Shalat Taubat adalah shalat sunnat yang dilakukan seorang muslim saat ingin bertobat
terhadap kesalahan yang pernah ia lakukan. Shalat taubat dilaksanakan dua raka'at dengan
waktu yang bebas kecuali pada waktu yang diharamkan untuk melakukan shalat (lihat pada
shalat sunnat)
Niat Shalat
Niat shalat ini, sebagaimana juga shalat-shalat yang lain cukup diucapkan didalam hati, yang
terpenting adalah niat hanya semata karena Allah Ta'ala semata dengan hati yang ikhlas dan
mengharapkan Ridho Nya, apabila ingin dilafalkan jangan terlalu keras sehingga
mengganggu Muslim lainnya, memang ada beberapa pendapat tentang niat ini gunakanlah
dengan hikmah bijaksana.
Hadits terkait
Hadits Rasulullah SAW terkait shalat taubat antara lain :
Dari Ali bin Abi Thalib r.a ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam bersabda: 'Tidaklah seseorang melakukan dosa kemudian ia bersuci
(berwudhu) dan shalat lalu minta ampun kepada Allah, melainkan Allah akan
mengampuni dosanya itu, beliau lalu membacakan firman Allah (QS. Ali Imran
135).'" (HR. at-Tirmidzi, Abi Dawud dan dihasankan oleh al-Albani)
Hadits Rasulullah SAW terkait shalat taubat antara lain : Hakikat taubat adalah kembali
tunduk kepada Allah dari bermaksiat kepada-Nya kepada ketaatan kepada-Nya. Taubat ada
dua macam: taubat mutlak dan taubat muqayyad (terikat). Taubat mutlak ialah bertaubat
dari segala perbuatan dosa. Sedangkan taubat muqayyad ialah bertaubat dari salah satu dosa
tertentu yang pernah dilakukan.
Syarat-syarat taubat meliputi: beragama Islam, berniat ikhlas, mengakui dosa, menyesali
dosa, meninggalkan perbuatan dosa, bertekad untuk tidak mengulanginya, mengembalikan
hak orang yang dizalimi, bertaubat sebelum nyawa berada di tenggorokan atau matahari terbit
dari arah barat. Taubat adalah kewajiban seluruh kaum beriman, bukan kewajiban orang yang
baru saja berbuat dosa. Karena Allah berfirman,
“Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman supaya kalian
beruntung.” (QS. An Nuur: 31) (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul Syaikh Al ‗Utsaimin
rahimahullah, tentang pembahasan isi khutbatul hajah).
Allah Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang
Allah menyifati diri-Nya di dalam Al Quran bahwa Dia Maha pengampun lagi Maha
Penyayang hampir mendekati 100 kali. Allah berjanji mengaruniakan nikmat taubat kepada
hamba-hambaNya di dalam sekian banyak ayat yang mulia. Allah ta‘ala berfirman,
“Allah menginginkan untuk menerima taubat kalian, sedangkan orang-orang yang
memperturutkan hawa nafsunya ingin agar kalian menyimpang dengan sejauh-jauhnya.”
(QS. An Nisaa‘: 27)
Allah ta‘ala juga berfirman,
“Dan seandainya bukan karena keutamaan dari Allah kepada kalian dan kasih sayang-Nya
(niscaya kalian akan binasa). Dan sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha
bijaksana.” (QS. An Nuur: 10)
Allah ta‘ala berfirman,
“Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas ampunannya.” (QS. An Najm: 32)
Allah ta‘ala berfirman,
“Rahmat-Ku amat luas meliputi segala sesuatu.” (QS. Al A‘raaf: 156)
Oleh Karenanya, Saudaraku yang Tercinta…
Pintu taubat ada di hadapanmu terbuka lebar, ia menanti kedatanganmu… Jalan orang-orang
yang bertaubat telah dihamparkan. Ia merindukan pijakan kakimu… Maka ketuklah pintunya
dan tempuhlah jalannya. Mintalah taufik dan pertolongan kepada Tuhanmu… Bersungguh-sungguhlah
dalam menaklukkan dirimu, paksalah ia untuk tunduk dan taat kepada Tuhannya.
Dan apabila engkau telah benar-benar bertaubat kepada Tuhanmu kemudian sesudah itu
engkau terjatuh lagi di dalam maksiat, sehingga memupus taubatmu yang terdahulu,
janganlah malu untuk memperbaharui taubatmu untuk kesekian kalinya. Selama maksiat itu
masih berulang padamu maka teruslah bertaubat.
Allah ta‘ala berfirman,
“Karena sesungguhnya Dia Maha mengampuni kesalahan hamba-hamba yang benar-benar
bertaubat kepada-Nya.” (QS. Al Israa‘: 25)
Allah ta‘ala juga berfirman,
“Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka,
janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua
dosa, sesungguhnya Dialah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka
kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya azab
kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.” (QS. Az Zumar: 53-54)
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Seandainya kalian berbuat dosa
sehingga tumpukan dosa itu setinggi langit kemudian kalian benar-benar bertaubat, niscaya
Allah akan menerima taubat kalian.” (Shahih Ibnu Majah)
Maka di manakah orang-orang yang bertaubat dan menyesali dosanya? Di manakah orang-orang
yang kembali taat dan merasa takut siksa? Di manakah orang-orang yang ruku‘ dan
sujud?
Berbagai Keutamaan Taubat
Pada hakikatnya taubat itulah isi ajaran Islam dan fase-fase persinggahan iman. Setiap insan
selalu membutuhkannya dalam menjalani setiap tahapan kehidupan. Maka orang yang benar-benar
berbahagia ialah yang menjadikan taubat sebagai sahabat dekat dalam perjalanannya
menuju Allah dan negeri akhirat. Sedangkan orang yang binasa adalah yang menelantarkan
dan mencampakkan taubat di belakang punggungnya. Beberapa di antara keutamaan taubat
ialah:
Pertama: Taubat adalah sebab untuk meraih kecintaan Allah ‗azza wa jalla.
Allah ta‘ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang
yang suka membersihkan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)
Kedua: Taubat merupakan sebab keberuntungan.
Allah ta‘ala berfirman
“Dan bertaubatlah kepada Allah wahai semua orang yang beriman, supaya kalian
beruntung.” (QS. An Nuur: 31)
Ketiga: Taubat menjadi sebab diterimanya amal-amal hamba dan turunnya ampunan atas
kesalahan-kesalahannya.
Allah ta‘ala berfirman
“Dialah Allah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan Maha mengampuni
berbagai kesalahan.” (QS. Asy Syuura: 25)
Allah ta‘ala juga berfirman
“Dan barang siapa yang bertaubat dan beramal saleh maka sesungguhnya Allah akan
menerima taubatnya.” (QS. Al Furqaan: 71) artinya taubatnya diterima
Keempat: Taubat merupakan sebab masuk surga dan keselamatan dari siksa neraka.
