1. 1
TESIS
PENGARUH KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN BUDAYA
ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI
DI DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MUARO JAMBI
MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
FEBRIYANTY PERDIKA UTAMA
NIM : Pp. 209.2.1178
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2012
2. 2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebuah instansi didirikan karena mempunyai tujuan yang ingin dicapai,
dalam mencapai tujuannya setiap instansi dipengaruhi oleh perilaku dan sikap
orang-orang yang terdapat dalam instansi tersebut. Keberhasilan untuk
mencapai tujuan tersebut tergantung kepada keandalan dan kemampuan
pegawai dalam mengoperasikan unit-unit kerja yang terdapat di instansi
tersebut, karena tujuan instansi dapat tercapai hanya dimungkinkan karena
upaya para pelaku yang terdapat dalam setiap instansi. Manusia sebagai salah
satu unsur pengendali, merupakan faktor paling penting dan utama di dalam
segala bentuk organisasi.
Sumber daya manusia mempunyai peranan yang besar dalam suatu
organisasi, terutama untuk mencapai tujuan organisasi. Keberhasilan mencapai
tujuan organisasi didukung sepenuhnya dari perilaku pegawai, oleh karena itu
pegawai mempunyai peranan penting dalam membentuk dan mengelola
organisasi dan memanfaatkan teknologi yang ada. Kepemimpinan merupakan
suatu kegiatan dalam memimpin sedangkan pemimpin adalah orangnya yang
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang lain
tersebut mengikuti apa yang diinginkannya, oleh karena itu pemimpin harus
mampu mengatur dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
bersama.
Kepemimpinan pada suatu organisasi harus dapat melayani masyarakat
luas. Sistem kepegawaian yang mantap dengan pengembangan karier yang
berdasarkan prestasi kerja, kemampuan yang profesional, keahlian dan
keterampilan, serta kemantapan sikap mental aparat melalui upaya pendidikan
pelatihan, penugasan, bimbingan dan konsultasi, serta melalui pengembangan
motivasi, kode etik, dan disiplin kedinasan yang sehat, didukung oleh sistem
informasi kepegawaian yang mantap serta, didukung oleh sistem informasi
3. 3
kepegawaian yang mantap serta, dilengkapi dengan sistem pemberian
penghargaan yang wajar.
Efektivitas organisasi dalam mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi
tidak terlepas dari peranan pemimpin. Kepemimpinan merupakan tulang
punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik
akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi, bahkan untuk beradaptasi dengan
perubahan yang sedang terjadi di dalam maupun di luar organisasi, hal ini
disebabkan karena setiap pemimpin dapat memberikan pengaruh terhadap
bawahannya, misalnya terhadap kepuasan kerja, komitmen, produktivitas,
kinerja dan lain-lain1
. Suatu instansi tidak terlepas dari peranan kepemimpinan
dan budaya organisasi itu sendiri dalam usaha mencapai tujuan suatu organisasi
tersebut. Kegiatan organisasi tidak akan berjalan tanpa adanya keterlibatan
unsur manusia yang ada didalamnya. Sejalan dengan pentingnya sumber daya
manusia dalam organisasi, bahwa manusia merupakan unsur yang paling
penting menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi dalam
menyelenggarakan berbagai kegiatannya dan dalam rangka pencapaian tujuan
dan sasaran instansi atau organisasi.2
Budaya organisasi merupakan sistem nilai yang dapat diterapkan dan
dikembangkan secara terus-menerus. Budaya organisasi juga berfungsi sebagai
perekat, pemersatu, motivator serta pengembangan yang berbeda dengan
organisasi lain, yang dapat menghasilkan dorongan untuk berprestasi dan
meningkatkan kinerja dan semangat kerja3
. Semakin kuat budaya organisasi
tersebut, maka semakin kuat pula dorongan untuk berprestasi dan dapat
meningkatkan kinerja.Budaya organisasi dapat membantu kinerja karyawan,
karena menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa bagi karyawan
untuk memberikan kemampuan terbaiknya dalam memanfaatkan kesempatan
1 1
Veithzal Rivai, Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi (Jakarta : PT.Rajagrafindo
Persada, 2003), hal.45.
2
Wahyudi, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Organisasi Pembelajaran (Bandung:
Alfabeta cv, 2009), hal. 64.
3
Veithzal Rivai, Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi (Jakarta : PT.Rajagrafindo
Persada, 2003), hal.40.
4. 4
yang diberikan oleh organisasinya. Menurut Barney dalam Anwar Prabu
Mangkunegara, Evaluasi Kinerja4
merupakan nilai-nilai yang dianut bersama
yang membuat karyawan merasa nyaman bekerja, memiliki komitmen dan
kesetiaan serta membuat karyawan berusaha lebih keras, meningkatkan kinerja
dan kepuasaaan kerja karyawan berusaha lebih keras, meningkatkan kinerja
dan kepuasan kerja karyawan serta mempertahankan keunggulan kompetitif.
Mewujudkan budaya organisasi yang cocok untuk diterapkan pada
sebuah organisasi diperlukan adanya dukungan dan partisipasi dari semua
anggota yang ada dalam lingkup organisasi tersebut. Karyawan membentuk
persepsi keseluruhan berdasarkan karakteristik budaya organisasi yang antara
lain meliputi inovasi, kemantapan, kepedulian, orientasi hasil, perilaku
pemimpin, orientasi tim, karakteristik tersebut terdapat dalam sebuah
organisasi atau perusahaan mereka. Persepsi karyawan mengenai kenyataan
terhadap budaya organisasinya menjadi dasar karyawan berperilaku.
Berdasarkan persepsi tersebut memunculkan suatu tanggapan berupa dukungan
pada karakrteristik organisasi yang selanjutnya mempengaruhi kinerja
karyawan.5
Budaya organisasi dapat membantu kinerja karyawan, karena
menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa bagi karyawan untuk
memberikan kemampuan terbaiknya dalam memanfaatkan kesempatan yang
diberikan oleh organisasinya. Menurut Barney dalam Lado & Wilson6
nilai-
nilai yang dianut bersama membuat karyawan merasa nyaman bekerja,
memiliki komitmen dan kesetiaan serta membuat karyawan berusaha lebih
keras dalam meningkatkan serta mempertahankan keunggulan kompetitif.
Persepsi karyawan mengenai kenyataan terhadap budaya organisasinya
menjadi dasar karyawan berperilaku.
4
. Anwar Prabu Mangkunegara, Evaluasi Kinerja SDM (Bandung : Refika Aditama,
2009), hal. 15.
5
. manajemen-dan-kepemimpinan-pendidikan-islam-mencari-format-baru-manajemen-
yang-efektif-globalisasi http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01
6
Veithzal Rivai, Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi (Jakarta : PT.Rajagrafindo
Persada, 2003), hal.62.
5. 5
Seberapa baik kinerja karyawan apakah telah sesuai dengan budaya
organisasi atau tidak, maka perlu diadakan penilaian kinerja. Adapun tujuan
dari program penilaian kinerja yaitu mendorong atau menolong para supervisor
untuk mengamati bawahannya secara lebih dekat untuk melakukan pekerjaan
secara lebih baik. Memotivasi para karyawan dengan memberikan umpan balik
tentang bagaimana cara mereka bekerja. Memberikan dukungan untuk
pembuatan keputusan bagi pimpinan yang berhubungan dengan peningkatan,
pemindahan dan pemecahan. Beberapa masalah nyata dari sistem penilaian
kinerja sehingga belum berjalan sebagaimana mestinya berkaitan dengan
kurangnya kesepakatan tentang aspek-aspek kinerja yang akan diukur, tidak
realistisnya harapan yang diukur menjadi tujuan dan dapat dihitung, dan
kegagalan menggunakan hasil penilaian sebagai dasar penting pembuatan
keputusan bagi pengembangan sumber daya mamisia.
Menurut Schein7
kegagalan yang paling mencolok dari sistem penilaian
kinerja adalah karena sistem yang sangat sederhana tidak mengakui realitas
pekerjaan dan budaya organisasi. Seharusnya, penilaian kinerja dikaitkan
dengan budaya organisasi sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk
mengungkapkan seberapa baik karyawan berkinerja sesuai dengan budaya
organisasi. Sistem penilaian kinerja dapat membantu menemukan dan
merumuskan aspek-aspek penting dari budaya dengan spesifikasi perilaku dan
kompetensi yang dieprhikan untuk menyumbang keberhasilan organisasi, unit,
kelompok, atau posisi. Jadi, sistem penilaian yang baik seharusnya digunakan
sebagai alat untuk mengungkapkan, mempengaruhi dan memperkuat budaya
organisasi.
Mengetahui seberapa baik kinerja karyawan apakah telah sesuai dengan
budaya organisasi maka perlu diadakan penilaian kinerja, adapun tujuan-tujuan
dari program penilaian kinerja menurut Oberg dalam Agus Dharma,
7
Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadershif (San Fransisco, 2007), hal.49.
6. 6
Manajemen Prestasi Kerja 8
adalah upaya mendorong atau menolong para
supervisor untuk mengamati bawahannya secara lebih dekat untuk melakukan
pekerjaan secara lebih baik. Memotivasi para karyawan dengan memberikan
umpan balik tentang bagaimana cara mereka bekerja. Memberikan dukungan
untuk pembuatan keputusan bagi pimpinan yang berhubungan dengan
peningkatan, pemindahan dan pemecahan. Beberapa masalah nyata dari sistem
penilaian kinerja sehingga belum berjalan sebagaimana mestinya berkaitan
dengan kurangnya kesepakatan tentang aspek-aspek kinerja yang akan diukur,
tidak realistisnya harapan yang diukur menjadi tujuan dan dapat dihitung, dan
kegagalan menggunakan hasil penilaian sebagai dasar penting pembuatan
keputusan bagi pengembangan sumber daya mamisia.
Berdasarkan pemaparan definisi di atas, dapat dipahami bahwa kinerja
pegawai sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan dan budaya organisasi dalam
suatu instansi. Tercapainya tujuan instansi atau organisasi tidak hanya
tergantung pada peralatan modern, sarana dan prasarana yang lengkap, tetapi
justru lebih tergantung pada manusia yang melaksanakan pekerjaan tersebut.
Karyawan yang berkualitas, adalah karyawan yang melaksanakan pekerjaannya
dan mampu memberikan hasil kerja yang baik atau mempunyai prestasi kerja
yang tinggi yang dibutuhkan oleh instansi atau organisasi untuk mencapai
tujuan. Keberhasilan instansi atau organisasi secara keseluruhan adalah
kontribusi dari hasil kerja pegawainya.
Seiring dengan bergulirnya waktu yang menuntut banyak perubahan,
banyak organisasi saat ini merasa perlu untuk mengubah budaya pada instansi
guna menjamin kelangsungan hidupnya atau untuk memperoleh manfaat yang
lebih kompetitif, hal ini didorong oleh kenyataan bahwa budaya yang telah ada
kadang tidak lagi mampu memperbaiki keadaan masa datang seperti yang
dibutuhkan organisasi. Kekuatan dalam lingkungan eksternal organisasi dapat
8
. Agus Dharma, Manajemen Prestasi Kerja (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 46
7. 7
mengisyaratkan kebutuhan perubahan budaya, misalnya dengan adanya
persaingan yang makin tajam, dalam suatu lingkungan instansi menuntut
perubahan budaya organisasi untuk senantiasa mampu merespon keinginan
masyarakat dengan lebih cepat, tidak hanya berasal dari lingkungan eksternal,
kekuatan perubahan budaya juga bisa berasal dari dalam atau internal. Sebagai
contoh jika kepala kantor menerapkan pendekatan-pendekatan baru untuk
manajemen organisasi agar tercipta kinerja yang baik.
Rendahnya kinerja pegawai harus diidentifikasi penyebabnya, ada
banyak faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai, diantaranya sarana dan
prasarana, budaya organisasi, iklim yang kondusif serta gaya kepemimpinan.
