1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Pesantren adalah sebuah komunitas peradaban dan sering dipandang sebelah mata karena
lebih banyak mengurusi soal ukhrowiyah yang tidak diimbangi dengan duniawiyah.
Pesantren menjadi tempat untuk pembinaan moral-spiritual, kesalehan seseorang dan
pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam. Sering pula dicerca sebagai pusat kehidupan fatalis,
karena memproduksi kehidupan zuhud yang mengabaikan dunia materi. Padahal yang
dilakukan oleh orang pesantren itu merupakan sebuah kesederhanaan dan kesahajaan dalam
menaungi sebuah kehidupan di dunia dan berusaha ”menabung” untuk menggapai akhiratnya
Dan sekarang sebuah anggapan itu sudah agak bergeser. Alumni-alumni pesantren sudah
biasa “beradaptasi” dengan dunia luar, mulai berkecimpung di dunia pendidikan, politik,
sosial-budaya, kewirausahaan dan lain sebagainya1.
Keberadaan pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna sangat strategis,
apalagi jika pesantren ini memiliki lembaga pendidikan umum 2 (baca: formal). Lembaga
pesantren yang berakar pada masyarakat, merupakan kekuatan tersendiri dalam
membangkitkan semangat dan gairah masyarakat untuk meraih kemajuan menuju ke arah
kehidupan yang makin sejahtera. Apalagi dalam menghadapi era globalisasi yang berdampak
kepada berbagai perubahan terutama di bidang ekonomi maupun sosial-budaya, dan perlu
juga memperhatikan gerakan pesantren dalam mengapresiasikan arus globalisasi dan
modernisasi yang berlangsung demikian kuatnya saat ini.
Arus globalisasi dan modernisasi merupakan proses transformasi yang tak mungkin bisa
dihindari, maka semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus siap
menghadapinya dan perlu menanggapi dampak-dampaknya secara terbuka dan secara kritis.
Karena pesantren memiliki ciri khas yang kuat pada jiwa masyarakatnya serta dasar-dasar
keagamaan dan tradisi menjadikan pesantren memiliki kekuatan resistensi terhadap
pengaruh-pengaruh budaya dari luar. Pesantren dianggap sebagai “benteng” nilai-nilai dasar
di masyarakat terhadap intervensi budaya asing. Dari sinilah pentingnya keterkaitan
pesantren dengan masyarakatnya yang tercermin dalam ikatan tradisi dan budaya yang kuat
dan membentuk pola hubungan fungsional dan saling mengisi antara keduanya. Interaksi
sosial-budaya yang mendalam antara pesantren dan masyarakat di sekitarnya itu terlihat
dalam hal keagamaan, pendidikan, kegiatan sosial dan perekonomian.
Oleh karena itu pesantren membutuhkan gerakan pembaharuan yang progresif terhadap
segala bidang, terutama dalam menghadapi permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dan
pesantren mestinya memberikan diversifikasi (penganekaragaman) keilmuan unggulan
khusus atau keahlian praktis tertentu. Artinya, pesantren perlu membuat satu keunggulan
tertentu keahlian praktis lainnya misalnya keahlian ilmu umum dan keahlian praktis lainnya.
Pesantren memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan
masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Hal ini
menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi
1 Fahmi Saifuddin, “Pesantren dan Penguatan Basis Pedesaan” dalam Saifullah Ma’shum,
Dinamika Pesantren (Telaah Kritis Keberadaan Pesantren Saat Ini), Jakarta:
Al-Hamidiyah, 2008,Hal.85
2 Moh. Khusnurido. Manajemen Pondok Pesantren Dalam Persefektif Global, Yogyakarta:
Laks Bang Preessindo. 2006.Hal.47
2. masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagian yang lain sebagai
suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya
cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual di pesantren pada
dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman dan penguasaan ilmu agama) yakni
dengan melestarikan ajaran agama Islam serta mengikutkannya pada konteks sosial-budaya.
Untuk mentransformasikan pesantren berperan dalam pemberdayaan masyarakat, maka
perlunya langkah-langkah khusus yang dilakukan oleh lembaga tertentu dalam memproduksi
santri-santri sebagai “Agent of Change” yang peka terhadap arus modernisasi dan masalah
sosial-budaya.
Pesantren secara historis telah mendokumentasikan berbagai peristiwa sejarah bangsa
Indonesia. Sejak awal penyebaran agama Islam di Indonesia, pesantren merupakan saksi
utama dan sarana penting bagi kegiatan Islamisasi tersebut. Perkembangan dan dan kemajuan
masyarakat Islam Nusantara, tidak mungkin terpisahkan dari peranan yang dimainkan
pesantren. Besarnya arti pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia yang harus
dipertahankan. Apalagi pesantren telah dianggap sebagai lembaga pendidikan yang mengakar
kuat dari budaya asli bangsa Indonesia.3 Kehadiran pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam, kini semakin diminati oleh banyak kalangan, termasuk masyarakat kelas menengah
atas. Hal ini membuktikan lembaga ini mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan
pendidikan anak-anak mereka. Menurut data di Departemen Agama pada tahun 1998, bahwa
dari 8.991 pondok pesantren saat itu, terdapat 1.598 berada diwilayah perkotaan sedangkan
yang ada diwilayah pedesaan sebanyak 7. 393. Data ini menunjukan adanya pergeseran
jumlah pesantren yang ada di perkotaan dari tahun ke tahun. Dengan melihat kecenderunggan
ini, diprediksi suatu saat nanti akan terjadi pertimbangan jumlah pesantren antar kota dan
desa.4
Menurut Malik Fadjar, kelebihan pondok pesantren dapat dilihat dari polemik kebudayaan
yang berlangsung pada tahun 30-an. Dr. Sutomo, salah seorang cendikiawan yang telibat
dalam polemik tersebut, menganjurkan agar asas-asas sistem pendidikan pesantren digunakan
sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional. Walaupun pemikiran Dr. Sutomo itu
kurang mendapat tanggapan yang berarti, tetapi patut digaris bawahi bahwa pesantren telah
dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembentukan identitas budaya
bangsa Indonesia. Pada tahun 70-an, Abdurrahman Wahid telah mempopulerkan pesantren
sebagai sub-kultur dari bangsa Indonesia. Sekarang ini, umat Islam sendiri tampaknya telah
menganggap pesantren sebagai model institusi pendidikan yang memiliki keunggulan, baik
dari sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat Islam5 maupun dari aspek tardisi keilmuan
yang oleh Martin Van Bruinessen dinilainya sebagai salah satu tradisi agung (great
tradition).6 Akan tetapi di samping hal-hal yang mengembirakan tersebut di atas, perlu pula
dikemukakan beberapa tantangan pondok pesantren dewasa ini. Tantangan yang dialami
lembaga ini menurut pengamatan para ahli semakin lama semakin banyak, kompleks, dan
mendesak. Hal ini disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Ditengah derap kemajuan ilmu dan teknologi yang menjadi motor bergeraknya modernisasi,
dewasa ini banyak fihak merasa ragu terhadap eksistensi lembaga pendidikan pesantren.
Keraguan itu dilatar belakangi oleh kecenderungan dari pesantren untuk bersikap menutup
diri terhadap perubahan di sekelilingnya dan sikap kolot dalam merespon upaya modernisasi.
Menurut Azyumardi Azra, kekolotan pesantren dalam mentransfer hal-hal yang berbau
3 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan, 184.
4 Malik Fadjar, Visi Pembharuan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3N, 2008), 125.
5 Ibid. 126.
6 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat : Tradisi -Tradisi Islam di Indonesia
(Bandung: Mizan, 1999), 17.
3. modern itu merupakan sisa-sisa dari respon pesantren terhadap kolonial Belanda. Lingkungan
pesantren merasa bahwa sesuatu yang bersifat modern, yang selalu mereka anggap datang
dari barat, berkaitan dengan penyimpangan terhadap agama.7 Oleh sebab itu, mereka
melakukan isolasi diri terhadap sentuhan perkembangan modern sehingga membuat
pesantren dinilai sebagai penganut Islam tradisional.
Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang modern. Perubahan-perubahan
yang mendasar dalam struktur budaya masyarakat seringkali membentur pada
aneka kemapanan. Akibatnya ada keharusan untuk mengadakan upaya kontekstualisasi
bangunan-bangunan budaya masyarakat dengan dinamika modernisasi, tak terkecuali dengan
sistem pendidikan pesantren. Karena itu, sistem pendidikan pesantren harus melakukan
upaya-upaya konstruktif agar tetap relevan dan mampu bertahan.8
Pesantren tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan islam di indonesia. Visi dan misi awal
terbentuknya pesantren tidak terlepas dari visi misi agama islam yaitu untuk membangkitkan
intuisi beragama dan menggugah fitrah kemanusiaan (insaniyah) sehingga menjadi pemeluk
agama yang taat dan patuh pada aturan-aturan islam (muttaqin). Tujuan pendidikan tersebut
memberikan dampak pada perluasan agama islam di Indonesia menjadi semakin luas.
