Teks tersebut membahas tentang perkembangan aliran Ahlu al-Ra'yi dalam ijtihad fiqh. Aliran ini berkembang di kalangan Sahabat, Tabi'in, dan Tabi' tabi'in di Irak dengan menekankan penggunaan nalar dalam menyelesaikan masalah hukum baru. Tekanan geografis dan sosial budaya membentuk perbedaan metodologi antara Ahlu al-Ra'yi di Irak dengan Ahlu al-Hadits di Hijaz.
1. 1
Tugas Dasar Hukum Islam
AHLUL RA’YI
Oleh:
Early Ridho Kismawadi
NIM 11 EKNI 2364
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Asmuni
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2011 M/1433 H
1
2. 2
Ahlul Ra’yi
A. Ahlul Ra’yi Dikalangan Sahabat
Sejak masa Sahabat, kegiatan ijtihad dapat dikategorikan dalam dua aliran, yaitu
aliran rasional (ahlu al-ra‟yi) dan tradisional (ahlu al-hadits).Akan tetapi secara
institusional, kedua aliran ini terbentuk pada masa Tabi‟in, di mana aliran rasional (ahlu
al-ra‟yi) berkembang di Irak, sedangkan aliran tradisional (ahlu al-hadits) berkembang di
Hijaz Makkah dan Madinah Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya
ulama tradisionalis (ahlu al-hadits) di Irak dan ulama rasionalis (ahlu al-ra‟yi) di kawasan
Hijaz.
Secara umum, yang dimaksud dengan aliran rasional (ahlu al-ra‟yi) adalah aliran
ijtihad yang berpandangan bahwa hukum syara‟ merupakan sesuatu yang dapat ditelaah
esensi-esensi yang mendasari ketentuan-ketentuan doktrinnya yang mengacu pada
kemaslahatan kehidupan manusia. Dalam hal ini, para mujtahid rasionalis mengkaji illat
untuk setiap norma hukum dengan melihat pada sisi yang memungkinkannya untuk
memperoleh illat sebanyak-banyaknya, sehingga mereka dapat leluasa melakukan kajian
analogis dengan memelihara kepentingan kehidupan manusia dan masyarakat secara
keseluruhan.
B. Perkembangan Historis Rasionalitas Dari Kalangan Sahabat, Tabi’in, Dan
Tabi’tabi’in
Tradisi kajian hukum ahlu al-ra‟yi telah dimulai oleh Umar bin Khattab di
Madinah, yang banyak melakukan kajian maslahah dalam berbagai masalah
2
3. 3
kemasyarakatan. Dalam hal ini, Umar bin Khattab seringkali mempertimbangkan
kemaslahatan umat dibanding sekedar menerapkan nash secara dzahir, sementara tujuan
hukum tidak tercapai. Kemudian kajian hukum seperti ini juga diikuti oleh Abdullah bin
Mas‟ud yang mengembangkannya di Irak, setelah diutus oleh khalifah Umar untuk
menjadi wazir Kufah yang sekaligus menjadi guru tempat berlajar dan bertanya bagi
penduduknya.
Pola-pola kajian hukum dan fatwa-fatwa fiqh tersebut kemudian diserap oleh para
ulama dari kalangan Tabi‟in, salah satunya Ibrahim bin Yazid al-Nakha‟i (w. 96 H).
Selain dari Abdullah bin Mas‟ud, al-Nakha‟i juga menyerap ilmu-ilmu keagamaan Islam,
khususnya fatwa-fatwa fiqh dan pola-pola kajian hukumnya dari Syuraih bin Harits (w.
78 H), yang diangkat menjadi qadhi Kufah oleh khalifah Umar bin Khattab. Juga dari
fatwa-fatwa Ali bin Abi Thalib pada saat menjadi khalifah yang berkedudukan di Kufah.
Informasi dan tradisi keagamaan serta pola-pola kajian hukum dari ketiga tokoh
tersebut sangat mempengaruhi pola kajian hukum al-Nakha‟i dan para ulama kalangan
Tabi‟in pada generasinya, yang menyebabkan berkembangnya suatu pola pengkajian
hukum yang lebih bercorak anthrophosentris warisan Umar bin Khattab. Inilah yang oleh
para ulama ushul fiqh disebut sebagai madrasah al-ra‟yu.
Madrasah al-ra‟yu menampilkan dua madrasah besar, yaitu pertama, madrasah
Kufah, dengan tokoh-tokoh seperti Alqamah bin Qais (w. 62 H), Masruq bin al-Ajda (w.
