Dokumen tersebut membahas masalah gizi pada remaja seperti KEK, anemia, dan obesitas dengan menjelaskan definisi, besaran masalah, determinan epidemiologi, dan patofisiologi masing-masing masalah."
2. Outline
• definisi
• epidemiologi determinan masalah
(besaran; pengaruh; hubungan)
lingkungan, perilaku termasuk konsumsi,
pelayanan kesehatan, genetik
• patofisiologi
3. Definisi Kurang Energi Kronik
(KEK)
• Kurang energi kronis merupakan keadaan
dimana seseorang menderita ketidak
seimbangan asupan gizi (energi dan
protein) yang berlangsung menahun.
Seseorang berisiko Kurang Energi Kronik
(KEK) juka memiliki LILA (Lingkar Lengan
Atas) <23,5cm.
4. Definisi Anemia
• Anemia adalah penurunan kuantitas sel-
sel darah merah dalam sirkulasi darah
atau jumlah hemogoblin berada dibawah
batas normal.
5. Definisi Obesitas
• Obesitas umumnya didefinisikan sebagai
kelebihan lemak tubuh.
• Lemak tubuh sulit dan mahal untuk diukur
secara langsung dalam sampel besar.
Oleh karena itu, obesitas sering
didefinisikan sebagai kelebihan berat
badan setelah disesuaikan dengan tinggi
badan.
6. Besaran Masalah Kurang
Energi Kronik (KEK)
• prevalensi risiko KEK wanita usia subur
(tidak hamil). Secara nasional
prevalensi risiko KEK WUS sebanyak
20,8 persen
Secara keseluruhan,
prevalensi risiko kurang
energi kronis tahun 2007
dan 2013 naik pada
semua kelompok umur
dan kondisi wanita (hamil
dan tidak hamil).
Pada wanita tidak hamil
kelompok umur 15-19
tahun prevalensinya naik
15,7 persen. Demikian
juga pada wanita hamil
kelompok umur 45-49
tahun naik 15,1 persen.
7. Besaran Masalah Anemia
• Berturut-turut mengacu pada batas nilai
normal Riskesdas dan SK Menkes adalah
11,3% dan 19,7% untuk anemia perempuan
dewasa perkotaan, 12,2% dan 13,1% untuk
laki-laki dewasa perkotaan, serta 12,8% dan
9,8% untuk anak-anak. Tampak bahwa secara
nasional prevalensi anemia sebesar 14,8%
(menurut acuan SK Menkes) dan 11,9%
(menurut acuan Riskesdas 2013).
8. Besaran Masalah Obesitas
• Menurut Word Health Organization (WHO) 2014
menyatakan pada tahun 2008 angka obesitas didunia
sebesar 11,9 % dan lebih dari 1.4 milyar remaja yang
berusia 20 tahun atau lebih menderita overweight, dan
penderita obesitas sebanyak 200 juta adalah remaja
laki-laki dan 300 juta adalah remaja perempuan
• Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di
Indonesia sebesar 10.8 persen, terdiri dari 8,3 persen
gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas).
Prevalensi gemuk pada remaja umur 16 – 18 tahun
sebanyak 7,3 persen yang terdiri dari 5,7 persen gemuk
dan 1,6 persen obesitas.
9. Determinan Epidemiologi Anemia
pada Remaja
Herta Masthalina, Yuli Laraeni, Yuliana Putri Dahlia. 2015. Pola Konsumsi (Faktor
Inhibitor dan Enhancer FE) Terhadap Status Anemia Remaja Putri. NTB: Kemas
10. • Dalam penelitian ini didapatkan dari 67 responden diketahui
bahwa sebagian besar ada 46 orang (68,7%) yang tidak
anemia sedangkan yang menderita anemia ada 21 orang
(31,3%), jumlah ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan data
Puskesmas Gunungsari tahun 2012 terhadap pemeriksaan
kadar Hb murid Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah
bahwa diperoleh Madrasah Aliyah Al- Aziziyah Gunungsari
berada pada peringkat pertama yang memiliki jumlah siswi
terbanyak menderita anemia yaitu sebesar 81,13 %, maka
prevalensi anemia pada penelitian siswi di Madrasah Aliyah Al-
Aziziyah pada tahun 2014 ini sudah menurun.
