1. Satunegeri.com -- KTT ASEAN telah meluncurkan pakta perdagangan bebas antara ASEAN dan
enam negara kawasan di Phnom Penh, Kamboja, Selasa (20/11), mencakup sektor jasa. Pakta
perdagangan bebas yang disebut Kerja Sama Ekonomi Regional Komprehensif (Regional
Comprehensive Economic Partnership) tersebut diluncurkan pada hari terakhir Konferensi Tingkat
Tinggi Ke-21 ASEAN di Phnom Penh, 15-20 November.
Sebagai konsekuensi, perdagangan bebas juga akan mencakup sektor jasa. Kondisi ini akan
menjadikan ASEAN menjadi incaran sektor jasa tenaga kerja dari India dan China.
"Pakta perdagangan bebas ini membuka peluang bagi pekerja asing dari negara yang ikut dalam
pakta ini untuk bekerja di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia," kata Menteri Perdagangan
RI Gita Irawan Wirjawan.
Namun, Gita di sela-sela KTT menegaskan, perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dan India
yang sudah ditandatangani dan berjalan selama ini sebatas pada barang. Untuk sektor jasa belum
dan masih negosiasi. Targetnya, pembahasan selesai pada ASEAN-India Commemorative Summit
pada 20-21 Desember.
Menurut Gita, negosiasi perdagangan bebas sektor jasa sudah berlangsung setahun lebih dan
berjalan alot karena beda kepentingan antara India dan ASEAN.
"India ingin ASEAN membuka sektor jasa seluas-luasnya," kata Gita. India menyebutkan bahwa
mereka ingin memasukkan independent professional service ke ASEAN. Persoalannya, konsep
tersebut tidak jelas batasannya sehingga dikhawatirkan mengambil kesempatan kerja buruh
domestik. India punya potensi penetrasi pasar jasa ke ASEAN. Sementara ada beberapa negara
yang belum siap berkompetisi.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi mengingatkan
pemerintah agar memikirkan daya saing industri Indonesia di
masa depan.
"Pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang populis semata- mata untuk kepentingan jangka
pendek," kata Sofjan. Tanpa persiapan matang, kata Sofjan, pekerja Indonesia bakal menjadi
penonton saat kesepakatan pasar ASEAN berjalan. Pekerja-pekerja asing akan memasuki pasar
kerja Indonesia yang semestinya bisa diisi oleh pekerja lokal.
Pengawasan ketenagakerjaan yang lemah akibat otonomi daerah menyebabkan banyak ekspatriat
memegang jabatan yang semestinya diisi oleh pekerja lokal. Pemahaman kepala daerah terhadap
masalah ketenagakerjaan yang rendah membuat banyak posisi kepala dinas ketenagakerjaan diisi
oleh pejabat yang tidak kompeten.
Iman Pambagyo menambahkan, ASEAN bersedia membuka sektor jasa dengan batasan tertentu.
Jenis tenaga kerja yang dibuka sebatas pada level direktur, manajer, dan spesialis.
2. Gita menambahkan, pada prinsipnya, pemerintah hanya mau mengedepankan apa pun yang harus
dikedepankan selama itu dalam batas wajar. "Kalau tak beralasan, ya, kita harus menjaga prinsip-
prinsip agar Indonesia tidak terlalu terbuka dan industri kita juga tidak terdampak karena
belum siap,‖ ujar Gita.
Berkenaan dengan daya saing tenaga kerja, pemerintah perlu mengkaji kembali kasus kerusuhan
buruh galangan kapal PT Drydocks World Graha di Batam. Letupan kerusuhan buruh galangan
kapal PT Drydocks World Graha di Batam, Kepulauan Riau, pada 23 April 2010 bisa menjadi
pelajaran. Akumulasi kekesalan karena banyak ekspatriat asal India menjabat posisi yang
sebenarnya bisa diisi pekerja lokal memicu keributan ini.Perusahaan tersebut mempekerjakan
sedikitnya 270 ekspatriat, sampai jabatan supervisor, posisi yang bisa diisi oleh pekerja lokal.
