasien sepsis Penyakit paru Pasien dengan kesulitan respirasi Pasien obesitas Pasien yang akan thorakotomi 7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi Penyakit paru sedang sampai berat seperti COPD, bronchiectasis 8 Skreen koagulasi Penyakit hematologic Penyakit hati yang berat Koagulopati Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral (warfarin) atau heparin 9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilier Riwayat penyahgunaan alkohol Tumor dengan metastase ke hepar 10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroid Riwayat penyakit thyroid Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari
  • 9. 9 Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut:  Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah  Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati. d. Informed Consent Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah informed consent. Informed consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan risikonya. 2.1.2 Masukan Oral Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
  • 10. 10 Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif 6 Usia pasien Intake oral Lama puasa (jam) Σ puasa yg diberikan < 6 bln Clear fluid Breast milk Formula milk 2 3 4 20 cc/kg 6 bln – 5 thn Clear fluid Formula milk Solid 2 4 6 10 cc/kg >5 thn Clear fluid Solid 2 6 10 cc/kg Adult, op. Pagi Clear fuid Solid 2 Puasa mulai jam 12 mlm Adult, op. Siang Clear fluid Solid 2 Puasa mulai jam 8 pagi 2.1.3 Terapi Cairan Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible water losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah: Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal 7 Berat Badan Jumlah 10kg pertama 4 mL/kg/jam 10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
  • 11. 11 2.1.4 Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:  Meredakan kecemasan dan ketakutan  Memperlancar induksi anesthesia  Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus  Meminimalkan jumlah obat anestetik  Mengurangi mual muntah pasca bedah  Menciptakan amnesia  Mengurangi isi cairan lambung  Mengurangi reflek yang membahayakan Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi No. Jenis Obat Dosis (Dewasa) 1 Sedatif: Diazepam Difenhidramin Promethazin Midazolam 5-10 mg 1 mg/kgBB 1 mg/kgBB 0,1-0,2 mg/kgBB 2 Analgetik Opiat Petidin Morfin Fentanil Analgetik non opiat 1-2 mg/kgBB 0,1-0,2 mg/kgBB 1-2 μg/kgBB Disesuaikan 3 Antikholinergik: Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB 4 Antiemetik: Ondansetron Metoklopramid 4-8 mg (iv) dewasa 10 mg (iv) dewasa
  • 12. 12 5 Profilaksis aspirasi Cimetidin Ranitidine Antasid Dosis disesuaikan Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler, diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien.8 2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah: a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya c. Alat-alat resusitasi (STATICS) d. Obat-obat anestesia yang diperlukan. e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat dan lain-lainnya. f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya. g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang. h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”. i. Kartu catatan medic anestesia j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
  • 13. 13 Tabel 2.7 Komponen STATICS S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang. T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed). A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas. T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut. I Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan. C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia. S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya. 2.2 Pemilihan Teknik Anestesi Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah: 1. Usia pasien Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dapat dilakukan teknik anestesi lokal atau umum. 2. Status fisik pasien a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi.
  • 14. 14 Apakah ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu. Pertanyaan mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menjadi suatu perhatian saat pasien memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai adanya penyakit neuromuskular, antara lain poliomielitis dan miastenia gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang telah ada. b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal atau regional. c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum. d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal. 3. Posisi pembedahan Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga dengan pembedahan yang berlangsung lama. 4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dan lain-lain. 5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
  • 15. 15 6. Keinginan pasien Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak membahayakan keberhasilan operasi. 7. Bahaya kebakaran dan ledakan Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter. 8. Pendidikan Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup.4 2.3 General Anesthesia General anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat dicapai dengan menggunakan obat yang berbeda secara terpisah. Sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut namun lebih luas, hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia (hilangnya reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien), relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur) Perjalanan anestesi umum terdiri dari enam bagian yang berbeda yang meliputi: premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan dan masa pasca operasi. Obat yang dipakai pada masing – masing bagian berinteraksi dengan obat yang dipakai pada bagian lain dan interaksi obat ini merupakan hal yang penting. Anestesi umum bukan hanya masalah
  • 16. 16 farmakologi melainkan juga merupakan suatu keseimbangan antara kerja obat dan rangsangan pembedahan.3 Pada tahap premedikasi ada dua tujuan jelas dalam penggunaan obat premedikasi yang pertama, adalah mencegah efek parasimpatometik anastesi, dan yang kedua berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan sedasi aktif atau untuk menimbulkan amnesia. Tahap Induksi adalah bagian kedua anestesi, tujuan dari tahap ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk memulai agar proses anestesi cepat dan nyaman. Masa pemeliharaan merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah masa sesudah induksi dan ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain dilaksanakan. Sesudah masa pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu masa pengembalian. Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangat penting dan berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan dan dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum adalah masa pasca operasi. 2.3.1 Stadium Anestesi Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu :  Stadium I (analgesi): Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium analgesia, tapi sensasi terhadap rangsang sakit tidak berubah, biasanya operasi-operasi kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.  Stadium II (eksitasi): Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