Keberhasilan pesantren masa dahulu dalam merealisasikan visi dan misinya memberikan rasa
simpati pada masyarakat. Sehingga lembaga pendidikan tersebut sampai saat ini masih tetap
survive. Banyak dari sebagian masyarakat sekarang masih memilih anaknya untuk belajar di
pesantren dengan alasan sebagai berikut, adanya anggapan bahwa mendidik agama bagi anak
adalah suatu kewajiban sehingga pesantren merupakan solusi yang tepat, di sisi lain pesantren
merupakan lembaga yang baik dalam menata akhlak anak dan biaya pesantren yang relative
terjangkau terutama di pesantren yang masih bercorak tradisional.
Besarnya kepercayaan masyarakat terhadap pesantren dan semakin majunya perkembangan
zaman menimbulkan formulasi yang baru pada lembaga pendidikan tersebut, baik dari segi
menejemen pesantren, gaya kepemimpinan kyai atau ustadz, pengembangan visi, perubahan
model pembelajaran dan pemberdayaan sumber daya manusia. Pesantren yang tidak peka
terhadap kemajuan zaman hanya akan mendidik para santrinya “terkurung dalam tempurung
ego”. Para santri hanya akan memiliki karakter kesholehan secara pribadi sedangkan
keshalehan untuk orang lain (kemuslihan) menjadi terabaikan. Tergambar dengan jelas dalam
lingkungan sekitar, bahwa para alumni dari pesantren banyak yang kebingungan dalam
mencari pekerjaan. Hal ini disebabkan, rendahnya ketrampilan yang dimiliki kaum santri dan
masih tidak diakuinya ijazah lulusan dari pesantren oleh sebagian lembaga-lembaga yang
membuka lowongan pekerjaan.
Dewasa ini kemajuan teknologi dan era globalisasi menjadi tantangan yang harus ditanggapai
oleh lembaga pendidikan pesantren. Era globalisasi telah banyak merubah sikap hidup
masyarakat. Nilai-nilai materialistik seolah telah menghipontis sebagian masyarakat sehingga
menjadi prioritas utama dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, tidak jarang banyak
dari sebagian para orang tua beralih memilih sekolahan yang lebih siap dalam menyiapkan
peserta didiknya di masa depan. Dengan demikian, pesantren sudah bukan menjadi prioritas
utama bagi masyarakat dalam menitipkan anaknya. Terabaikannya pesantren juga tidak lepas
dari persepsi masyarakat tentang fenomena pesantren yang cenderung masih konservatif,
tradisonal dan ortodoks. Sehingga menimbulkan animo di sebagian kalangan masyarakat,
bahwa pesantren bagaikan “penjara” bagi anak. Segalanya penuh dengan peraturan dan anak
sangat sedikit memiliki ruang kebebasan dalam mengembangkan kemampuannya.
7 Azumardi Azra, "Pesantren : Kontinuitas dan Perubahan", Pengantar dalam Nucholis Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta : Paramida, 1997), xvi.
8 Suwendi , "Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren : Beberapa Catatan", dalam Pesantren Masa Depan,
216.
4. Fenomena diatas memberikan gambaran bahwa pesantren yang tidak sanggup menjawab
tantangan kemajuan zaman, akan semakin kehilangan kepercayaannya dalam masyarakat.
Pesantren yang dahulu sebagai embrio untuk mencerahkan hidup umat manusia di atas
kesusahan dan penderitaan hidup yang penuh dengan startifikasi sosial, pesantren yang
dahulu juga sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Mansur suryanegara (2010), sebagai
pengkaderan calon pemimpin yang memiliki kemampuan pembangkit kesadaran cinta pada
tanah air, bangsa dan agama serta kemerdekaan, kini seolah telah hilang fungsi strategisnya
di terjang oleh arus globalisasi zaman.
Dengan demikian, pengembangan pesantren menjadi tugas yang harus dipikirkan dan
direalisasikan oleh segenap masyarakat muslim untuk menjawab tantangan kemajuan era
globalisasi. Bukan lagi penjajahan secara fisik yang diselesaikan oleh pesantren saat ini, akan
tetapi lebih pada apa saja yang diperlukan oleh pesantren dalam merealisasikan
pengembangannya dan bagaimana upaya pesantren dalam memberdayakan skill atau potensi
para santri untuk menanggapi arus era globalisasi. Mengingat era globalisasi merupakan
tantangan yang membawa konsekuensi secara sistemik. Berawal dari makin kaburnya jati
diri bangsa hingga sikap materalistik yang dibingkai hukum rimba- yang kuat harta makin
berkuasa yang lemah harta dipaksa menyerah.
Pondok pesantren Subulul Ma'rif Kamalkuning Krejengan merupakan lembaga pendidikan
Islam tertua di wilayah Kecamatan Krejengan tidak saja memiliki peran strategis dalam
aspek pencerahan keilmuan. Namun ia juga merupakan lembaga pemberdayaan layaknya
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang ada di Indonesia saat ini. Itu artinya pondok
pesantren Subulul Ma'fit memilki multi peran dalm memberikan memerankan diri sebagai
agen perubahan (agent of change), baik dalam aspek keilmuan, sosial, budaya, dan
pemberdayaan ekonomi. Tidak berlebihan kiranya obsesi tersebut karena Pondok Pesantren
Subulu Ma'arif memiliki komponen-komponen bagi ekspektasi terhadap terjadinya
perubahan. Berbagai komponen tersebut adalah diantaranya posisi kiai yang memiliki
karisma, budaya keilmuan yang selalu menuntut nilai-nilai idealisme, dan kemampuan
memobilisasi massa untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat terhadap suatu program.
Sebagai sistem dan model pendidikan Islam, Prsantren Subulul M'arif dengan berbagai
elemin dasar dan impliksinya mampu memberikan andil dan daya tarik tersendiri bagi
masyarakat. Akantetapi realitas potensi tersebut sekaligus tidak dapat dianggap dan dipahami
oleh msyrkat secra kompertif. Haltersebut disebabkan oleh keterbatasan media dan informasi
tentang pesantren termasuk pesantren subulul Ma'arif Kamalkuning Krejengan. Bahkan
selama ini pesantren dengan spesifikainya hay disosialisasian secara lisan belum
disosilisasikan mellui karya tulis yang cukup emwadai. Dari konteks penelitian tersebut
peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian dengna judul" Peran Pondok Terhadap
Pemberdayaan Masyarakat di Pondok Pesantren Subulul Ma'rif"
B. RUMUSAN MASALAH
Penelitian ini bermaksud menambah khazanah keilmun tentng pesantren Subulul Ma'arif.
Pesantren ini memiliki ciri has yang berbeda dengan pesantren-pesntren lain di Kabupaten
Probolinggo. Bertolak dari belakang permasalahan di atas, rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Bagaimanakah Eksistensi Pesantren Dalam pemberdayaan Masyarkat di lingkungan Pondok
Subulul Ma'arif?
Apakah upaya yang dilakukan dalam pemberdayaan Masyarkat di lingkungan Pondok
Subulul Ma'arif?
5. C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ingin Mengetahui Eksistensi Pesantren Dalam pemberdayaan Masyarkat di lingkungan
Pondok Subulul Ma'arif?
Ingin Mengetahui Upaya yang dilakukan dalam pemberdayaan Masyarkat di
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna sebagai berikut:
Sebagai bahan masukan bagi masyarakat mengenai kelebihan dan kekurangan pesantren
tradisional, berkaitan dengan sistem pendidikan dan pengajaran maupun kurikulum
pendidikannya.
Sebagai bahan masukan bagi pengelola pendidikan pesantren tradisional, khususnya di
Ponpes Bahrul Ulum desa Besuk Kidul, mengenai kelemahan selama ini dan upaya alternatif
pemecahannya demi eksistensi pesantren di masa yang akan datang.