63 H), Aswad bin Yazid (w. 75 H) Syuraih bin Harits (w. 78 H), Ibrahim bin Yazid al-
Nakha‟i (w. 95 H), Al-Sya‟bi (w. 103 H), Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H), dan
Nu‟man bin Tsabit bin Zautha yang populer dengan nama Abu Hanifah (80-150 H).
3
4. 4
Kedua, madrasah Basrah, dengan tokoh-tokoh seperti Muslim bin Yasar (w. 108 H),
Hasan bin Yasar (w. 110 H), dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Di samping aliran rasional (ahlu al-ra‟yi) yang dikembangkan madrasah al-ra‟yu
di Irak, dalam istilah ijtihad fiqh dikenal juga aliran tradisional (ahlu al-hadits), yaitu
mereka yang dalam ijtihad fiqhnya senantiasa merujuk nash-nash al-Qur‟an dan Sunnah,
serta tidak mau melangkah jauh dari keduanya, tidak senang melakukan kajian nalar
rasional, dan sangat berhati-hati dalam berfatwa.Mereka berpendapat bahwa yang berhak
menetapkan hukum itu hanyalah Allah dan Rasul-Nya.Di samping itu, ketentuan-
ketentuan hukum hanya terdapat dalam al-Qur‟an dan Sunnah.Maka, berbagai persoalan
aktual harus senantiasa dikembalikan pada keduanya.Untuk itulah mereka memperluas
pemakaian hadits, termasuk hadits-hadits ahad sejauh memenuhi persyaratan sebagai
sebagai hadits yang ma‟bul bih.
Tradisi kajian hukum dengan prinsip di atas telah dimulai oleh para sahabat yang
berpikir idealistik dan amat berhati-hati dalam berfatwa mengenai soal hukum, antara lain
adalah Abdullah bin Umar, „Aisyah, dan Ibnu Abbas. Kemudian diikuti oleh para Tabi‟in
yang mayoritas berdomisili di Madinah, antara lain Sa‟id ibnu Musayyab dan tokoh-
tokoh lainnya. Mereka mengembangkan suatu teori kajian hukum yang senantiasa
merujuk pada Al-Qur‟an dan al-Sunnah, serta menghindari pemakaian akal secara bebas,
baik melalui pendekatan istihsan maupun mashlahah al-mursalah .Kecenderungan seperti
ini dikembangkan oleh para ulama Hijaz yang kemudian terkenal sebagai madrasah al-
hadits.
Kelompok rasionalis (ahlu al-ra‟yi) lebih berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan
mashlahah dalam kehidupan manusia.Dalam metodologinya, kelompok rasionalis (ahlu
4
5. 5
al-ra‟yi) memiliki corak kajian yang anthroposentris dengan penggunaan qiyas, istihsan,
maslahah-nya.Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa asumsi dasar dalam pandangan
mereka, antara lain yaitu, pertama, nash-nash syari‟ah sifatnya terbatas, sedang peristiwa-
peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang.Oleh sebab itu, terhadap
peristiwa-peristiwa yang tidak ada nash-nya, ijtihad didasarkan kepada ra‟yu.Kedua,
setiap hukum syara‟ dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan
tertentu.Tugas utama seorang mujtahid ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad
merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illat-nya, atau
membatalkan berlakunya satu hukum karena diduga tidak ada illat-nya.
Di samping corak kajian tersebut yang merupakan ciri utama dalam kelompok ini,
ciri-ciri lainnya sebagai berikut, yaitu pertama, mereka berani mengembangkan alternatif-
alternatif hukum sebelum ditetapkan dengan mengangkat pertanyaan-pertanyaan
antisipatif. Kedua, mereka sangat selektif dalam pemakaian hadits, dengan meneliti
rangkaian sanadnya sampai atau tidak kepada Nabi Saw dan juga meletakkan persyaratan
pemakaian hadits yang tidak lazim dipakai oleh kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits),
yaitu di samping harus diteliti tingkat ke-tsiqah-an para perawinya, juga harus dilihat
jumlah perawi pada tiap thabaqat-nya. Kalau hanya satu atau dua orang saja pada tiap
thabaqat atau pada sebagian thabaqat-nya yang biasa disebut hadits ahad maka hadits-
hadits tersebut langsung mereka tinggalkan. Hal ini dilakukan karena Kufah yang
menjadi pusat kelompok ini penuh dengan berbagai fitnah dan kebohongan sebagai
dampak dari pergolakan politik yang terus memanas, sejak peralihan Ali bin Abi Thalib
kepada Mu‟awiyah hingga pertengahan dinasti Bani Umayyah. Keadaan ini menjadikan
tingkat kecurigaan yang cukup besar kepada orang lain.