Kinerja suatu instansi tidak dapat berhasil atau tidak dapat tercapai dengan baik
apabila setiap karyawan atau para pelaku dalam suatu organisasi atau instansi
belum meyumbangkan tenaga dan kemampuannya sesuai dengan kebutuhan
instansi dan pimpinan belum mengetahui bagaimana cara mengukur tingkat
sumbangan tenaga kerja dalam bentuk kinerja karyawan serta belum
mengetahui kapan kinerja karyawan harus dinilai sehingga karyawan tidak
bekerja secara optimal.9
Apabila kinerja perorangan atau karyawan baik maka
kemungkinan besar kinerja instansi akan baik pula. Kinerja karyawan akan
baik bila dia mempunyai keahlian (skill) yang tinggi.
Banyak indikator yang dapat digunakan untuk membedakan kinerja
pegawai khususnya antara negara maju dan negara berkembang. Konteks
ekonomi internasional, dikenal dengan istilah “negara maju” dan “negara
berkembang”. Kedua istilah tersebut merupakan penggolongan negara-negara
di dunia berdasarkan kesejahteraan atau kualitas hidup rakyatnya. Negara maju
adalah negara yang rakyatnya memiliki kesejahteraan atau kualitas hidup yang
tinggi. Sedangkan negara berkembang adalah negara yang rakyatnya memiliki
9
Tandyo Artoko, Pelaksanaan Kepemimipinan Transformasional Manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah (Surakarta: Universitas Muhamammadiyah Karanganyar,
2007), hal.5
8. 8
tingkat kesejahteraan atau kualitas hidup taraf sedang atau dalam
perkembangan.
Suatu negara dikatakan berkembang atau maju salah satunya adalah
dengan melihat pada keberhasilan pembangunan oleh negara yang
bersangkutan. “Apabila negara tersebut belum dapat mencapai tujuan
pembangunan yang telah ditetapkan atau belum dapat menyeimbangkan
pencapaian pembangunan yang telah dilakukan. Sedangkan negara yang
mampu menyeimbangkan pencapaian pembangunan yang telah ditetapkan,
sehingga sebagian besar tujuan pembangunan telah dapat terwujud baik yang
bersifat fisik ataupun nonfisik maka negara tersebut dapat disebut negara
maju”10
.
Saat ini semakin banyak pemerintah yang berupaya memperbaiki kinerja
mereka dengan menciptakan sistem untuk mengukur dan membantu mereka
dalam memahami kinerja mereka dalam sebuah instansi. Sistem untuk
pemantauan dan evaluasi (P&E) ini digunakan untuk mengukur kuantitas,
kualitas dan penargetan barang dan jasa—keluaran (outputs)—yang disediakan
negara serta guna mengukur hasil dan dampak dari keluaran tersebut, sistem
ini juga merupakan sarana untuk membantu pemerintah memahami sebab-
sebab bagi kinerja yang baik dan kinerja yang buruk.11
Berkaitan dengan kinerja, Harsey, Blancard dan Johnson menyatakan
bahwa “kinerja adalah hasil dari suatu aktivitas atau pekerjaan”.12
Hal yang
sama juga dikemukakan oleh Triantoro, “kinerja merupakan prestasi yang
dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya
sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan itu”.13
Dua
pengertian tentang kinerja tersebut diatas dapat dipahami bahwa kinerja adalah
sebagai hasil dari suatu aktivitas dan sesuai dengan bidang pekerjaannya.
10
negara-maju-dan-negara-berkembang.html http://atzdpumpkin.blogspot.com/2008/10
11
Negara_Berkembang_dan_Negara_Maju_9http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:
12
Paul Harsay, Kenneth Blancard, And Dewey E. Johnson, Managing Organizational
Behavior : Utilizing Human Resources (New Jersey : Prentice Hall, Inc, 1996), hal. 92.
13
Triantoro Safaria, Kepemimpinan (Yokyakarta : Graha Ilmu, 2004), hal. 200.
9. 9
Begitu juga idealnya dengan seorang pegawai yang mengajar harus sesuai
dengan keahliannya.
Uraian di atas dipahami bahwa kinerja pegawai merupakan hasil dari
prestasi dari pekerjaan mereka. Di sisi lain tinggi rendahnya kinerja karyawan
juga dipengaruhi kecocokan karyawan dengan kepribadian seseorang. Salah
satu faktor kepribadian seseorang yang berkaitan dengan kinerja karyawan
adalah budaya organisasi. Sering terjadi budaya organisasi karyawan pada
instansi menjadi turun, walaupun sebelumnya mempunyai prestasi yang baik.
Permasalahan ini akan menjadi bom waktu bagi instansi jika budaya organisasi
karyawan tidak diperhatikan dengan baik. Masalah tingkat pendidikan formal,
masa kerja dan gaji merupakan beberapa penyebab dimungkinkannya budaya
organisasi karyawan menjadi turun.
Bertolak dari pemikiran di atas, peneliti melihat fenomena yang ada di
dinas pendidikan Kabupaten Muaro Jambi, berdasarkan pengamatan langsung
yang peneliti alami, serta informasi yang diterima dari berbagai pihak, bahwa
kinerja pegawai di dinas pendidikan kabupaten Muaro Jambi tersebut belum
memuaskan. Ada beberapa indikator yang menunjukan hal tersebut,
diantaranya masih kurangnya kedisiplinan, semangat kerja, dan kurangnya
pelayanan dan tanggung jawab terhadap proses pelaksanaan kegiatan
khususnya dari jalur pendidikan. Berdasarkan pengamatan penulis ada
beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab kinerja pegawai di dinas
pendidikan kabupaten Muaro Jambi menjadi belum memuaskan, antara lain :
Pertama, kepemimpinana di Dinas Pendidikan merupakan hal pokok
yang dapat menaungi proses kelancaran dalam semua kegiatan, kerena
kepemimpinan merupakan cerminan dan ujung tombak keberhasilan
bawahannay dalam organisasi.
Kedua, dalam sebuah instansi atau pemerintahan, terdapat budaya
organisasi yang merupakan cerminan dan pembeda antara organisasi yang satu
dengan organisasi yang lain. Suatu instansi terdapat sifat dan perilaku yang
berbeda dalam pelaksanaan tugasnya, ada yang bersemangat dan penuh
10. 10
tanggung jawab, juga ada pegawai yang dalam melakukan pekerjaan itu tanpa
dilandasi rasa tanggung jawab, selain itu juga ada pegawai yang sering
membolos, datang tidak tepat pada waktunya dan tidak mematuhi perintah,
serta pulang kerja tidak pada waktunya.
Ketiga, pengaruh jarak tempuh yang jauh antara tempat tinggal dengan
kantor. Bagaimana dinas pendidikan di kabupaten Muaro Jambi, sebagaiman
diketahui hampir separuh dari pegawai di dinas pendidikan Muaro Jambi
berdomisili di Kota Jambi.
B. Identifikasi Masalah
Pegawai memiliki sifat dan perilaku yang berbeda dalam pelaksanaan
sebagai pendidik, ada yang bersemangat dan penuh tanggung jawab, juga ada
pegawai yang dalam melakukan pekerjaan itu tanpa dilandasi rasa tanggung
jawab, selain itu juga ada pegawai yang sering membolos, datang tidak tepat
pada waktunya dan tidak mematuhi perintah. Kondisi pegawai seperti itulah
yang menjadi permasalahan di setiap lembaga pendidikan formal, dengan
adanya pegawai yang mempunyai kinerja rendah, instansi akan sulit untuk
mencapai hasil seperti yang diharapkan.
Dasar pemikiran di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai
berikut:
1. Apakah peranan kepemimpinan situasional dalam upaya meningkatkan
profesionalisme kepegawaian ?
2. Apakah pengaruh kepemimpinan situasional,budaya organisasi tersebut
menurut persepsi para pegawai di Dinas Pendidikan Muaro Jambi ?
3. Apakah faktor kepemimpinan situasional dapat berpengaruh terhadap
kinerja pegawai negeri sipil di Dinas Pendidikan Muaro Jambi ?
4. Apakah faktor budaya organisasi dapat berpengaruh terhadap kinerja
pegawai negeri sipil Dinas Pendidikan Muaro Jambi ?
11. 11
5. Adakah bukti empiris bahwa kepemimpinan situasional dapat
mempengaruhi kinerja pegawai
6. Apa sajakah bentuk kinerja pegawai dalam suatu instansi atau organisasi
7. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi pencapaian kinerja pegawai
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penelitian ini
menetapkan tiga pembatasan masalah yang akan dibahas, yaitu :
1. Pengaruh antara kepemimpinan situasional terhadap kinerja pegawai di
Dinas Pendidikan Muaro Jambi
2. Pengaruh antara budaya organisasi terhadap kinerja pegawai Dinas
Pendidikan Muaro Jambi
3. Pengaruh simultan antara kepemimpinan situasional dan budaya organisasi
terhadap kinerja pegawai Dinas Pendidikan Muaro Jambi
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah
yang dikemukakan di atas, maka pokok masalah yang diajukan dalam
penelitian ini adalah sampai sejauh mana kepemimpinan situasional, budaya
organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai, dengan sub-sub masalahnya
sebagai berikut :
1. Apakah kepemimpinan situasional berpengaruh terhadap kinerja pegawai
di Dinas Pendidikan Muaro Jambi ?
2. Apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai di dinas
Pendidikan Muaro Jambi ?
3. Apakah kepemimpinan situasional dan budaya organisasi secara simultan
atau bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja pegawai di Dinas
Pendidikan Muaro Jambi?
12. 12
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan baik dari pihak peneliti
maupun bagi pengembangan budaya dan peningkatan kinerja. Kegunaan
penelitian ini dapat member manfaat sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan meningkatkan pengetahuan dan peningkatan
pengembangan kepemimpinan situasional dan budaya organisasi
dalam peningkatkan kinerja pegawai berdasarkan teori yang
dijelaskan dalam tesis ini.
2. Kegunaan Praktis
a. Sebagai bahan rujukan dan masukan untuk Dinas Pendidikan
Kabupaten Muaro Jambi untuk meningkatkan kinerja dan kedisiplinan
pegawai.
b. Memberikan informasi kepada seluruh pegawai untuk meningkatkan
kinerja dan kualitas kinerja mereka
c. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada pegawai tentang
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai
d. Sebagai bahan masukan dan rujukan kepada kepala Dinas Pendidikan
Kabupaten Muaro Jambi agar lebih meningkatkan kinerja dan kualitas
organisasi pegawainya
e. Memberikan bahan masukan kepada pegawai untuk mengoptimalkan
budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dapat membantu peningkatan
kinerja dam suatu instansi.
13. 13
BAB II
KAJIAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Kepemimpinan Situasional (Variabel X1)
a. Pengertian Kepemimpinan
Sebelum peneliti menjelaskan tentang kepemimpinan situasional,
peneliti akan menjelaskan defenisi dari kepemimpinan itu sendiri.
Menurut Hasibuan14
“Kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin
mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja
secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi”.
Kepemimpinan adalah proses kegiatan memimpin, sedangkan pemimpin
adalah orang yang mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang
diinginkan dalam suatu organisasi.
Pendapat di atas dipahami bahwa kepemimpinan adalah semua
sikap, perbuatan dan perilaku yang dilakukan oleh atasan untuk
mempengaruhi bawahannya. Seorang pemimpin harus dapat memotivator
serta mengerahkan bawahannya agar dapat mengeuarkan potensi serta
kemampuannya, sehingga tercipta hasil yang efektif dan efisien.
Hal senada dijelaskan oleh Yulk Gary yang menyatakan
kepemimpinan adalah:
“[The] process of influencing others to understand and agree about
what needs to be done and how to do it, and the process of
facilitating individual and collective efforts to accomplish shared
objectives.”15
“Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain, agar dapat
mengerti dan setuju tentang apa yang diinginkan, yang dilakukan
dan bagaimana melakukannya, dan proses memfasilitasi individu
atau kelompok untuk memenuhi tujuan bersama”.
14
H. Malayu Hasibuan S. P. Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2005), hal. 87.
15
kepemimpinan-dalam-organisasi http://setabasri01.blogspot.com/2011/01/.html
14. 14
Penjelasan teori di atas di pahami bahwa kepemimpinan
merupakan proses mempengaruhi orang lain agar mampu memahami serta
menyetujui apa yang harus dilakukan sekaligus bagaimana melakukannya,
termasuk pula proses memfasilitasi upaya individu atau kelompok dalam
memenuhi tujuan bersama proses mempengaruhi seorang bawahan yang
dilakukan atasan untuk mendapatkan hasil yang efektif. Pola
kepemimpinan yang cocok untuk diterapakan oleh pemimpin berdasarkan
teori Yulk adalah pola kepemimpinan situasionamenl. Pola kepemimpinan
situasional merupakan pola kepemimpinan yang menekankan pada
kematangan bawahan”.