Sebagai bahan masukan bagi penulis untuk mengembangkan sikap ilmiah dan sebagai bahan
dokumentasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
E. Kerangka Teoritik
1. Pengertian Pondok Pesantren
Kata pondok berasal dari funduq (bahasa Arab) yang artinya ruang tidur, asrama
atau wisma sederhana, karena pondok memang sebagai tempat penampungan sederhana
dari para pelajar/santri yang jauh dari tempat asalnya.9
Menurut Manfred dalam Ziemek, kata pesantren berasal dari kata santri yang
diimbuhi awalan pe- dan akhiran -an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya
adalah tempat para santri.10 Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata sant
(manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat
berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Geertz pengertian
pesantren diturunkan dari bahasa India Shastri yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai
menulis, maksudnya pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca
dan menulis. Dia menganggap bahwa pesantren dimodifikasi dari para Hindu11
Dalam istilah lain dikatakan pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana
kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab
funduuq ( فُ نْد وْ قُ ) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga
dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyaiُ .Untuk mengatur
kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur
adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri
dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup
mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.12
Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat
santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa)
9 Zamahsyari Dhofir, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta; P3M, 2006,18.
10 Ziemek Manfred, Pesantren dalam Pengembangan Desa, Depok:Tesis FISIP Universitas
Indonesia, 2005,Hal.46
11 Ibd,2005,Hal.70
12 Dinamika Pesantren (Telaah Kritis Keberadaan Pesantren Saat Ini), Jakarta:
Al-Hamidiyah, 2008,Hal. 39
6. yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh
Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri
juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C.C Berg
berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India
berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab
suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia
baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti
tempat pendidikan manusia baik-baik.13
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dikataka pesantren adalh
sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan
secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya
tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab
umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta
mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya
moral dalam kehidupan bermasyarakat.
2. JENIS- JENIS PONDOK PESANTREN
Jenis-jenis Pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat antara lain adalah
Pondok pesantren salaf (tradisional) .1
esantren salaf menurut Zamakhsyari Dhofier, adalah lembaga pesantren yang .2
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (salaf) sebagai inti pendidikan.
Sedangkan sistem madrasah ditetapkan hanya untuk memudahkan sistem sorogan, yang
dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran
pengetahuan umum. Sistem pengajaran pesantren salaf memang lebih sering menerapkan
model sorogan dan wetonan. Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu.
Disebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang
biasanya dilaksanakan setelah mengerjakan shalat fardhu.
2. Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam
kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe
sekolah-sekolah umum seperti; MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK dan bahkan PT dalam
lingkungannya (Depag, 2003: 87). Dengan demikian pesantren modern merupakan
pendidikan pesantren yang diperbaharui atau dimodernkan pada segi-segi tertentu untuk
dُisesuaikan dengan sistem sekolah.
Sُedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
1. Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu
agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren
ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab
kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak
kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur, beberapa
pُesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang, Jawa tengah dan lain-lain.
2. Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun dengan
kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang
ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapatkan
pُengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
12 Claude Levi-Strauss, Antropologi Struktural, terj, Yogyakarta, Kreasi Wacana,
2005,Hal.33
7. 3. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah
(sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah
umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang sampai
Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga
fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adalah contohnya.
Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar disekolah-sekolah
atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini
diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan
.ُpesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya14
C. SEJARAH PESANTREN
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya
Indonesia.Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan
mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum
kedatangan Islam.Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini,
pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah
bُangsa.
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat,
kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin
banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di
Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun .samping rumah kyai
pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya
Kyai saat itu belum memberikan perhatian dapat dipahami dan dimengerti oleh santri.
terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan
sederhana.Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di
Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang .sekitar rumah kyai
Para santri selanjutnya mempopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, .ُ didirikan
sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang
timbul pada zaman Walisongo.
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama
Islam.Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah
garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan
materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran social.Pesantren kini
tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum)
dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat
(society-based curriculum.Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata
sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang
hُidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.
Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang
rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih
tinggi.Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang
sejenis, pesantren modern jauh lebih murah.Organisasi massa (ormas) Islam yang paling
banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU.Ormas Islam lainnya yang juga
memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.
14
8. D. PERANAN PESANTREN
Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam
itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada,
kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama
inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren.Bahkan dalam catatan Howard
M. federspiel- salaseorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat
studi di Aceh dan Palembang (Sumatra), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah
meng hasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.
Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting di Indonesia dan
negara-negara lainnya yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Alumni pondok
pesantren umumnya telah bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa alumnus
pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal antara lain:
(mantan Ketua MPR RI)Dr. Hidayat Nurwahid
(Ketua PB Nahdlatul Ulama),KH. Hasyim Muzadi
mantan (Rektor Universitas Paramadina),Prof. Nurkholish Madjid
(Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).Dr. Din Syamsuddin
, salah seorang kyai yang terkenal, adalah mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid
Republik Indonesia. Ia adalah putra KH. Wahid Hasyim, seorang kyai yang juga tokoh
pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pernah dua kali menjabat Menteri Agama di
Indonesia. Sementara kakeknya adalah KH. Hasyim Asy'ari, seorang pahlawan nasional
Iُndonesia dan pendiri Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Sekarang sendiri Pondok Pesantren atau yang lebih akrab telah menjadikan dirinya
masyarakat sebagai tempat pencetak insan - insan muda cendekia baik ,ilmu agama,di
akhlaq,maupun ilmu sosial. Di tengah masyarakat sendiri warga pondok pesantren juga
menjadi panutan masyarakat,baik dalam ucapan,maupun perilaku.
E. MODERNISASI PESANTREN
Sُebab-sebab terjadinya moderenisasi Pesantren daiantaranya:
1. Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan
sunah” sebagai isu sentral yang mulai di tadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat tiu
perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan
ortodoks/konservatif, mulai mengemukan sebagai wancana public.
2ُ. Kedua: kian mengemukannya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda.
3. Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi keislaman
mُereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi.
4. Keempat, dorongan kaum Muslim untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam. Salasatu
dan keempat itulah, menurut Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber
inspirasi para pembaharu Islam untuk melakukan perubahan Islam di Indonesia.
B. PERAN PESANTREN MASA KINI
A. AKAR SEJARAH PESANTREN
Realitas bangsa Indonesia menunjukkan pada 2 (dua) hal yang signifikan. Pertama,
penyebaran penduduk Indonesia terkonsentrasi di daerah pedesaan. Kedua, mayoritas
penduduk Indonesia terdiri dari komunitas muslim. Terkait dengan realitas diatas, maka
9. berbicara tentang pemberdayaan masyarakat dalam konteks Indonesia, keberadaan dan peran
pesantren tidak dapat dikesampingkan.
Lembaga keagamaan yang memiliki karakteristik khas Indonesia ini secara substansial
merupakan institusi keagamaan yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat,
khususnya masyarakat pedesaan. Pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk
masyarakat, dengan posisinya sebagai institusi yang berperan melakukan transformasi sosial
bُagi masyarakat yang ada di lingkungannya.
Dalam konteks kekinian, ijtihad pesantren untuk mengembangan ilmu keislaman
“tradisional” dengan bingkai ahlu sunnah wal jamaah dan moralitas luhur, cenderung
dicurigai dan sering diasosiasikan dengan predikat yang dapat menimbulkan
kُesalahpahaman, seperti fundamentalisme, ekstrimisme, radikalisme dan bahkan terorisme.
Dalam kaitan ini maka sungguh merupakan tantangan dan panggilan bagi pesantren untuk
meluruskan pembiasan terhadap eksistensi pesantren dari stigmatisasi negatif diatas.
Pesantren harus kembali menekankan karakter dasarnya sebagai lembaga keagamaan dengan
karakteristik yang pluralis, berwatak kerakyatan dan kebangsaan. Pada tataran inilah sejatinya
terletak peran dan sumbangsih konkret dunia pesantren dalam memberdayakan masyarakat
dُan membangun solidaritas kebangsaan.
Dalam konteks ini, pesantren yang memiliki pengaruh kuat di kalangan masyarakat,
khususnya di daerah pedesan, dapat mengaktualisasikan kembali peran sejarahnya dalam
proses nation building, melalui upaya membangkitkan kembali semangat republik untuk
mُembentengi karakter “keindonesiaan” yang menjadi bagian integral dari falsafah bangsa.
Sejak awal pesantren telah menunjukkan perannya secara nyata dalam proses
pembentukan dan pembangunan bangsa (nation-building), baik ketika masa penjajahan
kُolonial, menjelang kemerdekaan dan paska kemerdekaan sampai sekarang.
Pada masa penjajahan, kaum santri (baca : pesantren) berjuang dengan gigih dan tanpa
pamrih untuk membebaskan rakyat dan negeri ini dari penjajahan bangsa kolonial.