5
6. 6
Sebagai pembahasan lebih jauh, metodologi hukum Islam Abu Hanifah dapat
dikatakan sebagai bentuk akhir yang mewakili kelompok rasionalis (ahlu al-ra‟yi),
dengan identitas yang lebih maju, dan lebih mengarah pada kepentingan
sosiologis.Dalam hal ini, Abu Hanifah menggeser hadits-hadits ahad dalam konteks
penyelesaian masalah-masalah hukum untuk berbagai kejadian aktual, dan
menggantikannya dengan qiyas serta istihsan, melalui pengembangan qiyas dengan
mencari illat sebanyak-banyaknya sehingga leluasa baginya untuk mengembalikan furu‟
tersebut kepada berbagai hukum ashal yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakatnya.
Kemudian, satu langkah berani yang dilakukan oleh Abu Hanifah adalah mengangkat „urf
atau adat serta tradisi masyarakat sebagai norma hukum Islam yang harus ditaati sejauh
tidak bertentangan dengan nash, dan sejalan dengan prinsip-prinsip mashlahah.
C. Tinjauan Geografis Yang Mempengaruhi Timbul Dan Berkembangnya Ahlu Al-
Ra’yi
Tantangan kultural yang dihadapi oleh ulama pada masa ini juga mempengaruhi
metodologi dan kaidah-kaidah ijtihad mereka.Kelompok rasionalis (ahlu al-ra‟yi), pada
umumnya, adalah para ulama yang selalu berhadapan dengan permasalahan
masyarakat.Ahlu al-ra'yi, menekankan pendidikan dan pengajarannya kepada
pemahaman dan kemampuan akal dalam berdiskusi dan berbantah.1
Pada tahap awal, rasionalisme ini dikembangkan oleh para pejabat pemerintah
yang berhadapan dengan masyarakat luas, seperti Umar bin Khattab sebagai Khalifah,
1
Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dan Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan
Sejarah, (Jakarta : PT Raya Grafindo Persada, 1996), h. 100.
6
7. 7
Abdullah bin Mas‟ud sebagai wazir, Syuraih dan Ibnu Abi Laila sebagai qadhi.
Selanjutnya Abu Hanifah sebagai pedagang yang banyak kontak dengan masyarakat
konsumennya.
Sementara kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits), pada umumnya, adalah para
ulama idealis yang kurang punya akses kepada masyarakat luas, sehingga pemikirannya
kurang berapresiasi dengan tuntutan dinamika masyarakat. Sebaliknya, mereka
berhadapan dengan doktrin-doktrin syara‟ yang ideal yang menurut mereka harus dapat
diterapkan kepada masyarakat apa adanya. Pada tahap awal, tradisionalisme ini
dikembangkan oleh Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Aisyah, yakni para
sahabat yang berada di luar struktur pemerintahan. Berikutnya fuqaha sab‟ah atau tujuh
ulama fiqh Madinah dan tokoh-tokoh lainnya yang kesemuanya merupakan ulama-ulama
shalih, ahli ibadah, dan tidak banyak terlibat dalam urusan-urusan keduniaan.
Selain itu kombinasi antara faktor-faktor politik dengan perbedaan latar belakang
sosial budaya. Pusat atau ibu kota pemerintahan kekhalifahan Islam untuk pertama
kalinya sejak masa Ali bin Abi Thalib berpindah dari Madinah ke Kufah, dan kemudian
ke Syria (Damaskus). Hal ini, praktis menyebabkan wilayah Hijaz menjadi relatif aman
dari berbagai pergolakan dan gelombang budaya serta ide-ide dari luar yang memasuki
pusat pemerintahan.
Kehidupan di Hijaz berlangsung mudah dan sederhana, karena relatif
terisolasi.Hijaz juga merupakan tempat hidup Nabi Saw dan tempat lahirnya
pemerintahan Islam. Oleh sebab itu, terdapat banyak sekali hadits di wilayah ini, selain
ketetapan-ketetapan hukum yang dibuat oleh tiga khalifah pertama, yaitu Abu Bakar,
7
8. 8
Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Di sisi lain, Irak merupakan daerah baru dan
asing bagi umat Islam. Ketika pemerintahan Islam berpusat di sini, beragam kebudayaan
dari berbagai daerah bercampur-baur sehingga memunculkan beragam situasi dan
peristiwa baru yang berada di luar pengalaman para ulama Islam pada masa ini.Di
samping itu, hadits-hadits tidak mudah didapatkan sebagaimana di Hijaz karena jumlah
Sahabat yang tinggal di Irak relatif sedikit.
