Dokumen tersebut membahas tentang preparasi sampel metalografi melalui proses mounting, pengamplasan, pemolesan, dan etsa. Proses mounting digunakan untuk mempermudah penanganan sampel berukuran kecil dengan menempatkannya pada media seperti resin. Pengamplasan dan pemolesan digunakan untuk meratakan dan menghaluskan permukaan sampel. Etsa digunakan untuk mengungkap struktur mikro dengan cara kimia maupun elektrolitik.
9. Besi tuang melleable: dimana hampir semua karbonnya dalam bentuk partikel tak beraturan yang dikenal dengan karbon temper. Besi tuang melleable diperoleh dengan memberikan perlakuan panas pada besi tuang.
10. Besi tuang kelabu: dimana semua atau hampir semua karbonnya dalam bentuk flake.
18. Pada material lunak denga butir kasa (coarse grain) maka dapat dilihat pola-pola yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang keluar dan dareah awal kegagalan.
24. Kondisi sampel individu yang didapatkan oleh praktikan telah dipotong dan dimounting sebelumnya oleh asisten, sehingga praktikan menjadi lebih mudah dan cepat saat melakukan rangkaian proses karena tidak perlu lagi melakukan mounting sampel, tetapi tinggal melanjutkan proses selanjutnya yakni pengamplasan.
25. Pada praktikum ini, media mounting yang digunakan oleh praktikan adalah castable resin dengan teknik mountingnya adalah castable mounting. Teknik castable mounting ini merupakan teknik mounting yang lebih sederhana dibandingkan dengan teknik compression mounting yang menggunakan media bakelit, karena pada teknik castable mounting ini tidak memerlukan aplikasi panas dan tekanan. Selain itu peralatan dan bahan yang digunakan cukup simpel yaitu seperti plastik bekas tempat rol film yang dipotong menjadi 2 bagian yang digunakan sebagai cetakan, lakban yang digunakan untuk menutupi bagian bawah cetakan, castable resin, dan hardener. Untuk melakukan teknik mounting ini hal yang pertama yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut.
27. Menutupi bagian bawah cetakan dengan menggunakan lakban, setelah itu masukkan sampel uji kedalam cetakan bagian bawah cetakan hingga sampel tersebut terlihat menempel dengan lakban.
28. Membuat campuran antara castable resin dengan hardener ditempat lain (tempatnya juga menggunakan plastik bekas tempat rol film yang masih utuh), perbandingan antara volume castable resin dengan hardener yaitu castable resin yang volumnya 1/3 bagian dari plastik tempat rol film diteteskan sebanyak 15 tetes hardener, pencampuran dilakukan sambil diaduk agar pencampuran antara castable resin dan hardener terjadi secara merata, tetapi pengadukannya jangan terlalu cepat untuk menghindari terbentuknya gas hole pada mounting.
29. Setelah dilakukan pencampuran, kemudian castable resin dimasukkan ke dalam cetakan yang telah disiapkan, setelah dimasukkan ke dalam cetakan kemudian tunggu antara 25 - 30 menit.
30.
31. Pada pemasangan lakban serta cetakan harus benar-benar diperhatikan, diusahakan serapat mungkin dan rapi.
35. Jumlah dari hardener yang digunakan akan sangat mempengaruhi hasil mounting yang didapat. Semakin banyak hardener yang dimasukkan ke dalam resin maka semakin cepat mounting mengering, namun juga akan memperkeruh mounting itu sendiri dan akan menimbulkan asap. Untuk itu maka jumlah komposisi hardener yang tepat akan menghasilkan warna mounting yang jelas dan tidak timbul asap sehingga tidak ada cacat seperti gelembung gas dan retak. Pada hasil mounting praktikan dapat dilihat hasil mounting yang tidak keruh, bagian atas permukaannya rata, tidak terdapat rongga udara dan retak, hal ini menandakan hardener yang diberikan sudah sangat sesuai dengan kebutuhannya.
