1. LAPORAN IGF 2017
SHAPE YOUR DIGITAL
FUTURE
JENEWA, 18-21 DESEMBER 2017
ELLEN KUSUMA
Sukarelawan untuk Kawasan IV (Negara ASEAN)
SAFEnet, Southeast Asia Freedom of Expression Network
2. Daftar Isi
• Pengantar - 3
• Disclaimer - 4
1. Kebebasan Berekspresi Online
dan Keamanan Siber - 5
2. Fake News dan Jurnalisme - 11
3. Mentalitas Preman Online - 15
4. Update Umum - 17
I. Catatan, Saran, dan Kritik:
Multistakeholder, solusi yang
utopis? - 18
II. Rapat ID-IGF Pasca IGF 2017 - 23
III. Referensi dan Pranala - 24
2
3. Pengantar: Keikutsertaan SAFEnet di IGF 2017
Internet Governance Forum (IGF) adalah forum multistakeholder global yang mempromosikan
diskusi dan dialog atas isu-isu kebijakan publik yang berhubungan dengan internet. Diadakan
sejak 2006 oleh Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
IGF 2017 berlangsung di Jenewa pada 18-21 Desember 2017 dengan tajuk “Shape Your Digital
Future!”. Ada total 260 sesi yang diselenggarakan sepanjang IGF 2017, termasuk Day Zero.
Sebagai perwakilan SAFEnet Indonesia, saya menghadiri sesi-sesi yang berhubungan dengan
tema Hak Kebebasan Berekspresi Online sesuai dengan konteks perkembangannya di
Indonesia. Kehadiran SAFEnet di IGF 2017 disponsori hibah dari Google via Digital Asia Hub.
3
4. Disclaimer
Laporan ini berdasarkan pengalaman dan pengamatan personal sebagai peserta IGF untuk
pertama kalinya. Laporan ini memiliki bias berdasarkan pemahaman dan pengetahuan
personal sebagai peneliti independen di bidang Cultural Studies yang fokus pada
perkembangan penggunaan dan dampak media sosial di Indonesia.
Untuk pertanyaan, masukan, dan kritik, silakan layangkan ke kusuma.ellen@gmail.com atau via
Telegram @timejumble.
4
5. Kebebasan
Berekspresi Online
dan Keamanan
Siber
Salah satu pertanyaan dan perdebatan yang muncul adalah
sejauh mana keamanan publik dapat menjadi argumen untuk
membatasi HAM sebagai individual, terutama sehubungan
dengan Hak Kebebasan Berekspresi Online (OFoE).
Beberapa diskusi membicarakan bahwa pemerintah tidak
seharusnya melihat publik sebagai sesuatu yang harus
dikontrol, tetapi melihat publik sebagai sumber bersama dalam
tata kelola internet--memiliki posisi yang setara.
Oleh karena itu, siapapun multistakeholder-nya harus selalu
kritis terhadap goodwill (niat baik) dari pemerintah, terutama
berkaitan dengan keamanan siber yang mengatasnamakan
“demi stabilitas nasional”. Pertanyaan kritis harus diajukan,
seperti: demi stabilitas nasional atau demi stabilitas rezim? Bila
harus ada cyber-treaty, bentuknya apa, siapa yang
diuntungkan?
Pertanyaan-pertanyaan kritis juga harus jadi refleksi bagi tiap
pemangku kepentingan (stakeholder), agar tidak hanya
menjadi suara-suara yang keberpihakannya terbatas agenda
sendiri.
Overview:
● Keamanan Publik vs Hak
Asasi Individual?
● Enkripsi dan Perlindungan
Privasi
● Belajar dari Internet
Shutdowns di Afrika
● Hak Offline dan Online,
bisakah diperlakukan sama
persis?
● Kesimpulan
5
6. Kebebasan
Berekspresi Online
dan Keamanan
Siber
Perkara enkripsi dan privasi data harus menjadi perhatian,
karena ini merupakan upaya perlindungan HAM di internet,
terutama untuk kaum rentan, seperti jurnalis, aktivis, minoritas
dan yang didiskriminasi.
