Dokumen ini membahas latar belakang dan tujuan pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah di Indonesia. Rendahnya kompetensi literasi peserta didik Indonesia menjadi perhatian. Gerakan ini bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan dengan menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar sepanjang hayat dan mengembangkan kompetensi literasi dasar peserta didik.
3. iii
SAMBUTAN
Evaluasi yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment
(PISA), yang diadakan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan
Ekonomi (OECD—Organization for Economic Cooperation and Development),
menggambarkan bahwa dalam dua periode asesmen yang diadakan pada tahun 2009
dan 2012, peserta didik Indonesia menempati peringkat 64 dari 65 negara peserta dalam
matematika, sains dan membaca.
Rendahnya kompetensi peserta didik di tiga bidang ini membuktikan bahwa
ada yang belum tepat dalam pengelolaan pendidikan. Rendahnya pemahaman terhadap
bacaan menunjukkan bahwa proses pendidikan belum mengembangkan kompetensi
dan minat peserta didik terhadap pengetahuan. Praktik pendidikan yang dilaksanakan di
SD selama ini juga memperlihatkan bahwa sekolah belum berfungsi sebagai organisasi
pembelajar yang menjadikan semua warganya sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Untuk mengembangkan sekolah sebagai organisasi pembelajar, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah, mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan Literasi
Sekolah adalah sebuah upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah dan
masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan, untuk menjadikan sekolah
sebagai organisasi pembelajar agar warga sekolah termasuk peserta didik mampu
menjadi pembelajar sepanjang hayat dan dapat memenuhi perannya di era teknologi
informasi.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) diawali dengan gerakan penumbuhan budi
pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Salah satu kegiatan di dalam
gerakan tersebut adalah “kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum
waktu belajar dimulai”. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menjadikan peserta didik
sebagai pembelajar sepanjang hayat agar mereka mampu mengembangkan potensi
diri seutuhnya. Ketika sekolah melaksanakan kegiatan ini, sekolah akan mampu
mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang dimilikinya.
Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di
bidang pendidikan mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan
4. iv
pendidikan. Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi komponen
penting dalam menjadikan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Panduan Umum ini disusun guna memberi arahan strategis bagi kegiatan literasi
di Sekolah Dasar dalam lingkup Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pelaksanaan GLS di SD akan melibatkan unit kerja terkait di internal Kemendikbud dan
juga pihak-pihak lain. Kerja sama semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan
sangat diperlukan untuk melaksanakan gerakan bersama yang efektif dan terintegrasi.
Jakarta, Januari 2016
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Hamid Muhammad, Ph.D
NIP 195905121983111001
5. v
KATA PENGANTAR
Gerakan Literasi Sekolah yang digagas dan dikembangkan Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah merupakan respons atas rendahnya kompetensi
peserta didik Indonesia dalam bidang matematika, sains, dan membaca—sesuai
dengan data penelitian oleh Programme for International Student Assessment (PISA),
yang diadakan untuk Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi
(OECD—Organization for Economic Cooperation and Development). Melalui
penguatan kompetensi literasi, terutama literasi dasar, diharapkan peserta didik dapat
memanfaatkan akses lebih luas pada pengetahuan agar rendahnya peringkat kompetensi
tersebut dapat diperbaiki.
Dalam hal ini, kompetensi literasi dasar (menyimak-berbicara, membaca-menulis,
berhitung-memperhitungkan, dan mengamati-menggambar) sudah selayaknya ditanamkan
sejak pendidikan dasar, lalu dilanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi
sehingga peserta didik dapat meningkatkan kecanggihannya untuk mengakses informasi
dan pengetahuan. Selain itu, peserta didik juga diharapkan memiliki sistem peringatan
dini pada dirinya tentang mana informasi yang bermanfaat dan mana informasi yang tidak
bermanfaat. Hal itu karena literasi sejatinya mengarahkan seseorang pada keluhuran budi.
Oleh karena itu, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun
2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti menyuratkan salah satunya kegiatan membaca buku
nonpelajaran selama lima belas menit sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan tersebut
adalah upaya menumbuhkan kecintaan membaca kepada peserta didik melalui bacaan
yang bermutu, sehingga ke dalam diri mereka akan terinstal informasi-informasi yang
baik dan bermanfaat. Terlebih lagi, peserta didik terdorong mengeksplorasi informasi dan
pengetahuan yang telah dibacanya. Dari hal itu pula, diharapkan peserta didik memperoleh
pengalaman belajar yang menyenangkan sekaligus merangsang imajinasi mereka.
Sebagai sebuah desain induk penumbuhan budi pekerti, Gerakan Literasi Sekolah
perlu melibatkan para pemangku kepentingan secara terprogram dengan satu tujuan agar
peserta didik, terutama di tingkat pendidikan dasar menjadi sadar, melek, dan berbudaya
literasi. Untuk itu, terbitnya buku Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar
6. vi
ini sangat penting bagi pemangku kepentingan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota,
satuan pendidikan, dan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan literasi yang efektif dan
terintegrasi.
Jakarta, Januari 2016
Direktur Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar
Drs. Wowon Wirdayat, M.Si.
NIP. 195801251981031002
9. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mengurangi angka buta
huruf. Data UNDP tahun 2014 mencatat bahwa tingkat kemelekhurufan masyarakat
Indonesia sudah mencapai 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori
remaja. Capaian ini sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia sudah melewati tahapan
krisis literasi dalam pengertian kemelekhurufan. Meskipun demikian, tantangan yang
saat ini dihadapi adalah aliterasi, bentuk lain dari krisis literasi; yakni, orang bisa dan
mampu membaca, namun mereka tidak mau membaca.
Aliterasi dianggap sebagai fenomena umum, bahkan di negara-negara maju
dengan tingkat literasi yang tinggi yang dalam hal ini ketersediaan buku tidak menjadi
masalah. Fenomena ini menunjukkan bahwa banyak faktor berkontribusi terhadap
permasalahan literasi pada masyarakat. Selain keterbatasan akses terhadap buku di
seluruh Indonesia, pemerintah juga menghadapi rendahnya motivasi membaca di
kalangan peserta didik. Hal ini memprihatinkan karena pada era teknologi informasi
saat ini, peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan membaca dalam pengertian
memahami teks secara analitis, kritis, dan reflektif.
Literasi kontemporer ini menjadi kebutuhan masyarakat global yang harus
mengadaptasi kemajuan teknologi dan modernitas. Deklarasi Praha (2003) mencanangkan
bahwa literasi informasi (information literacy) mencakup kemampuan literasi dasar
(basic literacy), kemampuan untuk meneliti dengan menggunakan referensi (library
literacy), kemampuan untuk menggunakan media informasi (media literacy), teknologi
10. 2
(technology literacy), dan kemampuan untuk mengapresiasi grafis dan teks visual (visual
literacy). Literasi yang komprehensif dan saling terkait ini memampukan seseorang untuk
berkontribusi kepada masyarakatnya sesuai dengan kompetensi dan perannya sebagai
warga negara global (global citizen). Dalam era global ini, literasi informasi menjadi
penting. Deklarasi Alexandria pada tahun 2005 (sebagaimana dirilis dalam www.unesco.
org) menjelaskan tentang literasi informasi, sebagai berikut.
Literasi informasi adalah kemampuan untuk melakukan manajemen
pengetahuan dan kemampuan untuk belajar terus-menerus. Secara terinci,
literasi informasi merupakan kemampuan untuk menyadari kebutuhan
informasi dan saat informasi diperlukan, mengidentifikasi dan menemukan
lokasi informasi yang diperlukan, mengevaluasi informasi secara kritis,
mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi ke dalam pengetahuan
yang sudah ada, memanfaatkan serta mengomunikasikannya secara efektif,
legal, dan etis.
Kebutuhan literasi pada era global ini menuntut pemerintah untuk menyediakan
serta memfasilitasi sistem dan pelayanan pendidikan sesuai dengan UUD 1945 ayat 3,
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan bangsa.” Ayat ini menegaskan bahwa program literasi juga mencakup
upaya mengembangkan potensi kemanusiaan yang mencakup kecerdasan intelektual,
emosi, bahasa, estetika, sosial, spiritual, dengan daya adaptasi terhadap perkembangan
arus teknologi dan informasi. Upaya ini sejalan dengan falsafah yang dinyatakan oleh
Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan harus melibatkan semua komponen masyarakat
(keluarga, pendidik profesional, pemerintah, dll.) dalam membina, menginspirasi/
memberi contoh, memberi semangat, dan mendorong perkembangan anak.
Literasi tidak terpisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana peserta
didik dalam mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapatkannya di
bangku sekolah. Literasi juga tidak terlepas dari kehidupan peserta didik, baik di rumah
maupun di lingkungan sekitarnya.
Sayangnya, data evaluasi Programme for International StudentAssesment (PISA)
tahun 2012 menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik Indonesia dalam membaca,
matematika, dan sains masih tertinggal dari negara lain. Survei ini mengevaluasi
11. 3
kemampuan membaca peserta didik Indonesia yang berusia 15 tahun, dan menemukan
bahwa kemampuan membaca mereka menempati urutan ke-60 dari 64 negara yang
berpartisipasi dalam PISA. Kemampuan matematika peserta didik Indonesia berada di
urutan 64 dari 65 negara, sedangkan dalam bidang sains, mereka menempati urutan 64
dari 65 negara.
Selain itu, hasil tes Progress International Reading Literacy Study (PIRLS) tahun
2011 yang mengevaluasi kemampuan membaca peserta didik kelas IV menempatkan
Indonesia pada posisi ke-42 dari 45 negara peserta dengan skor 428, di bawah nilai
rata-rata 500. Data ini selaras dengan temuan UNESCO terkait kebiasaan membaca
masyarakat Indonesia, bahwa hanya 1 dari 1.000 orang masyarakat Indonesia yang
membaca.
Permasalahan ini menegaskan bahwa pemerintah memerlukan strategi khusus
agar program di sekolah dapat ditindaklanjuti atau diintegrasikan dengan kegiatan di
keluarga dan masyarakat. Hal ini untuk memastikan keberlanjutan intervensi kegiatan
literasi sekolah agar dampaknya dapat dirasakan di masyarakat.
Untuk dapat mengembangkan strategi implementasi pelaksanaan literasi di
sekolah yang berdampak menyeluruh dan sistemik, sekolah harus tumbuh sebagai
sebuah organisasi yang mengembangkan warganya sebagai individu pembelajar.
Sekolah juga harus memiliki struktur kepemimpinan yang juga terkait dengan lembaga
lain di atasnya, serta sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, keuangan,
serta sarana dan prasarana. Sekolah memberikan layanan pendidikan dalam bentuk
pembelajaran di dalam kelas dan berbagai kegiatan lain di luar kelas yang menunjang
pembelajaran dan tujuan pendidikan. Memperhatikan karakteristik sekolah sebagai
sebuah organisasi akan mempermudah pelaksana program untuk mengidentifikasi
sasaran perlakuan agar perlakuan dapat diberikan secara menyeluruh (whole school
approach).
B. Landasan Hukum
1. Sumpah Pemuda butir ke-3: “Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia”.
2. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31 ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan
menye- lenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan bangsa”.
12. 4
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
4. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Praha tahun 2003 tentang kecerdasan literasi
dasar.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala
Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
9. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2013 tentang SPM Dikdas, Lampiran 2 menjelaskan indikator 18 “Setiap SD/MI
memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku referensi, dan setiap SMP dan MTs
memiliki 200 judul buku pengayaan dan 20 buku referensi”. Hal ini menegaskan
pentingnya peran buku, dalam bentuk buku teks, dan buku komersial (buku cerita
fiksi dan nonfiksi dalam pembelajaran di sekolah).
10. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 43
Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
11. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menumbuhkembangkan ekosistem pendidikan dan kebudayaan melalui gerakan literasi
sekolah agar menjadi pembelajar sepanjang hayat.
2. Tujuan Khusus
a. menumbuhkembangkan budi pekerti;
b. membangun ekosistem pendidikan dan kebudayaan berbasis literasi;
c. menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar (learning organization);
13. 5
d. mempraktikkan kegiatan pengelolaan pengetahuan (knowledge management);
e. menjaga keberlanjutan budaya literasi.
D. Sasaran
Sasaran Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah ekosistem sekolah pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah yang meliputi satuan pendidikan SD, SMP, SMA,
SMK, dan SLB.
15. BAB II
KONSEP DASAR
A. Literasi
Pada dasarnya literasi merupakan kegiatan yang berhubungan dengan membaca dan
menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi tidak
hanya berkaitan dengan dua aktivitas tersebut. Ia juga mencakup bagaimana seseorang
berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial
yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (Unesco, 2003).
Deklarasi yang difasilitasi oleh Unesco itu juga menyebutkan bahwa literasi
informasi terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan,
menemukan,mengevaluasi,menciptakansecaraefektifdanterorganisasi,menggunakan
dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi berbagai persoalan. Kemampuan-
kemampuan itu harus dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk b erpartisipasi dalam
masyarakat informasi, dan itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran
sepanjang hayat.
Maka, secara sederhana, dalam konteks peserta didik, dapat disimpulkan bahwa
kegiatanliterasimerupakancarapesertadidikmengakses,memahami,danmenggunakan
informasi yang berada di sekitarnya untuk mengatasi berbagai permasalahan hidupnya.
16. 8
B. Jenis Literasi
Secara umum, literasi memiliki lima komponen penting yang saling berkaitan sebagai
berikut.
1. Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan,
berbicara, membaca, menulis, dan menghitung. Dalam literasi dasar, kemampuan
untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting)
berkaitan dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan (calculating),
mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan
informasi (drawing) berdasar pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.
2. Literasi Perpustakaan (Library Literacy), yaitu kemampuan lanjutan untuk
bisa mengoptimalkan Literasi Perpustakaan yang ada. Maksudnya, pemahaman
tentang keberadaan perpustakaan sebagai salah satu akses mendapatkan informasi.
Pada dasarnya literasi perpustakaan, antara lain, memberikan pemahaman cara
membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan
periodikal, memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang
memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog
dan pengindeksan, hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi
ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi
masalah.
3. Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai
bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (media radio,
mediatelevisi),mediadigital(mediainternet),danmemahamitujuanpenggunaannya.
Secara gamblang saat ini bisa dilihat di masyarakat kita bahwa media lebih sebagai
hiburan semata. Kita belum terlalu jauh memanfaatkan media sebagai alat untuk
pemenuhan informasi tentang pengetahuan dan memberikan persepsi positif dalam
menambah pengetahuan.
4. Literasi Teknologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami
kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti
lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya,
dapat memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses
internet. Dalam praktiknya, juga pemahaman menggunakan komputer (Computer
Literacy) yang di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer,
menyimpan dan mengelola data, serta menjalankan program perangkat lunak.
17. 9
Sejalan dengan membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini,
diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan
masyarakat.
5. Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi
media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan
belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara kritis dan
bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang setiap hari membanjiri kita, baik
dalam bentuk tercetak, di televisi maupun internet, haruslah terkelola dengan baik.
Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu
disaring berdasar etika dan kepatutan.
Dalam konteks Indonesia, kelima komponen tersebut di atas perlu diawali dengan
literasi usia dini yang mencakup fonetik, alfabet, kosakata, sadar dan memaknai materi
cetak (print awareness), dan kemampuan menggambarkan dan menceritakan kembali
(narrative skills). Pemahaman literasi dini sangat penting dipahami oleh masyarakat
karena menjamurnya lembaga bimbingan belajar baca-tulis-hitung bagi batita dan
balita menggunakan cara yang kurang sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak.
Oleh karena itu, perlu diberi perhatian terhadap keberlangsungan pendidikan literasi
usia dini berlanjut ke literasi dasar sebagaimana dipaparkan pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Peran Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan Literasi
No Komponen Literasi Pihak yang Berperan Aktif
1. Literasi usia dini Orangtua dan keluarga
2. Literasi dasar Pendidikan formal
3. Literasi perpustakaan Pendidikan formal
4. Literasi teknologi Pendidikan formal dan keluarga
5. Literasi media Pendidikan formal, keluarga, dan lingkungan sosial
6. Literasi visual Lingkungan sosial
Dalam pendidikan formal, peran aktif para pemangku kepentingan, yaitu kepala
sekolah, guru, tenaga pendidik, dan pustakawan sangat berpengaruh untuk memfasilitasi
pengembangan komponen literasi peserta didik. Selain itu, diperlukan juga pendekatan
cara belajar-mengajar yang keberpihakannya jelas tertuju kepada komponen-komponen
literasi ini. Kesempatan peserta didik terpajan dengan kelima komponen literasi akan
18. 10
menentukan kesiapan peserta didik berinteraksi dengan literasi visual. Sebagai langkah
awal, dapat disimpulkan bahwa diperlukan perubahan paradigma semua pemangku
kepentingan untuk terciptanya lingkungan literasi ini.
C. Literasi di Sekolah
Kegiatan literasi di sekolah seharusnya tidak lagi dipahami hanya aktivitas baca, tulis,
dan hitung (calistung). Tidak pula menempatkan perpustakaan dan akses internet
sekadar sarana mendapatkan informasi. Pihak sekolah, dalam hal ini kepala sekolah,
pendidik, dan tenaga kependidikan, harus membekali peserta didik dengan kemampuan
dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas.
Mengacu pada metode pembelajaran Kurikulum 2013 yang menempatkan peserta
didik sebagai subjek pembelajaran dan guru sebagai fasilitator, kegiatan literasi tidak
lagi berfokus pada peserta didik semata. Guru selain sebagai fasilitator juga menjadi
subjek pembelajaran. Namun, pada kenyataannya, akses tidak terbatas peserta didik
pada sumber informasi, baik di dunia nyata (koran, televisi, radio) maupun dunia maya
(laman berita, blog, dll.) dapat memosisikan mereka sebagai yang lebih banyak tahu
daripada guru mereka sendiri. Ketika peserta didik dalam berliterasi tidak lepas dari
kontribusi guru, guru harus berupaya menjadi fasilitator yang berkualitas. Guru yang
malas membaca dan menulis serta gagap teknologi akan melahirkan peserta didik yang
kurang baik dalam berliterasi.
Oleh karena itu, dalam konteks literasi di sekolah, subjek dalam kegiatan literasi
adalah peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan (pustakawan, pengawas), dan
kepala sekolah. Literasi menjadi gerakan bersama yang menempatkan warga sekolah
sebagai subjek.
1. Prinsip-prinsip Literasi Sekolah
Menurut Beers (2013), praktik-praktik yang baik dalam gerakan literasi sekolah
menekankan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. Perkembangan literasi berjalan sesuai dengan tahap perkembangan yang bisa
diprediksi
Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan menulis sifatnya saling
beririsan antartahap. Memahami tahap perkembangan literasi dapat membantu
19. 11
sekolah untuk memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat
sesuai dengan kebutuhan perkembangan peserta didik.
b. Program literasi yang baik bersifat berimbang
Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwa tiap
peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian,
diperlukan berbagai strategi membaca dan jenis teks yang bervariasi pula.
Program literasi yang berimbang merangkul pendekatan apa pun yang bermakna
dan yang bisa menjadikan peserta didik menjadi pembaca yang kuat. Program
literasi yang bermakna bisa dilakukan dengan memanfaatkan bahan bacaan kaya
teks seperti karya sastra untuk anak dan remaja.
c. Program literasi berlangsung di semua area kurikulum
Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab
semua guru di semua mata pelajaran. Pembelajaran di mata pelajaran apa pun
membutuhkan bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan demikian,
pengembangan profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru
semua mata pelajaran.
d. Tidak ada istilah terlalu banyak untuk membaca dan menulis yang bermakna
Kegiatan membaca dan menulis di kelas perlu dilakukan kapan pun kondisi di
kelasmemungkinkan.Untukitu,perluditekankanbentukkegiatanyangbermakna
dan kontekstual. Misalnya, ‘menulis surat untuk walikota’ atau ‘membaca untuk
ibu’ adalah contoh-contoh kegiatan yang bermakna dan memberikan kesan kuat
kepada peserta didik.
e. Diskusi dan strategi bahasa lisan sangat penting
Kelas berbasis literasi yang kuat akan melakukan berbagai kegiatan lisan berupa
diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini juga
harus membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat agar kemampuan
berpikir kritis bisa diasah. Peserta didik perlu belajar untuk menyampaikan
perasaan dan pendapatnya, saling mendengarkan, dan menghormati perbedaan
pandangan satu sama lain.
20. 12
f. Keberagaman perlu dirayakan di kelas dan sekolah
Penting bagi pendidik untuk tidak hanya menerima perbedaan, namun juga
merayakannya melalui agenda literasi di sekolah. Buku-buku yang disediakan
untuk bahan bacaan peserta didik perlu merefleksikan kekayaan budaya Indonesia
agar peserta didik bisa terpajan pada pengalaman multikultural sebanyak mung
kin.
2. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah
Sekolah memiliki peran yang amat penting dalam menanamkan budaya literat pada
anak didik. Untuk itu, tiap sekolah tanpa terkecuali harus memberikan dukungan penuh
terhadap pengembangan literasi. Di sekolah dengan budaya literasi yang tinggi, peserta
didik akan cenderung lebih berhasil, dan guru lebih bersemangat mengajar.