Menurut Agustiar Syah Nur16
“seorang pemimpin atau manejer
harus mampu melihat organisasi atau lembaganya dalam bentuk bagian-
bagian kecil dan sekaligus dalam bentuk utuh, oleh karenanya diperlukan
kemampuan menganalisis terhadap permasalahan kepemimpinan dan
organisasi”. Seorang pemimpin atau menejer harus dapat mengelolah dan
dan mengatur bawahannya guna terciptanya tujuan yang diingin secara
bersama-sama.
Uraian teori tersebut dipahami bahwa kepemimpinan adalah
kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengorganisasikan bagian-
bagian terkecil dari suatu organisasi. Kepemimpinan merupakan tulang
punggung dari berdirinya suatu organisasi, tanpa pemimpin yang baik
akan sulit sekali terbentuknya suatu organisasi yang kuat dan kokoh.
Menurut Wahjosumidjo dalam Hasibuan17
”memimpin adalah
kemampuan untuk menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu
sekolah atau organisasi sehingga dapat didayagunakan secara maksimal
16
Agustiar Syah Nur. Bahan Kuliah Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Psikologi Manajemen
(PPs : UNP. 2008), hal. 45.
17
H. Malayu Hasibuan S. P. Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2005), hal. 80.
15. 15
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan konsep inilah yang melahirkan
kepemimpinan situasional”. Sumber daya manusia harus diolah dan
dikembangkan dalam suatu organisasi, oleh sebab itu proses pengelolaan
dan pengambangan sumber daya manusia harus di pacu dan didukung oleh
pemimpin yang handal, agar tercipta tujuan yang akan dicapai dalam suatu
organisasi. Suatu organisasi yang mempunyai sumber data manusia yang
kuat dan besar, maka akan menghasilkan kinerja yang bagus pula.
Berdasarkan pemaparan teori di atas dipahami bahwa
kepemimpinan adalah proses yang dinamis yang mampu menggerakan
segala sumber daya manusia serta peralatannya, karena itu memilih model
kepemimpinan merupakan hal yang harus cocok diterapkan secara mutlak.
Sejauh mana pemimpin punya potensi sebagai pemimpin, siapa yang
dipimpin dan dalam situasi mana seorang memimpin, maka kepemimpinan
situasionallah merupakan kepemimpinan yang efektif dalam
pengembangan suatu instansi pemerintahan.
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain sehingga
timbul perasaan untuk mengikuti secara sukarela baik secara individu
ataupun kelompok18
. Kepemimpinan adalah hubungan pertautan hati dan
tali bathin. Kepemimpinan merupakan pemberian contoh serta teladan
untuk bawahannya yang dilakukan dalam suatu instansi atau organisasi.
Uraian pendapat di atas, dipahami bahwa seorang pemimpin harus
memperhatikan bawahan, memahami mereka sesuai kondisi, memahami
faktor emosional serta pendidikan bawahannya, karena tidak akan berhasil
seorang pemimpin yang tidak dapat mempersambungkan tali bathin dan
pertautan hati dalam mencapai tujuan organisasi. Pemimpin harus dapat
memberikan arahan serta bimbingan kepada bawahannya, agar tercipta
suasan serta lingkungan kerja yang kondusif serta nyaman.
18
Ibid., hal. 45.
16. 16
Menurut Kartini Kartono “kepemimpinan itu terdapat hubungan
antar manusia yaitu hubungan mempengaruhi dari pemimpin, dan
hubungan kepatuhan – ketaatan para pengikut bawahan karena
dipengaruhi oleh wibawa pemimpin”19
. Pendapat ini sejalan dengan apa
yang dikemukakan Mar’at dalam Kartini Kartono20
bahwa kepemimpinan
adalah sebagai penggunaan pengaruh dari pimpinan terhadap bawahan.
Menurut George P. Terry21
dalam Verithzal “kepemimpinan adalah
kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan
penuh kemauan untuk tujuan kelompok”.
Berdasarkan penjelasan teori di atas dapat dijabarkan bahwa
kepemimpinan merupakan proses memimpin, dimana seorang pemimpin
harus bekerja keras untuk menggunakan pengaruh dan kekuasaannya
untuk membuat bawahannya bekerja demi tercapainya tujuan.
Kepemimpinan merupakan faktor penting dalam pencapaian tujuan serta
peningkatan kinerja pegawainya. Seorang pemimpin harus dapat
mengerahkan semua kempuan serta kekuasaanyan untuk mempengaruhi
serta membimbing bawahannya, serta mengembangkan potensi sumber
daya manusia yang ada dalam suatu organisasi.
Istianto22
dalam bukunya Manajemen Pemerintahan, ada
beberapa definisi kepemimpinan yang dapat mewakili tentang
kepemimpinan, yaitu sebagai berikut :
1. [K]epemimpinan adalah suatu kegiatan dalam memimpin sedangkan
pemimpin adalah orangnya yang memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain sehingga orang lain tersebut mengikuti apa
yang diinginkannya. Oleh karena itu pemimpin harus mampu
mengatur dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
bersama.
19
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 1992), hal.
75
20
Ibid., hal 77.
21
Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), hal. 40.
22
Istianto, Manajemen Pemerintahan (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 231-232.
17. 17
2. Kepemimpinan adalah dimana seorang pemimpin harus mampu
mengatur dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
bersama.
3. Kepemimpinan merupakan subjek yang penting di dalam manajemen
dan ilmu administrasi karena kepemimpinan terkait dengan hubungan
antara atasan dan bawahan di dalam organisasi.
4. Kepemimpinan merupakan proses berorientasi kepada manusia dan
dapat diukur dari pengaruhnya terhadap perilaku organisasi.
5. Kepemimpinan pemerintahan adalah sikap, perilaku dan kegiatan
pemimpin pemerintahan di pusat dan daerah dalam upaya mencapai
tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara.
Uraian teori di atas dipahami bahwa kepemimpinan merupakan
sikap, perilaku yang dimiliki oleh seseorang dalam mempengaruhi orang
lain dalam suatu organisasi demi tercapainya tujuan organisasi. Seorang
pemimpin harus dapat mempengaruhi dan mengajak bawahannya untuk
berbuat dan bertindak sesuai dengan perintahnya, oleh sebab itu seorang
pemimpin harus mempunyai kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan
bawahannya.
Seorang harus mempunyai keahlian, kemampuan serta kelebihan-
kelebihan dibandingkan dengan bawahannya. Adapun kelebihan yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin mencakup tiga hal,23
“pertama,
kelebihan rasio, kelebihan rohaniah dan kelebihan badaniah:
Kelebihan rasio yaitu kelebihan menggunakan pikiran, kelebihan
dalam pengetahuan tentang hakikat tujuan dari organisasi, dan kelebihan
dalam memiliki pengetahuan tentang cara-cara menggerakkan organisasi,
serta dalam pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Kedua,
kelebihan rohaniah, berarti seorang pemimpin harus mampu menunjukkan
keluhuran budi pekertinya kepada bawahan. Seorang pemimpin harus
mempunyai moral yang tinggi karena pada dasarnya pemimpin merupakan
panutan para pengikutnya. Segala tindakan, perbuatan, sikap dan ucapan
hendaknya menjadi suri tauladan bagi para pengikutnya. Ketiga, kelebihan
23
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada1992), hal.
90.
18. 18
badaniah. Seorang pemimpin hendaknya memiliki kesehatan badaniah
yang lebih dari para pengikutnya sehingga memungkinkannya untuk
bertindak dengan cepat.
Uraian di atas, dapat dipahami bahwa kepemimpinan merupakan
hal pokok yang penting di dalam suatu instansi karena kepemimpinan
mempunyai fungsi mengatur manajemen dan ilmu yang terkait dengan
hubungan antara atasan dan bawahan di dalam organisasi dalam kegiatan
pencapaian tujuan organisasi. Pemimpin juga harus mempunyai kelebihan
yaitu kelebihan rasio, kelebihan rohaniah serta kelebihan badaniah.
Pemimpin juga harus mempunyai sifat, kebiasaan, tempramen,
watak dan kepribadian sendiri yang unik dan khas, sehingga tingkah laku
dan gayanyalah yang membedakan dirinya dari orang lain. Faktor-faktor
ini biasanya akan mewarnai perilaku, tipe dan model kepemimpinannya,
sehingga timbul beberapa tipe dan model kepemimpinan. Ada pemimpin
yang cenderung demokratis, otoriter, Laissez Faire (acuh tak acuh tak
mau peduli) dan beberapa model kepemimpinan yang lain.
Yulk menjelaskan bahwa“seorang pemimpin harus mempunyai
pendekatan-pendekatan kepada bawahannya, diantaranya pendekatan ciri,
pendekatan perilaku, pendekatan kekuatan – pengaruh, pendekaan
situasional dan pendekatan integrative”24
. Yulk menjelaskan bahwa pola
kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan situasional, karena pola
kepemimpinan situasional cenderung memahami kematangan dari
bawahannya.
Kepemimpinan merupaka hal pokok dalam pencapaian mutu suatu
organisasi, pemimpin harus dapat menggerakkan, mengarahkan,
membimbing, melindungi, membina, memberi teladan, memberikan
dorongan, memberikan bantuan dan sebagainya. Kepala instansi sebagai
seorang pemimpin tentu harus mampu melakukan hal ini, tentunya dengan
24
kepemimpinan-dalam-organisasi http://setabasri01.blogspot.com/2011/01/.html
19. 19
harus memahami kondisi bawahan baik kemampuan, pendidikan, faktor-
faktor emosional dan terutama kematangannya.
Berdasarkan teori-teori tentang kepemimpinan di atas, sangatlah
jelas bahwa Allah SWT pun dalam Al-quran telah menjelaskan hakikak
manusia. Manusia merupakan pemimpin, ulil amri atau khalifah di muka
bumi, oleh sebab itu manusia harus memiliki kemampuan lebih untuk
mengatur dan mengkoordinasikan hal yang berhubungan dengan dirinya
sendiri ataupun suatu organisasi. Pemimpin merupakan seseorang yang
dipercayakan untuk mengatur orang lain serta bertanggungjawab terhadap
bawahannya. Manusia merupakan pemimpin di muka bumi ini, seperti
yang dijelaskan dalam Hadits Rasulullah SAW :
َّنَأ َرَمُع ِْنب ِ َّاَّلل ِدْبَع َْنع ٍارَنِيد ِْنب ِ َّاَّلل ِدْبَع َْنع ٍِكلاَم َْنع َةَمَلْسَم ُْنب ِ َّاَّلل ُدْبَع اَنَثَّدَحِ َّاَّلل َلُوسَر
ُيرِمَ ْاْلَف ِهِتَّيِعَر َْنع ٌلوُئْسَم ْمُكُّلُكَو ٍاعَر ْمُكُّلُك ََلَأ َلاَق َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّاَّلل ىَّلَصىَلَع ِيذَّلا
َمْال َو ْمُهْنَع ٌلوُئْسَم َوُه َو ِهِتْيَب ِلْهَأ ىَلَع ٍاعَر ُلُجَّالر َو ْمُهْنَع ٌلوُئْسَم َوُه َو ْمِْهيَلَع ٍاعَر ِاسَّنالُةَأْر
ِدِيَس ِلاَم ىَلَع ٍاعَر ُدْبَعْال َو ْمُهْنَع ٌةَلوُئْسَم َيِه َو ِهِدَل َو َو َاهِلْعَب ِتْيَب ىَلَع ٌةَيِعاَرُهْنَع ٌلوُئْسَم َوُه َو ِه
ِهِتَّيِعَر َْنع ٌلوُئْسَم ْمُكُّلُك َو ٍاعَر ْمُكُّلُكَف
Artinya : “Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala
negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang
dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga
yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah
tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan
tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga
yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan
ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian
pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab)
darihal hal yang dipimpinnya. (bukhari, muslim)”
20. 20
Hadits di atas berbicara tentang hakikat kepemimpinana, seorang
pemimpin harus bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya, Pada
dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam,
bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab.
Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin.
Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab,
sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung
jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-
anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang
atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden,
bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya.
Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna
melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak
bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung
jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Kesejahateraan
tersebut dapat diperoleh dengan cara meningkatkan kinerja dan
pengembangan potensi bawahannya.
b. Dimensi Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpinan situasional dikenal juga sebagai
kepemimpinan tidak tetap (fluid) atau kontingensi. Asumsi yang
digunakan dalam gaya ini adalah bahwa tidak ada satu pun gaya
kepemimpinan yang tepat bagi setiap manajer dalam segala kondisi.
Oleh karena itu gaya kepemimpinan situasional akan menerapkan suatu
gaya tertentu berdasarkan pertimbangan atas faktor-faktor seperti
pemimpin, pengikut, dan situasi dalam arti struktur tugas, peta
kekuasaan, dan dinamika kelompok. Wahjosumidjo mengatakan
21. 21
“kepemimpinan situasional adalah sebagai proses antar hubungan atau
interaksi antara pemimpin, bawahan dan situasi”25
.
Uraian teori di atas, dipahami bahwa kepemimpinan situasional
merupakan pola kepemimpinan yang tergantung pada situasi dan
kondisi. Seorang pemimpin harus dapat memahami kondisi
bawahannya, harus dapat memahami dan mengerti kondisi serta situasi
bawahannya. Pemahaman watak serta karekter bawahan merupakan hal
pokok yang harus dipahami oleh seorang pemimpin.
Kepemimpinan situasional merupakan proses dalam
mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau kelompok dalam
usahanya mencapai tujuan di dalam situasi tertentu, jadi berdasarkan
defenisi tersebut bahwa kepemimpinan itu akan terjadi apabila di dalam
situasi tertentu seseorang mempengaruhi perilaku orang lain baik secara
perorangan atau kelompok. Oleh karena itu kepemimpinan sebagai
suatu proses dirumuskan ;
L = F ( l . f . s )
K = f ( p . b . s )
L = Leadership F = Follower
F = Function S = Situation
L = Leader
Kepemimpinan (K), fungsi (f), pemimpin (p), bawahan (b) di dalam
situasi tertentu (s).
Pendapat yang sama dikemukakan oleh George R. Terry dalam
Veithzal Rivai 26
bahwa faktor yang terpenting untuk menentukan jenis
kepemimpinan ialah situasinya, manejer dan bawahan menyesuaikan
25
Ibid., hal .26
26
Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 40.
22. 22
dengan situasi tersebut diikuti pula dengan penyesuaian sikap antara
manejer dan bawahan secara timbal balik. Hersey dan Blanchard dalam
Veithzal Rivai27
mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling
efektif adalah kepemimpinan situasional karena disesuaikan dengan
tingkat kedewasaan atau kematangan (maturity) bawahan. Kepemimpinan
bersumber pada dasar sifat bawahannya, sebagai berikut:
1. [T]ingkat bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin (perilaku
tugas)
2. Tingkat dukungan sosioemosional yang disajikan pemimpin (prilaku
hubungan)
3. Tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam melaksanakan
tugas, fungsi atau tujuan tertentu (kematangan bawahan).
Kepemimpinan yang efektif seperti di atas dapat terlaksana secara
dinamis, karena kemampuan pucuk pimpinan dalam mengambil dan
menetapkan keputusan-keputusan yang selalu dirasakan sebagai
keputusan bersama. Keputusan tersebut merupakan bagian dari kegiatan
pengendalian dalam kepemimpinan. Pengendalian dalam kepemimpinan
bermaksud memelihara norma-norma atau kepribadian atau kode etik
organisasi yang mampu mengatur dan menggerakkan anggota pada
tujuan yang hendak dicapai, namun tetap terarah pada tujuan bersama.
Firman Allah SWT dalam Al-Quran disebutkan bahwa, pemimpin
itu merupakan hal yang sangat penting dan pokok dalam suatu organisasi,
dan apabila terjadi suatu urusan atau permasalahan, maka sebaiknya
diserahkan kepada pemimpin, seperti yang tercantum pada ayat di bawah
ini :
27
Ibid.
23. 23
النساء وسورة :٣٨
Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan
kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul
dan ulil Amri). kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali
sebahagian kecil saja (di antaramu)”.28
Ayat di atas dapat dipahami bahwa, segala urusan dan keputusan
harus disampaikan kepada pemimpin, dan sebagai bawahan harus
menuruti segala keputusan yang dibuat oleh pemimpinnya, agar tidak
terjadi persengketahan dan perselisihan. Pemimpin merupakan orang
yang harus bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang ada dalam
organisasinya.
Menurut Paul Hersey dan Blanchard dalam Veithzal Rivai29
, “ada
hubungan yang jpelas antara level kematangan orang-orang dan atau
kelompok dengan jenis sumber kuasa yang memiliki kemungkinan paling
tinggi untuk menimbulkan kepatuhan pada orang-orang tersebut”.
Kepemimpinan situasional memandang kematangan sebagai kemampuan
dan kemauan orang-orang atau kelompok untuk memikul tanggungjawab
mengarahkan perilaku mereka sendiri dalam situasi tertentu, maka perlu
ditekankan kembali bahwa kematangan merupakan konsep yang
berkaitan dengan tugas tertentu dan bergantung pada hal-hal yang ingin
dicapai pemimpin. Menurut Paul Hersey dan Blanchard juga seorang
pemimpin harus memahami kematangan bawahannya sehingga dia akan
28
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Bandung: Diponogoro, 2007)
hal.118
29
Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 47.
24. 24
tidak salah dalam menerapkan gaya kepemimpinan. Tingkat kematangan
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.Tingkat kematangan M1 (Tidak mampu dan tidak ingin) maka gaya
kepemimpinan yang diterapkan pemimpin untuk memimpin bawahan
seperti ini adalah gaya telling (G1), yaitu dengan memberitahukan,
menunjukkan, mengistruksikan secara spesifik.
2.Tingkat kematangan M2 (tidak mampu tetapi mau), untuk
menghadapi bawahan seperti ini maka gaya yang diterapkan adalah
gaya selling atau coaching, yaitu dengan menjual, menjelaskan,
memperjelas, membujuk.
3.Tingkat kematangan M3 (mampu tetapi tidak mau atau ragu-ragu)
maka gaya pemimpin yang tepat untuk bawahan seperti ini adalah
gaya partisipatif, yaitu saling bertukar Ide dan memberi kesempatan
untuk mengambil keputusan.
4.Tingkat kematangan M4 (Mampu dan Mau) maka gaya
kepemimpinan yang tepat adalah delegating, mendelegasikan tugas
dan wewenang dengan menerapkan sistem control yang baik.
Lebih lanjut Hersey dan Blanchard dalam Verithzal30
mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif adalah
kepemimpinan situasional yang disesuaikan dengan tingkat kedewasaan
atau kematangan (maturity) bawahan. Hubungan antara tingkat
kematangan bawahan dengan model kepemimpinan yang efektif dapat
dilihat dari gambar di bawah ini:
30
Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 46.
25. 25
Gambar 1
Model Kepemimpinan (Situasional)
S3 S2
PARTISIPATIF
(PARTISIPATION)
KONSULTATIF
(SELLING)
S4 S1
DELEGATIF
(DELEGATING)
DIREKTIF
(TELLING)
Kematangan bawahan (maturity)
R3 R2
Tinggi dukungan dan
mudah pengarahan
(mau tapi tak mau)
Tinggi pengarahan dan
tinggi dukungan
(tidak mampu tetapi mau)
R4 R1
Rendah dukungan dan
rendah pengarahan
(mampu dan mau)
Tinggi pengarahan dan
rendah dukungan
(tidak mau dan tidak mampu)
R = Tingkat kematangan, S = Model Situasional Kepemimpinan
Penjelasan teori di atas dipahami bahwa kepemimpinan situasional
merupakan bentuk kepemimpinan yang ideal, yang menempatkan
26. 26
tingkatan kematangan seseorang dalam proses keorganisasian. Seorang
pemimpin harus dapat menetahui tingkat kematangan, sifat serta karakter
bawahannya. Pemberian tugas dan wewenang diberikan berdasarkan
tingkat kematangan bawahannya.
Gambar di atas merupakan empat tipe dasar kepemimpinan sebagai
bentuk-bentuk proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Kepemimpinan situasional mempunyai empat tipe, yaitu direktif,
konsultatif, partisipatif dan delegatif. Lebih lanjut gambar tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Tipe Direktif
Tipe ini ditandai dengan adanya komunikasi satu arah. Pimpinan
membatasi peranan bawahan dan menunjukkan kepada bawahan: apa,
kapan, dimana dan bagaimana sesuatu tugas harus dilaksanakan.
Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan semata-mata menjadi
tanggung jawab pemimpin, yang kemudian disampaikan kepada
bawahan. Pelaksanaan pekerjaan diawasi dengan ketat. Tipe ini dapat
disamakan pula dengan tipe telling.
2. Tipe Konsultatif
Pemimpin ini masih memberikan direktif yang cukup besar serta
menetapkan keputusan-keputusan.Bedanya dengan tipe kreatif, dalam
tipe konsultatif mempergunakan komunikasi dua arah dan memberikan
suportif terhadap bawahan. Pemimpin mau mendengarkan keluhan dan
perasaan bawahan mengenai keputusan yang diambil.
Sementara bantuan terhadap bawahan ditingkatkan, pelaksanaan
atas pelaksanaan keputusan tetap ada pada pemimpin. Tipe ini dapat
disebut selling. Jika menghadapi staf yang memiliki kemampuan
kurang baik, tetapi memiliki motivasi kerja baik, maka gaya
kepemimpinan konsultatif paling efektif. Artinya, pemimpin banyak
27. 27
memberikan bimbingan sehingga kemampuan staf secara bertahap
meningkat.
3. Tipe Partisipatif
Kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
antara pemimpin dan bawahan dalam keadaan seimbang. Pemimpin
dan bawahan sama-sama terlibat dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan. Komunikasi dua arah makin meningkat.
Pemimpin akan mendengarkan secara intensif terhadap bawahannya.
Keikutsertaan bawahan dalam memecahkan masalah dan pengambilan
keputusan makin bertambah, sebab pemimpin berpendapat bahwa
bawahan memiliki kecakapan dan pengetahuan yang cukup untuk
penyelesaian tugas. Jika menghadapi staf yang memiliki kemampuan
kerja yang baik, tetapi motivasi kerjanya kurang, maka gaya
kepemimpinan partisipatif paling efektif. Artinya, pemimpin
berpartisipasi aktif dalam mendorong staf untuk menggunakan
kemampuannya secara optimal.
4. Tipe Delegatif
Pemimpin mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi
dengan bawahan, dan selanjutnya mendelegasikan pengambilan
keputusan seluruhnya kepada bawahan. Selanjutnya hak bawahan
untuk menentukan langkah-langkah bagaimana keputusan
dilaksanakan. Bawahan diberikan wewenang untuk menyelesaikan
tugas-tugas sesuai dengan keputusannya sendiri. Sebab mereka
dianggap telah memiliki kecakapan dan dipercaya untuk memikul
tanggung jawab untuk mengerahkan dan mengelolanya sendiri. Jika
menghadapi staf yang memiliki kemampuan baik dan motivasi kerja
juga baik, maka gaya kepemimpinan delegatif paling efektif. Artinya,
28. 28
pimpinan lebih banyak memberikan dukungan dan mendelegasikan
tugas dan wewenang kepada staf.
Pemimpin akan menjadi handal karena dilatih. Artinya untuk
menjadi pemimpin yang baik haruslah mengalami tantangan dalam
menerapkan gaya kepemimpinan. Pemimpin tidak akan pernah ada
tanpa bawahan dan bawahan juga tidak akan ada tanpa pemimpin.