Pada dasarnya, Irak merupakan tempat lahirnya hadits-hadits palsu, dan juga di
kemudian hari menjadi tempat tumbuhnya sebagian besar sekte yang
menyimpang.Karena tidak mau percaya begitu saja pada keabsahan hadits yang dikutip,
para ulama Irak cenderung lebih sedikit menggunakan hadits dibandingkan dengan para
ulama Hijaz.Beberapa hadits yang dianggap akurat oleh para ulama Irak hanya diterima
setelah terpenuhinya persyaratan yang sangat cermat.Akibat dari keadaan ini adalah
corak pemikiran hukum Irak dan para ulamanya yang lebih cenderung bergantung pada
akal dan logika daripada Sunnah Nabi Saw.
Di samping itu, lingkungan hidup di Irak berbeda situasinya dengan di Hijaz.Hal
ini disebabkan kerajaan Persia yang sebelumnya menguasai Irak, telah meninggalkan
bermacam hubungan-hubungan keperdataan dan adat istiadat yang tidak dikenal di
Hijaz.Oleh karena itu, lapangan ijtihad di Irak begitu luas dan kemampuan untuk
menggali atau membahas hukum-hukum Islam lebih banyak dimiliki oleh ulama-ulama
Irak.Sementara lingkungan hidup di Hijaz, mulai dari masa Sahabat hingga masa imam
madzhab, hampir tidak mengalami perubahan yang mendasar, serta hampir semua
kejadian atau peristiwa telah terdapat hukumnya dalam al-Qur‟an, Sunnah, maupun fatwa
8
9. 9
Sahabat.Di sini, dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad hampir tidak ada di Hijaz,
sehingga para ulama Hijaz menjadi terbiasa memahami nash-nash secara lahiriyah, dan
merasa tidak perlu untuk mencari dan mendalami illat untuk diadakannya suatu ketentuan
hukum Islam.
Ketika al-Syafi'i datang ke Iraq, terjadi pelecehan ahlu al-hadis yang amat dahsyat
oleh ahlu al-ra'yi, terutama terhadap Imam Malik, guru Imam al-Shafi'iy.Hal ini terjadi
karena secara kebetulan ahlu al-ra'yi lebih populer di Iraq dan lebih dekat dengan
penguasa, sebagai akibat kepandaiannya dalam berdebat dan berdiskusi serta
kelihaiannya dalam merekayasa hukum.2
Melihat kenyataan seperti ini, maka wajar apabila Imam al-Shafi'i membela dan
mempertahankan gurunya.Suatu saat Imam al-Shafi'i ditanya oleh Muhammad Ibn al-
Hasan dari Madzhab Hanafi, "Bagaimana pendapatmu mengenai sikap teman-temanmu
dan teman-temanku?Malik apa Abu Hanifah?”Al-Shafi'i balik bertanya, "Siapa yang
lebih mengerti tentang hadis Nabi?Malik ataukah Abu Hanifah?"Al-Hasan menjawab,
"Malik, tetapi Abu Hanifah lebih analogis!" Al-Shafi'i menyatakan, "Ya, karena Malik
lebih mengerti tentang kitab Allah termasuk nasikh dan mansukhnya dan sunnah Nabi
dibanding Abu Hanifah. Maka, Malik lebih patut untuk diikuti."3
Dasar-dasar yang dikemukakan oleh Imam al-Shafi'i tersebut kemudian menjadi
hujjah kelompok Maliki penduduk Iraq dalam setiap perbantahan menghadapi kelompok
Hanafi, sekaligus mempopulerkan nama Imam al-Shafi'i kepada penduduk Iraq. Imam al-
2
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
1998), h. 71.
3
Mun‟im. A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, (Islamabad: Risalah Bush, 1995), h. 76.
9
10. 10
Shafi'i cukup terpengaruh dengan ahlu al-hadith, sehingga ketika mempelajari buku-buku
ahl al-ra'yi ia cenderung menolak pendapat-pendapat mereka dan tetap gigih
mempertahankan atau membela ahlu al-hadis. Ketika al-Shafi'i datang ke Baghdad,
terdapat 40-50 kelompok diskusi sesuai dengan afiliasi masing-masing.Berkat keahlian
al-Shafi'i dalam menjelaskan fungsi hadis dalam Shari'at Islam, banyak di antara ahlu al-
ra'yi bergabung dengannya.Bahkan, tokoh-tokohnya akhirnya menjadi muridnya.