Kepemimpinan tradisional dalam masyarakat pedesaan, khususnya kaum santri, berada di
tangan para kyai yang secara tradisi mempunyai kedudukan sebagai pelindung masyarakat
dan penyebar agama. Para kyai inilah yang memimpin para santri dan masyarakat pedesaan
mُemberontak terhadap kekuasaan kolonial pada abad XIX.
Pada saat menjelang kemerdekaan, ketika akan ditetapkan dasar negara, elite pesantren
dengan legowo dan berjiwa besar, menerima usulan masyarakat Indonesia dari Indonesia
Timur, yang notabene non-muslim, agar tidak mencantumkan “Piagam Jakarta” sebagai dasar
negara. Fakta sejarah ini menunjukkan bagaimana kalangan santri pada waktu itu telah
memiliki wawasan kebangsaan yang patut diteladani, demi tegaknya Negara Kesatuan
Rُepublik Indonesia (NKRI).
Setelah masa kemerdekaan, pesantren ikut berperan aktif dalam mengisi kemerdekaan
dengan memposisikan sebagai “benteng moral” bangsa yang berusaha mengikis habis
warisan-warisan budaya kolonial. Bahkan dalam memerangi paham komunisme di Indonesia,
pُesantren terlibat secara fisik melawan PKI dengan varian-variannya.
Sejalan dengan perkembangan jaman, peran pesantren sebagai agen perubahan dalam realitas
sosial mengalami reposisi dan reaktualisasi. Pesantren dengan tokoh sentralnya para kyai
tidak lagi hanya terbatas melakukan proses rekonstruksi tatanan sosial dan budaya, tetapi juga
terlibat dalam proses rekonstruksi tatanan politik di negeri ini. Karenanya tidak
mengherankan jika banyak bermunculan tokoh-tokoh dengan latar belakang pesantren dalam
skala nasional, sesuai dengan back ground sosio kultural dan kapabilitasnya. Tokoh dengan
latar belakang pesantren, ikut berperan aktif dalam berbagai segi kehidupan berbangsa dan
bernegara
B. PERAN PESANTREN SEBAGAI AGEN PERUBAHAN
10. Sejak kehadirannya sebagai institusi keagamaan di daerah pedesaan, pesantren
mendedikasikan pengabdiannya kepada masyarakat pedesaan secara sederhana. Pengabdian
tersebut diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang bersifat keagamaan kepada masyarakat.
Kehadiran pesantren pada awalnya menjadi tempat sosialisasi anak-anak dan remaja,
sekaligus tempat belajar agama. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam
kerangka pengabdian sosial, yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral
keagamaan. Pada perkembangannya peran pesantren dikembangkan kepada upaya
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks seperti ini, pendidikan di
pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi
sُosial.
Kiprah pesantren menjadi salah satu alternatif dalam upaya pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Pada akhir dasa warsa 70-an dan dekade 80-an,
pesantren melakukan kegiatan yang secara substantif fokus pada kebutuhan riil masyarakat,
seperti pengembangan ekonomi, pelestarian lingkungan, atau pemanfaatan teknologi
aُlternatif yang tepat guna.
Proses transformasi sosial yang diperankan pesantren di lingkungan masyarakat ini, sampai
derajat tertentu telah mampu menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat tentang arti
kehidupan dan membangun pemahaman masyarakat terhadap persoalan konkret yang mereka
hadapi, sehingga masyarakat lebih siap dan berdaya dalam menyikapi kehidupan dengan
segala kompleksitas persoalannya. Pesantren mampu hadir sebagai agen pembaharu, di
tُengah lingkungan masyarakatnya.
Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pesantren relatif memberikan makna substansial,
karena pesantren telah memperkenalkan “proses” ketimbang sekedar “hasil”. Hal yang lebih
esensial, pesantren telah menumbuhkembangkan nilai-nilai ketimbang hal-hal yang bersifat
materiil. Pengabdian pesantren kepada masyarakat lingkungannya ini merupakan manifestasi
dُari nilai-nilai yang dianut pesantren.
Nilai pokok yang selama ini berkembang dalam dunia pesantren adalah “kehidupan diyakini
sebagai ibadah”. Dengan demikian, kehidupan duniawi disubordinasikan dalam rangkuman
nilai-nilai ilahi yang dianut sebagai sumber nilai tertinggi. Dari nilai pokok ini berkembang
nilai-nilai luhur yang lain, seperti keikhlasan, kesederhanaan, atau kemandirian. Nilai-nilai ini
merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam pendidikan dan pengembangan
masyarakat, yang pada tahap selanjutnya dikembangkan sebagai nilai yang perlu menjadi
aُnutan masyarakat luas.
Pada sisi yang lain, pesantren tampaknya belum sepenuhnya dapat membumikan nilai-nilai
akhalqul qarimah sebagai bagian intrinsik keberagaman masyarakat. Ini terindikasi dari
merebaknya kekerasan dan kejahatan yang sebagian pelakunya memiliki “hubungan” dengan
pesantren. Padahal, hakekatnya pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pesantren
merupakan upaya pengembangan masyarakat yang muaranya menjadikan masyarakat yang
berkeadaban, mandiri, dan sejahtera sesuai nilai dan ajaran Islam yang menjadi anutan
pesantren. Bahkan, pesantren sesuai peran historisnya dapat mengaktualisasikan proses
internalisasi nilai-nilai kebangsaan, baik di kalangan santri maupun masyarakat di
lingkungannya.
Cُ. PESANTREN DALAM PROSES NATION BUILDING
Kesadaran berbangsa sudah terbangun jauh sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945. Di dalam negeri, kesadaran berbangsa ditandai dengan munculnya gerakan kebangsaan
yang direpresentasikan dengan berdirinya perhimpunan kebangsaan seperti Budi Utomo
(ُ1908).
11. Mendahului gerakan kebangsaan yang cikal bakalnya adalah Budi Utomo, pada awal abad
XX kaum santri berhasil menghimpun kekuatan dalam masyarakat untuk melancarkan
gerakan guna melakukan perubahan dalam masyarakat pribumi. Gerakan perubahan yang
dimotori oleh Serikat Islam (SI) telah mengubah sifat tatanan ekonomi, hubungan sosial,
kehidupan agama, dan politik. Kemunculan SI yang kemudian menjadi organisasi massa,
merupakan puncak pertama mobilisasi massa sebagai basis kekuatan sosial politik umat Islam
Indonesia. Tidak kalah pentingnya dengan kemunculan Budi Utomo sebagai gerakan
kebangsaan di Tanah Air, para pelajar dan mahasiswa Indonesia di luar negeri juga
menyatakan kesadaran berbangsanya dengan membentuk Perhimpunan Indonesia (1908).
Kesadaran berbangsa semakin mengkristal, ketika para pemuda Indonesia sepakat untuk
mengekspresikan sikap kebangsaannya melalui Kongres Pemuda yang menghasilkan
pernyataan Sumpah Pemuda (1928). Gerakan kebangsaan yang mengerucut dengan
komitmen Sumpah Pemuda menjadi rintisan dan penegasan akan tujuan utama kesadaran
berbangsa, yaitu melahirkan bangsa Indonesia yang menegara di wilayah yang menjadi tanah
aُirnya.
Dari uraian ini dapat ditarik benang merah tentang wawasan kebangsaan, yaitu cara pandang
bangsa tentang diri dan lingkungannya, disertai oleh falsafah cita-cita dan tujuan nasional
atau ideologinya serta kemungkinan penyesuaian di dunia yang dinamis (terus berubah). Bila
ditinjau dari proses terbentuknya, maka wawasan kebangsaan Indonesia merupakan cara
pandang bangsa Indonesia yang timbul karena kesadaran diri serta tempaan sejarah. Cara
pandang bangsa Indonesia ini mengandung nilai-nilai yang saling menguatkan. Pertama,
pengorbanan, yaitu kesediaan mereduksi berbagai kepentingan sendiri (pribadi, daerah,
golongan, dan sebagainya) untuk lebih mengedepankan kepentingan bersama. Kedua,
kesederajatan, yaitu kesediaan mengambil peran yang sama dalam perjuangan mewujudkan
cita-cita bersama (mencapai taraf kehidupan yang lebih sejahtera). Nilai ini juga mendorong
sikap untuk mengambil peran dalam penciptakan perdamaian abadi di dunia, diantara bangsa-bangsa.
Ketiga, kekeluargaan, yaitu kesediaan untuk menjalin hubungan harmonis antar
kelompok masyarakat bangsa dan antar bangsa yang saling membutuhkan, tanpa harus
mُengorbankan eksistensi kultural ataupun kepentingan nasional.