Berbagai kesenjangan ini lambat laun memicu konflik.
SBY: RI Harus Siap Hadapi Pasar Bebas Asean
Jum'at, 27 Juli 2012 16:16 wib
Logo ASEAN
JAKARTA - Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan semua negara anggota ASEAN harus siap
mengikuti tantangan perekonomian yang baru ketika menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) di 2015
mendatang.
Kesiapan yang dimaksud, kata dia, meliputi daya saing, kebijakan dan regulasi manakala terjadi integrasi
perekonomian di kawasan Asia Tenggara.
"Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan dunia usaha sama-sama bekerja sama untuk siapkan diri hadapi integrasi
ASEAN," kata Presiden, di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (27/7/2012).
Sementara itu, terkait investasi, Presiden menuturkan, diperlukan adanya kerja sama dengan partner lokal yang telah
berinvestasi di luar negeri. Langkah itu, kata dia, digunakan untuk mengembangkan industri Teknologi Informasi
(TI).
Kalau hal tersebut bisa berkembang, maka dalam dua sampai tiga tahun mendatang, akan menghasilkan tiga
keuntungan yakni terciptanya lapangan pekerjaan, hasil produksinya akan sangat berguna bagi sektor pendidikan,
3. pemerintahan, dan bisnis.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Chatib Basri menambahkan tolak ukur keberhasilan
pencapaian investasi adalah tren realisasi investasi yang terus meningkat. Dia mengaku, saat ini realisasi investasi
dalam negeri memang masih lebih rendah dibandingkan asing.
Namun, investor asing lebih mudah mendapatkan akses pendanaan. Untuk itu, pihaknya akan melakukan koordinasi
dengan Bank Indonesia (BI) untuk mengatasi masalah tersebut.
"Ini sebenarnya wewenang BI. BI juga sudah lakukan berbagai upaya termasuk ekspansi kredit besar yang bisa
mendorong investasi," ucapnya.
Adapun dari sisi perdagangan, Presiden menyatakan, hampir semua negara masuk dalam mekanisme perjanjian
perdagangan bebas (free trade agreement /FTA), baik secara bilateral maupun regional. Chatib menegaskan, yang
dituju oleh Indonesia bukan hanya FTA, tetapi juga kerjasama ekonomi yang komprehensif yang terdiri dari
investasi dan perdagangan.
"Apapun kerjasama itu, kita pastikan kita siap dan betul-betul membawa manfaat yang nyata," tambahnya.
Menteri Perindustrian MS Hidayat dalam sidang tersebut mengatakan, Presiden menginstrusikan agar seluruh
kementerian mendukung peningkatan industri manufaktur di Indonesia merupakan lokomotif terciptanya lapangan
kerja. Masalah yang masih dihadapi oleh industri saat ini adalah mengenai ketersediaan lahan industri. Di seluruh
Indonesia, kata dia, sudah ada 25 ribu hektare (ha) dan 16 ribu dari lahan itu sudah siap untuk digunakan sebagai
kawasan industri.
"Khusus untuk pulau Jawa, okupansinya 100 persen dan dibutuhkan tambahan lahan untuk dijual dengan tambahan
infrastrukturnya dan saya akan koordinasi dengan Kemenkeu dan instansi lain agar pembangunan infrastrukturnya
bisa dipercepat," jelas dia.
"Setelah masalah produksi, bicara masalah distribusi. Kalau di dalam kawasan industri, kita prioritaskan akses
langsung ke pelabuhan dan jalur kereta api diaktifkan dan membangun pelabuhan baru," tandasnya. (gna)
(Sandra Karina/Koran SI/rh
Perdagangan Bebas ASEAN Jilid II
Oleh: A.P. Edi Atmaja. Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN Ke-21 yang digelar di Phnom Penh,
Kamboja, pada 18-20 November 2012 lalu membicarakan sejumlah persoalan penting, mulai dari hak asasi manusia
(HAM), tumpang-tindih kedaulatan, hingga pertumbuhan ekonomi kawasan.