D. Bentuk fatwa hukum ahlu al-ra’yi dan contoh
Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan, Nabi Muhammad saw. pernah
memberikan zakat kepada orang muallaf kafir, di antaranya kepada Shafwan bin
Umayyah. Pemberian zakat kepada mereka disebabkan karena umat Islam saat itu masih
sedikit.Setelah beliau wafat, ketika umat Islam kuat, para khalifah yang empat tidak ada
memberikan zakat kepada mereka. Di masa khalifah Umar ra., umat Islam sedang
mencapai puncak kejayaannya setelah menamatkan sejarah kejayaan Persia di Iran dan
hanya bersaing dengan Imperialis Romawi. Maka kemudian munncul pertanyaan, masih
adakah orang yang masuk muallaf?Umar ra.menjawab, “Dulu, Rasulullah saw. memang
pernah memberikan zakat kepada kalian, karena saat itu umat Islam masih sedikit. Tapi,
kini Allah telah memuliakan agama Islam dan kaum muslimin. Maka, pergilah! Jika kau
ingin beriman, berimanlah. Jika ingin kafir, kafirlah!”.Konklusinya, keputusan khalifah
Umar ra.tidak memberikan zakat kepada mereka bukan bertentangan dengan al-Qur‟an,
tapi karena memang sudah tidak ada muallaf lagi.
10
11. 11
Ijtihad Umar yang paling masyhur yang disebut-sebut sebagai dalil perubahan
hukum Islam karena keadaan ada (2) dua poin, yaitu4:
1. Umar tidak memberikan zakat untuk muallaf, padahal telah ada ketentuannya
dalam al-Qur‟an (Qs. at-Taubah: 60). Ma‟ruf ad-Duwalibi mengatakan, “Ini mau
dikatakan apa jika tidak dikatakan menghilangkan hukum al-Qur‟an, ketika
Umar yakin bahwa kondisi yang berubah telah membolehkannya?Akan tetapi,
apakah ulama dan penulis kita berani menghadapi hakikat yang jelas ini?”
2. Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa terjadinya kelaparan („âm
as-sannah/ al-majâ‟ah). Padahal ketentuan hukum potong tangan pencuri telah
terdapat dalam al-Qur‟an (Qs. al-Mâ‟idah Ayat: 38). Menurut Ma‟ruf ad-
Duwalibi, peristiwa ini menunjukkan adanya perubahan hukum pencurian yang
telah ditetapkan al-Qur‟an, disebabkan oleh perubahan kondisi yang
menyebabkan timbulnya pencurian.
Betulkah Umar mengubah hukum Islam karena tuntutan keadaan, sebagaimana
pernyataan Ma‟ruf ad-Duwalibi?Sebenarnya tidak. Dalam masalah zakat bagi muallaf,
persoalannya bukanlah Umar itu melanggar atau meninggalkan nash al-Qur‟an (Qs. at-
Taubah: 60), tetapi karena sesungguhnya muallafnya sendiri sudah tidak ada. Zakat jelas
hanya diperuntukkan bagi delapan golongan (ashnaf) yang telah dikenal sifat-
sifatnya.Akan tetapi, zakat hanya diberikan tatkala golongan itu ada atau tatkala sifat-
4
Said, Busthami Muhammad.1995. Pembaruan Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm
Tajdîd ad-Dîn). Terj, Ibnu Marjan dan Ibadurrahman (Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah), h. 307,
dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi.
11
12. 12
sifat golongan itu ada.Sebaliknya, jika golongan itu tidak ada atau hilang sifat-sifatnya,
zakat tidaklah diberikan5.
Demikian pula dalam peristiwa ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada
saat terjadinya kelaparan („âm as-sannah). Para ulama telah menjelaskan bahwa tindakan
Umar itu bukan berarti mengubah hukum Islam karena mengikuti keadaan, melainkan
karena ada tuntunan nash syariat dari Hadis Nabi Saw. Bahwa hukum potong tangan
tidak dapat diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu sebagaimana yang ditunjukkan oleh
dalil-dalil syariat. Di antaranya adalah ketika terjadi musibah kelaparan, sebagaimana
diriwayatkan dari Makhul ra., bahwa Nabi Saw bersabda: Lâ qath‟a fî majâ‟ah mudhthar.
(Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang memaksa)6. Jadi, Umar tidak
memotong tangan pencuri pada masa kelaparan karena mengamalkan hadis ini, sebagai
pengecualian (takhsîs) dari ketentuan umum potong tangan (Qs. al-Mâ‟idah: 38).
Dalam kitabnya, I‟lâmu al-Muwaqqi‟în III/14, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah
menjelaskan, bahwa tindakan Umar itu didorong oleh adanya syubhat (ketidakjelasan)
yang kuat, yang menyebabkan penolakan hukum potong tangan atas pelakunya yang
sangat membutuhkan makanan.7 Menolak pelaksanaan hukuman karena syubhat
merupakan perkara yang disyariatkan, sebagaimana sabda Nabi Saw: “Idrâ‟ al-hudûd bi
5
Al-Qaradhawi, Yusuf..Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam ('Awâmîl as-Sâ'ah wa al-Murûnah
fî asy-Syarî'ah al-Islâmiyyah), terj. Oleh Said Agil Husin Al- Munawwar. (Semarang: Dina Utama
Semarang, 1995), h. 306, dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi, “Memahami Ijtihad Umar Bin Al-Khaththab,”
http://j.1asphost.com/shiddiqaljawi/detail.asp?id=40(07 Oktober 2011).
6
Al-Maliki, Abdurrahman Nizhâm al-'Uqûbât( Beirut: Darul Bayariq, 1990), h. 68, dikutip oleh M.
Shiddiq Al-Jawi.
7
Said, Busthami Muhammad.1995. Pembaruan Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm
Tajdîd ad-Dîn). Terj, Ibnu Marjan dan Ibadurrahman (Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah), dikutip oleh
M. Shiddiq Al-Jawi.
12
13. 13
asy-syubuhât. (Tolaklah hukuman hudud karena adanya syubhat-syubhat) (Lihat: Imam
asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, VII/118). Hadis itu pula yang mendasari suatu kaidah
fikih terkenal, Al-Hudûd yasquthu bi asy-syubuhât.”(Sanksi hudûd digugurkan karena
adanya syubhat-syubhat)8.
Hal yang sama dapat dikatakan pula dalam masalah tanah rampasan perang di
Irak yang tidak dibagikan Umar. Hal itu bukan karena Umar menentang atau me-naskh
Qs. al-Anfâl ayat 41, melainkan karena Umar menemukan dalil lain yang lebih kuat,
yaitu dalam Qs. al-Hasyr ayat 6-109. Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa urusan tanah
rampasan perang, adalah kewenangan Khalifah (Imam) yang berhak dia perlakukan
sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan dalam batas-batas syariah.Khalifah boleh
memilih antara membagi atau tidak membagi.Masing-masing mempunyai dalilnya
sendiri-sendiri dari al-Qur‟an dan al-Hadits10.
Sebagai khalifah, Umar bin Khattab sangat memperhatikan kemaslahatan bersama
secara profesional. Hal ini dibuktikan dengan berbagai rumusan kebijakan yang penuh
dengan pertimbangan dan pemikiran yang mendalam. Sehingga zamannya dikenal
dengan zaman yang sarat dengan perubahan, dan tak jarang bertolak belakang dengan apa
yang pernah Rasulullah kerjakan.Kebijakan yang paling fenomenal adalah kebijakan
8
As-Suyuthi, Jalaludin, t.t. Al-Asybâh wa an-Nazhâ'ir fî al-Furû'. (Semarang: Maktabah wa
Mathba'ah Usaha Keluarga, 1992), h.84.dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi.
9
An-Nabhani, Taqiyuddin..Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah. Juz II (Al-Quds: Hizbut Tahrir, 1953),
h. 211, dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi.
10
As-Sayis, M. Ali. 1996. Fiqih Ijtihad: Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy'ah al-Fiqh al-
Ijtihâd wa Athwâruh). (Solo: CV. Pustaka Mantiq), h. 91-92, dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi.
13
14. 14
fiskal di sektor perpajakan tentang pertanahan dan pertahanan, atau sering kali juga
dikenal dengan kebijakan Umar di sawad (tanah subur).Umar memutuskan untuk tidak
mengambil alih tanah taklukan, namun justru diberikan pengelolaan sepenuhnya kepada
pemiliknya, namun diwajibkan membayar pajak (kharaj) sebesar 50 persen dari hasil
panen11.