40. Proses yang berikutnya setelah dilakukan mounting yaitu grinding atau pengamplasan. Proses pengamplasan ini dilakukan menggunakan mesin amplas otomatis, dalam artian mesin pengamplasan tersebut telah berputar dengan kecepatan tertentu secara konstan sehingga yang perlu kita lakukan adalah mengatur posisi sampel, meletakkan diatas permukaan dan memberikan penekanan sesuai kebutuhan, tentunya juga perlu dilakukan penggantian kertas amplas untuk mendapatkan hasil pengamplasan yang sesuai dengan yang dinginkan. Penggunaan mesin amplas ini bertujuan untuk menghasilkan hasil amplas yang lebih baik dan homogen dibandingkan proses pengamplasan manual. Proses pengamplasan dilakukan secara bertahap dan berurutan agar didapatkan permukaan yang sangat halus karena di bawah mikroskop diperlukan permukaan yang halus agar didapat hasil pengamatan yang baik yaitu permukaan sampel yang bebas dari goresan sehingga tidak akan terjadi pemantulan acak cahaya pada saat pengamatan dengan mikroskop. Perlu diperhatikan agar selama pengamplasan tekanan ke seluruh bagian sampel dijaga uniform sehingga seluruh permukaan sampel mengalami pengamplasan yang merata agar tidak dihasilkan bidang-bidang yang berlainan pada sampel.
41. Pada proses pengamplasan, dimulai dengan menempatkan kertas amplas pada mesin amplas dan kemudian dijepit sesuai dengan ukuran mesin amplasnya. Pada saat pemasangan kertas amplas ini juga harus diberi air pada permukaan mesin amplas agar nantinya kertas amplas yang dipasang tidak bergelombang dan juga agar kertas amplas dapat melekat dengan baik. Jika terbentuk gelombang pada mesin amplas, maka akan menghasilkan permukaan yang tidak rata atau dua permukaan yang terhaluskan dan juga dapat menyebabkan kertas amplas robek. Selain itu air berguna untuk pemindah geram, memperkecil gesekan agar sampel tidak rusak dan memperpanjang pemakaian kertas amplas. Kemudian saat menjalankan mesin amplas, dimulai dari kecepatan yang rendah ke kecepatan tinggi. Tujuannya agar sampel ketika diamplas, pada kecepatan yang besar permukaannya akan semakin cepat halus dan rata. Terutama untuk sampel dengan kekerasan yang tinggi akan dibutuhkan kecepatan pengamplasan tinggi pula agar sample lebih mudah untuk dihaluskan.
42. Dan proses pengamplasannya melalui lima tahap ukuran grit yang berbeda yakni 240, 400, 600, 800, 1200, dan 1500. Pada setiap ukuran gritnya, penampakan permukaan sampel berangsur-angsur memiliki goresan yang semakin kecil.
43. Kemudian, untuk pengamplasan sampel HST, S50, diamplas dengan menggunakan kertas amplas yang kasar,grit 240 kemudian dilanjutkan dengan kertas amplas yang lebih halus yaitu dari yang bernomor mesh 400, 600, 800, 1200 dan 1500. Tidak semua permukaan sampel bersih dari lapisan oksida. Masih ada beberapa bagian kecil yang sulit untuk dihilangkan karena permukaan sampel yang tidak rata. Namun, masih banyak daerag yang bersih dari oksida untuk dilakukan uji kekerasan dan pengamatan struktur mikro.
47. Air yang dituangkan seharusnya konstan dan tidak tidak terlalu banyak. Namun saat praktikum, air yang dituang tidak konstan dan jumlahnya juga tidak sama.
49. Arah ampelas setiap melakukan pergantian grit kertas amplas harus disesuaikan. Diubah 45o atau 90o. Pada saat praktikum saya melakukan hal itu, sehingga permukaan yang dihasilkan lumayan baik walaupun tidak 100% permukaannya baik.
51. Mesin ampelas harus diatur konstan dan tidak terlalu kencang agar permukaan sampel tidak cepat tergerus.
52. Pada saat ampelas beberapa sampel di atas 1 mesin ampelas terdapat beberapa sampel. Dan sampel tersebut jenisnya berbeda. Untuk sampel yang jenis medium carbon steel seharusnya jangn bersamaan dengan baja karena permukaan sampel medium carbon steel akan rusak karena terkena bekas ampelas jenis baja.
55. Pada saat pemolesan yang diperhatikan adalah goresan-goresan yang masih ada pada permukaan sampel hasil ampelas. Karena larutan alumina akan mengisi goresan-goresan tersebut sehingga akan terjadi kesalahan pada foto mikro.