  • 17. 17  Stadium III (pembedahan):  Plana 1: Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat dgn pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya eksentrik, pupil mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, tonus otot menurun.  Plana 2: Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan frekuensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun dan refleks kornea menghilang. Reflek kornea dan laring hilang.  Plana 3: Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada torakal karena paralisis otot interkostal yang makin bertambah sehingga pada akhir plana 3 terjadi paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana 3 ini, lakrimasi refleks faring & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin menurun.  Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal. Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’ karena paralisis otot diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-), refleks sfingter ani menghilang.  Stadium IV (paralisis medulla oblongata): Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernafasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernafasan buatan.3
  • 18. 18 Komplikasi general anestesi meliputi durante operasi dan pasca operasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada durante operasi dapat meliputi obstruksi respirasi, batuk, depresi respirasi, hipotensi, hipertensi, aritmia, hiccup (cegukan), gigi patah, mual muntah, menggigil. 2.4 Intubasi Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan. Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu memudahkan atau mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea adalah :  Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).  Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).  Relaksasi otot yang baik. Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang disebut SALT, yaitu:  Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien terdapat benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping itu, aspirasi dari paru juga harus dihindari.  Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya lidah ke bagian belakang faring.  Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu penempatan pipa endotracheal.  Tube. Pipa Endotrakeal memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya pada orang dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9 Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk:  Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi udara inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk
  • 19. 19 ke bronkus kanan sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik sedikit, lalu periksa kembali dengan stetoskop.  Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup).  Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak bergerak (malposisi). 2.5 Monitoring Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah: - Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter - Heart rate, nadi, dan kualitasnya - Warna membran mukosa, dan capillary refill time - Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra) - Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi - Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu. 2.6 Manajemen Anestesi Post-Operasi 2.6.1 Recovery dari General Operasi Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus dimonitor terus menerus pada pasien yang masih berada dalam proses recovery dari general anestesi, paling tidak sampai pasien mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan. Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus mendapatkan oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hipoksemia
  • 20. 20 pada pasien yang sehat sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada pasien-pasien yang menjalani operasi di daerah upper abdominal atau toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan mungkin memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk. 2.6.2 Kriteria Discharge dari PACU Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan kriteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa. Tabel 2.8 Aldrete Score Objek Kriteria Nilai Aktivitas 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas 3. Tidakmampu menggerakkan ekstremitas 2 1 0 Respirasi 1. Mampu nafas dalam dan batuk 2. Sesak atau pernafasan terbatas 3. Henti nafas 2 1 0 Tekanan Darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2. Berubah 20-50% dari pra bedah 3. Berubah > 50% dari pra bedah 2 1 0 Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik 2. Sadar setelah dipanggil 3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang 2 1 0 Warna Kulit 1. Kemerahan 2. Pucat agak suram 3. Sianosis 2 1 0 Nilai Total
  • 21. 21 2.6.3 Kunjungan Post-Operatif Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 – 48 jam setelah operasi dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari rekam medis, anamnesis terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cedera saraf, cedera okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut.9
  • 22. 22 BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien Nama : Tn. C Usia : 36 th Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Jl. Panca Usaha Lr. Keluarga RT 58 RW 14, Palembang Pekerjaan : Buruh No. Register : 116839 Berat Badan : 70 kg Tinggi Badan :168 cm Tanggal dilakukan Anesthesia : 11 Oktober 2014 Lama anesthesia : ±1 jam 20 menit (10.45-12.05) Diagnosa pra bedah : Appendicitis perforasi Jenis pembedahan : Appendectomy per laparotomi Jenis anesthesia : General Anesthesia Anesthesia dengan : Induksi dengan Propofol, Analgesia dengan Fentanyl, Maintenance dengan Sevofluran + O2 + N2O Pre-op Anamnesis Pre op Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Nyeri perut disertai mual (+), muntah (-), demam (-). Pasien dibawa ke IGD RSUD Palembang Bari. Riwayat pengobatan sebelumnya (-), obat hipertensi (-), Alergi Makanan (-), Alergi Obat (-). Riwayat Asma (-), Riwayat DM (-), merokok (-), konsumsi alkohol (-). Makan/minum terakhir pukul 02.00 11 Oktober 2014.