Kedua komponen dalam organisasi ini merupakan sinergi dalam
perusahaan dalam rangka mencapai tujuan. Paul Hersey dan Ken
Blanchard telah mencoba melepar idenya tentang kepemimpinan
situasional yang sangat praktis untuk diterapkan oleh pemimpin apa
saja. Lebih rinci Hersey dan Blanchard yang dikutip Rivai31
mengelompokan keempat kepemimpinan situasional tersebut yaitu :
Tipe Direktif
(Telling)
Tipe Konsultatif
(Selling)
Tipe
Partisipatif
Tipe Delegatif
Menitikberatkan
komunikasi satu
arah
Komunikasi dua
arah
Pengambilan
keputusan
dilakukan secara
bersama-sama
Pemimpin
bersifat
demokratis
Membatasi peran
bawahan
Mau mendengan
pendapat atau
keluhan bawahan
Komunikasi dua
arah
Mau
mendelegasikan
pengambilan
keputusan
kepada
bawahan
Cenderung
member perintah
Pemimpin lebih
memperhatikan
bawahan
31
Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003) , hal. 40
29. 29
Keputusan
tanggung jawab
pimpinan
Tidak
menyepelekan
kemampuan
bawahan
Uraian di atas dipahami bahwa kepemimpinan situasional adalah
proses kegiatan memimpin yang mempengaruhi bawahannya agar
meningkatkan kualitas kinerja, pada situasi tertentu. Kepemimpinan
situasional merupakan pola kepemimpianan yang ideal, yang terletak
pada kematangan pimpinannya. Ada empat tipe kepemimpinan
situasional dalam penelitian ini akan dijadikan dimensi dan penjabaran
indikator, yaitu direktif, konsultatif, partisipatif, dan delegatif.32
2. Budaya organisasi (X2)
a. Pengertian Budaya
Sebelum membicarakan tentang definisi budaya organisasi,
penliti terlebih dahulu menjelaskan tentang definis dari budaya itu
sendiri. Menurut Koentjaraningrat dalam Taufiq Rohman33
, [i]stilah
budaya berasal dari kata bahasa Latin colere yang berarti mengolah,
mengerjakan terutama mengolah tanah atau bertani, kemudian dalam
bahasa Inggris disebut culture. Koentjaraningrat dalam Verithzal34
memecahnya ke dalam tujuh unsur, yakni sistem religi dan upacara
keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,
bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi
dan peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara
keseluruhan.
32
Berdasarkan teori Paul Hersey
33
Taufiq Rohman, Antropologi (Jakarta,:Yudistira, 2006), hal. 45.
34
Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 39.
30. 30
Uraian di atas dipahami bahwa budaya merupakan suatu tradisi,
adat dan kebiasaan yang ada pada suatu kelompok yang terdiri dari
sistem pengetahuan, sistem religi ataupun sistem teknologi yang ada
dalam masyarakat. Budaya merupaka cirri khas yang ada pada suatu
daerah atau tempat yang membedakan antara daerah yang satu dengan
daerah yang lain atau tradisi yang satu dengan tradisi yang lainnya.
Budaya juga merupaka suatu perekat atau motivasi yang dapat
memperkuat atau memperkokoh organisasi tersebut.
Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu
Ndraha35
budaya adalah : “The set of important assumption (often
unstated) that members of community share in common”.“Budaya
merupakan asumsi penting yang mengikat anggotanya agar tercipta
tujuan yang akan dicapai”.
Uraian di atas dipahami bahwa budaya adalah tradisi, adat dan
kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi ciri khas
seseorang yang hidup dalam lingkungan kemasyarakatan. Suatu budaya
merupakan cirri khas yang menjadi unsur utama dan penguat dari
budaya pada organisasi tersebut.
Hofstede dalam Robins36
budaya merupakan berbagai interaksi
dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok-kelompok orang
dalam lingkungannya. Menurut Beach Kebudayaan merupakan inti dari
apa yang penting dalam organisasi, seperti aktivitas memberi perintah
dan larangan serta menggambarkan sesuatu yang dilakukan dan tidak
dilakukan yang mengatur perilaku anggota. Sangat jelas bahwa budaya
mengandung apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan
35
Talizuduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT. Riake Cipta, 1997), hal. 40.
36
Stephen, P. Robins, Perilaku Organisasi Konsep controversies and Aplication
(Neeyork: Prentice Hall International, 1989), hal. 14.
31. 31
sehingga dapat dikatakan sebagai suatu pedoman yang dipakai untuk
menjalankan aktivitas organisasi.
Pengertian teori di atas dijelaskan bahwa budaya merupakan
seperangkat adat, tradisi, norma-norma ataupun kebiasaan yang ada
pasa seseorang ataupun sekelompok orang yang hidup secara bersa-
sama, dalam mencapai tujuan tertentu. Semakin kuat budaya yang ada
dalam suatu tempat akan dapat meningkatkan potensi yang ada dalam
suatu tempat atau organisasi, oleh sebab itu merupakan hal yang
penting dan utama menjadikan budaya sebagai acuan dasar motivasi
untuk berkreatifitas.
Budaya secara individu berkorelasi dengan kepribadian,
sehingga budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika
berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap
pekerjaanya. Didalamnya ada sikap reaktif seorang pendidik terhadap
perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi kampus sebagaimana
yang terjadi, dimana dengan adanya komersialisasi kampus bisakah
berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis penididik dalam
sehari-harinya.
Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas
yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain
ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi
yang lain, seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang
dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional
dengan seorang amatiran. Ciri khas ini bisa diambil dari hasil
internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil
adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga
dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih
relatif dan bersifat abstrak.
32. 32
Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Soerjono
Soekanto dalam Verithzal 37
”budaya sebagai sebuah sistem nilai yang
dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi
abstrak tentang baik dan buruk atau secara institusi nilai yang dianut
oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui
reinventing maupun re-organizing“. Budaya juga berfungsi sebagai
mekanisme dalam beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi,
baik di dalam maupun di luar organisasi.
Penjabaran teori di atas dipahami bahwa budaya merupakan
seperangkat nilai-nilai yang bersifat positif ataupun negatif yang dapat
mempengaruhi kebiasaan dan perilaku seseorang. Apabila terdapat
budaya positif dalam suatu keorganisasian,maka akan menghasilkan
dampak yang positif juga, demikian sebaliknya, apabila terdapat budaya
yang negatif, maka akan menghasilkan dampak yang negatif juga.
Edgar H. Schein bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai
berikut :
“[A] pattern of share basic assumption that the group learner as it
solved its problems of external adaptation anda internal
integration, that has worked well enough to be considered valid
and therefore, to be taught to new members as the correct way to
perceive, think and feel in relation to these problems”. 38
“Seperangkat asumsi dasar dari anggota sebagai pemecahan
permasalahan berupa adaptasi eksternal dan integritas internal,
yang dilakukan oleh anggota pekerjanya, sebagai cara yang benar
untuk memahami, berpikir dan merasa dalam kaitannya dengan
masalah yang ada dalam suatu organisasi”
Secara lengkap uraian di atas, dipahami bahwa budaya bisa
merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi
dasar sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh
anggotanya, dapat berupa prilaku langsung apabila menghadapi
37
Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 43.
38
Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadershif (San Fransisco, 2007), hal.53.
33. 33
permasalahan maupun berupa karakter khas yang merupakan sebuah
organisasi, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan
pimpinan dalam pola komunikasi dengan lingkungannya internal dan
eksternal belajar. Budaya organisasi berfungsi sebagai penghubung
adaptasi eksternal dan integritas internal yang ada dalam suatu
organisasi.
Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya
baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi
yang dimanefestasikan oleh anggotanya, seperti contoh kecil, seorang
pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam
pencitraan kampus jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan
dengan mahasiswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di
masyarakat sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil
melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari
organisasi sejenis yang berpengaruh dalam dunia pendidikan. Sebuah
nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah
asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan
sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat
yang bisa saling mempengaruhi.
McKenna dan Beech dalam Talizuduhu Ndraha 39
berpendapat
bahwa budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi
organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi
yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian,
karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan. Talizuduhu
Ndraha mengungkapkan“budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai
budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin
39
Talizuduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT. Riake Cipta, 1997), hal. 43.
34. 34
jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap
lingkungan dan prilaku manusia“40
.
Teori di atas dipahami bahwa budaya yang kuat akan
mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya
dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan
berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya
baik didalam organisasi maupun diluar organisasi. Uraian di atas juga
dipahami bahwa budaya merupakan tradisi yang melekat pada
sekumpulan orang dalam lingkungan sekitar.
Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang
terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah teradopsi dari
masukan internal anggota organisasi lainnya, begitu juga budaya
sebagai sebuah asumsi dasar dalam pembentukan karakter individu baik
dalam beradaptasi keluar maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih
luas. Budaya merupakan cerminan dasar untuk melihat seperangkat
komponen yang ada dalam suatu instansi.
Penjelasan teori-teori tentang budaya di atas sangat jelas bahwa
budaya merupakan tradisi, adat dan kebiasaan yang ada dalam suatu
organisasi. Suatu organisasi tidak berlepas dari budayanya. Lingkungan
organisasi itu sendiri mendukung terhadap pencitraan diluar organisasi,
sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap
maju mundurnya sebuah organisasi. Seorang professional yang
berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam
organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya. Budaya
organisasi dalam suatu instansi merupakan alat untuk mempersatukan
setiap invidu yang melakukan aktivitas secara bersama-sama.
40
Talizuduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT. Riake Cipta, 1997), hal. 43.
35. 35
b. Dimensi Budaya organisasi
Pemakaian istilah corporate culture biasa diganti dengan istilah
organization culture. Kedua istilah ini memiliki pengertian yang
sama.Karena itu dalam penelitian ini kedua istilah tersebut digunakan
secara bersama-sama,dan keduanya memiliki satu pengertian yang
sama. Beberapa definisi budaya organisasi dikemukakan oleh para ahli.
Moeljono Djokosantoso dalam Talizuduhu 41
“bahwa budaya
korporat atau budaya manajemen atau juga dikenal dengan istilah
budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebar luaskan
didalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan”. Susanto
memberikan definisi budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang menjadi
pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan
eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan
sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai
yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.
Uraian di atas dipahami bahwa budaya organisasi merupakan
nilai-nilai, kebiasaan yang dilakukan oleh organisasi baik dalam interen
maupun eksteren, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh
organisasi tersebut dan sebagai acuan untuk bertindak dan berprilaku.
Budaya organisasi merupakan sarana dan prasarana pemicu lahirnya
etos kerja serta semangat untuk menciptakan hasil kerja yang tinggi.
Mangkunegara dalam Khaerul Umam42
”budaya organisasi
adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma
yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah
laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi
eksternal dan integrasi internal”. Sedangkan menurut Tosi, Rizzo,
Carrol yang dikuti Munandar dalam Khaerul Umam43
, budaya
41
Talizuduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT. Riake Cipta, 1997), hal. 43.
42
Khaerul Umam, Perilaku Organisasi (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal 185
43
Ibid.,190.
36. 36
organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi
berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada
pada bagian-bagian organisasi.
Teori di atas dipahami bahwa budaya organisasi adalah
seperangkat asumsi yang terdapat dalam suatu organisasi yang berfungsi
sebagai perekat, adaptasi serta intergasi internal dalam suatu organisasi,
guna terciptanya tujuan tertentu. Budaya yang kuat akan menghasilkan
output yang berkualitas, begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu, sangat
penting untuk menciptkan budaya organisasi yang dinamis, agar dapat
tercapai tujuan yang diinginkan dalam suatu organisasi.
Kreitner dan Kinicki dalam Mulyasa44
“budaya orgainsasi
adalah perekat sosial yang mengingat anggota dari organisasi.
Nampaknya agar suatu karakteristik atau kepribadian yang berbeda-
beda antara orang yang satu dengan orang yang lain dapat disatukan
dalam suatu kekuatan organisasi maka perlu adanya perekat sosial”.
Budaya organisasi juga berfungsi sebagai mekanisme dalam beradaptasi
dengan berbagai perubahan yang terjadi, baik di dalam maupun di luar
organisasi.
Pendapat di atas dipahami bahwa budaya organisasi
merupakan pondasi awal yang merupakan perekat dan pembeda antara
organisasi yang satu dengan organisasi yang lainnya. Budaya organisasi
juga merupakan perekat untuk mempersatukan sifat dan karekteristik
yang berbeda-beda pada setiap anggotanya, agar tercipta budaya yang
kuat dan dapat meningkatkan kualitas kerja anggotanya.