Perlu dipahami bahwa program membaca seperti membaca bebas dan membaca
bersuara hanyalah bagian dari kerangka besar untuk membangun budaya literasi
sekolah. Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan budaya li
terat, Beers, dkk. (2009) memberikan beberapa strategi untuk menciptakan budaya
literasi yang positif di sekolah.
a. Lingkungan fisik ramah literasi
Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat pengunjung. Pada dasarnya,
lingkungan fisik haruslah ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang
mendukung pengembangan budaya literasi memiliki beberapa kondisi, antara
lain karya peserta didik dipajang di seluruh penjuru sekolah, termasuk koridor
dan kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, karya-karya peserta didik diganti
secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua kelas untuk menjadi
perhatian. Selain itu, buku dan bahan bacaan lain dapat diperoleh dengan mudah
di pojok baca pada semua kelas, kantor, dan ruang lain di sekolah. Kantor kepala
sekolah idealnya juga memajang karya peserta didik dan buku-buku bacaan
anak. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta didik akan memberikan
kesan positif tentang komitmen sekolah terhadap pengembangan budaya literat.
b. Lingkungan sosial dan afektif
Sekolah dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen
sekolah. Hal ini bisa dibentuk dengan cara pemberian pengakuan atas pencapaian
21. 13
peserta didik sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat
upacara bendera pada setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta didik
di semua aspek. Sesuai dengan semangat literasi, prestasi yang dihargai tidak
hanya akademik, namun juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan demikian,
setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghargaan
sekolah. Selain itu, literasi mewarnai semua perayaan penting pada sepanjang
tahun pelajaran. Hal ini bisa direalisasikan dalam bentuk festival buku, lomba
poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya. Pimpinan
sekolah harus mengambil peran aktif dalam menggerakkan literasi. Hal yang
bisa dilakukan, antara lain membangun budaya kolaboratif antarguru dan staf
sekolah. Dengan demikian, setiap orang bisa terlibat sesuai dengan kepakaran
masing-masing. Peran orang tua sebagai sukarelawan dalam gerakan literasi akan
semakin memperkuat komitmen sekolah dalam pengembangan budaya literat.
c. Lingkungan akademik
Lingkungan fisik dan sosial akan bisa dibangun apabila lingkungan akademik
tercipta. Hal ini bisa dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di
sekolah.Pimpinansekolahbisamembentuktimliterasi.Timinibertugasmembuat
perencanaan dan asesmen program.Adanya Tim literasi sekolah bisa memastikan
terciptanya suasana akademik yang kondusif, yang mampu membuat seluruh
anggota komunitas sekolah antusias untuk belajar. Sekolah harus memberikan
alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya
dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan membacakan buku
dengan nyaring selama 15–30 menit sebelum pelajaran berlangsung, minimal
tiga kali seminggu. Waktu literasi ini sedapat mungkin tidak dikorbankan untuk
kegiatan lain yang tidak perlu. Untuk menunjang kemampuan guru dan staf,
mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti program pelatihan tenaga
kependidikan demi peningkatan kapasitas literasi.
Tabel 2.2 berikut ini mencantumkan beberapa parameter yang dapat digunakan
sekolah untuk membangun budaya literasi sekolah yang baik.
22. 14
Tabel 2.2 Lingkungan Sekolah yang Literat
a. Lingkungan Fisik
1) Karya peserta didik dipajang di sepanjang lingkungan sekolah, termasuk koridor dan kantor (kepala
sekolah, guru, administrasi, bimbingan konseling).
2) Karya peserta didik dirotasi secara berkala untuk memberi kesempatan yang seimbang kepada semua
peserta didik.
3) Buku dan materi bacaan lain tersedia di pojok-pojok baca di semua ruang kelas.
4) Buku dan materi bacaan lain tersedia juga untuk peserta didik dan orang tua/pengunjung di kantor dan
ruangan selain ruang kelas.
5) Kantor kepala sekolah memajang karya peserta didik dan buku bacaan untuk anak.
6) Kantor kepala sekolah mudah diakses oleh warga sekolah.
b. Lingkungan Sosial dan Afektif
1) Penghargaan terhadap prestasi peserta didik (akademik dan nonakademik) diberikan secara rutin (tiap
minggu/bulan). Upacara hari Senin merupakan salah satu kesempatan yang tepat untuk pemberian
penghargaan mingguan.
2) Kepala sekolah mengenali peserta didik apabila masuk ruang kelas (bukan hanya peserta didik yang
berprestasi atau dianggap bermasalah).
3) Kepala sekolah terlibat aktif dalam pengembangan literasi.
4) Merayakan hari-hari besar dan nasional dengan nuansa literasi, misalnya merayakan Hari Kartini
dengan membaca surat-suratnya.
5) Terdapat budaya kolaborasi antarguru dan staf, dengan mengakui kepakaran masing-masing (dan tidak
saling menjatuhkan).
6) Terdapat waktu yang memadai bagi staf untuk berkolaborasi menjalankan program literasi dan hal-hal
yang terkait dengan pelaksanaannya.
7) Staf sekolah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam menjalankan program
literasi.
c. Lingkungan Akademik
1) TerdapatTim Literasi Sekolah yang bertugas melakukan asesmen dan perencanaan.Apabila diperlukan,
ada pendampingan dari pihak eksternal.
2) Disediakan waktu khusus dan cukup banyak untuk pembelajaran dan pembiasaan literasi: membaca
dalam hati (sustained silent reading), membacakan buku dengan nyaring (reading aloud), membaca
bersama (shared reading), membaca terpandu (guided reading), diskusi buku, bedah buku, presentasi
(show-and-tell presentation).
3) Waktu literasi dijaga agar tidak dikorbankan untuk kepentingan lain yang dianggap tidak perlu.
4) Disepakati waktu berkala untuk Tim Literasi Sekolah membahas pelaksanaan gerakan literasi sekolah.
5) Buku fiksi dan nonfiksi tersedia dalam jumlah cukup banyak di sekolah. Buku cerita fiksi sama
pentingnya dengan buku berbasis ilmu pengetahuan.
23. 15
6) Ada kesempatan pengembangan profesional tentang literasi yang diberikan untuk staf, melalui kerja
sama dengan institusi terkait (perguruan tinggi, dinas pendidikan, dinas perpustakaan, atau berbagi
pengalaman dengan sekolah lain).
7) Seluruh warga sekolah antusias menjalankan program literasi, dengan tujuan membangun organisasi
sekolah yang suka belajar.
Strategi tersebut bisa diadaptasi, sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah.
Namun, pada dasarnya, aspek-aspek yang disebutkan adalah karakteristik yang perlu
dipenuhi dalam pengembangan budaya literasi di sekolah. Melalui pelaksanaan satu
per satu, dengan kerja sama antara guru dan pimpinan sekolah maka kita bisa bermimpi
suatu saat Indonesia akan menjadi bangsa yang literat.
25. BAB III
RANCANGAN INDUK
PELAKSANAAN
LITERASI SEKOLAH
A. Rancangan Pelaksanaan Gerakan Literasi
Sekolah
Kesuksesan GLS membutuhkan partisipasi aktif semua unit kerja di lingkungan
internal Kemendikbud (Permendikbud Nomor 11 Tahun 2015) dan juga kolaborasi
dengan lembaga di luar Kemendikbud. Pelaksanaan program literasi di semua satuan
pendidikan melibatkan semua pemangku kepentingan, meliputi pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota. Pada lingkup internal Kemendikbud, kolaborasi literasi
melibatkan, antara lain Badan Bahasa, LPMP, Balitbang (Puskurbuk dan Puspendik),
dan Pustekkom, sedangkan pada lingkup eksternal Kemendikbud melibatkan, antara
lain perguruan tinggi, Perpustakaan Nasional RI (PNRI), Ikapi, lembaga donor, dan
lain-lain.
Struktur organisasi kerja sama tersebut digambarkan dalam Bagan 3.1 berikut
ini.
27. 19
Di samping itu, kegiatan literasi sekolah membutuhkan partisipasi semua
pemangku kepentingan di tingkat pemerintahan, dari tingkat pemerintah pusat, dinas
pendidikan provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan di tingkat sekolah. Di
tingkat satuan pendidikan, yang menerima perlakuan (intervensi) adalah kepala
sekolah, pengawas, guru, komite sekolah, dan masyarakat, termasuk dunia usaha
dan industri. Perlakuan yang akan diberikan kepada setiap unsur akan berbeda sesuai
dengan peran dan kapasitasnya dalam pendidikan terkait dengan kebijakan yang
berlaku. Dari unsur masyarakat dapat melibatkan, antara lain lembaga masyarakat
di bidang pendidikan, perpustakaan masyarakat, taman bacaan masyarakat, dan para
tokoh masyarakat. Pelibatan dari dunia industri dapat berupa program pendidikan
yang merupakan implementasi dari Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate
Social Responsibility). Kesuksesan program literasi sekolah dapat dicapai apabila tiap-
tiap pemangku kepentingan memiliki kapasitas yang memadai untuk melaksanakan
program literasi sesuai dengan perannya masing-masing.
28. 20
A. Peran Pemangku Kepentingan
Bagan 3.2 Pemangku Kepentingan Literasi
KEMENDIKBUD
-- Kebijakan Nasional
-- Panduan
-- Sosialisasi kepada
Disdik Provinsi,
Kab/Kota, Satuan
Pendidikan dan
Masyarakat.
-- Pelatihan Guru
-- Monitoring dan
Evaluasi pelaksanaan
gerakan di tingkat
Provinsi, Kab/
Kota dan Satuan
Pendidikan
DISDIK KAB/KOTA
-- Kebijakan Daerah
-- Sosialisasi kepada
Satuan Pendidikan
dan Masyarakat
-- Pelatihan dan
pendampingan
pelaksanaan gerakan
di Satuan Pendidikan
-- Monitoring dan
Evaluasi pelaksanaan
gerakan di tingkat
Satuan Pendidikan
SATUAN PENDIDIKAN
-- Visi dan Misi SD
-- Kebijakan SD
-- Pelaksanaan Pembelajaran
-- Pembiasaan
-- Sarana dan prasarana dan
Fasilitas Pendukung
-- Pengelolaan Sarana dan Prasarana
dan Fasilitas Pendukung
-- Pelatihan guru
-- Pelibatan Publik (Komite
SD dan masyarakat)
DISDIK PROVINSI
-- Kebijakan Daerah
-- Sosialisasi kepada
Disdik Kab/Kota.
-- Monitoring
dan Evaluasi
pelaksanaan
gerakan di tingkat
Kabupaten/Kota
MASYARAKAT
-- Gerakan publik
-- Berpartisipasi dalam kegiatan
di satuan pendidikan
Keterangan:
Struktur Implementasi
Garis Pelaporan
29. 21
Kegiatan literasi dapat berjalan dengan optimal dengan kolaborasi antara semua
elemen pemerintah dan masyarakat. Lembaga pemerintah dan masyarakat memiliki
peran sebagai berikut.
1. Kemendikbud
a. membuat kebijakan;
b. menjabarkan desain induk pelaksanaan GL;
c. menyusunpanduanpelaksanaan,petunjukteknis,dansemuadokumenpendukung
pelaksanaan program;
d. melaksanakan sosialisasi program kepada dinas pendidikan provinsi, kabupaten/
kota, satuan pendidikan, dan masyarakat;
d. merancang dan melaksanakan pelatihan untuk warga sekolah dan masyarakat;
e. melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, dan satuan pendidikan; dan
f. membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi
pelaksanaan program.
2. Dinas Pendidikan Provinsi
a. melakukan analisis kebutuhan dan mengkaji isu-isu strategis yang terkait dengan
kemampuan literasi guru dan peserta didik di wilayah masing-masing;
b. membuat kebijakan daerah untuk mendukung pelaksanaan program;
c. melakukan sosialisasi konsep, program, dan kegiatan literasi di satuan pendidikan
di kabupaten/kota masing-masing;
d. melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan
literasi di tingkat provinsi dan lingkungan dinas pendidikan kabupaten/kota; dan
e. membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi
pelaksanaan program.
3. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
a. melakukan analisis kebutuhan dan mengkaji isu-isu strategis yang terkait dengan
kemampuan literasi guru dan peserta didik di wilayah masing-masing;
b. membuat kebijakan daerah untuk mendukung pelaksanaan program;
c. melakukan sosialisasi konsep, program, dan kegiatan literasi di satuan pendidikan
di kabupaten/kota masing-masing;
30. 22
d. merencanakan dan melaksanakan pendampingan dan pelatihan kepada warga
sekolah untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memberikan pelayanan
pendidikan terutama pelaksanaan pembelajaran yang mampu meningkatkan
kemampuan literasi peserta didik;
e. memantau serta memastikan ketersediaan buku referensi dan buku pengayaan di
sekolah;
f. melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan
literasi di tingkat kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan masyarakat; dan
g. membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi
pelaksanaan program.