  • 23. 23 Pemeriksaan Fisik Pre-op B1 : Airway paten, napas spontan simetris, RR 22 x/mnt, Rh (-), Wh(-), Struma (-), Stiffness (-), Buka mulut > 3 jari, Mandibulahyoid < 2 cm, Mallampati score I, pernafasan cuping hidung (-), gigi geligi dbN, oklusi dbN, gerak leher bebas,nyeri telan (-), massa di leher (-), trakea di tengah, saturasi O2 95% room air B2 : Akral hangat, kering, merah, CRT < 2 “, nadi 80 x/mnt kuat angkat, TD 120/80, S1 S2 tunggal regular, murmur (-), T.axilla : 36,5o C B3 : GCS 456, PBI 3mm/3mm, Reflek Kornea +/+, Reflek Cahaya +/+ B4 : BAK (+), Catheter (+), Produksi Urin 250 ml dalam 3 jam, kuning jernih B5 : Flat, soefl, Bising Usus (+) Normal, nyeri tekan perut kanan bawah (+) B6 : Mobilitas (+), anemis (-),ikterik (-), sianosis (-), edema (-) Pemeriksaan Laboratorium (11 Oktober 2014) Darah Lengkap o Hb :14,6 gr/dl o Leukosit : 13.400/ul o Trombosit : 208.000 /μl o Hematokrit : 45 % o Diff Count : 0/0/0/82/10/8
  • 24. 24 3.2 Laporan Anestesi Preoperatif Assessment: ASA 1, emergensi  Diagnosa pra bedah : Appendecitis perforasi  Keadaan pra bedah (11 Oktober 2014): TD: 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, RR 22x/menit, suhu 36,5o C Hb: 14,6 gr/dl  Pasien puasa pre-operasi Jenis pembedahan : Appendectomy per laparotomi 3.3 Durante Operasi  Jenis anesthesia : General Anastesi  Teknik anesthesia : Intubasi oral  Lama anesthesia : 10.45 – 12.05  Lama operasi : 11.00 – 12.00  Posisi : Supine  Infus : RL 500 ml Obat-obatan yang diberikan :  Obat premedikasi : Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di kamar operasi)  Obat induksi: 1. Inj. Fentanil 100 μg 2. Inj. Propofol 100 mg titrasi 3. Inj. Atracurium 50 mg IV  Obat maintenance anesthesia : Sevofluran dan O2  Obat analgetik durante operasi : N2O Ekstubasi : inj. Neostigmin 0,5 mg IV Medikasi post op : Dexametason inj 10 mg IV Obat analgetik postoperasi: Inj. Ketorolac 30 mg IV  Cairan masuk:  Pre operatif : RL 1500 cc  Durante operatif : RL 600 cc
  • 25. 25  Cairan keluar:  Perdarahan: +200 cc  Produksi urin : Preoperatif : 400 cc (dibuang) Durante operatif : 200 cc 3.4 Postoperatif di RR jam 12.10 Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-) Pemeriksaan fisik: B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-), saturasi oksigen 96% dengan O2 nasal canul 3 lpm. B2 : Akral hangat, CRT < 2 detik, kulit merah, nadi 81x/menit, TD 120/80 mmHg, S1S2 tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,4o C B3 : GCS 456, PBI 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+, Reflek kornea +/+ B4 : Catheter (+), Produksi Urin 600cc B5 : Bising Usus (+) Normal, mual (-), muntah (-) B6 : Mobilitas normal, detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-) Terapi Pasca Bedah o Infus: infus RL 1500cc/24 jam o Antibiotika: Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr IV o Obat-obatan: Inj. Ranitidin 3x 50 mg iv, Inj. Ketorolac 3x 30 mg iv, Inj. ondancetron 3x10 mg iv o Bila mual/muntah : Kepala miring, head down, suction k/p. Inj Ondansetron 4mg iv. o Minum/makan: bertahap, jika tidak didapatkan mual dan muntah. Bising usus
  • 26. 26 BAB IV PEMBAHASAN Pasien Tn. C umur 36 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Palembang BARI pada tanggal 11 Oktober 2014 pukul 01.30 dengan keluhan mual yang disertai nyeri perut kanan bawah. Berdasarkan history taking didapatkan bahwa pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan, belum makan sejak pukul 02.00. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada anamnesa. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien in meliputi tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, laju pernafasan, serta suhu. Dilakukan juga pemeriksaan airway, jantung dan paru-paru. Tidak ditemukan kelainan.  B1 – Breathing Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi yang perlu diperhatikan. Lain-lain dalam breathing dalam batas normal.  B2 – Blood Pada blood, dalam batas normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi.  B3 – Brain Dalam batas normal.  B4 – Bladder BAK dengan menggunakan kateter, produksi urin ditampung berwarna kuning jernih.  B5 – Bowel Pada bowel, didapatkan bising usus normal.  B6 – Bone Tulang dan sendi pasien termasuk mobilitas dalam batas normal.
