Tulisan ini memberikan ringkasan tentang resiliensi masyarakat di kawasan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bantar Gebang selama pandemi COVID-19. Masyarakat di Bantar Gebang yang mayoritas bekerja sebagai pemulung sangat rentan terhadap dampak ekonomi dan kesehatan dari pandemi karena tinggal di lingkungan yang kurang sehat dan bergantung pada pendapatan harian. Meski demikian, tulisan ini menggambarkan bagaimana masyarakat
2. Penyusun:
Tim Sekolah Urbanis,
Rujak Center for Urban Studies
Editor:
Famega Syavira Putri
Desain Tata Letak & Ilustrasi
Sanggaré Studio
Edisi Digital, Desember 2020
ISBN: 978-602-53542-3-6
Merekam Kota Dalam Pandemi:
Resiliensi, Harapan, dan Kemungkinan
3. Daftar Isi
i
1
xii
xiv
iv
11
44
62
57
50
68
27
47
65
54
Kata Pengantar
Daftar Isi
COVID-19 di Indonesia
Pandemi dalam Ekonomi Politik
Profil Aksi COVID-19
#dirumahaja
Kota dan Pandemi: Merekam dan Merancang Masa Depan Kota
Linimasa COVID-19 di Indonesia
(Membentuk) Aktivisme Intelektual di Kota Kita
Kota Neo-Liberal dalam Bayang-bayang Krisis Covid-19
Manajemen Kebijakan Pandemi
Kata Mereka: Disinformasi dan Resistensi
di Wilayah Permukiman Jakarta
Kesiapan Kota : Masalah Dasar Menghadapi Pandemi
Kepemimpinan Lokal di masa Pandemi
Narasi #dirumahaja Pada Pemukiman Padat Penduduk
Pertanyaan dan Refleksi: Ketahanan Warga dan
Komunitas Menghadapi Pandemi
Lahirnya LaporCOVID.org
Kata Mereka: Jakarta, Pandemi dan Nasib Kontraktor
Ujung Tombak Pandemi
Isnu Putra Pratama
Dedi Kusuma Wijaya, Direktur Operasional TGUPP DKI Jakarta
Herdayati, Jaringan Rakyat Miskin Kota
Wahyu Kusuma Astuti, Akademisi Centropolis Universitas Tarumanegara
Topaz Juanda, Ketua RT 04 Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara
Armadina Az Zahra, Radiva Nida Nabila, Vassilisa Agata
Kania Thea Pradipta, Putri Annisa, Risca Ardita, Vinsensius Gilrandy Santoso
Irma Hidayana, Koalisi Warga untuk Lapor COVID-19
Ishak, Pengontrak di Jakarta
Nahdarul Yani, Tenaga Kesehatan
Daftar Isi
xii
4. Daftar Pustaka
Epilog
Daftar Kontributor
82
Adaptasi Desain Rusunawa Dalam Menghadapi Pandemi
Woerjantari Kartidjo
121
214
157
106
130
196
125
227
171
94
134
239
240
244
Sektor Informal dan Mobilitas
Ketahanan Pangan di Masa Pandemi
Kata Mereka: Pandemi, Momen Merebut Kembali Ruang Kota
Urban Farming Sebagai Alternatif Pangan Perkotaan
Pekerja Informal Perkotaan dan COVID-19
Kampung Kota Susun: Sebuah Perspektif Permukiman Vertikal
Kata Mereka: Geliat Sektor Informal Kala Pandemi
MaaS dan MOD: Kebutuhan Mobilitas Kota Pasca Pandemi
Kata Mereka: Cara Pedagang Asongan Bertahan Kala Pandemi
Mungkinkah Kawasan Pinggiran Jakarta Menjadi Situs Produksi Pangan?
Urgensi Konsep Lingkungan Satu Atap Dalam
Pengembangan Tipologi Kota Pasca Pandemi
Catatan Penghuni Rusun Jakarta Saat Pandemi
Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
Faela Sufa, Institute for Transportation and Development Policy (ITDP Indonesia)
Michael Tanuhardjo, Theresia Pratiwi E. Sanubari, William Yap
Izzudin Al Farras Adha, Janine Febe, Samuel Gerald
Gabriela Karnadi, Halifaldza Jaladri, Prie Supriyanto
Kris, Rame Rame Jakarta
Ilham Ramadhan D. Arifin, Rifqi Khoirul Anam
Donris, Koperasi Pedagang Kecil Ancol (KOPEKA)
Bagas Yusuf Kausan, Faiz E. Philarette, Inas Raras Maheningtyas
Arina Resyta Rahma
Analissa Huwaina, Muhammad Haidar Allam
Dewi Tan, Nurlina Yustiningrum, Josephine Livina
Daftar Isi
xiii
5. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
134
Resiliensi Warga
Bantar Gebang
Selama Pandemi
COVID-19
Dewi Tan, Nurlina Yustiningrum, Josephine Livina
Tanpa intervensi, pandemi COVID-19 berpotensi menimbulkan banyak korban pada
kelompok masyarakat marginal. Salah satunya, perkampungan Tempat Pemrosesan Akhir
(TPA) Bantar Gebang. Hidup di lingkungan TPA dan bersentuhan langsung dengan gunungan
sampah menambah risiko penyakit. Sebelum pandemi,akses layanan kesehatan, sarana
sanitasi, dan prasarana air bersih sudah menjadi permasalahan sehari-hari masyarakat
marginal Bantar Gebang. Ketika pandemi, protokol kesehatan yang perlu dilakukan untuk
mencegah penularan COVID-19 seperti rajin mencuci tangan, menjaga jarak, maupun
karantina mandiri bagi mereka yang diduga tertular pun semakin sulit dilaksanakan.
Invisible Crisis di Bantar Gebang
Pemulung memilah sampah plastik, kardus, rongsokan besi dan bahan-bahan lain
untuk dijual ke pabrik daur ulang di sekitar TPA Bantar gebang. Sumber: Dewi Tan, 2019
6. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
135
Warga Bantar Gebang yang mayoritas berprofesi sebagai pemulung
memiliki hunian berdinding triplek serta beratap seng dan spanduk
bekas. Tinggal bersama rayap dan kutu bukan hal asing bagi mereka.
Banyak hunian belum memiliki akses kebutuhan dasar berupa air bersih,
sanitasi layak, dan layanan kesehatan. Mayoritas masyarakat yang
berprofesi sebagai pekerja harian lepas memilih untuk tetap bekerja
memilah sampah di TPA agar dapat menyambung hidup.
Pandemi COVID-19 mengungkap krisis pelik yang belum tampak sebelumnya.