4. Satuan Pendidikan
a. mengidentifikasi kebutuhan sekolah dengan mengacu pada Standar Pendidikan
Nasional atau minimal mengacu pada Standar Pelayanan Minimal Pendidikan
Dasar;
b. melaksanakan kegiatan pembiasaan harian, mingguan, bulanan, dan semester
sebagaimana dijabarkan dalam Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang
Penumbuhan Budi Pekerti;
c. melaksanakan pelatihan guru untuk meningkatkan kemampuan guru dalam
merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang mampu meningkatkan
kemampuan literasi peserta didik;
d. memanfaatkan sarana dan prasarana sekolah dengan maksimal untuk
memfasilitasi pembelajaran;
e. mengelola perpustakaan sekolah dengan baik;
f. menginventarisasi semua prasarana yang dimiliki sekolah (salah satunya buku).
g. menciptakan ruang-ruang baca bagi warga sekolah;
h. melaksanakan kegiatan membaca selama 15 menit sebelum pembelajaran;
i. mengawasi dan mewajibkan peserta didik membaca sejumlah buku sastra dan
menyelesaikannya dalam kurun waktu tertentu;
j. Komite Sekolah mendukung dan terlibat aktif dalam kegiatan gerakan literasi
sekolah;
k. merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang melibatkan orangtua dan
masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap literasi agar
31. 23
perlakuan yang diberikan kepada peserta didik di sekolah bisa ditindaklanjuti
di dalam keluarga dan di tengah masyarakat;
l. merencanakan dan atau bekerja sama dengan pihak lain yang melaksanakan
berbagai kegiatan literasi;
m. melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan
literasi yang dilaksanakan; dan
n. membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi
pelaksanaan program.
5. Masyarakat
a. ikut terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan sekolah untuk meningkatkan
kemampuan literasi warga sekolah; dan
b. menyelenggarakan gerakan publik, antara lain gerakan membacakan buku
untuk anak, gerakan mengumpulkan buku anak dan menyalurkannya ke taman-
taman bacaan, dan gerakan untuk menghidupkan taman-taman bacaan di ruang
publik yang ramah anak.
C. Tahapan Pengembangan Gerakan Literasi
Sekolah
GLS dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan sekolah di
seluruhIndonesia.Kesiapaninimencakupkesiapankapasitasfisiksekolah(ketersediaan
fasilitas, sarana, prasarana literasi), kesiapan warga sekolah (peserta didik, tenaga
pendidik, orangtua, dan komponen masyarakat lain), dan kesiapan sistem pendukung
lainnya (partisipasi publik, dukungan kelembagaan, dan perangkat kebijakan yang
relevan). Untuk memastikan keberlangsungannya dalam jangka panjang, program
literasi sekolah dilaksanakan dengan peta sebagai berikut.
Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang menyenangkan di
ekosistem sekolah
32. 24
Pembiasaan ini bertujuan menumbuhkan minat terhadap bacaan dan terhadap
kegiatan membaca dalam diri warga sekolah. Penumbuhan minat baca
merupakan hal fundamental bagi pengembangan kemampuan literasi lanjut.
Tahap ke-2: Pengembangan lebih lanjut minat baca untuk kemampuan
literasi tahap berikutnya
Kegiatanliterasipadatahapinidiharapkanmampumengembangkankemampuan
memahami bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir
kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif (verbal, tulisan,
visual, digital) melalui respons terhadap bacaan.
Tahap ke-3: Pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi
Dalam tahap ini, pembelajaran semua mata pelajaran dilakukan dengan merujuk
pada ragam teks (cetak/visual/digital) yang tersedia dalam format buku-buku
pengayaan. Guru diharapkan bersikap kreatif dan proaktif mencari referensi
pembelajaran yang relevan dan mengurangi kebergantungan pada buku teks
pelajaran dan Lembar Kerja Siswa (LKS).
Beberapa manfaat dari pembelajaran berbasis literasi, antara lain
a. meningkatkan kapasitas guru dan tenaga pendidik lain dalam mengelola
sumber daya sekolah untuk mengoptimalkan pembelajaran sesuai dengan
minat, potensi peserta didik, dan budaya lokal, tenaga pendidik akan menjadi
figur teladan literasi dan pembelajar sepanjang hayat;
b. pembelajaran berbasis literasi mengakomodasi pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik (Cara Belajar Peserta Didik Aktif) sehingga sekolah
perlahan-lahan akan beralih dari metode konvensional/klasikal di mana guru
menyediakan informasi untuk pembelajaran;
c. mengurangi beban kognitif peserta didik dalam mengolah pengetahuan
karena pembelajaran akan disajikan melalui buku-buku pengayaan yang
berkualitas baik dan menarik;
d. warga sekolah akan terbiasa mengolah informasi sesuai dengan kemanfaatan,
akurasi konten, kepatutan dengan usia, dan tujuan pembelajaran;
33. 25
mampumencari pengetahuansecara mandiri dan dapat menerapkan metoda
pembelajaran yang sesuai dengan minat dan potensi mereka; dan
e. warga sekolah akan terhubung dengan jejaring komunitas literasi karena
pembelajaran berbasis literasi akan membutuhkan partisipasi publik serta
dunia industri dan usaha.
.
Bagan 3.3
Peta Pengembangan Literasi Sekolah dalam Skema 3 Tahap
Pembiasaan
Pengembangan
Pembelajaran
Tabel 3.1
Fokus Kegiatan dalam Pengembangan Gerakan Literasi Sekolah
TAHAPAN KEGIATAN
PEMBIASAAN 1. membangun ekosistem gerakan literasi sekolah dengan fokus pada
lingkungan fisik
2. membaca selama 15 menit setiap hari sebelum jam pelajaran melalui
kegiatan membacakan nyaring (read aloud), membaca dalam hati
(sustained silent reading), dan peta cerita (story mapping)
PENGEMBANGAN 1. mengembangkan ekosistem literasi sekolah yang mencakup
lingkungan fisik, sosial afektif, dan akademik
2. membaca selama 15 menit setiap hari sebelum jam pelajaran melalui
kegiatan membacakan nyaring (read aloud), membaca dalam hati
(sustained silent reading), dan peta cerita (story mapping)
3. Peningkatan kemampuan literasi melalui 2 jam pelajaran literasi di
saat kunjungan perpustakaan
PEMBELAJARAN Pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi
34. 26
D. Strategi
1. Strategi Umum
Peningkatankapasitassemuapemangkukepentinganterkaitkegiatanliterasimerupakan
sesuatu yang mutlak dilakukan. Sebab, sebagai gerakan bersama, kegiatan literasi
meniscayakan semua pelaku adalah subjek. Tidak ada objek. Bisa jadi, program yang
digulirkan oleh tingkat tertentu juga berlaku bagi para pelaku di tingkat tersebut.
Peningkatan kapasitas di semua lini, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/
kota, hingga satuan pendidikan, dapat dilakukan melalui pelaksanaan gerakan literasi di
lingkungan satuan pendidikan dasar dan menengah mulai dari SD, SMP, SMA, SMK,
dan SLB (SDLB, SMPLB, SMALB) dengan strategi, antara lain:
a. menggulirkan dan menggelorakan gerakan literasi di sekolah;
b. menyiapkan kebijakan pimpinan dari pusat sampai daerah dengan program literasi
yang jelas, terukur, dan dapat dilaksanakan sampai tingkat satuan pendidikan;
c. meningkatkan kapasitas sekolah untuk menyuburkan tumbuh-kembangnya literasi
warga sekolah:
1) sarana prasarana/lingkungan sekolah, perpustakaan, dan buku, dan
2) sumber daya manusia (pengawas, kepala sekolah, guru, pustakawan, komite
sekolah);
d. menyemai gerakan literasi akar rumput;
e. meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya literasi;
f. memberikan apresiasi atas capaian literasi berupa pemberian penghargaan literasi
(Adiliterasi); dan
g. melaksanakan monitoring dan evaluasi untuk peningkatan berkelanjutan bagi literasi
sekolah..
35. 27
2. Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan dapat dipaparkan pada Bagan 3.4 berikut.
Bagan 3.4
Strategi Pelaksanaan Literasi Sekolah
Kapitalitas Pemda Sosialisasi
Kemendikbud, Dinas Pendidikan Provinsi,
Dinas Pendidikan Kab/Kota
PelaksanaanLiterasi
Kapitalitas Warga
Sekolah
PELATIHAN DAN
PENDAMPINGAN
1. Pelaksanaan Pembelajaran
2. Pembiasaan
3. Pengelolaan Sarpras
Pelatihan Kepala Sekolah
Pelatihan Guru
Pelatihan Tenaga Kependidikan
Pustakawan
Ketersediaan
Sarpras
Perencanaan dan Penganggaran
yang Baik berdasarkan analisa
kebutuhan Sosialisasi Komite Sekolah
Di tingkat sekolah, kesuksesan gerakan literasi ditentukan oleh adanya
dukungan pemerintah daerah dalam melakukan sosialisasi, meningkatnya peran dan
kapasitas warga sekolah (kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, pustakawan,
dan Komite Sekolah). Peningkatan kapasitas ini dapat dilakukan melalui pelatihan
dan pendampingan. Selain itu, keberlangsungan program literasi juga ditentukan oleh
ketersediaan sarana dan prasarana sekolah yang menunjang kegiatan literasi.
E. Peningkatan Kapasitas
Peningkatan kapasitas di semua lini, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota,
hingga satuan pendidikan, dapat dilakukan melalui tiga pendekatan:
1. Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan dengan tujuan agar program dan kebijakan terkait literasi
tersampaikan ke publik secara massif dan mudah diakses. Semua lapisan masyarakat,
36. 28
kapanpun dan di manapun, dapat dengan mudah mengakses informasi penting seputar
kegiatan literasi.
Perlu diperhatikan, sosialisasi tidak selesai pada sampainya informasi kepada
masyarakat. Masyarakat juga harus terlibat dalam kegiatan sosialisasi tersebut.
Maka, kegiatan sosialisasi harus dikemas semenarik mungkin untuk memikat minat
masyarakat, terutama kalangan pelajar.
Pengemasan materi sosialisasi juga harus dilakukan dengan strategi matang.
Sebab, tujuan sosialisasi bukan hanya agar orang lain tahu, melainkan turut melakukan.
2. Lokakarya
Lokakarya diperlukan untuk menyamakan persepsi dan menentukan langkah bersama
dalam gerakan literasi. Forum ini mengundang sejumlah pihak terkait dan berkompeten
untuk membahas berbagai persoalan dari sudut pandang ilmiah mengenai problematika
literasi dan cara terbaik penanganannya. Lokakarya dapat menghasilkan rekomendasi
dan kesepakatan di bidang literasi yang mengikat semua pihak untuk menjalankannya
secara konsisten.
3. Pendampingan
Pendampingan adalah upaya untuk memastikan keberlangsungan program literasi
sekolah. Pendampingan dilakukan melalui dua cara, yaitu pendampingan teknis dan
pendampingan operasional.
a) Pendampingan teknis berupa penguatan kapasitas guru dan tenaga pendidik melalui
pelatihan-pelatihan dan semiloka.
b) Pendampingan operasional diberikan dalam bentuk saran-saran kegiatan dan
petunjuk langsung yang diberikan sebagai bagian dari kegiatan harian literasi
sekolah. Pendampingan operasional biasanya berupa kunjungan terhadap kepala
sekolah dan tenaga pendidik (pustakawan, guru) dan saran-saran perbaikan program
atau pemecahan masalah.
