SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 23
Downloaden Sie, um offline zu lesen
TUGAS MAKALAH
MATAKULIAH SISTEM LINGKUNGAN AKUAKULTUR
HUBUNGAN LIMBAH AKUAKULTUR DAN EUTROFIKASI
Dosen Pengajar: Dr. Kukuh Nirmala, S.Pi, M.Si
Disusun Oleh :
WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA
SEKOLAH PASCASARJANA
ILMU AKUAKULTUR
BOGOR
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Air dikatakan tercemar apabila ada pengaruh atau kontaminasi zat organik
maupun anorganik ke dalam air. Hubungan ini terkadang tidak seimbang karena
setiap kebutuhan organisme berbeda beda, ada yang diuntungkan karena
menyuburkan sehingga dapat berkembang dengan cepat sementara organisme lain
terdesak. Perkembangan organisme perairan secara berlebihan merupakan
gangguan dan dapat dikategorikan sebagai pencemaran, yang merugikan
organisme akuatik lainnya maupun manusia secara tidak langsung. Pencemaran
yang berupa penyuburan organisme tertentu disebut eutrofikasi yang banyak di
jumpai khususnya di perairan darat.
Pada awal abab ke-20 manusia mulai menyadari adanya gejala eutrofikasi
pada badan perairan akibat pengkayaan unsur hara yang masuk ke perairan.
Mengingat bahwa eutrofikasi merupakan ancaman yang serius bagi kualitas air di
perairan, maka kita harus memahami prosesnya, penyebab, dan dampak dari
eutrofikasi bagi usaha akuakultur sehingga kita dapat mencari solusi yang tepat
untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Walaupun eutrofikasi pada umumnya
merupakan proses alami, namun pada masa kini eutrofikasi antropogenik yaitu
eutrofikasi yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Eutrofikasi sendiri dapat
diakibatkan oleh aktivitas akuakultur atau aktivitas manusia yang berakibat pada
lingkungan akuakultur.
1.2. Identifikasi Masalah
Apakah dampak yang ditimbulkan Eutrofikasi ?
1.3. Maksud dan Tujuan
Mengetahui dampak yang ditimbulkan Eutrofikasi secara umum dan khusus
akuakultur
BAB II
ISI
Lingkungan secara umum terdiri dari komponen hidup (biotik) dan
komponen tak hidup (abiotik) yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang
teratur. Untuk mencapainya, dibutuhkan arus materi dan energi yang dikendalikan
oleh arus informasi di antara komponen-komponen tersebut (Kristanto, 2004).
Keteraturan tersebut menunjukkan suatu kondisi keseimbangan yang tidak
statis melainkan dinamis dan selalu berubah (berbentuk siklus). Siklus yang
terjadi biasanya merupakan aliran ion ataupun molekul dari nutrien yang
dipindahkan dari lingkungan ke organisme (komponen hidup) dan dikembalikan
lagi ke komponen tak hidup (abiotik). Siklus ini disebut sebagai siklus
biogeokimia. Cakupan dari siklus biogeokimia adalah siklus hidrologi, siklus
atmosfer, dan siklus sedimen (Basukriadi, 2011). Siklus biogeokimia yang
terpenting adalah siklus karbon dan oksigen, siklus nitrogen dan siklus fosfor,
yang berperan terhadap lingkungan tanaman (Jumin, 2002).
A. Siklus Hidrologi
Siklus ini merupakan siklus air di bumi yang dipengaruhi oleh peran
energi matahari dan gaya gravitasi bumi. Proses-proses penting yang terjadi
adalah proses penguapan, transpirasi, kondensasi, dan presipitasi. Penguapan
(evaporasi) merupakan perubahan fase air dari bentuk cairan menjadi bentuk gas
akibat panas matahari di permukaan bumi. Pada proses ini, dikhususkan air yang
bukan berasal dari tanaman, contohnya air danau, sungai, lautan dan bagian
hidrosfer lainnya. Penguapan ini terjadi sekitar 84% di lautan dan 16% di daratan.
Sementara, penguapan yang terjadi pada tanaman disebut transpirasi. Air dalam
bentuk uap ini kemudian memasuki atmosfer dan mengalami pendinginan
sehingga terjadi kondensasi dan membentuk awan. Awan akan terbawa oleh angin
ke bagian lain dari bumi. Setelah itu, terjadi siklus ulang (Buchari, 2001).
B. Siklus Atmosfer
Siklus ini merupakan siklus yang terkait dengan kandungan gas yang ada di
bumi, di mana tempat terjadinya adalah di atmosfer. Siklus ini agak cepat
beradaptasi jika ada gangguan akibat wilayah yang luas. Selain itu, siklus ini juga
relatif sempurna dalam arti global karena ada peningkatan umpan balik negatif
dari alam. Bagian yang terpenting adalah siklus karbon (C), siklus nitrogen (N2)
dan oksigen (O2).
 Siklus karbon
Siklus karbon dapat terbagi menjadi dua macam, yaitu siklus dalam reaksi
termonuklir berantai dalam binatang dan siklus karbon di bumi. Siklus di bumi
ini lebih terkenal dengan siklus karbondioksida karena material yang
berpindah adalah CO2. CO2 dalam udara digunakan oleh tanaman untuk
reaksi fotosintesis menjadi materi organik (karbohidrat) dengan adanya
gabungan dengan air. reaksi oleh saprovor terkadang lambat sehingga
senyawa karbon menumpuk dalam jangka waktu yang lama dalam bentuk
gambut, batu bara, minyak bumi, ataupun batu karang(Buchari, 2001).