Menurut Vijay Sathe seorang pakar psikologi dan filsafat
organisasi dalam Robins45
: “Budaya organisasi adalah seperangkat
44
Mulyasa, E, Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS
dan KBK (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), hal. 23.
45
Stephen, P. Robins, Perilaku Organisasi Konsep controversies and Aplication
(Neeyork: Prentice Hall International, 1989), hal. 13.
37. 37
asumsi penting yang dimiliki bersama anggota masyarakat”. Budaya
organisasi merupakan pokok penyelesaian maslah-masalah eksternal
dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsistenoleh suatu
kelompok dan diwariskan kepada anggota-anggota yang lainnya.
Penjelasan-penjelasan tentang teori budaya organisasi di atas,
dipahami bahwa budaya organisasi adalah adalah sistem nilai, adat,
kebiasaan yang dapat diterapkan dan dikembangkan secara terus
menerus, serta berfungsi sebagai perekat hubungan dan motivator guna
peningkatan kinerja dalam suatu organisasi. Budaya organisasi
mengacu pada suatu sistem makna bersama, dianut oleh anggota-
anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi
lainnya.
Edgar H. Schein dalam bukunya “Organizational Culture and
Leadershif46
” mangartikan budaya organisasi lebih luas sebagai suatu
pola asumsi dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh
sekelompok orang sebagai pengalaman memecahkan permasalahan,
penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun integrasi intern yang
berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada
para anggota baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun
perasaan yang tepat dalam mengahdapi problema organisasi tersebut.
Budaya organisasi merupakan pokok penyelesaian masalah-masalah
eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten
oleh suatu kelompok.
Berdasarkan penjelasan teori di atas, budaya organisasi adalah
seperangkat asumsi dasar, kebiasaan dan tradisi yang ada pada suatu
instansi atau porganisasi yang menjadi pembeda dengan organisasi
lainnya, yang berfungsi sebagai sarana untuk pemacahan masalah
interen dalam suatu organisasi. Budaya organisasi juga merupakan
46
Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadershif (San Fransisco, 2007), hal.60.
38. 38
seperangkat nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar yang
merupakan landasan bagi sistem organisasi.
Robbins47
. mendefinisikan budaya organisasi (organizational
culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-
anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang
lain. Lebih lanjut, Robbins menyatakan bahwa sebuah sistem
pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi
pembeda dengan organisasi lain. Budaya organisasi merupakan wadah
atau kemampuan sekumpulan orang bersatu, mengikat diri dalam usaha
memenuhi kebutuhannya, dimana budaya organisasi merupakan alat
pengikat dan pembeda antara organisasi yang lain.
Berdasarkan pemaparan tentang budaya organisasi di atas, bahwa
budaya organisasi adalah seperangkat pendapat atau sistem keyakinan,
nilai-nilai dan norma-norma yang dikembangkan dalam organisasi yang
dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk
mengatasi masalah yang dihadapi dalam suatui instansi. Budaya setiap
organisasi merupakan identitas, yang menjadi sumber inspirasi,
kebanggaan, dan sumber daya anggota organisasinya. Budaya organisasi
juga merupakan kekuatan penggerak yang mampu membangkitkan
semangat juang untuk memerdekakan dan memajukan sumber daya
organisasi.
Amnuai membatasi pengertian budaya organisasi sebagai pola
asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota sebuah organisasi
dari hasil proses belajar adaptasi terhadap permasalahan ekternal dan
integrasi permasalahan internal. Budaya organisasi merupakan
pengaturan personalia, guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan
47
Stephen, P. Robins, Perilaku Organisasi Konsep controversies and Aplication
(Neeyork: Prentice Hall International, 1989), hal. 14.
39. 39
yang telah ditetapkan melalui pembagian fungsi serta tanggungjawab
anggotanya.
Uraian teori di atas dipahami bahwa budaya organisasi merupak
alat yang berfungsi sebagai pemecahan permasalahan yang ada dalam
suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal. Budaya
organisasi merupakan motivator, perekat hubungan serta pemecahan
permasalahan baik secara interal maupun secara ekternal. Sangat jelas
sekali bahwa budaya organisasi mempunyai peranan yang penting
dalam sistem keoorganisasian guna pencapaian tujuan organisasi
tersebut.
Budaya secara umum mempunyai berbagai peran sebagaimana
dikemukakan oleh Dressler and Carns:
a. [C]ulture enable us to communicate with others through a
language that we have learned and that we share in common;
b. Culture make its possible to anticipate how other in our society are
likely to respond to our actions;
c. Cultur e g i v e s us s t and a r d f o r distinguishing between
what is concidered right or wrong, beautiful and ugly,
reasonable and unreasonable, tragic and humorous, safe and
dangerous;
d. Culture provides the knowledge and skill necessasry for meeting
sustenance needs48
.
a. [B]udaya memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang
lain melalui bahasa yang telah kita pelajari dan bahwa kita berbagi
kesamaan.
b. Budaya memungkinkan untuk mengantisipasi bagaimana lain di
masyarakat kita adalah cenderung untuk menanggapi tindakan kita.
c. untuk membedakan antara apa yang benar atau salah indah dan jelek,
wajar dan tidak masuk akal, tragis dan lucu, aman dan berbahaya;
d. Budaya memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk memenuhi
kebutuhan”.
48
kepemimpinan-dalam organisasihttp://setabasri01.blogspot.com/2011/01/.html
40. 40
Uraian teori di atas dipahami bahwa budaya organisasi
merupakan sistem nilai yakini dan dapat dipelajari, dapat diterapkan serta
dikembangkan secara terus menerus. Budaya yang kuat akan mendukung
terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya. Budaya
organisasi merupakan pemicu bagi anggota organisasi untuk berkarya
dan berkreatifitas.
Barney dalam Veithzal Rivai 49
, Kepemimpina dan Perilaku
Organisasi, nilai-nilai yang dianut bersama membuat karyawan merasa
nyaman bekerja, memiliki komitmen dan kesetiaan serta membuat
karyawan berusaha lebih keras, meningkatkan kinerja dan kepuasaaan
kerja karyawan sehingga karyawan berusaha lebih keras, meningkatkan
kinerja dan kepuasan kerja karyawan serta mempertahankan keunggulan
kompetitif. Nilai-nilai tersebutlah yang dijadikan acuan dan pembeda
dengan organisasi lainnya.
Berdasarkan penjelasan teori di atas, dapat dipahami bahwa
budaya organisasi adalah suatu pola kebiasaan, tradisi yang berupa
norma-norma yang ada dalam suatu instansi atau organisasi, yang
berfungsi sebagai pembeda antara organisasi lain, perekat hubungan,
motivator untuk meningkatkan prestasi kerja dan pencapaian tujuan
organisasi tersebut. Budaya organisasi merupakan cirri khas yang ada
dalam suatu organisasi, dimana budaya tersebut dapat menjadi motivator
dan pemicu peningkatan kinerja pegawai dalam suatu organisasi.
Budaya organisasi dapat membantu kinerja karyawan, karena
menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa bagi karyawan untuk
memberikan kemampuan terbaiknya dalam memanfaatkan kesempatan
yang diberikan oleh organisasinya, untuk mewujudkan budaya organisasi
yang cocok diterapkan pada sebuah organisasi, maka diperlukan adanya
49
Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003) hal. 56.
41. 41
dukungan dan partisipasi dari semua anggota yang ada dalam lingkup
organisasi tersebut. Semakin baik budaya organisasi yang ada dalam
suatu instansi, maka semakin baik juga mutu yang dihasilkan oleh
organisasi atau instansi tersebut.
Para karyawan membentuk persepsi keseluruhan berdasarkan
karakteristik budaya organisasi yang antara lain meliputi inovasi,
kemantapan, kepedulian, orientasi hasil, perilaku pemimpin, orientasi
tim, karakteristik tersebut terdapat dalam sebuah organisasi atau
perusahaan mereka. Persepsi karyawan mengenai kenyataan terhadap
budaya organisasinya menjadi dasar karyawan berperilaku. Dari persepsi
tersebut memunculkan suatu tanggapan berupa dukungan pada
karakrteristik organisasi yang selanjutnya mempengaruhi kinerja
karyawan.
Mengetahui seberapa baik kinerja karyawan apakah telah sesuai
dengan budaya organisasi maka perlu diadakan penilaian kinerja. Tujuan
dari program penilaian kinerja yaitu mendorong atau menolong para
supervisor untuk mengamati bawahannya secara lebih dekat untuk
melakukan pekerjaan secara lebih baik. Memotivasi para karyawan
dengan memberikan umpan balik tentang bagaimana cara mereka
bekerja. Memberikan dukungan untuk pembuatan keputusan bagi
pimpinan yang berhubungan dengan peningkatan, pemindahan dan
pemecahan.
Menurut Schein “kegagalan yang paling mencolok dari sistem
penilaian kinerja adalah karena sistem yang sangat sederhana tidak
mengakui realitas pekerjaan dan budaya organisasi, seharusnya penilaian
kinerja dikaitkan dengan budaya organisasi sehingga dapat digunakan
sebagai alat untuk mengungkapkan seberapa baik karyawan berkinerja
sesuai dengan budaya organisasi”50
. Untuk mengantisipasi kegagalan
50
Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadershif (San Fransisco, 2007), hal.49.
42. 42
tersebut perlu adanya evaluasi yang dilakukan secara terus menerus dan
berkesinambungan.
Sistem penilaian kinerja dapat membantu menemukan dan
merumuskan aspek-aspek penting dari budaya dengan spesifikasi perilaku
dan kompetensi yang dieprhikan untuk menyumbang keberhasilan
organisasi, unit, kelompok, atau posisi. Jadi, sistem penilaian yang baik
seharusnya digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan, mempengaruhi
dan memperkuat budaya organisasi.
Ada tiga tingkatan dalam menganalisis budaya organisasi, yaitu:
1. Budaya organisasi yang tampak (observable culture)
2. Nilai-nilai yang dikontribusikan (shared values), dan
3. Asumsi-asumsi umum,
Robbin51
menjelaskan beberapa karakteristik yang dalam budaya
organisasi, antara lain :
1. Inovasi
Mengerjakan tugas-tugas, organisasi lebih berorientasi pada
pola pendekatan ”pakai tradisi yang ada” dan memakai metode-
metode yang teruji atau pemberian keleluasaan kepada anggotanya
untuk menerapakan cara-cara baru melalui eksperimen.
2. Inisiatif individu
Inisiatif individu meliputi tanggung jawab, kebebasan, dan
independensi dari masing-masing anggota organisasi, yaitu
kewenangan dalam menjalankan tugas dan seberapa besar kebebasan
dalam mengambil keputusan.
3. Toleransi terhadap resiko
Budaya organisasi manusia didorong untuk lebih agresif,
inovatif, dan mampu dalam menghadapi resiko di dalam
pekerjaannya.
51
Stephen, P. Robins, Perilaku Organisasi Konsep controversies and Aplication,
(Neeyork: Prentice Hall International, 1989), hal. 21
43. 43
4. Sistem penghargaan
Sistem penghargaan berbicara tentang alokasi “reward”
(biasanya dikaitkan dengan kenaikan gaji dan promosi) sesuai
kinerja pegawai.
Sedangkan Schien52
membagi budaya organisasi kedalam beberapa
indikator, yang dalam hal ini akan dijadikan indikator dalam penelitian ini,
antara lain :
a. Aspek kualitatif (basic), yang meliputi proses kerja dan kualitas kerja
b. Aspek kuantitatif (shared), yang meliputi penyelesaian pekerjaan dan
ketepatan kerja
c. Aspek komponen (assumption dan beliefs), yang terdiri dari kompomen
rasa kepercayaan di antara sesama anggota organisasi.
d. Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation), yang meliputi
kemampuan pegawai menyesuaikan diri dengan lingkungan luar dan
kemampuan merespon pola hubungan kerjasama dari luar.
e. Aspek Integrasi internal (internal integration) sebagai proses penyatuan
budaya melalui asimilasi dari budaya organisasi yang masuk dan
berpengaruh terhadap karakter anggota.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan budaya organisasi dalam penelitian ini adalah sistem
nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi yang kemudian
mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku yang dapat membedakan
anggota organisasi lain melalui proses belajar, penyelesaian kerja,
adaptasi terhadap permasalahan eksternal dan integrasi internal.