Situasi ini juga menimbulkan pertanyaan terkait cara memanfaatkan krisis
pandemi saat ini serta untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah fundamental
mengenai tidak memadainya hak asasi manusia dan standar hidup dasar. Terlepas
dari alasan masyarakat memilih hidup di antara tumpukan sampah di sekitar
TPA Bantar Gebang, kita perlu memahami tantangan dan potensi masyarakat
dan lingkungan dalam membentuk ketahanan dan adaptasi. Pertanyaan seperti:
Bagaimana cara pemulung bertahan ketika pandemi? Di mana pemulung dapat
bermukim? Apa saja langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas
kesehatan dan lingkungan hidup mereka?, merupakan beberapa hal yang timbul
di benak kami. Dalam tulisan ini, kami berupaya untuk memahami respon yang
timbul, cara masyarakat saling membantu satu sama lain selama pandemi, serta
mempelajari bila terdapat peluang untuk memanfaatkan sumber daya alam dari
TPA untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan lingkungan hidup mereka.
Tinggal di rumah saja demi mencegah
penularan virus, bukan pilihan, jika
dihadapkan dengan risiko kelaparan
jika tidak bekerja. Situasi tersebut
menunjukkan bagaimana pandemi bukan
hanya tentang kesehatan masyarakat,
tetapi juga berkaitan dengan masalah
ketimpangan sosial ekonomi.
7. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
136
Memiliki luas nyaris 110 hektar, TPA Bantar Gebang adalah
tempat pembuangan sampah terbesar di Asia Tenggara. Setiap
hari sekitar 8.000 ton sampah dari ibukota Jakarta berakhir di
sana. Dari tempat pembuangan sampah yang luas ini, pemulung
mengumpulkan sampah daur ulang seperti botol plastik, gelas
kaca, kaleng aluminium, dan lain-lain. Sekitar 18.000 keluarga
tinggal di sekitar area TPA yang mencakup Kampung Sumurbatu,
Kampung Serang, Kampung Cikiwul, dan Kampung Ciketing Udik.
Pemukiman di Bantar Gebang dipandang sebagai ruang yang
tidak diinginkan, terpinggirkan, dan kotor. Situasi ini kontras
dengan gedung pencakar langit Jakarta yang menjulang tinggi
dan menunjukan ideologi negara sebagai kota modern. Hanya
berjarak sekitar satu jam lebih berkendara dari ibukota,
Bantar Gebang masih merupakan bagian dari ekstensi Wilayah
Metropolitan Jakarta yang dikenal sebagai Jabodetabek (Jakarta-
Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi).
TPA Bantar Gebang sebagai Ruang Peri-Urban
TPA Bantar Gebang berlokasi di Kecamatan Bantar Gebang, tepatnya berada di antara Kelurahan
Cikiwul, Kelurahan Ciketing Udik, dan Kelurahan Sumurbatu. Sumber: Here Satellite, 2020.
8. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
137
Bantar Gebang merupakan daerah “peri-
urban” yang unik karena tidak tergolong
urban maupun rural. Tempat pembuangan
sampah urban ibu kota ini berlokasi di luar
Jakarta, yakni di Kota Bekasi yang tergolong
wilayah rural dengan densitas rendah. Tiga
dasawarsa lalu, area Bantar Gebang adalah
lahan persawahan sebelum terjadi alih
fungsi menjadi TPA melalui pembelian lahan
oleh negara di tahun 1989. Saat ini, banyak
penduduk asli Bantar Gebang yang masih
menetap dan mempertahankan lahan yang
Krisis akibat pandemi memperdalam dan
memperparah ketimpangan pada masyarakat
marginal yang sebelumnya telah rentan.
Menurut peneliti Ian Wilson, masyarakat
kampung tangguh secara sosial tetapi sangat
lemah secara infrastruktur. Kondisi hidup yang
mereka miliki. Selain penduduk asli, banyak
penghuni yang menetap karena urbanisasi dari
desa ke kota. TPA membuka ragam lapangan
kerja informal sehingga mengundang pekerja
untuk mengadu nasib. Mereka berasal dari
berbagai daerah rural dan mayoritas bekerja
sebagai pemulung di gunungan sampah
Bantar Gebang. Faktor tersebut secara
organik menjadikan Bantar Gebang sebagai
kawasan peri-urban yang seakan terisolasi
dari dunia luar dan memiliki ekosistem hidup
yang berbeda dan mandiri.
sulit dengan kurangnya akses ke air bersih
dan fasilitas sanitasi membuat protokol
kesehatan dan kebersihan untuk mencegah
penyebaran virus COVID- 19 menjadi sulit
dilaksanakan. Penghentian sementara
kegiatan ekonomi pun memiliki dampak besar
Foto udara Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantar Gebang di Kota Bekasi.
Sumber: Agus Susanto (KOMPAS), 2019
Pengaruh Pandemi Terhadap Krisis
Ekonomi dan Infrastruktur
9. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
138
pada kehidupan pemulung.
Pandemi ini menunjukkan korelasi antara
paparan virus dan distribusi sumber daya
yang tidak merata, di mana kaum miskin
di kota memiliki risiko yang lebih besar.
Menjaga kebersihan setiap waktu dan
menjaga jarak adalah “kemewahan” yang
tidak bisa dinikmati oleh banyak masyarakat
Bantar Gebang. Hingga bulan Mei 2020 tidak
ada catatan penularan COVID-19 di Bantar
Gebang, karena memang pengujian massal
belum pernah dilakukan. Bantar Gebang juga
dinarasikan aman dari pusat penularan virus,
yaitu Jakarta, karena umumnya orang enggan
datang ke kawasan TPA. Keterasingan dari
Jakarta ini juga berarti bahwa masyarakat
di Bantar Gebang kurang mendapatkan
perhatian atau dukungan yang diperlukan,
baik dari Pemerintah Daerah Kota Bekasi
secara administratif maupun Pemerintah
Daerah DKI Jakarta sebagai pengelola tunggal
TPA Bantar Gebang.
Secara finansial, masyarakat yang bekerja
di sektor informal adalah kelompok yang
paling rentan ketika pandemi karena
bergantung pada pendapatan harian dan
tidak memiliki tabungan. Masyarakat Bantar
Gebang sulit mengakses skema bantuan
karena persyaratan untuk menerima bantuan
dari pemerintah masih berdasar pada
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)
Kementerian Sosial. Persyaratan harus diurus
melalui proses birokrasi yang panjang dan
verifikasi yang melibatkan berbagai lapisan
administrasi, mulai dari pemerintah daerah
hingga lembaga sosial dan pemerintah
pusat. Keharusan untuk memiliki dokumen
administratif yang sering kali tidak dimiliki
masyarakat, seperti Kartu Tanda Penduduk
(KTP) atau Kartu Keluarga (KK), turut
mempersulit proses pendaftaraan DTKS.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
menyebabkan turunnya pendapatan
masyarakat Bantar Gebang yang mayoritas
berprofesi sebagai pemulung. PSBB
yang membatasi kegiatan perdagangan,
perkantoran, serta sekolah menyebabkan
penurunan volume sampah. Dikutip dari
Kantor Berita CNN Indonesia, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
menyampaikan bahwa sampai pertengahan
bulan Mei, produksi sampah Jakarta
mengalami penurunan sebesar 10 sampai
15 persen, atau sebesar 620 ton per hari.