Mencari titik keseimbangan dalam penerapan keamanan siber
dan perlindungan data privasi masih menjadi PR bersama.
Yang harus digarisbawahi adalah bahwa dua hal ini jangan
dilihat sebagai hal yang bertentangan namun sebagai satu
kesatuan dari ekosistem internet dan harus dilihat dari
berbagai sudut pandang para pemangku kepentingan.
Untuk masalah perlindungan privasi, para pengguna internet
harus sadar, mawas, dan memiliki kontrol atas data mereka,
termasuk hak mereka untuk mencabut, menghapus, atau
membatalkan data mereka. Oleh karena itu, edukasi yang
memberdayakan (empowering) pengguna internet atas privasi
data penting dilakukan.
Penulisan Terms of Service (persyaratan layanan) yang lebih
user-friendly dan sesuai dengan konteks lokal juga harus
menjadi upaya yang dikejar dari sisi private sector, terutama
perusahaan-perusahaan multi-/transnasional.
Overview:
● Keamanan Publik vs Hak
Asasi Individual?
● Enkripsi dan Perlindungan
Privasi
● Belajar dari Internet
Shutdowns di Afrika
● Hak Offline dan Online,
bisakah diperlakukan sama
persis?
● Kesimpulan
6
7. Kebebasan
Berekspresi Online
dan Keamanan
Siber
Banyak negara di Afrika yang melakukan disrupsi koneksi
internet, pemblokiran media sosial, hingga melakukan internet
shutdown untuk berbagai alasan dan untuk periode waktu
yang berbeda-beda. Di tahun 2016 sendiri ada 11 negara
Afrika yang melakukan internet shutdown dengan total nilai
kerugian mencapai hingga 237juta dolar AS.
Kerugian yang dialami pun bukan hanya kerugian ekonomi
tetapi juga yang tidak dapat diukur dengan uang, seperti akses
atas informasi yang bisa merembet pada
peluang/kesempatan yang hilang, misal tidak bisa mendaftar
pekerjaan, mengakses beasiswa, dst.
(Silakan baca transkrip sesi ini untuk pemahaman situasi
internet shutdowns di Afrika.)
Overview:
● Keamanan Publik vs Hak
Asasi Individual?
● Enkripsi dan Perlindungan
Privasi
● Belajar dari Internet
Shutdowns di Afrika 1/2
● Hak Offline dan Online,
bisakah diperlakukan sama
persis?
● Kesimpulan
7
8. Kebebasan
Berekspresi Online
dan Keamanan
Siber
Berkaca pada kejadian yang terjadi di Afrika ini, terlihat
adanya ketimpangan pengetahuan, perspektif, dan
komunikasi antar para multistakeholder sehingga internet
shutdowns terjadi dan menjadi tren yang dianggap solutif,
padahal tidak dan justru melanggar beberapa HAM dan
berdampak negatif pada beberapa SDGs (Sustainable
Development Goals).
Walaupun skeptis dalam konteks Indonesia akan terjadi
internet shutdowns seperti di Afrika, tetapi jika ketimpangan
pengetahuan, perspektif, dan komunikasi antar para
multistakeholder (pemerintah, pembuat kebijakan, penegak
hukum, komunitas teknis, akademisi, jurnalis/media, LSM,
masyarakat umum) makin luas, bukan tidak mungkin hal ini
terjadi. Maka dari itu, peningkatan kapasitas para pemangku
kepentingan atas tata kelola internet yang dilihat dari berbagai
sudut pandang adalah hal yang imperatif. Penting pula untuk
selalu menambah wajah baru dalam tiap diskusi yang
berkenaan dengan tata kelola internet agar diskusi lebih
meluas dan mendapatkan tambahan wawasan dari berbagai
perspektif.
Overview:
● Keamanan Publik vs Hak
Asasi Individual?
● Enkripsi dan Perlindungan
Privasi
● Belajar dari Internet
Shutdowns di Afrika 2/2
● Hak Offline dan Online,
bisakah diperlakukan sama
persis?