Allah ta‘ala berfirman,
“Maka sesudah mereka (nabi-nabi) datanglah suatu generasi yang menyia-nyiakan shalat
dan memperturutkan hawa nafsu, niscaya mereka itu akan dilemparkan ke dalam
kebinasaan. Kecuali orang-orang yang bertaubat di antara mereka, dan beriman serta
beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang akan masuk ke dalam surga dan
mereka tidaklah dianiaya barang sedikit pun.” (QS. Maryam: 59, 60)
Kelima: Taubat adalah sebab mendapatkan ampunan dan rahmat.
Allah ta‘ala berfirman,
“Dan orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa kemudian bertaubat sesudahnya dan
beriman maka sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengampun dan Penyayang.”
(QS. Al A‘raaf: 153)
Keenam: Taubat merupakan sebab berbagai kejelekan diganti dengan berbagai kebaikan.
Allah ta‘ala berfirman,
“Dan barang siapa yang melakukan dosa-dosa itu niscaya dia akan menemui
pembalasannya. Akan dilipatgandakan siksa mereka pada hari kiamat dan mereka akan
kekal di dalamnya dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman
serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang digantikan oleh Allah keburukan-keburukan
mereka menjadi berbagai kebaikan. Dan Allah maha pengampun lagi maha
penyayang.” (QS. Al Furqaan: 68-70)
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang bertaubat dari suatu dosa
sebagaimana orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Ketujuh: Taubat menjadi sebab untuk meraih segala macam kebaikan.
Allah ta‘ala berfirman,
“Apabila kalian bertaubat maka sesungguhnya hal itu baik bagi kalian.” (QS. At Taubah: 3)
Allah ta‘ala juga berfirman,
“Maka apabila mereka bertaubat niscaya itu menjadi kebaikan bagi mereka.” (QS. At
Taubah: 74)
Kedelapan: Taubat adalah sebab untuk menggapai keimanan dan pahala yang besar.
Allah ta‘ala berfirman,
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri dan berpegang teguh dengan
agama Allah serta mengikhlaskan agama mereka untuk Allah mereka itulah yang akan
bersama dengan kaum beriman dan Allah akan memberikan kepada kaum yang beriman
pahala yang amat besar.” (QS. An Nisaa‘: 146)
Kesembilan: Taubat merupakan sebab turunnya barakah dari atas langit serta bertambahnya
kekuatan.
Allah ta‘ala berfirman,
“Wahai kaumku, minta ampunlah kepada Tuhan kalian kemudian bertaubatlah kepada-Nya
niscaya akan dikirimkan kepada kalian awan dengan membawa air hujan yang lebat dan
akan diberikan kekuatan tambahan kepada kalian, dan janganlah kalian berpaling menjadi
orang yang berbuat dosa.” (QS. Huud: 52)
Kesepuluh: Keutamaan taubat yang lain adalah menjadi sebab malaikat mendoakan orang-orang
yang bertaubat.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta‘ala,
“Para malaikat yang membawa „Arsy dan malaikat lain di sekelilingnya senantiasa
bertasbih dengan memuji Tuhan mereka, mereka beriman kepada-Nya dan memintakan
ampunan bagi orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu maha luas
meliputi segala sesuatu, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu
serta peliharalah mereka dari siksa neraka.” (QS. Ghafir: 7)
Kesebelas: Keutamaan taubat yang lain adalah ia termasuk ketaatan kepada kehendak Allah
‗azza wa jalla.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta‘ala,
“Dan Allah menghendaki untuk menerima taubat kalian.” (QS. An Nisaa‘: 27). Maka orang
yang bertaubat berarti dia adalah orang yang telah melakukan perkara yang disenangi Allah
dan diridhai-Nya.
Kedua belas: Keutamaan taubat yang lain adalah Allah bergembira dengan sebab hal itu.
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu „alaihi wa sallam yang artinya,
“Sungguh Allah lebih bergembira dengan sebab taubat seorang hamba-Nya ketika ia mau
bertaubat kepada-Nya daripada kegembiraan seseorang dari kalian yang menaiki hewan
tunggangannya di padang luas lalu hewan itu terlepas dan membawa pergi bekal makanan
dan minumannya sehingga ia pun berputus asa lalu mendatangi sebatang pohon dan
bersandar di bawah naungannya dalam keadaan berputus asa akibat kehilangan hewan
tersebut, dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hewan itu sudah kembali berada di sisinya maka
diambilnya tali kekangnya kemudian mengucapkan karena saking gembiranya, „Ya Allah,
Engkaulah hambaku dan akulah tuhanmu‟, dia salah berucap karena terlalu gembira.” (HR.
Muslim)
Ketiga belas: Taubat juga menjadi sebab hati menjadi bersinar dan bercahaya.
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda yang artinya: Sesungguhnya seorang hamba
apabila berbuat dosa maka di dalam hatinya ditorehkan sebuah titik hitam. Apabila dia
meninggalkannya dan beristighfar serta bertaubat maka kembali bersih hatinya. Dan jika dia
mengulanginya maka titik hitam itu akan ditambahkan padanya sampai menjadi pekat, itulah
raan yang disebutkan Allah ta‟ala,
“Sekali-kali tidak akan tetapi itulah raan yang menyelimuti hati mereka akibat apa yang
telah mereka kerjakan.” (QS. Al Muthaffifin: 14) (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan
dihasankan Al Albani)
Oleh karena itu, saudaraku yang kucintai…
Sudah sepantasnya setiap orang yang berakal untuk bersegera menggapai keutamaan dan
memetik buah memikat yang dihasilkan oleh ketulusan taubat itu…, Saudaraku:
Tunaikanlah taubat yang diharapkan Ilahi
demi kepentinganmu sendiri
Sebelum datangnya kematian dan lisan terkunci
Segera lakukan taubat dan tundukkanlah jiwa
Inilah harta simpanan bagi hamba yang kembali taat dan baik amalnya
Tingkatan Jihad Melawan Syaitan
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: Jihad melawan syaitan itu ada dua tingkatan.
Pertama, berjihad melawannya dengan cara menolak segala syubhat dan keragu-raguan yang
menodai keimanan yang dilontarkannya kepada hamba.
Kedua, berjihad melawannya dengan cara menolak segala keinginan yang merusak dan
rayuan syahwat yang dilontarkan syaitan kepadanya.
Maka tingkatan jihad yang pertama akan membuahkan keyakinan sesudahnya. Sedangkan
jihad yang kedua akan membuahkan kesabaran.
Allah ta‘ala berfirman,
“Maka Kami jadikan di antara mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami karena mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS.
As Sajdah: 24)
Allah mengabarkan bahwasanya kepemimpinan dalam agama hanya bisa diperoleh dengan
bekal kesabaran dan keyakinan. Kesabaran akan menolak rayuan syahwat dan keinginan-keinginan
yang merusak, sedangkan dengan keyakinan berbagai syubhat dan keragu-raguan
akan tersingkirkan.
