Dokumen ini menjelaskan asal usul tujuh suku di Kepenuhan, Riau. Suku-suku ini lahir dari peristiwa kapal yang membawa pendatang dari Hindia dan Jawa yang terdampar di Kepenuhan. Mereka bekerja sama menyelamatkan kapal yang kandas, yang kemudian menjadi cikal bakal identitas tujuh suku yaitu Melayu, Moniliang, Kandang Kopuh, Pungkut, Kuti, Mais dan Ampu. Suku-suku ini ke
1. Sejarah Lahirnya Suku-suku di Kepenuhan
Bhinneka tunggal ika adalah semboyan pemersatu dari segala suku yang ada dibumi
nusantara dari sabang sampai merauke,mereka diikat oleh kesatuan yang tak dapat
dipisahkan. Salah satu kebhinneka tunggal ika itu termasuklah suku yang ada
diluhak Kepenuhan Kab.Rokan hulu-Riau. Suku-suku ini hidup saling berdampingan
tanpa ada suatu perbedaan yang dapat memisahkan mereka atau sesuatu yang akan
memecah belahkan keberadaan kesukuan yang dijunjung didaerah ini, kebhinekaan
daerah ini terletak pula pada semboyannya yaitu “Bisik Montok Uwang Koponuhan“.
Semboyan ini adalah melambangkan jati dari kesukuan diadat luhak kepenuhan.
Karena luhak kepenuhan termasuk dalam kelompok luhak nan-limo yaitu :
1. Luhak Rokan
2. Luhak Kunto Darussalam
3. Luhak Rambah
4. Luhak Tambusai
5. Luhak Kepenuhan
Luhak Rokan dan luhak Kunto Darussalam terletak di Rokan Kiri, sedangkan luhak
Rambah,tambusai dan Kepenuhan terletak didaerah Rokan Kanan.
Lahirnya Suku-Suku Di Kepenuhan.
Kepenuhan pada mulanya telah dihuni oleh kelompok masyarakat yang datang dari
daerah daratan (diduga dari Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Pagaruyung) dan juga
dari daerah lautan (Kerajaan Malaka,Malaysia). Kedatangan masyarakat ini
berkelompok dan kedatangan mereka silih berganti satu sama lain.
Untuk mengetahui secara mendalam tentang asal-usul masyarakat daerah ini, maka
penulis akan memaparkan terlebih dahulu tentang sejarah yang meletarbelakangi
dari para pendatang tersebut.
Suatu ketika berlayar sebuah perahu kapal dari hindia yang berasal dari gunung
himalaya menuju kedaerah malaka, ditengah mengarungi lautan mereka berselisih
dengan perahu asal jawa yang tujuan mereka ini adalah pulang kedaerah asal
mereka yaitu pulau jawa. Sekelompok orang jawa menyebut dengan Melayu. Melayu
disini (diartikan dengan orang yang berlari seperti orang yang dikejar) demikian
anggapan orang jawa yang melihat kejadian kapal dari hindia yang berlayar begitu
kencang dengan menyebut mlayu ! mlayu !! mlayu !!!.
Sesampai diselat malaka, mereka melabuhkan perahu kapalnya ditepian untuk
berhenti beberapa saat guna manambah perbekalan dalam melanjutkan perjalanan
berikutnya. Dengan kedatangan sekolompok masyarakat ini penduduk setempat juga
memilih alibi bahwa rombongan yang datang adalah orang melayu dan ada sebagian
lagi beranggapan dengan orang Malaya. Tujuan dari rombongan perahu kapal
tersebut adalah kedaerah Rokan Kanan tepatnya didaerah Kepenuhan.
Perbekalan yang dibutuhkan sudah mereka dapatkan dan tali yang diikatkan sudah
pula dilepas pertanda perahu kapal akan berlayar menuju persinggahan berikutnya
yaitu daerah Rokan. Ditengah perjalanan rombongan mengalami suatu hambatan bahwa
perahu kapal yang mereka tumpangi kandas ditengah sungai, karena tanpa mereka
sadari bahwa mereka terhenti, dengan situasi yang demikian para penumpang dan
anggota lainnya membantu untuk mengeluarkan perahu kapal yang kandas supaya
perjalanan dapat dilanjutkan kembali.
Situasi yang sedemikian ada sebagian mereka menahan air atau menumpu perahu
kapal agar perahu kapal tidak lari arah dari yang direncanakan, adapula sebagian
2. mereka yang berdiam diri, adapula sebagian mereka menikmati dan mengikuti apa
yang diperbuat oleh rekan-rekannya yang lain, adapula yang menjadi kapten kapal
baik dibawah ditengah maupun diatas agar perahu kapal dapat terkendali dengan
baik, dan adapula yang mementingkan kepentingannya sendiri.