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan dimensi dan
pengembangan indikator budaya organisasi yaitu kualitatif, kuantutatif,
komponen, adaptasi ekternal dan itegritas internal.53
52
Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadershif (San Fransisco, 2007),hal.16.
53
Berdasarkan penjabaran teori Scein
44. 44
3. Kinerja Pegawai (Variabel Y)
a. Pengertian Kinerja Pegawai
Sebelum peneliti menjelaskan tentang kinerja pegawai, peneliti
akan menjelaskan terlebih dahulu defenisi dari kinerja terlebih dahulu.
Istilah kinerja berasal dari job performance atau actual performance
(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang di capai oleh
seseorang). Kinerja berhubungan dengan prestasi yang ada dalam
organisasi tersebut. Kinerja oemurapak hasil akhir yang harus dilakukan
oleh pegawai.
Kinerja pegawai merupakan aspek yang penting dalam
manajemen sumber daya manusia beberapa pengertian yang
dikemukakan adalah sebagai berikut: Sedarmayanti menyatakan bahwa
kinerja merupakan sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahui
apakah seorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya secara
keseluruhan, atau merupakan perpaduan dari hasil kerja (apa yang harus
dicapai seseorang) dan kompetensi (bagaimana seseorang mencapainya).
Kinerja berhubungan dengan pencapaian hasil kerja yang dilakukan oleh
karyawan dalam suatu organisasi.
Pendapat teori di atas dipahami bahwa kinerja pegawai adalah
sistem penilaian akhir yang dilakukan oleh atasan kepada bawahannya
untuk melihat pencapaian hasil yang diperoleh oleh bawahannya.
Seorang pimpinana harus dapat menilai kinerja bawahannya,
mengevaluasi kinerja bawahannya agar dapat memberikan masukan
guna pencapaian hasil dan tujuan yang diinginkan oleh organisasi.
Kinerja pegawai menurut Suyadi dalam Mangkunegara54
hasil
kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok pegawai dalam
54
Anwar Prabu Mangkunegara, Evaluasi Kinerja SDM (Refika Aditama: Bandung
2010),hal.61.
45. 45
suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-
masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan
secara legal, tidak melanggar hukum, dan sesuai dengan moral dan
etika. Menurut Mathis ”kinerja seseorang pada dasarnya adalah apa yang
dilakukan atau tidak dilakukan seseorang ataupun karyawan”55
.
Berdasarkan penjelasan teori di atas, dapat dipahami bahwa
kinerja pegawai merupakan hasil prestasi yang diperoleh karyawan
dalam suatu instansi atau perusahaan yang merupakan cerminan tingkat
kekuatan etos kerja yang dimiliki oleh seorang karyawan. Semakin
tinggi kinerja yang dihasilkan oleh karyawannya, maka akan semakin
maju lah suatu organisasi tersebut.
Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi
kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah
ditentukan. Kinerja merupakan perwujudan kerja yang dilakukan oleh
karyawan yang biasanya dipakai sebagai dasar penilaian terhadap
karyawan atau organisasi, oleh karena itu kinerja merupakan sarana
penentu dalam mencapai tujuan perusahaan, sehingga perlu diupayakan
untuk meningkatkan kinerja karyawan, agar tercapai tujuan perusahaan
secara optimal. Rao mengemukakan bahwa karyawan harus dibantu
untuk mengerti tentang peranannya, mengenali peluang untuk
mengambil resiko, mengadakan percobaan-percobaan dan tumbuh dalam
peranannya, mengerti kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan diri
sendiri dalam menjalankan berbagai fungsi dalam peranannya tersebut.
Simanjuntak dalam Mangkunegara56
”kinerja adalah tingkat
pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu dalam hal ini mencakup
kinerja individu, kinerja kelompok, kinerja perusahaan yang dipengaruhi
55
Robert L. Mathis dan John H, Jackson, manajemen sumber daya manusia (Jakarta:
Salemba Empat, 2002), hal. 78.
56
Anwar Prabu Mangkunegara, Evaluasi Kinerja SDM (Refika Aditama: Bandung
2010),hal.67.
46. 46
faktor intern dan ekstern”. Kinerja merupakan kewajiban yang harus
diberikan oleh karyawan dalam suatu organisasi, guna untuk mengetahui
tingkatan kemampuan yang ada pada anggotanya.
Uraian teori di atas dipahami bahwa kinerja pegawai adalah
tingkat pencapaian hasil terhadap tugas yang dilakukan oleh seorang
karyawan yang dipengaruhi oleh faktor interen maupun ekteren. Kinerja
pegawai merupakan hasil prestasi yang dicapai oleh anggota intansi dan
waktu tertentu. Kinerja pegawai dapat dilihat dari kualitas serta kuantitas
waktu yang dilakukan oleh anggota organisasi.
Furtwengler dalam Mathis57
[k]inerja dilihat dari hal kecepatan,
kualitas, layanan dan nilai maksudnya kecepatan dalam proses kerja
yang memiliki kualitas yang terandalkan dan layanan yang baik dan
memiliki nilai merupakan hal yang dilihat dari tercapainya kinerja atau
tidak. Selanjutnya Agus Dharma 58
menyatakan bahwa [p]enilaian
kinerja didasarkan pada pemahaman, pengetahuan, keahlian, kepiawaian
dan prilaku yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan
dengan baik dan analisis tentang atribut perilaku seseorang sesuai
kriteria yang ditentukan untuk masing-masing pekerjaan.
Uraian di atas dipahami bahwa kinerja merupakan hasil akhir dari
prestasi kerja yang dilakukan oleh bawahan dalam suatu instansi, yang
meliputi kualitas dan kuantitas kerja yang ada pada diri pegawai. Kinerja
merupakan semua tindakan dan perilaku yang dikontrol oleh individu
dan memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan-tujuan dari
organisasi.
Menurut Mahsun, kinerja adalah gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program, kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang tertuang
57
Robert L. Mathis dan John H, Jackson, manajemen sumber daya manusia (Jakarta:
Salemba Empat, 2002), hal. 77.
58
Agus Dharma, Manajemen Prestasi Kerja (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 46
47. 47
dalam strategi perencanaan (planning) suatu organisasi. Kinerja
merupakan hasil yang dicapi oleh individu sesuai dengan peran dan
tugasnya dalam waktu yang telah ditentukan yang berhubungan dengan
nilai atau standar tertentu dari organisasi.
Uraian di atas dipahami bahwa kinerja pegawai adalah gambaran
hasil pelaksanaan dan ketercapaian dari tujuan serta visi dan misi yang
ada dalam organisasi tersebut. Kinerja merupakan hasil prestasi
pencapaian individu dalam suatu orgnisasi, yang didasarkan pada
kemampuan serta profesionalisme kerja pada instansi ataupun organisasi
tertentu.
Sedangkan menurut Robertson dalam Khaerul Umam59
pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan
terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya termasuk
informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan
barang dan jasa, kualitas barang dan jasa, hasil kegiatan dibandingkan
dengan maksud yang diinginkan. Kinerja menunjukan pencapaian target
kerja yang berkaitan dengan kualitas serta kuantitas pekerjaan.
Berdasarkan pemaparan teori di atas, disimpulkan secara
keseluruhan bahwa kinerja merupakan kemampuan, hasil dari jerih
payah, prestasi yang dimiliki oleh seorang pegawai, dalam suatu instansi
atau organisasi, yang akan menjadi acuan penilaian kinerja bagi
pimpinannya. Kinerja mengacu pada hasil-hasil yang diperoleh dari
tugas substantif yang membedakan antara individu yang satu dengan
individu yang lainnya.
Rivai mengatakan bahwa kinerja merupakan perilaku nyata yang
ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh
karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan60
. Kinerja menurut
59
Khaerul Umam, Perilaku Organisasi (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) ,hal 189
60
Mulyasa, E, Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS
dan KBK (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), hal. 23.
48. 48
Kane yang dikutip dalam buku Perilaku Organisasi dapat diartikan
adalah catatan mengenai akibat-akibat yang dihasilkan pada sebuah
fungsi pekerjaan atau aktivitas selama periode tertentu yang
berhubungan dengan tujuan organisasi61
.
Uraian di atas dipahami bahwa kinerja seseorang adalah
gabungan dari kemampuan, usaha, dan kesempatan yang dapat diukur
dari akibat yang dihasilkan. Kinerja dapat pula diartikan sebagai
kesuksesan individu dalam melakukan pekerjaannya. Ukuran masing-
masing karyawan bergantung pada fungsi dari pekerjaan yang spesifik
dalam bentuk aktivitas selama kurun waktu tertentu, dengan kata lain
ukuran kesuksesan kinerja tersebut didasarkan pada ukuran yang berlaku
dan disesuaikan dengan jenis pekerjaannya.
McCloy dalam Mathis62
seorang psikologi mengatakan bahwa
kinerja juga bisa berarti perilaku-perilaku atau tindakan-tindakan yang
relevan terhadap tercapainya tujuan organisasi (goal-relevant action).
Tujuan-tujuan tersebut bergantung pada wewenang penilai yang
menentukan tujuan apa yang harus dicapai oleh karyawan, oleh karena
itu kinerja bukan merupakan hasil dari tindakan atau perilaku, melainkan
tindakan itu sendiri. Lebih lanjut McCloy menguraikan bahwa agar
seseorang melakukan sesuatu tugas sesuai dengan kinerja yang
diinginkan, persyaratan yang harus dipenuhi adalah memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan.
Berdasarkan teori di atas dipahami bahwa kinerja merupakan
hasil yang dicapai oleh seorang pegawai, yang relevan berupa tindakan
ataupun perilaku yang harus ditingkatkan secara kontinu dan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam suatu instansi. Kinerja merupakan
61
Khaerul Umam, Perilaku Organisasi (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal 187.
62
Robert L. Mathis dan John H, Jackson, manajemen sumber daya manusia (Jakarta:
Salemba Empat, 2002), hal. 80.
49. 49
beban peran pekerjaan yang digambarkan dalam bentuk kualitas dan
kuantitas hasil.
Kinerja menurut Siswanto63
hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaan yang diberikan kepadanya, sedangkan pengertian kinerja
menurut Anwar Prabu kinerja merupakan perilaku nyata yang
ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh
karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Kinerja merupakan
prestasi yang dimiliki oleh karyawan dalam suatu organisasi.
Uraian di atas dipahami bahwa kinerja merupakan hasil dari
penyelesaian akhir suatu pekerjaan yang nantinya akan dinilai oleh
atasannya yang terdiri dari kuantitas serta kualitas kerja.
Selanjutnya Mangkunegaramenyatakan bahwa:
“[k]inerja Sumber Daya Manusia merupakan istilah dari kata
Job Performance atau Actual Performance (Prestasi Kerja)
adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seseorang karyawan atau pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”64
.
Uraian pendapat di atas dipahami bahwa kinerja merupakan hasil
kerja keras Sumber Daya Manusia dalam menciptakan hasil dan
kreasinya. Kinerja merupakan hasil prestasi yang dicapai oleh
anggotanya, guna pencapaian hasil dan tujuan dalam suatu organisasi.
Semakin besar kinerja yang dihasilkan oleh karyawannya, maka akan
semakin besar juga organisasi tersebut menghasilkan output yang
berkualitas.
63
Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administratif dan
Operasional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 231
64
Anwar Prabu Mangkunegara, Evaluasi Kinerja SDM (Refika Aditama: Bandung
2010),hal.67.
50. 50
Kustriyanto dalam Mangkunegara65
” kinerja adalah
perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja
persatuan waktu”. Selanjutnya, Handoko menyatakan bahwa “kinerja
(perfomance appraisal) adalah proses melalui mana organisasi-
organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan dimana
dalam kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia
dan memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang
pelaksanaan kerja mereka”66
.
Uraian di atas dipahami bahwa kinerja adalah
pengekspolarisasian sumber daya manusia yang merupakan hasil kerja
dan prestasi yang dicapai pada suatu instansi dalam kurun waktu
tertentu. Kinerja merupakan sesuatu yang tampak, antara individu
dengan tujuan organisasi. Kinerja yang baik merupakan salah satu
sasaran organisasi dalam mencapai produktivitas kerja yang tinggi.