56. Dari hasil pemolesan sampel praktikan 618 quench udara, terlihat sanagat mengkilap seperti kaca dikarenakan baja 618 mengandung unsur Cr. Sedangkan sampel HST, setelah dilakukan pemolesan masih terdapat gores kecil dan tidak begitu mengkilap seperti baja 618.
59. Foto sampel hasil praktikumMaterial : AISI 618 (Quench udara)Perbesaran : 500 xEtsa: Nital 2 % selama 10 sFasa : Martensite, sedikit austenit sisa, dan sedikit ferrite
60. Foto LiteraturMaterial : Baja tipe Fe-Ni-Cr-Mo (AISI 618)Perbesaran : 200 xEtsa: Nital 2 % Fasa : Martensite, sedikit austenit sisa, dan sedikit ferrite. Foto Literatur (Atlas of Time Temperature Diagrams for Irons &Steel, G.F Van der Voort)
73. Baja S-50C merupakan salah satu baja karbon menengah karena memiliki kadar karbon sekitar 0.48 – 0.55 wt% C. Karena kadar karbonnya yang kurang dari 0.8 wt% C, maka baja karbon ini tergolong baja hypoeutectoid. Baja ini umumnya digunakan setelah melalui proses hardening dan tempering. Dengan memvariasikan media quench dan temperatur temper-nya, maka akan dihasilkan sifat mekanik yang berbeda-beda atau bervariasi.
74. Pada baja S-50C terdapat beberapa unsur paduan yang terkandung dalam medium carbon steel seperti Mn, P, dan S. Kandungan mangan sebagai elemen paduan yang terdapat pada medium carbon steel ini berfungsi untuk meningkatkan kekuatan, sedangkan unsur P dan S merupakan impurities yang juga berfungsi untuk meningkatkan kekuatan dari baja medium carbon steel ini.
91. Berdasarkan pengamatan struktur mikro, pada foto sampel HST kelompok 16 terdapat fasa ferrite berwarna putih, austenite sisa berwarna coklat dan martensite berwarna hijau.
97. Bila dilihat dari foto struktur makronya, sampel merupakan sampel uji tarik dengan perpatahan getas. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penampakan perpatahan granular atau berbutir-butir yang tampak terang saat dilihat.
99. Jenis perpatahan sampel kuningan (Cu-Zn) yang kami dapat merupakan sampel uji tarik yang menunjukkan adanya perpatahan getas di permukaannya. Hal ini dapat dilihat pada foto makro bahwa adanya perpatahan granular atau kristalin pada sampel.
102. Analisa Bahan Material yang Digunakan Sebagai Sampel berdasarkan Sifat-Sifat yang Terdapat Pada Sampel Makro
103. Dengan memperhatikan segala karakteristik yang muncul setelah melakukan pengamatan terhadap permukaan patahan tersebut serta berdasarkan pengamatan fisik dari sampel pengujian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampel tersebut adalah sampel kuningan (Cu-Zn). Sampel tersebut dilakukan pengujian tarik dengan menggunakan Mesin Shimadzu di Laboratorium Pengujian Merusak. Hal ini juga diperkuat dengan membandingkan kuningan yang diperiksa struktur makronya disini dengan kuningan yang pernah dipakai saat Praktikum Uji Tarik (Praktikum Karakterisasi Material I).
113. Percobaan jominy memanfaatkan perbedaan kecepatan pendinginan dari sampel. Bagian yang paling dekat dengan air adalah yang paling cepat pendinginannya. Semakin jauh dari air, semakin lama laju pendinginannya. Sesuai dengan diagram TTT, dari bagian yang cepat pendinginannya sampai bagian terlama, mikrostrukturnya akan bertransformasi membentuk full martensite; martensite, bainite; martensite, ferit, bainite; full bainite; bainite ferit. Mikrostruktur tersebut berhubungan dengan kekerasan dimana semakin banyak martensitenya, maka makin keras dan sebaliknya seperti pada grafik berikut
115. Prinsip Percobaan Jominy berkaitan dengn Temperatur dan Waktu Tahan yang Dihubungkan dengan Kemampukerasan Material
116. Percobaan Jominy memanfaatkan prinsip kecepatan pembekuan dalam mengukur kemampukerasan logam. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampukerasan adalah komposisi, ukuran butir austenit dan mikrostruktur sebelum quenching. Jika kita kaikan dengan waktu tahan dan temperatur, maka akan berkaitan dengan ukuran butir austenit dan mikrostruktur sebelum quenching. Saat austenisasi jika temperatur besar, maka terjadi pertumbuhan butir sehingga butir-butir austenit menjadi besar dan ketika di quench martensite yang terbentuk menjadi lebih banyak. Itu artinya hardenability meningkat. Begitu pula jika waktu tahan besar, difusi karbon ke austenit menjadi lebih banyak sehingga didapatkan austenit yang sempurna. Jika dilakukan quenching, maka martensite yang terbentuk juga sempurna sehingga hardenability meningkat.
