PERKEMBANGAN HADITS

Azzahra Azzahra
Azzahra AzzahraStudent um SMA AL-Islam 1
Assalamualaikum
warahmatullahi
wabarakatuh
Penyusun:
Fatimah.A (10)
Ramadhani Nur F (18)
Sabila.A (20)
Ummu Khonsa (23)
Periode Perkembangan Hadits
Sejarah perkembangan hadits
merupakan masa atau periode yang telah
dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan
tumbuh dalam pengenalan, penghayatan,
dan pengamalan umat dari generasi ke
generasi.
Dengan memerhatikan masa yang
telah dilalui hadits sejak masa timbulnya di
zaman Nabi SAW meneliti dan membina
hadits, serta segala hal yang memengaruhi
hadits tersebut.Para ulama Muhaditsin
membagi sejarah hadits dalam beberapa
periode,yaitu:
Periode Pertama
Periode Ketiga
Periode Kedua
Periode Keempat
Periode Kelima
Periode Ketujuh
Periode Keenam
Keterangan
Periode Pertama:
Perkembangan Hadits pada Masa
Rasulullah SAW.
Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi
wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu
dan pembentukan masyarakat
Islam).Pada periode inilah, hadits
lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan
taqrir Nabi yang berfungsi
menerangkan AI-Quran untuk
menegakkan syariat Islam dan
membentuk masyarakat Islam.
Hadits pada periode pertama
adalah pada masa Rasulullah saw.
masih hidup. Sebagaimana diketahui
bahwa Rasulullah saw. adalah sumber
hadits, karena hadits itu pada
hakekatnya adalah ucapan,
perbuatan, dan ketetapan yang
datang dari Nabi Muhammad saw.
Hadits pada periode pertama ini belum ditulis atau
belum dibukukan sebagaimana halnya sekarang. Nabi sendiri
melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan
bercampur dengan Al Qur'an yang pada waktu itu proses
turunnya masih berlangsung.
Di samping itu karena jumlah para shahabat yang
sedikit itu dikerahkan semuanya oleh Rasulullah untuk
menulis Al Qur'an, di samping mereka juga dianjurkan
menghafal ayat-ayat Al Qur'an itu.
Hal tersebut diterangkan oleh hadits
Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:
ْ‫ي‬َ‫غ‬ ‫ى‬ّ‫ِن‬َ‫ع‬ َ‫ب‬َ‫ت‬َ‫ك‬ ْ‫ن‬َ‫م‬َ‫و‬ ‫ى‬ّ‫ِن‬َ‫ع‬ ‫ا‬ْ‫و‬ُ‫ب‬ُ‫ت‬ْ‫ك‬َ‫ت‬َ‫ال‬ُ‫ه‬ُ‫ح‬ْ‫م‬َ‫ي‬ْ‫ل‬َ‫ف‬ ّ‫آن‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ َ‫ر‬(‫مسلم‬ ‫اه‬‫و‬‫ر‬)
Artinya:
"Janganlah kamu menulis sesuatu
(hadits) dari saya dan barangsiapa yang
telah menulis sesuatu dari saya selain Al
Qur'an hendaklah ia menghapusnya".
(HR. Muslim)
Namun setelah itu Rasulullah mencabut larangannya
menuliskan hadits tersebut. Yaitu setelah beliau mengetahui
bahwa proses turunnya ayat-ayat Al Qur'an sudah hampir berakhir
dan beliau sendiri sudah mendekati ajalnya berpulang ke
rahmatullah. Nabi sudah mulai mengizinkan kepada shahabatnya
yang mau menuliskan hadits. Di antaranya kepada shahabat yang
bernama Abu Syah dan Abdullah bin Amr.
Tetapi walaupun Rasulullah telah mencabut larangannya
menuliskan hadits, namun keadaan hadits pada masa itu belum
ditulis dan dibukukan sebagaimana Al Qur'an. Keadaan yang
demikian itu sampai akhir abad 1 Hijriyah.
1. Dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an yang pada
waktu itu proses turunnya masih berlangsung.
2. Jumlah para shahabat yang sedikit.
3. Para shahabat dikerahkan untuk menulis Al-Qur’an.
4. Para shahabat menerima hadits dengan hafalan.
5. Adanya sebuah hadits yang menerangkan: ”janganlah kamu
menulis satupun dariku (nabi) selain daripada Al-Qur’an.”
(H.R.Muslim)
6. Hadits masih berada dalam proses pertumbuhan.
7. Hakikat hadits adalah ucapan,perbuatan,dan
ketetapan,bukan tulisan
8. Kemamuan shahabat untuk menulis terbatas.
9. Usaha Rasulullah untuk mempertahankan keaslian Al-Qur’an.
Sebab–Sebab Rasulullah Melarang Menulis Hadits :
Sebab – Sebab Rasulullah Memperbolehkan
Menulis Hadits :
•Kebolehan itu bersifat khusus berlaku bagi orang yang mahir baca
tulis, yang tidak khawatir melakukan kesalahan tulis dan tidak
dikhawatirkan melakukan kekeliruan.
•Kaum muslimin bertambah banyak dan mereka telah mengenal al
qur’an dengan baik serta bisa membedakannya dengan hadits.
•Jika lafadz Al-Hadits ditulis dalam media yang berbeda dengan
lafaz al qur’an maka penulisan itu tidak apa-apa.
•Kebolehan penulisan hadits berlaku bagi orang yang tidak bisa
diandalakan hafalannya, seperti Abu Syah.
•Secara hirarkhis posisi al hadits adalah sumber yang kedua setelah
al qur’an.
• Rasulullah saw. Adalah sumber hadits
• Boleh ketika Proses turunnya Al-Qur’an mulai berakhir
• Kewajiban untuk menyampaikan ilmu.
Ciri – Ciri Hadits Periode I :
1. Hadits masih berada dalam masa
pertumbuhannya. Yakni baru datang dari sumber
aslinya yaitu Nabi Muhammad beserta para
shahabatnya.
2. Hadits pada masa itu belum ditulis secara resmi
sebagaimana halnya Al Qur'an.
3. Hadits pada masa ini masih berada dalam hafalan
para shahabatnya atau ada juga dalam catatan
para shahabatnya secara pibadi.
4. Hadits masa ini juga belum bercampur dengan
unsur-unsur lain.
1. Munculnya hadits ada yang merupakan jawaban
atas pertanyaan atau kejadian yang diajukan oleh
para shahabat dan masyarakat pada umumnya.
2. Ada pula hadits yang datang tanpa didahului oleh
pertanyaan-pertanyaan atau adanya kejadian,
melainkan Nabi sendiri langsung
menda'wahkannya.
3. Penulisan hadits berawal dari larangan Panulisan
hadits dari Rasulullah
4. Belum banyak Shahabat yang membukukan
hadits.
Lanjutan…
1. Hadits masih berada dalam masa
pertumbuhan.
2. Berakhir pada masa 1 hijriah
3. Sahabat yang mendalami
penulisan hadits belum banyak
4. Al-Qur’an masih turun Sumber
hadits adalah Rasulullah saw.
5. Para sahabat menyimpan ilmu
dengan menghafalkannya. Periode
pertama pada masa Rasulullah
saw.hidup.
Periode Kedua:
Perkembangan Hadits pada
Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-
40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-
Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi
SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau
meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman
hidup, yaitu Al-Quran dan hadits (As-Sunnah yang harus
dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Hadits pada periode kedua ini ialah masa Khulafaur
Rasyidin (Abu Bakar, 'Umar, Utsman, dan Ali).Dalam
ajaran Islam terdapat ketentuan dan kewajiban bahwa
segala yang diterima dari Nabi Muhammad saw. berupa
Al Qur'an dan haditsnya harus disampaikan dan
disebarluaskan kepada masyarakat luas.
Rasulullah bersabda:
‫ة‬َ‫آي‬ ْ‫و‬َ‫ل‬َ‫و‬ ‫ى‬ّ‫ِن‬َ‫ع‬ ‫ا‬ْ‫و‬ُ‫غ‬‫ى‬ّ‫ل‬َ‫ب‬
Artinya:
"Sampaikanlah olehmu dariku (hadits) walaupun
satu ayat (kalimat)".
Arti hadits tersebut adalah dalam ajaran Islam terdapat
ketentuan dan kewajiban bahwa segala yang diterima dari Nabi
Muhammad saw. berupa Al Qur'an dan haditsnya harus
disampaikan dan disebarluaskan kepada masyarakat luas.
Arti hadits tersebut adalah dalam ajaran Islam terdapat
ketentuan dan kewajiban bahwa segala yang diterima dari Nabi
Muhammad saw. berupa Al Qur'an dan haditsnya harus
disampaikan dan disebarluaskan kepada masyarakat luas.
Sebab – sebab Umar bin Khothob membatasi
penyebarluasan hadits :
.
1. Agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan
nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam
permasalahan yang umum.
2. Beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits.
3. Segala periwayatan yang mengatas namakan Rasulullah harus dengan
mendatangkan saksi
4. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang
memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan
sembrono.
5. Agar kemurnian hadist nabi dapat terpelihara.
6. Umar r.a mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah nabi
pada penduduk negeri
7. Melembagakan Al-Qur’an dalam masyarakat.
8. Untuk menjaga keaslian hadits
Ciri – Ciri Hadits periode II :
1. Dengan menggunakan lafal hadits asli, yaitu menurut lafal yang
diterima dari Rasulullah.
2. Para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada permasalahan
hukum yang mendesak.
3. Banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits.
Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat.
4. Para sahabat rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk
mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya.
5. Para sahabat mulai terpencar dibeberapa wilayah.
6. Perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Quran.
7. Para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap Kitab Allah.
8. Terjadi pada masa Khulafa’ur Rasyidin.
Lanjutan…
1. Periode setelah rasulullah wafat
2. Salah satu pesan Rasulullah yaitu menyampaikan walau
hanya 1 ayat atau 1 hadits
3. Adanya hukuman terhadap 2 pihak,yaitu orang yang tidak
mau menyampaikan hadits,dan orang yang menyampaikan
hadits tanpa adanya saksi.
4. Masih adanya upaya untuk memasyarakatkan Al-Qur’an.
5. Kehati-hatian dalam menyampaikan dan menerima hadits
6. Ketegasan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
Periode Ketiga:
Perkembangan pada Masa
Shahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-
Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang
dan meluasnya periwayatan hadits).Pada masa
ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri
Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada
tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini
bersamaan dengan berangkatnya para sahabat
ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam
rangka tugas memangku jabatan
pemerintahan dan penyebaran ilmu hadits.
Sejak zaman Khalifah Utsman dan Ali para shahabat
sudah mulai mendapat kesempatan untuk meriwayatkan
hadits secara luas. Demikian pula para tabi'in pun secara
bebas sudah dapat mendatangi para shahabat yang
mempunyai banyak hadits.
Selain dari itu ditambah dengan berkembangnya
agama Islam ke wilayah-wilayah Syam, Irak, Mesir, Persia,
Samarkand, Spanyol, dan lain-lain, maka para shahabat
sudah banyak yang berpindah ke wilayah-wilayah tersebut
dan secara otomatis mereka mengembangkan hadits ke
tempat-tempat itu.
.
Sebab – Sebab Hadits berkembang pesat :
1. Para shahabat terus mendampingi nabi dan kuat
hafalan,seperti khulafa’ur rasyidin,Abdullah ibn mas’ud,atau
Abu Hurairah.
2. Menerima riwayat dari sahabat selain mendengar dari
Nabi,seperti Anas bn malik.
3. Lama bersama nabi,sehingga mengetahui keadaannya.
4. Para penghafal hadits rata-rata berumur panjang dan
berilmu.
5. Berusaha mencatat hadits,seperti: Abdullah ibn Amer ibn
'Ash.
6. Pengiriman Da’i ke seluruh wilayah .
7. Waktu yang terbatas untuk menghindari hadits palsu
Ciri – Ciri Hadits Periode III :
1. Hadits-hadits yang diterima oleh para tabi’in ini ada dalam
bentuk catatan-catatan,atau tulisan-tulisan,dan ada pula yang
harus dihafal.
2. Dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan
amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan ikuti.
3. Tidak ada satu hadits pun yang tercecer atau terlupakan.
4. Terjadi pada masa pasca-sahabat.
5. Muncul kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan
sikap hati-hati melemah.
6. Masa kepesatan hadits.
7. Wilayah islam yang meluas.
8. Berlangsung kurang lebih 17 tahun
Lanjutan…
1. Pada masa ini,Ali bin
Abi Thalib merevisi
undang-undang
2. Menyampaikan hadits
dengan saksi
3. Banyak penghafal
hadits
4. Munculnya Hadits-
hadits palsu
5. Shahabat dan tabi’in
saling bertukar hadits.
6. Penghafal hadits
dikirim untuk
berdakwah di wilayah.
Periode Keempat:
Perkembangan Hadits pada
Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin
(masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan
dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan
oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara
perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak
ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar,
bahkan masa Nabi SAW.
Dalam keterangan yang lalu dikatakan bahwa hadits
pada masa Rasulullah saw. belum dibukukan dan belum
ditulis secara resmi. Demikian pula pada masa shahabat
Khulafaur Rasyidin belum nampak adanya usaha-usaha
untuk membukukan hadits.
Walaupun usaha pengembangan dan periwayatan hadits
pada masa itu sudah berkembang pesat. Usaha
periwayatan itu sudah berlangsung secara lisan
berdasarkan hafalan, tidak berdasarkan tulisan. Para
shahabat dan tabi'in betul-betul terkenal kekuatan daya
ingatnya. Oleh karenanya, walaupun hadits belum
banyak ditulis namun selama para shahabat dan tabi'in
yang banyak menghafal hadits masih hidup, hadits tetap
akan terpelihara dan tidak akan hilang.
Namun, kian hari kian terasa
kekhawatiran akan hilangnya
hadits-hadits Rasulullah dari
para penghafal, karena di antara
mereka sudah mulai banyak
yang meninggal dunia sebagai
akibat usia lanjut atau akibat
peperangan dan lain sebagainya.
Atas dasar keadaan ini,
timbullah gagasan baru untuk
mengumpulkan dan
membukukan hadits.
Sebab – Sebab Munculnya Hadits Palsu :
1. Adanya seorang zindiq (seorang yang pura-pura masuk Islam)
kemudian merusak Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan memalsukan hadits dan menyandarkannya kepada
shahabat kemudian kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. untuk mendukung madzhab mereka atau kalangan mereka,
sebagaimana dilakukan oleh kalangan Khaththobiyah, yaitu
kelompok yang dinasabkan kepada Abul Khaththab Al Asadi.
3. Sebagian lagi mereka memalsukan hadits untuk mendapatkan
kedudukan di sisi para khalifah dan penguasa, sebagaimana yang
dilakukan oleh Gihyats bin Ibrahim An Nakha’i, dimana ia
memalsukan hadits untuk menyenangkan Khalifah Al Mahdi.
4. untuk mencari kekayaan, ketenaran dan lainnya dari kenikmatan
dunia.
1. Niat mereka untuk mengajak kepada amal shalih dan ibadah-
ibadah dengan memalsukan hadits.
2. Ada pula yang menukilkan perkataan orang-orang bijak, lantas
menyandarkan perkataan tersebut kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam.semisal hadits: “Kecintaan kepada dunia adalah
sumber segala kesalahan.” Dimana ini sebenarnya merupakan
perkataan Malik bin Dinar.
3. Ada pula di antara mereka karena kelalaian atau kekeliruan
dalam mendengarkan suatu hadits.
4. Untuk dijadikan dalil dari semua yang mereka fatwakan dari
pendapat-pendapat mereka.
Tujuan Pembuatan Hadits Palsu :
1. Fanatisme terhadap salah satu golongan politik
Perpecahan umat Islam menjadikan tumbuhnya golongan-
golongan fanatik buta hingga berani membuat hadits-hadits
palsu,yang isinya mendukung tokoh-tokoh pada golongan
tersebut,dan menjatuhkan golongan-golongan yang lain.
2. Untuk merusak agama Islam
Dilakukan oleh kaum zindik,yaitu kaum yang tidak memiliki
agama/kepercayaan (atheis) yang berkedok Islam dan
menyimpan kedengkian dan kebencian yang mendalam
kepada umat Islam.
Mencari muka kepada para pembesar
Cara ini dilakukan oleh para ahlu hikayah
(tukang cerita) yang ingin mendapatkan kedudukan
yang dekat dengan para penguasa dan pembesar
ataupun untuk mendapatkan materi atau harta.
Bertujuan untuk targhib wa Tarhib
Targhib wa tarhib bermula dari tujuan yang
baik,namun tidak disertai dengan pemahaman yang
baik pula.Mereka yang menciptakan hadits palsu ini
merupakan sekelompok orang yang menisbatkan
dirinya sebagai seorang sufi. Hadits palsu yang mereka
buat bertujuan untuk mengajak orang berbuat
kebaikan atau kembali ke jalan yang lurus.Memang apa
yang mereka lakukan merupakan tindakan yang
baik,namun tanpa disadari mereka telah melakukan
dusta besar pula yang mengatasnamakan Rasulullah
SAW.