Ada beberapa alasan kebijakan ini lebih disukai oleh Umar, antara lain : andaikata
tanah taklukan itu diambil alih oleh negara, maka secara otomatis para pasukan (tentara)
Islam yang akan mengelolanya, padahal menurut Umar, para tentara bukanlah ahli
bercocok tanam, selain kualitas pertanian akan menurun, juga akan berdampak pada
rendahnya produktivitas. Selain itu, pendapatan negara melalui pajak akan jauh
menurun, mengingat pajak (kharaj) bagi non-musim sebesar 50% dan pajak (ushr) bagi
bagi muslim hanya 10 % saja. Di samping itu, hal yang sangat dipertimbangkan oleh
Umar adalah kekhawatiran akan adanya gelombang pemberontakan12, sebagai dampak
pengangguran dan kemiskinan. Sehingga pada gilirannya akan memberikan angin
negatif tersendiri bagi keamanan dan keutuhan negara.
Dan untuk menanggung nasib para tentara, maka pada zaman Umarlah awal mula
ditetapkan gaji tetap bagi para tentara, selain sebagai tujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup, juga agar terjaga motivasi para tentara dalam membela negara13.
11
Sistem ini pada zaman Dinasti Abbasiah, khususnya periode Harun Ar-Rashid, dikenal dengan
sebutan Muqasamah, pengertiannya adalah negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para
penggarapnya.
12
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2004),hal 87
13
Ali, Isamer Itihash. (Dhaka : Ali Publication, 1976) hal. 206-210.
14
15. 15
Selain itu, ketika Umar melihat kebijakan bea cukai yang merugikan salah satu
pihak,14 terutama negara Islam, maka Umar pun menerapkan wajib pajak bagi siapa saja
dari warga asing non-muslim yang hendak memasuki wilayah teritorial Islam untuk
berdagang sebesar 10% dari barang yang dijual, sementara bagi dzimmi yang berada
dalam kekuasaan Islam dikenakan sebesar 5%, dan muslim 2,5% dari harga barang
dagangan15.
Hal lain dari kebijakan ekonomi Umar yang menarik untuk dikaji adalah tentang
perpajakan Kuda. Pada masa pemerintahan Umar, bisnis perdagangan kuda semakin
merebak, bahkan pernah diriwayatkan pernah ada seekor kuda Arab Taghlabi yang
diperkirakan bernilai 20.000 dirham16. Sehingga melihat keadaan demikian, maka Umar
menarik zakat dari bisnis perdagangan kuda tersebut dan membagikannya kepada orang-
orang miskin dan para budak17.
Berkaitan dengan segelintir kebijakan ekonomi Umar sebagaimana dijelaskan di
atas, ada satu hal yang mesti digarisbawahi, yaitu mengenai pendistribusian kas Baitul
Mal sebagai tunjangan sosial kepada kerabat Rasulullah dan orang-orang yang berjasa
dalam membela Islam. Karena dibalik niat yang mulia itu ternyata menuai kritikan dari
salah seorang sahabat, Hakim bin Hizam. Menurutnya, hal demikian akan mendongkrak
14
Pada masa Rasulullah, kebijakan bea cukai telah ditiadakan. Namun pada masa Umar
diterapkan kembali, hal ini berawal dari orang-orang Harbi yang mewajibkan para pedagang muslim bayar
pajak ketika berdagang di tanah Harbi (Hierapolis), sehingga melihat ketidakadilan tersebut, maka Umar
pun menerapkan kebijkan yang sama.
15
Husaini, S. A.Q. Arab Adminitration. (Madras : Soldent & Co., 1949), hal. 47-48.
16
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah, hal. 69
17
Pada masa Rasulullah, zakat atas kuda belum diwajibkan, karena memang jumlahnya sangat
terbatas, dan bukan untuk dikomersialisasikan, tapi digunakan sebagai fasilitas perang.
15
16. 16
mereka dengan sifat malas, dan akan menjadi fatal ketika pemerintah sudah tidak lagi
menerapkan kebijakan tersebut.18. Khalifah menyadari bahwa kebijakan tersebut
mengandung kekeliruan dan berimbas negatif terhadap strata sosial masyarakat dan
berniat untuk memperbaikinya. Namun Umar wafat sebelum terealisasikan rencananya19.
