Panduan mengikuti PPS - Program Pengungkapan Sukarela
Menggali Potensi Penerimaan Pajak UMKM
1. Menggali Potensi Penerimaan Pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat
ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).
Menurut Mardiasmo, pajak memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi mengatur dan fungsi
budgetair. Yang dimaksud dengan fungsi budgetair pada pajak yaitu bahwa pajak merupakan
salah satu sumber dana pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Maka
dari itu, pajak berperan penting dalam pembangunan negara karena lebih dari separuh belanja
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dibiayai oleh penerimaan pajak.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2015 saja,
pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.370,8 triliun atau sekitar 78%
dari total target pendapatan negara sebesar Rp 1.762,3 triliun.
Tingkat penerimaan pajak suatu negara dapat diukur menggunakan tax ratio, yaitu rasio
penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. Berdasarkan
informasi yang dikutip dari Tajuk Harian Investor Daily edisi Selasa, 19 Agustus 2014, Tax
Ratio Indonesia baru mencapai sekitar 13%, yang masih terbilang rendah bila dibandingkan
dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia yang sudah mencapai 15,5% atau Thailand
yang sudah mencapai 17%, apalagi negara-negara maju yang sudah di atas 25%. Hal ini
mencerminkan belum optimalnya peran penerimaan pajak negara Indonesia dalam
mendorong pembangunan, menyokong pertumbuhan ekonomi, dan menyejahterakan
masyarakat Indonesia. Ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab belum
optimalnya penerimaan pajak negara Indonesia, yaitu masih minimnya wajib pajak (WP)
yang sadar dan taat membayar pajak, jumlah pegawai pajak yang tidak sebanding dengan
jumlah WP yang ditangani, infrastruktur perpajakan yang belum memadai, dan banyaknya
sektor-sektor yang potensi pajaknya belum digali secara optimal.
Mengutip dari Tajuk Harian Investor Daily Edisi Selasa, 19 Agustus 2014, terdapat sekitar 12
juta perusahaan yang terdaftar di Indonesia, namun baru sekitar 5 juta perusahaan yang
memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dari jumlah perusahaan yang terdaftar sebagai
WP, hanya sekitar 540 ribu perusahaan yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT) dengan setoran pajak sekitar Rp 500 triliun. Sementara itu hal serupa juga terjadi pada
2. pajak individu. Jumlah potensial WP orang pribadi di Indonesia mencapai 67 juta orang, tapi
baru sekitar 20 juta orang yang terdaftar. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 8,8 juta orang
yang melaporkan SPT dengan setoran pajak sekitar Rp 5 triliun. Minimnya pembayar pajak
di Indonesia disebabkan oleh tingkat kepatuhan dan kesadaran WP yang masih rendah untuk
membayar pajak, apalagi penggunaan sistem self assessment yang membebaskan WP untuk
menghitung, melaporkan, dan membayar pajak secara mandiri. Tanpa adanya edukasi dan
sosialisasi yang menyeluruh dan intensif serta pendampingan yang berkelanjutan terhadap
WP, tingkat kesadaran dan kepatuhan WP untuk melakukan kewajiban perpajakannya sulit
untuk meningkat.
Selain itu, tidak sebandingnya jumlah WP yang ditangani dengan jumlah pegawai pajak yang
ada juga menyebabkan kurang optimalnya penerimaan pajak. Berdasarkan informasi yang
dikutip dari Tajuk Harian Investor Daily Edisi Selasa, 19 Agustus 2014, dengan populasi
yang mencapai 240 juta penduduk, Indonesia hanya memiliki sekitar 32 ribu pegawai.
Dengan begitu, dapat diperkirakan bahwa rata-rata seorang pegawai pajak harus menangani
7.700 WP. Tanpa penambahan jumlah dan peningkatan kualitas pelayanan pegawai pajak
secara berkelanjutan, pemerintah akan terus kesulitan mengawasi dan melakukan
pendampingan terhadap para WP dalam menerapkan sistem self assessment. Belum lagi
ditambah persoalan infrastruktur penunjang administrasi pajak yang belum mumpuni dan
belum mencukupi. Untuk mengakomodasi administrasi pajak negara Indonesia yang
merupakan negara kepulauan yang sangat besar, dibutuhkan penambahan jumlah kantor
pajak, peningkatan kemudahan dan kenyamanan proses administrasi perpajakan, dan
peningkatan kualitas infrastruktur Information Technology (IT) guna meningkatkan
efektivitas dan efisiensi administrasi perpajakan sehingga dapat mengoptimalkan penerimaan
pajak.