11. • Analisis hubungan antara pola konsumsi faktor enhancer Fe
dengan status anemia didapatkan tidak ada hubungan yang
signifikan mungkin ini disebabkan karena siswi kurang
mengkomsumsi makanan sumber vitamin C bersamaan
dengan makanan yang mengandung zat besi
12. Distribusi Epidemiologi Obesitas
pada Remaja
• Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan Chi Square antara frekuensi
kudapan dengan resiko gizi lebih diperoleh p value 0,020 yang berarti
hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara frekuensi kudapan
dengan resiko kejadian gizi lebih pada remaja perkotaan (SMA Kesatrian 2
Semarang) diterima. Diketahui nilai CC 0,037 yang berarti tingkat
hubungan keduanya dalam kategori sangat lemah.
Syarifatun Nur Aini. 2013. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gizi
Lebih pada Remaja di Perkotaan. Semarang: Jurnal Unnes
13. • menunjukkan bahwa kejadian gizi lebih pada remaja yang tingkat
aktivitasnya sedang-berat lebih besar dari pada remaja yang
aktivitasnya ringan. Jenis aktivitas fisik ringan yang sering dilakukan
sampel dalam sehari adalah duduk, belajar, nonton tv, main game,
sedangkan aktivitas sedang yang sering dilakukan yaitu sekolah dan
aktivitas berat yang sering dilakukan adalah futsal, sepak bola,
basket, volly dan bulu tangkis
14. • Berdasarkan hasil penelitian dengan 30 sampel diketahui bahwa
jumlah anak dalam keluarga sampel yang memiliki 1-2 anak serta
mengalami gizi lebih sebanyak 8 siswa (27%) dan jumlah anak dalam
keluarga sampel yang memiliki 3-4 anak serta mengalami gizi lebih
sebanyak 9 siswa (30%). Hasil perhitungan Chi Square menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antara jumlah anak dalam keluarga
dengan kejadian gizi lebih pada remaja perkotaan (SMA Kesatrian 2
Semarang) dengan diperoleh p value 0,638
15. • Dari hasil penelitian, diketahui bahwa tidak ada hubungan
antara jenis pekerjaan kepala rumahtangga dengan resiko
kejadian gizi lebih pada remaja perkotaan (SMA Kesatrian 2
Semarang) dengan p value 0,104 yang lebih besar dari 0,05.
Diketahui nilai CC 0,182 yang berarti tidak ada hubungan
keduanya dalam kategori sangat lemah
16. • berdasarkan hasil analisis uji Chi Square diperoleh nilai p value
0,225 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa besar kecilnya
jumlah uang saku tidak mempengaruhi kejadian gizi lebih.
Diketahui nilai CC 0,921 yang berarti tidak ada hubungan
keduanya dalam kategori lemah (0,20-0,399).
17. Vicennia Serly, Amru Sofian, Yanti Ernalia.
2015. Hubungan Body Image, Asupan Energi
dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Riau Angkatan 2014. Riau: Jom FK
Distribusi Epidemiologi
Status Gizi pada Remaja
• memperlihatkan masih banyaknya
mahasiswa yang kurang peduli
dengan keadaan status gizinya
saat ini
18. • Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000,
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara penilaian body image dengan status gizi
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Angkatan 2014.
19. • Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000,
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara asupan energi dengan status gizi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2014
20. • Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000,
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara aktivitas fisik dengan status gizi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2014.
21. Patofisiologi Obesitas
Pengaturan keseimbangan energi dalam tubuh diperankan
oleh sejumlah hormon, kelenjar hipotalamus dan faktor
genetik melalui tiga proses fisiologis, yaitu :
• pengendalian rasa lapar dan kenyang
• pengaturan laju pengeluaran energi, dan
• pengaturan kegiatan hormon.
