Laporan praktikum fitokimia identifikasi senyawa golongan flavonoida (Ekstrak Psidium guajava)
1. LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
TUGAS 3
IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN FLAVONOIDA (Ekstrak Psidium Guajava)
DISUSUN OLEH :
ANANDA NOVIA RIZKY UJP
201610410311151
KELOMPOK 10
FARMASI D
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
2016
2. TUGAS 2. IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN FLAVONOIDA (Ekstrak Psidium
guajava)
1) Tujuan
Mahasiswa mampu untuk melakukan identifikasi senyawa golongan flavonoida
dalam tanaman.
2) Tinjauan
a) Tanaman
KLASIFIKASI TANAMAN
Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan, tanaman jambu biji
termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spesies : Psidium guajava Linn.
(Parimin, 2005)
MORFOLOGI TANAMAN JAMBU BIJI
Tanaman jambu biji (Psidium guajava Linn) bukan merupakan tanaman asli
Indonesia. Tanaman ini pertama kali ditemukan di Amerika Tengah oleh Nikolai
Ivanovich Vavilov saat melakukan ekspedisi ke beberapa negara di Asia, Afrika,
3. Eropa, Amerika Selatan, dan Uni Soviet antara tahun 1887-1942. Seiring dengan
berjalannya waktu, jambu biji menyebar di beberapa negara seperti Thailand, Taiwan,
Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Australia. Di Thailand dan Taiwan, jambu biji
menjadi tanaman yang dikomersialkan (Parimin, 2005).
Jambu biji merupakan tumbuhan perdu dengan tinggi 5-10 m, batang berkayu,
kulit batang licin, mengelupas, bercabang, dan berwarna cokelat. Merupakan daun
tunggal, berbentuk bulat telur, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata berhadapan,
petulangan daun menyirip berwarna hijau kekuningan. Bunganya termasuk bunga
tunggal, terletak di ketiak daun, bertangkai, kelopak bunga berbentuk corong. Mahkota
bunga berbentuk bulat telur dengan panjang 1,5 cm, benang sari pipih berwarna putih
atau putih kekuningan. Berbuah buni, berbentuk bulat telur, dan bijinya kecil-kecil dan
keras (Parimin, 2005).
Daun jambu biji berbentuk bulat panjang, bulat langsing, atau bulat oval dengan
ujung tumpul atau lancip. Warna daunnya beragam seperti hijau tua, hijau muda, merah
tua, dan hijau berbelang kuning. Permukaan daun ada yang halus mengilap dan halus
biasa. Tata letak daun saling berhadapan dan tumbuh tunggal. Panjang helai daun
sekitar 5-15 cm dan lebar 3-6 cm. Sementara panjang tangkai daun berkisar 3-7 mm
(Parimin, 2005).
KANDUNGAN TANAMAN
Daun jambu biji banyak mengandung senyawa aktif seperti alkaloid, saponin,
tannin, minyak atsiri, flavonoid, dan polifenol (Dalimartha, 2006; Daud, 2011; Afizia,
2012). Dilaporkan bahwa senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid,
dan alkaloid memilki aktivitas juvenil hormone sehingga memiliki pengaruh pada
perkembangan serangga (Elimamet al., 2009).
Flavonoid merupakan senyawa kimia yang memiliki sifat insektisida.
Flavonoid menyerang bagian saraf pada beberapa organ vital serangga sehingga timbul
suatu perlemahan saraf, seperti pernapasan dan menimbulkan kematian (Dinata, 2009).
4. Daun jambu biji berkhasiat astringen (pengelat), antidiare, antiradang,
penghenti perdarahan (homeostatis) dan peluruh haid. Buah berkhasiat antioksidan
karena kandungan beta karoten dan vitamin C yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan daya tahan tubuh (Elimamet al., 2009).
TINJAUAN SENYAWA FLAVONOIDA
Struktur Umum Flavonoida
Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan fenol alam yang
terbesar (Harbone, 1987). Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau
sehingga pasti ditemukan pada setiap telaah ekstrak tumbuhan (Markham,
1988). Dalam tumbuhan flavonoid terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon
flavonoid. Struktur flavonoid memiliki 15 atom karbon, terdiri dari 2 cincin
benzene yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga
atom karbon. Dapat ditulis sebagai berikut C6-C3-C6 (Manitto, 1992). Susunan
ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yaitu flavonoid (1,3-
diarilpropana), isoflavonoid (1,2-diarilpropana), neoflavonoid (1,1-
diarilpropana) (Harbone, 1987).
Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak
reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim (Robinson,1995). Pada
tumbuhan flavonoid ini berfungsi sebagai pengaturan tumbuh, pengaturan
5. fotosintesis, antimikroba dan antivirus (Robinson,1995). Flavonoid dapat dijadikan
obat tradisional karena flavonoid dapat bekerja sebagai inhibitor pernafasan,
menghambat aldoreduktase, monoamina oksidase, protein kinase, DNA polimerase
dan lipooksigenase (Robinson,1995).
Flavonoid terbukti mempunyai efek biologis antioksidan yang sangat kuat
yaitu sebagai antioksidan yang dapat menghambat penggumpalan keping-keping
sel darah, merangsang pembentukan produksi nitrit oksida (NO) yang berperan
melebarkan pembuluh darah (vasorelaction) dan juga menghambat pertumbuhan
sel kanker (Winarsi, 2007).
Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus
hidroksil sehingga akan larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol,
air. Sebaliknya, aglikon flavonoid yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon,
dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam
pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1988:15).
Flavonoid adalah senyawa yang tersusun dari 15 atom karbon dan terdiri
dari 2 cincin benzen yang dihubungkan oleh 3 atom karbon yang dapat membentuk
cincin ketiga. Flavonoid dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
1). Flavonoid yang memiliki cincin ketiga berupa gugus piran. Flavonoid ini
disebut flavan atau fenilbenzopiran. Turunan flavan banyak digunakan sebagai
astringen (turunan tanin).
2). Flavonoid yang memiiliki cincin ketiga berupa gugus piron. Flavonoid ini
disebut flavon atau fenilbenzopiron. Turunan flavon adalah jenis flavonoid yang
paling banyak memiliki aktivitas farmakologi.
3). Flavonoid yang memiiliki cincin ketiga berupa gugus pirilium. Flavonoid ini
disebut flavilium atau antosian. Turunan pirilium biasa digunakan sebagai pewarna
alami.
(Achmad, 1985)
6. SIFAT FISIKA FLAVANOIDA
Aglikon flavonoid adalah flavonoid yang tidak mengikat gugus gula dan
bersifat kurang polar. Contoh flavonoid ini adalah isoflavon, flavonon, flavon, serta
flavonol yang termetoksi. Karena sifatnya yang kurang polar maka aglikon
cenderung mudah larut dalam pelarut eter dan kloroform. Flavonoid glikosida
adalah flavonoid yang mengikat gugus gula. Pada senyawa ini satu gugus hidroksil
terikat pada satu gugus gula, flavonoid ini disebut flavonoid O-glikosida. Selain
itu juga terdapat flavonoid C-glikosida dimana gula terikat langsung pada inti
benzena dengan ikatan karbon - karbon. Pengaruh glikosida menyebabkan
flavonoid mudah larut dalam air (Markham, 1988)
CARA MENGIDENTIFIKASI SENYAWA FLAVANOIDA
A. Isolasi Flavonoid
Isolasi flavonoid umumnya dilakukan dengan metode ekstraksi, yakni
dengan cara maserasi atau sokletasi menggunakan pelarut yang dapat
melarutkan flavonoid. Flavonoid pada umumnya larut dalam pelarut polar,
kecuali flavonoid bebas seperti isoflavon, flavon, flavanon,dan flavonol
termetoksilasi lebih mudah larut dalam pelarut semipolar. Oleh karena itu pada
proses ekstraksinya, untuk tujuan skrining maupun isolasi, umumnya
menggunakan pelarut methanol atau etanol. Hal ini disebabkan karena pelarut
ini bersifat melarutkan senyawa–senyawa mulai dari yang kurang polar sampai
dengan polar. Ekstrak methanol atau etanol yang kental, selanjutnya
dipisahkankandungan senyawanya dengan tekhnik fraksinasi, yang biasanya
berdasarkan kenaikan polaritas pelarut (Monache, 1996).
Ekstraksi adalah suatu proses atau metode pemisahan dua atau lebih
komponendengan menambahkan suatu pelarut yang hanya dapat melarutkan
salahsatu komponennya saja. Dalam prosedur ekstraksi, larutan berair biasanya
dikocok dengan pelarutorganik yang tak dapat larut dalam sebuah corong
7. pemisah. Zat – zatyang dapt larut akan terdistribusi diantara lapisan air dan
lapisanorganik sesuai dengan (perbedaan) kelarutannya. Pada ekstraksi
senyawa – senyawa organik dari larutan berair, selain air atau eter, biasanya
digunakan pula etil asetat, benzena, kloroform dan sebagainya. Ekstraksi lebih
efisien bila dilakukan berulang kali dengan jumlah pelarut yanglebih kecil dari
pada bila jumlah pelarutnya banyak tapi ekstraknyahanya sekali (Markham,
1988).