Membahas pengembangan character building dalam konteks pesantren, maka peran historis
pesantren dalam proses nation building menjadi modal utama untuk mengaktualisasikan
pُeran kekinian dunia pesantren dalam proses character building.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan realitas yang tidak dapat
dipungkiri. Sepanjang sejarah yang dilaluinya, pesantren terus menekuni pendidikan dan
menjadikannya sebagai fokus kegiatan. Pendidikan model pesantren diarahkan sebagai proses
penanaman nilai-nilai dan perluasan wawasan serta kemampuan santri, sehingga para santri
bُenar-benar tercerahkan.
Dalam perspektif Islam, pengertian pendidikan semacam itu telah menemukan kerangka
acuan yang jelas sebagaimana sabda Rasulullah : “Wa ma bu’itstu illa liutammima makarima
al-akhlaq”. Untuk memahaminya secara utuh, hadis tersebut perlu dikaitkan dengan Al
Qur’an surat Al-Anbiya’ (21) : 107 dimana Allah berfirman : “Wa ma arsalnaka illa
rahmatan li al-alamin”. Berdasar dua rujukan otentik ini, pendidikan Islam harus dapat
mengembangkan manusia sebagai makhluk yang memiliki moralitas terhadap Allah, terhadap
dirinya, lingkungannya, dan alam keseluruhan. Pesantren sebagai lembaga keagamaan Islam
mُemiliki tugas untuk meletakkan konsep pendidikan dalam kerangka nilai-nilai tersebut.
Kontektualisasi dari nilai moralitas terhadap diri dan lingkungannya jika ditarik pada tataran
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta merujuk pada peran sejarah
pesantren dalam proses nation building, akan menjadikan modal bagi pesantren untuk
mُengembangkan peran sosial politik pesantren dalam proses character building.
12. Hal mendasar dalam proses character building ini adalah meletakkan wawasan kebangsaan
pada setiap individu warga negara sesuai dengan pemahaman masing-masing. Dalam
fungsinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang bersifat transformatif, pesantren
dapat mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan pada santri dan
masyarakat di lingkungannya, dengan menggunakan pendekatan dari khazanah keilmuan
pُesantren.
Konsep dasar dari wawasan kebangsaan yang meliputi persatuan dan kesatuan; bhineka
tunggal ika; kebangsaan; negara kebangsaan; negara kepulauan; dan geopolitik, perlu
dirujukkan pada prinsip-prinsip Islam seperti tawhid (keesaan Tuhan), ukhuwah
(persaudaraan), musawah (persamaan), ‘adl (keadilan), tawazun (keseimbangan), tasamuh
(toleransi), ta’addud (kemajemukan) dan tawassuth (moderat), atau dirujukkan pada
khazanah ilmu keislaman.
Dengan demikian, pengembangan character building akan memiliki pijakan teologis yang
kuat, sehingga pesantren bersama semua elemen di dalamnya akan terlibat secara aktif untuk
membumikan nilai-nilai kebangsaan ke dalam komunitas santri dan masyarakat di lingkungan
pesantren, tanpa harus meninggalkan kewajiban utamanya sebagai lembaga pendidikan
aُgama.
D.
PُESANTREN DALAM PEMBERDAYAAN UMM
Kelahiran pondok pesantren di tanah air, tidak dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam
ke Indonesia. Kehadiran pondok pesantren sampai saat ini menjadi kebanggaan tersendiri
bagi umat Islam. Pada awal berdirinya, pondok pesantren umumnya sangat sederhana. Sistem
yang lazim digunakan dalam proses pembelajaran adalah wetonan,
sorogan dan bandongan. Akan tetapi, sejak 1970-an bersamaan dengan program modernisasi
pondok pesantren, mulai membuka diri untuk mempelajari pelajaran umum. Pada mulanya,
tujuan utama pondok pesantren adalah menyiapkan santri untuk mendalami ilmu pengetahuan
agama (tafaqqul fi al-din). Dewasa ini, pertumbuhan dan penyebaran pesantren sangat pesat.
Dengan menjamurnya pondok pesantren yang penyuguhkan spesialisasi kajian baik
tradisional ataupun modern, membawa dampak positif terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan di negeri ini. Kehadiran pondok pesantreen telah nyata membantu pemerintah
dُalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di samping itu, pesantren telah menawarkan jenis pendidikan alternatif bagi pengembangan
pendidikan nasional. Sejak awal berdirinya pondok pesantren dikenal sebagai lembaga
pengkaderan ulama, tempat pengajaran ilmu agama, dan memelihara tradisi Islam. Fungsi ini
semakin berkembang akibat tuntutan pembangunan nasional yang mengharuskan pesantren
terlibat di dalamnya. Kini, di abad ke-21, sebagaimana disebut orang abad milenium, peran
pondok pesantren bukan saja sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga
keagamaan dan lembaga sosial. Peran pesantren pun melebar menjadi agen perubahan dan
pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran bila sekarang, pemerintah atau
lembaga sosial kemasyarakatan menginginkan pondok pesantren menjadi pusat
pemberdayaan masyarakat, melalui berbagai kegiatan yang sangat menunjang untuk
menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi yang tinggi.
Tantangan globalisasi
Di tengah terpaan arus globalisasi, para pakar ramai menyatakan bahwa dunia akan semakin
kompleks dan saling ketergantungan. Dikatakan pula bahwa perubahan yang akan terjadi
dalam bentuknon-linear, tidak bersambung, dan tidak bisa diramalkan. Masa depan
13. merupakan suatu ketidaksinambungan. Kita memerlukan pemikiran ulang dan rekayasa ulang
terhadap masa depan yang akan dilewati. Kita berani tampil dengan pemikiran yang terbuka
dan meninggalkan cara-cara lama yang tidak produktif. The road stop here where we go
next? Semua pernyataan tersebut menggambarkan bahwa dunia akan kekurangsiapan dan
sekaligus sebagai dorongan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi globalisasi.
Fenomena globalisasi banyak melahirkan sifat individualisme dan pola hidup materialistik
yang kian mengental. Di sinilah keunikan pondok pesantren masih konsisten dengan
menyuguhkan suatu sistem pendidikan yang mampu menjembatani kebutuhan
fُisik (jasmani) dan kebutuhan mental spiritual(rohani) manusia.
Eksistensi pondok pesantren dalam menyikapi perkembangan zaman, tentunya memiliki
komitmen untuk tetap menyuguhkan pola pendidikan yang mampu melahirkan sumber daya
manusia (SDM) yang handal. Kekuatan otak (berpikir), hati (keimanan) dan
tangan (keterampilan), merupakan modal utama untuk membentuk pribadi santri yang
mampu menyeimbangi perkembangan zaman. Berbagai kegiatan keterampilan dalam bentuk
pelatihan/work-shop (daurah) yang lebih memperdalam ilmu pengethuan dan keterampilan
kerja adalah upaya untuk menambah wawasan santri di bidang ilmu sosial, budaya dan ilmu
praktis, merupakan salah satu terobosan konkret untuk mempersiapkan individu santri di
lُingkungan masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks di lingkungan masyarakat, maka
pondok pesantren harus berani tampil dan mengembangkan dirinya sebagai pusat
keunggulan. Pondok pesantren tidak hanya mendidik santri agar memiliki ketangguhan
jiwa (taqwimu al-nufus), jalan hidup yang lurus, budi pekerti yang mulia, tetapi juga santri
yang dibekali dengan berbagai disiplin ilmu keterampilan lainnya, guna dapat diwujudkan
dُan mengembangkan segenap kualitas yang dimilikinya.
Untuk mencapai tujuan di atas, para santri harus dibekali nilai-nilai keislaman yang
dipadukan dengan keterampilan. Pembekalan ilmu dan keterampilan dapat ditempuh dengan
mempelajari tradisi ilmu pengetahuan agama dan penggalian dari teknologi keterampilan
umum. Karena, tradisi keilmuan dan kebudayaan Islam sangat kaya, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sayyid Kuthub; “Yang benar, bahwasannya agama (Islam) bukan
mengganti ilmu dan kebudayaan, bahkan bukan pula musuh ilmu dan kebudayaan. Padahal,
agama Islam merupakan bingkai ilmu dan kebudayaan poros/sumbu untuk ilmu kebudayaan,
begitu pula sebagai metode ilmu dan kebudayaan dan membatasi bingkai dan poros yang
mُampu memberi hukum (peraturan) bagi segala masalah kehidupan”.
Mencermati karakteristik umat Islam serta kecenderungan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi pada masa yang akan datang, disertai dengan perkembangan kebudayaan, maka
pilihan format pondok pesantren lebih menekankan kepada ilmu pengetahuan alam. Maka
keberadaan pondok pesantren sangat optimis sebagai alternatif pendidikan. Sebagaimana
yang pernah dikemukakan oleh Chistoper J. Lucas, “Pesantren menyimpan kekuatan yang
sangat luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberi
informasi yang berharga dalam mempersiapkan kebutuhan yang inti untuk menghadapi masa
dُepan.
