Buku anak berjudul "Harapan, di mana kamu?" menceritakan pengalaman beberapa anak selama masa pandemik. Anak-anak tersebut mengalami berbagai kesulitan seperti kesepian, merindukan sekolah, khawatir dengan keluarga, namun tetap berusaha menemukan harapan melalui berbagai aktivitas kreatif dan dukungan dari orang-orang terdekat.
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
Bahasa pdf small hway
1.
2. Harapan, di mana kamu?
Sebuah buku anak oleh
Armand Doucet & Elisa Guerra.
Ilustrasi oleh Ana RoGu
Terjemahan Bahasa Indonesia oleh
Kandi Sekarwulan
3. Temukan dan jelajahi berbagai sumber
pendukung belajar-sambil-bermain bertema
“Harapan, di Mana Kamu?”
www.hopewhereareyou.com
4. Kami sangat terkesan atas usaha luar biasa rekan-rekan kami, para guru di
seluruh dunia, untuk membantu siswa-siswi mereka pada masa Belajar di Rumah.
Namun, seperti diketahui semua guru, membesarkan seorang anak adalah
tanggung jawab seluruh masyarakat. Berbagai usaha yang dilakukan oleh
komunitas pendidikan dalam skala lebih luas juga luar biasa. Kepemimpinan
sekolah maupun institusi pendidikan lain, orang tua, saudara, keluarga, pekerja
sosial, organisasi global, LSM, dan banyak pihak lain telah bekerja keras untuk
merawat harapan anak-anak di seluruh dunia.
Buku ini dipersembahkan kepada setiap orang yang terus berusaha menjaga
cahaya harapan agar tetap bersinar bagi anak-anak kita.
Untuk Armando Persico, rekan dan sahabat kami, yang seperti
banyak orang lain, telah mengingatkan betapa pentingnya harapan
dalam masa pandemik ini.
Ana, Armand, dan Elisa
7. Aku rindu semua tentang sekolah,
bahkan berjalan kaki dua jam untuk
sampai ke sana. Aku mengisi hari dengan
membantu Ibu, sementara adik-adik
perempuanku bermain. Menyibukkan diri
dapat mengalihkan pikiranku dari rasa
lapar. Ketika Ayah sedang tidak di
rumah, aku mendengarkan pelajaran
sekolah lewat radio.
Hari ini aku mendengar ayah berkata,
aku mungkin tidak diizinkan kembali
sekolah. Kakak perempuanku menikah
saat berumur duabelas. Umurku baru 11
tahun, aku punya mimpi ingin menjadi
guru. Aku perlu kembali bersekolah.
Aku khawatir akan adik-adikku. Aku takut
atas nasibku.
8. Guruku, Amina, berkunjung ke
rumah bersama dua laki-laki yang
tak kukenal. Mereka membawa
sekardus makanan untuk keluarga
kami. Kurasa kedua laki-laki itu
bekerja di organisasi global yang
menolong orang-orang.
Ibu mengajakku dan adik-adik
keluar rumah untuk mengambil air.
Katanya, “Mari tinggal di luar
sebentar; mereka perlu bicara
pada Ayah.” Ketiga orang itu
mengobrol lama dengan ayahku.
Aku penasaran apa yang mereka
bicarakan.
9. Ayah memanggilku dan
berkata, “Ayah sudah putuskan,
kamu akan kembali bersekolah.”
Lanjutnya, “Maukah kamu
mengajari adikmu matematika?
Ayah ingin lihat.”
Aku bersemangat saat
menjelaskan keajaiban
angka-angka pada adik-adikku.
Bahkan Ibu dan Ayah memutuskan
ikut belajar.
Aku percaya aku bisa jadi guru.
Menemui rasa hangat dan lembut
dalam diri, kumakan chapati-ku
sambil membayangkan masa
depan yang cerah.
10.