Senyawa flavonoid diisolasi dengan tekhnik maserasi,mempergunakan
poelarut methanol teknis. Ekstraksi methanol kental kemudian dilarutkan dalam
air. Ekstrak methanol–air kemudian difraksinasi dengan n-heksan dan etil
asetat. Masing–masing fraksiyang diperoleh diuapkan, kemudian diuji
flavonoid. Untuk mendeteksiadanya flavonoid dalam tiap fraksi, dilakukan
dengan melarutkansejumlah kecil ekstrak kental setiap fraksi kedalam etanol.
Selanjutnya ditambahkan pereaksi flavonoid seperti : natriumhidroksida, asam
sulfat pekat, bubuk magnesium–asam klorida pekat,atau natrium amalgam–
asam klorida pekat. Uji positif flavonoidditandai dengan berbagai perubahan
warna yang khas setiap jenisflavonoid (Geissman, 1962).
Menurut (Geissman, 1962) metode ekstraksi terdiri atas dua jenis yakni
ekstraksi panas dan ekstraksi dingin. Ekstraksi panas menggunakan cara refluks
dan destilasi uap sedangkan ekstraksi secara dingin menggunakan cara
maserasi,perkolasi dan soxhletasi.
1) Ekstraksi Secara Panas
(a) Ekstraksi Secara Refluks.
Ekstraksi secara refluks adalah cara berkesinambungan dimana
cairan penyari secara kontinyu menyari zat aktif dalam sampel.
(b)Ekstraksi Secara Destilasi Uap
Ekstraksi secara destilasi uap adalah cara yang digunakan untuk
menyaring saampel yang mangandung minyak yang mudah menguap
ataumengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi
8. padatekanan udara normal. Destilasimerupakan metode ekstraksi yang
memanfaatkan perbedaan titik didih dari senyawa. Biasa digunakan untuk
mengisolasi minyak atsiri.
2) Ekstraksi Secara Dingin
(a) Ekstraksi Secara Maserasi
Secara harfiah berarti merendam. Ekstraksi secara maserasi
merupakan cara penyarian yang palingsederhana yang dilakukan dengan
cara merendam serbuk sampel dalamcairan penyari. Metode ini merupakan
metode yang paling sederhana. Tidak ada batas pelarut dalam metode
ini. Jika menggunakan metode ini, simplisia dibasahkan terlebih dahulu,
jika tidak di khawatirkan akan ada simplisia yang tidak teraliri
pelarut.Proses maserasi sendiri dilakukan secara berulang dengan
memisahkan cairan perendam dengan cara penyaringan, dekantir atau di
peras, selanjutnya ditambahkan lagi penyari segar kedalam ampas hingga
warna rendaman sama dengan warna pelarut.
(b) Ekstraksi Secara Perkolasi
Perkolasi adalah suatu cara penarikan dengan memakai alat yang
yang disebut perkolator, dimana simplisia terendam dalam cairan penyari
sehingga zat-zatnya terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara
beraturan keluar sampai memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan. Ekstraksi secara perkolasi merupakan cara penyarian yang
dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk sampel yang
telah dibasahi.
(c) Ekstraksi Secara Soxhletasi
Merupakan metode ekstraksi yang memanfaatkan pemanasan untuk
destilasi pelurut sehingga terjadi sirkulasi pelarut melalui serbuk simplisia.
Metode ini efisiensi dalam pemanfaatan pelarut tetapi berisiko
9. pembentukan artefak akibat penggunaaan panas. Ekstraksi secara
soxhletasi merupakan cara penyarian sampel secaraberkesinambungan,
cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uapcairan penyari
terkondensasi menjadi molekul-molekul cairan oleh pendingin balik dan
turun menyari sampel di dalam klonson dan selanjutnya masuk kembali ke
dalam labu alas bulat setelah melewati pipa siphon.
B. Kromatografi
Cara lain yang dapat dipakai untuk pemisahan adalah ekstraksi cair-cair,
kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas. Isolasi
dan pemurnian dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis atau
kromatografi kertas preparatif dengan pengembangan yang dapat memisahkan
komponen paling baik (Harborne, 1987). Flavonoid (terutama glikosida)
mudah mengalami degradasi enzimatik ketika dikoleksi dalam bentuk segar.