Di sinilah peran pesantren perlu ditingkatkan. Tuntutan globalisasi tidak mungkin dihindari.
Salah satu langkah yang bijak adalah mempersiapkan pesantren tidak “ketinggalan kereta”
agar tidak kalah dalam persaingan. Pada tataran ini masih banyak pembenahan dan perbaikan
yang harus dilakukan oleh pondok pesantren. Paling tidak tiga hal yang mesti digarap oleh
pُondok pesantren yang sesuai dengan jati dirinya.
Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama. Fungsi ini tetap harus
melekat pada pesantren, karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang
melahirkan ulama. Namun demikian, tuntutan modernisasi dan globalisasi mengharuskan
ulama memiliki kemampuan lebih, kapasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses
14. pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan
pُerubahan.
Kedua, pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan khusus agama
Islam.Pada tatanan ini, pesantren masih dianggap lemah dalam penguasaan ilmu dan
metodologi. Pesantren hanya mengajarkan ilmu agama dalam arti transfer of
knowledge. Karena pesantren harus jelas memiliki potensi sebagai “lahan” pengembangan
iُlmu agama.
Ketiga, dunia pesantren harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformasi, motivator,
dan inovator. Kehadiran pesantren dewasa ini telah memainkan perannya sebagai fungsi itu
meskipun boleh dikata dalam taraf yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Sebagai salah satu
komponen masyarakat, pesantren memiliki kekuatan dan “daya tawar” untuk melakukan
pُerubahan-perubahan yang berarti.
Dari zaman ke zaman, generasi ke generasi peran pondok pesantren melalui fungsi dan tugas
santri adalah memperjuangkan tegaknya nilai-nilai religius serta berjihad
mentransformasikannya ke dalam proses pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.
Tujuan yang dimaksud adalah agar kehidupan masyarakat berada dalam kondisi
bُerimbang (balanced) antara aspek dunia dan ukhrawi.
Berdasarkan pendekatan sistemik dan religi di atas, tentunya diakui bahwa peranan pondok
pesantren harus sanggup membangun idividu santri untuk membangun
kelompok (sosial) yang memiliki potensi kuat dalam mengisi pembangunan negeri ini.
Dengan konsepsi yang demikian itu, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
ideal, terutama, karena di dalamnya memuat konsep pendidikan yang integralistik, pragmatik,
dan mempunyai akar budaya yang sangat kental di lingkungan masyarakat.
Eُ. PESANTREN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
adalah sebuah komunitas peradaban dan sering dipandang sebelah mata karena Pesantren
lebih banyak mengurusi soal ukhrowiyah yang tidak diimbangi dengan duniawiyah.
Pesantren menjadi tempat untuk pembinaan moral-spiritual, kesalehan seseorang dan
pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam. Sering pula dicerca sebagai pusat kehidupan fatalis,
karena memproduksi kehidupan zuhud yang mengabaikan dunia materi. Padahal yang
dilakukan oleh orang pesantren itu merupakan sebuah kesederhanaan dan kesahajaan dalam
menaungi sebuah kehidupan di dunia dan berusaha ”menabung” untuk menggapai akhiratnya.
Dan sekarang sebuah anggapan itu sudah agak bergeser. Alumni-alumni pesantren sudah
biasa “beradaptasi” dengan dunia luar, mulai berkecimpung di dunia pendidikan, politik,
sُosial-budaya, kewirausahaan dan lain sebagainya.
Keberadaan pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna sangat strategis,
apalagi jika pesantren ini memiliki lembaga pendidikan umum (baca: formal). Lembaga
pesantren yang berakar pada masyarakat, merupakan kekuatan tersendiri dalam
membangkitkan semangat dan gairah masyarakat untuk meraih kemajuan menuju ke arah
kehidupan yang makin sejahtera. Apalagi dalam menghadapi era globalisasi yang berdampak
kepada berbagai perubahan terutama di bidang ekonomi maupun sosial-budaya, dan perlu
juga memperhatikan gerakan pesantren dalam mengapresiasikan arus globalisasi dan
mُodernisasi yang berlangsung demikian kuatnya saat ini.
Arus globalisasi dan modernisasi merupakan proses transformasi yang tak mungkin bisa
dihindari, maka semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus siap
menghadapinya dan perlu menanggapi dampak-dampaknya secara terbuka dan secara kritis.
Karena pesantren memiliki ciri khas yang kuat pada jiwa masyarakatnya serta dasar-dasar
keagamaan dan tradisi menjadikan pesantren memiliki kekuatan resistensi terhadap
pengaruh-pengaruh budaya dari luar. Pesantren dianggap sebagai “benteng” nilai-nilai dasar
di masyarakat terhadap intervensi budaya asing. Dari sinilah pentingnya keterkaitan
15. pesantren dengan masyarakatnya yang tercermin dalam ikatan tradisi dan budaya yang kuat
dan membentuk pola hubungan fungsional dan saling mengisi antara keduanya. Interaksi
sosial-budaya yang mendalam antara pesantren dan masyarakat di sekitarnya itu terlihat
dalam hal keagamaan, pendidikan, kegiatan sosial dan perekonomian.
Oleh karena itu pesantren membutuhkan gerakan pembaharuan yang progresif terhadap
segala bidang, terutama dalam menghadapi permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dan
pesantren mestinya memberikan diversifikasi (penganekaragaman) keilmuan unggulan
khusus atau keahlian praktis tertentu. Artinya, pesantren perlu membuat satu keunggulan
tertentu keahlian praktis lainnya misalnya keahlian ilmu umum dan keahlian praktis lainnya.
Pesantren memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan
masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Hal ini
menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi
masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagian yang lain sebagai
suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya
cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual di pesantren pada
dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman dan penguasaan ilmu agama) yakni
dُengan melestarikan ajaran agama Islam serta mengikutkannya pada konteks sosial-budaya.
Untuk mentransformasikan pesantren berperan dalam pemberdayaan masyarakat, maka
perlunya langkah-langkah khusus yang dilakukan oleh lembaga tertentu dalam memproduksi
santri-santri sebagai “Agent of Change” yang peka terhadap arus modernisasi dan masalah
sosial-budaya.
Jُuga
1. Pengembangan Masyarakat dari Sisi Sosiologi
Menurut Dunham ( 1958 ) bahwa pengembangan masyarakat sebagai berbagai upaya yang
terorganisir yang dilakukan guna meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, terutama
melalui usaha yang kooperatif dan mengembangangkan kemandirian dari masyarakat. Ia
berfikir bahwa pengembangan masyarkat lebih memfokuskan diri pada pengembangan
kehidupan ekonomi, prasarana jalan, bangunan, dan pendidikan.15
Dalam pengertian lain yang harus disederhanakan, pengembangan masyarakat atau
pengembangan sumber daya manusia diartikan sebagai memperluas horison pilihan bagi
masyarakat banyak. Pada negara maju pengembangan masyarakat tidak terlalu difokuskan
pada penyediaan kebutuhan dasar masyarakt ( seperti layanan kesehatan, makanan, air bersih,
pendidikan dasar dan menengah ), tetapi lebih diarahkan pada mengembangkan proses
demokrasi, memperbaiki proses demokrasi yang ada dan mengembangkan konklusi logis dari
masalah-masalah yang ada. Tujuan utama pergerakan adalah pengembangan " harga diri "
dan kepuasan berpartisipasi. Pada sisi lain, pada berbagai negara berkembang, fokus
perhatian dari pengembangan masyarkat lebih diarahkan pada peningkatan kesehatan
masyarakat, peningkatan kondisi ekonomi,komunitas, pembuatan fasilitas infrastrktur,
membangun fasilitas rumah untuk kelompok miskin, mengembangkan pendidikan dasar,
menengah dan kejuruan, serta menyiapkan lapangan kerja.
16. Secara sosiologis, masyarakat atau society dapat diartikan sebagai kumpulan atau kelompok
individu- individu yang memiliki beberapa prsamaa atau kepentingan dan tujuan. Sementara
dalam proses menjadinya bentuk masyarakat merupakan hasil dari interaksi yang dilakukan
oleh individu- individu sebagai anggotanya. Dalam interaksi tersebut akan terbentuk suatu
sistem sosial yang berdasarkan pada norma-norma yang disepakati oleh para anggota
masyarakat yang bersangkutan.Perilaku sosial tersebut dilakukan secara berpola oleh seluruh
individu sehingga melahirkan suatu kebudayaan yang menjadi pedoman bagi masyarakat
pendukungnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ada bebrapa faktor yang menentukan bentuk suatu masyarakat, diantaranya adalah faktor
alam atau geografis (determinisme ekologi), kebudayaan, dan atau keyakinan (agama) yang
dianut oleh masyarakat.