Washallallahu „ala Nabiyyina Muhammadin wa „ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Wal
hamdu lillaahi Rabbil „aalamiin.
(disadur dari Ya Ayyuhal Muqashshir mata tatuubu, Qismul ‗Ilmi Darul Wathan dan
tambahan dari sumber lain)
Jogjakarta, 9 Rabi‘uts Tsani 1427 Hijriyah
Taubat Dari Suatu Dosa Sambil Tetap
Melakukan Dosa Yang Lain
Dr. Yusuf al Qardhawi
Di antara pertanyaan yang penting yang
menuntut untuk dijawab dan dijelaskan hukumnya di sini adalah pertanyaan: apakah taubat
dari suatu dosa sah, jika sambil tetap melakukan dosa yang lain?
Dalam hal ini ada dua pendapat ulama, dan keduanya adalah dua riwayat dari imam Ahmad.
Orang yang mengatakan di situ ada ijma‘, tidak mengetahui ikhtilaf pendapat yang terjadi,
seperti an-Nawawi yang berpendapat lain dan ulama lainnya.
Abu Thalib al Makki dalam kitabnya ―Qutul Qulub‖ meriwayatkan pendapat berikut ini dari
beberapa ulama: orang yang telah taubat dari sembilan puluh sembilan dosa, namun ia tidak
bertaubat dari satu dosa, maka ia menurut kami bukan kelompok orang yang bertaubat‖
[Qutul Qulub: 1/191]
Imam Ibnu Qayyim berkata: Masalah ini pelik, dan memiliki kerumitan tersendiri. Namun
perlu memilih salah satu pendapat itu dengan diperkuat oleh dalil. Mereka yang
mengabsahkan taubat seperti itu berdalil bahwa keislaman seseorang jelas sah –dan
keislaman itu adalah taubat dari kekafiran– meskipun ia masih tetap melakukan maksiat yang
ia belum bertaubat darinya. Maka demikian pula halnya dengan taubat dari suatu dosa sambil
masih tetap melaklukan dosa yag lain.
Sedangkan kelompok ulama yang lain berkata: keislaman itu lain masalahnya dari yang lain,
karena kekuatannya, serta keislaman itu dapat terjadi –dengan keislaman kedua orang tuanya
atau salah satunya– bagi anak kecil.
Sementara kelompok ulama yang lain lagi berdalil, bahwa taubat itu adalah kembali kepada
Allah SWT dari melanggar aturan-Nya menuju ketaatan-Nya. Maka bagaimana ia dapat
dikatakan kembali jika ia hanya taubat dari satu dosa, sementara masih terus melakukan
seribu dosa lainnya?
Mereka berkata: Allah SWT tidak menghukum orang yang telah bertaubat karena orang itu
telah kembali kepada ketaatan dan penghambaanNya, serta telah taubat dengan taubat
nasuha. Sedangkan orang yang masih terus melakukan dosa lain yang sejenisnya –atau malah
lebih besar lagi– tidak dapat dikatakan telah kembali kepada ketaatan, dan tidak pula telah
taubat dengan taubat nasuha.
Mereka berkata: karena orang yang bertaubat kepada Allah SWT, darinya telah hilang cap
―pelaku maksiat‖, seperti orang kafir ketika ia masuk Islam yang hilang cap ―kafir‖ itu
darinya. Sedangkan orang yang tetap melakukan dosa lain selain dosa yang ia mintakan
taubat itu, maka cap ―maksiat‖ masih tetap melekat padanya, sehingga taubatnya tidak sah.
Rahasia masalah ini adalah: taubat itu memiliki macam-macam bagian, seperti kemaksiatan,
sehingga ia dapat taubat dari satu segi, tidak pada segi lainnya, seperti antara keimanan
dengan keislaman
Pendapat yang kuat adalah: taubat itu dipecah-pecah, seperti perbedaan dalam
pelaksanaannya. Demikian juga dalam jumlahnya. Maka jika seorang hamba telah
menjalankan suatu kewajiban dan meninggalkan kewajiban yang lain, ia akan menerima
hukuman atas yang ditinggalkan itu tidak atas kewajiban yang telah dilakukannya. Demikian
juga halnya orang yang telah bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain.
Karena taubat adalah kewajiban dari dua dosa. Maka ia telah melakukan satu dari dua
kewajiban dan meninggalkan yang lain. Sehingga apa yang ditinggalkannya tidak membuat
batal apa yang telah dikerjakannya. Seperti orang yang tidak melaksanakan hajji, namun
menjalankan shalat, puasa dan zakat.
Kelompok yang lain berkata: taubat adalah satu pekerjaan. Maknanya adalah meninggalkan
apa yang dibenci oleh Allah SWT serta menyesal dari perbuatannya yang buruk, dan kembali
kepada ketaatan kepada Allah SWT. Maka jika ia tidak melengkapinya, taubatnya itu tidak
sah, karena ia adalah satu kesatuan ibadah. Maka melaksanakan sebagian taubat sementara
meninggalkan taubat yang lain adalah seperti orang yang melakukan sebagian ibadah dan
meninggalkan bagian lainnya. Dan ikatan bagian-bagian suatu ibadah satu sama lain lebih
kuat dari ikatan ibadah-ibadah yang bermacam-macam, satu sama lain.
Dan kelompok yang berpendapat lain berkata: setiap dosa memiliki taubat yang khusus
baginya, dan taubat itu wajib dilakukannya. Namun taubat itu tidak berkaitan dengan taubat
dari perbuatan lainnya. Seperti tidak ada kaitan antara satu dosa dengan dosa lainnya.
Ibnu Qayyim berkata: menurutku dalam masalah ini adalah: suatu taubat atas suatu dosa tidak
sah jika orang itu tetap menjalankan dosa lainnya yang sejenis. Sedangkan taubat dari satu
dosa sambil masih melakukan dosa lain yang tidak mempunyai hubungan dengan dosa
pertama, juga bukan dari jenisnya, taubat itu sah. Seperti orang yang bertaubat dari riba, dan
belum bertaubat dari meminum khamar misalnya. Karena taubatnya dari riba adalah sah.
Sedangkan orang yang bertaubat dari riba fadhl, kemudian ia tidak bertaubat dari riba nasi‘ah
dan terus menjalankan riba ini, atau sebaliknya, atau orang yang taubat dari menggunakan
obat bius dan ia masih tetap minum minuman keras, atau sebaliknya, maka taubatnya ini
tidak sah. Ini adalah seperti orang yang bertaubat dari berzina dengan seorang wanita, namun
ia masih tetap berzina dengan wanita-wanita lainnya, maka tidak sah taubatnnya. Demikian
juga orang yang bertaubat dari meminum juice anggur yang memambukkan, namun ia masih
terus meminum minuman lainnya yang memabukkan juga, maka orang ini sebetulnya belum
bertaubat. Namun ia hanya bnerpindah dari satu macam ke macam lainnya.