22. Pengendalian Rasa Lapar
dan Kenyang
Terdapat dua substansi biokimia di pusat hipotalamus
yang menentukan selera makan, yaitu:
Substansi
Anorexigenic
menghambat
selera makan
(kenyang)
neuron
proopiomelanocortin
(POMC) → a-melanocyte-
stimulating hormone (a-
MSH) bersama dengan
cocaine-amphetamine-
related transcript (CART).
Orexigenic
menstimulasi
rasa lapar.
neuropeptide-Y
(NPY)
agouti-related
protein (AgRP).
23. Pengendalian Rasa Lapar dan
KenyangAnorexigenic menghambat
selera makan (kenyang)
Neuron POMC
melepaskan a-MSH yang akan berikatan dengan
reseptor melanocortin (MCR) pada paraventrikular.
Aktifitas pada MCR akan mengurangi pengambilan
makanan dan meningkatkan pemanfaatan energi.
Sebaliknya, inhibisi/hambatan (defek) akan
meningkatkan pengambilan makanan dan mengurangi
pemakaian energi sehingga dapat menyebabkan
obesitas.
24. Pengendalian Rasa Lapar
dan Kenyang
Orexigenic
menstimulasi rasa lapar.
AgRP
bekerja dengan cara
menghambat efek
dari MCR dan
meningkatkan
pengambilan
makanan.
Pembentukan AgRP
yang berlebihan
dapat menyebabkan
obesitas.
NPY
dilepaskan ketika
simpanan energi
menurun dan
disaat bersamaan
aktifitas POMC
dihambat
sehingga
mengurangi
aktifitas
melanocortin
(MCR) dan
meningkatkan
pengambilan
makanan.
25. Pengaturan Hormon
• Terjadi melalui sinyal aferen baik sinyal panjang dan
pendek yang berpusat di hipotalamus setelah
mendapat sinyal aferen dari jaringan adiposa, usus
dan jaringan otot.
• Sinyal pendek → biasanya berhubungan dengan
pengosongan lambung yang diperankan oleh hormon
colisistokinin (CCK). Hormon ini berfungsi sebagai
stimulator peningkatan rasa lapar.
• Sinyal panjang → diperankan oleh hormon leptin
dan insulin yang mangatur penyimpanan dan
keseimbangan energi.
26. Pengaturan Hormon
• Leptin merupakan hormon peptida yang disekresikan oleh jaringan
adiposa yang bertugas mengirimkan sinyal ke otak tentang jumlah
simpanan energi dalam sel lemak.
• Pada orang obesitas dengan jumlah sel lemak berlebihan akan
memiliki leptin yang lebih banyak.
• Apabila asupan energi dan penyimpanan lemak berlebihan, maka
jaringan adiposa akan mensekresikan leptin lebih banyak ke
dalam peredaran darah.
Leptin
merangsang
hipotalamus untuk
menurukan
produksi
neuropeptida-Y
(NPY).
terjadi penurunan
produksi NPY yang
diikuti penurunan
nafsu makan dan
penurunan asupan
energi.
Hal ini menyebabkan sel
lemak tubuh akan dapat
dimobilisasi untuk
memenuhi kebutuhan
pengeluaran energi
dalam kondisi aktifitas
dan latihan fisik, puasa.
27. Pengaturan Hormon
• Pada kondisi kelebihan berat badan tingkat berat, akan
terjadi resistensi leptin dan kesulitan menurunkan
berat badan.
• Adanya sel lemak yang berlebihan membuat leptin
tidak mampu lagi menjalanakan fungsinya dengan baik
dan tidak dapat menghasilkan efek normal pada
penurunan berat badan.
• Resistensi leptin dirasakan sebagai kelaparan, artinya
setiap makanan yang masuk diinterpretasikan sebagai
rasa lapar oleh otak dan memberikan sinyal untuk terus
meningkatkan nafsu makan
28. Patofisiologi Anemia
• Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya
simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat
besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas
pengikatan zat besi.
• Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat
besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah
protoporpirin yang diubah menjadi heme dan akan diikuti
dengan menurunnya kadar feritin serum.
• Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu
rendahnya kadar Hb
30. Patofisiologi KEK
• Apabila ketidakcukupan zat gizi ini berlangsung lama maka persediaan/ cadangan
jaringan akan digunakan untuk memenuhi ketidakcukupan itu.
1. Ketidakcukupan zat gizi.
• apabila ini berlangsung lama, maka akan terjadi kemerosotan jaringan, yang ditandai
dengan penurunan berat badan.
2. Kemerosotanjaringan
• terjadi perubahan biokimia yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium.
3. Perubahan biokimis
• erjadi perubahan fungsi yang ditandai dengan tanda yang khas.
4. Perubahan Fungsi
• terjadi perubahan anatomi yang dapat dilihat dari munculnya tanda klasik
5. Perubahan anatomi
31.
32. Daftar Pustaka
• Arlinda Sari W. 2004. Anemia Defisiensi Besi pada Balita.
Universitas Sumatra Utara. http://library.usu.ac.id/download/fk/fk-
arlinda%20sari2.pdf
• Dian Gunatmaningsih. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Di Sma Negeri 1
Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes Tahun 2007 (Skripsi).
Semarang: Universitas Negeri Semarang
• Hardinsyah, I Dewa Nyoman S. 2017. Ilmu Gizi Teori dan Aplikasi.
Jakarta: EGC
• Meriska Cesia Putri. 2017. Hubungan Asupan Makan Dengan
Kejadian Kurang Energi Kronis (Kek) Pada Wanita Usia Subur
(Wus) Di Kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah
(Skripsi). Lampung: Universitas Lampung
• Yekti Hartati E. 2013. Patofisiologi Gizi: Regulasi Makan, Gangguan
Homeostasis Energi, Peran Zat Gizi pada Pertumbuhan dan
Perkembangan Otak. Bogor: IPB Press
33. Daftar Pustaka
• A. Catharine Ross, et al. 2014. Modern Nutrition in Health & Disease (Shils)
• Cahyaningrum, A. (2015). Leptin Sebagai Indikator Obesitas. Jurnal Kesehatan Prima, 9(1).
• Dewey, KG., Begum, K., 2010. Why Stunting Matters. A&T Technical Brief Issue 2,
September 2010.
http://aliveandthrive.org/sites/default/files/Copy%20of%20Brief%202%20Why%20stunting%20matt
ers_0.pdf
• Donna Spruijt-Metz. Etiology, Treatment and Prevention of Obesity in Childhood and Adolescence:
A Decade in Review. Diakses pada tanggal 04 Maret 2018 dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3102537/
• Indartanti, Dea dan Apoina Kartini. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja
Putri. Journal of Nutrition College, Vol. 3 No. 2, halaman 33-39.
• Israr, Akhyar Yayan. 2009. Gizi Buruk (Severe Malnutrition). Riau: Universitas Riau.
• Muliawati, Siti. Faktor Penyebab Ibu Kurang Energi Kronis Di Puskesmas Sambi Kecamatan
Sambi Kabupaten Boyolali. Infokes, Vol. 3 No. 3 November 2013.
• Riskesdas 2013.
• WHO. 2013. Childhood Stunting: Context, Causes, and Consequences. Diunduh pada tanggal 26
Februari 2018 dari
http://www.who.int/nutrition/events/2013_ChildhoodStunting_colloquium_14Oct_ConceptualFrame
work_colour.pdf
• WHO. 2014. Childhood Stunting: Challenges and Opportunities. Diunduh pada tanggal 26 Februari
2018 dari
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/107026/1/WHO_NMH_NHD_GRS_14.1_eng.pdf?ua=1
• WHO. Obesity and Overweight. Diunduh pada tanggal 04 Maret 2018 dari
http://www.who.int/dietphysicalactivity/media/en/gsfs_obesity.pdf
Editor's Notes
Namun, tidak ada penggambaran yang jelas antara berapa banyak lemak yang normal dan berapa banyak lemak yang abnormal.