Dalam konferensi tingkat tinggi tahunan itu, Indonesia setuju untuk menandatangani kesepakatan kerjasama menuju
Komunitas ASEAN 2015 dan Kemitraan Ekonomi Regional Komprehensif (Regional Comprehensive Economic
Partnership/RCEP).
4. Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 mensyaratkan pemberlakuan pasar bersama pada 2015 di antara sepuluh negara
anggota ASEAN, yakni Kamboja, Indonesia, Brunei, Malaysia, Singapura, Vietnam, Laos, Thailand, Filipina, dan
Myanmar.
Sementara RCEP mencakup kerjasama ekonomi negara-negara ASEAN dengan enam negara mitra dialog, meliputi
Jepang, India, China, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Kerangka RCEP juga memuat pakta perdagangan
bebas yang direncanakan berlaku mulai tahun 2016.
Indonesia mesti segera bersiap menuju perdagangan bebas ASEAN jilid kedua itu. Soalnya, waktu yang tersisa paling
tidak tinggal tiga tahun lagi. Mampukah Indonesia bersaing dengan macan-macan Asia semacam Jepang, India, Korea
Selatan, atau dengan negara ekonomi-terkuat kedua dunia seperti China?
Namun, jauh sebelum itu semestinya dipikirkan, dipertanyakan, kemudian dipastikan: bisakah Indonesia memenangi
persaingan regional dengan sesama negara anggota ASEAN?
Pandai Bersiasat
Selama ini, Indonesia seolah-olah memaksakan diri turut bermain dalam arena persaingan global yang tak mengenal
belas kasihan. Beragam perjanjian kerjasama ekonomi ditandatangani dengan dalih memperkuat hubungan
diplomatis di kawasan regional ataupun internasional.
Kenyataannya, justru negara lainlah yang memperoleh peluang untuk menangguk keuntungan sebesar-besarnya di
pasar luas dengan tenaga kerja murah seperti Indonesia. Rakyat Indonesia, sebagian besarnya, hanya menjadi
penonton atau konsumen yang diperas habis-habisan.
Pengalaman mengadopsi pakta perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) mengajarkan kepada kita untuk meninjau
ulang persiapan yang selama ini telah kita lakukan. Kurangnya sosialisasi dan persiapan kita waktu itu membuat
produk China membeludak di pasaran bahkan merajai pasar-pasar tradisional tanpa pernah bisa ditangkis apalagi
didominasi produk domestik.
Akhirnya, Indonesia memutuskan untuk menegosiasi ulang sejumlah sektor perdagangannya dengan China. China
pun sempat melayangkan protes lantaran tindakan alamiah pemerintah Indonesia untuk melakukan perlindungan
terhadap produk dalam negeri dituduh China bertentangan dengan prinsip-prinsip umum perdagangan internasional.
Dalam hukum perdagangan internasional, memang dikenal prinsip-prinsip umum yang termaktub dalam Perjanjian
Umum dalam Tarif dan Perdagangan Barang (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT) dan Perjanjian Umum
dalam Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade in Services/GATS)—keduanya merupakan kerangka hukum
yang dijamin Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO).
Prinsip-prinsip umum itu antara lain, pertama, negara importir dilarang memberi perlakuan khusus atau melakukan
5. pembedaan terhadap produk-produk negara anggota WTO (most-favoured nations). Kedua, negara importir mesti
memperlakukan produk impor sama dengan produk nasional (national treatment).
Ketiga, perlindungan negara terhadap produk nasionalnya adalah hanya dengan melalui tarif, selain itu dilarang
(protection through tariff). Keempat, perlakuan negara terhadap mitra dagang dari negara lain haruslah bersifat
timbal-balik (reciprocity), khususnya dalam hal tarif bea masuk barang.
Kelima, perlakuan khusus dan berbeda bagi Negara Berkembang. Prinsip ini bersifat non-resiprosikal, yang untuk
mendapatkannya mesti memenuhi persyaratan tertentu (generalyzed system of preferences/GSP) (Priyono, 2012: 9-
22).