Selain ketiga faktor yang telah dijelaskan sebelumnya, masih banyaknya sektor-sektor yang
potensi pajaknya belum digali secara optimal juga turut membuat kurang optimalnya
penerimaan pajak. Salah satu sektor yang sangat potensial untuk meningkatkan penerimaan
pajak negara Indonesia secara signifikan adalah sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM). UMKM merupakan sektor ekonomi yang memiliki peran besar dalam
perekonomian nasional. Berdasarkan data PDB negara Indonesia tahun 2011, kontribusi
UMKM mencapai Rp 1.269,3 triliun, atau sekitar 55,7% dari total PDB yang mencapai Rp
2.277 triliun. Meskipun demikian, terdapat miss-match bila hal tersebut dibandingkan dengan
3. kontribusi UMKM terhadap penerimaan pajak yang masih sangat kecil, yaitu sekitar 0,5%
dari total penerimaan pajak negara Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa potensi
penerimaan pajak dari sektor UMKM belum digali secara optimal.
Salah satu penyebab belum optimalnya penerimaan pajak dari sektor UMKM adalah
rendahnya tingkat kepatuhan WP UMKM dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Organization for Economic Co-operation and Development (2004) menggolongkan
penyebab-penyebab ketidakpatuhan perpajakan berdasarkan sikap WP dalam figur di bawah
ini.
Figur 1. Piramida “Taxpayers’ Attitude toward Tax Compliance”
Sumber: Organization for Economic Co-operation and Development1
Kelompok ‘The Disengaged’ pada bagian puncak piramida merupakan golongan WP yang
memutuskan untuk tidak patuh dan cenderung menghindar terhadap ketentuan pajak yang
berlaku. Strategi yang dapat dilakukan untuk menyiasati ketidakpatuhan perpajakan
kelompok ini adalah dengan melalui penguatan dan penegakan hukun secara penuh di bidang
perpajakan, seperti pengenaan sanksi untuk tindakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
pajak yang berlaku sehingga menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya. Kelompok
‘Resisters’ merupakan golongan WP yang tidak patuh terhadap ketentuan perpajakan yang
berlaku karena adanya suatu hal dalam ketentuan pajak yang berlawanan dengan apa yang
1
Organization for Economic Co-operation and Development (2004). “Compliance Risk Management:
Managing and Improving Tax Compliance”, halaman 41.
The
Disengaged
Resisters
Triers
Supporters
4. mereka kehendaki. Golongan ini akan patuh terhadap ketentuan pajak apabila mereka dapat
diyakinkan bahwa hal yang menjadi perhatian mereka dapat diakomodasi. Kemudian,
kelompok ‘triers’ merupakan golongan WP yang mencoba untuk patuh terhadap ketentuan
perpajakan yang berlaku, tetapi mengalami kesulitan untuk memahami dan memenuhi
ketentuan perpajakan yang berlaku. Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kepatuhan pajak kelompok ini adalah dengan pemberian asistensi dan kemudahan agar dapat
memenuhi ketentuan perpajakan yang berlaku. Kelompok yang terakhir adalah ‘supporters’,
yaitu golongan WP yang bersedia untuk memenuhi ketentuan perpajakan yang berlaku.
Upaya yang dapat dilakukan untuk lebih meningkatkan kepatuhan kelompok ini adalah
melalui pemberian kemudahan dalam pemenuhan ketentuan perpajakan sehingga akan
menimbulkan voluntary tax compliance, yaitu kepatuhan secara sukarela terhadap ketentuan
pajak yang berlaku.