Berbeda dengan orang yang meninggalkan satu jenis maksiat, sambil menjalankan maksiat
jenis lainnya. Karena dosanya lebih ringan, atau karena dorongannya baginya lebih kuat,
serta kekuatan syahwat untuk melakukan itu amat kuat baginya atau juga faktor-faktor yang
mendorongnya untuk terus melakukan itu masih tetap ada, tidak perlu dicari. Berbeda dengan
maksiat yang butuh dicari dahulu perangkatnya untuk mengerjakannnya, atau juga karena
teman-temannya memilikinya, dan mereka tidak membiarkannhya untuk bertaubat darinya,
dan ia memiliki kehormatan di hadapan mereka, maka jiwanya tidak membiarkannya untuk
merusak penghormatan mereka atasnya itu dengan melakukan taubat [Madarij Salikin: 1/273-
275]
Pendapat yang aku pilih dalam masalah ini adalah: seluruh orang yang bertaubat dari suatu
dosa dengan taubat yang benar, maka diharapkan Allah SWT menerima taubatnya, dari dosa
itu. Meskipun ia masih terus menjalankan dosa yang lain. Barangsiapa yang bertaubat dari
perbuatan kaum Luth (homoseksual) dengan benar, niscaya Allah SWT akan menerima
taubatnya, meskipun ia masih berat untuk bertaubat dari zina. Orang yang bertaubat dari riba
nasi‘ah, maka Allah SWT akan menerima tabatnya, meskipun ia masih menjalankan riba
fadhl. Atau ia taubat dari ghibah (menceritakan keburukan orang) dan namimah (mengadu
domba), meskipun ia masih sering menghina orang, berbohong ketika bicara atau dosa lidah
lainnya.
Taubat itu sah karena taubat pada dasarnya adalah hasanah (kebaikan), bahkan kebaikan yang
besar. Allah SWT berfirman:
―Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari
sisiNya pahala yang besar‖ [an Nisa: 40]
Kemudian Allah SWT berjanji akan menerima taubat hamba-hamba-Nya secara umum. Dan
tidak mengkhususkan satu dosa dari dosa lainnya. Seperti dalam firman Allah SWT:
―Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan‖
[QS. asy-Syuura: 25].
Orang ini telah bertaubat dari dosanya, dan ia berhak untuk diterima taubatnya oleh Allah
SWT dan dimaafkan.
Kemudian ini cocok dengan keluasan rahmat dan maghfirah Allah SWT yang mencakup
seluruh orang yang berdosa dan seluruh orang yuang bertaubat. Seperti firman Allah SWT:
―Sesungguhnya Allah SWT mengampuni dosa-dosa seluruhnya‖.
Kemudian itu juga akan mengobati kelemahan manusia, dan menuntunnya secara bertahap,
dan membuka kesempatan baginya meningkat setahap demi setahap. Sehingga ia dapat
meninggalkan maksiat sedikit demi sedikit, dan dari satu fase ke fase selanjutnya. Hingga
pada akhirnya Allah SWT memberikan hidayah kepadanya untuk meninggalkan seluruh
kemaksiatan itu. Dalam hadits sahih disabdakan:
―Kalian diutus hanya untuk memberi kemudahan dan tidaklah kalian diutus untuk membuat
kesulitan‖.
Pendapat yang mengatakan diterimanya taubat seseorang yang taubat ketika ia masih berbuat
dosa lagi, dan ia kemudian kembali bertaubat, didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:
―Seorang hamba melakukan dosa, dan berdo‘a: Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa maka
ampunilah aku. Tuhannya berfirman: hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan
yang akan mengampuni dan menghapus dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu.
Kemudian waktu berjalan dan orang itu tetap seperti itu hingga masa yang ditentukan Allah
SWT, hingga orang itu kembali melakukan dosa yang lain. Orang itupun kembali berdo‘a: Ya
Tuhanku, aku kembali melakukan dosa, maka ampunilah dosaku. Allah SWT berfirman:
Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus
dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu. Kemudian ia terus dalam keadaan demikian
selama masa yang ditentukan Allah SWT, hingga akhirnya ia kembali melakukan dosa. Dan
ia berdo‘a: Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa, maka ampunilah daku. Allah SWT
berfirman: Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan
menghapus dosanya. Maka Aku telah berikan ampunan kepada hamba-Ku, (diulang tiga kali)
dan silahkan ia melakukan apa yang ia mau‖ [Hadits Muttafaq alaih: lihat: al Lu'lu wa al
Marjan (1754) dan lihatlah: Fathul Bari juz 13 hal. 46 dan setelahnya].
Al Qurthubi berkata dalam kitabnya ―al Mufhim fi syarhi Muslim‖: Hadits ini menunjukkan
kebesaran faedah istighfar, dan keagungan nikmat Allah SWT, keluasan rahmat-Nya serta
sifat pemaaf dan pemurah-Nya. Namun istighfar ini adalah permohonan taubat yang
maknanya tertanam dalam hati sambil diiringi dengan ucapan lidah, sehingga ia tidak lagi
menjalankan dosa itu, dan ia merasa menyesal atas perbuatan masa lalunya. Sehingga itu
adalah ungkapan praktekal atas taubat. Seperti dikatakan oleh hadits: orang yang paling baik
dari kalian adalah setiap orang yang terfitnah (sehingga melakukan dosa) dan sering
bertaubat‖. Maknanya: yaitu orang yang terulang dosanya dan mengulang taubatnya. Setiap
kali ia jatuh dalam dosa ia mengulang taubatnya. Bukan orang yang berkata dengan lidahnya:
aku ber istighfar kepada Allah SWT, namun hatinya masih terus ingin menjalankan maksiat
itu. Inilah istighfar yang masih membutuhkan kepada istighfar lagi!
Al Hafizh ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari ketika memberi komentar atas hadits
itu, sebagai berikut: hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dari
hadits Ibnu Abbas secara marfu‘:
―Orang yang bertaubat adalah seperti orang yang tidak mempunyai dosa, dan orang yang
meminta ampunan dari dosa, sementara ia masih tetap melakukan dosa, adalah seperti orang
yang mengejek Tuhannya‖.
Ia berkata: yang rajih adalah: redaksi dari ―wal mustaghfir… hingga akhirnya, adalah
mauquf. Atau dari perkataan Ibnu Abbas, bukan hadits Nabi. Yang pertama menurut Ibnu
Majah dan Thabrani, dari hadits Ibnu Mas‘ud. Dan sanadnya hasan.
Al Qurthubi berkata: faedah hadits ini adalah: kembali berbuat dosa adalah lebih buruk dari
ketika pertama kali melakukan dosa itu, karena dengan kembali berdosa itu ia berarti
melanggar taubatnya. Tapi kembali melakuian taubat adalah lebih baik dari taubatnya yang
pertama, karena ia berarti terus meminta kepada Allah SWT Yang Maha Pemurah, terus
meminta kepada-Nya, dan mengakui bahwa tidak ada yang dapat memberikan taubat selain
Allah SWT.