117. TEMPERATUR ( °C)18 Kekerasan setelah kuens (Rockwell C)1842 56 63-6560-62 57-58 a ed cb f 750 850 950 Waktu tahan yang benar
118.
119. Pengamplasan yang kurang bersih, masih terdapat oksida-oksida pada permukaan dimana nilai kekerasannya akan menjadi lebih besar. Karena saat uji kekerasan yang terkena beban Brinnel adalah oksidanya bukan materialnya.
120. Pengukuran jejak pada measuring microscope yang kurang tepat. Hal ini karena bentuk jejaknya tidak tepat seperti lingkaran mulus, sehingga penentuan ujung-ujung lingkarannya hanya berdasarkan perkiraan yang menyebabkan nilai kekerasannya menjadi kurang akurat.
121. Adanya coretan bekas spidol yang digunakan untuk menandai daerah penjejakan yang menghalangi proses pengamatan pada measuring microscope.
145. Nilai kekerasan yang diperoleh dari tiga daerah yang dilakukan penjejakan adalah berbeda-beda. Terdapat daerah yang lebih lunak dan lebih keras. Hal ini dapat disebabkan oleh:
146. Pengamplasan yang kurang bersih, masih terdapat oksida-oksida pada permukaan dimana nilai kekerasannya akan menjadi lebih besar. Karena saat uji kekerasan yang terkena beban brinnel adalah oksidanya bukan materialnya.
147. Pengukuran jejak pada measuring microscope yang kurang tepat. Hal ini karena bentuk jejaknya tidak tepat seperti lingkaran mulus, sehingga penentuan ujung-ujung lingkarannya hanya berdasarkan perkiraan yang menyebabkan nilai kekerasannya menjadi kurang akurat.
151. Kecepatan pendinginan mempengaruhi fasa yang akan terbentuk dan tingkat kekerasan dari suatu material. Dapat dilihat dari diagram CCT di bawah, ditunjukkan bahwa pendinginan dengan media air akan menghasilkan martensit lebih cepat karena laju pendinginannya lebih cepat dibandingkan dengan media minyak ataupun udara. Hal ini tidak terlalu terlihat untuk percobaan yang kelompok kami lakukan dengan kelompok pembanding (Kelompok 15) karena sama-sama menggunakan media pendingin yang sama, yaitu minyak / oil.
154. Temperatur austenisasi akan mempengaruhi pertumbuhan butir dari suatu material. Jika temperatur austenitnya tinggi, maka akan didapatkan butir austenit yang besar. Sedangkan bila temperatur austenitnya rendah maka akan didapatkan butir yang kecil. Pengaruh temperatur austenit tidak hanya pada pertumbuhan butir tetapi juga pada nilai kekerasan. Tingginya temperatur austenisasi akan menghasilkan kekerasan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan dengan tingginya temperatur autenisasi akan membantu terlarutnya karbon dalam austenit yang akan bertransformasi menjadi martensit karena kadar karbon yang terperangkap dalam struktur kristal lebih banyak. Sedangkan dengan temperatur yang lebih rendah, tidak akan menghasilkan kekerasan yang maksimum. Hal ini disebabkan kadar karbon yang terlarut belum banyak selain itu kemungkinan dapat terjadi belum tercapainya daerah austenisasi. Sehingga masih terdapat ferrit yang akan tetap berupa ferrit pada temperatur kamar.
156. Waktu tahan diberikan dalam suatu proses perlakuan panas dengan tujuan memberikan pada unsur-unsur suatu bahan untuk melakukan difusi. Dengan pemberian waktu tahan diharapkan karbon dapat larut dalam austenit dan austenit menjadi lebih homogen. Jadi waktu tahan yang lebih lama akan memberikan kekerasan yang tinggi.