Perusahaan daur ulang yang diandalkan
pemulung dan warga Bantar Gebang sebagai
penerima limbah yang mereka kumpulkan pun
tutup sementara, sehingga warga kehilangan
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
sehari- hari.
Proses penjemuran sampah plastik yang telah
melalui proses pencacahan. Pemandangan ini
kerap ditemui di sekitar TPA sebelum pandemi.
Harga jual sampah plastik mengalami penurunan
ketika pandemi. Sumber: Instagram BGBJ, 2020.
10. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
139
Sebagai ilustrasi, sebelum Pandemi COVID-19 harga sampah botol plastik
berkisar Rp2.000 per kg. Pada bulan Mei 2020, harga turun menjadi Rp300
sampai dengan Rp500 per kg. Apabila perusahaan daur ulang yang diandalkan
pemulung dan warga untuk menerima limbah yang mereka kumpulkan
memutuskan untuk menurunkan harga beli sampah daur ulang atau tutup
sementara, dampaknya adalah penurunan pendapatan harian pemulung.
TPA Bantar Gebang sering dianggap
sebagai area yang harus dihindari karena bau
menyengat dari sampah dan risiko kesehatan
yang timbul akibat “sifat sampah dan proses
pembusukan, pengumpulan, pengolahan,
daur ulang, dan pembuangannya”. Stigma ini
memicu meluasnya stereotip bahwa “hidup
dalam kondisi yang tidak bersih membantu
orang membangun kekebalan terhadap
penyakit seperti coronavirus––pandangan
tidak ilmiah yang belum diuji sehingga
berpotensi menimbulkan salah kaprah”.
Selain itu, fasilitas dasar di sekitar TPA tidak
memadai dan air tanah yang digunakan untuk
mencuci tangan dan makanan sering kali
tercemar. Masyarakat yang tinggal di Bantar
Gebang juga distereotipkan sebagai orang
miskin dan tidak berpendidikan, serta anak-
anak pemulung dianggap tidak memiliki
kehidupan yang layak dan masa depan yang
suram. Namun di luar TPA, perasaan senasib
sepenanggungan ada di antara penduduk di
masa sulit.
Untuk memerangi stigma yang dihadapi
orang-orang di Bantar Gebang, Resa Boenard
dan rekannya mendirikan BGBJ (www.bgbj.
org), sebuah organisasi masyarakat non-
pemerintah yang bertujuan memberdayakan
anak-anak setempat serta membangun
pemahaman bahwa masyarakat dapat
mengubah nasib mereka sendiri terlepas dari
stereotip yang melekat. Selama pandemi,
BGBJ (dibaca: “biji biji”) merupakan pemicu
terbentuknya resiliensi masyarakat.
Mendefinisikan dan menilai proses resiliensi
masyarakat merupakan tantangan tersendiri.
Karena resiliensi sulit diukur dengan angka,
parameter yang digunakan tidak bersifat rigid
dan sangat dinamis–tergantung dari kondisi
sosial budaya serta letak geografis tempat
masyarakat tinggal. Proses ini penting untuk
dipelajari sebagai pemantik diskusi maupun
pelaksanaan intervensi agar masyarakat dapat
tetap berdaya dan bertahan secara mandiri
saat menghadapi krisis maupun tekanan.
Selama ini, mereka kerap kali terpinggirkan
dan tidak dapat mengakses bantuan dari
Anak-anak mengambil pelajaran musik di
Sanggar BGBJ. Sumber: Dewi Tan, 2019.
Hidup bermartabat di TPA saat Pandemi
11. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
140
Pemda Kota Bekasi maupun Pemerintah DKI
Jakarta.
Martin dan Sunley mengelompokkan resiliensi
dalam tiga kategori yakni: (1) Resiliensi sebagai
usaha bangkit kembali dari tekanan, (2)
Resiliensi sebagai usaha untuk menghadapi
tekanan, dan (3) resiliensi sebagai upaya
untuk beradaptasi dalam mengantisipasi
maupun merespons tekanan. Resa Boenard
memiliki pengertian tersendiri mengenai
resiliensi. Resa beranggapan bahwa resiliensi
adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri
pada keadaan sulit maupun untuk bertahan
hidup.
Menurut Resa, Komunitas BGBJ selama ini
secara mandiri telah mendukung kehidupan
di Bantar Gebang dengan melakukan program
pemberdayaan bagi anak-anak maupun ibu
rumah tangga. Kegiatan anak-anak dilakukan
di sanggar BGBJ, yang saat ini juga berfungsi
sebagai Homestay BGBJ yang dikelola oleh
Resa bersama masyarakat. Adapun bantuan
ragam pelatihan bagi ibu rumah tangga
yang telah dilakukan antara lain pelatihan
pembuatan cilok, bakso, sosis, sabun dan
essential oils, hingga pengelolaan pupuk
kompos rumah tangga.
Pengertian resiliensi yang hampir serupa
juga disampaikan John Devlin, salah
satu rekan Resa yang turut mendirikan
BGBJ. John beranggapan bahwa resiliensi
merupakan kemampuan “anti-fragile”. Usaha
membentuk resiliensi harus dimulai secara
mandiri dari masyarakat ketika ada ancaman
hingga batas atau titik tertentu–karena
masyarakat pun punya keterbatasan dan
dapat menjadi kewalahan. Secara sederhana,
John menyimpulkan resiliensi sebagai cara
bertahan hidup atau cara menyesuaikan diri
pada keadaan sulit, dan harus dimulai dengan
meningkatkan kekuatan atau kapasitas
masyarakat yang cenderung bersifat terbatas.