Indonesia mesti pandai-pandai menyiasati prinsip-prinsip umum perdagangan internasional yang sarat nuansa
liberalisasi itu. Indonesia sebagai anggota WTO mesti menaati segala persetujuan yang telah dilakukan dalam saban
perundingan (round) WTO. Tapi, di sisi lain, pemerintah mesti melindungi kepentingan nasional, membela produsen
domestik, bagaimana pun caranya.
Alternatif yang Menjanjikan
Dewasa ini, pasar Asia Tenggara, terutama Indonesia, demikian strategis di kancah global. Resesi yang kini melanda
Eropa dan Amerika membuat banyak investor melirik Asia. Buktinya, pertumbuhan ekonomi China dan Indonesia
representasi Asia yang kian menguat tatkala negara-negara Eropa dan Amerika mengalami kelesuan.
Asia Tengah dan Timur Tengah belum stabil secara politik, sehingga amat riskan bagi investor untuk menanam modal
di sana. Asia Timur pun masih terjerat sengkarut kedaulatan. Gara-gara sengketa wilayah dengan China, misalnya,
pertumbuhan ekonomi Jepang merosot drastis. Keberadaan perusahaan Jepang terancam oleh sentimen
nasionalisme China.
Amat beralasan bila sejumlah media melaporkan dugaan perebutan pengaruh antara China dan Amerika Serikat di
Asia Tenggara. Kedua negara adidaya itu melihat Asia Tenggara sebagai alternatif yang menjanjikan, baik secara
ekonomi maupun politik.
Dalam optik yang semacam itulah seyogianya penandatanganan Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 dan RCEP dilihat.
Ia tak lebih dari agenda global untuk memanfaatkan Asia Tenggara, pun Indonesia, semaksimal mungkin. Hal itu bisa
jadi peluang, tapi juga dapat merugikan pasar dalam negeri jika tak dilakukan persiapan dan perencanaan.
Tanpa strategi yang matang dan komitmen untuk melindungi produsen domestik, Indonesia hanya akan tinggal
menjadi ladang subur bagi negara lain, tanpa pernah sanggup memakmurkan rakyatnya sendiri. ***
Plus Minus Perdagangan Bebas ASEAN-China
Diposting oleh: chrisna | Senin, 11 Juni 2012
6. Oleh: Aria Bima
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI
Sejak 1 Januari 2010 ini, Indonesia bersama ASEAN menapaki era perdagangan bebas
ASEAN-China (ACFTA). Pertanyaannya: Apa implikasi perdagangan bebas ASEAN-China
bagi perekonomian Indonesia, khususnya bagi industri dalam negeri, pertanian, dan usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM)?
Mengacu dokumen ACFTA, tujuan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China untuk
memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak dan meliberalisasikan
perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tariff atau bea
masuk. Juga untuk mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi saling
menguntungkan serta memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara
anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di antara kedua belah pihak.
Sewaktu dokumen ACFTA diteken November 2002, situasi perbandingan ekspor-impor
Indonesia-China masih relatif setara. Sebab walaupun surplus perdagangan dinikmati
China, namun selisihnya tidak terlalu besar. Dengan kata lain, Indonesia relatif bisa
bersaing dengan produk China khususnya maupun negara anggota ASEAN lainnya.
Dalam konteks itu, dari segi potensi yang ditawarkan pasar bersama ASEAN, era
perdagangan bebas ASEAN-China ini sebetulnya sangat menjanjikan. Artinya, ada peluang
bisnis luar biasa bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya yang sanggup
memanfaatkannya. Terlebih semilyar lebih penduduk China terus meningkat daya belinya
seiring pencapaian ekonomi mereka yang mencengangkan.