Dari berbagai kebijakan ekonomi Umar bin Khattab tersebut, nampak tidak terlalu
memprioritaskan kaum miskin ataupun kaum kaya, tetapi Umar lebih mengedepankan
kemaslahatan bersama. Setiap kebijakan selalu berupaya untuk menjawab keadaan
realitas dengan tidak memberatkan dalam implemenatasinya. Sehingga dengan demikian,
dapat dikatakan fleksibelitas menjadi karakteristik perekonomian di Masa Umar bin
Khattab. Kebijakan ekonomi yang kaku sangat dihindari oleh Umar, karena akan
berdampak negatif terhadap bangunan kemaslahatan yang ingin dicapai20.Kemaslahatan
menjadi dasar ataupun landasan bagi Umar dalam menjalankan roda perekonomian,
sebagai sebuah pengejewantahan dari perintah yang termaktub dalam al-Qur‟an dan as-
Sunnah.Demikianlah Umar bin Khattab yang terkadang melakukan ta‟lil (mencari alasan
rasional dari suatu hukum). Karena dalam urusan muamalah yang menjadi pertimbangan
utama adalah asas manfaat bagi masyarakat.Inilah konsep rahmatan lil „alamin membawa
rahmat bagi semesta alam.
18
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah. Hal. 64
19
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam.Jilid 1(Yogyakarta : PT Dhana Bakti Wakaf, 1995),
hal. 165
20
Qutbh Ibrohim Muhammad, Kebijakan EkonomiUmar bin Khattab. (Jakarta : Pustaka Azam,
2002), hal. 225
16
17. 17
Daftar Pustaka
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2004
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam.Jilid 1,Yogyakarta : PT Dhana Bakti Wakaf,
1995
Ali, Isamer Itihash. Dhaka : Ali Publication, 1976
Al-Maliki, Abdurrahman Nizhâm al-'Uqûbât, Beirut: Darul Bayariq, 1990
Al-Qaradhawi, Yusuf..Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam ('Awâmîl as-Sâ'ah wa al-
Murûnah fî asy-Syarî'ah al-Islâmiyyah), terj. Oleh Said Agil Husin Al-
Munawwar. Semarang: Dina Utama Semarang, 1995
An-Nabhani, Taqiyuddin..Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah. Juz II, Al-Quds: Hizbut Tahrir,
1953
17
18. 18
As-Sayis, M. Ali. 1996. Fiqih Ijtihad: Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy'ah al-
Fiqh al-Ijtihâd wa Athwâruh), Solo: CV. Pustaka Mantiq.
As-Suyuthi, Jalaludin, t.t. Al-Asybâh wa an-Nazhâ'ir fî al-Furû'. Semarang: Maktabah wa
Mathba'ah Usaha Keluarga, 1992.
Husaini, S. A.Q. Arab Adminitration. Madras :Soldent & Co, 1949
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 1998
M. Shiddiq Al-Jawi, “Memahami Ijtihad Umar Bin Al-Khaththab,”
http://j.1asphost.com/shiddiqaljawi/detail.asp?id=40 (07 Oktober 2011)
Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dan Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam
Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raya Grafindo Persada, 1996
Mun‟im. A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Islamabad: Risalah Bush.
Qutbh Ibrohim Muhammad, Kebijakan EkonomiUmar bin Khattab. Jakarta : Pustaka
Azam, 2002
Said, Busthami Muhammad.1995. Pembaruan Antara Modernisme dan Tajdiduddin
(Mafhûm Tajdîd ad-Dîn). Terj, Ibnu Marjan dan Ibadurrahman Bekasi: PT.
Wacanalazuardi Amanah.
18
19. 19
Said, Busthami Muhammad.1995. Pembaruan Antara Modernisme dan Tajdiduddin
(Mafhûm Tajdîd ad-Dîn). Terj, Ibnu Marjan dan Ibadurrahman, Bekasi: PT.
Wacanalazuardi Amanah.
Link :
http://sastra-indonesia.com/2011/06/hukum-islam-pada-masa-tabi%E2%80%99in/
http://blogpribadisaya.wordpress.com/2011/03/30/sebab-sebab-ikhtilaf-antara-ahlul-
hadits-dan-ahlul-ra%E2%80%99yi/
http://www.ikpmkairo.org/artikel/menyikapi-perbedaan-dalam-perspektif-historis/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1628/1/arab-nasrah5.pdf
http://watirpradhika.wordpress.com/2011/04/12/khilafah-rasyidah-pereode-abu-bakar-
dan-umar-bin-khattab/
http://j.1asphost.com/shiddiqaljawi/detail.asp?id=40
http://www.scribd.com/doc/66194740/Perkembangan-Fiqih-Masa-Daulah-Umayyah
19