Imam an Nawawi berkata: dalam hadits itu, suatu dosa –meskipun telah terulang sebanyak
seratus kali atau malah seribu dan lebih– jika orang itu bertaubat dalam setiap kali melakukan
dosa– niscaya taubatnya diterima, atau juga ia bertaubat dari seluruh dosa itu dengan satu
taubat, maka taubatnya juga sah. Dan redaksi: ―perbuatlah apa yang engkau mau‖ — atau
―Maka silakan ia berbuat apa yang ia mau‖ – maknanya: selama engkau masih melakukan
dosa maka bertaubatlah, niscaya Aku akan ampuni dosamu‖ [Lihat: Fathul Bari: 14/ 471.
Cetakan: Darul Fikr al Mushawirah An Salafiyah]
Benar, taubat yang sempurna adalah taubat dari seluruh dosa. Dan itulah yang akan
membawa kepada keberuntungan yang disinyalir dalam firman Allah SWT:
―Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung‖ [QS. an-Nur: 31]
Taubat seperti itulah yang akan menghapus seluruh keburukan, dan menghilangkan seluruh
dosa, dan orangnya akan masuk dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada
hari Allah SWT tidak mengcewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya.
Inilah yang akan menarik cinta Allah SWT kepadanya, juga kesenangan dan senyum-Nya
terhadap mereka.
Juga taubat yang sempurna adalah taubat yang tidak hanya mencegah orang itu untuk
kembali melakukan maksiat saja, namun ia adalah taubat yang mendorongnya untuk
melakukan ketaatan, menjalankan perbuatan yang saleh, serta mematuhi hukum-hukum
syari‘ah dan adab-adabnya, secara zahir dan bathin, antara dia dengan Rabbnya, antara
dirinya dengan dirinya sendiri, serta antara dirinya dengan seluruh makhluk. Sehingga ia
dapat mencapai keberuntungan di dunia dan akhirat, dan mendapatkan kemenangan surga
serta selamat dari neraka.
Oleh karena itu, kita harus membedakan antara taubat yang menyeluruh yang akan
mengantarkan orang itu kepada kemenangan mendapatkan surga dan selamat dari neraka,
dengan taubat yang parsial yang memberikan keuntungan kepada orang yang taubat itu serta
membebaskannya dari suatu dosa tertentu, meskipun ia tetap terikat dengan dosa yang lain.
Kedua macam taubat itu mempunyai ketentuan hukumnya masing-masing.
sumber: http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Taubat/index.html
Difailkan dalam: Agama,Kuliah, Tazkirah
Taubat Sejati
Oleh: Muhammad Nuh
Hidup tak ubahnya seperti menelusuri jalan setapak yang becek di tepian sungai nan jernih.
Kadang orang tak sadar kalau lumpur yang melekat di kaki, tangan, badan, dan mungkin
kepala bisa dibersihkan dengan air sungai tersebut. Boleh jadi, kesadaran itu sengaja ditunda
hingga tujuan tercapai.
Tak ada manusia yang bersih dari salah dan dosa. Selalu saja ada debu-debu lalai yang
melekat. Sedemikian lembutnya, terlekatnya debu kerap berlarut-larut tanpa terasa. Di luar
dugaan, debu sudah berubah menjadi kotoran pekat yang menutup hampir seluruh tubuh.
Itulah keadaan yang kerap melekat pada diri manusia. Diamnya seorang manusia saja bisa
memunculkan salah dan dosa. Terlebih ketika peran sudah merambah banyak sisi: keluarga,
masyarakat, tempat kerja, organisasi, dan pergaulan sesama teman. Setidaknya, akan ada
gesekan atau kekeliruan yang mungkin teranggap kecil, tapi berdampak besar.
Belum lagi ketika kekeliruan tidak lagi bersinggungan secara horisontal atau sesama manusia.
Melainkan sudah mulai menyentuh pada kebijakan dan keadilan Allah swt. Kekeliruan jenis
ini mungkin saja tercetus tanpa sadar, terkesan ringan tanpa dosa; padahal punya delik besar
di sisi Allah swt.
Rasulullah saw. pernah menyampaikan nasihat tersebut melalui Abu Hurairah r.a. ―Segeralah
melalukan amal saleh. Akan terjadi fitnah besar bagaikan gelap malam yang sangat gulita.
Ketika itu, seorang beriman di pagi hari, tiba-tiba kafir di sore hari. Beriman di sore hari,
tiba-tiba kafir di pagi hari. Mereka menukar agama karena sedikit keuntungan dunia.‖ (HR.
Muslim)
Saatnyalah seseorang merenungi diri untuk senantiasa minta ampunan Allah swt. Menyadari
bahwa siapa pun yang bernama manusia punya kelemahan, kekhilafan. Dan istighfar atau
permohonan ampunan bukan sesuatu yang musiman dan jarang-jarang. Harus terbangun
taubat yang sungguh-sungguh.
Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah swt.
dan diajarkan Rasulullah saw. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan
meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.
Rasulullah saw. pernah ditanya seorang sahabat, ―Apakah penyesalan itu taubat?‖ Rasulullah
saw. menjawab, ―Ya.‖ (HR. Ibnu Majah) Amr bin Ala pernah mengatakan, ―Taubat nasuha
adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu mencintainya.‖
Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya.
Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena
Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. ―Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.‖
(QS. Al-Baqarah: 222)
Taubat dalam Islam tidak mengenal perantara. Pintu taubat selalu terbuka luas tanpa
penghalang dan batas. Allah selalu menbentangkan tangan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang
ingin kembali kepada-Nya. Seperti terungkap dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu
musa Al-Asy`ari. ―Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk
menerima taubat orang yang berbuat kesalahan pada malam hari sampai matahari terbit dari
barat.‖
Karena itu, merugilah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah dan membiarkan
dirinya terus-menerus melampaui batas. Padahal, pintu taubat selalu terbuka. Dan sungguh,
Allah akan mengampuni dosa-dosa semuanya karena Dialah yang Maha Pengampun lagi
Penyayang.
Orang yang mengulur-ulur saatnya bertaubat tergolong sebagai Al-Musawwif. Orang model
ini selalu mengatakan, ―Besok saya akan taubat.‖ Ibnu Abas r.a. meriwayatkan, berkata Nabi
saw. ―Binasalah orang-orang yang melambat-lambatkan taubat (musawwifuun).‖ Dalam surat
Al-Hujurat ayat 21, Allah swt. berfirman, ―Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, mereka
itulah orang-orang yang zalim.―
Abu Bakar pernah mendengar ucapan Rasulullah saw., ―Iblis berkata, aku hancurkan manusia
dengan dosa-dosa dan dengan bermacam-macam perbuatan durhaka. Sementara mereka
menghancurkan aku dengan Laa ilaaha illaahu dan istighfar. Tatkala aku mengetahui yang
demikian itu aku hancurkan mereka dengan hawa nafsu, dan mereka mengira dirinya
berpetunjuk.‖
Namun, taubat seorang hamba Allah tidak cuma sekadar taubat. Bukan taubat kambuhan
yang sangat bergantung pada cuaca hidup. Pagi taubat, sore maksiat. Sore taubat, pagi
maksiat. Sedikit rezeki langsung taubat. Banyak rezeki kembali maksiat.