Ciri–CiriHaditsperiodekeIV:
1. Hadits yang disusun dalam dewan-dewan
Hadits, mencakup Hadits-hadits Rasul,
fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi’in.
2. Kitab/dewan Hadits dalam periode ini,
belum diklasifikasi/dipisah-pisah antara
Hadits-hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’.
3. Kitab Hadits yang hanya menghimpun
Hadits-hadits Nabi saja, hanyalah kitab yang
disusun oleh Muhammad Ibnu Hazm.
mengingat adanya instruksi Khalifah Umar
bin Abdul Aziz yang menyatakan:
َ‫ع‬ ُ‫هللا‬ ‫ى‬َّ‫ل‬َ‫ص‬ ّ‫ل‬ْ‫و‬ُ‫س‬َّ‫ل‬‫ا‬ َ‫ث‬ْ‫ي‬ّ‫د‬َ‫ح‬ َّ‫ال‬ّ‫إ‬ ْ‫ل‬َ‫ب‬ْ‫ق‬َ‫ت‬ َ‫ال‬َ‫م‬َّ‫ل‬َََ‫و‬ ّ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬
“Janganlah kamu terima, selain dari Hadits
Nabi saw. “
4. Periode ini dimulai pada masa Khlifah Al
Muktadir sampai Khalifah Al Muktashim.
5. Kekuasaan Islam Pada periode ini mulai
melemah.
-hadits yang dihimpun pada periode ini tidak sebanyak penghimpunan
pada periode sebelumnya
-
Periode Kelima:
Masa Mentasbihkan Hadits dan
Penyusuran Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha
pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij,
kitab Muwaththa' -Al-Malik tersebar dalam masyarakat
dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal
hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin
meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari
suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke
negeri lain untuk mencari hadis.
Pada periode kelima ini muncullah seorang ulama yang
terkenal ahli memiliki ilmu pengetahuan yang luas yaitu Imam
Bukhari. Beliaulah yang mula-mula mengadakan perlawatan ke
beberapa kota besar untuk mengumpulkan hadits. Di samping
itu beliaulah yang pertama kali menentukan syarat-syarat untuk
sebuah hadits yang akan dimasukkan dalam kitab shahihnya.
Dikatakan pula bahwa Imam Bukhari di samping
menetapkan persyaratan keshahihan secara umum, juga
menetapkan persyaratan keshahihan secara pribadi. Yaitu bahwa
antara seorang perawi yang menerima dan meriwayatkan hadits
harus hidup dalam satu masa (mu'asharah) dan harus saling
berjumpa (liqa).
Tentang Tokoh-tokoh
Dalam periode keempat sebagaimana telah dijelaskan di
atas, dikatakan bahwa pemalsuan hadits lebih meluas. Hal ini
disebabkan bukan hanya karena perbedaan politik dari ummat
Islam sendiri, melainkan juga karena timbul dari golongan yang
tidak suka terhadap kebangkitan dan kemajuan Islam. Mereka
berusaha melemahkan Islam dengan melalui pemalsuan hadits.
Kalau terhadap Al Qur'an sudah tertutup kemungkinan mereka
melakukan pemalsuan, sedangkan terhadap hadits mereka masih
menganggap mungkin dapat dipalsukan.
Fungsi-fungsi Hadits
1. Bayan At-taqrir (Menetapkan dan memperkuat apa yang
diterangkan dalm Al-Qur’an,dan memperkokoh isi Al-Qur’an).
2. Bayan At-tafsir (memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-
ayat Al-Quran yg masih global, memberikan persyaratan /
batasan ayat-ayat Al-Quran yg bersifat mutlak dan
mengkhususkan ayat Al-Quran yg bersifat umum.
3. Bayan at-Tasyri’ ( mewujudkan suatu hukum / ajaran-ajaran yg
tidak didapati dalam Al-Quran.
4. Bayan An-Nasakh membatalkan / menghilangkan hukum syar’I
dengan suatu dalil yg datang kemudian.
5. Sebagai hukum yg berdiri sendiri dan sebagai petunjuk bagi
manusia .
Bayan Taqrir
Yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pernyataan Al-Qur’an:
QS. Al-Baqarah : 185.
ِ‫َّاس‬‫ن‬‫ل‬ِ‫ل‬ ‫ى‬ً‫د‬ُ‫ه‬ ُ‫ن‬‫آ‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫يه‬ِ‫ف‬ َ‫ل‬ِ‫ز‬‫ُن‬‫أ‬ َ‫ي‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ َ‫ن‬‫ا‬َ‫ض‬َ‫م‬َ‫ر‬ ُ‫ر‬ْ‫ه‬َ‫ش‬َ‫ف‬ ِ‫ان‬َ‫ق‬ْ‫ر‬ُ‫ف‬ْ‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ ‫ى‬َ‫د‬ُْ‫ْل‬‫ا‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ ٍ‫ات‬َ‫ن‬ِ‫ي‬َ‫ب‬َ‫و‬َ‫د‬ِ‫ه‬َ‫ش‬ ‫ن‬َ‫م‬
َ‫ف‬َ‫س‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ْ‫َو‬‫أ‬ ً‫ا‬‫يض‬ِ‫ر‬َ‫م‬ َ‫ن‬‫ا‬َ‫ك‬‫ن‬َ‫م‬َ‫و‬ ُ‫ه‬ْ‫م‬ُ‫ص‬َ‫ْي‬‫ل‬َ‫ف‬ َ‫ر‬ْ‫ه‬َّ‫الش‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬‫ن‬ِ‫م‬‫ا‬ ُ‫د‬‫ي‬ِ‫ر‬ُ‫ي‬ َ‫ر‬َ‫خ‬ُ‫أ‬ ٍ‫م‬َّ‫َّي‬َ‫أ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ٌ‫ة‬َّ‫د‬ِ‫ع‬َ‫ف‬ ٍ‫ر‬ُ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ب‬ ُ‫ّلل‬
َ‫ة‬َّ‫د‬ِ‫ْع‬‫ل‬‫ا‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ل‬ِ‫م‬ْ‫ك‬ُ‫ت‬ِ‫ل‬َ‫و‬ َ‫ر‬ْ‫س‬ُ‫ْع‬‫ل‬‫ا‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ب‬ ُ‫د‬‫ي‬ِ‫ر‬ُ‫ي‬ َ‫ال‬َ‫و‬ َ‫ر‬ْ‫س‬ُ‫ْي‬‫ل‬‫ا‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬‫ا‬َ‫د‬َ‫ه‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫اّلل‬ ْ‫ا‬‫و‬ُِ‫ّب‬َ‫ك‬ُ‫ت‬ِ‫ل‬َ‫و‬ْ‫م‬ُ‫ك‬َّ‫ل‬
َ‫ن‬‫و‬ُ‫ر‬ُ‫ك‬ْ‫ش‬َ‫ت‬-١٨٥ -
(Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya
diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai itu dan pembeda
(antara yang benar dan yang batil). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu di bulan itu, maka
berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib
menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari yang lain. Allah Menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak Menghendaki kesukaran bagimu.
Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, agar kamu bersyukur. )
Bayan Tafsir
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan
musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli”
(Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah
merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :
“Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits:
“Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku)
adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja”
( Dan sempurnakanlah hajimu ).
Bayan Taudhih
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an,
seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat
melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an
dalam QS at-Taubah: 34,
َ‫ي‬َ‫ل‬ ّ‫ان‬َ‫ب‬ْ‫ه‬ُّ‫الر‬َ‫و‬ ّ‫ر‬‫ا‬َ‫ب‬ْ‫َح‬‫أل‬‫ا‬ َ‫ن‬ّ
‫ى‬‫م‬ ‫ا‬‫ري‬ّ‫ث‬َ‫ك‬ َّ‫ن‬ّ‫إ‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ن‬َ‫آم‬ َ‫ين‬ّ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ه‬ُّ‫َي‬‫أ‬ َ‫َي‬َ‫و‬ ّ‫ل‬ّ‫اط‬َ‫ب‬ْ‫ل‬ّ‫ِب‬ ّ‫َّاس‬‫ن‬‫ال‬ َ‫ال‬َ‫و‬ْ‫َم‬‫أ‬ َ‫ن‬‫و‬ُ‫ل‬ُ‫ك‬ْ‫أ‬ََ ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫ن‬‫ُّو‬‫د‬ُ‫ص‬َ‫ي‬ّ
‫ى‬‫اّلل‬ ّ‫يل‬ّ‫ب‬
‫ي‬ّ‫ب‬ََ ّ‫ِف‬ ‫ا‬َ‫ه‬َ‫ون‬ُ‫ق‬ّ‫نف‬ُ‫ي‬ َ‫ال‬َ‫و‬ َ‫ة‬َّ‫ض‬ّ‫ف‬ْ‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ َ‫ب‬َ‫ه‬َّ‫الذ‬ َ‫ن‬‫و‬ُ‫ز‬ّ‫ن‬ْ‫ك‬َ‫ي‬ َ‫ين‬ّ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ٍ‫م‬‫ي‬ّ‫َل‬‫أ‬ ٍ‫اب‬َ‫ذ‬َ‫ع‬ّ‫ب‬ ‫م‬ُ‫ه‬ْ‫ر‬ّ‫ى‬‫ش‬َ‫ب‬َ‫ف‬ ّ
‫ى‬‫اّلل‬ ّ‫ل‬-٣٤ -
yang artinya sebagai berikut : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani
benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih”.
Dasar Penyelesaian Hadits:
1. Maqbul ( dapat diterima sebagai pedoman ) yang
mencakup hadits shahih dan hadits hasan.
2. Mardud ( tidak dapat diterima sebagai pedoman ) yang
mencakup hadits dha’if / lemah dan hadits maudhu’ /
palsu.
Ciri – Ciri Hadits Periode V :
1. Banyak kaum muslimin yang gemar berceritra (tukang-tukang
kisah) juga belum mau menghentikan kegemarannya untuk
membuat Hadits-hadits palsu guna memperkuat dan
memperindah daya pikat kisah-kisahnya.
2. Kitab-kitab musnad berperan dalam menghimpun hadits-hadits
Nabi berdasarkan nama Sahabat yang meriwatkannya, sehingga
dengan demikian hadits-hadits Nabi terpelihara dari pencampur
adukan dengan fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi’in.
3. Hadits yang disusun oleh penyusunnya dengan cara menghimpun
Hadits-hadits yang berkualitas Shahih, sedang Hadits-hadits yang
berkualitas tidak Shahih, tidak dimasukkan.
4. Banyaknya Ulama Hadits yang memberikan perhatian khusus
kepada kitab-kitab Hadits tertentu.
5. Mulai pada akhir abad 3 H. Para penghafal hadits semakin
berkurang
1. pengaruh kadar iman yang berbeda pada dada
kaum mulimin melemah.
2. Akibat pencampuran ras dan berubahnya keadaan
masyarakat dan kehidupan.
3. Makin banyaknya problema hidup dari masa ke
masa dalam berbagai sektor kehidupan; sosial,
ekonomi dan politik.
4. Tidak henti-hentinya terdapat serangan dari kaum
yang yang sengaja merusak hadits dengan jalan
mengburkan hadits-hadits yang sebenarnya.
5. Hadits berfungsi sebagai interpretasi al-Qur’an.
Periode Keenam:
Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga
tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan
kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa
At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami'.
Usaha ulama yang paling menonjol pada
periode ini ialah menyusun hadits-hadits yang
disesuaikan dengan bab-bab atau bagian-bagian
yang disesuaikan dengan isi kandungan hadits itu
sendiri. Misalnya hadits-hadits yang berhubungan
dengan shalat dikelompokkan menjadi satu.
Demikian pula hadits-hadits yang berhubungan
dengan akhlak dikelompokkan menjadi satu.
Demikian seterusnya pada hadits-hadits lainnya.
Keadaan hadits pada periode
keenam ini juga ditandai oleh adanya
usaha perbaikan susunan kitab dan
mengumpulkan hadits-hadits yang
masih berserakan yang kemudian
dikumpulkan dalam satu bab tertentu.
Hal tersebut juga merupakan
sumbangan yang besar bagi
perkembangan dan pertumbuhan
hadits periode-periode berikutnya.
Dengan adanya usaha yang dilakukan
pada periode keenam ini maka orang-
orang yang ingin mempelajari atau
mencari hadits yang sesuai dengan
permasalahan yang sedang
dihadapinya dapat dilakukan dengan
mudah.
1. Mempelajarinya
2. Menghafalnya
3. Memeriksa dan menyelidiki sanad-
sanadnya
4. Menyusun kitab-kitab baru dengan
tujuan untuk memelihara, menertibkan
dan menghimpun segala sanad dan
matan yang saling berhubungan serta
yang telah termuat secara terpisah dalam
kitab-kitab yang telah ada tersebut.
Karya Para Ulama :
Kitab Athraf
Yakni kitab Hadits yang hanya menyebut sebagian-sebagian dari
matan-matan Hadits tertentu kemudian menjelaskan seluruh
Sanad dari matan itu.Misalnya: Athrafus Shahihaini, susunan
Ibrahim
Ad Dimasyqy (wafat th. 400 H),Athrafus Sunanil Arba’ah,
susunan Ibnu Asakir Ad-Dimasyqy (571 H),Athraful Kutubis
Sittah, susunan Muhammad Ibnu T’hahir Al-Maqdisy (507 H)
Kitab Mustakhraj
Yakni kitab Hadits yang memuat matan-matan Hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya atau
lainnya, kemudian si penyusun meriwayatkan matan-matan Hadits
tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda. Misalnya:
Mustakhraj Shahih Bukhari, susunan Juriany,Mustakhraj Shahih
Muslim, susunan Abu Awanah (316 H), Mustakhraj Bukhari-
Muslim, susunan Abu Bakar Ibnu Abdan As-Sirazy (388 H).
Kitab Mustadrak
Yakni kitab Hadits yang menghimpun Hadits-hadits yang memiliki
syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu
syarat dari keduanya. Misalnya:
Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim (321- 405 H)
Al-Ilzamat, susunan Ad-Daraquthny (306 – 385 H)
Kitab Jami’
Yakni kitab Hadits yang menghimpun Hadits-
hadits Nabi yang telah termuat dalam kitab-
kitab yang telah ada. Misalnya:
• Yang menghimpun Hadits-hadits Shahih
Bukhari dan Muslim:
Al-Jami’ bainas Shahihaini, susunan Ibnul
Furat (Ismail Ibnu Muhammad) – (414 H).
Al-Jamii bainas Shahihaini, susunan
Muhammad Ibnu Nashr Al- Humaidy (488
H).
• Yang menghimpun Hadits-hadits Nabi dari
berbagai Kitab Hadits:
Jami’ul Masanid wal Alqab, susunan
Abdur Rahman Ibnu Ali Al- Jauzy (597 H).
BahrulAsanid, susunan Al-Hasan Ibnu
Ahmad As-Samarqandy (491 H).
e. Kitab Berdasar Pokok Masalah
Adapun kitab-kitab Hadits yang menghimpun Hadits-hadits Nabi berdasarkan
masalah-masalah tertentu dari kitab-kitab Hadits yang ada, antara lain ialah:
• Yang menghimpun Hadits-hadits Ahkam:
As-Sunanul Kubra, susunan Al-Baihaqy (458 H).
Al-Ahkamus Sughra, susunan Ibnu Khanat (582 H).
Umdatul Ahkam, susunan Abdul Ghany Al-Maqdisy (600 H)
• Yang menghimpun Hadits-hadits Targhib wat Tarhib
(Hadits yang menerangkan keutamaan amal, menggemarkan untuk
beramal dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang
dilarang/dibenci). Seperti At-Targhib wat Tarhib, susunan Al-Mundziry
(656 H).
Ciri – Ciri Perkembangan Hadits Periode VI :
a) Periode ini daulah Islamiyah mulai melemah dan akhimya runtuh, tetapi
kegiatan Ulama dalam melestarikan Hadits tidaklah terlalu terpengaruh.
b) Kitab-kitab Hadits yang telah berhasil disusun pada abad IV dan dari
padanya dapat dijumpai Hadits-hadits Shahih di luar dari kitab-kitab
Hadits abad III.
c) Hadits hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan-matan Hadits
tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu.
d) Hadits yang memuat matan-matan Hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian si
penyusun meriwayatkan matan-matan Hadits tersebut dengan sanad
sendiri yang berbeda.
e) Hadits yang menghimpun Hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat
Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya.
f) Menghimpun Hadits-hadits Nabi yang telah termuat dalam kitab-kitab
yang telah ada.
PERKEMBANGAN HADITS
Periode Ketujuh
(656 H-Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya
Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H.) sampai
sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami'
wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan,
penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.Usaha-usaha
yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah
menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan
menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab
fami' yang umum‘.