2. Pengembangan Masyarakat Menurut Islam
Secara etimologis, pengembangan berarti membina dan meningkatkan kualitas, dan
masyarkat Islam berarti kumpulan manusia yang beragama Islam. Secara terminologis,
pengembangan masyarakat Islam berarti mentransformasikan dan melembagakan semua segi
ajaran Islam dalam kehidupan keluarga (usrah), kelompok sosial (jamaah), dan masyarkat
(ummah).
Pengembangan masyarakat merupakan upaya mempeluas horison pilihan bagi masyarakat.
Ini berarti masyarakat di berdayakan untuk melihat dan memilih sesuatu yang bermanfaat
bagi dirinya, dapat dikatakan bahwa masyarakat yang berdaya adalah yang dapat memilih
dan mempunyai kesempatan untuk mengadakan pilihan-pilihan.
Amrullah Ahmad menyatakan bahwa pengembangan masyarkat Islam adalah sistem tindakan
nyata yang menawarkan alternatif model pemecahan masalah ummah dalam bidang sosial,
ekonomi, dan lingkungan dalam perspektif Islam.
Dengan demikian, pengembangan masyarakat merupakan model empiris pengembangan
perilaku individual dan kolektif dalam dimensi amal saleh (karya terbaik), dengan titik tekan
pada pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat. Sasaran individual yaitu setiap individu
muslim dengan orientasi sumber daya manusia.Sasaran komunal adalah kelompok atau
komunitas muslim dengan orientasi pengembangan sistem masyarakat. Dan sasaran
institusional adalah organisasi Islam dan pranata sosial kehidupan, dengan orientasi
pengembangan kualitas dan Islamitas kelembagaan.
Menurut Syahrir Harahap dalam bukunya Islam konsep implementasi pemberdayaan, beliau
mengemukakan bahwa yang ingin dikerjakan dengan pengembangan masyarakat melalui
dakwah Islam adalah menggerakan masyarakat yang tradissional atau transisi menjadi
masyarakat yang modern, masyarakat yang berorientasi masa lalu menjadi masyarakat yang
berorientasi ke masa depan, dari masyarakat yang pasrah kepada takdir menjadi masyarakat
17. yang memiliki kepercayaan diri dan bertanggunga jawab, dari masyarakat yang stagnan
menjadi masyarkat yang dinamis, dan dari masyarakat yang tanpa perencanaan menjadi
masyarakat yang memiliki perencanaan dalam hidupnya.
Jika hal ini dapat terlaksana, maka masyarakat akan memberikan partisipasinya yang
maksimal terhadap usaha memerangi kemiskinan yang dilakukan. Dengan demikian,
masyarakat kita akan memiliki kekuatan untuk mengembangkan diri sendiri untuk bangkit.
Islam mengarahkan manusia agar merencanakan kehidupan dengan berorientasi masa depan.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Insyirah ayat 7-8 :
فَإذَِا فَُرَغْتَ فَُانْصَبْ وَُإُِلَى رَُب كَ فَُارْغَبُْ
Artinya : " Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan yang lain). Danhanya kepada Tuhan-Mulah hendaknya kamu
berharap". (Al- Insyirah :7-8).
Oleh karena itu, manusia harus merencanakan peningkatan taraf hidup dan tidak selalu
menyerah pada takdir Tuhan.
Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Amin Al-Misri dalam bukunya yaitu pedoman
pendidikan masyarakat Islam modern bahwa masyarakat Islam ialah masyarakat yang
berbeda dari masyarakat-masyarakat lainnya dengan aturan-aturan khasnya perundang-undangan
Qur'aniyah, dan individu- individunya yang sama-sama berada dalam 1 kaidah dan
sama-sama menghadap ke satu kiblat. Masyarakat ini, mesti terbentuk dari beraneka ragam
kaum umum dan tradisi-tradisi yang sama.
Dapat dikatakan bahwa pengembangan masyarakat Islam adalah mengembangkan potensi
masyarakat secara Islami agar mampu menghadapi situasi sekarang dan situasi yang akan
dُatang.
Soegarda PoerbaKawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung, 1976), Cet. Ke-
1,
h. 223
Sa'id Aqiel Siradj et. al, Pesantern Masa Depan : Pemberdayaan dan transformasi pesantren,
18. (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 133.
Manfred Ziemek, Pesantren dalam perubahan sosial, (Jakarta : P3M, 1986) Cet. Ke-1, h. 99
Zamakhsyari Dhofir, Op.Cit, h.18
Ibid, h. 98
Yasmadi, MA., Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), cet. Ke-1, h. 62
Didin hafidudin, Dakwah Aktual, (Jakarta : Gema Insani Press,1998), h. 120-122.
Zamakhsyari Dhofier, op. cit, h. 44.
Yasmadi, op. cit, h. 64
Zamakhsyari Dhofier, op. cit, h. 45
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1998), h. 667
N. Gross, W.S. Mason, and A.W. Mc Eachern, Exploritations in Role Analysis, dalam David
Barry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), cet.
Ke-3, h. 99
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), cet.
Ke-1, h. 235
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
Cet. Ke-34, h. 243
David Berry, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, h. 101
19. Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas
Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI, 2003 ), Cet Ke-3, h. 217
Ibid, h. 221
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta : PT Gramedia, 2000),
Cet. Ke-XIX, h.25
Nanih Machendarawaty, Agus Ahmad safei, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi,
Straegi, sampai Tradisi, ( Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. Ke-1, h.29
Amrullah Ahmad, strategi dakwah Islam diTengah Reformasi Menuju Indomesia Baru
Dalam Memasuki Abad Ke-21 ,( Bandung : Makalah Pada Sarasehan Nasional SMF Dakwah
IAIN Sunan Gunung Djati, 1999), h.9
Nanih Machendrawaty, Agus Ahmad Safei, Op. Cit, h. 43
Syahrir Harahap, Islam Konsep Implementasi Pemberdayaan, ( Yogyakarta : PT Tiara
Wacana Yoqya , 1999 ), Cet. Ke-1, h.132
Muhammad Amin Al-Misri, Pedoman Pendidikan Masyarakat Islam Modern, ( Kuwait :
Darul Arqom,1980 ), Cet Ke-1, h. 9-10
ُ
Tantangan Zaman: Sumber Daya Manusia dan Perekonomian Masyarakat
Tantangan terbesar dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi adalah pemberdayaan
sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi. Dalam kehidupan telah terjadi transformasi di
semua segi terutama sosial dan budaya yang sangat cepat dan mendasar pada semua aspek
kehidupan manusia. Berbagai perubahan tersebut menuntut sikap mental yang kuat, efisiensi,
pُroduktivitas hidup dan peran serta masyarakat.
SDM yang berkualitas dan tangguh mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi
dan mengatasi ekses-eksesnya. Perkembangan SDM akan dengan sendirinya terjadi sebagai
hasil dari interaksi antara pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial budaya termasuk
kedalaman pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama serta perkembangan modernisasi dan
teknologi tentunya. Dalam hal ini pembangunan ekonomi tidak secara otomatis berpengaruh
20. peningkatan kualitas SDM. Namun perkembangan SDM yang berkualitas dapat mempercepat
pُertumbuhan ekonomi.
Dua hal tersebut (SDM dan pertumbuhan ekonomi) harus diarahkan pada pembentukan
kepribadian, etika dan spritual. Sehingga ada perimbangan antara keduniawian dan
keagamaan. Dengan perkataan lain pesantren harus dapat turut mewujudkan manusia yang
IMTAQ (beriman dan bertaqwa), yang berilmu dan beramal dan juga manusia modern peka
terhadap realitas sosial kekinian. Dan itu sesuai dengan kaidah ”al muhafadotu ’ala qodimish
sholih wal akhdu bi jadidil ashlah” (memelihara perkara lama yang baik dan mengambil
pُerkara baru yang lebih baik).
Peningkatan SDM merupakan tuntutan yang wajib dilakukan oleh umat manusia. Di dalam
Islam pun sudah ada dalilnya yang berbunyi: ”mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang islam
laki-laki dan perempuan”. Hal ini menunjukkan sampai kapanpun dalam mengikuti
perkembangan zaman globalisasi dan modernisasi harus diikuti pula kesadaran ilmu
pengetahuan dan teknologi lainnya, agar kemampuan untuk bersaing dapat dilaksanakan oleh
pesantren. Dan penguasaan ilmu pengetahuan itu merupakan pencerminan dari kehidupan
budaya modern dan sekaligus amanat keagamaan, maka tradisi pesantren yang menanamkan
etos keilmuan kepada para santri harus dihidupkan kembali, dan tentunya dengan membuka
dُiri kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan pola kehidupan modern.
