Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. Tjahjadi
1. Perubahan Iklim
Antisipasi Alternatif Skala Komunitas
Dua gagasan di dua zona ekologis
oleh: Riza V. Tjahjadi
biotani@gmail.com
Pada enam bulan pertama tahun 2015 ini saya menuliskan dua (2) usulan program
bagi organisasi lingkungan, yang saya pilah ke dalam dua (2) zona ekologis: pulau
kecil, dan dataran menengah.
1. Pulau kecil
Populerkan Perubabahn Iklim
Bagi Komunitas Pulau Kecil dan Pesisir
Sewindu, delapan tahun silam menjelang diselenggarakannya Konferensi Para
Pihak tentang Kerangka kerja Perubahan Iklim, COP 13 di Nusa Dua Bali Desember
2007 tersiar informasi bahwa sebanyak 2.000 pulau kecil dalam wilayah Negara
kepulauan terbesar di dunia, atau disebut Nusantara ini akan tenggelam pada 2030,
sebagai dampak dari perubahan iklim. Sampai sejauh ini adalah kepulauan Riau
yang akan terbanyak kehilangan pulau kecil. Pada sisi legislasi terdapat ironi
banget…setelah 82 tahun merdeka, baru pada medio 2007 tercipta sebuah undang-
undang mengenai pulau kecil - yaitu Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (PWPPPK). Lebih ironis lagi, baru tahun 2007 silam pula lima ribu pulau
dimintakan pemerintah RI kepada pengesahannya oleh PBB.
2. Walhi Jakarta yang wilayah kerjanya mencakup pula Kepulauan Seribu memandang
bahwa kerja advokasi untuk perubahan iklim bagi komunitas pulau-pulau kecil,
khususnya di kepulauan Seribu dan sekitarnya belum memadai. Kerja advokasi
kebijakan/ perundangan, dan disertai ujicoba lapang yang pernah dilakukan oleh
Biotani Bahari Indonesia/ PAN Indonesia pada 2004-2007 lebih terfokus kepada
penguatan hak atas pangan (right to food) pada komunitas pulau kecil ketika
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, FAO sedang menyusun Panduan Sukarela
tentang Hak atas Kecukupan Pangan. Komunitas menjadi andalan Biotani Bahari
Indonesia sebagai rujukan yang menampilkan representasi komunitas dalam Negara
kepulauan (archipelago state) untuk mengawal proses negosiasi antar pemerintah
dalam penyusunan VGRAF tersebut di Roma Italia pada tahun 2003-2004.
Komunitas pulau kecil itu di antaranya di dua pulau di Kepulauan Seribu: Pulau
Harapan, dan Pulau Tidung, karena Biotani Bahari Indonesia memiliki lokasi lain di
beberapa provinsi. Pada sisi legislasi, Biotani Bahari bersama komunitas Pulau
Tunda Serang, dan Pulau Tidung menyampaikan usulan kepada Komisi Konstitusi,
agar hak atas pangan dicantumkan secara tegas ke dalam UUD 1945 – yang
sedang mereka revisi pada 12 Desember 2003. Di level konseptual sejak medio
2003 istilah hak atas pangan digunakan pada dokumen resmi Departemen. Kini,
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Lebih teknis, Biotani Bahari Indonesia telah melakukan uji coba penanaman rumpon
di Putau Tunda di Kabupatem Serang Provinsi banten, juga di Pulau Pramuka di
Kepulauan Seribu. Komunitas Pulau Tunda telah berhasil membuat sejumlah
rumpon: 6 buah tipe pohon Natal (Xmass type), 12 unit rumpon konstruksi ban
bekas berbentuk piramida, serta 10 unit tendak (rumpon apung sementara) dalam
periode tahun 2005-2006. Komunitas nelayan di Pulau Tunda mentradisikan
menangkap ikan hanya dengan mata pancing, namun seringkali terganggu oleh
nelayan lain pulau yang menggunakan jaring (gardan, atau muroami plus
kompresor). Juga sejak 2907 tersedia foto terawang (slide show) untuk penyuluhan
bertajuk Alau Pasang Naik, Awas Laut Pasang Naik.
Ringkasnya beberapa issue kait-terkait (cross cutting issue) antara perubahan iklim
dan penegakan hak atas pangan yang akan digarap Walhi Jakarta dan Biotani
Bahari cakupan komunitasnya terbatas di dua pulau dalam wilayah Kepulauan
Seribu, dan tanpa menyentuh komunitas pesisir Pantura.