157. Pengaruh Waktu Tahan & Temperatur terhadap Kekerasan Hasil Quench yang Diperoleh
158. Temperatur austenisasi Kelompok 16 dan 15 tidak berbeda dan sama-sama berada pada daerah austenit, namun waktu tahan temperatur austenitnya lebih lama pada kelompok 16 (25 menit). Bila dilihat pada grafik di atas, waktu tahan yang benar untuk proses ini sekitar 56-63 menit. Sehingga dapat dikatakan bahwa perbedaan waktu tahan austenisasi yang dilakukan ini berakibata pada nilai kekerasan yang diperoleh dan dibuktikan dengan percobaan ini dimana Kelompok 16 dengan waktu tahan lebih lama (25 menit) memiliki nilai kekerasan yang lebih besar dibandingkan nilai kekerasan Kelompok 15 yang hanya ditahan selama 10 menit di fasa austenite.
160. Proses tempering merupakan suatu proses untuk melunakkan baja yang telah dikeraskan dengan maksud mendapatkan sifat ketangguhan dengan mengorbankan sifat kekerasannya. Hal ini dilakukan dengan cara memanaskan kembali material yang telah didinginkan yang bertujuan agar karbon yang terperangkap dapat berdifusi. Banyaknya karbon yang berdifusi tergantung pada temperatur tempernya dan waktu tahan temper. Semakin tinggi temperaturnya dan semakin lama waktu tahan, maka semakin banyak karbon yang berdifusi sehingga kekerasannya semakin rendah dan keuletan meningkat.
164. Cracking: retaknya media mounting, disebabkan oleh terlalu banyaknya hardener dan temperatur yang terlalu tinggi.
165. Bubbles: terdapat gelembung gas pada media mounting, disebabkan karena pengadukan yang terlalu kasar atau cepat saat pencampuran resin dan hardener, sehingga ada udara yang terperangkap di dalam campuran tersebut. Pencegahannya adalah mengaduk secara perlahan campuran resin dan hardener.
166. Discoloration: pengotoran, perubahan warna, dan perusakan warna, yang terjadi karena rasio resin dan hardener tidak seimbang, dan hardener teroksidasi.
167. Soft mounts: media mounting terlalu lunak, perbandingan resin dan hardener tidak seimbang, dan juga hardener terlalu sedikit.
168. Tacky tops: Permukaan mounting tidak rata, disebabkan oleh tidak ratanya permukaan cetakan saat dituang atau karena perbandingan resin dan hardener yang kurang tepat. Cara pencegahannya adalah dengan benar-benar meratakan permukaan isolasi yang akan dituang resin dan memperhitungkan perbandingan resin dan hardener.
169. Unfused: retakan di sekeliling sampel, disebabkan oleh tegangan permukaan dan tekanan yang berlebihan.
171. 38823901321435388239045085Cacat Ekor Komet: cacat berupa goresan melingkar pada pemukaan sampel. Hal ini dapat terjadi akibat penumpukan alumina pada celah-celah mikro di sampel ketika pemolesan dilakukan secara statik. Ketika pemolesan dilakukan static, terdapat kemungkinan adanya partikel-partikel alumina yang terperangkap di dalam celah-celah mikro ,seperti goresan yang dapat saja terbentuk pada saat pengamplasan, dan membentuk suatu garis putih layaknya sebuah ekor komet. Apabila menggunakan teknik poles satu arah, bubuk alumina akan berkumpul dan tertahan pada satu bagian sampel. Dan lama kelamaan bubuk alumina akan menimbulkan goresan pada sampel dan terbentuklah ekor komet. Untuk mengatasinya, maka ketika proses pemolesan berlangsung, sampel harus terus menerus diputar.
176. Gambar mikrostruktur baja paduan rendah yang menunjukkan adanya butir ferrite dan pita pearlite dengan menggunakan etsa picral 4% dan nital 2% dan perbesaran 200x
178. Pearlite band atau juga sering disebut sebagai ferrite-pearlite band merupakan suatu distribusi tidak homogen dari susunan ferrite dan pearlite sebagai filament atau pelat yang sejajar dengan arah pengerjaannya (biasanya pengerolan). Pearlite band ini tidak diinginkan dalam produk hasil pengerolan karena perbedaan distribusi ferrite dan pearlite tersebut dapat mengakibatkan menurunnya sifat mekanis. Hal ini disebabkan karena sifat ferrite yang ulet terpisah dengan sifat sementit yang getas sehingga ada perbedaan distribusi kekuatan pada produk.