Pada periode ini para ulama
berusaha mengatur dan mengumpulkan
hadits yang belum terdapat pada kitab-kitab
hadits terdahulu. Kemudian mereka
kumpulkan dalam sebuah kitab hadits yang
disebut Kitab Zawaid (tambahan).
Ulama pada periode ini juga
berusaha mengumpulkan hadits dari
beberapa kitab dan disusunnya dalam
sebuah kitab yang mereka namakan dengan
istilah kitab "Jawani yang umum". Dan ada
pula yang mengumpulkan hadits yang
dikaitkan dengan salah satu bidang
permasalahan.
Pada periode ini para ulama juga menyusun kitab-kitab yang
merupakan syarah (keterangan) terhadap hadits-hadits yang sulit dipahami
artinya. Dengan begitu memudahkan bagi masyarakat umum yang hendak
mempelajarinya.
Demikian pula usaha penerbitan buku-buku hadits pada periode ini
berkembang pesat, terutama di India. Ulama India-lah yang banyak sahamnya
dalam mengembangkan hadits karena kitab-kitab yang banyak beredar di
masyarakat, pertama kali adalah di cetak di India.
Demikian juga peranan Mesir pada waktu itu amat besar. Karena
Mesir dijadikan tempat kegiatan untuk mengembangkan hadits. Mesir tempat
berkumpulnya para ulama dalam kegiatan perkembangan hadits/ilmu hadits.
Ringkasnya, mulai periode ketujuh ini telah banyak kitab-kitab hadits terkenal
yang disusun dengan berbagai macam sistem yang semua itu dilakukan oleh
para ulama Islam.
Pada permulaan abad ketiga belas,
Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali,
mulai bangkit memulihkan kekuatannya dan
berusaha mengembangkan kejayaan Mesir
pada masa silam. Bertepatan dengan masa
itu pula, kerajaan-kerajaan Eropa telah
makin kuat dan ingin menguasai dunia.
Kerajaan-kerajaan Eropa yang disemangati
oleh perang salib itu, senantiasa berusaha
untuk menumbangkan daulah Islamiyah dan
menguasai kaum muslimin.
Akhimya daulah Utsmaniyah runtuh lalu mereka
taklukkan dan cahaya Islam makin meredup karena tekanan
para penjajah. Sulitlah hubungan dari Mesir ke l4 ijaz atau ke
Syam dan lain-lain, sehingga praktis hilanglah perlawatan para
Ulama untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam akibat
penjajahan bangsa Eropa terhadap daerah-daerah Islam
tersebut.
Ulama-ulama Islam barulah mampu mengadakan
kontak antar mereka, setelah semangat kebangkitan Islam
mulai tumbuh dan mendobrak belenggu penjajahan bangsa
Eropa di negara-negara yang penduduknya mayoritas
beragama Islam.
Keterangan:
(Yang dimaksud dengan ijazah dalam
hal ini adalah pemberian izin dari
seorang syaikh (guru) kepada
muridnya untuk meriwayatkan Hadits
yang berasal dari padanya, baik yang
tertulis ataupun yang hafalan, beserta
kekurangan kekurangan dari riwayat
tersebut. Yang dimaksud dengan
mukatabah adalah pemberian catatan
Hadits dari seorang syaikh/guru
kepada orang yang ada di dekatnya
atau orang yang jauh, baik catatan itu
ditulis sendiri , oleh guru tersebut
ataupun dengan cara disuruh orang
lain untuk menuliskannya).
Macam-Macam Kitab Hadits Pada Periode Ini
a. Kitab jami’ antara lain:
Jami’ul Masanid was Sunan, oleh Ibnu Katsir (774 H). Kitab ini merupakan himpunan dari
Hadits-hadits yang terdapat di kitabnya Bukhari, Muslim, Abu Daud At Turmudzi, An-Nasa’iy, lbnu
Majah, Ahmad, Al-Bazzar, Abu Ya’la dan At-Thabary.Dan Jami’ul Jawami’, oleh As-Suyuthy (911 H).
Kitab ini menghimpun Hadits- hadits dari Al-Kutubus Sittah.
B. Kitab yang membahas masalah tertentu, antara lain:
• masalah hukum: Al-lmam fi Ahaditsil Ahkam, oleh lbnu Daqiqil ld (702 H),Taqribul Asanid wa
Tartibul Masanid, oleh Al-Iraqy (806 H).
• Targhib dan Tarhib, antara lain; Riyadush Shalihin, oleh Imam Nawawy (676 H).
• Dzikir dan Do’a, antara lain:Al-Qaulul Badi’, oleh As-Sakhawy (902 H),Dan Al-Hishnul Hashin, oleh
Muhammad Al-Jazary (833 H).
• Kitab syarah:Syarah untuk Shahih Bukhari (Fathul Bary, oleh lbnu Hajar Al-Asqalany dan Irsyadus
Sary, oleh Muhammad Al-Qasthalany (923 HUrv).
Kitab - kitab baru yang selain dalam bentuk seperti yang telah
ditempuh oleh Ulama sebelumnya,juga berupa:
Kitab Syarah.
Yakni, kitab Hadits yang di dalamnya dimuat uraian dan
penjelasan kandungan Hadits dan kitab tertentu dan hubungannya
dengan dalil-dalil yang lain, baik dariAl-Qur’an, dari Hadits maupun dari
kaidah-kaidah syara’ lainnya.
Kitab Mukhtashar.
Yakni kitab Hadits yang berisi ringkasan dari suatu kitab Hadits.
Kitab Zaqa’id.
Yakni kitab yang di dalamnya dihimpun Hadits-hadits yang
terdapat pada suatu kitab tertentu dan Hadits tersebut tidak termaktub
dalam kitab-kitab tertentu lainnya.
Kitab Penunjuk (kode indeks) Hadits:
Yakni kitab yang berisi petunjuk-
petunjuk praktis, biasanya berupa kode-kode
huruf dan angka tertentu, untuk
mempermudah mendapatkan/mencari
matan Hadits di kitab-kitab tertentu.
Kitab Terjemah Hadits:
Yakni kitab/buku pengalih bahasa
kitab-kitab Hadits dari bahasa Arab ke bahasa
lain, atau sebaliknya. Sejak akhir abad XIV H
di lndonesia telah mulai kegiatan
penerjemahan kitab-kitab Hadits ke dalam
bahasa lndonesia, baik kitab jami’, kitab
Hadits Ahkam, maupun kitab syarah.
Miftah Kunuzis Sunnah
oleh Prof. Dr. A.J. Winsink. Buku ini diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqy. Kitab ini memberi
petunjuk untuk mencari matan-matan Hadits yang terdapat dalam
14 kitab Hadits (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud,
Jami’ At- Turmudzi, Sunan An-Nasa’iy, Sunan Ibnu Majah, Sunan
Ad-Darimy, Muwaththa’ Malil (Musnad Zaid bin Ali, Musnad Abu
Daud At-Thayalisy, Musnad Ahmad, Thabaqah lbnu Saad, Sirah Ibnu
Hisyam dan Al-Maghazy Al-Waqidy).
• Al-It-hafatus Saniyyah, oleh Al-Mannawy.
•Al-Kalimatut Tayyibah, oleh lbnu Taimiyah.
• Adabul Ahaditsil Qudsiyah, oleh Dr. Ahmad As-Syarbashy.
Ciri – Ciri Perkembangan Hadits periode VII:
.
1. Periode ini disebut Masa pensyarahan,penghimpunan,pentakhrijan dan
pembahasan
2. Banyak dilakukan secara syifahiyah (penyampaian dan penerimaan riwayat
secara lisan/hafalan)
3. Penyampaian dan penerimaan riwayat/Hadits banyak dilakukan dengan jalan
ijazah dan mukatabah
4. Sulitnya hubungan dari Mesir ke Hijaz atau ke Syam dan lain-lain, sehingga
praktis hilanglah perlawatan para Ulama untuk menyebarkan ajaran-ajaran
Islam akibat penjajahan bangsa Eropa terhadap daerah-daerah Islam
tersebut.
5. Ulama-ulama Islam barulah mampu mengadakan kontak antar mereka,
setelah semangat kebangkitan Islam mulai tumbuh dan mendobrak belenggu
penjajahan bangsa Eropa di negara-negara yang penduduknya mayoritas
beragama Islam.
1. Menerbitkan isi kitab-kitab hadits
2. menyusun kitab-kitab takhrij
3. Membuat kitab-kitab jami’
4. Mengumpulkan Hadits-hadits Hukum
5. Para Shahabat dan tabi’in aktif menerima hadits
Keterangan:
Click to…
a) Riwayat hidup tokoh-tokoh hadits
b)Hadits dalam menentukan hukum
c) Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an
d)Kedudukan Hadits Terhadap Al-Quran
e) Keterangan Fungsi Hadits
f) Penulisan Hadits
g) Kesimpulan
Riwayat hidup Imam Bukhari
dan Imam Muslim
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah
bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari atau lebih dikenal Imam Bukhari (Lahir 196
H/810 M - Wafat 256 H/870 M) adalah ahli hadits yang termasyhur di antara
para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah bahkan dalam kitab-kitab Fiqih
danHadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian
menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum
mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di
dunia merujuk kepadanya.
Bukhari memiliki daya hafal tinggi sebagaimana yang diakui
kakaknya, Rasyid bin Ismail. Sosok beliau kurus, tidak tinggi, tidak pendek,
kulit agak kecoklatan, ramah dermawan dan banyak menyumbangkan
hartanya untuk pendidikan.
Riwayat Hidup Imam Bukhari
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli
hadits yang masyhur di Bukhara. pada usia 16 tahun bersama
keluarganya, ia mengunjungi kota suci terutama Mekkah dan
Madinah, dimana dikedua kota suci itu dia mengikuti kuliah
para guru besar hadits.
Pada usia 18 tahun dia menerbitkan kitab pertama
Kazaya Shahabah wa Tabi'in, hafal kitab-kitab hadits karya
Mubarak dan Waki bin Jarrah bin Malik. Bersama gurunya
Syekh Ishaq, menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu
kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80.000
perawi disaring menjadi 7275 hadits.
Menurut Ibnu Hajar Al
Asqalani, akhirnya Bukhari
menuliskan sebanyak 9082 hadis
dalam karya monumentalnya Al
Jami'al-Shahil yang dikenal sebagai
Shahih Bukhari. Banyak para ahli
hadits yang berguru kepadanya
seperti Syekh Abu Zahrah, Abu
Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn
Nasr dan Imam Muslim.
Kazaya Shahabah wa Tabi'in
Kitab al-Ilal
Raf'ul Yadain fi ash-Shalah
Birr al-Walidain
Kitab ad-Du'afa
Asami ash-Shahabah
Al-Hibah
Khalq Af'al al-Ibad
Al-Kuna
Al-Qira'ah Khalf al-Imam
Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal
sebagai Shahih Bukhari
Al-Adab al-Mufrad
Adh-Dhu'afa ash-Shaghir
At-Tarikh ash-Shaghir
At-Tarikh al-Ausath
At-Tarikh al-Kabir
At-Tafsir al-Kabir
Al-Musnad al-Kabir
Karya Imam Bukhari
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits
shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun
untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para
perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi
haditsnya.
Di antara kota-kota yang disinggahinya antara
lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah,
Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari
sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar
Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu,
ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah
beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Riwayat Imam Muslim
Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-
Naisaburi(bahasa Arab: ‫النيشابوري‬ ‫القشيري‬ ‫الحجاج‬ ‫بن‬ ‫مسلم‬ ‫الحسين‬ ‫,)أبو‬ atau sering
dikenal sebagai Imam Muslim (821-875) dilahirkan pada tahun 204 Hijriah
dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 Hijriah dan
dikuburkan di Naisaburi.
Ia belajar hadis sejak masih dalam usia dini, yaitu mulai tahun 218
H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.
Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin
Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu
`Ansan. Di Irak ia belajar hadis kepada Imam Ahmad dan Abdullah bin
Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa`id bin Mansur dan Abu Mas`Abuzar; di
Mesir berguru kepada `Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada
ulama ahli hadis yang lain.
Beliau berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-
ulama ahli hadis, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H, di waktu Imam
Bukhari datang ke Naisabur, beliau sering datang kepadanya untuk berguru,
sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau
kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari,
sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli.
Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak
memasukkan hadis-hadis yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya.
Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadis dalam
Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya.
Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke
dalam Sahihnya hadis-hadis yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap
mengakui mereka sebagai guru.
KaryaImamMuslim
1. Al-Jami` ash-Shahih atau lebih dikenal sebagai
Sahih Muslim
2. Al-Musnad al-Kabir (kitab yang menerangkan
nama-nama para perawi hadis)
3. al-Asma wal-Kuna
4. al-Ilal
5. Al-Aqran
6. Su`alatihi Ahmad bin Hambal
7. al-Intifa` bi Uhubis-Siba`
8. al-Muhadramin
9. Man Laisa Lahu illa Rawin Wahid
10.Auladish-Shahabah
11.Auhamil-Muhadditsin
Back to …
Hadits Dalam
Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan
hubungan As-Sunnah
dengan Al-Qur’an telah
disinggung tentang bayan
tasyri’, yaitu hadits
adakalanya menentukan
suatu peraturan/hukum atas
suatu persoalan yang tidak
disinggung sama sekali oleh
Al-Qur’an.
Kelompok yang menyetujui
mendasarkan pendapatnya pada
‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa
dan kesalahan, khususnya dalam
bidang syariat) apalagi sekian banyak
ayat yang menunjukkan adanya
wewenang kemandirian Nabi saw.
untuk ditaati. Kelompok yang
menolaknya berpendapat bahwa
sumber hukum hanya Allah, Inn al-
hukm illa lillah, sehingga Rasul pun
harus merujuk kepada Allah SWT
(dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak
menetapkan hukum
Atas dasar pertimbangan
tersebut,fungsi Al-Sunnah terhadap Al-
Quran didefinisikan sebagai bayan murad
Allah (penjelasan tentang maksud Allah)
sehingga apakah ia merupakan penjelasan
penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan
maupun tambahan, kesemuanya bersumber
dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi
sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan
(sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah
harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan
seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan,
beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu
tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan
Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
َ‫ب‬ُ‫ت‬ّ‫ل‬ َ‫ر‬ْ‫ك‬ّ‫ى‬‫ذ‬‫ال‬ َ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬ّ‫إ‬ ‫ا‬َ‫ن‬ْ‫ل‬َ‫َنز‬‫أ‬َ‫و‬ ّ‫ر‬ُ‫ب‬ُّ‫الز‬َ‫و‬ ّ‫ات‬َ‫ن‬ّ‫ى‬‫ي‬َ‫ب‬ْ‫ل‬ّ‫ِب‬َّ‫ل‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫و‬ ْ‫م‬ّ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬ّ‫إ‬ َ‫ل‬ّ‫ى‬‫ز‬ُ‫ن‬ ‫ا‬َ‫م‬ ّ‫َّاس‬‫ن‬‫ل‬ّ‫ل‬ َّ‫ى‬‫ّي‬َّ‫ك‬َ‫ف‬َ‫ت‬َ‫ي‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬َ‫ن‬‫و‬ُ‫ر‬-٤٤ -
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab.
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan,”
(An-Nahl: 44)
Apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam
Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri
menegaskan
ّ‫إ‬ ّ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫اح‬َ‫ن‬َ
ّ‫ِب‬ ُ‫ري‬ّ‫ط‬َ‫ي‬ ٍ‫ر‬ّ‫ائ‬َ‫ط‬ َ‫ال‬َ‫و‬ ّ‫ض‬ْ‫َر‬‫أل‬‫ا‬ ّ‫ِف‬ ٍ‫ة‬َّ‫ب‬‫آ‬َ‫د‬ ‫ن‬ّ‫م‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬‫ا‬َّ‫م‬ ‫م‬ُ‫ك‬ُ‫ل‬‫ا‬َ‫ث‬ْ‫َم‬‫أ‬ ٌ‫م‬َ‫ُم‬‫أ‬ َّ‫ال‬
ُ‫ر‬َ‫ش‬ُْ‫ُي‬ ْ‫م‬ّّ‫ى‬‫ّب‬َ‫ر‬ َ‫َل‬ّ‫إ‬ َُّ‫ُث‬ ٍ‫ء‬ْ‫ي‬َ‫ش‬ ‫ن‬ّ‫م‬ ّ‫اب‬َ‫ت‬ّ‫الك‬ ّ‫ِف‬ ‫ا‬َ‫ن‬ْ‫ط‬َّ‫ر‬َ‫ف‬َ‫ن‬‫و‬-٣٨ -
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-
Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
(Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu
tidak mempunyai perbedaan yang pokok.
Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda,
tetapi kesimpulannya adalah sama.
Yang diperdebatkan keduanya
adalah soal adanya hadits yang berdiri
sendiri. Apakah betul-betul ada atau
hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak
membahasnya, padahal sebenarnya
membahas.