Taubat yang selayaknya dilakukan seorang hamba Allah yang ikhlas adalah dengan taubat
yang tidak setengah-setengah. Benar-benar sebagai taubat nasuha, atau taubat yang sungguh-sungguh.
Karena itu, ada syarat buat taubat nasuha. Antara lain, segera meninggalkan dosa dan
maksiat, menyesali dengan penuh kesadaran segala dosa dan maksiat yang telah dilakukan,
bertekad untuk tidak akan mengulangi dosa.
Selain itu, para ulama menambahkan syarat lain. Selain bersih dari kebiasaan dosa, orang
yang bertaubat mesti mengembalikan hak-hak orang yang pernah dizalimi. Ia juga bersegera
menunaikan semua kewajiban-kewajibannya terhadap Allah swt. Bahkan, membersihkan
segala lemak dan daging yang tumbuh di dalam dirinya dari barang yang haram dengan
senantiasa melakukan ibadah dan mujahadah.
Hanya Alahlah yang tahu, apakah benar seseorang telah taubat dengan sungguh-sungguh.
Manusia hanya bisa melihat dan merasakan dampak dari orang-orang yang taubat. Benarkah
ia sudah meminta maaf, mengembalikan hak-hak orang yang pernah terzalimi, membangun
kehidupan baru yang Islami, dan hal-hal baik lain. Atau, taubat hanya hiasan bibir yang
terucap tanpa beban.
Hidup memang seperti menelusuri jalan setapak yang berlumpur dan licin. Segeralah
mencuci kaki ketika kotoran mulai melekat. Agar risiko jatuh berpeluang kecil. Dan berhati-hatilah,
karena tak selamanya jalan mendatar
Definisi taubat menurut bahasa diambil dari kata ―at-taubah‖ bentuk ―isim masdar‖
berarti ar-rujuu‘ (kembali). Sedangkan menurut istilah, taubat adalah kembali dari kondisi
jauh dari Allah swt menuju kedekatan kepada-Nya. Atau : pengakuan atas dosa, penyesalan,
berhenti, dan tekad untuk tidak mengulanginya kembali di masa yang akan datang.
Mengapa kita harus bertaubat?
Pertama, karena manusia pasti berdosa.
Karena dosa adalah penghalang antara kita dan Sang Kekasih (Allah swt), maka lari dari hal
yang membuat kita jauh dari-Nya adalah kemestian.
Dosa pasti membawa kehancuran cepat atau lambat, maka mereka yang berakal sehat pasti
segera menjauh darinya.
Jika ada manusia yang tidak melakukan dosa, pasti ia pernah berkeinginan untuk
melakukannya. Jika ada orang yang tidak pernah berkeinginan melakukan dosa, pasti ia
pernah lalai dari mengingat Allah. Jika ada orang yang tidak pernah lalai mengingat Allah,
pastilah ia tidak akan mampu memberikan hak Allah sepenuhnya. Semua itu adalah
kekurangan yang harus ditutupi dengan taubat.
Kedua, karena Allah swt memerintahkan kita bertaubat,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu
dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang
bersama Dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka,
sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” At Tahrim:8
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” An
Nuur:31
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika
kamu mengerjakan yang demikian), niscaya dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus
menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang Telah ditentukan dan dia akan memberikan
kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu
berpaling, Maka Sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” Hud:3
Ketiga, karena Allah mencintai orang yang bertaubat,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”.
oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” Al
Baqarah:222
Keempat, karena Rasulullah saw senantiasa bertaubat
Padahal beliau seorang nabi yang ma‘shum (terjaga dari dosa). Beliau bersabda : “Demi
Allah, sesungguhnya aku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih
dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau
beristighfar seratus kali dalam sehari.
Syarat-Syarat Taubat
1. Penyesalan dari dosa karena Allah.
2. Berhenti melakukannya.
3. Bertekad untuk tidak mengulanginya di masa datang.
4. Dilakukan sebelum nyawa sampai di tenggorokan ketika sakaratul maut, atau sebelum
matahari terbit dari barat.
5. Jika dosa berkaitan dengan sesama manusia, maka syaratnya bertambah satu:
melunasi hak orang tersebut, atau meminta kerelaannya, atau memperbanyak amal
kebaikan.
Dosa Kecil Menjadi Besar di Sisi Allah
Pertama, jika dilakukan terus menerus,
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan
siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.” Ali Imran:135
Dosa besar yang hanya dilakukan sekali lebih bisa diharapkan pengampunannya dari pada
dosa kecil yang dilakukan terus menerus.
Kedua, jika seorang hamba meremehkannya.
Setiap kali seorang hamba menganggap besar sebuah dosa niscaya akan kecil di sisi Allah,
dan setiap kali ia menganggap remeh sebuah dosa niscaya akan menjadi besar di sisi-Nya.
Abdullah bin Mas‘ud ra berkata : “Seorang mukmin memandang dosanya bagaikan gunung
yang akan runtuh menimpa dirinya, sedangkan seorang pendosa menganggap dosanya
seperti seekor lalat yang menclok di hidungnya, cukup diusir dengan tangannya.” (Bukhari-
Muslim).
Bilal bin Sa‘ad rahimahullah berkata : “Jangan kamu memandang kecilnya dosa, tapi
lihatlah kepada siapa kamu berbuat dosa itu”
Ketiga, jika dilakukan dengan bangga atau minta dipuji,
Seperti seseorang yang mengatakan : ―Lihat, bagaimana hebatnya saya mempermalukan
orang itu di depan umum!?‖ Atau seperti ucapan seorang pedagang : ―Lihat, bagaimana saya
bisa menipu pembeli itu!?‖
Keempat, jika seseorang melakukan dosa tanpa diketahui orang lain lalu ia menceritakannya
dengan bangga kepada orang lain.
Rasulullah saw bersabda : “Setiap ummatku selamat kecuali orang-orang yang terang-terangan
berlaku dosa. Dan diantara perbuatan terang-terangan melakukan dosa ialah jika
seseorang berdosa di malam hari sementara Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi
hari ia merobek tirai penutup itu sambil berkata : “Hai Fulan, semalam aku melakukan ini
dan itu.” (Bukhari-Muslim).
Kelima, jika yang melakukannya seorang alim yang menjadi panutan.
Karena apa yang ia lakukan dicontoh oleh orang lain. Ketika ia melakukan dosa, maka ia juga
mendapatkan dosa orang yang mencontohnya. Rasulullah bersabda : “…dan barang siapa
memberi contoh keburukan dalam Islam maka baginya dosa perbuatan itu dan juga dosa
orang yang mencontohnya setelah itu tanpa dikurangi sedikitpun dosa itu dari pelakunya.”