Pertanyaannya, setelah 7 tahun sejak diteken, sanggupkah kita berkompetisi dan
memenangkan persaingan dalam era perdagangan bebas tersebut? Atau, jangan-jangan,
justru Indonesia yang bakal menjadi ―pasar bersama‖ barang-barang produksi China dan
negara-negara ASEAN lainnya, yang dijual dengan harga lebih murah, dengan mutu yang
setara atau lebih baik, serta dikemas lebih cantik?
7. Mengkhawatirkan
Apabila kita menilik kinerja sektor industri, pertanian, dan UMKM Indonesia lima tahun
terakhir, era perdagangan bebas ASEAN-China jujur saja justru serba mengkhawatirkan
bagi posisi dan kepentingan Indonesia.
Sektor industri misalnya, bukannya berkembang menuju industri dewasa dan kuat (mature
industry), namun malah mengalami deindustrialisasi. Tak sedikit industri dalam negeri,
seperti tekstil dan alas kaki, gulung tikar karena tak mampu bersaing. Walhasil, sumbangan
industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mestinya terus meningkat
–sebagai ciri negara yang industrinya makin maju— justru semakin menurun dan digantikan
komoditas primer atau bahan mentah.
Sebagai ilustrasi, ekspor industri baja Indonesia ke China pada 2002 senilai 30,3 juta dollar
AS dan impor 51,4 juta dollar AS. Namun tahun lalu, defisit Indonesia semakin timpang
lantaran ekspor hanya 36,9 juta dollar AS, sedangkan impor 1.026 juta dollar AS (sumber
BPS/Depperin).
Sejalan dengan itu, banyak asosiasi industri kita, seperti baja, plastik, tekstil, menyuarakan
ketidaksanggupannya bersaing dalam era pasar bebas ASEAN-China dalam waktu dekat.
Ini mengingat beban biaya produksi yang berat di Indonesia. Kenaikan harga BBM dan
listrik sebagai salah satu komponen pokok produksi menjadi salah satu sebabnya. Di
samping masih merajalelanya praktek KKN yang berakibat ekonomi biaya tinggi (high-cost
economy), tingginya suku bunga kredit perbankan (cost of money), dan lemahnya
keterkaitan industri hulu dan hilir.
Kondisi sektor pertanian lebih memprihatinkan. Sebelum pasar bebas ASEAN-China
berlaku, produk buah-buahan China dan Thailand sudah sejak lama membanjiri pasar
Indonesia. Bahkan tidak hanya dijajakan di supermarket terkemuka, melainkan sudah dijual
di kaki lima atau diasongkan di atas kereta ekonomi.
8. Dengan kata lain, sebelum kawasan perdagangan bebas ASEAN-China dimulai, sektor
pertanian Indonesia sudah dikalahkan di kandangnya sendiri. Maka bisa dibayangkan,
bagaimana nasib produk pertanian kita tatkala tarif nol persen diberlakukan dalam era
perdagangan bebas. Bisa dipastikan banjir produk pertanian asal China dan negara-negara
ASEAN lainnya ke Indonesia akan semakin menjadi-jadi.
Di tengah kondisi psikologis konsumen Indonesia yang lebih mementingkan produk murah
daripada produksi bangsa sendiri, situasi ini jelas sangat mengkhawatirkan. Terlebih
kemampuan daya beli rata-rata rakyat Indonesia masih rendah, sehingga godaan harga
produk pertanian yang murah akan sulit dihalau begitu saja.
Sektor UMKM tak jauh beda. Sebelum era pasar bebas ASEAN-China diberlakukan, produk
mainan anak-anak dari China, misalnya, sudah menyerbu pasar Indonesia, mulai dari
supermarket hingga kaki lima. Belum lagi tekstil bermotif batik ―made in China‖ dengan
harga yang sangat murah, yang dipastikan akan menggerus pangsa pasar kain batik
produksi perajin batik rumahan dalam negeri.
Minim Persiapan
Dari uraian di atas, bisa dilihat bahwa perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China semula
memang potensial membawa kemajuan bagi perekonomian Indonesia. Akan tetapi, dengan
catatan, sejak ditekennya perjanjian hingga menjelang diberlakukannya ACFTA,
pemerintah bersungguh-sungguh mempersiapkan daya saing dan kinerja perekonomian
dalam negeri agar siap tempur di ajang perdagangan bebas tersebut.