Dalam usulan program ini Walhi Jakarta ini akan memusatkan kegiatannya kepada
tiga pokok kepedulian, yang disebut sebagai komponen program, yaitu
1. Penyuluhan remaja & pemuda + Focus Group Discussion (ancar-ancar lokasi
di Serang banten, Kepulauan Seribu dan Kepulauan Riau).
2. Riset popular (ujicoba adaptasi ikan; ancar-ancar lokasi di Kepulauan Seribu)
3. Advokasi/ lobby kebijakan (kepada Pemprov DKI Jakarta, Pemkab Serang,
dan nasional/ internasional).
Informasi Dasar Pulau Kecil
SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedoman Umum
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat.
Seputar batasan pulau-pulau kecil dapat dilihat pada tulisan Alex S.W. Retraubun
3. (Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil DKP) “Prospek Pengembangan Pulau-
Pulau Kecil”, disampaikan dalam Semiloka Penentuan Definisi dan Pendataan Pulau
di Indonesia, Jakarta, 26 Mei 2003.
a) Pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10.000 km2, dengan
jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200.000 orang;
b) Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki
batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular;
c) Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal
dan bernilai tinggi;
d) Daerah tangkapan air (water catchment area) relatif kecil sehingga sebagian
besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut;
e) Dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau bersifat khas
dibandingkan dengan pulau induknya.
Maksud dan Tujuan
1. Untuk mendorong munculnya kesadaran komunitas pulau kecil (Serang
banten, Kepulauan Seribu dan Kepulauan Riau), dan pesisir Pantura atas nasib
keberlanjutan hidup mereka pada generasi saat ini dan mendatang pada era
perubahan iklim global.
2. Untuk mendorong kesadaran pemerintah, termasuk pemerintah daerah untuk
melakukan kampanye un tuk menyadarkan masyarakat luas khususnya terhadap
remaja-pemuda Discussion atas potensi tenggelamnya pulau-pulau kecil di wilayah
Nusantara.
3. Untuk mendorong upaya mencapai pelaksanaaan progresif hak atas
kecukupan pangan masyarakat di pulau-pulau kecil (di Kepulauan Seribu, dan
kepulauan Riau), dan pesisir Pantura yang mencakup semua hak hidup seperti hak
atas keberlanjutan kelestaian lingkungan, hak hidup sehat, hak untuk memperoleh
pendidikan yang baik, dan lain-lain sebagai langkah awal untuk mencapai akses
terhadap kecukupan pangan yang mudah dan bergizi – dengan titik berangkat dari
komunitas kepada pemda (bottom-up strategy);
4. Meningkatkan kesadaran kritis, kapasitas organisasi lokal dan
peran/partisipasi komunitas pulau-pulau kecil (di Kepulauan Seribu, dan kepulauan
Riau), dan pesisir Pantura di dalam memperjuangkan hak-hak dan akses kepada
sumber pangan mereka – pola intervensi;
5. Mendorong pemerintah (Pemda) untuk mengadopsi hak atas pangan dalam
melaksanakan pembangunan daerah dan nasional agar tercipta ketahanan
komunitas pulau kecil.
6. Sebagai media informasi dan komunikasi di dalam meningkatkan kesadaran
dan pemahaman masyarakat tentang hak-hak mereka dan kewajiban-kewajiban
pemerintah di dalam memenuhi hak rakyatnya;
7. Memperbaiki sumber pendapatan komunitas sebagai sarana untuk mencapai
akses kecukupan pangan yang mudah dan bergizi.
4. Output yang Diharapkan:
1. Meningkatnya kesadaran kritis dan kapasitas organisasi lokal serta
peran/partisipasi masyarakat (pulau-pulau kecil dan pesisir) dalam memperjuangkan
hak-hak dasar (azazi) mereka, termasuk terjaga keutuhan kondisi lingkungan hidup
pulau kecil yang peka perubahan berskala besar;
2. Berkembang dan meningkatnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat di
dalam meningkatkan SDM komunitas pulau kecil dan pesisir sebagai jalan untuk
memperbaiki taraf dan standar kehidupan ke yang lebih baik;
3. Diadopsinya hak atas pangan ini oleh pemerintah dan DPRD setempat ke
dalam kerangka hukum dan implementasi kebijakan mereka di dalam renana
pembangunan daerah;
4. Terbangunnya tata kelola pemerintahan lokal yang baik, transparan dan
akuntabel sebagai perwujudan dari terapainya pemerintahan yang baik (good
governance) yang sensitive lingkungan hidup bagi pulau kecil;
5. Tercapainya pelaksanaan progresif hak atas kecukupan pangan masyarakat
di pulau-pulau kecil dan pesisir di 3 provinsi khususnya dan Indonesia pada
umumnya;
Metodologi (Plan Action) tidak saya kemukakan di sini. Begitu pula durasi, dan
ancar-ancar dananya. Hingga kini dana hibah belum diperoleh.