  • 27. 27 Luas cakupan pemeriksaan penunjang preanestesi telah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah yang direncanakan. Pada pasien ini didapatkan leukositosis (13.400). Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien dalam kondisi sehat fisik tanpa penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari, sehingga diklasifikasikan dengan ASA-1 emergensi. Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi, makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam preoperasi, dimana pasien tidak mengkonsumsi makanan sejak pukul 02.00 (8 jam sebelum operasi). Premedikasi pada pasien ini diberikan 1 jam sebelum operasi, dengan obat premedikasi Obat premedikasi Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di kamar operasi). Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.7 Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement. Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi
  • 28. 28 cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali jumlah volume darah yang hilang.7 Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah, namun pada operasi pasien ini tidak dilakukan. Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan dari suction + kassa besar + kassa kecil dengan perkiraan total 200cc. Operasi ini termasuk bedah sedang sehingga menggunakan rumus cairan 4 ml/kg. Sehingga O2 x berat badan pasien adalah 280 cc. Oleh karena operasi berlangsung selama 1 jam, maka kebutuhan cairan selama operasi adalah: Kebutuhan cairan rumatan/maintenance : 110 cc/jam x 1 jam = 110 cc Cairan yang hilang O2 : 280 cc/jam x 1 jam = 280 cc Jumlah produksi urine durante operasi : = 200 cc Jumlah darah yang hilang x 3 RL : 200 cc x 3 = 600 cc + 1190 cc Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi: RL : 600 cc Proses monitoring pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pesien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S: 110 - 130, D: 50 - 70), nadi antara 70-90x/menit. RR : 16-20 x/menit. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa di RR OK sentral sampai pasien stabil. Monitoring tambahan didapatkan tidak ada mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, dan
  • 29. 29 perdarahan dalam batas normal. Pasien mendapatkan oksigen 3 lpm melalui NC serta dimonitor dengan pulse. Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum dikeluarkan dari RR berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini didapatkan Aldrete score dengan total 10. Dengan nilai total aldrete score pasien kemudian dipindahkan ke ruang perawatan bedah. Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 jam setelah operasi dan telah dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam medis, anamnesa terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik post operasi. Pada kunjungan postoperatif pasien ini dari anamnesa tidak didapatkan keluhan dan pada pemeriksaan fisik dan penunjang secara keseluruhan dalam batas normal.
  • 30. 30 BAB V KESIMPULAN Pasien adalah pria usia 36 tahun dengan apendisitis perforasi, yang dilakukan operasi apendektomi per laparotomi pada tanggal 11 Oktober 2014. Tindakan anestesi yang dilakukan adalah general anestesi dengan intubasi. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi general anestesi. Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya general anestesi. Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif stabil sampai operasi selesai. Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak didapatkan keluhan. Selama di RR pasien cukup stabil dengan Aldrete Score bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat biasa. Seluruh tatalaksana pasien dilakukan dengan baik.
  • 31. 31 DAFTAR PUSTAKA 1. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based Management of Suspected Appendicitis In The Emergency Department Vol.13 Number 10. 2011:1-32 2. Frogat, P. Harmston, C. 2011. Acute Appendicitis. North American Journal of Surgery 29:8. 3. Soenarto, Ratna F dan Chandra, Susilo. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI, Jakarta. 4. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI 5. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 6. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures: An Updated Report by The American Society of Anesthesiologists Committee on Standards and Practice parameters. USA: Lippincott Williams & Wilkins 7. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. 8. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Miller’s Anesthesia 7th ed. US : Elsevier 9. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison, Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The Massachusets General
  • 33. 33