11. Minggu lalu kami pindah ke rumah di
desa, dan aku kesepian. Aku suka kota,
keseruannya, orang-orangnya. Namun kini,
semua tiba-tiba ditutup. Aku tidak bisa
pergi sekolah dan mendapat teman baru.
Kakak laki-lakiku, Kauri, sedang membantu
orang tuaku membongkar barang-barang.
Aku sudah selesai membereskan kamar;
barangku tidak banyak. Kami sering
berpindah, ke tempat manapun yang ada
pekerjaan untuk Ayah. Jadi aku
menyingkirkan semua barang kecuali bola
rugbi-ku dan kotak perkakas, karena aku
suka bertukang.
Di halaman belakang, yang kulihat hanya
perbukitan dan kardus-kardus bekas
pindahan, tak ada apapun selain itu. Aku
merasa tak terlihat. Aku merasa bukan diriku
yang biasanya.
12. “Bagaimana kalau kamu membangun sesuatu
dengan perkakasmu?” Kauri percaya, kita
paling bahagia jika bisa membangun sesuatu
dengan tangan sendiri.
Kakak benar. Aku memotong dan menyusun
kardus untuk membangun lingkungan tempat
tinggalku yang lama, lalu dengan spidol
kugambar orang-orang yang sangat
kurindukan. Aku membayangkan perasaan
mereka selama karantina.
Kutaruh kaleng-kaleng berkarat di seluruh
kota kardusku dan menggambar kuman-
kuman di atasnya. “Wah, ide bagus!” ujar
Kauri lagi. Ia bergabung sambil membawa
bola rugbi-ku.
“Mari usir kuman-kuman ini.” Aku mulai
melempari kaleng-kaleng kuman dengan
bola rugbi. Aku merasa kuat.
13. Aku membayangkan diriku mengalahkan
para kuman, sehingga teman-teman dan
lingkunganku kembali bebas.
“Ini keren,” ujar Kauri. Ia mengeluarkan
ponsel dan mengirim foto permainan
buatanku pada teman-teman lama;
ternyata mereka juga mau bermain! Kami
membuat grup chat dan berbagi foto
lemparan terbaik. Sambil tertawa keras,
aku berseru, “Semua orang harus coba ini,
rasanya asyik sekali!”
“Lebih asyik lagi karena kita bermain
bersama teman-teman,” kata Kauri.
Ternyata aku tidak sendirian; aku merasa
kembali jadi diriku yang biasa. Menemui
rasa hangat dan lembut di dalam diri, aku
membuat video, lalu menantang lebih
banyak teman untuk bergabung dalam
permainan kami.
14.
15. Kakak-kakakku sedang mengerjakan
PR. Ibu sedang mengajar kelas-kelas di
SMA. Semua orang menatap layar. Aku
bosan, bosan, bosan. Aku berusaha
mengikuti pelajaran di komputer: sulit,
aku rindu bermain di luar dengan
teman-teman, aku rindu menari. Rasanya
kulitku bergelenyar, dan aku tak bisa
diam.
Kuharap waktu berjalan lebih cepat.
Mungkin aku bisa mempercepat waktu
kalau aku lari sangat cepat. Ups, aku
mengganggu semua orang lagi. “Bisa.
Berhenti. RUSUH. Nggak!” jerit Mikey,
dan “Aaarrrgh, jangan lagi,” teriak Peter.
Aku membuat semua orang marah. Aku
merasa bukan diriku yang biasa.
16. “Kate, bisakah kamu membaca dengan
tenang sebentar saja?” Aku duduk diam
selama dua menit, lalu kakiku mulai
berkedut. Aku hampir meledak. Aku
akan membuat masalah lagi.
Tiba-tiba, telepon berdering! Aku lari
dan menjawabnya. Ternyata Bu
Robinson, ia bertanya, “Apa kabar,
Kate?” Aku menyelinap ke bawah meja,
air mata membuncah dan aku berbisik,
“Aku sedang nakal, aku tidak bisa
diam.”