Ciledug `13 Maret 2015.
Lampiran
salah satu kliping tahun 2005 mengenai kerja lapang Biotani Bahari Indonesia
Penanaman Terumbu Karang di Banten Buahkan Hasil
Sumber : Kapanlagi.com | Kamis, 1 September 2005 09:28
Penanaman Terumbu Karang di Banten Buahkan Hasil
Kapanlagi.com
Merdeka.com - Kapanlagi.com - Terumbu Karang buatan yang ditanam di perairan
sebelah utara Pulau Tunda, Serang, Banten pada pertengahan Juli 2005 mulai
menampakkan hasil dengan adanya lumut dan plankton yang menempel pada
karang buatan tersebut.
"Kita lihat lumut dan plankton sudah mulai menempel di terumbu karang itu, padahal
5. kita perkirakan lumut baru akan muncul pada November mendatang," kata
Mohamad Rais dari Biotani Indonesia, LSM yang memfasilitasi pembuatan 14 unit
terumbu karang buatan tersebut di Jakarta, Rabu.
Rais yang mengecek langsung terumbu karang buatan atau rumpon tersebut pada
Senin sampai Selasa (29-30 Agustus) berharap nantinya akan menarik ikan untuk
berkumpul lagi di perairan Pulau Tunda, setelah mulai sekitar 2000 para nelayan
daerah tersebut mengeluh makin berkurangnya ikan yang berhasil mereka tangkap.
Pembuatan rumpon tersebut memang atas permintaan nelayan masyarakat di pulau
di sebelah utara Kota Serang, Banten, setelah dirasakan ikan makin berkurang
karena rusaknya terumbu karang akibat pencemaran oleh sampah dari Jakarta.
"Sekarang memang pendapatan berkurang, bahkan dapat minus kalau melaut," kata
Jarot, salah seorang nelayan di Pulau Tunda menggambarkan makin susahnya
menjadi nelayan.
Jarot yang juga anggota BPD (Badan Perwakilan Desa) Desa Wargasara,
Kecamatan Tirtayasa, Serang itu mengatakan nelayan makin kurang mendapatkan
ikan sejak sekitar tahun 2000.
Sementara Abdurrosyid, nelayan lain mengatakan hasil tangkapan ikan berkurang
sekitar 40 persen bahkan lebih dibandingkan hasil tangkapan sebelum tahun 2000.
"Selain karena laut belum tercemar, mungkin karena jumlah nelayan dan kapal yang
beroperasi masih sedikit, sehingga tangkapan ikan banyak. Itu sekitar tahun 1995-
1994," kata Abdurrosyid atau yang lebih akrab dipanggil Rosyid.
Dia mengatakan para nelayan berharap proyek terumbu karang buatan tersebut
dapat dibuat lebih banyak, sehingga masa mendatang akan lebih banyak ikan yang
terkumpul kembali di perairan Pulau Tunda.
Sedangkan Biotani Indonesia, Riza V Tjahjadi mengatakan pembuatan karang
buatan di Pulau Tunda merupakan bagian dari program kerja untuk meningkatkan
kapasitas dan advokasi Hak Atas Pangan masyarakat pulau tersebut yang pada
bulan Februari-Maret 2004 pernah diterpa situasi rawan pangan.