Idealnya, pendampingan teknis dan pendampingan operasional diberikan oleh
orang yang sama. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar materi-materi yang diberikan
dalam kegiatan pendampingan teknis dapat diimplementasikan dalam kegiatan harian
sekolah. Namun, seandainya hal ini tidak mungkin, pendampingan operasional dapat
37. 29
diberikan oleh pengawas, anggota tim LPMP, atau tokoh LSM yang memiliki visi
literasi.
4. Penyediaan Sarana dan Prasarana
Agar berjalan efektif dan komprehensif, gerakan literasi membutuhkan dukungan sarana
dan prasarana yang memadai. Dukungan ini dapat berupa dokumen, infrastruktur,
program, dan produk pendukung lainnya. Alokasi anggaran memadai sangat penting
untuk mendukung pengadaan semua keperluan tersebut.
Penyediaan sarana dan prasarana dapat berasal dari pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten/kota, dan pemangku kepentingan lainnya.
F. Target Pencapaian
Program literasi sekolah diharapkan akan menciptakan ekosistem sekolah yang literat.
Ekosistem sekolah yang literat adalah lingkungan sekolah yang
1. menyenangkan dan ramah anak sehingga menumbuhkan semangat warganya dalam
belajar;
2. semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan menghargai sesama;
3. menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan;
4. memampukan warganya cakap berkomunikasi dan dapat berkontribusi pada ling
kungan sosialnya; dan
5. mengakomodasi partisipasi seluruh warga dan lingkungan eksternal sekolah.
38. 30
Tabel 3.2 Ekosistem Sekolah yang Diharapkan di Setiap Jenjang
SD Ekosistem SD yang literat adalah kondisi yang menanamkan dasar-dasar sikap dan perilaku
empati sosial dan cinta kepada pengetahuan.
SMP Ekosistem SMP yang literat adalah kondisi yang memungkinkan pengembangan sikap
kreatif, inovatif, perilaku empati sosial, dan cinta kepada pengetahuan.
SMA Ekosistem SMA yang literat adalah kondisi yang memungkinkan pengembangan sikap dan
perilaku kritis dan ilmiah.
SMK Ekosistem SMK yang literat adalah kondisi yang memungkinkan pengembangan sikap
kritis, kreatif, inovatif, berjiwa wirausaha, dan cinta kepada pengetahuan.
SLB Ekosistem SLB yang literat adalah kondisi yang memungkinkan pengembangan sikap dan
perilaku yang baik, berempati sosial, mandiri, dan terampil.
Kemampuan literasi ditumbuhkan secara berkesinambungan pada satuan
pendidikan SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB. Perkembangan teknologi dan media
menuntut kemampuan literasi peserta didik yang terintegrasi, dengan fokus kepada
aspek kreativitas, kemampuan komunikasi, kemampuan berpikir kritis, dan satu hal
yang penting adalah kemampuan untuk menggunakan media secara aman (media
safety) seperti yang dipaparkan pada Tabel 3.3 berikut.
Tabel 3.3 Peta Kompetensi Literasi Sekolah di Tahap Pertama Gerakan Literasi
Jenjang Komunikasi Berpikir Kritis
Keamanan Media
(Media Safety)
SD/SDLB awal mengartikulasikan empati
terhadap tokoh cerita
memisahkan fakta dan
fiksi
mampu menggunakan
teknologi dengan bantuan/
pendampingan orang
dewasa
SD/SDLB lanjut mempresentasikan cerita
dengan efektif
mengetahui jenis
tulisan dalam media
dan tujuannya
mengetahui batasan unsur
dan aturan kegiatan sesuai
konten
SMP/SMPLB bekerja dalam tim,
mendiskusikan informasi
dalam media
menganalisis dan
mengelola informasi
dan memahami
relevansinya
memahami etika dalam
menggunakan teknologi
dan media sosial
SMA/SMK/
SMALB
mempresentasikan analisis
dan mendiskusikannya
menganalisis stereotip/
ideologi dalam media
memahami landasan
etika dan hukum/aturan
teknologi
39. 31
Kompetensi berjenjang tersebut dicapai melalui kegiatan yang relevan di satuan
pendidikan SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan SMA/SMK/SMLB. Fokus kegiatan di
tiaptiap jenjang perlu melibatkan aspek-aspek menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis yang didukung oleh jenis bacaan dan sarana/prasarana yang sesuai dengan
kegiatan di setiap jenjang. Hal ini dijabarkan sebagai berikut.
Tabel 3.4 Cakupan Kegiatan Literasi Berdasarkan Kompetensi pada Tahap
Pertama Gerakan Literasi
Jenjang Menyimak Membaca Kegiatan Jenis Bacaan
Sarana &
Prasarana
SD
awal
menyimak
cerita untuk
menumbuhkan
empati
mengenali
dan membuat
inferensi, prediksi,
terhadap gambar
membacakan
buku cerita
dengan
nyaring,
membaca
dalam hati
buku cerita
bergambar, buku
tanpa teks, buku
dengan teks
sederhana, baik fiksi
maupun nonfiksi
sudut buku
kelas,
perpustakaan,
area baca,
kantin, kebun
sekolah
SD
lanjut
menyimak
(lebih
lama) untuk
memahami isi
bacaan
memahami isi
bacaan dengan
berbagai strategi
(mengenali jenis
teks, membuat
inferensi,
koneksi dengan
pengalaman/teks
lain, dll)
membacakan
buku cerita
dengan
nyaring,
membaca
dalam hati
buku cerita
bergambar, buku
bergambar kaya teks,
buku novel pemula,
baik dalam bentuk
cetak/digital/visual
sudut buku
kelas,
perpustakaan,
area baca,
kantin, kebun
sekolah
SMP
menyimak
untuk
memahami
makna implisit
dari cerita/
pendapat
penulis
memahami isi
bacaan dengan
berbagai strategi
(mengenali jenis
teks, membuat
inferensi,
koneksi dengan
pengalaman/teks
lain, dll)
membacakan
buku dengan
nyaring,
membaca
dalam hati
Novel anak, artikel
media, komik,
semua jenis tulisan
(narasi, ekspositori,
argumentatif), dalam
bentuk cetak/digital/
visual
sudut buku
kelas,
perpustakaan,
area baca,
kantin, kebun
sekolah
SMA/
SMK
menyimak
cerita dan
melakukan
analisis kritis
terhadap
tujuan/
pendapat
penulis
mengembangkan
pemahaman
terhadap bacaan
menurut tujuan
penulisan,
konteks, dan
ideologi dalam
penulisannya
membacakan
buku dengan
nyaring,
membaca
dalam hati
Semua jenis teks
cetak/visual/digital
yang sesuai dengan
peruntukan usia
sudut buku
kelas,
perpustakaan,
area baca,
kantin, kebun
sekolah
41. BAB IV
PELAKSANAAN
GERAKAN LITERASI
DI SD
Kegiatan literasi di SD membutuhkan partisipasi semua pemangku kepentingan
di tingkat pemerintahan, mulai tingkat pemerintah pusat, Dinas Pendidikan
Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta satuan pendidikan di tingkat SD. Di tingkat satuan
pendidikan, yang menerima perlakuan (intervensi) adalah kepala sekolah, pengawas,
guru, komite sekolah, orangtua, dan masyarakat termasuk dunia usaha dan industri.
Perlakuan yang akan diberikan kepada setiap unsur akan berbeda sesuai dengan
peran dan kapasitasnya dalam pendidikan terkait dengan kebijakan yang berlaku.
Dari unsur masyarakat dapat melibatkan, antara lain, lembaga masyarakat di bidang
pendidikan dan kebudayaan, perpustakaan masyarakat, taman bacaan masyarakat, dan
para tokoh masyarakat. Pelibatan dari dunia usaha atau industri dapat berupa gerakan
pendidikan yang merupakan implementasi dari tanggung jawab sosial perusahaan
(corporate social responsibility). Kesuksesan gerakan literasi SD dapat dicapai apabila
tiap-tiap pemangku kepentingan memiliki kapasitas yang memadai untuk melaksanakan
gerakan literasi sesuai dengan perannya masing-masing.
A. Tahapan Pengembangan Literasi di SD
Gerakan literasi di SD dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan
kesiapan SD di seluruh Indonesia. Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas fisik SD
(ketersediaan fasilitas, sarana, prasarana literasi), kesiapan warga SD (peserta didik,
tenaga pendidik, orangtua, dan komponen masyarakat lain), dan kesiapan sistem
pendukunglainnya(partisipasipublik,dukungankelembagaan,danperangkatkebijakan
42. 34
yang relevan). Untuk memastikan keberlangsungannya dalam jangka panjang, gerakan
literasi SD dilaksanakan dengan pemetaan sebagai berikut.
Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang menyenangkan di
ekosistem sekolah.
Fokus kegiatan pada tahap ini adalah sebagai berikut.
a. Implementasi dan sosialisasi kegiatan membaca selama 15 menit
sebelum pelajaran dimulai
Kegiatan membaca yang dapat dilakukan adalah membacakan buku dengan
nyaring (read aloud) dan membaca dalam hati (sustained silent reading/SSR).
Selain itu, peserta didik dapat menonton film pendek dan mendiskusikannya.
Pada kegiatan ini, peserta didik diharapkan untuk tidak dibebani dengan tugas
menulis tanggapan terhadap bacaan (resume atau simpulan terhadap bacaan).
Tabel 3.5 Dua Cara Pembiasaan Membaca di SD
Dua Cara Menjadikan Peserta Didik Gemar Membaca
1
Membaca nyaring (read aloud) yang
dilakukan oleh guru/pustakawan/kepala
SD.
2
Membaca dalam hati (sustained silent
reading) adalah waktu yang diberikan
kepada peserta didik untuk membaca tanpa
gangguan.
Tujuan:
1. memberikan pengalaman membaca yang
menyenangkan;
2. memberikan contoh bagaimana cara
membaca;
3. melatih peserta didik menyimak;
4. menjadikan guru/pustakawan/kepala SD
teladan membaca.
Tujuan:
1. memberi kesempatan peserta didik untuk
meningkatkan kemampuan serta kelancaran
membaca melalui kegiatan membaca untuk
kesenangan;
2. meningkatkan motivasi kepada peserta
didik untuk membaca;
3. membangun kebiasaan membaca;
4. melatih peserta didik untuk berkonsentrasi.
43. 35
Tabel 3.6 Langkah-langkah Membaca Nyaring
A. Langkah-Langkah Membaca Nyaring (Read Aloud)
1. Persiapan
yang perlu
dilakukan
a. memahami tujuan dan metode membaca nyaring (read aloud);
b. merencanakan tujuan membaca;
c. mengetahui tingkat kemampuan berpikir dan membaca peserta didik;
d. memilih buku yang berkualitas baik dan memiliki isi yang disesuaikan
dengan perkembangan nalar peserta didik (termasuk perkembangan tren atau
minat peserta didik);
e. melakukan kegiatan prabaca dan baca ulang dengan tujuan
1) mengetahui jalannya cerita, atau isi/pesan dalam setiap buku yang
dibaca;
2) mengetahui letak tanda-tanda baca sehingga memungkinkan untuk
mengatur intonasi suara agar menarik atau menentukan kapan harus jeda;
3) mengantisipasi pertanyaan yang ditanyakan oleh peserta didik;
4) melakukan prediksi atau menghubungkan isi bacaan dengan hal lain yang
relevan;
f. menulis pertanyaan-pertanyaan sebagai bahan diskusi;
g. melatih intonasi, volume suara, dan gerak tubuh agar dapat membacakan
buku dengan menarik serta ekspresi wajah yang mendukung;
h. membuat perencanaan agar kegiatan ini dapat meningkatkan pemahaman
peserta didik atas bacaan.
