3. Sejarah Busana Kraton Yogyakarta
Pada awalnya, busana kraton yogyakarta hanya boleh dipakai
oleh raja, bangsawan, dan pejabat kerajaan. Seperti pada masa
kekuasaan sultan hamengkubuwana I pada tahun 1785 tampak
batik itu dipergunakan oleh golongan atas yang merupakan
simbol status sosial dalam sebuah kehidupan masyarakat.
Busana kraton Yogyakata yang mulai jarang ditemui akhir-akhir
ini dan hanya pada waktu tertentu akan muncul kembali dalam
suatu upacara adat yang meriah yang menarik perhatian
masyarakat umum.
Busana kraton yogyakata tediri dari seperangkat pakaian
tradisional yang memiliki unsur-unsur yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, cara
berpakaian biasanya sudah dibakukan secara adat, kapan
dikenakan, dimana dikenakan, dan siapa yang mengenakannya.
4. Komunitas kraton secara garis besar terbagi
menjadi dua kelompok sosial yakni para
bangsawan dan abdi dalem. Perbedaan dalam
kedua lapisan sosial ini tampak dari pangkat,
kedudukan, pakaian, simbol, dan tanda kebesaran
serta sistem komunikasinya.
Secara garis besar busana sebagai atribut
bangsawan dapat dibedakan menjadi dua
golongan, yakni busana sehari – hari dan busana
untuk kegiatan resmi dalam upacara alit dan
upacara ageng.
5. Busana Adat
Busana Adat dibagi menjadi 2, yaitu :
Busana sehari – hari
Busana untuk upacara resmi
6. Busana Sehari - hari
Busana sehari-hari disini adalah seperangkat pakaian yang dikenakan di rumah, saat
bekerja, dan saat bepergian. Pemakainya dapat digolongkan berdasakan jenis
kelamin,usia,dan status sosial.
Busana kencongan digunakan anak laki – laki. Pakaian tradisional untuk anak laki-laki model
kencongan terdiri dari kain batik yang dikenakan dengan model kencongan, baju
surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok atau timang
terbuat dari suwasa (emas berkadar rendah). Sedangkan busana seharihari bagi pria remaja
dan dewasa terdiri dari baju surjan, kain batik dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus
songketan, timang, serta mengenakan dhestar sebagai tutup kepala.
Busana sabukwala digunakan bagi putri raja. Pada usia 3 – 8/10 tahun. Rangkaian busana ini
terdiri dari nyamping batik, baju katun, ikat pinggang kamus songketan bermotif flora atau
fauna, memakai lonthong tritik, serta mengenakan cathok dari perak berbentuk kupu-
kupu, burung garuda, atau merak. Perhiasan yang dikenakan sebagai pelengkap terdiri dari
subang, kalung emas dengan liontin berbentuk mata uang (dinar), gelang berbentuk ular
(gligen) atau model sigar penjalin. Bagi yang berambut panjang disanggul dengan model
konde. Kainnya bermotif parang, ceplok, atau gringsing.
Busana pinjung digunakan para putri pada masa pra remaja (11 – 14 tahun). Menurut
kegunaannya busana pinjung terdiri dari busana pinjung harian, pinjung untuk
bepergian, dan pinjung untuk tarapan (Upacara tarapan merupakan inisiasi haid pertama
bagi anak perempuan). Ada juga busana pinjung yang digunakan untuk acara upacara alit
(kecil) dan upacara gerebeg.
10. Busana Upacara Resmi
Busana untuk upacara alit
Busana anak – anak meliputi busana untuk upacara tarapan, dan tingalan dalem
padintenan. Busana anak – anak terdiri dari busana tetesan dan busana pinjung. Busana
tetesan untuk putri raja yang sedang dikhitan.Busana pinjung juga digunakan dalam
upacara tarapan. Upacara tarapan merupakan inisiasi haid pertama bagi anak
perempuan.Dalam upacara ini anak disucikan dengan mandi ritual seperti halnya pada
upacara pengantin.
Busana remaja
Meliputi busana untuk upacara supitan. Upacara ini dipersembahkan bagi anak 14 – 15
tahun sebagai akhir dari masa kanak-kanaknya.
Busana untuk putri dalem yang sudah menikah yang hadi dalam Upacara supitan berupa
ubet-ubet. Adapun busana para pangeran berupa busana kampuhan sikepan lugas dengan
kuluk kanigara.
Busana dewasa
Busana dewasa untuk wanita yaitu busana ubet-ubet,semekan, dan kampuhan.
Busana ubet-ubet bagi puteri dalem digunakan siang hari terdiri dari semekan batik nyanyi
batik, kacu, dengan aksesoris dhompyong dan bross, memakai subang , cincin dan bros.
Sedangkan busana semekan , kelengkapan busananya terdiri dari nyamping batik, semekan
kacu, sutra dhompyong, bross, subang cincin dan ceplok jenthit.
12. Busana untuk upacara ageng (besar)
Upacara Ageng adalah kegiatan yang berupa
supitan, perkawinan, garebeg, tingalan jumenengan
dalem, dan agustusan.
Busana kebesaran atau keprabon khusus untuk putra
dalem terdiri dari dodotan, kanigaran, garebeg, dan
keprajuritan. Busana dodotan terdiri dari kuluk biru
dengan hiasan mundi (nyamat), kampuh kunco
satunggal, celana cindhai, gubeg moga, renda warna
kuning, pethat jeruk sak ajar, rante karset, kamus,
timang atau kretep, dan keris beranggah.
Busana dodotan dipakai dalam acara gerebeg atau
ngabekten, upacara jumenengan dalem, serta
pisowanan dalam upacara perkawinan.
13. Busana kampuhan dalam upacara ijab untuk
pengantin mempunyai kekhususan sendiri.
Untuk ijab mempelai pria mengenakan celana
panjang putih, kuluk biru ( putra dalem), kuluk
putih (mantu dalem) moga putih kampuh
dengan tengahan (untuk putra dalem). Nyamat
dari bunga cengkeh, mengenakan sumping
bunga melati serta memakai keris branggah.
17. Penutup
Pakaian berperan dalam menentukan bagaimana
pemakainya bersikap dan disikapi dalam satu
tatanan sosial.
Seperti yang telah disampaikan di atas, bahwa
pakaian termasuk sebagai salah satu simbol
kekuasaan feodal dalam sistem kepemimpinan
tradisional di Jawa, maka kerajaan Yogyakarta
memiliki ciri tersendiri dalam meregulasikan fungsi
dan makna pakaian-pakaian tradisionalnya.
Pakaian berkaitan erat dengan identitas
sosial, menjadi petunjuk koneksi pemakaiannya
pada komunitas-komunitas dalam satu periode
historis (taylor dalam northholt,2005:125)