● Kesimpulan
8
9. Kebebasan
Berekspresi Online
dan Keamanan
Siber
Belum ada jawaban yang memuaskan untuk menjawab
pertanyaan ini. Opini utama yang muncul adalah ketika
seseorang memiliki hak maka dia memiliki tanggung jawab
juga untuk menikmati hak tersebut. Ketika hak-hak itu
digunakan secara sewenang-wenang, tentu ada
konsekuensinya.
Muncul pertanyaan selanjutnya seperti: siapa yang
menentukan konsekuensinya? Apa konsekuensinya? Atau
pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana menangani
kasus-kasus seperti defamasi atau konten ilegal di internet
yang tidak berbatas dalam konteks negara/pemerintahan
yang memiliki batas-batas administratif?
Sayangnya dalam membicarakan topik ini tidak muncul
pembicaraan mengenai anonimitas.
Overview:
● Keamanan Publik vs Hak
Asasi Individual?
● Enkripsi dan Perlindungan
Privasi
● Belajar dari Internet
Shutdowns di Afrika
● Hak Offline dan Online,
bisakah diperlakukan sama
persis?
● Kesimpulan
9
10. Kebebasan
Berekspresi Online
dan Keamanan
Siber
Kata kunci yang muncul dari pembicaraan mengenai
kebebasan berekspresi online dan keamanan siber adalah
peran multistakeholder yang setara dan saling proaktif dalam
membicarakan arah tata kelola internet. Selain itu,
peningkatan kapasitias dan wajah baru dari para pemangku
kepentingan juga penting sehingga tata kelola internet tidak
timpang dan hanya menguntungkan beberapa pihak saja..
Overview:
● Keamanan Publik vs Hak
Asasi Individual?
● Enkripsi dan Perlindungan
Privasi
● Belajar dari Internet
Shutdowns di Afrika
● Hak Offline dan Online,
bisakah diperlakukan sama
persis?
● Kesimpulan
10
11. Fake News dan
Jurnalisme
Banyak diskusi menjadi kurang produktif karena berkutat pada
terminologi fake news dan kasus-kasus kontekstual.
Yang menjadi kritik adalah bagaimana industri media bergeser
dari tradisional (cetak) ke online dan disetir oleh Click Economy
sehingga kualitas dan kredibilitas media massa yang sudah
punya nama pun dipertanyakan dan kalah dari “media
alternatif” yang menyuguhkan “fake news”.
Perlukah ada perombakan struktur industri media yang lebih
transparan dan kredibel sehingga kembali mendapatkan
kepercayaan publik?
Di sisi lain, berbicara tentang maraknya fake news membuat
tuntutan untuk melek dan kritis atas konsumsi informasi dan
berita di dunia digital semakin mendesak.
Overview:
● Click Economy
● Literasi Digital dan Berita
● Transparansi mekanisme
● Fact check
● Kesimpulan
11
12. Fake News dan
Jurnalisme
Dari sisi perusahaan media ataupun penyedia platform media
sosial (misal: FB dan Twitter), ada tuntutan untuk menyediakan
mekanisme yang lebih transparan atas penyebaran informasi
yang terjadi di platform mereka, karena banyak pengguna
media sosial yang tidak sadar akan cara sirkulasi berita
mereka (kembali lagi pada literasi digital dan berita).
Perusahaan penyedia platform media sosial harus
bertanggung jawab mencari mekanisme untuk mengatasi dan
mengantisipasi echo chamber dan filter bubble effect.
Selain itu, ada pula tuntutan untuk memberikan konsekuensi
yang lebih riil terhadap pemilik website/media yang
menyediakan fake news daripada sekadar penghapusan
konten. Tapi siapa (pemerintah? pers? dewan pers? siapa?)
yang menjadi “hakim” yang menentukan sesuatu itu fake
news? Siapa yang menentukan “wujud” konsekuensi riilnya?