2. Sebelum
membaca
nyaring
a. memulai dengan percakapan pembuka dan menyebutkan mengapa memilih
bahan bacaan tersebut;
b. menunjukkan sampul buku cerita yang akan dibacakan dan menyampaikan
gambaran singkat cerita;
c. menyebutkan judulnya, pengarang, dan ilustratornya;
d. menggali pengalaman peserta didik, misalnya dengan menanyakan: Apakah
ada di antara mereka yang pernah membaca buku tersebut? Apakah ada
yang memiliki buku itu? Atau apakah ada di antara mereka yang dapat
menduga isi buku itu?;
e. mulai menyusuri ilustrasi kalau terdapat dalam buku atau bahan bacaan;
f. melaksanakan/mengupayakan kegiatan membaca semenarik mungkin;
g. memperhatikan tujuan-tujuan membaca nyaring.
3. Saat
membaca
nyaring
a. suara dapat didengar seluruh peserta didik: tidak terlalu cepat, disertai
intonasi, ekspresi, dan gestur yang mendukung;
b. menjaga interaksi dengan pelibatan emosi yang positif;
c. bersikap responsif dalam berkomunikasi dengan peserta didik;
d. membantu peserta didik untuk belajar mendengar dan menyimak;
e. menjadikan bacaan sebagai media untuk berbagi informasi;
f. mengajak peserta didik untuk aktif bertanya;
g. menjadikan isi bacaan sebagai ajang diskusi;
h. mengajak peserta didik membuat peta cerita (story map) apabila waktu
memungkinkan;
i. mengajak peserta didik untuk mengungkapkan secara lisan apa yang
didengar atau dibacakan dan apa yang dipikirkan (think aloud) terkait
bacaan;
j. mengembangkan proses metakognitif (mengingat, memahami, menerapkan,
menganalisis serta sintesis, evaluasi, reflesi, dan kontemplasi).
44. 36
4. Setelah
membaca
nyaring
a. Kegiatan lanjutan yang dianjurkan, antara lain
1) meminta peserta didik mengajukan pertanyaan;
2) guru mengajukan pertanyaan seandainya peserta didik tidak bertanya;
3) meminta peserta didik untuk menceritakan ulang bacaan dengan kata-
katanya sendiri;
4) mengajak peserta didik melakukan aktivitas lain untuk mengembangkan
cerita/bahan bacaan seperti membuat surat, kartu, poster atau keterampilan
lain yang berhubungan dengan isi bacaan;
b. meletakkan buku atau materi bacaan di tempat yang mudah dilihat dan
dijangkau oleh tangan peserta didik;
c. mencatat judul buku yang telah dibacakan.
Tabel 3.7 Langkah-langkah Membaca Dalam hati
1. Persiapan
membaca
dalam hati
a. memahami tujuan dan metode membaca dalam hati (sustained silent
reading);
b. membuat daftar bacaan untuk mengetahui kesesuaiannya dengan peserta
didik dan untuk mengantisipasi pertanyaan yang muncul.
2. Sebelum
membaca
dalam hati
dilakukan
a. menawarkan kepada peserta didik apakah mereka memilih sendiri buku yang
ingin dibaca dari sudut baca kelas atau membawanya sendiri dari rumah;
b. membebaskan peserta didik untuk memilih buku yang sesuai dengan minat
dan kesenangannya;
c. memberi semangat kepada peserta didik bahwa ia harus membaca buku
tersebut sampai selesai, dalam kurun waktu tertentu, bergantung pada
ketebalan buku;
d. membolehkan peserta didik untuk mencari buku lain apabila isi buku
dianggap kurang menarik;
e. membolehkan peserta didik untuk memilih tempat yang disukainya untuk
membaca;
f. menyediakan buku-buku dengan jenis dan judul yang variatif.
3. Saat
membaca
dalam hati
Peserta didik dan guru bersama-sama membaca buku masing-masing dengan
tenang selama 15 menit.
4. Setelah
membaca
dalam hati
Guru dapat menggunakan 5–10 menit setelah membaca untuk bertanya kepada
peserta didik tentang buku yang dibaca.
b. Pengembangan lingkungan fisik sekolah untuk menumbuhkan minat
pada literasi
Hal ini mencakup:
1) pengembangan perpustakaan sekolah, sudut buku kelas, dan area
baca;
45. 37
Perpustakaan merupakan salah satu prasarana literasi yang seharusnya
berfungsi sebagai pusat pembelajaran di SD. Pengembangan dan
penataan perpustakaan menjadi bagian penting dari pelaksanaan gerakan
literasi SD dan pengelolaan pengetahuan yang berbasis pada bacaan.
Perpustakaan yang dikelola dengan baik mampu meningkatkan minat
baca warga SD dan menjadikan mereka pembelajar sepanjang hayat.
Dengan memperhatikan kesiapan sumber daya yang ada di SD,
dapat dikembangkan prasarana literasi agar perpustakaan berfungsi
optimal. Perpustakaan SD idealnya berperan dalam mengoordinasi
pengelolaan sudut buku kelas, area baca, dan prasarana literasi lain di
SD. Ihwal ketiganya dipaparkan pada tabel 3.8 berikut.
Tabel 3.8 Pengembangan Perpustakaan SD, Sudut Buku Kelas, dan Area Baca
Perpustakaan SD Sudut Buku Kelas Area Baca SD
• Pusat pengelolaan
pengetahuan dan sumber
belajar di SD, dikelola
di bawah tanggung
jawab kepala SD.
• Dalam pengoperasi-
annya, perpustakaan
SD dilaksanakan oleh
tim perpustakaan yang
terdiri atas tenaga
yang terlatih di dalam
pengelolaan bahan
literasi
• Untuk optimalisasi
layanan, perpustakaan
dapat dilengkapi
berbagai sistem dan
aplikasi untuk penca-
tatan pengunjung,
aktivitas membaca, dan
pengembangan budaya
literasi SD
• Sudut buku kelas, yaitu
sebuah sudut di kelas yang
dilengkapi dengan koleksi
buku yang ditata secara
menarik untuk meningkat-
kan minat baca peserta
didik
• Sudut di ruangan kelas
yang digunakan untuk
memajang koleksi bacaan
dan karya peserta didik.
• Penyediaan buku untuk
mendukung aktivitas
pembelajaran di kelas.
• Berperan sebagai
perpanjangan fungsi
perpustakaan SD, yaitu
mendekatkan buku kepada
peserta didik.
• Dikelola oleh guru, peserta
didik, dan orangtua.
• Area baca SD, meliputi semua
area di lingkungan sekolah
(serambi, koridor, halaman,
kebun, ruang kelas, dll.) yang
ditata untuk meningkatkan
minat baca peserta didik.
• Lingkungan fisik SD yang
mendukung pelaksanaan
kegiatan literasi SD.
• Dapat mencakup kantin, tempat
ibadah, ruang tunggu orangtua,
serambi, halaman, kebun, dan
area lainnya.
• Dilengkapi dengan prasarana
yang nyaman (meja, kursi,
rak-rak buku) untuk membuat
peserta didik betah membaca.
Ini bisa dilakukan, antara
lain dengan membuat ruang
baca terbuka di SD, dengan
menyediakan kursi dan meja
baca di taman SD.
46. 38
2) Pengembangan sarana lain (UKS, kantin, kebun sekolah) yang
mendukung penumbuhan minat terhadap literasi
Pelaksanaan UKS di SD merupakan kebutuhan dasar yang harus
dipenuhikarenaterkaitdengangayahidupsehat.Selamainikegiatan
yang terkait dengan UKS, antara lain mencuci tangan, toileting,
kebersihan, kerapian, dan keindahan. Sentuhan aktivitas literasi
dapat memperkaya kegiatan UKS, di antaranya pembuatan poster
kesehatan/kebersihan; mengumpulkan dan menulis peribahasa-
peribahasa yang terkait dengan gaya hidup sehat, kebersihan,
kerapian, serta keindahan.
Kantin selama ini identik dengan tempat kegiatan jual-beli
makanan dan minuman. Sebagian besar kantin sekolah kondisinya
memprihatinkan karena menjual berbagai makanan dengan bahan
dan kemasan tidak sehat. Kondisi kantin seperti ini harus diubah
dengan cara memfungsikan kantin sebagai pusat berkembangnya
teknologi makanan dan peri kehidupan yang beradab. Teknologi
makanan terkait dengan cara membersihkan, menyimpan, memasak
atau mengolah makanan, menyajikan, dan mengemas makanan.
Dengan demikian, aktivitas di kantin akan memperkuat proses
47. 39
pembelajaran yang terintegrasi dengan sains, matematika, bahasa,
seni, muatan lokal, revolusi hijau, dan sebagainya.
Memfungsikan kebun sekolah sebagai laboratorium hidup pun tak
kalah pentingnya. Anak-anak akan memiliki pengetahuan beragam
jenis tanaman hias, tanaman obat, tanaman pangan, tanaman bumbu
dapur, dan buah-buahan yang bermanfaat untuk kehidupan. Dari
kebun sekolah ini beragam aktivitas dapat dikembangkan untuk
memperkuat proses pembelajaran secara terintegrasi.
3) Pengembangan koleksi teks cetak (buku bacaan nonteks
pelajaran, kliping koran/majalah, dll), serta visual dan digital
(film dan materi dari internet) apabila sekolah telah memiliki
perangkat teknologi yang relevan.
Dalam kegiatan membaca selama 15 menit, peserta didik perlu
dibantu untuk memilih buku yang diminatinya. Bantuan yang
diberikan hanya sebatas memberi saran sesuai dengan tingkat
kemampuan membaca mereka agar kegiatan membaca menjadi
menyenangkan. Buku-buku yang dibacakan atau dibaca sendiri
48. 40
oleh peserta didik berperan penting dalam meningkatkan minat baca
dan kesiapan belajar mereka. Karena itu, guru perlu membekali
diri dengan kemampuan memilih bahan bacaan sesuai dengan
pemeringkatan kapasitas membaca (leveling reading). Selain itu,
peserta didik perlu terpajan pada beragam jenis buku yang sudah
diperingkat (leveling book).
Berikut ini adalah tabel elemen-elemen yang perlu
diperhatikan guru dalam memilih buku bacaan.
Tabel 3.9 Elemen dalam Memilih Bahan Bacaan di SD
Elemen Dalam Memilih Bahan Bacaan yang Baik
1
Tingkat kemampuan
membaca
2
Konten bacaan yang sesuai dengan
tahap perkembangan psikologis
3
Ilustrasi
1) Pembaca Pemula :
Pemula Usia dasar
>6-9 tahun) SD kelas
rendah
• Peserta didik didampingi dalam
pemilihan buku.
• Buku mengandung informasi yang
sederhana.
• Cerita mengandung nilai
optimisme, bersifat inspiratif, dan
mengembangkan imajinasi.
• Buku mengandung pesan nilai-nilai
(values) sesuai dengan tahapan
tumbuh kembang anak dalam
berbagai aspek, antara lain moral,
sosial, kognitif.
• Ilustrasi memiliki alur
yang mudah dipahami,
dan dapat bersifat
imajinatif.