Dalam menghadapi COVID-19, salah satu
usaha masyarakat Bantar Gebang adalah
BGBJ Squad Community Support, yang
dilakukan oleh anak-anak remaja Sanggar
BGBJ. Respons ini secara tidak langsung
terbentuk berkat rutinitas anak-anak yang
telah terbiasa aktif mengikuti ragam kegiatan
di Sanggar BGBJ yang memicu rasa empati
dan profesionalisme. Berdasarkan hasil
wawancara bersama Resa, diketahui bahwa
mereka telah melakukan beberapa inisiatif
untuk menghadapi situasi Pandemi tanpa
dibantu oleh pemerintah. Beberapa hal yang
telah dilakukan antara lain:
Meski terletak di wilayah paling tenggara
Kota Bekasi, masyarakat di sekitar TPA
Bantar Gebang telah melakukan adaptasi
dengan lingkungannya jauh sebelum
Pandemi Covid-19 terjadi. Salah satu wujud
adaptasi yang dilakukan BGBJ adalah
dengan menggalang dana secara mandiri
dan menyalurkannya kepada masyarakat,
sejak awal pandemi, sebelum ada bantuan
dari Pemda Kota Bekasi. Terhitung sampai
tanggal 22 Juni 2020, terkumpul donasi
kurang lebih senilai Rp170.000.000. Hasil
penggalangan dana tersebut dialokasikan
untuk paket bantuan kepada masyarakat
serta modal dapur umum komunitas BGBJ
untuk beberapa bulan ke depan.
1. Mendata kelompok masyarakat yang
sangat membutuhkan bantuan dan
melakukan penggalangan dana secara
mandiri.
12. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
141
Komunitas BGBJ telah melakukan penggalangan dana secara mandiri untuk meresponsituasi pandemi.
Proses penyaluran paket donasi kepada masyarakat di sekitar TPST.
2. Menyalurkan paket sembako di sekitar Komunitas BGBJ
Banyak paket donasi dan bantuan yang diterima oleh komunitas BGBJ. Setiap paket terdiri
dari beras, gula, minyak, sarden, mie instan, teh, dan sirup. Dalam wawancara daring, Resa
menyampaikan bahwa prioritas donasi pandemi terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama sekitar
100 paket untuk anak-anak dan keluarganya yang rutin mengunjungi dan mengikuti kegiatan
sanggar BGBJ. Bantuan diberikan secara rutin sebagai bentuk apresiasi partisipasi rutin anak-
anak. Lapisan kedua untuk anak-anak yang jarang datang belajar di sanggar, dan lapisan ketiga
13. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
142
Anak-anak menerima paket donasi Alat Pelindung Diri (APD) dan belajar
mencuci tangan sebagai upaya pencegahan COVID-19.
3. Melakukan sosialisasi protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19
4. Bergotong-royong menjalankan dapur umum
Selama pandemi COVID-19, Resa bersama komunitas BGBJ telah melakukan sosialisasi pada
anak-anak untuk membatasi kontak satu sama lain, meminimalisir interaksi afeksi berupa
saling peluk dan cipika-cipiki, serta mengampanyekan penggunaan masker dan cuci tangan
sebelum makan dan minum. Mereka juga telah memulai pembangunan sarana sanitasi berupa
keran cuci tangan dan kamar mandi umum.
Pada akhirnya pangan merupakan kebutuhan utama untuk bertahan hidup. Rendahnya
pendapatan pemulung selama pandemi mendorong Resa untuk menjalankan dapur
umum yang lebih efisien dan tepat sasaran. Keputusan membuka dapur umum secara
bergotong-royong dan menyebarkan bantuan pangan secara berkala dianggap lebih
efektif daripada membagikan uang secara langsung. Sebagian dana donasi dialokasikan
untuk pembelian bahan pangan serta bumbu dapur. Dapur umum dijalankan oleh
oleh anak-anak remaja yang biasanya mengikuti kegiatan di sanggar BGBJ sebelum
pandemi sehingga mereka telah cakap memasak dan mengelola dapur umum.
untuk anak-anak/warga yang tidak mengikuti kegiatan
sanggar tetapi merupakan tetangga yang tempat tinggalnya
berdekatan dengan BGBJ. Jumlah donasi yang diberikan
berjumlah sekitar 400 paket.
14. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
143
Proses memasak daging rendang di Dapur Bersama. Bahan dibeli dari hasil
donasi yang digalang secara mandiri oleh komunitas BGBJ melalui sosial media.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan,
beradaptasi dalam menghadapi tekanan, dan tetap teguh dalam keadaan tertekan hingga
bangkit menjadi lebih baik dari kondisi awal. Upaya-upaya resiliensi Komunitas BGBJ dalam
menghadapi pandemi merupakan bagian proses untuk menyesuaikan diri terhadap krisis,
bangkit, dan pulih secara mandiri. Ini adalah respons aktif warga terhadap minimnya kehadiran
pemerintah di Bantar Gebang dalam menyediakan bantuan sosial maupun fasilitas kesehatan
guna menanggulangi situasi pandemi yang tidak menentu.
Selain secara sosial, masyarakat Bantar Gebang juga membangun resiliensi
dengan mendirikan pemukiman bergaya arsitektur vernakular. Vernakular berasal
dari kata vernaculus di Bahasa Latin, yang berarti “domestik, asli, pribumi” dan
verna, yang berarti “budak pribumi” atau “anak rumah-lahir”. Dalam arsitektur,
vernakular mengacu pada jenis arsitektur yang asli sesuai waktu atau tempat
tertentu (tidak diimpor atau disalin dari tempat lain). Arsitektur vernakular
paling sering digunakan untuk bangunan tempat tinggal. Bagian selanjutnya akan
membahas istilah vernacular landfill yang dikemukakan dan digunakan oleh John
Devlin untuk menjelaskan fenomena yang ia pelajari di Bantar Gebang.
Arsitektur Vernakular: Cara Masyarakat Bantar
Gebang Membangun Resiliensi Terhadap Lingkungan
15. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
144
Dinding hunian dibuat menggunakan tempelan triplek secara berlapis. Sumber: John Devlin.
Vernacular landfill dipilih bukan karena
bentuk, estetika, maupun arsitekturnya,
melainkan karena bercerita mengenai pola
kebudayaan, akar tradisi, dan perkembangan
teknik konstruksi bangunan. Pemukiman
pemulung Bantar Gebang merupakan hasil
peleburan dari upaya menghadapi situasi
berbahaya, sulit, diskriminasi, dan pengabaian
pemerintah dan masyarakat Jakarta. Dengan
kata lain, vernacular landfill merupakan
adaptasi dan respons aktif yang dilakukan
oleh masyarakat, dikenal juga sebagai
resiliensi. Gaya rumah dan material bangunan
merupakan hasil adaptasi material lokal dan
juga penggunaan barang bekas. Material
yang tadinya dianggap sudah tidak bernilai
menemukan “kehidupan kedua” sebagai
kembali, material sampah tersebut diberi
fungsi lain.
Namun tidak seperti bangunan vernakular
lain, pemukiman di sekitar TPA Bantar
Gebang belum memiliki kesinambungan
dan keselarasan dengan alam. Pekerjaan,
kehidupan, dan tempat tinggal pemulung
di Bantar Gebang memiliki risiko tinggi dan
berbahaya. Rumah masyarakat dapat roboh
saat ada angin kencang karena material
ventilasi dan atap rumah yang dipakai adalah
asbes usang yang telah rapuh. Kondisi
rumah rumah yang minim cahaya matahari
menyebabkan jamur dan kutu kasur sukar
dihindari. Anak-anak berisiko menderita
pilek, batuk, ruam dan infeksi lainnya.
16. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
145
Menurut Brian Edwards, bangunan vernakular umumnya menggunakan material lokal
dan asli, mengutamakan energi yang dapat dibaharui, menggunakan konstruksi yang
mengandalkan daur ulang dan memiliki sistem yang berkelanjutan, atau bisa disebut juga
“upaya menghargai alam”. Material lokal yang selalu tersedia di Bantar Gebang adalah
sampah yang tersedia secara gratis, sudah diproduksi, dan berada pada lokasi yang dekat
serta memiliki nilai keberlanjutannya sendiri. Selain menggunakan sampah, rumah-rumah
tersebut menggunakan struktur yang terbuat dari bambu yang tumbuh di Bantar Gebang.
Sering kali, dinding rumah menggunakan triplek, spanduk, dan plastik yang ditumpuk
untuk menahan air hujan. Pada musim hujan, dinding yang basah menyebabkan
rumah makin lembab. Selain itu, pemukiman Bantar Gebang minim akses listrik.
Tidak ada penggunaan pendingin ruangan maupun peralatan teknologi listrik canggih
lainnya. Kebutuhan listrik mereka dipenuhi menggunakan solar panel mandiri atau
penyambungan secara ilegal dari sumber daya jaringan listrik penerangan jalan.
Pendirian hunian yang dekat dengan lokasi sumber mata pencaharian mereka yakni
gunungan sampah, memungkinkan para pemulung berjalan kaki dan menggunakan
sepeda setiap hari, tanpa menggunakan kendaraan bermotor. Dalam pengertian
vernakular, terlihat ada potensi lokal, aspek keberlanjutan, dan perkembangan
kawasan ramah pejalan kaki di Bantar Gebang.
Selain pembahasan resiliensi yang terbentuk dari kehidupan sosial, ada juga resiliensi yang lahir
dari lingkungan hidup. Resiliensi di sini adalah kemampuan suatu sistem untuk beradaptasi dan
berubah sambil mempertahankan struktur dan fungsi ekologi dasarnya atau disebut juga dengan
Resiliensi Ekologi – Pemanfaatan Hubungan
Ekologi TPA untuk Meningkatkan Kualitas Hidup
Warga setempat memanen pisang di sebelah TPA. Sumber: Dewi Tan
17. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
146
Sistem Ekologi Sosial (SES). Sistem yang dimaksud adalah kota
di mana manusia dan lingkungan hidupnya saling membutuhkan.
Manusia perlu menyadari perannya sebagai bagian dari ekosistem
untuk mendorong hubungan simbiosis mutualisme antara aspek
sosial dan aspek ekologi.
Lingkungan Bantar Gebang terdiri dari dua entitas yang berbeda, alami dan buatan.
Entitas pertama yaitu lingkungan alami yang terdiri dari sawah dan perkebunan yang
sebelumnya adalah kawasan Bantar Gebang sebelum menjadi TPA. Saat ini masih tersisa
sebagian kecil sawah dan kebun milik warga di sekitar TPA. Entitas kedua di Bantar Gebang
adalah lingkungan buatannya, yaitu gunungan sampah yang telah menjadi pemandangan
sehari-hari masyarakat. Gunung sampah mempengaruhi kesehatan publik, kualitas udara,
kualitas air, kualitas pangan, bahkan menimbulkan risiko penyakit. Namun di sisi lain,
sampah juga menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat Bantar Gebang.
Keseimbangan relasi ekologi
merupakan tantangan di Bantar
Gebang. Volume sampah yang
besar kian mempengaruhi
manusia maupun alam.
Sampah mencemari air hujan
dan air tanah yang digunakan
oleh masyarakat. Kurangnya
akses ke air bersih dan
sanitasi yang buruk merupakan
beberapa tantangan yang
dihadapi oleh keluarga yang
tinggal di sekitar tempat
pembuangan sampah. Warga
pun masih sangat tergantung
dengan lingkungannya. Tidak
jarang pemulung memasak dan
mengkonsumsilimbahmakanan
yang mereka temukan. Ini tentu
membahayakan kesehatan, tetapi karena keterbatasan masyarakat hal ini menjadi lumrah
dilakukan. Saat ini masyarakat di lingkungan TPA Bantar Gebang memiliki alternatif lebih
baik dengan bergantung pada BGBJ untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Relasi ekologi di Bantar Gebang:
gunungan sampah, masyarakat, dan alam.
Sumber: Josephine Livina, 2020
MAN
NATURE
WASTE
Community
Food
Security
*Not to
Scale
Resiliency
18. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
147
Ilustrasi dinding batas imajiner antara landfill dengan kehidupan masyarakat
yang dapat berubah sewaktu-waktu. Sumber: Josephine Livina, 2020
Usaha lain yang dilakukan BGBJ dalam
bidang pangan adalah berkebun. Meski dapat
membentukketahananpangan,berkebunharus
dilakukan dengan hati-hati dan memahami
risiko pencemaran tanah di areal Bantar
Gebang. BGBJ antara lain mengembangkan
kebun komunitas untuk belajar cara menanam
Ketahanan masyarakat di sekitar Bantar
Gebang juga sangat bergantung pada banyak
faktor. Isu bahwa tempat pembuangan akan
menjadi penuh dalam dua tahun ke depan
menjadi sorotan, terutama karena isu ini sudah
hadir sejak beberapa tahun terakhir. Sampai
kini, pemerintah tampak belum memiliki
rencana untuk menutup TPA Bantar Gebang
atau memindahkan pembuangan sampah DKI
Jakarta ke lokasi lain. Meningkatnya volume
sampah di TPA mengakibatkan area gunungan
sampah yang bertambah besar dan semakin
mempersempit ruang gerak dan ruang hidup
rempah-rempah dan sayur mayur seperti
bayam, cabai, percikan morning glory, bok
choy, dan terong. Inisiatif ini bertujuan untuk
mendorong masyarakat menanam sayur
mayur ketimbang mengkonsumsi limbah
makanan dari tempat pembuangan sampah
yang berisiko terkontaminasi.
masyarakat yang tinggal di pemukiman Bantar
Gebang. Ini merupakan ancaman yang akan
mengganggu “keseimbangan” yang saat ini
telah terbentuk di Bantar Gebang. Ketika
ancaman berikutnya datang, baik berupa
penularan COVID-19 maupun ancaman lain,
ketahanan warga yang telah dibahas di sub-
bab sebelumnya bisa jadi tidak lagi berfungsi
dengan efektif sehingga membahayakan
kehidupan masyarakat Bantar Gebang secara
langsung, dan Jakarta secara tidak langsung
karena ketergantungannya dengan TPA Bantar
Gebang.
19. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
148
Rumah penduduk dibangun bersebelahan dengan
dinding beton yang menjadi batas dari TPA
Sumber: John Devlin, 2019
Lalu, apa langkah lanjutan yang dapat dilakukan masyarakat Bantar Gebang untuk
menanggulangi berbagai ancaman limbah dan sampah? Pertama, BGBJ berencana
membangun pusat komunitas limbah ramah lingkungan untuk membuat warga jadi
lebih mandiri dan tangguh. Kedua, regulasi mengenai pembuangan sampah secara
terpilah yang masuk ke TPA Bantar Gebang perlu dibenahi untuk memudahkan proses
pengelolaan sampah. Apakah pelarangan dan pengurangan volume pembuangan
sampah dapat membantu menyelesaikan permasalahan di Bantar Gebang? Hal
tersebut dianggap tidak sesuai dengan karakter dan sifat Bantar Gebang sebagai
tempat pembuangan akhir.
Bagaimanapun, DKI Jakarta membutuhkan TPA Bantar Gebang, yang telah
menjadi bagian dari identitas masyarakat marginal Bantar Gebang. Banyak
warganya berprofesi sebagai pemulung yang bergantung pada gunungan
sampah sebagai sumber pencaharian utama. Karenanya, pembahasan
lebih dalam mengenai relasi sampah dengan alam dan masyarakat mesti
berfokus pada kemungkinan warga untuk dapat hidup berdampingan
dengan sampah.
20. Resiliensi Warga Bantar Gebang Selama Pandemi COVID-19
149
Desain yang dimaksud adalah demi meningkatkan resiliensi dan kualitas
hidup masyarakat dengan menyeimbangkan ekologi (man-nature-waste).
Tentunya, sambil tetap mempertimbangkan aspek-aspek terkait pembuangan
sampah. Dalam pembahasan vernacular landfill, material konstruksi sebagian
besar diolah oleh masyarakat atau pemilik hunian. Selain itu, karena dinding
batas imajiner antara sampah dan pemukiman rawan bergeser, dibutuhkan
struktur bangunan bersifat knock down yakni dapat dibongkar, dipindah, dan
digunakan kembali. Material yang diambil dari sampah harus terlebih dahulu
dibersihkan menggunakan air dan sabun. Selain itu, wawasan terkait material
juga dibutuhkan demi meminimalisir bahaya yang timbul dari material landfill
bagi penghuni dan pekerja konstruksi. Hal ini menunjukan bahwa arsitektur
vernakular perlu dipahami secara utuh oleh pemukim. Lebih jauh, penelitian
dan sertifikasi terkait material landfill juga perlu diupayakan.
Material landfill digunakan untuk membangun model rumah dengan
pendekatan aman, nyaman dan dilengkapi kebun.Alat berkebun dan tempat
sampah kompos juga dapat dibangun menggunakan bahan-bahan TPA
yang aman seperti ecobricks dan lembaran aluminium. Berikut merupakan
salah satu studi mengenai pemanfaatan material landfill sebagai material
konstruksi, yang kami kumpulkan untuk memperluas bahasan mengenai
arsitektur vernakular. Urutan penomoran dibuat berdasarkan wawancara
tentang harga jual barang yang dilakukan oleh Sasaki, Shunsuke, Tetsuya
Araki, Armansyah Halomoan Tambunan, dan Heru Prasadja pada jurnal
“Household Income, Living and Working Conditions of Dumpsite Waste
Pickers in Bantar Gebang: Toward Integrated Waste Management in
Indonesia” pada tahun 2014.
Kemungkinan Desain: Studi Material di TPA
21. Resiliensi warga Bantar Gebang selama Pandemi COVID-19
150
No.
1.
Barang
yang didaur
ulang
PP, ABS,
Nilek
PET
Karung,
Spanduk
poly
Olahan
Biji Plastik
Eco Bricks
Sudah banyak
digunakan oleh
penduduk sebagai
pelapis dinding dan
atap agar tahan
terhadap air
Biji plastik 0.25 cm x
2.5 cm dalam plywood
mold
Sumber: metalocus.es Sumber:
reddit.com
Material
Konstruksi
Panel board sebagai
pengisi dinding
Sebagai pengisi
dinding
Menggunakan tegangan
dari tarikan struktur,
Dapat menjadi
permukaan bangunan
yang kokoh
Material
Berkebun
Sebagai pot
tanaman
Spanduk bekas
sebagai tempat
tanaman
hidroponik.
Tipe
Soft Plastic
22. Resiliensi warga Bantar Gebang selama Pandemi COVID-19
151
No.
2.
3.
4.
Barang
yang didaur
ulang
Ember
Kaleng
Botol
Olahan
Kaleng yang masih
utuh dan kaleng
yang sudah hancur
Botol kaca, baik
masih utuh
maupun sudah
terbagi menjadi
berapa bagian
Material kaca yang
transparan penting untuk
memastikan cahaya
matahari masuk ke dalam
bangunan. Ref: The Tom
Kelly House - Rhyolite,
Nevada - circa 1906
Material
Konstruksi
Dapat disusun menjadi
fasad yang bisa dilalui
angin (breathable house).
Contoh pada Bima
Microlibrary, Shau.
Kaleng minuman sebagai
lapisan atap
Kaleng yang sudah
dihancurkan, dapat
disusun menjadi
lapisan terluar dinding,
pengganti bata
Material
Berkebun
Kaleng yang masih
utuh untuk pertanian
vertikal.
Tipe
Hard Plastic
Besi atau
logam
Kaca
23. Berdasarkan tabel di atas, landfill material yang dapat digunakan dan diolah
di TPA Bantar Gebang mayoritas bervariasi dan dapat mendukung kebutuhan
masyarakatnya. Secara karakteristik, material tersebut dapat dikelompokkan
berdasarkan bidang atau volume, dan sifatnya yang transparan atau masif.
Kesimpulan dari karakter material tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.
Penggunaan material landfill dapat digunakan secara efektif dengan bambu yang ada
dan berbudidaya di Bantar Gebang. Bambu terkenal memiliki sifat yang kuat dan lentur
sehingga sering ditemui pada struktur bangunan vernakular di negara-negara Asia
Tenggara. Selain bambu, tambahan material konstruksi umum lain seperti batu, semen,
plat besi, dan kabel baja sangat dibutuhkan untuk memperkuat dan melengkapi fungsi
yang belum terpenuhi oleh material landfill.