Bu Robinson mengingatkan, di sekolah
kami biasa beryoga untuk
menenangkan diri di pagi hari. Ia
menyarankan aku latihan yoga setiap
pagi, dan berjanji akan mengirim video
pada Ibu.
17. Seminggu kemudian, aku
memimpin keluargaku beryoga
seperti ajaran Bu Robinson! Aku
sudah bisa melakukan pose
pohon. Aku sangat pandai,
bahkan kakak-kakakku
mengakuinya.
“Terima kasih, Kate,” kata Ibu.
“Asyik sekali memulai hari
dengan cara seperti ini.”
Aku merasa berguna. Aku
merasa diinginkan. Aku kembali
merasa seperti aku yang
biasanya. Menemui rasa hangat
dan lembut dalam diri, aku bisa
tetap tenang dan fokus
sepanjang hari.
18.
19. Kedua orang tuaku dokter. Mereka
dibutuhkan di rumah sakit, jadi Bibi
datang menginap untuk menjagaku.
Ketika Bibi tiba di rumah, aku menolak
mengantar orang tuaku pergi, dan
bersembunyi dalam kamar.
Sekarang aku kangen mereka. Aku
rindu berbagai percobaan yang kami
lakukan bersama, merakit benda-
benda, membuat 3D printing. Bibiku
hanya suka menonton TV. Aku malu
pada diriku sendiri.
Hari ini, ketika Bibi menelpon orang
tuaku, aku melihat ruam-ruam parah di
wajah Ibu dan Ayah. Mereka memakai
masker medis sepanjang waktu. Aku
ingin membantu mereka.
20. Aku sangat suka sains dan teknologi, jadi
aku selalu menonton “ruang kelas virtual”
Pak Chun. Pelajaran darinya selalu
kutunggu, satu-satunya saat aku merasa
seperti diriku sendiri. Namun hari ini aku
diam saja waktu Pak Chun mengusulkan
sebuah proyek sains.
Temanku, Jin, sadar ada sesuatu yang
tidak beres. Biasanya aku selalu
bersemangat. Setelah kelas berakhir, Jin
menelepon dan bertanya, “Ada apa, Bo?”
Kuceritakan pada Jin apa yang terjadi,
juga kekhawatiranku atas Ibu dan Ayah.
Aku tidak tahu bagaimana cara
membantu mereka.
“Kamu masih punya 3D printer di rumah?”
tanya Jin, “Bagaimana kalau kita pakai
itu untuk proyek sains?”
21. Ibu dan Ayah menelpon, aku
mengangkatnya. “Lihat, Bo!” kata Ibu,
yang memakai masker pelindung
buatanku dan Jin. Kami bekerja sama
merancang dan mencetak
masker-masker untuk Ibu dan Ayah.
Ayah bertanya, “Apa kamu dan Jin bisa
membuat beberapa lagi untuk
teman-teman dokter dan perawat di
sini?” Dengan bangga aku menjawab,
“Tentu saja!” Ibu dan Ayah tersenyum
cerah.
Aku sangat sibuk, dan kembali merasa
seperti diriku sendiri. Menemui rasa
hangat dan lembut dalam diri, aku
bersiap mencetak lebih banyak lagi
masker pelindung.
22.
23. Kami di rumah terus sepanjang waktu.
Itu tidak mudah. Aku berusaha mengikuti
“belajar jarak jauh,” begitu sebutan Ibu
Guru untuk belajar lewat komputer,
tetapi kadang perhatianku teralihkan.
Nico dan Felipe, kedua adik kembarku,
sering menangis. Hal itu membuat Papi
kesal. Ia marah dan membentak Mama.
Aku benci jika Papi membentak Mama.
Kata Mama, Papi khawatir akan
bisnisnya. Mama berusaha menghiburku
dengan berkata, “Semua akan kembali
normal, lalu kita akan baik-baik saja.”