"Mungkin setelah lebaran besok, kita akan melanjutkan pembuatan terumbu karang
sampai kurang lebih 100 unit," ujar Riza mengenai program yang bertujuan untuk
menstimulasi nelayan setempat dalam konservasi laut itu. (*/erl)
http://m.merdeka.com/khas/penanaman-terumbu-karang-di-banten-buahkan-hasil-
katcghw.html
6. Program Desa Mandiri Pangan Tak Efektif
Sumber : Kapanlagi.com | Selasa, 12 Desember 2006 17:07
Program Desa Mandiri Pangan Tak Efektif
Kapanlagi.com
Merdeka.com - Kapanlagi.com - Program Desa Mandiri Pangan yang dicanangkan
pemerintah pada 2006 untuk mengatasi kerawanan pangan tidak berjalan efektif di
sejumlah pulau-pulau kecil di Indonesia sehingga pemerintah harus mengkaji ulang
agar program itu dapat diterapkan di kawasan tersebut.
Direktur Eksekutif organisasi non-pemerintah BioTani, Riza V Tjahjadi di Jakarta,
Selasa (12/12/06), mengatakan dari hasil penelitian yang dilakukan pada akhir Juli
hingga akhir November 2006 di sembilan pulau kecil yang berada dalam enam
provinsi menunjukkan bahwa komunitas masyarakat di kawasan tersebut belum
tersentuh program Desa Mandiri Pangan.
"Di sejumlah pulau besar programnya sudah mulai berjalan, tetapi pulau-pulau kecil
kerawanan pangan masih terjadi dan program itu belum berjalan. Sebagian besar
responden sangat rentan terhadap resiko rawan pangan," katanya di sela-sela
presentasi hasil studi BioTani tentang "Ketahanan Pangan Dengan Perspektif Hak
Atas Pangan" di Jakarta.
7. Studi dilakukan pada 339 responden yang tersebar di Pulau Buluh Batam Kepulauan
Riau, Pulau Tunda Serang Banten, Pulau Tidung Kepulauan Seribu DKI Jakarta,
Pulau Sapudi, Madura Jawa Timur, Pulau Balang Lompo dan Pulau Karanrang di
Pangkep Selawesi Selatan, Pulau Talaga, Pulau Makassar, dan Pulau Kabaena di
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Penelitian mencakup jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan responden, hasil
tangkapan dalam melaut, kebiasaan makan dalam sehari, dan jenis makanan yang
dikonsumsi.
Dari hasil penelitian itu, sebagian besar responden masih mengalami kerawanan
pangan, yang ditandai dengan pengakuan pernah mengalami tidak makan sama
sekali dalam satu hari yang dialami 2-3 kali dalam sebulan.
Penyebab utama kekurangan pangan, berdasarkan hasil penelitian itu, antara lain
karena rendahnya daya beli masyarakat yang tidak memiliki cukup uang dari hasil
melaut.
"Kami meminta pada Badan Ketahanan Pangan Nasional maupun di tingkat provinsi
hendaknya mendalami kondisi ketahanan pangan pada komunitas pulau-pulau kecil
di Indonesia khususnya dalam konsep desa mandiri pangan," katanya.
Sementara itu di tempat yang sama, Sekretaris Badan Ketahanan Pangan
Departemen Pertanian, Hermanto, mengatakan program Desa Mandiri Pangan
ditargetkan dapat berjalan dengan baik dalam empat tahun. Pada tahun pertama ini
(2006-red) ditargetkan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi sasaran
program dapat dibentuk dan menyusun kegiatan dengan metode pemberdayaan
masyarakat desa.
Program tersebut, kata Hermanto, meliputi 122 kabupaten yang melibatkan 58 ribu
kepala keluarga. Mereka mendapat dana dari pemerintah masing-masing Rp80 juta
untuk setiap desa.
"Dana itu sifatnya pancingan saja, pemerintah daerah juga diminta menyediakan
dana pendamping 20 persen dari APBD. Diharapkan dana itu bisa digunakan untuk
mengembangkan potensi ekonomi di daerah masing-masing," katanya.
Terkait hasil penelitian BioTani tentang tidak berjalannya program itu di sejumlah
wilayah, Hermanto mengatakan pihaknya telah meninjau langsung di beberapa
provinsi yang menjalankan program tersebutda hasilnya memang berbeda-beda
sesuai karakteristik wilayah.
"Program itu baru setahun berjalan, jadi belum tampak hasilnya. Sukses tidaknya
program itu juga bergantung dari komitmen pemerintah daerah setempat untuk
mendukung dan mendampingi masyarakat dalam menjalankan program dengan
bantuan dana pemerintah," demikian kata Hermanto. (*/rit)
http://m.merdeka.com/uang/program-desa-mandiri-pangan-tak-efektif-mszw9yw.html
8. In the climate change negotiation within UNFCCC COP13 in Bali in the first week of
December 2007 the voices of small island community recorded by an Indian
journalist of Financial Express, although they were not able to observe due to lack of
sponsor.