Resiliensi warga Bantar Gebang selama Pandemi COVID-19
152
Sifat
Dimanfaatkan
sebagai
Bidang Volume
Transparan/
Permeabel
Massif
Dinding rumah
hidroponik
Karung tanaman
hidroponik
Jendela
Skylight
Dinding yang
bernapas
Pot tanaman
Penyimpanan air
dan sistem irigasi
Dinding
(pembatas)
Atap
Karung,
Spanduk poly
(warna terang)
Karung,
Spanduk poly
(warna gelap)
Panel atap
kaleng,
susunan kaleng
Dinding panel
biji plastik (PP,
ABS, Nilek)
Transparan/
Permeabel
Susunan eco
bricks (PET)
Susunan ember
(Hard plastic)
Adapun ide pokok yang diaplikasikan pada
modul rumah dan kebun vernacular landfill
di Bantar Gebang adalah:
1. Material lokal, familiar, analog (pekerjaan
mayoritas manual menggunakan alat
tangan, tidak mengandalkan alat berat
atau mesin digital).
2. Struktur knock-down (bongkar pasang)
yang memungkinkan rangka dan pengisi
rumah dipindahkan apabila dinding batas
imajiner antara perumahan- dan gunung
sampah berubah, atau direlokasi ke area
yang lebih baik tetapi masih dekat dengan
tempat kerja (ramah pejalan kaki).
24. Resiliensi warga Bantar Gebang selama Pandemi COVID-19
153
3. Menggunakan pondasi batu yang diambil
dari tanah agar lantai kering, terhindar dari
genangan air dan kelembapan dari tanah.
4. Dinding botol kaca agar cahaya masuk
ke dalam rumah, mengurangi kelembaban.
5. Jendela sebagai ventilasi udara agar
terjadi pergantian udara.
6. Teras yang cukup luas sebagai ruang
berinteraksi dengan tetangga dan
melakukan pekerjaan sehari-hari di luar
ruangan dengan sirkulasi udara yang lebih
baik.
Studi material landfill yang dibuat pada
tulisan ini merupakan contoh skala
kecil dari pandangan lain mengenai
sampah. Mulai dari materialnya, aspek
kekuatan, kesehatan, serta potensinya
menjadi bangunan yang dapat ditinggali.
Hasil dari vernacular landfill kami harap
dapat turut menjadi alternatif jawaban
akan permasalahan shelter yang perlu
dibangun secara cepat, banyak, dan murah
ketika terjadi bencana. Idealnya proses
7. Penutup atap menggunakan lembaran
olahan kaleng yang diberi insulasi suara
dan panas di bawahnya.
8. Pembangunan toilet/fasilitas sanitasi di
depan rumah, agar penghuni membersihkan
diri sebelum masuk ke rumah, menggunakan
material ecobrick yang dilapisi dengan aci
agar tahan air.
9. Penggunaan spanduk bekas, ecobrick,
wadah plastik atau kaleng sebagai pot
tanaman media berkebun.
pembangunan ini turut didukung komunitas
daur ulang yang melibatkan warga
lokal. Namun tentu saja kegiatan studi
material harus dimulai terlebih dahulu.
Harapannya, secara perlahan namun pasti,
proses ini terus berlanjut hingga mampu
meningkatkan kualitas aspek hidup
penghuni yakni: kualitas udara, air bersih,
pangan, serta tempat tinggal.
Ilustrasi modul
rumah dan kebun
menggunakan
landfill material.
Sumber: Josephine
Livina, 2020
25. Resiliensi warga Bantar Gebang selama Pandemi COVID-19
154
Mengapa sebagian masyarakat dan
pemulung enggan meninggalkan TPA?
Apakah mereka tidak memiliki pilihan
lain? Usulan kami selanjutnya adalah
agar pemerintah mempertimbangkan
kemungkinan pemindahan pemukiman
masyarakat ke luar kompleks TPA, tetapi
tetap dekat dengan TPA sebagai sumber
penghidupan. Harapannya, warga bisa
tinggal di lingkungan yang lebih sehat dan
aman dari risiko yang timbul dari TPA.
Ancaman virus tidak akan hilang dalam
waktu dekat. Maka dapat dikatakan bahwa
penyebaran COVID-19 ke masyarakat yang
lebih terisolasi di Bantar Gebang hanya
soal waktu. Kondisi tersebut menempatkan
masyarakat Bantar Gebang menjadi lebih
rentan. Mereka perlu diingatkan agar tidak
terlena dengan “rasa aman palsu” yang
timbul karena telah beradaptasi dan hidup
berdampingan dengan TPA yang memiliki
stigma sebagai sumber penyakit, sehingga
melupakan upaya pencegahan COVID-19.
Penduduk di Bantar Gebang sangat
rentan tertular virus mengingat kurangnya
infrastruktur kesehatan dan sanitasi
yang memadai. Komunitas BGBJ telah
memainkan peran integral dalam masyarakat
yakni mendistribusikan makanan dan
pasokan dasar. Di masa mendatang, BGBJ
berencana meningkatkan ketahanan pangan
dengan membangun kebun di lingkungan
pemukiman masyarakat agar anak-anak dan
keluarga dapat mempelajari cara menanam
sayuran sendiri.
Mengingat fakta bahwa pandemi telah
mengubah kehidupan di TPA dengan
menghadirkan ancaman kesehatan baru, ada
urgensi yang lebih besar untuk memperkuat
ketahanan infrastruktur permukiman
melalui pengembangan fasilitas sanitasi
seperti tempat cuci tangan dan fasilitas
sarana kesehatan.
Keadaan ini dapat dimanfaatkan sebagai
media untuk belajar lebih dalam mengenai
sampah dan pengolahannya. Tidak hanya
untuk kepentingan Bantar Gebang, tetapi
juga dapat dimanfaatkan oleh TPA lainnya.
Studi dilakukan untuk memperdalam
pemahaman potensi daur ulang bahan
limbah yang ada. Studi tersebut terkait
dengan kategorisasi dan standarisasi
jenis bahan limbah yang aman dan kokoh
untuk digunakan dalam memperkuat dan
mengembangkan lingkungan hidup di TPA
Bantar Gebang.
Sebelum pandemi, masyarakat yang tinggal
dan bekerja di Bantar Gebang sudah
menghadapi banyak ancaman kesehatan
dengan kondisi kerja yang buruk akibat
paparan limbah dan penyakit yang timbul
akibat pencemaran di TPA. Solusi jangka
panjang untuk meningkatkan ketahanan
dan kualitas hidup di Bantar Gebang harus
melibatkan partisipasi dan ketegasan
berbagai pihak di sektor politik dan kebijakan
pengelolaan limbah TPA yang lebih baik.
Pemberian kesempatan kerja yang menjamin
stabilitas dan perlindungan saat bekerja di
TPA penting untuk diupayakan.