Overview:
● Click Economy
● Literasi Digital dan Berita
● Transparansi mekanisme
● Fact check
● Kesimpulan
12
13. Fake News dan
Jurnalisme
Maraknya metode fact check di berbagai negara pun patut
dilihat. Misalnya yang dilakukan oleh La Silla Vacía, media
massa di Colombia, yang kemudian membuat WhatsApp
Detector untuk melawan fake news yang beredar melalui
pesan berantai di WhatsApp Group (Baca: 1, 2).
Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa efektifkah fact
checking dan penyebaran info fact check ketika fake news
sudah beredar dan tidak diketahui jangkauan dampaknya?
Overview:
● Click Economy
● Literasi Digital dan Berita
● Transparansi mekanisme
● Fact check
● Kesimpulan
13
14. Fake News dan
Jurnalisme
Kata kunci utama adalah transparansi, baik itu transparansi
oleh industri media maupun mekanisme sirkulasi berita di
media sosial. Selain itu, adalah sikap proaktif dari
masing-masing stakeholder seperti jurnalis, media massa,
penyedia platform media sosial, dan konsumen sendiri untuk
melawan kehadiran fake news.
Overview:
● Click Economy
● Literasi Digital dan Berita
● Transparansi mekanisme
● Fact check
● Kesimpulan
14
15. Mentalitas Preman
Online
Kehadiran “preman online” (online mobs) tidak hanya ada di
Indonesia, beberapa negara di Asia Tenggara, Asia Selatan,
dan Timur Tengah mengalami hal serupa. Umumnya
kehadiran preman online ini sangat politis dan berhubungan
dengan dua hal: menumbangkan atau melanggengkan rezim.
Masalah utamanya adalah dampak yang tidak hanya berhenti
pada kehidupan online tapi juga menyasar kehidupan offline,
terutama kaum pengkritik, para aktivis, jurnalis, dan
masyarakat umum.
Bicara tentang negara-negara di atas, yang terlihat sering kali
digunakan adalah agama yang digunakan sebagai alat untuk
mengekang ekspresi orang lain yang tidak seagama, bahkan
digunakan pula untuk menyebarkan teror pada umat
seagama untuk mengontrol ekspresi mereka yang tidak
sepaham.
Overview:
● Mengancam FoE
● “Agama” untuk
“menyebarkan kebencian
dan teror”
● Hatespeech
● Pranala dan unduhan
15
16. Mentalitas Preman
Online
Di luar dari propaganda yang menggunakan agama, yang
harus diperhatikan adalah penggunaan hukum/regulasi yang
berhubungan dengan hate speech/ujaran kebencian,
terutama karena konteksnya biasanya sangat lokal. Untuk itu
penting menanggapi kehadiran preman online dengan melihat
konteks-konteks lokal.
Silakan baca transkrip sesi ini untuk pemahaman isi diskusi
yang lebih baik.
Unduh hasil riset APC.org: “Let the mob do the job”: How
proponents of hatred are threatening freedom of expression
and religion online in Asia
Unduh laporan Law of Commision India tentang hatespeech:
http://lawcommissionofindia.nic.in/reports/Report267.pdf
Overview:
● Mengancam FoE
● “Agama” untuk
“menyebarkan kebencian
dan teror”
● Hatespeech
● Pranala dan unduhan
16
17. Update Umum
Ada beberapa topik lain yang menarik untuk dibaca/dicari tahu lebih
lanjut, yaitu:
● Digital Geneva Convention yang diajukan Microsoft
● EU-GDPR ( European Union General Data Protection Regulation)
yang akan efektif pada 25 Mei 2018.
● Blockchain. Beberapa bacaan menarik: 1 (konsep blockchain), 2
(blockchain untuk melawan fake news),
● Facebook mengubah algoritma News Feed. Beberapa bacaan
menarik tentang asumsi dampak perubahan algoritma: 1, 2, 3
17
18. Catatan, Saran, dan
Kritik:
Multistakeholder,
solusi yang utopis?