“A group of small island communities led by Biotani Indonesia Foundation has urged
that the adaptation fund should include a special corpus to cover their initiatives.”
(Bali Climate conference has a message for rural community;
http://www.financialexpress.com/news/Bali-Climate-conference-has-a-message-for-
rural -community/251129/0
ASHOK B SHARMA
Posted online: Monday, December 17, 2007 at 0158 hrs IST)
9. In commemoration the international Human Right Day 2006 BioTani Indonesia
presented result of study, a field survey on Right to Food to 9 islets in 6 provinces,
located in Banten, Jakarta, the Riau Islands, East Jawa, South Sulawesi and
Southeast Sulawesi, found that people living in small islands still faced food
shortages. The study shows, 55 percent of the 339 people interviewed said they had
eaten fewer than two meals a day once, while 46 percent said they experienced it
two or three times a month. Twenty percent of the respondents said they once had
not eaten at all. BioTani's study was conducted in Buluh Batam Island in Riau
Islands, Tunda Serang Island in Banten province, Tidung Island in Jakarta, Sapudi
Island in East Jawa, Balang Lompo and Kararang Islands in South Sulawesi, plus
Talaga Island, Makassar Island, Kabaena Island surround Buton Island in Southeast
Sulawesi province. All illustrated the problems food insecurity and communities
10. affected by food scarcity that result from the limited availability of basic public
services.
11.
12. Nelayan Pulau Tunda, mitra Biotani Bahari Indonesia bersiap memasang tendak. ”rumah
ikan” dari daun kelapa tahun 2006.
13. 2. Dataran menengah
Penguatan Hak Garap Komunitas Lokal di dalam wilayah
PT Gunung Mas Bogor
Agar terkerangkakan pemanfaatan berkelanjutan bagi pertanian
lestari/ berkelanjutan selaras perubahan iklim
Latar belakang
Issu perubahan iklim muncul ke permukaan di Indonesia semenjak Indonesia
menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak tentang Kerangka kerja Perubahan Iklim,
COP 13 di Nusa Dua Bali Desember 2007. Ketika itu atmosfernya adalah
menelurkan segitiga emas terumbu karang di Asia tenggara, dan disusunnya peta
jalan perubahan iklim global. Dalam konteks ini keanekaragaman hayati darat,
khususnya dataran menengah dan daerah aliran sungai adalah domain nasional
saja – tidak masuk agenda bahasan COP tersebut.
Satu penelitian menunjukkan, bahwa dampak awal dari perubahan iklim pada
daratan menengah dan dataran tinggi pegunungan, khususnya wilayah hutan yang
tak terusik sama sekali oleh manusia pun akan mengalami berkurangnya
mikroorganisma tanah – yang bermigrasi ke arah puncak gunung. Tetapi secara
umum dapat dikatakan, bahwa dampak paling nyata dari perubahan iklim adalah
semakin tidak menentunya periode musim: kemarau dan penghujan, dan juga
semakin rentannya tanaman pangan terhadap musim kemarau yang
berkepanjangan.
Duta Besar Perancis Corinne Breuze – yang Negara akan menjadi tuan rumah COP
21 on Climate Change akhir November yad – menulis di di the Jakarta Globe 23 Juli
2015 menyatakan kenaikan air laut akan mengancam terhadap 42 juta jiwa
penduduk yang tempat tinggalnya kurang dari 10 meter di permukaan air laut di
Indonesia. Tanpa menyebutkan kapan, ia menambahkan, [padahal] dengan adanya
kenaikan 50 Cm saja, maka bagian utara Jakarta dan Bekasi sudah tergenang air.
Pada beberapa kajian menyebutkan naiknya muka air laut di Indonesia merujuk
kepada tahun 2030, dan juga 2050 sebagai kenaikan yang nyata. Untuk kepentingan
usulan program ini lebih baik dirujuk kepada tahun 2030 supaya tidak terlalu
mengawang-awang daya pandang kita. Dengan cara pandang ini akan juga lebih
cepat terasakan akan makna strategis lahan dataran menengah ke atas – yaitu
sebagai wilayah budidaya tanaman pangan masa depan.