(Muslim).
Jangan Menunda-Nunda Taubat
Bersegera bertaubat hanya dilakukan oleh mereka yang berakal sehat. Orang-orang yang
menunda taubat ibarat seseorang yang ingin mencabut pohon yang mengganggu, namun
karena merasa sulit mencabutnya ia menundanya hingga esok atau lusa, atau minggu depan,
atau … tanpa ia sadari bahwa semakin hari akar pohon itu makin menghunjam di tanah,
sedangkan ia semakin tua dan lemah.
Jangan menunda-nunda taubat karena mengandalkan rahmat dan ampunan Allah swt. Orang
seperti itu ibarat seorang laki-laki yang menghabiskan seluruh hartanya dengan sia-sia dan
meninggalkan keluarganya dalam kefakiran, lalu ia mengharapkan harta karun datang
kepadanya tanpa bekerja. Mungkin harta karun itu ada, tapi orang ini jelas kurang sehat
akalnya.
Mengapa kita dapat berpikir logis dalam masalah keduniaan namun tidak demikian dalam
urusan akhirat? Allahu a‘lam
Istighfar, Pesan Para Nabi
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
―Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika
kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus
menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan
kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat‖. (Hud: 3)
Surat Hud yang pernah membuat Abu bakar terkejut saat melihat rambut Rasulullah saw
beruban yang dijawab oleh Rasulullah dengan sabdanya, ―Surat Hud dan saudara2nya telah
membuat rambutku beruban‖, ternyata sarat dengan perintah beristighfar yang disampaikan
melalui lisan para nabiyuLlah dari Hud as, sholih dan syu‘aib as.
Tercatat ada empat ayat di dalam surat ini yang menyebut perintah beristighfar, yaitu pertama
ayat 3 di atas, ayat 52, 61, dan 90. Bahkan yang menarik, bahwa secara korelatif, perintah
beristighfar pada ayat-ayat tersebut diawali dengan perintah menyembah dan mengabdi
semata-mata kepada Allah, seperti dalam surat Hud: 2 misalnya, ―Agar kamu tidak
menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan
pembawa khabar gembira kepadamu daripada-Nya‖ (Hud: 2).
Betapa tinggi nilai perintah beristighfar sehingga selalu berdampingan dengan perintah
beribadah kepadanya. Sehingga merupakan satu kewajiban sekaligus kebutuhan seorang
hamba kepada Allah swt karena secara fithrah memang manusia tidak akan bisa mengelak
dari melakukan dosa dan kesalahan sepanjang hidupnya. Peluang ampunan ini merupakan
anugerah rahmat yang terbesar bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.
Terkait dengan hal ini, kebiasaan beristighfar mereflesikan kedekatan seorang hamba dengan
Tuhannya dan pengakuan akan Ke-Maha Pengampunan Allah swt. Istighfar juga merupakan
cermin dari sebuah akidah yang mantap akan kesediaan Allah membuka pintu ampunannya
sepanjang siang dan malam. Rasulullah bersabda, ―Sesungguhnya Allah senantiasa membuka
tanganNya di siang hari untuk memberi ampunan kepada hambaNya yang melakukan dosa di
malam hari, begitu pula Allah swt senatiasa membuka tangan-Nya di malam hari untuk
memberi ampunan bagi hamba-Nya yang melakukan dosa di siang hari‖.
Catatan lain yang bisa dikaji adalah bahwa perintah beristighfar di dalam Al-Qur‘an juga
selalu beriringan dengan perintah bertaubat,‖ Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada
Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir
mengemukakan rahasia penggabungan perintah beristighfar dan bertaubat pada kebanyakan
ayat-ayat Al-Qur‘an bahwa tidak ada jalan untuk meraih ampunan Allah swt melainkan
dengan menunjukkan perilaku dan sikap ―taubat‖ yang diimplementasikan dengan
penyesalan akan kesalahan masa lalu, melepas ikatan-ikatan (jaringan) kemaksiatan dalam
segala bentuk dan sarananya serta tekad yang tulus dan jujur untuk tidak mengulangi kembali
perbuatan-perbuatan dosa di masa yang akan datang. Dalam kaitan ini, taubat merupakan
penyempurna dari istighfar seseorang agar diterima oleh Allah swt.
Secara aplikatif, kebiasaan beristighfar sudah dicotohkan oleh Rasulullah saw. Tercatat dalam
sebuat riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah (memberi pelajaran kepada umatnya)
senantiasa beristighfar setiap hari tidak kurang dari 70 kali. Bahkan di riwayat Imam Bukhari
beliau beristighfar setiap hari lebih dari 100 kali (Bukhari Muslim). Pelajaran yang diambil
dari prilaku Rasulullah ini adalah bahwa beristighfar tidak harus menunggu setelah
melakukan kesalahan, tetapi bagaimana hendaknya aktifitas ini berlangsung senantiasa
menghiasi kehidupan sehari-hari kita tanpa terkecuali.
Para malaikat yang jelas tidak pernah melanggar perintah Allah justru senantiasa beristighfar
memohon ampunan untuk orang-orang yang beriman sebagai sebuah pelajaran yang berharga
bagi setiap hamba Allah yang beriman, ―(Malaikat-malaikat) yang memikul „Arsy dan
malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman
kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya
mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka
berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan
peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala‖. (Al-Mu‘min: 7)
Berdasarkan kajian terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang istighfar, paling tidak terdapat
empat keutamaan dan nilai dari amaliah istighfar dalam kehidupan seorang muslim:
1. Istighfar merupakan cermin akan kesadaran diri orang-orang yang bertakwa. ―Dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka
ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui‖. (Ali Imran: 135)
2. Istighfar merupakan sumber kekuatan umat. Kaum nabi Hud yang dikenal dengan
kekuatan mereka yang luar biasa, masih diperintahkan oleh nabi mereka agar senantiasa
beristighfar untuk menambah kekuatan mereka. “Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah
ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang
sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan
janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”. (Hud: 52). Bahkan Rasulullah dalam salah
satu haditsnya menegaskan bahwa eksistensi sebuah umat ditentukan diantaranya dengan
kesadaran mereka untuk selalu beristighfar, sehingga bukan merupakan aib dan tidak merugi
orang-orang yang bersalah lantas ia menyadari kesalahannya dengan beristighfar memohon
ampunan kepada Allah swt.
3. Istighfar dapat menolak bencana dan menjadi salah satu sarana turunnya keberkahan dan
rahmat Allah swt. Ibnu Katsir ketika menafasirkan surat Al-Anfal: 33 “Dan Allah sekali-kali
tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula)
Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” menukil riwayat dari Imam
Tirmidzi bahwa Rasulullah saw bersabda, ―Allah telah menurunkan kepadaku dua pengaman
atau penyelemat bagi umat dari azab dan bencana, yaitu keberadaanku dan istighfar. Maka
ketika aku telah tiada, masih tersisa satu pengaman hingga hari kiamat, yaitu istighfar‖.