Seperti dalam soal haramnya
kawin karena sesusuan, menurut pihak
pertama adalah karena ditetapkan oleh
Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi
ketetapan itu adalah sebagai
tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an
yang membahasnya secara umum dan
tidak jelas. Mereka sama-sama
mengakui tentang adanya sesuatu
tersebut tetapi mereka berbeda
pendapat tentang apakah Al-Qur’an
pernah menyinggungnya atau tidak
(hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus
persoalan lain sebenarnya masih
banyak hal-hal yang ditetapkan
oleh Sunnah saja, yang barangkali
sangat sulit untuk kita cari ayat Al-
Qur’an yang membahasnya,
walaupun secara umum dan
global. Oleh karena itulah kita
cenderung untuk berpendapat
sama dengan pihak yang pertama.
Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Hadits merupakan mubayyin bagi
Al-Qur`an, yang karenanya siapapun yang
tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa
dengan memahami dan menguasai hadits.
Begitu pula halnya menggunakan Hadits
tanpa Al-Qur`an.
Karena Al-qur`an merupakan dasar
hukum pertama, yang di dalamnya berisi
garis besar syari`at. Dengan demikian,
antara Hadits dengan Al-Qur`an memiliki
kaitan erat, yang untuk mengimami dan
mengamalkannya tidak bisa terpisahkan
atau berjalan dengan sendiri.
Keberlakuan hadits sebagai
sumber hukum diperkuat pula
dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an
hanya memberikan garis-garis besar
dan petunjuk umum yang
memerlukan penjelasan dan rincian
lebih lanjut untuk dapat
dilaksanakan dalam kehidupan
manusia.
Sejak masa sahabat sampai
hari ini para ulama telah bersepakat
dalam penetapan hukum didasarkan
juga kepada Hadits Nabi, terutama
yang berkaitan dengan petunjuk
operasional.
Di antara ayat-ayat yang
menjadi bukti bahwa Hadits
merupakan sumber hukum
dalam Islam adalah firman
Allah dalam Al-Qur’an surah
An- Nisa’: 80 =
َ‫اع‬َ‫ط‬َ‫أ‬ ْ‫د‬َ‫ق‬َ‫ف‬ َ‫ول‬ََُّ‫الر‬ ّ‫ع‬ّ‫ط‬ُ‫ي‬ ْ‫ن‬َ‫م‬ََّ‫اّلل‬ …
“Barangsiapa yang mentaati
Rosul, maka sesungguhnya
dia telah mentaati Alloh…”
Dalam ayat lain Allah berfirman QS. Al-Hasyr:7
َ‫ف‬ ُ‫ه‬ْ‫ن‬َ‫ع‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬‫ا‬َ‫ه‬َ‫ن‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ ُ‫وه‬ُ‫ذ‬ُ‫خ‬َ‫ف‬ ُ‫ول‬ََُّ‫الر‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬َ‫َت‬َ‫آ‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬‫ا‬‫و‬ُ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ان‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah…”
Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
ُ‫أ‬َ‫و‬ َ‫ول‬ُ‫س‬َّ‫الر‬ ‫وا‬ُ‫يع‬ِ‫َط‬‫أ‬َ‫و‬ ََّ‫اّلل‬ ‫وا‬ُ‫يع‬ِ‫َط‬‫أ‬ ‫وا‬ُ‫ن‬َ‫َم‬‫آ‬ َ‫ين‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ه‬ُّ‫َي‬‫أ‬ َ‫َّي‬َ‫ش‬ ِ‫ِف‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ع‬َ‫از‬َ‫ن‬َ‫ت‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ر‬ْ‫م‬َْ‫اْل‬ ِ‫وِل‬ُ‫ُّوه‬‫د‬ُ‫ر‬َ‫ف‬ ٍ‫ء‬ْ‫ي‬
ِ‫ول‬ُ‫س‬َّ‫الر‬َ‫و‬ َِّ‫اّلل‬ َ‫َل‬ِ‫إ‬ …
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali
kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa
seseorang tidak cukup hanya berpedoman pada Al-Qur’an
dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib
berpedoman kepada Hadits Rasulullah Saw.
Kedudukan Hadits Terhadap Al-Quran
Kedudukan hadits dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran
Islam, menurut jumhur ulama, adalah menempati posisi kedua setelah Al-
Qur’an. Hal tersebut terutama ditinjau dari segi wurut atau tsubutnya Al-
Qur’an adalah barsifat Qat’i.
Sedangkan hadits, kecuali yang berstatus mutawatir, sifatnya adalah
Zhanni al-wurut. Oleh karnanya, yang bersifat qath’i (pasti) didahulukan
dari pada yang zhanni (relative).
Untuk lebih jelasnya, berikut akan diuraikan
argument yang dikemukakan para ulama tentang
posisi hadits terhadap Al-Qur’an tersebut :
Al-Qur’an dengan sifatnya qath’i al-wurut
(keberadaannya yang pasti dan diyakini), baik secara
ayat perayat maupun secara keseluruhan, sudah
seharusnyalah kedudukannya lebih tinggi dari pada
hadits yang statusnya secara hadits perhadits, kecuali
yang berstatus mutawatir, adalah bersifat al-Wurud.
Hadits berfungsi sebagai penjelas dan panjabar (bayan)
terhadap AL-Qur’an. Ini adalah dijelaskan (al-mubayyan), yakni
AL-Qur’an, kedudukannya adalah lebih tinggi dari pada
penjelasan (al-bayan), yakni Hadits.
Secara logis dapat dipahami bahwa penjelas (al-bayan)
tidak perlu jika ada sesuatu yang dijelaskan (al-mubayyan) tidak
ada: akan tetapi jika tidak ada al-bayan hal itu tidak berati
bahwa al-mubayyan juga tidak ada.
Dengan demikian, eksentesi dan keberadaan Hadits
sebagai al-bayan tergantung kepada eksistensi AL-Qur’an
sebagai al-mubayyan, dan hal ini menujukkan di dahulukannya
AL-Qr’an dari Hadits dalam hal status dan tingkatannya.
ِ‫آن‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫ِف‬ ِ‫م‬ْ‫ك‬ُْ‫ْل‬‫ا‬ ُ‫د‬ْ‫ي‬ِ‫ك‬ْ‫أ‬َّ‫ت‬‫ل‬َ‫ا‬
(Memperkuat aturan hukum pada ayat-ayat Al-Qur’an)
Hadits menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi
memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran.
Misalnya, Al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :
QS. Al. Baqarah : 183
‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫ب‬ِ‫ت‬ُ‫ك‬‫ا‬َ‫م‬َ‫ك‬ُ‫ام‬َ‫ي‬ِ‫الص‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫ب‬ِ‫ت‬ُ‫ك‬ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ن‬َ‫آم‬ َ‫ين‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ه‬ُّ‫َي‬‫أ‬ َ‫َّي‬َ‫ن‬‫و‬ُ‫ق‬َّ‫ت‬َ‫ت‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َّ‫ل‬َ‫ع‬َ‫ل‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ل‬ْ‫ب‬َ‫ق‬ ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫ين‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬-١٨٣ -
Artinya :
” 183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,”
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut, Islam didirikan atas lima
perkara:
“persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan Muhammad adalah
rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan
dan naik haji ke baitullah.”
(H.R Bukhari dan Muslim)
‫ا‬ِ‫آن‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫ِف‬ ِ‫م‬ْ‫ك‬ُْ‫ْل‬‫ا‬ ُ‫ر‬ْ‫ي‬ِ‫س‬ْ‫ف‬َّ‫لت‬
(Merinci dan menjelaskan aturan hukum pada ayat-ayat Al-Qur’an)
Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih
bersifat global.Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :
QS. Al Baqarah : 110
ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫س‬ُ‫ف‬‫ن‬َ‫ْل‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫م‬ِ‫د‬َ‫ق‬ُ‫ت‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ َ‫ة‬‫ا‬َ‫ك‬َّ‫الز‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ت‬‫آ‬َ‫و‬ َ‫ة‬َ‫ال‬َّ‫الص‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫يم‬ِ‫َق‬‫أ‬َ‫و‬َِ‫ب‬ َ‫اّلل‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬ ِ‫اّلل‬ َ‫د‬‫ن‬ِ‫ع‬ ُ‫وه‬ُ‫د‬َِ‫َت‬ ٍْ‫ْي‬َ‫خ‬ْ‫ع‬َ‫ت‬ ‫ا‬ٌ‫ْي‬ِ‫ص‬َ‫ب‬ َ‫ن‬‫و‬ُ‫ل‬َ‫م‬
-١١٠ -
Artinya :
”110. Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja
yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya
pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan.”
shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya,
misalnya shalat yang wajib dan sunah.
ِ‫آن‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫ِف‬ ِ‫م‬ْ‫ك‬ُْ‫ْل‬‫ا‬ ُ‫ص‬ْ‫ي‬ِ‫ص‬ْ‫خ‬َّ‫ت‬‫ل‬َ‫ا‬
Mengecualikan dan mengkhususkan aturan hukum pada ayat-
ayat Al-Qur’an
Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al
Qur`an yang bersifat umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan
memakan bangkai dan darah:
QS. Al Maidah : 3
َّ‫ل‬ِ‫ُه‬‫أ‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ ِ‫ر‬‫ي‬ِ‫ز‬ْ‫ن‬ِْ‫اْل‬ ُ‫م‬َْ‫ْل‬َ‫و‬ ُ‫م‬َّ‫ْد‬‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ ُ‫ة‬َ‫ت‬ْ‫ي‬َ‫ْم‬‫ل‬‫ا‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ْ‫ت‬َ‫م‬ِ‫ر‬ُ‫ح‬ْ‫و‬َ‫ْم‬‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ ُ‫ة‬َ‫ق‬ِ‫ن‬َ‫خ‬ْ‫ن‬ُ‫ْم‬‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ ِ‫ه‬ِ‫ب‬ ِ‫اّلل‬ ِْ‫ْي‬َ‫غ‬ِ‫ل‬َ‫و‬ ُ‫ة‬َ‫ذ‬‫و‬ُ‫ق‬ُ‫ة‬َ‫ي‬ِ‫د‬َ‫ر‬َ‫ت‬ُ‫ْم‬‫ل‬‫ا‬
‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫ح‬ِ‫ب‬ُ‫ذ‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ي‬َّ‫ك‬َ‫ذ‬ ‫ا‬َ‫م‬ َّ‫ال‬ِ‫إ‬ ُ‫ع‬ُ‫ب‬َّ‫الس‬ َ‫ل‬َ‫ك‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ ُ‫ة‬َ‫يح‬ِ‫َّط‬‫ن‬‫ال‬َ‫و‬َ‫ذ‬ ِ‫م‬َ‫ال‬ْ‫ز‬َ‫ْل‬ِ‫ِب‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫م‬ِ‫س‬ْ‫ق‬َ‫ت‬ْ‫س‬َ‫ت‬ ‫َن‬‫أ‬َ‫و‬ ِ‫ب‬ُ‫ُّص‬‫ن‬‫ال‬ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ل‬ٌ‫ق‬ْ‫س‬ِ‫ف‬
َ‫ش‬ْ‫خ‬‫ا‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬ْ‫و‬َ‫ش‬َْ‫َت‬ َ‫ال‬َ‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ين‬ِ‫د‬ ‫ن‬ِ‫م‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ر‬َ‫ف‬َ‫ك‬ َ‫ين‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ َ‫س‬ِ‫ئ‬َ‫ي‬ َ‫م‬ْ‫و‬َ‫ْي‬‫ل‬‫ا‬َْ‫َت‬‫أ‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ين‬ِ‫د‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ل‬ ُ‫ْت‬‫ل‬َ‫م‬ْ‫ك‬َ‫أ‬ َ‫م‬ْ‫و‬َ‫ْي‬‫ل‬‫ا‬ ِ‫ن‬ْ‫و‬ْ‫م‬ْ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ُ‫ت‬
ٍ‫ة‬َ‫ص‬َ‫م‬َْ‫َم‬ ِ‫ِف‬ َّ‫ر‬ُ‫ط‬ْ‫ض‬‫ا‬ ِ‫ن‬َ‫م‬َ‫ف‬ ً‫ا‬‫ين‬ِ‫د‬ َ‫م‬َ‫ال‬ْ‫س‬ِ‫إل‬‫ا‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ل‬ ُ‫يت‬ِ‫ض‬َ‫ر‬َ‫و‬ ِ‫ِت‬َ‫م‬ْ‫ع‬ِ‫ن‬‫و‬ُ‫ف‬َ‫غ‬ َ‫اّلل‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ ٍْ‫ْث‬ِِ‫إل‬ ٍ‫ف‬ِ‫ان‬َ‫ج‬َ‫ت‬ُ‫م‬ َ‫ر‬ْ‫ي‬َ‫غ‬ٌ‫ر‬ٌ‫يم‬ِ‫ح‬َّ‫ر‬-
٣-
Artinya :
”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada
hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang
siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita
dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan
belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”
(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)
Hadits memberikan
pengecualian dengan
membolehkan
memakan jenis bangkai
tertentu (bangkai ikan
dan belalang ) dan
darah tertentu (hati dan
limpa).
‫آن‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫ِف‬ ُ‫م‬َ‫د‬َ‫ْع‬‫ل‬َ‫ا‬ ِ‫م‬ْ‫ك‬ُْ‫ْل‬‫ا‬ ُ‫ر‬ْ‫ي‬ِ‫ر‬ْ‫ق‬َّ‫لت‬َ‫ا‬
Menetapkan aturan hukum tersendiri yang belum diatur oleh Al-Qur’an
Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-
Qur’an. Hukum yang terjadi adalah merupakan produk Hadits/Sunnah
yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an.
Contohnya:
seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu,
haram memakan burung yang berkuku tajam,
haram memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an.,untuk fungsi al
quran yg ini para ulama berbeda pendapat, tetapi perbedaan itu, bukanlah
tentang wujudnya hukum yang telah ditetapkan oleh hadits itu, tetapi
berkisar pada masalah apakah hukum dari hadits itu berada di luar hukum-
hukum al-Qur’an, ataukah memang telah tercakup juga oleh nash-nash al-
Qur’an secara umum.
Keterangan Fungsi Hadits
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits
merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia mempati
kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti
hadits bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun
larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-
Qur`an.
Hal ini karena,
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan
Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an
sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi
bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran
Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami
syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah
mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang
Al-Qur’an mengatan bahwa : “Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an
begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di
dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya,
tetapi murni dalam teksnya”.
Menurut Ahmad hanafi “Kedudukan Hadits sebagai
sumber hukum sesudah Al-Qur’an,merupakan hukum yang
berdiri sendiri.”
Sikap para sahabat yang merujuk
kepada Al-Qur’an terlebih dahulu apabila
mereka bermaksud mencari jalan keluar atas
suatu masalah, dan jika dalam Al-Qur’an tidak
ditemu penjelasannya, barulah mereka
berujuk kepada As-Sunnah yang mereka
ketahui, atau menayakan Hadits kepada
sahabat yang lain.
Kedudukan hadis nabi SAW berada pada peringkat kedua
setelah Al-qur’an. Meskipun demikian, hal tersebut tidaklah
mengurangi nilai Hadits, karena keduanya pada hakikatnya berasal
dari wahyu Allah SWT .
Karenanya keduanya adalah seiring dan sejalan. Banyak ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan dan memerintahkan agar kita bersikap
patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan kepatuhan kita
kepada Rasul-Nya adalah bukti atas kepatuhan kita kepada Allah
SWT.
ibn Hazmi berkomentar bahwa ketika kita
menjelaskan Al-Qur’an sebagai sumber hukum
syara’, maka didalam Al-Qur’an itu sendiri
terdapat keterangan Allah SWT yang
mewajibkan kita taat kepada Rasul-Nya dan
berhubungan dengan hukum syara’ yang pada
dasarnya adalah wahyu yang datang dari Allah
SWT juga hal tersebut termuat didalam firman
Allah, dalam surat Al- Najm ayat: 3-4.
Penulisan Hadits
Sebelum agama Islam datang, bangsa
Arab tidak mengenal kemampuan
membaca dan menulis. Mereka lebih
dikenal sebagai bangsa yang ummi
(tidak bisa membaca dan menulis).
Namun, ini tidak berarti bahwa tidak
ada seorang pun yang bisa
menulisdan membaca. Keadaan ini
hanyalah sebagai ciri kebanyakan
mereka.
Sejarah telah mencatat sejumlah orang
yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin
Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar
menulis hingga menguasainya, dan merupakan
orang pertama yang menulis dengan bahasa
Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra.
Sebagian orang Yahudi juga mengajari anak-
anak di Madinah untuk menulis Arab.
Kota Mekah dengan pusat
perdagangannya sebelum kenabian, menjadi
saksi adanya para penulis dan orang yang
mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan
bahwa orang yang mampu membaca dan
menulis di kota Mekah hanya sekitar 10 orang.
Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah
bangsa yang ummi.
Pada masa Nabi, tulis-
menulis sudah tersebar luas.
Apalagi Al-Quran menganjurkan
untuk belajardan membaca.