14. Info SDL dan Air
Catatan: Sampai sejauh ini dampak dan implikasi sosialnya, termasuk konflik agraria
dari potensi tenggelamnya wilayah Pantura Pulau Jawa belum teridentifikasi.
Jarak saling GPS sebagai satu jaringan kerja yang peduli dengan kelestarian
dataran menengah, khususnya kaki Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak di
Kabupaten Bogor sudah sejak dua tahun terakhir ini – secara individual anggota
pengurusnya - sudah berupaya membangun suatu kerangka kerja penghijauan
15. tanah terlantar berupa penanaman sengon-berbagi hasil/manfaat ekonomis, dan
menjajaki konservasi air dengan beberapa kegiatan skala mikro - di antaranya
dialog publik mengenai penjajakan terhadap penggarapan rakyat terhadap lahan
“tidur”, semi-loka mengenai biopori dan potensinya menyerap air di kaki GPS. Jarak
Saling GPS sedang berupaya memperluas wilayah upaya penanaman pohon
sengon dengan pola bagi-hasil, dan beberapa kali diskusi bersama komunitas Di
samping itu Jarak Saling GPS pun sudah menyiapkan satu usulan untuk mengkaji-
coba potensi pertanian lerang di wilayah Gadog Kabupaten Bogor dari hasil
observasi lapang terhadap model praktek budidaya tanaman pangan komersial di
dua lokasi di Tugu Gandamah, dan Cikereteg Ciawi Bogor pada awal September
2014.
16. Dengan berbasis info ringkas di atas, dan disertai tambahan potensi naiknya muka
air laut – dan banyak pulau kecil akan tenggelam – sehingga pada gilirannya telah
menyiptakan visi kami Jarak Saling GPS. bahwa tak ada lain lagi selain dataran
menengah akan menjadi tumpuan dan sumber kehidupan, dan pangannya manusia
di Pulau Jawa. Karenanya Jarak Saling GPS menulis susunan tujuan di bawah ini.
Tujuan
Mengkerangkakan skema pemanfaatan berkelanjutan bagi pertanian lestari/
berkelanjutan selaras perubahan iklim bagi penggarap lahan perkebunan negara
17. Strategi
1. Pengenalan fungsi litbang [R&D] Rakyat dalam pemanfaatan lahan
perkebunan Negara, khususnya di wilayah PT Gunung Mas di Kabupaten Bogor.
2. Pengenalan issu perubahan iklim dan dampaknya bagi pertanian di dataran
menengah [adapun soal potensi dampak situasi dan dinamika/ konflik sosial
pergeseran komunitas dataran rendah ke dataran menengah, juga pengalihan
pembangunan nasional ke dataran menengah, potensi konflik agraria belum akan
disinggung].
3. Uji coba pengayaan keanekaragaman hayati sekaligus mencegah
monokulturisasi dalam praktek pertanian di wilayah garapan komunitas lokal di
dalam areal PT Gunung Mas di Kabupaten Bogor.
Keluaran/Output
1. Dialog Publik dengan cakupan teknis pengusahaan budidaya, dan partisipasi
komunitas terhadap [skala] ekonomi keluarganya yang ekologis.
2. Penyusunan kerangka komitmen R&D rakyat atau Litbang Rakyat lokal
antara PT Gunung Mas dan Jarak Saling GPS
3. Pelatihan mengenal Perubahan iklim dan dampaknya bagi pertanian pangan
di dataran menengah/ kaki gunung, dan dilanjutkan dengan pengenalan prinsip dan
norma keberlanjutan dalam pertanian/ peternakan/ perikanan darat Jawa Barat,
supaya cinta melestarikan tanah tidak mudah kalah oleh transaksi jual-beli tanah.
4. Uji coba lapang
5. Semiloka mengenai proses dan hasil
6. Diseminasi terbatas kepada komunitas dan para pihak mengenai proses dan
hasil
18. Lokasi
Di wilayah PTP Gunung Mas, di mana Jarak Saling GPS akan berperan sebagai
R&D-nya rakyat dalam upaya konservasi air, dan upaya pelestarian
keanekaragaman hayati pertanian tanaman pangan (agrobiodiversity farming
system).
Metodologi (Plan Action) tidak saya kemukakan di sini. Begitu pula durasi, dan
ancar-ancar dananya, Hingga kini dana hibah belum diperoleh.
Ciledug 28 Juli 2015.