Cherington dalam Khaerul Umam67
“kinerja menunjukan
pencapaian target kerja yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan
waktu”. Tercapainya kinerja yang baik, tidak terlepas dari kualitas
sumber daya manusia yang baik pula. Seorang pemimpin atau menejer
harus mampu memotivasi bawahannya agar dapat mengembangkan
potensinya serta menghasilkan kinerja yang kuat.
Uraian teori di atas dipahami bahwa pencapaian kinerja
dipengaruhi oleh kecakapan dan waktu. Kinerja yang optimal akan
terwujud bilamana organisasi dapat memilih karyawan yang memiliki
motivasi dan kecakapan yang sesuai dengan pekerjaannya serta memiliki
kondisi yang memungkinkan mereka agar bekerja secara maksimal
dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya.
Sumber Daya Manusia merupakan istilah dari kata Job Performance
65 Ibid., hal.8
66
T. Hani Handoko, manajemen edisi 2 n(Yogyakarta: BPFE, 1995), hal. 251
67
Khaerul Umam, Perilaku Organisasi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal 187
51. 51
atau Actual Performance (Prestasi Kerja) adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan atau
pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya. Mangkunegara juga menyatakan bahwa
kinerja adalah perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta
tenaga kerja.
Uraian di atas dipahami bahwa kinerja merupakan pencapaian
target dan hasil pekerjaan yang harus dilakukan oleh pegawai, sesuai
dengan pemanfaatan waktu serta kerjasama diantara sesama anggota
organisasi. Kinerja merupakan catatan mengenai akibat-akibat yang
dihasilkan pada sebuah fungsi pekerjaan atau aktivitas selama periode
tertentu yang berhubungan dengan tujuan organisasi.
Hennry Simamora dalam Mangkunegara68
menjelaskan bahwa
kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor:
a. [F]aktor Individual yang mencakup kemampuan dan keahlian, latar
belakang dan demografi.
b. Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, attitude, personality,
pembelajaran dan motivasi.
c. Faktor Organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan
Definisi kepemimpinan di sini adalah kemampuan yang dimiliki
seorang tenaga kerja untuk meyakinkan orang lain (tenaga kerja lain)
sehingga dapat dikerahkan secara maksimum untuk melaksanakan tugas
pokok. Penilaian unsur kepemimpinan bagi tenaga kerja sebenarnya
khusus diperuntukkan bagi tenaga kerja yang bekerja dalam suatu
instansi. Disamping itu juga pemimpin harus dapat memotivasi
karyawannya. Pemimpin harus menjadi motivator untuk bawahannya
terhadap situasi kerja di lingkungannya. Pemimpin harus dapat
menempatkan sesuatu sesuai dengan situasi dan kondisinya baik
68 Anwar Prabu Mangkunegara, Evaluasi Kinerja SDM (Refika Aditama: Bandung 2010), hal.13
52. 52
menunjukan hal yang positif ataupun memberikan larangan terhadap hal
yang negatif.
Timple dalam Mangkunegara69
, faktor kinerja terdiri dari dua
faktor yaitu :
a. Faktor Internal yang terkait dengan sifat-sifat seseorang misalnya
kinerja baik disebabkan mempunyai kemampuan tinggi dan tipe
pekerja keras.
Faktor internal (disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan
dengan sifat-sifat seseorang. Misalnya kinerja seseorang yang baik
disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan seseorang itu
tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek
disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang
tersebut tidak memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki
kemampuannya.
b. Faktor Eksternal yang terkait dari lingkungan seperti perilaku, sikap
dan tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan
budaya organisasi.
Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kenerja
seseorang yang berasal dari lingkungan dan kebiasaan. Seperti perilaku,
sikap dan tindakan, bawahan atau pimpinan, iklim ataupun budaya
organisasi. Faktor eksternal biasanya merupakan faktor yang berasal
dari luar yang dipengaruhi oleh unsur-unsur lainnya.
Apabila budaya organisasi diterapkan dengan kuat di suatu
instansi, maka hal itu akan mendorong terjadinya peningkatan
keefektifan yang menghasilkan peningkatan kinerja. Menurut Stephen
Robbins dalam Irham Fahmi70
budaya yang kuat dicirikan oleh nilai inti
69 Anwar Prabu Mangkunegara, Evaluasi Kinerja SDM (Bandung :Refika Aditama, 2010), hal.14.
70
Irham Fahmi, Manajemen Kinerja.Teori dan Aplikasinya (Bandung : Alfabeta : 2011),
hal 49.
53. 53
dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan
dirasakan bersama-sama secara luas.
Penjabaran teori-teori di atas dapat dipahami bahwa kinerja
merupakan kunci akhir untuk melihat keberhasilan suatu instansi
ataupun organisasi, disamping itu untuk menghasilkan kinerja seorang
pegawai diperlukan faktor-faktor pendukung, antara lain
kepemimpinan, budaya organisasi, iklim kerja, sarana dan prasarana
serta yang utama yaitu motivasi diri sendiri. Kinerja seseorang
merupakan gabungan dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang
dapat diukur dari akibat yang dihasilkannya.
Sebuah budaya organisasi tidak dengan sendirinya terbentuk,
namun semua itu melalui proses yang panjang, yaitu menyangkut
dengan berbagai interaksi yang terjadi di lingkungan organisasi
tersebut. Apabila suatu organisasi ingin meningkatkan kinerja
pegawainya, maka instansi tersebut harus terus-menerus dan konsisten
semaksimal mungkin menerapkan budaya organisasi yang baik kepada
karyawannya, seperti penerapan budaya displin. Penerapan dispel
merupakan salah satu contoh budaya organisasi yang diterapkan di
lingkungan kerja yang dapat membantu peningkatan kualitas kinerja.
Penjabaran teori di atas dapat dipahami bahwa kinerja pegawai
merupakan hasil akhir dari proses yang akan dicapai oleh suatu
organisasi. Untuk meningkatkan hasil kinerja tersebut, perlu adanya
monitoring dari bertbagai pihak terhadap proses kelancaran dan
penyelesaian hambatan dan peningkatan kinerja karyawannya. Ada
banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai,yaitu faktor
kemampuan dan faktor motivasi. Hal ini sesuai dengan pendapat keith
54. 54
Davis dalam A. A. anwar prabu mangkunegara,71
menjelaskan faktor
yang dapat mempengaruhi kenerja pegawai antara lain :
a. Faktor kemampuan (Ability)
Kemampuan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (Skill), orang yang mempunyai IQ di atas rata-rata
dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan
terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka akan
lebih mudah mencapai kinerja maksimal. Kinerja karyawan
menunjuk pada kemampuan karyawan dalam melaksanakan
keseluruhan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Tugas-
tugas tersebut biasanya berdasarkan indikator - indikator keberhasilan
yang sudah ditetapkan. Sebagai hasilnya akan diketahui bahwa
seseorang karyawan masuk dalam tingkatan kerja tertentu.
Tingkatannya dapat bermacam istilah. Kinerja karyawan dapat
dikelompokkan ke dalam tingkatan kinerja tinggi, menengah, atau
rendah. Dapat juga dikelompokkan melalui target, sesuai target atau
dibawah target.
b. Faktor Pemimpin
Pemimpin disini diartikan cara memberikan motivasi diartikan
suatu sikap pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja di
lingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif terhadap
situasi kerja akan menunjukkan motivasi kerja yang tinggi dan
sebaliknya. Situasi kerja antara lain mencakup hubungan kerja,
fasilitas kerja, iklim kerja, gaya kepemimpinan,serta peran budaya
organisasi kerja.
71
A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, Evaluasi Kinerja SDM (Bandung: PT.Refika
Aditima, 2010), hal.13.
55. 55
Manusia adalah makhluk Tuhan paling sempurna yang
diciptakan oleh Allah SWT, dengan segala akal dan pikirannya,
manusia harus berusaha mencari solusi hidup yaitu dengan bekerja
keras mengharapkan Ridho Allah SWT, dengan bekerja kita akan
mendapatkan balasan yang akan kita terima, apabila seseorang
memposisikan pekerjaannya dalam dua konteks, yaitu kebaikan
dunia dan kebaikan akhirat, maka hal itu disebut rizeki dan berkah dan
hasil pekerjaan yang baik adalah yang dikerjakan dengan penuh
tanggungjawab dan sesuai dengan ajaran-ajaran Rasulullah SAW.
Firman Allah di bawah ini :
: النحل٩٣
Artinya: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu
satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang
apa yang telah kamu kerjakan.)72
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila seseorang akan
berusaha dan bekerja dengan giat dan sungguh-sungguh, maka akan
Allah berikan rizki yang halal untuk mereka. Berusaha dan bekerja
merupakan kewajiban setiap manusia. Dengan kata lain, setiap manusia
harus dapat berusaha mendapatkan rizki dengan cara bekerja, karena
dengan bekerja yang kera akan menghasilkan dampak yang bermutu
juga.
72
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Diponogoro, 2007),
hal.378
56. 56
Peneliti mengambil kesimpulan tentang definisi dari kinerja
berdasarkan pengertian di atas adalah hasil pekerjaan atau kegiatan
seorang pegawai secara kualitas dan kuantitas dalam suatu organisasi
untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang
diberikan kepadanya dan dapat meningkatkan prestasi dan hasil kerja.
Kinerja merupakan tingkat keberhasilan seseorang dalam melakukan
tugas pekerjaannya dalam waktu tertentu.
b. Dimensi Kinerja Pegawai
Pengukuran kinerja pegawai menurut Agus Dharma73
hampir
semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
1. kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai.
2. kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya).
Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran atau
tingkat kepuasan yaitu seberapa baik penyelesaiannya
3.ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang
direncanakan.
Sedangkan menurut Mathis74
yang menjadi indikator dalam
mengukur kinerja atau prestasi karyawan adalah sebagai berikut:
1. kuantitas kerja, yaitu volume kerja yang dihasilkan dalam kondisi
normal. Kuantitas kerja meliputi volume kerja dan kerapian kerja.
2. kualitas kerja, yaitu dapat berupa kerapian ketelitian dan keterkaitan
hasil dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan.
3. pemanfaatan waktu, yaitu penggunaan masa kerja yang disesuaikan
dengan kebijaksanaan perusahaan atau lembaga pemerintahan.
73
Agus Dharma, Pengukuran Kinerja Pegawai
(http://intanghina.wordpress.com/2008/06/10/kinerja/) (diakses 12 Januari 2011)
74
Burhanudin, Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan
(Jakarta:PT. Bumi Aksara, 2004) , hal.530.
57. 57
4. kerjasama, yaitu kemampuan menangani hubungan dengan orang
lain dalam pekerjaan.
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan dimensi dan
penjabaran indikator kinerja pegawai antara lain kuantitas kerja,
kualitas kerja, pemanfaatan waktu serta kerjasama.75
Dimensi tersebut
akan dijadikan indikator dan instrument dalam penenelitian ini.
B. Kerangka Berfikir
Kinerja pegawai akan menjadi optimal, bila diintegrasikan dengan
pimpinanya, komponen anggotanya, budaya organisasi, dan karyawan. Untuk
mencapai kinerja pegawai yang baik, dibutuhkan adanya kepemimpinan yang
efektif. Selain kepemimpinan, budaya organisasi juga berpengaruh terhadap
pencapaian kinerja pegawai yang baik. Berikut ini akan dikemukakan
kerangka pemikian keterkaitan hubungan antar variabel:
1. Pengaruh Kepemimpinan Situasional (X1) terhadap Kinerja
Pegawai (Y)
Berdasarkan deskripsi teori-teori yang ada dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan merupakan suatu cara yang dimiliki oleh seorang pemimpin
dalam mempengaruhi sekelompok orang atau bawahan untuk bekerja sama
dan berdaya upaya dengan penuh semangat dan keyakinan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan situasional adalah proses
antarhubungan atau interaksi antara pemimpin, bawahan dan situasi.
Kepemimpinan situasional meliputi proses mempengaruhi kegiatan-
kegiatan seseorang atau kelompok dalam usahanya mencapai tujuan di
dalam situasi tertentu, jadi berdasarkan defenisi tersebut bahwa
kepemimpinan situasional itu akan terjadi apabila di dalam situasi tertentu
seseorang mempengaruhi perilaku orang lain baik secara perorangan atau
75
Berdasarkan teori Mathis