Demikian situasi yang terjadi pada saat itu dan menurut sejarah dengan kejadian
tersebut lahirlah suku-suku yang menunjukkan jati diri yang mereka miliki, yaitu
:
Melayu
Posisi mereka pada kejadian itu ada tiga tempat yaitu :
“ Posisi ditengah adalah sebagai kapten kapal yang labih dikenal dengan nama
Melayu Tongah
“ Posisi diatas adalah untuk mengatur layar, yang lebih dikenal dengan nama
Melayu Ateh
“ Posisi dibawah adalah tugas mekanik, yang lebih dikenal dengan nama Melayu
Pasak.
Filsafat yang dapat diambil dari peristiwa diatas adalah suku melayu tidak
memihak kepada siapapun karena keberadaannya sebagai pemimpin dalam menjalankan
tugas selama menempuh perjalanan, tugas yang seperti itu selalu dipegang oleh
orang melayu dalam setiap menjalankan tugas yang diamanahkan kepada mereka tanpa
memandang darimana serta dengan siapa saja mereka berurusan.
Kandang Kopuh
Suku kandang kopuh dinamakan demikian adalah tugas yang diembankan ketika itu
adalah menahan air atau yang lebih dikenal dalam bahasa kepenuhan “Mongandang“
air agar air dapat terkumpul sehingga air tergenang atau air tersebut terkumpul
menjadi pasang kembali.
Pungkut
Posisi mereka pada saat itu hanya berdiam diri dalam perahu kapal, menunggu
hasil pekerjaan dari penumpang lain, suatu ketika mereka mengira kapal akan
tenggelam dan mereka berupaya menyelamatkan diri dari bahaya yang menimpa,
karena ingin cepatnya anak mereka sendiripun hampir tertinggal.
Moniliang
Sikap yang diambil suku ini adalah mengelilingi perahu kapal, melihat kesana
kemari sebentar kedepan sebentar kebelakang, entah apa yang mereka kerjakan.
Moniliang berarti (mengelilingi kapal). Suatu ketika karena mengelilingi
kelihatan oleh mereka air pasang akan menimpa perahu kapal hingga mereka berucap
“ bono ! bono !! itu bono datang !!! “, bono artinya air kemudian mereka berucap
kembali “itulah tadin ku sobuik aie akan datang, kalian onak bokoju yo, lotih
awak !“ ( kami sudah berkata,air akan datang namun kalian ingin juga bekerja,
capek kerja terus ).
“godang kato bang!“ ucapan ini spontan keluar dari penumpang lain atas sikap
yang mereka ambil. Ucapan dari penumpang tersebut lengket kepada mereka sehingga
menjadi semboyan pula dari suku moniliang yaitu “godang kato uwang moniliang“.
Arti dari semboyan tersebut adalah mereka selalu meninggi, selalu ingin lebih,
selalu ingin pintar dan itulah orang moniliang.
Kuti
Suku ini berasal dari kata mengikuti, sehingga menjadi kuti dalam perjalanan
sejarah tersebut dari suku ini hanya mengikuti apa yang terbaik untuk perahu
kapal yang sedang kandas, pokoknya menguti saja.
Ampu
Ketika perahu kapal yang kandas, dari suku ini turun kebawah untuk menahan
3. perahu kapal dari tempat kandas agar perahu kapal tidak terpeleset ketempat yang
lebih membahayakan, mereka berupaya memberi tumpuan, dalam bahasa daerah
kepenuhan “Mengampu“ artinya mencoba untuk menahan sekaligus mengangkat kapal
yang kandas karena pekerjaan ini amat berat sehingga mereka cepat marah apabila
sesuatu belum sesuai dengan apa yang dikerjakan, dan akan kita jumpai bahwa
sifat marah ini masih lengket dalam keseharian mereka.
Mais
Pada masa itu suku mais merupakan suatu rombongan atau kelompok yang sedikit
memiliki harta dan kekayaan serta makanan,menurut sejarah mereka hanya
mementingkan untuk urusan mereka sendiri,jika orang tahu akan dimilikinya mereka
akan menutupi kelebihan yang mereka miliki. Atas sikap mereka itu timbul pula
semboyan untuk suku ini “kodek kandang to-oang“ artinya kikir yang tidak
berkesudahan.
Lahirnya suku tersebut sebanyak tujuh suku yang lebih dikenal dengan suku nan-
tujuh yaitu : suku Melayu, suku Moniliang, suku Kandang Kopuh, suku Pungkuik,
suku Kuti, suku Mais, dan suku Ampu. Atas kerjasama dan tingkah polah yang
mereka lakukan maka perahu kapal yang kandas dapat terselamatkan,sehingga perahu
kapal dapat berlayar kembali sesuai dengan yang direncanakan menuju tanah
harapan yaitu Kepenuhan.
Mereka memulai kehidupan kesehariannya yaitu : bercocok tanam, berladang,
nelayan dan berburu,komunitas ini terus berkembang sesuai dengan perkembangannya
sehingga dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat mewadahi suku nan-tujuh ini
menjadi satu kasatuan yang utuh.
Pada masa itu dipercayakan kepada Datuk Bendahara Sakti dari suku melayu untuk
memimpin mereka dengan baik sebagaimana yang mereka harapkan.