Rasulullah pun menga-lgkat para
penulis wahyu hingga jumlahnya
mencapai 40 orang. Nama-nama
mereka disebut dalam kitab At-
Taratib Al-Idariyyah. Baladzuri
dalam kitab Futuhul Buldan
menyebutkan sejumlah penulis
wanita, di antaranya Ummul
Mu'minin Hafshah, Ummu
Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa'
binti Abdullah Al¬Qurasyiyah,
`Aisyah binti Sa'ad, dan Karimah
binti AI-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah setelah
Perang Badar. Nabi menyuruh Abdullah bin Sa'id bin ‘Ash agar mengajar
menulis di Madiah, sebagaimana disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-
Isti'ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli `Abdullah bin Sa'id bin
Al-'Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama
`Abdullah,dan menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam sependapat
bahwa Al-Quran Al-Karim telah memperoleh perhatian yang penuh dari
Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabat untuk
menghapalkan Al-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu,
seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Quran telah
dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat
suci Al-Quran pun telah lengkap ditulis, tetapi belum
terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau
sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh
perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan
oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak
diperintahkan oleh Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa
sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka
mencatat sebagian hadis yang pernah mereka dengar dari
Rasulullah SAW.
Kesimpulan
Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu tradisi yang
dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan
pengetahuan, dan konon orang-orang Arab terkenal mempunyai
kekuatan hafalan yang tinggi, bahkan para penghafal masih
banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak
diperkenankan, namun ternyata tradisi penulisan hadis sudah
dilakukan sejak zaman Nabi.
Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi
bukan berarti semua hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman
Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya
hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis hadis
itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal
koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek
kehidupan Nabi tidak ditemukan tanda-tandanya.
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu
bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash
Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul
dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah
Nabi, di kala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab.
Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di
dalam hadlar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi
menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi
menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat
memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk
mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini,
bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang
diperintahkan Nabi.
Sekian.
Terimakasih atas
perhatiannya
Wassalamualaikum
Warahmatullahi
Wabarakatuh
1 von 120

Más contenido relacionado

Was ist angesagt?(20)

Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul hadits
Moh Yakub30.1K views
Tasyri'  masa nabi Muhammad SawTasyri'  masa nabi Muhammad Saw
Tasyri' masa nabi Muhammad Saw
Marhamah Saleh31K views
Ppt tasawufPpt tasawuf
Ppt tasawuf
mazidahsenjaramadhan qurrotuaini30.4K views
Makalah manthuq dan mafhumMakalah manthuq dan mafhum
Makalah manthuq dan mafhum
rismariszki22K views
Ulumul Qur'an (2)Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)
Ibnu Ahmad9.7K views
Perkembamngan hadits pada masa rasulullahPerkembamngan hadits pada masa rasulullah
Perkembamngan hadits pada masa rasulullah
juniska efendi25.1K views
Presentasi Fiqh 1Presentasi Fiqh 1
Presentasi Fiqh 1
Marhamah Saleh9.6K views
Tugas al quran hadist power pointTugas al quran hadist power point
Tugas al quran hadist power point
LontongSayoer53.9K views
AHKLAK DAN TASAWUF DALAM ISLAMAHKLAK DAN TASAWUF DALAM ISLAM
AHKLAK DAN TASAWUF DALAM ISLAM
indah sulistyaningsih14K views
PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
Khusnul Kotimah11.5K views
Daftar Pertanyaan Ushul FiqhDaftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Suya Yahya214.8K views

Destacado(20)

Hadits Shahih, Hasan, Dlo'ifHadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Azzahra Azzahra13K views
ISTILAH - ISTILAH DALAM ILMU HADITSISTILAH - ISTILAH DALAM ILMU HADITS
ISTILAH - ISTILAH DALAM ILMU HADITS
Azzahra Azzahra9.6K views
Akidah akhlaq - adab berpakaianAkidah akhlaq - adab berpakaian
Akidah akhlaq - adab berpakaian
Azzahra Azzahra1.9K views
Hadits AhadHadits Ahad
Hadits Ahad
Azzahra Azzahra6.2K views
Quran (A Code Of Life)Quran (A Code Of Life)
Quran (A Code Of Life)
tariqmehsud91K views
Studi Hukum IslamStudi Hukum Islam
Studi Hukum Islam
Raja Aidil Angkat13.9K views
Adab dalam berpakaian dan berhiasAdab dalam berpakaian dan berhias
Adab dalam berpakaian dan berhias
yastofi royana putri13.9K views
Hadits mutawattir (without background)Hadits mutawattir (without background)
Hadits mutawattir (without background)
Azzahra Azzahra4.3K views
Makalah studi qur'anMakalah studi qur'an
Makalah studi qur'an
Fira Laila Shoop1.3K views
Busana muslimBusana muslim
Busana muslim
eksi ediati465 views
Ilmu Rasm Usmani pdfIlmu Rasm Usmani pdf
Ilmu Rasm Usmani pdf
RulHas SulTra11.4K views
4 mazhab4 mazhab
4 mazhab
Alfin_Habibib6.8K views
Sejarah Kerajaan Aceh Indonesia Sejarah Kerajaan Aceh Indonesia
Sejarah Kerajaan Aceh Indonesia
Azzahra Azzahra1.1K views
Concept of CSR in islamConcept of CSR in islam
Concept of CSR in islam
Farhan Ahmad3.3K views
Social Responsibility in IslamSocial Responsibility in Islam
Social Responsibility in Islam
Mehreen Omer9.2K views
Social and Community Service in IslamSocial and Community Service in Islam
Social and Community Service in Islam
Mohammad Yunus, MD, FACP7.1K views
Islam and Social Work PracticeIslam and Social Work Practice
Islam and Social Work Practice
Muslim Students Association18.1K views

Similar a PERKEMBANGAN HADITS(20)

Makalah ulumul hadits Makalah ulumul hadits
Makalah ulumul hadits
Liseu Taqillah85 views
Tarikh tasyrik 3Tarikh tasyrik 3
Tarikh tasyrik 3
mas karebet2.6K views
Resi Seftiana.docxResi Seftiana.docx
Resi Seftiana.docx
YogaPratama8678009 views
Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)
Makalah Ilmu Hadits (Sejarah Pekembangan Hadits)
UIN Alaluddin Makassar45.8K views
Ulumul haditsUlumul hadits
Ulumul hadits
Ruhawi uye Ruhawi uye1.1K views
PAI Kls 10 Dakwah RasulullahPAI Kls 10 Dakwah Rasulullah
PAI Kls 10 Dakwah Rasulullah
Liakartikasarii13K views
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadisSejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis
Roedyblack V-one28.5K views
Sejarah  haditsSejarah  hadits
Sejarah hadits
Imam Santoso4.6K views
Kodifikasi haditsKodifikasi hadits
Kodifikasi hadits
tianasarang248 views
Kelompok 3  -- ulumul haditsKelompok 3  -- ulumul hadits
Kelompok 3 -- ulumul hadits
universitas islam attahiriyah (UNIAT)308 views
Ulum  al quranUlum  al quran
Ulum al quran
Kamarudin Jaafar46.6K views

PERKEMBANGAN HADITS

  • 2. Penyusun: Fatimah.A (10) Ramadhani Nur F (18) Sabila.A (20) Ummu Khonsa (23)
  • 3. Periode Perkembangan Hadits Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa timbulnya di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadits, serta segala hal yang memengaruhi hadits tersebut.Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadits dalam beberapa periode,yaitu: Periode Pertama Periode Ketiga Periode Kedua Periode Keempat Periode Kelima Periode Ketujuh Periode Keenam Keterangan
  • 4. Periode Pertama: Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah SAW.
  • 5. Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam).Pada periode inilah, hadits lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam. Hadits pada periode pertama adalah pada masa Rasulullah saw. masih hidup. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah saw. adalah sumber hadits, karena hadits itu pada hakekatnya adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang datang dari Nabi Muhammad saw.
  • 6. Hadits pada periode pertama ini belum ditulis atau belum dibukukan sebagaimana halnya sekarang. Nabi sendiri melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al Qur'an yang pada waktu itu proses turunnya masih berlangsung. Di samping itu karena jumlah para shahabat yang sedikit itu dikerahkan semuanya oleh Rasulullah untuk menulis Al Qur'an, di samping mereka juga dianjurkan menghafal ayat-ayat Al Qur'an itu.
  • 7. Hal tersebut diterangkan oleh hadits Nabi Muhammad saw. yang berbunyi: ْ‫ي‬َ‫غ‬ ‫ى‬ّ‫ِن‬َ‫ع‬ َ‫ب‬َ‫ت‬َ‫ك‬ ْ‫ن‬َ‫م‬َ‫و‬ ‫ى‬ّ‫ِن‬َ‫ع‬ ‫ا‬ْ‫و‬ُ‫ب‬ُ‫ت‬ْ‫ك‬َ‫ت‬َ‫ال‬ُ‫ه‬ُ‫ح‬ْ‫م‬َ‫ي‬ْ‫ل‬َ‫ف‬ ّ‫آن‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ َ‫ر‬(‫مسلم‬ ‫اه‬‫و‬‫ر‬) Artinya: "Janganlah kamu menulis sesuatu (hadits) dari saya dan barangsiapa yang telah menulis sesuatu dari saya selain Al Qur'an hendaklah ia menghapusnya". (HR. Muslim)
  • 8. Namun setelah itu Rasulullah mencabut larangannya menuliskan hadits tersebut. Yaitu setelah beliau mengetahui bahwa proses turunnya ayat-ayat Al Qur'an sudah hampir berakhir dan beliau sendiri sudah mendekati ajalnya berpulang ke rahmatullah. Nabi sudah mulai mengizinkan kepada shahabatnya yang mau menuliskan hadits. Di antaranya kepada shahabat yang bernama Abu Syah dan Abdullah bin Amr. Tetapi walaupun Rasulullah telah mencabut larangannya menuliskan hadits, namun keadaan hadits pada masa itu belum ditulis dan dibukukan sebagaimana Al Qur'an. Keadaan yang demikian itu sampai akhir abad 1 Hijriyah.
  • 9. 1. Dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an yang pada waktu itu proses turunnya masih berlangsung. 2. Jumlah para shahabat yang sedikit. 3. Para shahabat dikerahkan untuk menulis Al-Qur’an. 4. Para shahabat menerima hadits dengan hafalan. 5. Adanya sebuah hadits yang menerangkan: ”janganlah kamu menulis satupun dariku (nabi) selain daripada Al-Qur’an.” (H.R.Muslim) 6. Hadits masih berada dalam proses pertumbuhan. 7. Hakikat hadits adalah ucapan,perbuatan,dan ketetapan,bukan tulisan 8. Kemamuan shahabat untuk menulis terbatas. 9. Usaha Rasulullah untuk mempertahankan keaslian Al-Qur’an. Sebab–Sebab Rasulullah Melarang Menulis Hadits :
  • 10. Sebab – Sebab Rasulullah Memperbolehkan Menulis Hadits : •Kebolehan itu bersifat khusus berlaku bagi orang yang mahir baca tulis, yang tidak khawatir melakukan kesalahan tulis dan tidak dikhawatirkan melakukan kekeliruan. •Kaum muslimin bertambah banyak dan mereka telah mengenal al qur’an dengan baik serta bisa membedakannya dengan hadits. •Jika lafadz Al-Hadits ditulis dalam media yang berbeda dengan lafaz al qur’an maka penulisan itu tidak apa-apa. •Kebolehan penulisan hadits berlaku bagi orang yang tidak bisa diandalakan hafalannya, seperti Abu Syah. •Secara hirarkhis posisi al hadits adalah sumber yang kedua setelah al qur’an. • Rasulullah saw. Adalah sumber hadits • Boleh ketika Proses turunnya Al-Qur’an mulai berakhir • Kewajiban untuk menyampaikan ilmu.
  • 11. Ciri – Ciri Hadits Periode I : 1. Hadits masih berada dalam masa pertumbuhannya. Yakni baru datang dari sumber aslinya yaitu Nabi Muhammad beserta para shahabatnya. 2. Hadits pada masa itu belum ditulis secara resmi sebagaimana halnya Al Qur'an. 3. Hadits pada masa ini masih berada dalam hafalan para shahabatnya atau ada juga dalam catatan para shahabatnya secara pibadi. 4. Hadits masa ini juga belum bercampur dengan unsur-unsur lain.
  • 12. 1. Munculnya hadits ada yang merupakan jawaban atas pertanyaan atau kejadian yang diajukan oleh para shahabat dan masyarakat pada umumnya. 2. Ada pula hadits yang datang tanpa didahului oleh pertanyaan-pertanyaan atau adanya kejadian, melainkan Nabi sendiri langsung menda'wahkannya. 3. Penulisan hadits berawal dari larangan Panulisan hadits dari Rasulullah 4. Belum banyak Shahabat yang membukukan hadits.
  • 13. Lanjutan… 1. Hadits masih berada dalam masa pertumbuhan. 2. Berakhir pada masa 1 hijriah 3. Sahabat yang mendalami penulisan hadits belum banyak 4. Al-Qur’an masih turun Sumber hadits adalah Rasulullah saw. 5. Para sahabat menyimpan ilmu dengan menghafalkannya. Periode pertama pada masa Rasulullah saw.hidup.
  • 14. Periode Kedua: Perkembangan Hadits pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H- 40 H)
  • 15. Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al- Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadits (As-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
  • 16. Hadits pada periode kedua ini ialah masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, 'Umar, Utsman, dan Ali).Dalam ajaran Islam terdapat ketentuan dan kewajiban bahwa segala yang diterima dari Nabi Muhammad saw. berupa Al Qur'an dan haditsnya harus disampaikan dan disebarluaskan kepada masyarakat luas.
  • 17. Rasulullah bersabda: ‫ة‬َ‫آي‬ ْ‫و‬َ‫ل‬َ‫و‬ ‫ى‬ّ‫ِن‬َ‫ع‬ ‫ا‬ْ‫و‬ُ‫غ‬‫ى‬ّ‫ل‬َ‫ب‬ Artinya: "Sampaikanlah olehmu dariku (hadits) walaupun satu ayat (kalimat)".
  • 18. Arti hadits tersebut adalah dalam ajaran Islam terdapat ketentuan dan kewajiban bahwa segala yang diterima dari Nabi Muhammad saw. berupa Al Qur'an dan haditsnya harus disampaikan dan disebarluaskan kepada masyarakat luas. Arti hadits tersebut adalah dalam ajaran Islam terdapat ketentuan dan kewajiban bahwa segala yang diterima dari Nabi Muhammad saw. berupa Al Qur'an dan haditsnya harus disampaikan dan disebarluaskan kepada masyarakat luas.
  • 19. Sebab – sebab Umar bin Khothob membatasi penyebarluasan hadits : . 1. Agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. 2. Beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. 3. Segala periwayatan yang mengatas namakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi 4. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. 5. Agar kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. 6. Umar r.a mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah nabi pada penduduk negeri 7. Melembagakan Al-Qur’an dalam masyarakat. 8. Untuk menjaga keaslian hadits
  • 20. Ciri – Ciri Hadits periode II : 1. Dengan menggunakan lafal hadits asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah. 2. Para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada permasalahan hukum yang mendesak. 3. Banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. 4. Para sahabat rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya. 5. Para sahabat mulai terpencar dibeberapa wilayah. 6. Perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Quran. 7. Para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap Kitab Allah. 8. Terjadi pada masa Khulafa’ur Rasyidin.
  • 21. Lanjutan… 1. Periode setelah rasulullah wafat 2. Salah satu pesan Rasulullah yaitu menyampaikan walau hanya 1 ayat atau 1 hadits 3. Adanya hukuman terhadap 2 pihak,yaitu orang yang tidak mau menyampaikan hadits,dan orang yang menyampaikan hadits tanpa adanya saksi. 4. Masih adanya upaya untuk memasyarakatkan Al-Qur’an. 5. Kehati-hatian dalam menyampaikan dan menerima hadits 6. Ketegasan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
  • 22. Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Shahabat Kecil dan Tabiin
  • 23. Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al- Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits).Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadits.
  • 24. Sejak zaman Khalifah Utsman dan Ali para shahabat sudah mulai mendapat kesempatan untuk meriwayatkan hadits secara luas. Demikian pula para tabi'in pun secara bebas sudah dapat mendatangi para shahabat yang mempunyai banyak hadits. Selain dari itu ditambah dengan berkembangnya agama Islam ke wilayah-wilayah Syam, Irak, Mesir, Persia, Samarkand, Spanyol, dan lain-lain, maka para shahabat sudah banyak yang berpindah ke wilayah-wilayah tersebut dan secara otomatis mereka mengembangkan hadits ke tempat-tempat itu. .