192. Etsa adalah suatu proses penyerangan atau pengikisan batas butir yang selektif dan terkendali dengan pencelupan ke larutan pengetsa baik menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur yang akan diamati akan terlihat jelas dan tajam.
193. Dua proses etsa yang dipakai ialah etsa kimia dan elektroetsa.
194. Pada etsa kimia, untuk melihat struktur baja menggunakan zat nital, Al dengan zat HF, dan paduan tembaga dengan zat FeCl3.
195. Variabel etsa yang penting untuk proses etsa kimia adalah pemilihan zat etsa, waktu pengetsaan, dan pemberian alkohol.
197. Tujuan dari pengamatan mikro adalah mengetahui pengambilan foto mikrostruktur, menganalisa struktu mikro dan sifat-sifatnya, dan mengenali fasa-fasa yang terdapat dalam struktur mikro.
199. Sebelum dilakukan pengamatan, sampel untuk pengamatan struktur mikro harus dilakukan persiapan sampel dengan baik, agar hasilnya dapat dilihat dengan jelas dan tajam serta dapat dibandingkan dengan literatur yang ada.
200. Sampel pengamatan struktur makro pada percobaan ini adalah sampel hasiil uji tarik dengan jenis perpatahan getas.
201. Hal yang penting pada saat pengamatan struktur adalah pencahayaan, fokus, dan perbesaran yang tepat agar dapat terlihat ada fasa, karbida, presipitat dan komponen apa saja pada sampel pengamatan struktur mikro dan patahan apa yang terjadi pada sampel pengamatan struktur makro.
203. Percobaan Jominy bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh material tersebut berfasa martensit, memprediksi seberapa dalam kekerasan yang dicapai, membandingkan kekerasan suatu material dengan standardnya.
204. Dengan kurva Jominy dapat diketahui hubungan antara kecepatan pendinginan dengan fasa yang terbentuk serta mendapatkan sifat kekerasannya.
205. Semakin dekat dengan sumber air, maka sifat kekerasannya makin tinggi, karena laju pendinginannya semakin cepat sehingga martensit lebih mudah terbentuk.
209. Perlakuan panas merupakan proses kombinasi pemanasan dan pendinginan yang bertujuan mengubah struktur mikro dan sifat mekanis logam.
210. Laju pendinginan suatu proses ditentukan oleh media pendinginnya, dapat berupa air, minyak, udara, dan lain-lain.
211. Laju pendinginan yang berbeda akan menghasilkan fasa yang berbeda. Masing - masing fasa tersebut terjadi dengan kondisi pendinginan yang berbeda-beda dimana untuk setiap paduan bahan dapat dilihat pada diagram CCT dan TTT. Dan masing-masing fasa memiliki nilai kekerasan yang berbeda.
212.
213. Jumlah mesin amplas otomatis ditambah serta diadakan perbaikan terhadap sistem saluran air di mesin tersebut agar memudahkan praktikan.
214. Praktikan diberikan kesempatan untuk belajar mengoperasikan atau mensetting mikroskop agar gambar yang dihasilkan bagus.
215. Pengamatan struktur mikro dilakukan lebih lanjut dengan menggunakan SEM.6. Daftar Pustaka<br />ASM Handbook Volume 1: Properties and Selection: Irons, Steels, and High-Performance Alloys<br />ASM Handbook Volume 3: Alloy Phase Diagrams<br />ASM Handbook Volume 4: Heat Treating<br />ASM Handbook Volume 9: Metallography and Microstructures<br />Ariati MS, Dr. Ir. Myrna. Bahan Kuliah (slide) Heat Treatment & Surface Engineering. 2010. Depok: DTMM FT UI<br />Callister, William. Material Science and Engineering An Introduction Seventh Edition. 2007. New York: Wiley<br />Lab Metalografi & HST. Modul Praktikum Karakterisasi Material 2. 2011. Depok: DTMM FT UI<br />Voort, G.F Van der. Atlas of Time Temperature Diagrams for Irons &Steel. 1991. ASM International<br />