Namun faktanya, seperti disinggung di atas, yang terjadi di dalam negeri justru
deindustrialisasi, melemahnya daya saing produk pertanian, dan kian termarjinalisasinya
UMKM. Dengan kata lain, persiapan kita sangat minim.
Banyak faktor yang ikut berperan di sini. Antara lain, diabaikannya sektor riil dibanding
sektor finansial, tak kunjung dibenahinya infrastruktur, reformasi birokrasi yang tak serius
9. yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi tetap menggejala, gagalnya revitalisasi pertanian,
dan kurangnya komitmen pemerintah melakukan politik afirmasi bagi UMKM.
Lebih dari itu, barang-barang produksi negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, dan
China relatif sejenis. Yakni, masih sama-sama mengandalkan produksi sektor pertanian
dan industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki. Dalam kondisi ini, bisa dipastikan jika
kran pasar bebas dibuka, yang bertahan ialah negara yang sanggup memproduksi barang
dengan cara paling efisien alias murah meriah, dengan kualitas setara bahkan lebih baik.
Posisi inilah yang dimiliki China, yang bisa menekan ongkos produksi serendah mungkin
lantaran berbagai biaya faktor produksi mereka yang lebih murah.
China bisa merebut posisi unggulan ini lantaran penguasaan mereka atas teknologi
produksi kimia dasar, sehingga bisa tiap saat memasok bahan baku industri manufakturnya
dengan harga murah, tanpa tergantung impor. Negeri Tirai Bambu ini juga sangat serius
mereformasi birokrasi guna memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bahkan
dengan menghukum mati para koruptornya.
Jadi, bukan lagi rendahnya upah buruh di China yang menjadi alasan murahnya produk
mereka sehingga memenangkan persaingan. Sebab, upah rata-rata tenaga kerja di
Vietnam sekarang ini pun lebih mahal daripada upah buruh Indonesia, toh daya saing
produk Vietnam mulai mengalahkan produk Indonesia.
Ditinjau Ulang
Walhasil, secara pukul rata, sekarang ini nyaris tak ada keunggulan kompetitif Indonesia
menyongsong era perdagangan bebas ASEAN-China. Bahkan, keunggulan komparatif pun,
terkait kekayaan sumber daya alam yang bisa dijual misalnya, Indonesia masih harus
bersaing keras dengan negeri jiran Malaysia.
Karena itu, perjanjian kawasan perdagangan bebas ASEAN-China ini –dari segi
kepentingan ekonomi Indonesia ke depan— tidak sekadar perlu direnegosiasi
10. pemberlakuannya, tapi layak ditinjau ulang secara keseluruhan. Dan ini dimungkinkan oleh
ketentuan Pasal 14 Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi
Menyeluruh Antara Negara-negara ASEAN dan China. Sebab jelas sekali posisi Indonesia
cenderung sangat tidak diuntungkan, setidaknya hingga 20 tahun mendatang.
Perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan Indonesia dengan negara lain, idealnya
ditempuh dengan negara-negara yang tak memiliki produksi barang dan jasa yang relatif
sama dengan Indonesia. Sehingga rezim perdagangan bebas tidak akan memukul sektor
industri manufaktur, sektor pertanian, maupun UMKM dalam negeri. Sebaliknya kita justru
akan memiliki keunggulan komparatif terhadap negara mitra.
Dalam konteks inilah, Indonesia mestinya mengadakan perdagangan bebas dengan
negara-negara yang perekonomiannya telah memasuki tahap industri lanjut (pasca-
industry), bukan negara-negara sedang berkembang. Mereka relatif tidak lagi
mengandalkan sektor pertanian atau manufaktur, melainkan sudah beralih kepada industri
berteknologi tinggi seperti komputer dan peranti lunak komputer.[]