  • 25. Sebab – Sebab Hadits berkembang pesat : 1. Para shahabat terus mendampingi nabi dan kuat hafalan,seperti khulafa’ur rasyidin,Abdullah ibn mas’ud,atau Abu Hurairah. 2. Menerima riwayat dari sahabat selain mendengar dari Nabi,seperti Anas bn malik. 3. Lama bersama nabi,sehingga mengetahui keadaannya. 4. Para penghafal hadits rata-rata berumur panjang dan berilmu. 5. Berusaha mencatat hadits,seperti: Abdullah ibn Amer ibn 'Ash. 6. Pengiriman Da’i ke seluruh wilayah . 7. Waktu yang terbatas untuk menghindari hadits palsu
  • 26. Ciri – Ciri Hadits Periode III : 1. Hadits-hadits yang diterima oleh para tabi’in ini ada dalam bentuk catatan-catatan,atau tulisan-tulisan,dan ada pula yang harus dihafal. 2. Dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan ikuti. 3. Tidak ada satu hadits pun yang tercecer atau terlupakan. 4. Terjadi pada masa pasca-sahabat. 5. Muncul kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah. 6. Masa kepesatan hadits. 7. Wilayah islam yang meluas. 8. Berlangsung kurang lebih 17 tahun
  • 27. Lanjutan… 1. Pada masa ini,Ali bin Abi Thalib merevisi undang-undang 2. Menyampaikan hadits dengan saksi 3. Banyak penghafal hadits 4. Munculnya Hadits- hadits palsu 5. Shahabat dan tabi’in saling bertukar hadits. 6. Penghafal hadits dikirim untuk berdakwah di wilayah.
  • 28. Periode Keempat: Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah
  • 29. Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW. Dalam keterangan yang lalu dikatakan bahwa hadits pada masa Rasulullah saw. belum dibukukan dan belum ditulis secara resmi. Demikian pula pada masa shahabat Khulafaur Rasyidin belum nampak adanya usaha-usaha untuk membukukan hadits.
  • 30. Walaupun usaha pengembangan dan periwayatan hadits pada masa itu sudah berkembang pesat. Usaha periwayatan itu sudah berlangsung secara lisan berdasarkan hafalan, tidak berdasarkan tulisan. Para shahabat dan tabi'in betul-betul terkenal kekuatan daya ingatnya. Oleh karenanya, walaupun hadits belum banyak ditulis namun selama para shahabat dan tabi'in yang banyak menghafal hadits masih hidup, hadits tetap akan terpelihara dan tidak akan hilang.
  • 31. Namun, kian hari kian terasa kekhawatiran akan hilangnya hadits-hadits Rasulullah dari para penghafal, karena di antara mereka sudah mulai banyak yang meninggal dunia sebagai akibat usia lanjut atau akibat peperangan dan lain sebagainya. Atas dasar keadaan ini, timbullah gagasan baru untuk mengumpulkan dan membukukan hadits.
  • 32. Sebab – Sebab Munculnya Hadits Palsu : 1. Adanya seorang zindiq (seorang yang pura-pura masuk Islam) kemudian merusak Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memalsukan hadits dan menyandarkannya kepada shahabat kemudian kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 2. untuk mendukung madzhab mereka atau kalangan mereka, sebagaimana dilakukan oleh kalangan Khaththobiyah, yaitu kelompok yang dinasabkan kepada Abul Khaththab Al Asadi. 3. Sebagian lagi mereka memalsukan hadits untuk mendapatkan kedudukan di sisi para khalifah dan penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh Gihyats bin Ibrahim An Nakha’i, dimana ia memalsukan hadits untuk menyenangkan Khalifah Al Mahdi. 4. untuk mencari kekayaan, ketenaran dan lainnya dari kenikmatan dunia.
  • 33. 1. Niat mereka untuk mengajak kepada amal shalih dan ibadah- ibadah dengan memalsukan hadits. 2. Ada pula yang menukilkan perkataan orang-orang bijak, lantas menyandarkan perkataan tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.semisal hadits: “Kecintaan kepada dunia adalah sumber segala kesalahan.” Dimana ini sebenarnya merupakan perkataan Malik bin Dinar. 3. Ada pula di antara mereka karena kelalaian atau kekeliruan dalam mendengarkan suatu hadits. 4. Untuk dijadikan dalil dari semua yang mereka fatwakan dari pendapat-pendapat mereka.
  • 34. Tujuan Pembuatan Hadits Palsu : 1. Fanatisme terhadap salah satu golongan politik Perpecahan umat Islam menjadikan tumbuhnya golongan- golongan fanatik buta hingga berani membuat hadits-hadits palsu,yang isinya mendukung tokoh-tokoh pada golongan tersebut,dan menjatuhkan golongan-golongan yang lain. 2. Untuk merusak agama Islam Dilakukan oleh kaum zindik,yaitu kaum yang tidak memiliki agama/kepercayaan (atheis) yang berkedok Islam dan menyimpan kedengkian dan kebencian yang mendalam kepada umat Islam.
  • 35. Mencari muka kepada para pembesar Cara ini dilakukan oleh para ahlu hikayah (tukang cerita) yang ingin mendapatkan kedudukan yang dekat dengan para penguasa dan pembesar ataupun untuk mendapatkan materi atau harta. Bertujuan untuk targhib wa Tarhib Targhib wa tarhib bermula dari tujuan yang baik,namun tidak disertai dengan pemahaman yang baik pula.Mereka yang menciptakan hadits palsu ini merupakan sekelompok orang yang menisbatkan dirinya sebagai seorang sufi. Hadits palsu yang mereka buat bertujuan untuk mengajak orang berbuat kebaikan atau kembali ke jalan yang lurus.Memang apa yang mereka lakukan merupakan tindakan yang baik,namun tanpa disadari mereka telah melakukan dusta besar pula yang mengatasnamakan Rasulullah SAW.
  • 36. Ciri–CiriHaditsperiodekeIV: 1. Hadits yang disusun dalam dewan-dewan Hadits, mencakup Hadits-hadits Rasul, fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi’in. 2. Kitab/dewan Hadits dalam periode ini, belum diklasifikasi/dipisah-pisah antara Hadits-hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’. 3. Kitab Hadits yang hanya menghimpun Hadits-hadits Nabi saja, hanyalah kitab yang disusun oleh Muhammad Ibnu Hazm. mengingat adanya instruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menyatakan: َ‫ع‬ ُ‫هللا‬ ‫ى‬َّ‫ل‬َ‫ص‬ ّ‫ل‬ْ‫و‬ُ‫س‬َّ‫ل‬‫ا‬ َ‫ث‬ْ‫ي‬ّ‫د‬َ‫ح‬ َّ‫ال‬ّ‫إ‬ ْ‫ل‬َ‫ب‬ْ‫ق‬َ‫ت‬ َ‫ال‬َ‫م‬َّ‫ل‬َََ‫و‬ ّ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬ “Janganlah kamu terima, selain dari Hadits Nabi saw. “ 4. Periode ini dimulai pada masa Khlifah Al Muktadir sampai Khalifah Al Muktashim. 5. Kekuasaan Islam Pada periode ini mulai melemah.
  • 37. -hadits yang dihimpun pada periode ini tidak sebanyak penghimpunan pada periode sebelumnya -
  • 38. Periode Kelima: Masa Mentasbihkan Hadits dan Penyusuran Kaidah-Kaidahnya
  • 39. Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa' -Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.
  • 40. Pada periode kelima ini muncullah seorang ulama yang terkenal ahli memiliki ilmu pengetahuan yang luas yaitu Imam Bukhari. Beliaulah yang mula-mula mengadakan perlawatan ke beberapa kota besar untuk mengumpulkan hadits. Di samping itu beliaulah yang pertama kali menentukan syarat-syarat untuk sebuah hadits yang akan dimasukkan dalam kitab shahihnya. Dikatakan pula bahwa Imam Bukhari di samping menetapkan persyaratan keshahihan secara umum, juga menetapkan persyaratan keshahihan secara pribadi. Yaitu bahwa antara seorang perawi yang menerima dan meriwayatkan hadits harus hidup dalam satu masa (mu'asharah) dan harus saling berjumpa (liqa). Tentang Tokoh-tokoh
  • 41. Dalam periode keempat sebagaimana telah dijelaskan di atas, dikatakan bahwa pemalsuan hadits lebih meluas. Hal ini disebabkan bukan hanya karena perbedaan politik dari ummat Islam sendiri, melainkan juga karena timbul dari golongan yang tidak suka terhadap kebangkitan dan kemajuan Islam. Mereka berusaha melemahkan Islam dengan melalui pemalsuan hadits. Kalau terhadap Al Qur'an sudah tertutup kemungkinan mereka melakukan pemalsuan, sedangkan terhadap hadits mereka masih menganggap mungkin dapat dipalsukan.
  • 42. Fungsi-fungsi Hadits 1. Bayan At-taqrir (Menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan dalm Al-Qur’an,dan memperkokoh isi Al-Qur’an). 2. Bayan At-tafsir (memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat- ayat Al-Quran yg masih global, memberikan persyaratan / batasan ayat-ayat Al-Quran yg bersifat mutlak dan mengkhususkan ayat Al-Quran yg bersifat umum. 3. Bayan at-Tasyri’ ( mewujudkan suatu hukum / ajaran-ajaran yg tidak didapati dalam Al-Quran. 4. Bayan An-Nasakh membatalkan / menghilangkan hukum syar’I dengan suatu dalil yg datang kemudian. 5. Sebagai hukum yg berdiri sendiri dan sebagai petunjuk bagi manusia .
  • 43. Bayan Taqrir Yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an: QS. Al-Baqarah : 185. ِ‫َّاس‬‫ن‬‫ل‬ِ‫ل‬ ‫ى‬ً‫د‬ُ‫ه‬ ُ‫ن‬‫آ‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫يه‬ِ‫ف‬ َ‫ل‬ِ‫ز‬‫ُن‬‫أ‬ َ‫ي‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ َ‫ن‬‫ا‬َ‫ض‬َ‫م‬َ‫ر‬ ُ‫ر‬ْ‫ه‬َ‫ش‬َ‫ف‬ ِ‫ان‬َ‫ق‬ْ‫ر‬ُ‫ف‬ْ‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ ‫ى‬َ‫د‬ُْ‫ْل‬‫ا‬ َ‫ن‬ِ‫م‬ ٍ‫ات‬َ‫ن‬ِ‫ي‬َ‫ب‬َ‫و‬َ‫د‬ِ‫ه‬َ‫ش‬ ‫ن‬َ‫م‬ َ‫ف‬َ‫س‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ْ‫َو‬‫أ‬ ً‫ا‬‫يض‬ِ‫ر‬َ‫م‬ َ‫ن‬‫ا‬َ‫ك‬‫ن‬َ‫م‬َ‫و‬ ُ‫ه‬ْ‫م‬ُ‫ص‬َ‫ْي‬‫ل‬َ‫ف‬ َ‫ر‬ْ‫ه‬َّ‫الش‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬‫ن‬ِ‫م‬‫ا‬ ُ‫د‬‫ي‬ِ‫ر‬ُ‫ي‬ َ‫ر‬َ‫خ‬ُ‫أ‬ ٍ‫م‬َّ‫َّي‬َ‫أ‬ ْ‫ن‬ِ‫م‬ ٌ‫ة‬َّ‫د‬ِ‫ع‬َ‫ف‬ ٍ‫ر‬ُ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ب‬ ُ‫ّلل‬ َ‫ة‬َّ‫د‬ِ‫ْع‬‫ل‬‫ا‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ل‬ِ‫م‬ْ‫ك‬ُ‫ت‬ِ‫ل‬َ‫و‬ َ‫ر‬ْ‫س‬ُ‫ْع‬‫ل‬‫ا‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ب‬ ُ‫د‬‫ي‬ِ‫ر‬ُ‫ي‬ َ‫ال‬َ‫و‬ َ‫ر‬ْ‫س‬ُ‫ْي‬‫ل‬‫ا‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬‫ا‬َ‫د‬َ‫ه‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫اّلل‬ ْ‫ا‬‫و‬ُِ‫ّب‬َ‫ك‬ُ‫ت‬ِ‫ل‬َ‫و‬ْ‫م‬ُ‫ك‬َّ‫ل‬ َ‫ن‬‫و‬ُ‫ر‬ُ‫ك‬ْ‫ش‬َ‫ت‬-١٨٥ -
  • 44. (Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari yang lain. Allah Menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak Menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. )
  • 45. Bayan Tafsir Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
  • 46. Bayan Taudhih Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam QS at-Taubah: 34, َ‫ي‬َ‫ل‬ ّ‫ان‬َ‫ب‬ْ‫ه‬ُّ‫الر‬َ‫و‬ ّ‫ر‬‫ا‬َ‫ب‬ْ‫َح‬‫أل‬‫ا‬ َ‫ن‬ّ ‫ى‬‫م‬ ‫ا‬‫ري‬ّ‫ث‬َ‫ك‬ َّ‫ن‬ّ‫إ‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ن‬َ‫آم‬ َ‫ين‬ّ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ه‬ُّ‫َي‬‫أ‬ َ‫َي‬َ‫و‬ ّ‫ل‬ّ‫اط‬َ‫ب‬ْ‫ل‬ّ‫ِب‬ ّ‫َّاس‬‫ن‬‫ال‬ َ‫ال‬َ‫و‬ْ‫َم‬‫أ‬ َ‫ن‬‫و‬ُ‫ل‬ُ‫ك‬ْ‫أ‬ََ ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫ن‬‫ُّو‬‫د‬ُ‫ص‬َ‫ي‬ّ ‫ى‬‫اّلل‬ ّ‫يل‬ّ‫ب‬ ‫ي‬ّ‫ب‬ََ ّ‫ِف‬ ‫ا‬َ‫ه‬َ‫ون‬ُ‫ق‬ّ‫نف‬ُ‫ي‬ َ‫ال‬َ‫و‬ َ‫ة‬َّ‫ض‬ّ‫ف‬ْ‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ َ‫ب‬َ‫ه‬َّ‫الذ‬ َ‫ن‬‫و‬ُ‫ز‬ّ‫ن‬ْ‫ك‬َ‫ي‬ َ‫ين‬ّ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ٍ‫م‬‫ي‬ّ‫َل‬‫أ‬ ٍ‫اب‬َ‫ذ‬َ‫ع‬ّ‫ب‬ ‫م‬ُ‫ه‬ْ‫ر‬ّ‫ى‬‫ش‬َ‫ب‬َ‫ف‬ ّ ‫ى‬‫اّلل‬ ّ‫ل‬-٣٤ - yang artinya sebagai berikut : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
  • 47. Dasar Penyelesaian Hadits: 1. Maqbul ( dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits shahih dan hadits hasan. 2. Mardud ( tidak dapat diterima sebagai pedoman ) yang mencakup hadits dha’if / lemah dan hadits maudhu’ / palsu.
  • 48. Ciri – Ciri Hadits Periode V : 1. Banyak kaum muslimin yang gemar berceritra (tukang-tukang kisah) juga belum mau menghentikan kegemarannya untuk membuat Hadits-hadits palsu guna memperkuat dan memperindah daya pikat kisah-kisahnya. 2. Kitab-kitab musnad berperan dalam menghimpun hadits-hadits Nabi berdasarkan nama Sahabat yang meriwatkannya, sehingga dengan demikian hadits-hadits Nabi terpelihara dari pencampur adukan dengan fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi’in. 3. Hadits yang disusun oleh penyusunnya dengan cara menghimpun Hadits-hadits yang berkualitas Shahih, sedang Hadits-hadits yang berkualitas tidak Shahih, tidak dimasukkan. 4. Banyaknya Ulama Hadits yang memberikan perhatian khusus kepada kitab-kitab Hadits tertentu. 5. Mulai pada akhir abad 3 H. Para penghafal hadits semakin berkurang
  • 49. 1. pengaruh kadar iman yang berbeda pada dada kaum mulimin melemah. 2. Akibat pencampuran ras dan berubahnya keadaan masyarakat dan kehidupan. 3. Makin banyaknya problema hidup dari masa ke masa dalam berbagai sektor kehidupan; sosial, ekonomi dan politik. 4. Tidak henti-hentinya terdapat serangan dari kaum yang yang sengaja merusak hadits dengan jalan mengburkan hadits-hadits yang sebenarnya. 5. Hadits berfungsi sebagai interpretasi al-Qur’an.
  • 50. Periode Keenam: Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.
  • 51. Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami'. Usaha ulama yang paling menonjol pada periode ini ialah menyusun hadits-hadits yang disesuaikan dengan bab-bab atau bagian-bagian yang disesuaikan dengan isi kandungan hadits itu sendiri. Misalnya hadits-hadits yang berhubungan dengan shalat dikelompokkan menjadi satu. Demikian pula hadits-hadits yang berhubungan dengan akhlak dikelompokkan menjadi satu. Demikian seterusnya pada hadits-hadits lainnya.
  • 52. Keadaan hadits pada periode keenam ini juga ditandai oleh adanya usaha perbaikan susunan kitab dan mengumpulkan hadits-hadits yang masih berserakan yang kemudian dikumpulkan dalam satu bab tertentu. Hal tersebut juga merupakan sumbangan yang besar bagi perkembangan dan pertumbuhan hadits periode-periode berikutnya. Dengan adanya usaha yang dilakukan pada periode keenam ini maka orang- orang yang ingin mempelajari atau mencari hadits yang sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapinya dapat dilakukan dengan mudah.