Kemudian masalah perekonomian menjadi langkah penting bagi pesantren dalam
mengorganisir masyarakat. Mengingat dalam arus ’pasar bebas’, masyarakat dituntut untuk
berkompetisi hidup dalam melanjutkan kehidupannya. Era globalisasi telah meruntuhkan
kekuatan ekonomi masyarakat kecil karena dominasi monopoli pelaku pasar yang sudah
menguasai hampir di seluruh pelosok desa. Maka pemberdayaan masyarakat melalui
kesejahteraan dan kemandirian ekonomi perlu digerakkan. Pesantren diharapkan mampu
menjadi ”pioner perubahan” itu yang kemudian membentuk sebuah gerakan yang praksis di
masyarakat. Dalam pengembangan ekonomi juga diperlukan keahlian-keahlian khusus untuk
diterapkan meliputi: manusia yang berjiwa sosial, intrepreneurship, bangunan jaringan (baik
untuk perdagangan/wirausaha, permodalan dan pemasaran). Masyarakat, khususnya bagi
pesantren harus bisa melepaskan diri dari belenggu ”pasar modernisasi” dan lingkaran
eُkonomi sudah tidak merakyat lagi bagi rakyat kecil.
Dan ada beberapa langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan yakni: keilmuan, jiwa
kُewirausahaan dan etos kerja/kemandirian.
Keilmuan, dalam hal ini keilmuan agama dan pengetahuan umum seperti yang telah
disampaikan tadi. Ajaran agama merupakan pemupukan nilai-nilai spiritual untuk tetap teguh
dalam menjalankan agama di kala moderinisasi sudah merasuk pada wilayah jati diri
manusia. Sedangkan pengetahuan-pengetahuan keilmuan umum dalam perkembangan zaman
terus meningkat dan setiap manusia harus bisa mengikutinya. Dan SDM inilah yang menjadi
kunci dari peradaban manusia itu sendiri. Maka diharuskan hidup secara serasi dalam
kُemodernan dengan tetap setia kepada ajaran agama.
Jiwa Kewirausahaan, etos kewirausahaan dijadikan bagi penumbuhan dan motivasi dalam
melakukan kegiatan ekonomi. Gerakan-gerakannya adalah membangun wirausaha bangsa
kita sendiri, terutama dari kalangan pesantren dan masyarakatnya. Serta dapat menumbuhkan
pengusaha-pengusaha yang tangguh yang mampu bersaing baik di pasar internasional apalagi
dُi pasar lokal itu sendiri.
Pesantren diharapkan dapat melahirkan wirausahawan yang dapat mengisi lapisan-lapisan
usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri. Sebenarnya yang diperlukan hanyalah
menghidupkan kembali tradisi yang kuat di masa lampau dengan penyesuaian pada kondisi
mُasa kini dan pada tantangan masa depan.
Etos Kerja dan kemandirian, kenyataannya, dalam masyarakat kita etos kerja ini belum
sepenuhnya membudaya. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat kita tidak sesuai untuk
21. kehidupan modern. Pesantren, dimulai dengan lingkungannya sendiri, harus menggugah
masyarakat untuk membangun budaya kerja yang sesuai dan menjadi tuntutan kehidupan
modern. Sedangkan waktu adalah faktor yang paling menentukan dan merupakan sumber
daya yang paling berharga. Budaya modern menuntut seseorang untuk hidup mandiri, apalagi
suasana persaingan yang sangat keras dalam zaman modern ini memaksa setiap orang untuk
memiliki kompetensi tertentu agar bisa bersaing dan dan bermartabat di tengah-tengah
masyarakat. Hanya pribadi-pribadi yang punya watak kemandirian saja bisa hidup dalam
masyarakat yang makin sarat dengan persaingan.
Dengan demikian, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghadapi segala
tantangan, mampu mengambil keputusan sendiri, mempunyai kemandirian, memiliki budaya
kerja keras dan daya tahan yang kuat, serta mampu menentukan apa yang terbaik bagi
dُirinya.
Masyarakat saat ini tidak hanya saja membutuhkan sebuah fatwa atau dalil-dalil yang
menyegarkan, tapi juga membutuhkan solusi konkrit dan praksis atas segala permasalahan
yang ada. Era keterbukaan dan persaingan bebas sudah dengan cepatnya masuk ke dalam
lapisan masyarakat. Kalau tidak menyiapkan diri untuk ”memberdayakan” masyarakat maka
akan ikut tergerus dan lenyap oleh zaman itu sendiri. Hanya dengan komitmen dan
pengorganisiran masyarakatlah yang sanggup membentengi diri dari itu semua, dan pesantren
jُuga sebagai salah satu harapan masyarakat untuk ikut andil di dalamnya.
Jadi perlunya ”Tri Dharma Pesantren” yakni: pendidikan, penelitian dan pengabdian
masyarakat. Hal ini sebagai langkah integrasinya pesantren dalam memerankan fungsinya di
masyarakat luas. Sehingga pesantren tidak hanya melahirkan agamawan saja, tetapi juga
agamawan yang ”luwes”-inklusif, mempunyai jiwa sosial-kemasyarakatan serta kepribadian
mُandiri dan intrepreneurship.
Dan pada akhirnya ini sebagai langkah kecil pesantren dalam menghadapi pergerakan zaman.
Semoga bermanfaat bagi masyarakat dan pesantren tentunya sebagai pencetak santri-santri
yُang bermasyarakat. Amin!
22. DAFTAR PUSTAKA
A. Halim, Rr.Suhartini, dkk, Manajemen Pesantren, Yogyakarta; Pustaka Pesantren,
Kelompok Penerbit LKiS, 2005,
1199
Achmad Faozan, “Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi”, Ibda’: Jurnal Studi
Islam dan Budaya, Vol 4, No. 1, 2006
Adi Sasono, Pengantar dalam Muhammadiyah dan Pemberdayaaan
Masyarkat,Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1995
Billah dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah.
Jakarta: P3M, 1985
Claude Levi-Strauss, Antropologi Struktural, terj, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005
Damihartini dan Jahi sebagaimana dikutip dalam Nuhfil Hanani, “Peranan
Kelembagaan dalam Pengembangan Agribisnis”, Pamator, Volume 2 Nomor 1.
2005.
Data diperoleh dari pengurus Pondok Pesantren Darul Falah, 07 September 2012
Data diperoleh dari wawancara dengan Ust. Saiful Bakri Wakil Ketua Ponpes Darul
Falah Pusat, 07 September 2012 .
Fahmi Saifuddin, “Pesantren dan Penguatan Basis Pedesaan” dalam Saifullah Ma’shum,
Dinamika Pesantren (Telaah Kritis Keberadaan Pesantren Saat Ini), Jakarta:
Al-Hamidiyah, 1998
Koentjaraningrat, Metode-metode Anthtropologi dalam Penjelidikan-Penjelidikan
Masjarakat dan Kebudayaan di Indonesia; Sebuah Ichtisar, Djakarta,
Penerbitan Universitas, 1958
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta, UI-Press, 1987
L.L. Bernard, The field and Methods of Sociology, New York, Rinehart and Company
Inc, 1934
Moh. Nazir, Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Nawari. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Oleh Pesantren.
Depok: Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2006.
Susilo Martoyo dalam A Halim, Rr Suhatini, dkk, Manajemen Pesantren, Yogyakarta;
Pustaka Pesantren, 2005
Syahid Widi Nugroho, Peran Pondok Pesantren Dalam Pembangunan Desa. Depok:
Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2005
William A Lessa and Evon Z Vogt, Reader in Comparative Religion; An Antropologi
Approach, New York; Harper and Row Publishers, 1979,
Ziemek Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta; P3M, 1986
23. 1 Abd. Rasyad Saleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), Cet. Ke-
1,h.1
2 Ibid, h. 11
3 Manfred Ziemek, Pesantern Dalam Perubahan Sosial, (Jakarta : Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1986), Cet. Ke-1, h. 2
4 Ibid, h. 96
5 Ibid, h. 2
6 A. H. Nasution, Pembangunan Moral Inti Pembangunan Nasional, (Surabaya : Bina Ilmu,
1995), Cet. Ke-1, h. 211
7 Lexy J. Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Karya, 1989), Cet. Ke-
1, h. 3