• Teks tidak perlu
mengulangi apa yang
sudah digambarkan
oleh ilustrasi.
2) Pembaca Pemula :
Usia dasar (>9-12
tahun) –
SD kelas tinggi
• Peserta didik dapat memilih buku
secara mandiri.
• Buku mengandung informasi yang
lebih maju tingkatannya, contohnya
buku konsep.
• Cerita mengandung nilai
optimisme, bersifat inspiratif, dan
mengembangkan imajinasi.
• Buku mengandung pesan nilai-nilai
(values) sesuai dengan tahapan
tumbuh kembang anak dalam
berbagai aspek, antara lain moral,
sosial, kognitif.
• Ilustrasi memiliki alur
yang baik dan dapat
bersifat imajinatif.
• Ilustrasi berfungsi
melengkapi alur cerita.
49. 41
4) Pembuatan bahan kaya teks (print rich materials)
Untuk menumbuhkan budaya literasi, SD dan ruang kelas perlu
menjadi lingkungan yang kaya literasi. Penciptaan lingkungan
kaya literasi bertujuan memaparkan peserta didik kepada sebanyak
mungkin ragam teks sehingga meningkatkan kemampuan literasi
mereka.
Contoh-contoh bahan kaya literasi adalah
a. karya-karya peserta didik berupa tulisan, gambar, atau grafik;
b. poster-poster yang terkait pelajaran, poster buku, poster
kampanye membaca, dan poster kampanye lain yang bertujuan
menumbuhkan cinta pengetahuan dan budi pekerti;
c. dinding kata;
d. label nama-nama peserta didik pada barang-barang mereka
yang disimpan di kelas (apabila ada);
e. jadwal harian, pembagian kelompok tugas kelas;
f. surat, resep, kupon, kliping, foto kegiatan peserta didik;
g. label nama-nama pada setiap benda di ruang kelas;
h. komputer dan/atau perangkat elektronik lain yang mendukung
kegiatan literasi;
i. buku dan sumber informasi lain (koran, majalah, buletin);
j. papan buletin;
k. poster dan mainan alfabet;
l. kaset cerita, DVD, dan bahan digital/eletronik yang mendukung
kegiatan literasi,
m. perangkat berkarya dan menulis seperti alat tulis, alat warna,
alat gambar, kertas gambar, kertas bekas, busa, kertas prakarya,
surat, kertas surat, amplop, koran bekas, kertas sampul, dll.;
n. boneka, balok-balok, kostum, dan permainan edukatif lain untuk
digunakan dalam permainan peran (menjadi dokter atau juru
masak yang menulis resep, atau pelayan restoran yang menulis
daftar pesanan);
50. 42
o. ucapan selamat datang dan kata-kata yang memotivasi di pintu
kelas, lorong SD, dan tempat-tempat lain yang mudah dilihat;
dan
p. semua bahan dan alat harus disimpan di tempat yang mudah
diraih oleh peserta didik dan perlu dikelompokkan menurut
fungsinya (alat gambar disimpan terpisah dari mainan, alat untuk
bermain peran, dan lain-lain.). Peserta didik perlu mengetahui
di mana mereka dapat menemukan bahan-bahan yang mereka
perlukan.
Tahap ke-2: Pengembangan lanjut minat baca untuk kemampuan
literasi lanjut
Fokus kegiatan pada tahap ini adalah
a. Pengembangan lingkungan fisik, afektif, dan akademik untuk men
dukung kegiatan literasi. Hal ini mencakup, antara lain
1) memasukkan kegiatan berbasis literasi pada perayaan hari besar di
sekolah;
51. 43
2) memberikan penghargaan kepada pencapaian perilaku positif,
kepedulian sosial, dan semangat belajar peserta didik; penghargaan
ini dapat dilakukan setiap upacara bendera Hari Senin dan
peringatan lain;
3) membentuk Tim Literasi Sekolah yang terdiri dari tenaga
kependidikan, orang tua, dan elemen masyarakat lain; dan
4) kegiatan-kegiatan akademik lain yang mendukung terciptanya
budaya literasi di sekolah (belajar di kebun sekolah, belajar di
lingkungan luar sekolah, wisata perpustakaan kota/daerah serta
taman bacaan masyarakat, dan lain-lain.).
b. Pengembangan kemampuan literasi melalui kegiatan di perpustakaan
sekolah/ perpustakaan kota/daerah atau taman bacaan masyarakat atau
sudut baca kelas selama 2 jam pelajaran setiap minggu. Dalam 2 jam
pelajaran ini dapat dilakukan berbagai kegiatan literasi, antara lain
1) membacakan buku dengan nyaring (read aloud), membaca
dalam hati (sustained silent reading), membaca bersama (shared
reading) dan membaca terpandu (guided reading); kegiatan
menonton film pendek atau materi dari internet juga termasuk
membaca teks visual/digital;
2) peserta didik membuat ulasan terhadap teks (cetak/visual/digital),
fiksi dan nonfiksi, melalui beberapa kegiatan, antara lain
a) menggambar;
b) menceritakan ulang isi teks dengan bahasa yang sederhana dan
kreatif, sesuai dengan kemampuannya;
c) bermain peran/drama;
d) berkarya membuat sesuatu (craft);
e) menulis ulasan dalam bentuk narasi, fiksi, puisi, surat kepada
tokoh dalam bacaan, teks deskriptif, teks analitis, atau teks
argumentatif, sesuai kemampuannya; dan
f) melakukan penelitian secara individual dan kelompok, yang
dalam kegiatannya, peserta didik dapat mengeksplorasi
52. 44
teks lain yang relevan dan melakukan pendalaman melalui
wawancara, diskusi, membuat angket sederhana, dan lain-lain.
Tahap ke-3: Pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi
Dalam tahap ini, pembelajaran semua mata pelajaran dilakukan dengan merujuk
kepada ragam teks (cetak/visual/digital) yang tersedia dalam format buku-buku
pengayaan. Guru diharapkan bersikap kreatif dan proaktif mencari referensi
pembelajaran yang relevan dan mengurangi kebergantungan pada buku teks
pelajaran dan Lembar Kerja Peserta didik (LKS).
Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut.
1) Guru melaksanakan penelitian tindakan kelas.
2) Guru mengembangkan rencana pembelajaran sendiri dengan meman
faatkan berbagai media dan bahan ajar.
3) Guru melaksanakan pembelajaran dengan memaksimalkan pemanfaatan
sarana dan prasarana untuk memfasilitasi pembelajaran.
53. 45
B. Target Pencapaian Literasi di SD
Gerakan literasi di SD diharapkan akan menciptakan ekosistem SD yang literat.
Ekosistem yang literat adalah lingkungan SD yang:
1. menyenangkan dan ramah peserta didik, sehingga menumbuhkan semangat
warganya dalam belajar;
2. semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan menghargai sesama;
3. menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan;
4. memampukan warganya cakap berkomunikasi dan dapat berkontribusi kepada
lingkungan sosialnya; dan
5. mengakomodasi partisipasi seluruh warga dan lingkungan eksternal SD.
Ekosistem SD yang diharapkan di setiap jenjang adalah menciptakan ekosistem
SD yang literat, yaitu SD yang menanamkan dasar-dasar sikap dan perilaku empati
sosial dan cinta kepada pengetahuan. Di era digital ini, kemampuan literasi perlu
mempertimbangkan aspek ketersediaan media di lingkunganSD.
Tabel 3.10 Peta Kompetensi Literasi SD pada Tahap Pembiasaan
Jenjang Komunikasi Berpikir Kritis Keamanan Media
SD awal mengartikulasikan empati
terhadap tokoh cerita
memisahkan fakta
dan fiksi
mampu menggunakan teknologi
dengan bantuan/pendampingan orang
dewasa
SD lanjutan mempresentasikan cerita
dengan efektif
mengetahui
jenis tulisan
dalam media dan
tujuannya
menggunakan dan mengakses
informasi yang sesuai dengan usia dan
norma kepatutan.
Selain itu, fokus kegiatan di SD perlu melibatkan aspek-aspek menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis yang didukung oleh jenis bacaan dan sarana/prasarana
yang sesuai dengan kegiatan di setiap jenjang. Hal ini dijabarkan sebagai berikut.
54. 46
Tabel 3.8 Cakupan Kegiatan Literasi Berdasarkan Kompetensi di Tahap Pertama
Gerakan Literasi
Jenjang Menyimak Membaca Kegiatan
Jenis
Bacaan
Sarana &
Prasarana
SD awal menyimak
cerita
untuk
menum-
buhkan
empati
mengenali
dan
membuat
inferensi,
prediksi,
terhadap
gambar
membacakan
buku dengan
nyaring,
membaca
dalam hati
buku cerita
bergambar,
buku tanpa
teks, buku
dengan teks
sederhana,
baik fiksi
maupun
nonfiksi
sudut buku
kelas,
perpustakaan,
area baca
SD
lanjutan
menyimak
(lebih
lama)
untuk
memahami
isi bacaan
memahami
isi bacaan
dengan
berbagai
strategi
(mengenali
jenis teks,
membuat
inferensi,
koneksi
dengan
pengalaman/
teks lain,
dll.)
membacakan
buku dengan
nyaring,
membaca
dalam hati
buku cerita
bergambar,
buku
bergambar
kaya teks,
buku novel
pemula,
baik dalam
bentuk
cetak/digital/
visual
sudut buku
kelas,
perpustakaan,
area baca
55. BAB V MONITORING
DAN EVALUASI
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara berjenjang oleh semua
pemangku kepentingan sesuai dengan perannya dalam strategi pelaksanaan
gerakan literasi sekolah. Tiap-tiap pemangku kepentingan melaksanakan monitoring
dan evaluasi dengan jangkauan yang berbeda sebagai berikut.
A. Kemendikbud
Kemdikbud Melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan gerakan di tingkat
provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan.
Hal yang dimonitor dan dievaluasi meliputi
1. keefektifan sosialisasi di tingkat provinsi, kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan
masyarakat;
2. pemahaman dan dukungan pemangku kepentingan tingkat provinsi, kabupaten/
kota, satuan pendidikan, dan masyarakat terhadap konsep literasi;
3. keefektifankegiatanpelatihanguruterutamadampakpelatihanterhadapkemampuan
guru dalam merencpeserta didikan dan melakspeserta didikan pembelajaran yang
mampu meningkatkan kemampuan literasi peserta didik.
1. Direktorat Pembinaan SD
Direktorat Pembinaan SD melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
GLS di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan, meliputi
56. 48
a. ketercapaian GLS di SD;
b. keefektifan sosialisasi GLS di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan
satuan pendidikan;
c. keefektifan lokakarya GLS di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan
satuan pendidikan;
d. keefektifan peningkatan kapasistas GLS di provinsi, kabupaten/kota dan satuan
pendidikan;
e. tingkat pemahaman dan dukungan pemangku kepentingan di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan masyarakat terhadap GLS; dan
f. keefektifan kegiatan pendampingan/pelatihan guru terutama dampak
pelatihan terhadap kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan literasi peserta didik.
Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi dijadikan masukan dan dasar dalam
memperbaiki pelaksanaan GLS di tahap berikutnya, terutama terkait dengan desain
induk pelaksanaan literasi, rencana, model, dan pelaksanaan sosialisasi pada semua
pemangku kepentingan.
2. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP)
LPMP melaksanakan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan GLS di tingkat
provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan, meliputi
a. ketersediaan data tentang ketercapaian GLS di SD;
b. ketersediaan data bagi pelaksanaan sosialisasi GLS di tingkat pusat, provinsi,
kabupaten/kota, dan satuan pendidikan;
c. ketersediaan data dalam lokakarya GLS di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/
kota dan satuan pendidikan;
d. ketersediaan data untuk peningkatan kapasistas GLS di provinsi, kabupaten/
kota dan satuan pendidikan;
e. ketersediaan data tentang tingkat pemahaman dan dukungan pemangku
kepentingan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan
masyarakat terhadap GLS, dan;
f. ketersediaan data untuk kegiatan superviai dalam pendampingan/pelatihan guru
terutama dampak pelatihan terhadap kemampuan guru dalam merencanakan
57. 49
dan melaksanakan pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan
literasi peserta didik
Hasilpelaksanaanmonitoringdanevaluasidijadikanmasukanuntukmemperbaiki
pelaksanaan gerakan pada tahap berikutnya, terutama terkait dengan Grand Design
pelaksanaan gerakan literasi, rencana, model, dan pelaksanaan sosialisasi kepada
semua pemangku kepentingan.
B. Dinas Pendidikan Provinsi
Disdik Provinsi melaksanakan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan gerakan dan
kegiatan literasi di tingkat provinsi dan di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten/
Kota.
Hal yang dimonitor dan dievaluasi meliputi
1. kebijakan daerah terkait literasi;
2. dampak pelaksanaan sosialisasi kepada pemangku kepentingan tingkat provinsi
dan dinas pendidikan kabupaten/kota di wilayahnya masing-masing;
3. dampak penyediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan literasi di SD; dan
4. dampak pelaksanaan kegiatan-kegiatan terkait literasi di tingkat provinsi terhadap
kemampuan literasi warga SD.
Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi dijadikan masukan untuk
memperbaiki pelaksanaan gerakan pada tahap berikutnya, terutama terkait dengan
pelaksanaan gerakan dan kegiatan untuk mengimplementasikan kebijakan pusat dan
daerah, pelaksanaan sosialisasi pemangku kepentingan tingkat provinsi dan Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota.
C. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
Disdik Kabupaten/Kota melaksanakan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan
gerakan dan kegiatan literasi di tingkat kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan
masyarakat.
Hal yang dimonitor dan dievaluasi meliputi
1. kebijakan daerah terkait literasi;
58. 50
2. dampak pelaksanaan sosialisasi terhadap pemahaman dan dukungan pemangku
kepentingan tingkat kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan masyarakat;
3. dampak penyediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan literasi di SD jenjang
pendidikan dasar.
4. keefektifan kegiatan pendampingan pelatihan guru, terutama dampak pelatihan
terhadap kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran
yang mampu meningkatkan kemampuan literasi peserta didik; dan
5. pelaksanaan kegiatan literasi di SD, misalnya ketersediaan buku bacaan di
perpustakaan, aktivitas membaca buku non pelajaran selama 15 menit sebelum
masuk jam pelajaran, dan kewajiban peserta didik membaca sejumlah buku sastra
dalam jangka waktu tertentu.
Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi akan dijadikan masukan untuk
memperbaiki pelaksanaan gerakan pada tahap berikutnya, terutama terkait dengan
pelaksanaan gerakan dan kegiatan untuk mengimplentasikan kebijakan pusat dan
kebijakan daerah, pelaksanaan sosialisasi pemangku kepentingan tingkat kabupaten/
kota, satuan pendidikan, dan masyarakat.
D. Satuan Pendidikan
Satuan Pendidikan melaksanakan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan gerakan
dan kegiatan literasi di satuan SD.
Hal yang dimonitor dan dievaluasi meliputi
1. keefektifan upaya satuan pendidikan untuk pemenuhan Standar Pendidikan
Nasional atau minimal memenuhi Standar Pelayanan Minimum Pendidikan Dasar;
2. keefektifan pelaksanaan kegiatan pembiasaan harian, mingguan, bulanan dan
semester sebagaimana dijabarkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015
tentang Penumbuhan Budi Pekerti;
3. keefektifan pelaksanaan pelatihan guru untuk meningkatkan kemampuan guru
dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang mampu meningkatkan
kemampuan literasi peserta didik;
4. keefektifan dan dampak pemanfaatan sarana dan prasarana di SD dengan maksimal
untuk memfasilitasi pembelajaran;
5. keefektifan dan dampak pengelolaan perpustakaan SD dengan baik terhadap
pembelajaran dan kemampuan literasi warga SD;
59. 51
6. pemahaman warga belajar terhadap konsep literasi digital dan kompetensinya
dalam memanfaatkan sumber informasi berbasis web;
7. keefektifan dan dampak pelaksanaan inventarisasisemua prasarana yang dimiliki
SD (salah satunya buku) terhadap pelayanan SD;
8. keefektifan dan dampak adanya ruang-ruang baca terhadap kemampuan literasi
warga SD dan budaya SD;
9. keefektifan dan dampak pelaksanaan kegiatan membaca selama 15 menit sebelum
pembelajaran terhadap minat dan budaya baca warga SD;
10. keefektifan dan dampak pelaksanaan kewajiban membaca sejumlah buku bacaan
dalam kurun waktu tertentu kepada peserta didik;
11. keefektifan dan dampak pembentukan Komite Literasi SD yang dikoordinasikan
dengan Komite SD di SD terhadap pelaksanaan berbagai kegiatan literasi yang
dilaksanakan;
12. keefektifan dan dampak pelaksanaan kegiatan yang melibatkan orangtua dan
masyarakat dengan melihat tindakan yang diberikan kepada peserta didik oleh
orangtua dan masyarakat untuk menindaklanjuti perlakuan yang diterima peserta
didik di SD;
13. keefektifan dan dampak pelaksanaan kegiatan yang dilakukan dengan pihak lain
terhadap kemampuan literasi warga SD.
E. Masyarakat
Masyarakat melaksanakan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan gerakan dan
kegiatan literasi di satuan SD.
Hal yang dimonitor dan dievaluasi meliputi
1. keefektifan keterlibatan dan partisipasi dalam kegiatan SD untuk meningkatkan
kemampuan literasi warga SD; dan
2. dampak gerakan publik, seperti gerakan membacakan buku untuk peserta didik,
gerakan mengumpulkan buku peserta didik dan menyalurkannya ke taman-taman
bacaan, dan gerakan untuk menghidupkan taman-taman bacaan di ruang publik
yang ramah peserta didik terhadap gerakan literasi sekolah.
61. BAB VI
PENUTUP
Panduan Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah di SD ini diharapkan dapat
memberikan fondasi dan arahan konseptual untuk memahami pelaksanaan kegiatan
literasi, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga satuan pendidikan di
SD. Kegiatan literasi yang dijabarkan dalam buku panduan ini juga dilengkapi dengan
panduan-panduan yang lebih rinci dalam melaksanakan kegiatan membaca selama 15
menit, pengembangan sarana prasarana literasi, pengembangan lingkungan yang kaya
teks, dan pemilihan buku bacaan yang sesuai untuk kegiatan literasi di SD.
Gerakan Literasi di SD, bukan hanya sebagai aktivitas membaca, menulis dan
berhitung; sedangkan internet bukan hanya untuk mencari informasi atau memperoleh
hiburan. Literasi seharusnya menjadi sarana untuk membentuk kemampuan peserta
didik dalam berpikir secara analitis, sintesis, evaluatif, kritis, imajinatif, dan kreatif.
Oleh karena itu, GLS menjadi penting untuk mencapai kesadaran semua pemangku
kepentingan dalam memandang kemampuan literasi sebagai ukuran kemajuan sebuah
bangsa.
Dengan disusunnya petunjuk teknis ini, diharapkan dapat menjadi acuan bagi
pemangku kepentingan dalam menyusun program, melaksanakan, dan melakukan
evaluasi atas hal-hal yang harus dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait. Petunjuk
teknis ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi setiap pihak terkait untuk
mengetahui tanggung jawab, peran yang diharapkan, serta optimalisasi implementasi
bersinergi dengan pihak lainnya agar Gerakan Literasi Sekolah ini dapat dilaksanakan
dan mencapai hasil yang diharapkan bersama.
62. 54
Panduan GLS ini bukan satu-satunya referensi untuk pelaksanaan Gerakan
Literasi Sekolah di SD, akan tetapi dapat membantu memberikan acuan umum
pelaksanaan di sekolah. Oleh karena itu, sesuai dengan tujuan GLS, yaitu agar tercipta
masyarakat Indonesia yang gemar membaca, maka sangat dimungkinkan, bahkan
dianjurkan bagi setiap pihak yang akan melaksanakan juga menggunakan referensi
lainnya yang relevan untuk memperkaya implementasi gerakan literasi di SD.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, apabila dipandang perlu,
maka pada saatnya nanti, Panduan GLS ini dimungkinkan direvisi untuk menyesuaikan
dengan hal baru yang relevan bagi upaya perbaikan. Untuk menuju hasil yang lebih
baik, kepada semua pemangku kepentingan diberi ruang untuk memberikan saran dan
masukan bagi perbaikan.
Pertanyaan terkait pelaksanaan gerakan literasi sekolah dapat ditujukan kepada:
literasi.sekolah@kemdikbud.go.id
Untuk keperluan berdiskusi, dipersilakan bergabung dengan milis GLS-
Kemdikbud dengan alamat:
http://groups.yahoo.com/group/GLS-Kemdikbud
63. 55
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Lorin W. & Krathwol, David R. 2001. A Taxonomy for Learning,
Teaching, and Asessing. A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational
Objectives. New York: Adisson Wesley Longman.
Beers, Carol S., Beers, James W. & Smith, Jeffrey O. 2010. A Principal’s Guide to
Literacy Instruction. New York: The Guilford Press.
Fergueson, Brian. tt. Information Literacy: A Primer for Teachers, Librarians, and
Other Informed People.
Gail, Ellis., Brewster, Jean, & Mohammed, Sue.1991. Storytelling Handbook for
Primary Teachers. England: Penguin.
Hamilton, Emma W. 2009. Raising Bookworms: Getting Kids Reading for Pleasure
and Empowerment. Sag Harbour, NY: Beech Tree Books.
Mullis, Ina V.S, et al. 2012. PIRLS 2011 International Results in Reading. TIMS &
PIRLS Study Center, Boston: Lynch School of Education.
OECD. 2014. PISA 2012 Results in Focus. “What 15-year-olds Know and What
They Can Do with What They Know”.
Permendikbud No.23 Tahun 2013 tentang SPM Dikdas, Lampiran 2 menjelaskan
indikator 18 “Setiap SD/MI memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku
referensi, dan setiap SMP dan MTs memiliki 200 judul buku pengayaan dan
20 buku referensi”. Hal ini menegaskan pentingnya peran buku, dalam bentuk
buku teks, buku komersial (buku cerita fiksi dan non-fiksi dalam pembelajaran
di sekolah).
Pilgreen, Janice L. 2000. The SSR Handbook: How to Organize and Manage a
Sustained Silent Reading Program. Portsmouth, NH: Heinemann Boynton
Cook Publisher.
Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning
Organization. New York: Doubleday.
64. 56
Trelease, Jim. 2006. Read-Aloud Handbook. England: Penguin Book.
UNESCO. 2005. Development of Information Literacy: Through School Libraries
in Southeast Asia Countries. Bangkok.
UNESCO. 2003. The Prague Declaration. “Towards an Information Literate
Society.”
Wassman, Rose. & Rinsky, Lee A. 1998. Effective Reading in a Changing World,
England: Penguin.