  • 53. 1. Mempelajarinya 2. Menghafalnya 3. Memeriksa dan menyelidiki sanad- sanadnya 4. Menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada tersebut.
  • 54. Karya Para Ulama : Kitab Athraf Yakni kitab Hadits yang hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan-matan Hadits tertentu kemudian menjelaskan seluruh Sanad dari matan itu.Misalnya: Athrafus Shahihaini, susunan Ibrahim Ad Dimasyqy (wafat th. 400 H),Athrafus Sunanil Arba’ah, susunan Ibnu Asakir Ad-Dimasyqy (571 H),Athraful Kutubis Sittah, susunan Muhammad Ibnu T’hahir Al-Maqdisy (507 H)
  • 55. Kitab Mustakhraj Yakni kitab Hadits yang memuat matan-matan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian si penyusun meriwayatkan matan-matan Hadits tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda. Misalnya: Mustakhraj Shahih Bukhari, susunan Juriany,Mustakhraj Shahih Muslim, susunan Abu Awanah (316 H), Mustakhraj Bukhari- Muslim, susunan Abu Bakar Ibnu Abdan As-Sirazy (388 H). Kitab Mustadrak Yakni kitab Hadits yang menghimpun Hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya. Misalnya: Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim (321- 405 H) Al-Ilzamat, susunan Ad-Daraquthny (306 – 385 H)
  • 56. Kitab Jami’ Yakni kitab Hadits yang menghimpun Hadits- hadits Nabi yang telah termuat dalam kitab- kitab yang telah ada. Misalnya: • Yang menghimpun Hadits-hadits Shahih Bukhari dan Muslim: Al-Jami’ bainas Shahihaini, susunan Ibnul Furat (Ismail Ibnu Muhammad) – (414 H). Al-Jamii bainas Shahihaini, susunan Muhammad Ibnu Nashr Al- Humaidy (488 H). • Yang menghimpun Hadits-hadits Nabi dari berbagai Kitab Hadits: Jami’ul Masanid wal Alqab, susunan Abdur Rahman Ibnu Ali Al- Jauzy (597 H). BahrulAsanid, susunan Al-Hasan Ibnu Ahmad As-Samarqandy (491 H).
  • 57. e. Kitab Berdasar Pokok Masalah Adapun kitab-kitab Hadits yang menghimpun Hadits-hadits Nabi berdasarkan masalah-masalah tertentu dari kitab-kitab Hadits yang ada, antara lain ialah: • Yang menghimpun Hadits-hadits Ahkam: As-Sunanul Kubra, susunan Al-Baihaqy (458 H). Al-Ahkamus Sughra, susunan Ibnu Khanat (582 H). Umdatul Ahkam, susunan Abdul Ghany Al-Maqdisy (600 H) • Yang menghimpun Hadits-hadits Targhib wat Tarhib (Hadits yang menerangkan keutamaan amal, menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang/dibenci). Seperti At-Targhib wat Tarhib, susunan Al-Mundziry (656 H).
  • 58. Ciri – Ciri Perkembangan Hadits Periode VI : a) Periode ini daulah Islamiyah mulai melemah dan akhimya runtuh, tetapi kegiatan Ulama dalam melestarikan Hadits tidaklah terlalu terpengaruh. b) Kitab-kitab Hadits yang telah berhasil disusun pada abad IV dan dari padanya dapat dijumpai Hadits-hadits Shahih di luar dari kitab-kitab Hadits abad III. c) Hadits hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan-matan Hadits tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu. d) Hadits yang memuat matan-matan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian si penyusun meriwayatkan matan-matan Hadits tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda. e) Hadits yang menghimpun Hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya. f) Menghimpun Hadits-hadits Nabi yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
  • 61. Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab fami' yang umum‘.
  • 62. Pada periode ini para ulama berusaha mengatur dan mengumpulkan hadits yang belum terdapat pada kitab-kitab hadits terdahulu. Kemudian mereka kumpulkan dalam sebuah kitab hadits yang disebut Kitab Zawaid (tambahan). Ulama pada periode ini juga berusaha mengumpulkan hadits dari beberapa kitab dan disusunnya dalam sebuah kitab yang mereka namakan dengan istilah kitab "Jawani yang umum". Dan ada pula yang mengumpulkan hadits yang dikaitkan dengan salah satu bidang permasalahan.
  • 63. Pada periode ini para ulama juga menyusun kitab-kitab yang merupakan syarah (keterangan) terhadap hadits-hadits yang sulit dipahami artinya. Dengan begitu memudahkan bagi masyarakat umum yang hendak mempelajarinya. Demikian pula usaha penerbitan buku-buku hadits pada periode ini berkembang pesat, terutama di India. Ulama India-lah yang banyak sahamnya dalam mengembangkan hadits karena kitab-kitab yang banyak beredar di masyarakat, pertama kali adalah di cetak di India. Demikian juga peranan Mesir pada waktu itu amat besar. Karena Mesir dijadikan tempat kegiatan untuk mengembangkan hadits. Mesir tempat berkumpulnya para ulama dalam kegiatan perkembangan hadits/ilmu hadits. Ringkasnya, mulai periode ketujuh ini telah banyak kitab-kitab hadits terkenal yang disusun dengan berbagai macam sistem yang semua itu dilakukan oleh para ulama Islam.
  • 64. Pada permulaan abad ketiga belas, Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali, mulai bangkit memulihkan kekuatannya dan berusaha mengembangkan kejayaan Mesir pada masa silam. Bertepatan dengan masa itu pula, kerajaan-kerajaan Eropa telah makin kuat dan ingin menguasai dunia. Kerajaan-kerajaan Eropa yang disemangati oleh perang salib itu, senantiasa berusaha untuk menumbangkan daulah Islamiyah dan menguasai kaum muslimin.
  • 65. Akhimya daulah Utsmaniyah runtuh lalu mereka taklukkan dan cahaya Islam makin meredup karena tekanan para penjajah. Sulitlah hubungan dari Mesir ke l4 ijaz atau ke Syam dan lain-lain, sehingga praktis hilanglah perlawatan para Ulama untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam akibat penjajahan bangsa Eropa terhadap daerah-daerah Islam tersebut. Ulama-ulama Islam barulah mampu mengadakan kontak antar mereka, setelah semangat kebangkitan Islam mulai tumbuh dan mendobrak belenggu penjajahan bangsa Eropa di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
  • 66. Keterangan: (Yang dimaksud dengan ijazah dalam hal ini adalah pemberian izin dari seorang syaikh (guru) kepada muridnya untuk meriwayatkan Hadits yang berasal dari padanya, baik yang tertulis ataupun yang hafalan, beserta kekurangan kekurangan dari riwayat tersebut. Yang dimaksud dengan mukatabah adalah pemberian catatan Hadits dari seorang syaikh/guru kepada orang yang ada di dekatnya atau orang yang jauh, baik catatan itu ditulis sendiri , oleh guru tersebut ataupun dengan cara disuruh orang lain untuk menuliskannya).
  • 67. Macam-Macam Kitab Hadits Pada Periode Ini a. Kitab jami’ antara lain: Jami’ul Masanid was Sunan, oleh Ibnu Katsir (774 H). Kitab ini merupakan himpunan dari Hadits-hadits yang terdapat di kitabnya Bukhari, Muslim, Abu Daud At Turmudzi, An-Nasa’iy, lbnu Majah, Ahmad, Al-Bazzar, Abu Ya’la dan At-Thabary.Dan Jami’ul Jawami’, oleh As-Suyuthy (911 H). Kitab ini menghimpun Hadits- hadits dari Al-Kutubus Sittah. B. Kitab yang membahas masalah tertentu, antara lain: • masalah hukum: Al-lmam fi Ahaditsil Ahkam, oleh lbnu Daqiqil ld (702 H),Taqribul Asanid wa Tartibul Masanid, oleh Al-Iraqy (806 H). • Targhib dan Tarhib, antara lain; Riyadush Shalihin, oleh Imam Nawawy (676 H). • Dzikir dan Do’a, antara lain:Al-Qaulul Badi’, oleh As-Sakhawy (902 H),Dan Al-Hishnul Hashin, oleh Muhammad Al-Jazary (833 H). • Kitab syarah:Syarah untuk Shahih Bukhari (Fathul Bary, oleh lbnu Hajar Al-Asqalany dan Irsyadus Sary, oleh Muhammad Al-Qasthalany (923 HUrv).
  • 68. Kitab - kitab baru yang selain dalam bentuk seperti yang telah ditempuh oleh Ulama sebelumnya,juga berupa: Kitab Syarah. Yakni, kitab Hadits yang di dalamnya dimuat uraian dan penjelasan kandungan Hadits dan kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil yang lain, baik dariAl-Qur’an, dari Hadits maupun dari kaidah-kaidah syara’ lainnya. Kitab Mukhtashar. Yakni kitab Hadits yang berisi ringkasan dari suatu kitab Hadits. Kitab Zaqa’id. Yakni kitab yang di dalamnya dihimpun Hadits-hadits yang terdapat pada suatu kitab tertentu dan Hadits tersebut tidak termaktub dalam kitab-kitab tertentu lainnya.
  • 69. Kitab Penunjuk (kode indeks) Hadits: Yakni kitab yang berisi petunjuk- petunjuk praktis, biasanya berupa kode-kode huruf dan angka tertentu, untuk mempermudah mendapatkan/mencari matan Hadits di kitab-kitab tertentu. Kitab Terjemah Hadits: Yakni kitab/buku pengalih bahasa kitab-kitab Hadits dari bahasa Arab ke bahasa lain, atau sebaliknya. Sejak akhir abad XIV H di lndonesia telah mulai kegiatan penerjemahan kitab-kitab Hadits ke dalam bahasa lndonesia, baik kitab jami’, kitab Hadits Ahkam, maupun kitab syarah.
  • 70. Miftah Kunuzis Sunnah oleh Prof. Dr. A.J. Winsink. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqy. Kitab ini memberi petunjuk untuk mencari matan-matan Hadits yang terdapat dalam 14 kitab Hadits (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Jami’ At- Turmudzi, Sunan An-Nasa’iy, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad-Darimy, Muwaththa’ Malil (Musnad Zaid bin Ali, Musnad Abu Daud At-Thayalisy, Musnad Ahmad, Thabaqah lbnu Saad, Sirah Ibnu Hisyam dan Al-Maghazy Al-Waqidy). • Al-It-hafatus Saniyyah, oleh Al-Mannawy. •Al-Kalimatut Tayyibah, oleh lbnu Taimiyah. • Adabul Ahaditsil Qudsiyah, oleh Dr. Ahmad As-Syarbashy.
  • 71. Ciri – Ciri Perkembangan Hadits periode VII: . 1. Periode ini disebut Masa pensyarahan,penghimpunan,pentakhrijan dan pembahasan 2. Banyak dilakukan secara syifahiyah (penyampaian dan penerimaan riwayat secara lisan/hafalan) 3. Penyampaian dan penerimaan riwayat/Hadits banyak dilakukan dengan jalan ijazah dan mukatabah 4. Sulitnya hubungan dari Mesir ke Hijaz atau ke Syam dan lain-lain, sehingga praktis hilanglah perlawatan para Ulama untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam akibat penjajahan bangsa Eropa terhadap daerah-daerah Islam tersebut. 5. Ulama-ulama Islam barulah mampu mengadakan kontak antar mereka, setelah semangat kebangkitan Islam mulai tumbuh dan mendobrak belenggu penjajahan bangsa Eropa di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
  • 72. 1. Menerbitkan isi kitab-kitab hadits 2. menyusun kitab-kitab takhrij 3. Membuat kitab-kitab jami’ 4. Mengumpulkan Hadits-hadits Hukum 5. Para Shahabat dan tabi’in aktif menerima hadits
  • 73. Keterangan: Click to… a) Riwayat hidup tokoh-tokoh hadits b)Hadits dalam menentukan hukum c) Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an d)Kedudukan Hadits Terhadap Al-Quran e) Keterangan Fungsi Hadits f) Penulisan Hadits g) Kesimpulan
  • 74. Riwayat hidup Imam Bukhari dan Imam Muslim
  • 75. Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari atau lebih dikenal Imam Bukhari (Lahir 196 H/810 M - Wafat 256 H/870 M) adalah ahli hadits yang termasyhur di antara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah bahkan dalam kitab-kitab Fiqih danHadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya. Bukhari memiliki daya hafal tinggi sebagaimana yang diakui kakaknya, Rasyid bin Ismail. Sosok beliau kurus, tidak tinggi, tidak pendek, kulit agak kecoklatan, ramah dermawan dan banyak menyumbangkan hartanya untuk pendidikan. Riwayat Hidup Imam Bukhari
  • 76. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci terutama Mekkah dan Madinah, dimana dikedua kota suci itu dia mengikuti kuliah para guru besar hadits. Pada usia 18 tahun dia menerbitkan kitab pertama Kazaya Shahabah wa Tabi'in, hafal kitab-kitab hadits karya Mubarak dan Waki bin Jarrah bin Malik. Bersama gurunya Syekh Ishaq, menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80.000 perawi disaring menjadi 7275 hadits.
  • 77. Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami'al-Shahil yang dikenal sebagai Shahih Bukhari. Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim. Kazaya Shahabah wa Tabi'in Kitab al-Ilal Raf'ul Yadain fi ash-Shalah Birr al-Walidain Kitab ad-Du'afa Asami ash-Shahabah Al-Hibah Khalq Af'al al-Ibad Al-Kuna Al-Qira'ah Khalf al-Imam Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari Al-Adab al-Mufrad Adh-Dhu'afa ash-Shaghir At-Tarikh ash-Shaghir At-Tarikh al-Ausath At-Tarikh al-Kabir At-Tafsir al-Kabir Al-Musnad al-Kabir Karya Imam Bukhari
  • 78. Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Di antara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
  • 79. Riwayat Imam Muslim Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an- Naisaburi(bahasa Arab: ‫النيشابوري‬ ‫القشيري‬ ‫الحجاج‬ ‫بن‬ ‫مسلم‬ ‫الحسين‬ ‫,)أبو‬ atau sering dikenal sebagai Imam Muslim (821-875) dilahirkan pada tahun 204 Hijriah dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 Hijriah dan dikuburkan di Naisaburi. Ia belajar hadis sejak masih dalam usia dini, yaitu mulai tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu `Ansan. Di Irak ia belajar hadis kepada Imam Ahmad dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa`id bin Mansur dan Abu Mas`Abuzar; di Mesir berguru kepada `Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadis yang lain.
  • 80. Beliau berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama- ulama ahli hadis, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H, di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, beliau sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadis-hadis yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadis dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadis-hadis yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
  • 81. KaryaImamMuslim 1. Al-Jami` ash-Shahih atau lebih dikenal sebagai Sahih Muslim 2. Al-Musnad al-Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadis) 3. al-Asma wal-Kuna 4. al-Ilal 5. Al-Aqran 6. Su`alatihi Ahmad bin Hambal 7. al-Intifa` bi Uhubis-Siba` 8. al-Muhadramin 9. Man Laisa Lahu illa Rawin Wahid 10.Auladish-Shahabah 11.Auhamil-Muhadditsin Back to …
  • 82. Hadits Dalam Menentukan Hukum Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an.
  • 83. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al- hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum
  • 84. Atas dasar pertimbangan tersebut,fungsi Al-Sunnah terhadap Al- Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
  • 85. Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
  • 86. َ‫ب‬ُ‫ت‬ّ‫ل‬ َ‫ر‬ْ‫ك‬ّ‫ى‬‫ذ‬‫ال‬ َ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬ّ‫إ‬ ‫ا‬َ‫ن‬ْ‫ل‬َ‫َنز‬‫أ‬َ‫و‬ ّ‫ر‬ُ‫ب‬ُّ‫الز‬َ‫و‬ ّ‫ات‬َ‫ن‬ّ‫ى‬‫ي‬َ‫ب‬ْ‫ل‬ّ‫ِب‬َّ‫ل‬َ‫ع‬َ‫ل‬َ‫و‬ ْ‫م‬ّ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫ل‬ّ‫إ‬ َ‫ل‬ّ‫ى‬‫ز‬ُ‫ن‬ ‫ا‬َ‫م‬ ّ‫َّاس‬‫ن‬‫ل‬ّ‫ل‬ َّ‫ى‬‫ّي‬َّ‫ك‬َ‫ف‬َ‫ت‬َ‫ي‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬َ‫ن‬‫و‬ُ‫ر‬-٤٤ - “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (An-Nahl: 44)
  • 87. Apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan ّ‫إ‬ ّ‫ه‬ْ‫ي‬َ‫اح‬َ‫ن‬َ ّ‫ِب‬ ُ‫ري‬ّ‫ط‬َ‫ي‬ ٍ‫ر‬ّ‫ائ‬َ‫ط‬ َ‫ال‬َ‫و‬ ّ‫ض‬ْ‫َر‬‫أل‬‫ا‬ ّ‫ِف‬ ٍ‫ة‬َّ‫ب‬‫آ‬َ‫د‬ ‫ن‬ّ‫م‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬‫ا‬َّ‫م‬ ‫م‬ُ‫ك‬ُ‫ل‬‫ا‬َ‫ث‬ْ‫َم‬‫أ‬ ٌ‫م‬َ‫ُم‬‫أ‬ َّ‫ال‬ ُ‫ر‬َ‫ش‬ُْ‫ُي‬ ْ‫م‬ّّ‫ى‬‫ّب‬َ‫ر‬ َ‫َل‬ّ‫إ‬ َُّ‫ُث‬ ٍ‫ء‬ْ‫ي‬َ‫ش‬ ‫ن‬ّ‫م‬ ّ‫اب‬َ‫ت‬ّ‫الك‬ ّ‫ِف‬ ‫ا‬َ‫ن‬ْ‫ط‬َّ‫ر‬َ‫ف‬َ‫ن‬‫و‬-٣٨ - “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung- burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al- Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al-An’am : 38)
  • 88. Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
  • 89. Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
  • 90. Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al- Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.