Oleh karena itu disarankan koleksi yang dikeringkan atau
dibekukan. Ekstraksi menggunakan solven yang sesuai dengan tipe flavonoid
yg dikehendaki. Polaritas menjadi pertimbangan utama. Flavonoid kurang polar
(seperti isoflavones, flavanones, flavones termetilasi, dan flavonol) terekstraksi
dengan chloroform, dichloromethane, diethyl ether, atau ethyl acetate,
sedangkan flavonoid glycosides dan aglikon yang lebih polar terekstraksi
dengan alcohols atau campuran alcohol air. Glikosida meningkatkan kelarutan
ke air dan alkohol-air.Flavonoid dapat dideteksi dengan berbagai pereaksi,
antara lain:
Sitroborat
AlCl3
NH3
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan pemisah
terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat
gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang
10. ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita, setelah plat atau lapisan dimasukkan ke
dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak),
pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya senyawa
yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).
Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara.
Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan
dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika
disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang
(366 nm), jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba
disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa
pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985)
FASA DIAM
Kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atasahan
padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari
kaca, dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam. Lapisan melekat pada permukaan
dengan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum. Penjerap yang
umum dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silica gel, alumina, kieselgur dan
selulosa (Gritter, et al., 1991).
Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan
homogenitasnya, karena adesi terhadap penyokong sangat tergantung pada kedua sifat
tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Partikel yang
butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan salah satu
cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang
butirannya lebih halus. Butiran yang halus memberikan aliran pelarut yang lebih lambat
dan resolusi yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985).
FASA GERAK
11. Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut,
jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu campuran
sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985).
Pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur. Tujuan
menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan senyawa yang
baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas polaritas masing-masing pelarut,
sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem pengembang yang cocok. Pelarut
pengembang yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain: n-heksan,
karbontetraklorida, benzen, kloroform, eter, etilasetat, piridian, aseton, etanol, metanol
dan air (Gritter, et al., 1991).
HARGA Rf
Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat lazim
menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan sebagai:
𝑅𝑓 =
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑠𝑢𝑏𝑠𝑡𝑎𝑛𝑠𝑖
jarak yang ditempuh pelarut (eluen)
Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi
harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985):
a. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
b. Sifat penjerap
c. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap
d. Pelarut dan derajat kemurniannya
e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana
f. Teknik percobaan
g. Jumlah cuplikan yang digunakan
h. Suhu
i. Kesetimbangan.
12. POLARITAS
Polaritas sering diartikan sebagai adanya pemisahan kutub bermuatan positif
dan negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi tertentu dari
atom-atom penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh
molekul yang lain yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama. Besarnya
polaritas dari suatu pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya
(Adnan, 1997). Menurut Stahl (1985), konstanta dielektrik (ε) merupakan salah satu
ukuran kepolaran pelarut yang mengukur kemampuan pelarut untuk menyaring daya
tarik elektrostatik antara isi yang berbeda.
Ekstraksi berkesinambungan dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan
pelarut nonpolar (misalnya n-heksan atau kloroform) dilanjutkan dengan pelarut
semipolar (etil asetat atau dietil eter) kemudian dilanjutkan dengan pelarut polar
(metanol atau etanol). Pada proses ekstraksi akan diperoleh ekstrak awal (crude extract)