Semoga Mama benar. Keluargaku tidak
seperti biasanya lagi.
24. Esoknya, perhatianku teralih karena kakek
menelepon. Aku takut kakek akan mendengar
tangisan Nico dan Felipe, dan suara keras Papi di
latar belakang. Kakek bertanya, “Ada apa,
Gaby?”
Tak sanggup menahan diri, kuceritakan pada
kakek bahwa orang tuaku sedang tegang dan
sering bertengkar. Si kembar terus-menerus
menangis. Aku tak pernah lagi memanggang kue
bersama Ayah. Aku rindu wangi kue. Aku rindu
berjalan bersama Ayah di keteduhan pohon
Jacaranda, sementara aku bercerita tentang
hariku di sekolah dan makan kue segar buatan
kami.
Kata Kakek, “Gaby, Kakek punya ide untuk tugas
sekolahmu. Bagaimana kalau kamu menulis cerita
tentang perasaanmu selama menjalani hari-hari
ini? Kakek bisa bantu memeriksa tulisanmu, dan
kamu bisa menambahkan gambar.”
25. “Kakek menelepon,” kata Mama. Ia
memelukku dan berbisik, “Ayah dan Ibu
ingin dengar cerita buatanmu.”
Setelah selesai membacakan ceritaku,
Papi dan Mama terdiam. Papi
bersandar pada Mama dan berkata,
“Maafkan Papi, Ma,” lalu memeluknya.
Ia menoleh padaku dan tersenyum
lebar, “Gaby, bagaimana kalau kita
membuat kue lagi?”
Saat memanggang kue sambil
bernyanyi, aku kembali merasa seperti
diriku sendiri. Menemui rasa hangat
dan lembut dalam diri, aku berniat
membagi ceritaku pada guru dan
teman-teman di waktu belajar
berikutnya.
26.
27. Sudah dua minggu kami belajar
di rumah. Sebelum sekolah ditutup,
guruku memastikan semua buku dan
barang-barangku dibawa pulang,
termasuk biolaku. Keadaan sedang
sulit. Nenek sakit keras.
Aku bisa melihat bahwa orangtuaku
khawatir. Aku juga khawatir. Kami
tidak bisa bicara ataupun
menjenguk nenek. Aku sangat sedih.
Aku bingung bagaimana
mengungkapkan perasaanku, dan
tidak mau mengganggu orang tuaku.
Kami tinggal di apartemen kecil,
tetapi aku tetap merasa sangat
kesepian. Aku merasa bukan diriku
yang biasa.
.
28. Kami diberitahu lewat telepon, Nenek
meninggal. Begitu saja. Aku tidak boleh
mengucapkan salam perpisahan.
Bu Rossi, tetangga sebelah kami,
menelepon: “Aku dengar kabarnya,
Alessandro. Aku sangat berduka.” Aku diam
saja, tidak tahu harus menjawab apa.
Bu Rossi melanjutkan, “Jangan lupa biolamu,
Alessandro. Dalam masa seperti ini, kamu
bisa mengungkapkan perasaan lewat
musik.” Aku menggumamkan ucapan terima
kasih dan menutup telepon.
Kupandangi biolaku lama, dan akhirnya
mengambilnya. Saat kumainkan biola, air
mata mengalir turun di pipiku dan aku
merasa lega. Kedua orangtuaku menonton,
tersenyum.
29. Kata Ayah dan Ibu, Nenek selalu
suka mendengarku bermain
musik. Mereka juga bilang,
sebaiknya aku keluar ke balkon
dan mengirimkan lagu ke langit.
Ketika senja tiba, aku
melangkah ke balkon dan mulai
bermain. Tak kusangka, para
tetangga lain ikut keluar dan
memainkan alat musik mereka,
atau menyanyi.
Aku kembali merasa seperti aku
yang biasanya. Menemui rasa
hangat dan lembut dalam diri,
aku berharap Nenek mendengar
musikku.