  • 91. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an Hadits merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an, yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan Hadits tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara Hadits dengan Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri.
  • 92. Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada Hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional.
  • 93. Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam Islam adalah firman Allah dalam Al-Qur’an surah An- Nisa’: 80 = َ‫اع‬َ‫ط‬َ‫أ‬ ْ‫د‬َ‫ق‬َ‫ف‬ َ‫ول‬ََُّ‫الر‬ ّ‫ع‬ّ‫ط‬ُ‫ي‬ ْ‫ن‬َ‫م‬ََّ‫اّلل‬ … “Barangsiapa yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh…”
  • 94. Dalam ayat lain Allah berfirman QS. Al-Hasyr:7 َ‫ف‬ ُ‫ه‬ْ‫ن‬َ‫ع‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬‫ا‬َ‫ه‬َ‫ن‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ ُ‫وه‬ُ‫ذ‬ُ‫خ‬َ‫ف‬ ُ‫ول‬ََُّ‫الر‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬َ‫َت‬َ‫آ‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬‫ا‬‫و‬ُ‫ه‬َ‫ت‬ْ‫ان‬ “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”
  • 95. Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman : ُ‫أ‬َ‫و‬ َ‫ول‬ُ‫س‬َّ‫الر‬ ‫وا‬ُ‫يع‬ِ‫َط‬‫أ‬َ‫و‬ ََّ‫اّلل‬ ‫وا‬ُ‫يع‬ِ‫َط‬‫أ‬ ‫وا‬ُ‫ن‬َ‫َم‬‫آ‬ َ‫ين‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ه‬ُّ‫َي‬‫أ‬ َ‫َّي‬َ‫ش‬ ِ‫ِف‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ع‬َ‫از‬َ‫ن‬َ‫ت‬ ْ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ن‬ِ‫م‬ ِ‫ر‬ْ‫م‬َْ‫اْل‬ ِ‫وِل‬ُ‫ُّوه‬‫د‬ُ‫ر‬َ‫ف‬ ٍ‫ء‬ْ‫ي‬ ِ‫ول‬ُ‫س‬َّ‫الر‬َ‫و‬ َِّ‫اّلل‬ َ‫َل‬ِ‫إ‬ … “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…” Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya berpedoman pada Al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib berpedoman kepada Hadits Rasulullah Saw.
  • 96. Kedudukan Hadits Terhadap Al-Quran Kedudukan hadits dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam, menurut jumhur ulama, adalah menempati posisi kedua setelah Al- Qur’an. Hal tersebut terutama ditinjau dari segi wurut atau tsubutnya Al- Qur’an adalah barsifat Qat’i. Sedangkan hadits, kecuali yang berstatus mutawatir, sifatnya adalah Zhanni al-wurut. Oleh karnanya, yang bersifat qath’i (pasti) didahulukan dari pada yang zhanni (relative).
  • 97. Untuk lebih jelasnya, berikut akan diuraikan argument yang dikemukakan para ulama tentang posisi hadits terhadap Al-Qur’an tersebut : Al-Qur’an dengan sifatnya qath’i al-wurut (keberadaannya yang pasti dan diyakini), baik secara ayat perayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnyalah kedudukannya lebih tinggi dari pada hadits yang statusnya secara hadits perhadits, kecuali yang berstatus mutawatir, adalah bersifat al-Wurud.
  • 98. Hadits berfungsi sebagai penjelas dan panjabar (bayan) terhadap AL-Qur’an. Ini adalah dijelaskan (al-mubayyan), yakni AL-Qur’an, kedudukannya adalah lebih tinggi dari pada penjelasan (al-bayan), yakni Hadits. Secara logis dapat dipahami bahwa penjelas (al-bayan) tidak perlu jika ada sesuatu yang dijelaskan (al-mubayyan) tidak ada: akan tetapi jika tidak ada al-bayan hal itu tidak berati bahwa al-mubayyan juga tidak ada. Dengan demikian, eksentesi dan keberadaan Hadits sebagai al-bayan tergantung kepada eksistensi AL-Qur’an sebagai al-mubayyan, dan hal ini menujukkan di dahulukannya AL-Qr’an dari Hadits dalam hal status dan tingkatannya.
  • 99. ِ‫آن‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫ِف‬ ِ‫م‬ْ‫ك‬ُْ‫ْل‬‫ا‬ ُ‫د‬ْ‫ي‬ِ‫ك‬ْ‫أ‬َّ‫ت‬‫ل‬َ‫ا‬ (Memperkuat aturan hukum pada ayat-ayat Al-Qur’an) Hadits menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya : QS. Al. Baqarah : 183 ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫ب‬ِ‫ت‬ُ‫ك‬‫ا‬َ‫م‬َ‫ك‬ُ‫ام‬َ‫ي‬ِ‫الص‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫ب‬ِ‫ت‬ُ‫ك‬ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ن‬َ‫آم‬ َ‫ين‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ ‫ا‬َ‫ه‬ُّ‫َي‬‫أ‬ َ‫َّي‬َ‫ن‬‫و‬ُ‫ق‬َّ‫ت‬َ‫ت‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َّ‫ل‬َ‫ع‬َ‫ل‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ل‬ْ‫ب‬َ‫ق‬ ‫ن‬ِ‫م‬ َ‫ين‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬-١٨٣ - Artinya : ” 183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut, Islam didirikan atas lima perkara: “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
  • 100. ‫ا‬ِ‫آن‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫ِف‬ ِ‫م‬ْ‫ك‬ُْ‫ْل‬‫ا‬ ُ‫ر‬ْ‫ي‬ِ‫س‬ْ‫ف‬َّ‫لت‬ (Merinci dan menjelaskan aturan hukum pada ayat-ayat Al-Qur’an) Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global.Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat : QS. Al Baqarah : 110 ْ‫ن‬ِ‫م‬ ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫س‬ُ‫ف‬‫ن‬َ‫ْل‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫م‬ِ‫د‬َ‫ق‬ُ‫ت‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ َ‫ة‬‫ا‬َ‫ك‬َّ‫الز‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ت‬‫آ‬َ‫و‬ َ‫ة‬َ‫ال‬َّ‫الص‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫يم‬ِ‫َق‬‫أ‬َ‫و‬َِ‫ب‬ َ‫اّلل‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬ ِ‫اّلل‬ َ‫د‬‫ن‬ِ‫ع‬ ُ‫وه‬ُ‫د‬َِ‫َت‬ ٍْ‫ْي‬َ‫خ‬ْ‫ع‬َ‫ت‬ ‫ا‬ٌ‫ْي‬ِ‫ص‬َ‫ب‬ َ‫ن‬‫و‬ُ‫ل‬َ‫م‬ -١١٠ - Artinya : ”110. Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib dan sunah.
  • 101. ِ‫آن‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫ِف‬ ِ‫م‬ْ‫ك‬ُْ‫ْل‬‫ا‬ ُ‫ص‬ْ‫ي‬ِ‫ص‬ْ‫خ‬َّ‫ت‬‫ل‬َ‫ا‬ Mengecualikan dan mengkhususkan aturan hukum pada ayat- ayat Al-Qur’an Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah: QS. Al Maidah : 3 َّ‫ل‬ِ‫ُه‬‫أ‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ ِ‫ر‬‫ي‬ِ‫ز‬ْ‫ن‬ِْ‫اْل‬ ُ‫م‬َْ‫ْل‬َ‫و‬ ُ‫م‬َّ‫ْد‬‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ ُ‫ة‬َ‫ت‬ْ‫ي‬َ‫ْم‬‫ل‬‫ا‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ْ‫ت‬َ‫م‬ِ‫ر‬ُ‫ح‬ْ‫و‬َ‫ْم‬‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ ُ‫ة‬َ‫ق‬ِ‫ن‬َ‫خ‬ْ‫ن‬ُ‫ْم‬‫ل‬‫ا‬َ‫و‬ ِ‫ه‬ِ‫ب‬ ِ‫اّلل‬ ِْ‫ْي‬َ‫غ‬ِ‫ل‬َ‫و‬ ُ‫ة‬َ‫ذ‬‫و‬ُ‫ق‬ُ‫ة‬َ‫ي‬ِ‫د‬َ‫ر‬َ‫ت‬ُ‫ْم‬‫ل‬‫ا‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫ح‬ِ‫ب‬ُ‫ذ‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ي‬َّ‫ك‬َ‫ذ‬ ‫ا‬َ‫م‬ َّ‫ال‬ِ‫إ‬ ُ‫ع‬ُ‫ب‬َّ‫الس‬ َ‫ل‬َ‫ك‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫م‬َ‫و‬ ُ‫ة‬َ‫يح‬ِ‫َّط‬‫ن‬‫ال‬َ‫و‬َ‫ذ‬ ِ‫م‬َ‫ال‬ْ‫ز‬َ‫ْل‬ِ‫ِب‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫م‬ِ‫س‬ْ‫ق‬َ‫ت‬ْ‫س‬َ‫ت‬ ‫َن‬‫أ‬َ‫و‬ ِ‫ب‬ُ‫ُّص‬‫ن‬‫ال‬ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ل‬ٌ‫ق‬ْ‫س‬ِ‫ف‬ َ‫ش‬ْ‫خ‬‫ا‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬ْ‫و‬َ‫ش‬َْ‫َت‬ َ‫ال‬َ‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ِ‫ين‬ِ‫د‬ ‫ن‬ِ‫م‬ ْ‫ا‬‫و‬ُ‫ر‬َ‫ف‬َ‫ك‬ َ‫ين‬ِ‫ذ‬َّ‫ل‬‫ا‬ َ‫س‬ِ‫ئ‬َ‫ي‬ َ‫م‬ْ‫و‬َ‫ْي‬‫ل‬‫ا‬َْ‫َت‬‫أ‬َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ين‬ِ‫د‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ل‬ ُ‫ْت‬‫ل‬َ‫م‬ْ‫ك‬َ‫أ‬ َ‫م‬ْ‫و‬َ‫ْي‬‫ل‬‫ا‬ ِ‫ن‬ْ‫و‬ْ‫م‬ْ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ي‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ُ‫ت‬ ٍ‫ة‬َ‫ص‬َ‫م‬َْ‫َم‬ ِ‫ِف‬ َّ‫ر‬ُ‫ط‬ْ‫ض‬‫ا‬ ِ‫ن‬َ‫م‬َ‫ف‬ ً‫ا‬‫ين‬ِ‫د‬ َ‫م‬َ‫ال‬ْ‫س‬ِ‫إل‬‫ا‬ ُ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ل‬ ُ‫يت‬ِ‫ض‬َ‫ر‬َ‫و‬ ِ‫ِت‬َ‫م‬ْ‫ع‬ِ‫ن‬‫و‬ُ‫ف‬َ‫غ‬ َ‫اّلل‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ ٍْ‫ْث‬ِِ‫إل‬ ٍ‫ف‬ِ‫ان‬َ‫ج‬َ‫ت‬ُ‫م‬ َ‫ر‬ْ‫ي‬َ‫غ‬ٌ‫ر‬ٌ‫يم‬ِ‫ح‬َّ‫ر‬- ٣-
  • 102. Artinya : ”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
  • 103. Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.” (HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni) Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa).
  • 104. ‫آن‬ْ‫ر‬ُ‫ق‬ْ‫ل‬‫ا‬ ِ‫ِف‬ ُ‫م‬َ‫د‬َ‫ْع‬‫ل‬َ‫ا‬ ِ‫م‬ْ‫ك‬ُْ‫ْل‬‫ا‬ ُ‫ر‬ْ‫ي‬ِ‫ر‬ْ‫ق‬َّ‫لت‬َ‫ا‬ Menetapkan aturan hukum tersendiri yang belum diatur oleh Al-Qur’an Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al- Qur’an. Hukum yang terjadi adalah merupakan produk Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya: seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki. menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an.,untuk fungsi al quran yg ini para ulama berbeda pendapat, tetapi perbedaan itu, bukanlah tentang wujudnya hukum yang telah ditetapkan oleh hadits itu, tetapi berkisar pada masalah apakah hukum dari hadits itu berada di luar hukum- hukum al-Qur’an, ataukah memang telah tercakup juga oleh nash-nash al- Qur’an secara umum.
  • 105. Keterangan Fungsi Hadits Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia mempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al- Qur`an. Hal ini karena, Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”
  • 106. Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan bahwa : “Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”. Menurut Ahmad hanafi “Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur’an,merupakan hukum yang berdiri sendiri.”
  • 107. Sikap para sahabat yang merujuk kepada Al-Qur’an terlebih dahulu apabila mereka bermaksud mencari jalan keluar atas suatu masalah, dan jika dalam Al-Qur’an tidak ditemu penjelasannya, barulah mereka berujuk kepada As-Sunnah yang mereka ketahui, atau menayakan Hadits kepada sahabat yang lain.
  • 108. Kedudukan hadis nabi SAW berada pada peringkat kedua setelah Al-qur’an. Meskipun demikian, hal tersebut tidaklah mengurangi nilai Hadits, karena keduanya pada hakikatnya berasal dari wahyu Allah SWT . Karenanya keduanya adalah seiring dan sejalan. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan dan memerintahkan agar kita bersikap patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan kepatuhan kita kepada Rasul-Nya adalah bukti atas kepatuhan kita kepada Allah SWT.
  • 109. ibn Hazmi berkomentar bahwa ketika kita menjelaskan Al-Qur’an sebagai sumber hukum syara’, maka didalam Al-Qur’an itu sendiri terdapat keterangan Allah SWT yang mewajibkan kita taat kepada Rasul-Nya dan berhubungan dengan hukum syara’ yang pada dasarnya adalah wahyu yang datang dari Allah SWT juga hal tersebut termuat didalam firman Allah, dalam surat Al- Najm ayat: 3-4.
  • 110. Penulisan Hadits Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulisdan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka.
  • 111. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajari anak- anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota Mekah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.
  • 112. Pada masa Nabi, tulis- menulis sudah tersebar luas. Apalagi Al-Quran menganjurkan untuk belajardan membaca. Rasulullah pun menga-lgkat para penulis wahyu hingga jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab At- Taratib Al-Idariyyah. Baladzuri dalam kitab Futuhul Buldan menyebutkan sejumlah penulis wanita, di antaranya Ummul Mu'minin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa' binti Abdullah Al¬Qurasyiyah, `Aisyah binti Sa'ad, dan Karimah binti AI-Miqdad.
  • 113. Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah setelah Perang Badar. Nabi menyuruh Abdullah bin Sa'id bin ‘Ash agar mengajar menulis di Madiah, sebagaimana disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam Al- Isti'ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli `Abdullah bin Sa'id bin Al-'Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama `Abdullah,dan menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah. Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam sependapat bahwa Al-Quran Al-Karim telah memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabat untuk menghapalkan Al-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan sebagainya.
  • 114. Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat suci Al-Quran pun telah lengkap ditulis, tetapi belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak diperintahkan oleh Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.
  • 115. Kesimpulan Walaupun diakui hafalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan, dan konon orang-orang Arab terkenal mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi, bahkan para penghafal masih banyak yang beranggapan bahwa penulisan hadis tidak diperkenankan, namun ternyata tradisi penulisan hadis sudah dilakukan sejak zaman Nabi.
  • 116. Tradisi tulis hadis memang sudah ada sejak masa Nabi, tapi bukan berarti semua hadis Nabi sudah dibukukan sejak zaman Nabi tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari tidak dibukukannya hadis secara resmi saat itu, sedang sahabat yang menulis hadis itu lebih didorong oleh keinginan dirinya sendiri. Padahal koordinasi antara sahabat untuk merekam seluruh aspek kehidupan Nabi tidak ditemukan tanda-tandanya.
  • 117. Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, di kala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
  • 118. Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan menaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.