Pertanyaan Lain Terkait Pendekatan Jangka Pendek dan Jangka Panjang
26. Resiliensi warga Bantar Gebang selama Pandemi COVID-19
155
Secara jangka panjang, mengkaji dampak pandemi terhadap pola konsumsi
masyarakat dan dampaknya untuk lingkungan kita sendiri juga perlu
dilakukan. Bagaimana penumpukan limbah sekali pakai menambah tekanan
pada TPA di Bantar Gebang? Alih-alih mendaur ulang limbah, pengurangan
limbah mungkin merupakan pendekatan yang lebih efektifuntuk meringankan
beban TPA dalam memproses sampah agar tidak melebihi kapasitasnya.
Lantas apakah kita telah mempertanyakan hal yang tepat? Masih adakah
pertanyaan lain yang tidak terlihat? Apa dampak dari mengabaikan krisis
tak tampak ini? Dalam mengatasi permasalahan ini, para pihak dari sektor
politik dan para pembuat kebijakan dari berbagai sektor baik di tingkat kota,
provinsi, negara, hingga sektor swasta perlu dilibatkan dan mengambil peran
riil. Berbagai kebijakan yang direncanakan dan diterapkan oleh pemerintah
hanyalah langkah awal untuk meningkatkan kualitas hidup pemulung dan
pekerja di TPA Bantar Gebang. Sebab pada akhirnya, perubahan nyata hanya
dapat dicapai dengan aksi kolektif oleh berbagai lapisan sektor masyarakat
dan keputusan pemangku kepentingan dari hulu hingga hilir.
Krisis pandemi di Bantar Gebang adalah krisis yang tak nampak, tapi tengah
terjadi. Pandemi ini menguak isu-isu lama dari sektor informal yang sejatinya
mencakup kondisi kerja dan kehidupan yang berbahaya. Pandemi telah
menunjukkan keterkaitan antara ekosistem dan masyarakat. Peristiwa yang
terjadi di Jakarta akan berdampak pada Bantar Gebang, khususnya pada
populasi lokal. Dalam mengatasi pandemi ini, penting untuk mengetahui
cara masyarakat mengembangkan “norma” baru terkait ketahanan sosial.
Untuk memahami bagaimana pandemi telah merusak kehidupan “normal”,
kita perlu melihat peluang dan potensi dari “normal baru”.
Di sisi lain, keinginan pemulung akan lebih banyak sampah agar dapat
lebih banyak untung dapat ditanggulangi dengan memastikan sampah yang
dibuang ke TPA lebih berkualitas, alih-alih meningkatkan volume sampah.
Guna mewujudkan intervensi tersebut, masalah pengumpulan sampah di
Jakarta perlu terlebih dahulu diatasi. DKI Jakarta masih memiliki persoalan
terkait pengadaan tata cara pembuangan sampah dari tingkat rumah tangga
hingga TPA. Salah satunya ialah terkait prosedur pembuangan sampah
medis seperti masker dan hazmat yang telah terkontaminasi. Fasilitas
dasar berupa sanitasi penting untuk disediakan di TPA sebagai wujud nyata
kepedulian pada hak asasi manusia, pekerja, maupun pemulung dalam
pemeliharaan infrastruktur TPA itu sendiri.
27. Resiliensi warga Bantar Gebang selama Pandemi COVID-19
156
Referensi
Anonymous. May 18th, 2020. “KLHK Klaim Produksi
Sampah Turun Selama Pandemi Corona.” CNN Indonesia.
Boenard, Resa. Interview. May 21st, 2020.
Devlin, John. Interview. June 20th, 2020. Bandung.
Dean, Adam and Paddock, Richard C. April 27th, 2020.
“Jakarta’s Trash Mountain: ‘When People Are Desperate
for Jobs, They Come Here’” New York Times.
Devlin, John. 2020. “Landfill Vernacular” in Reframing
the Vernacular: Politics, Semiotics, and Representation.
Reframing the Vernacular: Politics, Semiotics, and
Representation, edited by Gusti, Made Suartika, and Julie
Nichols. Springer: Switzerland.
Edwards, B.: Rough Guide to Sustainability A Design
Primer. Futures (2010)
Martin, R dan Sunley, P. On the notion of regional
economic resilience: conceptualization and explanation.
Journal of Economic Geography. Oxford Academic. 2015,
15, 1-42.
Pickett, S.T.A.; McGrath, B.; Cadenasso, M.L.; Felson, A.J.
Ecological resilience and resilient cities. Build. Res. Inf.
2014, 42, 143–157.
*dihitung menggunakan perbandingan dari gambar
satelit
Presentasi Sekolah Urbanis, 2020.
Rustandi, Kevin Kristian, May 15th, 2020. “Masalah Akses
Kesehatan Membuat Kelompok Menengah Rentan Dalam
Pandemi COVID-19.” The Conversation Indonesia.
Raslan, Karim. Juli 15th, 2019. “As the waste piles higher
in Jakarta’s vast landfill, the Western lie about recycling
is further exposed” SCMP.
Sasaki, Shunsuke, Tetsuya Araki, Armansyah Halomoan
Tambunan, and Heru Prasadja. 2014. “Household Income,
Living and Working Conditions of Dumpsite Waste
Pickers in Bantar Gebang: Toward Integrated Waste
Management in Indonesia.” Resources, Conservation and
Recycling 89: 11–21.
Susanty, Farida. April 3rd, 2020 “COVID-19: Govt to
provide Rp 4.5t in social assistance to millions of low-
income people in Jakarta.” Jakarta Post.
Tidball, K.; Stedman, R. Positive dependency and
virtuous cycles: From resource dependence to resilience
in urban social-ecological system. Ecol. Econ. 2013, 86,
292–299.
Yasa, Raditya Mahendra. May 20th, 2020. “Para Pemungut
Sampah di Tengah Wabah” Kompas Interaktif.
28. Daftar
Kontributor
Analissa Huwaina
Angelika Fortuna
Arina Resyta Rahma
Armadina Az Zahra
Bagas Yusuf Kausan
Dewi Tan
Dian Tri Irawaty
Elisa Sutanudjaja
Faiz E Philarette
Gabriela Karnadi
Halifaldza Jaladri
Ilham Ramadhan D Arifin
Inas Raras Maheningtyas
Isnu Putra Pratama
Izzudin Al Farras
Janine Febe Karistie
Josephine Livina
Kania Thea Pradipta
Michael Tanuhardjo
Muhammad Haidar Allam
Nurlina Yustiningrum
Prie Supriyanto
Putri Annisa Rahmawati
Radiva Nida Nabila
Rifqi Khoirul Anam
Risca Ardita Novianti
Rizky Pudjianto
Samuel Gerald
Theresia Pratiwi Elingsetyo Sanubari
Vassilisa Agata
Vidya Tanny
Vinsensius Gilrandy Santoso
William Yap
Woerjantari Kartidjo
Daftar Kontributor
244