Multistakeholder sejatinya selalu menjadi kata kunci dari
berbagai perbincangan mengenai tata kelola internet. Melihat
IGF 2017 adalah yang ke 12 kalinya acara ini dilaksanakan dari
20 yang direncanakan, harusnya hal-hal seperti representasi
dari segala multistakeholder terlihat merata, justru tidak.
Sebagai seseorang dengan latar belakang keilmuan
humaniora, sangat terasa bahwa diskusi-diskusi yang terjadi di
IGF 2017 lebih berhubungan dengan sisi teknis dan legal dari
internet. Padahal bicara tata kelola internet tidak hanya
sekadar perkara internet sebagai alat/medium yang harus
diatur saja, tetapi sudah menjadi livelihood dan bisa dibilang,
kalau bukan sudah, hak asasi manusia.
Overview
● Kurangnya keterwakilan
1/3
● Pentingnya literasi!
● Repetitif dan dangkal
● Penutup
18
19. Catatan, Saran, dan
Kritik:
Multistakeholder,
solusi yang utopis?
Kurangnya keterwakilan ini terlihat dari tidak munculnya
perspektif lain dalam diskusi tiap sesi, misalnya dari sisi
budaya. Buzzword “post-truth era” marak dibicarakan di
kalangan akademisi ilmu humaniora, namun tidak muncul
dalam diskusi yang berhubungan dengan fake news, padahal
post-truth era sendiri berbicara bagaimana tidak pentingnya
kehadiran fakta yang tidak mewakili atau relevan dengan
perasaan pengonsumsi informasi atau berita. Bagaimana bisa
melawan dampak dari fake news bila tidak turut
mempertimbangkan konteks sosial-budaya masyarakatnya?
Saya setuju dengan pendapat salah satu peserta yang
menyebutkan bahwa solusi tidak harus terpusat dengan
“lagi-lagi teknologi baru, aturan baru” tetapi terpusat pada
pemberdayaan/empowering manusianya, bukan sebagai
pemangku kepentingan saja, namun juga sebagai individual.
Saat mengikuti sesi-sesi ini penting sekali untuk melibatkan
wajah baru dan perspektif baru dalam pembicaraan mengenai
tata kelola internet, utamanya di tingkat nasional/lokal.
Inklusivitas ini tidak hanya bersifat pasif membuka jalan dan
berbagi kesempatan untuk wajah baru, tetapi juga aktif
reaching out orang-orang baru untuk ingin dan terlibat.
Overview
● Kurangnya keterwakilan
2/3
● Pentingnya literasi!
● Repetitif dan dangkal
● Penutup
19
20. Catatan, Saran, dan
Kritik:
Multistakeholder,
solusi yang utopis?
Saya juga tidak mengerti apakah kurangnya keterwakilan ini
karena memang tidak ada yang tertarik? Bagaimana caranya
membuat lebih banyak orang tertarik?
Atau kurangnya keterwakilan karena informasi yang tidak
tersampaikan? Lucu karena di era internet yang fake news
bisa menyebar dengan cepat, kenapa hal sebaliknya yang
membawa dampak positif tidak bisa terjadi?
Atau karena tidak mendapatkan/diberikan tempat dan
kesempatan untuk bersuara? Dari Indonesia, ketika berbicara
tentang fintech atau ekonomi digital, tidak hadirnya startup
lokal untuk bicara di ajang global sepertinya agak
disayangkan. Saya berharap hal ini tidak terjadi di level
nasional atau lokal.
Menurut saya sayang sekali kalau kata-kata seperti
multistakeholder hanya terbatas pada yang berbentuk institusi
saja, harusnya para individual pun bisa terlibat dalam
diskusi-diskusi. Apakah hal ini susah untuk dilakukan, utopis?
Semakin banyak yang bicara, semakin tidak selesai sebuah
pembicaraan, makanya sebagai jalan pintas segelintir saja
yang bersuara?
Overview
● Kurangnya keterwakilan
3/3
● Pentingnya literasi!