yang mengandung berturutturut senyawa nonpolar, semipolar, dan polar (Hostettmann
et al. 1995).
3) Prosedur Kerja
ALAT DAN BAHAN
a. Alat
Pipet
Tisu dan kain lap
Sudip
Label
Penjepit kayu
Aluminium foil
Pinset
Vial 10ml
KLT
Plat Kaca
b. Bahan
Ekstrak Psidium guajava
N-heksan
Etanol
Magnesium
Butanol
HCL pekat
Kloroform
Aseton
Asam formiat
Kiesel gel GF 254
13. PREPARASI SAMPEL
a) Bagan Alir
Preparasi sampel
Reaksi Warna
1) Uji Bate-Smith dan Metcalf
Ekstrak 0,3g + 3 mL n-heksan, dikocok ad fase n-heksan
tidak berwarna
Residu dilarutkan dalam 20mL etanol, dibagi menadi 4
bagian (IIIA, IIIB, IIIC, dan IIID)
Larutan IIIA sebagai blanko, IIIB + 0,5mL HCL pekat,
amati perubahan warna
Bandingkan dengan blanko. Bila menjadi warna merah terang atau
ungu = senyawa leukoantosianin
Panaskan di penangas air, amati perubahan warna
14. 2) Uji Wilstater
3)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
IIIA blanko, IIIC + 0,5mL HCL pekat dan 4 potong mg
Amati perubahan warna, encerkan dengan 2mL aquadest melewati dinding tabung, + 1mL
butanol melalui dinding tabung
Jingga = flavon
Merah pucat = flavonol
Merah tua = flavanon
IIID dan fase n-heksan di totolkan pada fase diam
Fase diam : lPISn tipis selulosa (diganti Kiesel Gel 254)
Fase gerak : kloroform:asam formiat (6:6(Igtt))
Penampak noda : -pereaksi sitrat borat
- Uap ammonia, atau
- asam sulfat 10%
Kuning intensif = flavanoid
Noda kuning dari uap ammonia, mudah menghilang karena menguap
Namun, noda kuning dari pereaski sitrat-borat sifatnya permanen
15. b) Skema Kerja
Preparasi Sampel
Reaksi Warna
1) Uji Bate-Smith dan Metcalf
IIIA IIIB
Timbang
ekstrakPsidium
guajava 0,3 gram
+ 3mL n-heksan,
kocok ad fase n-
heksan tidak
berwarna
+ aquadest 20mL
etanol
Bagi menjadi 4 bagian (IIIA, IIIB, IIIC, dan
IIID)
IIIA = blanko
IIIB + 0,5mL HCL
pekat, lihat
perubahan warna
Panaskan di
penangas air, liat
perubahan warna
Bila terjadi warna merah
terang atau ungu =
mengandung senyawa
leukoantosianin
16. 2) Uji Wilstater
IIIA IIIC
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
IIID
IIIA = blanko
IIIC + 0,5mL HCL pekat,
dan 4 potong magnesium
lihat perubahan warna
Amati perubahan
warna, + 2mL
aquades melalui
dinding tabung
+ 1mL butanol
melalui dinding
tabung
Amati perubahan warna
Jingga = flavon
Merah pucat = flavonol
Merah tua = flavanon
IIID dan fase n-heksana
ditotolkan pada fase diam
Fase diam = kiesel gel 254
Fase gerak = Kloroform:
asam formiat (6:6(1gtt))
Penampak noda : -pereaksi
sitrat borat,
-uap ammonia
- asam sulfat 10%
Flavonoid = kuning intensif
- Uap ammonia : noda
kuning sementara
- Sitrat-borat : noda
kuning permanen
17. DAFTAR PUSTAKA
Elimamet, A.M., Elmalik, K. H., dan Ali, F.S. 2009. Larvicidal, Adult Emergence Inhibition and
Oviposition Deterrent Effects of Foliage Extract from Ricinuscommunis L. against
Anopheles arabiensis and Culexquinquefasciatus in Sudan.Tropical Biomedicine.
Dinata A. 2009. Atasi Jentik DBD dengan Kulit Jengkol. http://arda.students-
blog.undip.ac.id/2009/10/18/atasi-jentik-DBD-dengan-kulit-jengkol diakses tanggal 15
Maret 2019.
Geissman, T. A., 1962, The Chemistry of Flavonoid Counpound, Hal 51, Pergamon Press,
Oxford.
Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata, 15, Penerbit ITB, Bandung.
Manitto, P. 1992. Biosintesis Produk Alami. Cetakan Pertama. Tejemahan Koensoemardiyah dan
Sudarto. New York: Ellis Horwood Limited.
Geissman, T. A., 1962, The Chemistry of Flavonoid Counpound, Hal 51, Pergamon Press,
Oxford.
Gritter, R.J., Bobbit, J.M., dan Swharting, A.E. 1991. Pengantar Kromatografi. Edisi Kedua.
Penerbit ITB. Bandung
Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara kromatografi dan Mikroskopi, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata dan Iwang Soediro, 3-17, ITB, Bandung.
K. Hostettmann, M Hostettman, MD, Marston A, 1995, Cara kromatografi preparative Penggunan
pada Isolasi Senyawa Alam, hal 10, ITB, Bandung.
Adnan, M., 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan, Edisi Pertama, 9, 14,
15, Penerbit Andi, Yogyakarta.
18. Farnsworth, Norman. R., 1996, Biological and Pytochemical Screening of Plants, Journal Of
Pharmaceutical Sciences.
Sastrohamidjojo H, 1985, Kromatografi, Edisi I, Cetakan I, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Parimin, 2005. Jambu Biji. Budi Daya dan Ragam Pemanfaatannya. Penebar Swadaya, Jakarta.
Dalimartha S, 2006. Atlas tumbuhan obat indonesia jilid iv. Jakarta : Trubus Agriwidya.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB.
Robinson, T. 1995. Kandungan Kimia Organik Tumbuhan Tingi. Bandung: Penerbit ITB.
Hery Winarsi. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius.
Achmad, S. 1985. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta. Universitas Terbuka.