Bahkan Ibnu Abbas menuturkan bahwa ungkapan istighfar meskipun keluar dari pelaku
maksiat dapat mencegah dari beberapa kejahatan dan bahaya.
4. Istighfar akan memudahkan urusan seseorang, memudahkan jalan mencari rizki dan
memelihara seseorang. Dalam konteks ini, Ibnu katsir menafsirkan suarat Hud : 52 dengan
menukil hadits Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa yang mampu mulazamah atau
kontinyu dalam beristighfar, maka Allah akan menganugerahkan kebahagiaan dari setiap
duka dan kesedihan yang menimpanya, memberi jalan keluar dari setiap kesempitan dan
memberi rizki dengan cara yang tidak disangka-sangka”. (Ibnu Majah)
Demikianlah, pesan yang disampaikan oleh para nabiyuallah kepada kaumnya sebagai salah
satu solusi dari permasalahan mereka. Tentu istighfar yang dimaksud tidak hanya sekedar
ucapan dengan lisan ―astaghfirullah‖, tetapi secara aplikatif sikap waspada, mawas diri dan
berhati-hati dan bersikap dan berperilaku agar terhindar dari kesalahan. Dan jika terjermus ke
dalam kemaksiatan segera sadar dan mampu bangkit dari kesalahan dengan bersungguh-sungguh
bertaubat dalam arti menyuguhkan pengabdian dan karya yang lebih bermanfaat
untuk umat. Allahu A‘lam.
Dari Ali bin Abi Thalib r.a ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam bersabda: 'Tidaklah seseorang melakukan dosa kemudian ia bersuci
(berwudhu) dan shalat lalu minta ampun kepada Allah, melainkan Allah akan
mengampuni dosanya itu, beliau lalu membacakan firman Allah (QS. Ali Imran
135).'" (HR. at-Tirmidzi, Abi Dawud dan dihasankan oleh al-Albani)
Tuntunan Bertaubat kepada Allah SWT
oleh Dr. Yusuf al Qaradhawi
Keutamaan Taubat dan Orang-orang yang Bertaubat dalam al Qur'an
Tentang dorongan dan anjuran untuk bertobat, Al Qur'an berbicara:
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri." (QS. Al Baqarah: 222).
Maka derajat apa yang lebih tinggi dari pada mendapatkan kasih sayang Rabb semesta alam.
Dalam menceritakan tentang ibadurrahman yang Allah SWT berikan kemuliaan dengan
menisbahkan mereka kepada-Nya, serta menjanjikan bagi mereka surga, di dalamnya mereka
mendapatkan ucapan selamat dan mereka kekal di sana, serta mendapatkan tempat yang baik.
Firman Allah SWT:
"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan)dosa(nya)." (QS. Al Furqaan: 68-70.).
Keutamaan apalagi yang lebih besar dari pada orang yang bertaubat itu mendapatkan
ampunan dari Allah SWT , hingga keburukan mereka digantikan dengan kebaikan?
Dan dalam penjelasan tentang keluasan ampunan Allah SWT dan rahmat-Nya bagi orang-orang
yang bertaubat. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-
Zumar: 53)
Ayat ini membukakan pintu dengan seluas-luasnya bagi seluruh orang yang berdosa dan
melakuan kesalahan. Meskipun dosa mereka telah mencapai ujung langit sekalipun. Seperti
sabda Rasulullah Saw:
"Jika kalian melakukan kesalahan-kesalahan (dosa) hingga kesalahan kalian itu sampai ke
langit, kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah SWT akan memberikan taubat kepada
kalian." (Hadist diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Hurairah, dan ia menghukumkannya
sebagai hadits hasan dalam kitab sahih Jami' Shagir - 5235)
Di antara keutamaan orang-orang yang bertaubat adalah: Allah SWT menugaskan para
malaikat muqarrabin untuk beristighfar bagi mereka serta berdo'a kepada Allah SWT agar
Allah SWT menyelamatkan mereka dari azab neraka. Serta memasukkan mereka ke dalam
surga. Dan menyelamatkan mereka dari keburukan. Mereka memikirkan urusan mereka di
dunia, sedangkan para malaikat sibuk dengan mereka di langit. Allah SWT berfirman:
"(Malaikat-malaikat) yang memikul 'arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih
memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang
yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau
meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan
mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala, ya
Tuhan kami, dan masukkanlah mereka kedalam surga 'Adn yang telah Engkau janjikan
kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak -bapak mereka, dan istri-istri
mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang
Engkau pelihara dari(pembalasan?)kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar." (QS.Ghaafir: 7-9).
Terdapat banyak ayat dalam Al Qur'an yang mengabarkan akan diterimanya taubat orang-orang
yang melakukan taubat jika taubat mereka tulus, dengan banyak redaksi. Dengan
berdalil pada kemurahan karunia Allah SWT, ampunan dan rahmat-Nya, yang tidak merasa
sempit dengan perbuatan orang yang melakukan maksiat, meskipun kemaksiatan mereka
telah demikian besar.
Seperti dalam firman Allah SWT:
"Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya
dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang? ."
(QS. At-Taubah: 104)
"Dan Dialah Yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-
kesalahan." (QS. Asy-Syuuraa: 25)
Dan dalam menyipati Dzat Allah SWT: "Yang mengampuni dosa dan menerima taubat."
(QS. Ghaafir: 3)
Terutama orang yang bertaubat dan melakukan perbaikan. Atau dengan kata lain, orang yang
bertaubat dan melakukan amal yang saleh. Seperti dalam firman Allah SWT dalam masalah
pria dan wanita yang mencuri:
"Maka barangsiapa yang bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan
kejahatan itu, dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maaidah: 39)
"Tuhanmu telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang
berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (QS. Al An'aam: 54)
"Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan
kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat setelah itu, dan memperbaiki (
dirinya) sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS.
An-Nahl: 119)
Puja-puji terhadap Allah SWT dengan nama-Nya "at-Tawwab" (Maha Penerima Taubat)
terdapat dalam al Quran sebanyak sebelas tempat. Seperti dalam do'a Ibrahim dan Isma'il a.s.:
"Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha penerima taubat lagi Maha
Penyayang." (QS. Al Baqarah: 128).
Juga seperti dalan sabda Nabi Musa kepada Bani Israil setelah mereka menyembah anak sapi:
"Maka bertaubatlah kepada Tuhan Yang menjadikan kamu, dan bunuhlah dirimu. Hal itu
adalah lebih baik bagimu, pada sisi Tuhan Yang menjadikan kamu, maka Allah akan
menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang
." (QS. Al Baqarah: 54)
Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya:
"Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon
ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa: 64)