● Repetitif dan dangkal
● Penutup
20
21. Catatan, Saran, dan
Kritik:
Multistakeholder,
solusi yang utopis?
Melanjutkan dari poin kurangnya keterwakilan, sangat terasa
pentingnya investasi edukasi dan literasi atas internet dan
dunia digital yang menyeluruh, tidak hanya sebagai teknologi
komunikasi, atau alat untuk mengembangkan perekonomian
kreatif, namun juga sebagai livelihood yang berpengaruh pada
aspek sosial-budaya offline. Dalam menyusun konten edukasi
pun “don’t always prioritize the hows but also the whys.”
Kembali pada penyelenggaraan IGF 2017, pembicaraan yang
terjadi di tiap-tiap sesi terasa seperti pengulangan
kegundahan yang terjadi di level lokal, tanpa arah
pembicaraan yang lebih decisive, namun lebih banyak sharing.
Banyak sesi yang memiliki topik yang overlapping, yang
sebenarnya bila dijadikan satu dengan periode waktu yang
lebih panjang bisa menghasilkan diskusi yang lebih mendalam,
daripada banyak pembicaraan tapi berakhir dangkal karena
keterbatasan waktu.
Overview
● Kurangnya keterwakilan
3/3
● Pentingnya literasi!
● Repetitif dan dangkal
● Penutup
21
22. Catatan, Saran, dan
Kritik:
Multistakeholder,
solusi yang utopis? Pada akhirnya, walaupun sempat merasa kecewa, di sisi lain
IGF 2017 global menunjukkan kemendesakan multistakeholder
yang lebih inklusif dan interaktif saat berbicara tentang
internet dan tata kelolanya. Saya melihat setidaknya kondisi di
Indonesia lebih baik daripada beberapa negara lain tentang
hal ini, dan berharap dapat menjawab kritik saya sendiri
mengenai kurangnya keterwakilan pada kesempatan lain di
level yang lebih intim dari IGF global.
Overview
● Kurangnya keterwakilan
3/3
● Pentingnya literasi!
● Repetitif dan dangkal
● Penutup
22
23. Rapat ID-GF Pasca
IGF 2017
Dalam pembicaraan yang membahas penyelenggaraan dan
isi IGF 2017, acara ini juga membahas:
• ID-IGF ke depannya (perlu pertemuan bulanan rutin
sebelum acara tahunan; usulan ganti nama menjadi
Forum Internet Indonesia oleh Shita Laksmi)
• Perihal infrastruktur dan ekosistem internet yang
tergantung pada global (adakah back up plan lokal bila
yang global collapse?)
• Pentingnya literasi digital (teknis, konten, regulasi,
dampak sosbud) yang lebih inklusif, komprehensif dan
berkelanjutan
Berlangsung di Lantai 4 Gedung Perpustakaan
Nasional RI, Jakarta pada 19 Januari 2017.
Selain pihak Kominfo dan MAG-Indonesia dan
undangan lainnya seperti PANDI dan APJII, turut hadir
perwakilan dari CSO Indonesia yang berangkat ke IGF
2017: SAFEnet (Ellen), ICTWatch (Banyumurti),
Mafindo (Astari), ISOC Fellowship (Bhredipta S.),
Petabencana.id (Emir Hartato).
23
24. Referensi dan
Pranala
Pesan Penting dari IGF 2017
https://www.intgovforum.org/multilingual/
content/igf-2017-geneva-messages
Transkrip Sesi-Sesi IGF 2017
https://www.intgovforum.org/multilingual/
igf-2017-transcripts
Tentang IGF:
http://intgovforum.org/
http://idf.ig/
http://www.igf-abc.info/
24
25. Terima Kasih SAFEnet - Southeast Asia Freedom of Expression Network
w: http://safenetvoice.org
w: http://id.safenetvoice.org
e: contact.safenet@gmail.com
FB Page: /safenetvoice
Twitter: @safenetvoice
Ellen Kusuma
kusuma.ellen@gmail.com
Telegram: @timejumble
“Freedom is participation in power.”
- Cicero
25