Ditinjau dari kondisinya, ketidakpatuhan WP sektor UMKM untuk membayar pajak
disebabkan oleh sulitnya melaksanakan ketentuan perpajakan. Masih banyaknya UMKM
Indonesia yang belum memahami tentang pembukuan dan penyusunan laporan keuangan, di
mana laba yang tertera pada laporan keuangan merupakan dasar dari pengenaan pajak
penghasilan (sebelum diberlakukannya PP No. 46 Tahun 2013) mengakibatkan sulitnya
UMKM untuk mematuhi ketentuan perpajakan yang akhirnya bermuara pada rendahnya
penerimaan pajak dari sektor UMKM. Selain itu, masyarakat pada umumnya masih
menganut stereotype bahwa tata cara perpajakan sangat kompleks atau memiliki high cost of
compliance, sehingga menurunkan minat masyarakat untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya. Berdasarkan gambaran kondisi di atas, WP dari sektor UMKM dapat
diklasifikasikan ke dalam kelompok ‘triers’ dan ‘supporters’, sehingga strategi yang tepat
untuk meningkatkan kepatuhan pajak WP adalah dengan melakukan simplifikasi terhadap
ketentuan pajak yang berlaku, meningkatkan kemudahan dan kenyamanan proses
administrasi perpajakan, serta melakukan sosialisasi, edukasi, dan pendampingan terhadap
WP mengenai ketentuan dan tata cara perpajakan yang benar.
Pada tahun 2013, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46
Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Dalam PP ini, WP yang
memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun pajak (sektor UMKM)
dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
5. Dengan adanya aturan tersebut, WP yang berpendapatan kurang dari Rp 4,8 miliar dalam
setahun hanya perlu melakukan pencatatan terhadap peredaran brutonya saja untuk
menentukan besaran PPh yang perlu dibayarkan kepada negara. Hal ini dapat meningkatkan
kepatuhan perpajakan dan mendukung terciptanya voluntary tax compliance dari WP sektor
UMKM.
Adanya peraturan pajak yang sederhana dan mudah untuk dilaksanakan belum lah cukup
untuk meningkatkan kepatuhan WP. Hal tersebut perlu juga ditunjang dengan sosialisasi dan
edukasi secara menyeluruh dan intensif, pendampingan yang berkelanjutan terhadap WP, dan
peningkatan kemudahan dan kenyamanan dalam melakukan administrasi perpajakan. Dengan
adanya sosialisasi dan edukasi secara menyeluruh dan intensif, peraturan perpajakan tersebut
dapat diketahui dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat di berbagai wilayah di
Indonesia secara merata. Pendampingan yang berkelanjutan dapat membantu WP yang
kesulitan untuk memahami dan melaksanakan kewajiban pajaknya. Kemudian, peningkatan
kemudahan dan kenyamanan administrasi perpajakan akan menurunkan tingkat keengganan
dan mendorong minat WP untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dengan demikian,
kesadaran dan kemauan WP untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya akan meningkat
secara signifikan sehingga mendorong terciptanya voluntary tax compliance.
Agar langkah-langkah tersebut dapat dilaksanakan secara optimal, perlu adanya penambahan
jumlah dan peningkatan kualitas pelayanan pegawai pajak untuk melakukan sosialisasi dan
edukasi kepada masyarakat secara menyeluruh dan intensif serta melakukan pendampingan
dan pengawasan terhadap WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Selain itu,
penambahan jumlah kantor pajak, peningkatan kualitas infrastruktur IT, dan pemberian
kemudahan bagi WP untuk membayar pajak melalui Mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri)
juga sangat diperlukan guna memberi kemudahan dan kenyamanan kepada WP dalam
melakukan administrasi perpajakan sehingga voluntary tax compliance dapat tercipta.
Apabila langkah-langkah tersebut dilakukan secara serius, Sedikit demi sedikit Indonesia
dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor UMKM hingga pada akhirnya
kontribusi pajak dalam pembangunan negara dapat meningkat secara signifikan dan
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari sekarang dapat terwujud.
6. Daftar Pustaka
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia (2012). “Statistik
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Tahun 2010-2011”.
Mardiasmo (2011). “Perpajakan Edisi Revisi 2011”. Yogyakarta: Andi.
Organization for Economic Co-operation and Development (2004). “Compliance Risk
Management: Managing and Improving Tax Compliance”.
Pemerintah Republik Indonesia (2013). “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46
Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu”.
Pemerintah Republik Indonesia (2014). “Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015”.
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara-Badan Kebijakan Fiskal (2013). “Pengenaan PPh Final
untuk Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu, Sebuah Konsep Kesederhanaan
Pengenaan PPh untuk Meningkatkan Voluntary Tax Compliance”.
Tajuk Harian Investor Daily Edisi Selasa, 19 Agustus 2014. “Menggenjot Pajak”.