Pada ekosistem laut, terdapat karbon terlarut yang akan berubah menjadi
cangkang dan tulang organisme laut dan menjadi sedimen. Selain itu,
pengangkatan tektonik membawa karbon ke permukaan laut (Basukriadi, 2011).
 Siklus nitrogen
Nitrogen ini akan diikat oleh tanaman dalam bentuk gas N2, serta diambil
dari tanah dalam bentuk amonia (NH3), ion nitrit (N02- ), dan ion nitrat (N03)
dengan bantuan bakteri, misalnya Marsiella crenata. Di dalam tanah, terdapat
juga bakteri yang mengikat nitrogen secara langsung yaitu Azotobacter sp. dan
Clostridium sp. Mereka menggunakan nitrogen untuk dijadikan senyawa
penyusun tubuh yaitu protein. Saat baketri itu mati, timbul zat urai berupa
amonia. Amonia akan terlepas ke udara, atau dinitrifikasi oleh bakteri nitrit,
yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus lalu dioksidasi dalam lingkungan aerob
sehingga menghasilkan nitrat yang akan diserap oleh akar tumbuhan (proses
nitrifikasi).
Selanjutnya oleh bakteri denitrifikan, nitrat diubah menjadi amonia
kembali,dan amonia diubah menjadi nitrogen yang dilepas ke udara. Nitrogen
di udara akan diikat kembali oleh tanaman, dan sebagian bereaksi dengan
hidrogen atau oksigen dengan bantuan kilat/ petir. Dengan cara ini, siklus
nitrogen berulang (Riastuti, 2011).
 Siklus oksigen
Dari proses fotosintesis tanaman, dihasilkan oksigen ke udara. Organism
berespirasi, menghancurkan bahan organik menjadi senyawa yang lebih
sederhana (CO2). CO2 ini akan digunakan kembali untuk fotosintesis dengan
hasil samping O2 (siklus berulang). Selain itu, O2 digunakan untuk pelapukan
oksidatif dan pembakaran bahan baku fosil. Selain itu, O2 di udara dapat
berbentuk ion, atom tereksitasi ataupun ozon O3 akibat pengaruh radiasi
ultraviolet. Oksigen tereksitasi akan memancarkan cahaya tampak pada
panjang gelombang tertentu menimbulkan fenomena cahaya langit (air glow).
Sementara, ozon berfungsi sebagai pelindung bumi karena menyerap radiasi
UV (Buchori, 2001).
C. Siklus Sedimen
 Siklus fosfor
Fosfor merupakan elemen penting dalam kehidupan karena semua makhluk
hidup membutuhkan posfor dalam bentuk ATP (Adenosin Tri Fosfat), sebagai
sumber energi untuk metabolisme sel.
Ada dua bentuk fosfor yang terdapat di alam, yaitu senyawa fosfat organik
(pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan
tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh
dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang
terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut.
( Adi, 2011)
 Siklus belerang (sulfur)
Sulfur yang ada di alam berada di kulit bumi. Sulfur terdapat dalam bentuk
sulfat anorganik. Sulfur direduksi oleh bakteri menjadi sulfida dan kadang
terdapat dalam bentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfide (H2S). H2S ini
bisa mengakibatkan kematian bagi mahluk hidup yang berada di perairan.
Pada umumnya H2S dihasilkan dari penguraian bahan organik yang telah
mati. Tumbuhan berklorofil dan sejumlah bakteri dapat menyerap secara
langsung senyawa sulfur dalam bentuk larutan (SOP42-) atau gas.( Adi, 2011)
Perpindahan sulfat terjadi melalui proses rantai makanan, lalu semua
mahluk hidup mati dan komponen organiknya akan diuraikan oleh bakteri.
Beberapa jenis bakteri yang terlibat dalam siklus sulfur, antara lain
Desulfomaculum dan Desulfibrio yang akan mereduksi sulfat menjadi sulfida
dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S). Kemudian H2S digunakan oleh bakteri
fotoautotrof anaerob (seperti Chromatium) untuk melepaskan sulfur dan
oksigen. Sulfur dioksidasi menjadi sulfat oleh bakteri kemolitotrof seperti
Thiobacillus.( Buchari, 2011).
D. Eutrofikasi
Eutrofikasi adalah proses pengayaan nutrien dan bahan organik dalam jasad
air. Eutrofikasi memberi kesan kepada ekologi dan pengurusan sistem akuatik
yang mana selalu disebabkan masuknya nutrien berlebih terutama pada buangan
pertanian dan buangan limbah rumah tangga. (Tusseau-Vuilleman, M.H. 2001).
Eutrofikasi adalah suatu proses di mana suatu tumbuhan tumbuh dengan sangat
cepat dibandingkan pertumbuhan yang normal. Proses ini juga sering disebut
dengan blooming. Dengan kata lain merupakan pencemaran air yang disebabkan
oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan
eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang
35-100 µg/L. Menurut Goldmen dan Horne (1983), eutrofikasi perairan D. dapat
dibagi dua macam yaitu cultural eutrophication dan natural eutrophication.
Cultural eutrophication adalah eutrofikasi yang disebabkan karena terjadinya
proses peningkatan unsur hara di perairan oleh aktivitas manusia. Natural
eutrophication adalah eutrofikasi alami yaitu peningkatan unsure hara di dalam
perairan bukan karena alami.
Aktivitas manusia yang menyebabkan eutrofikasi banyak sekali macamnya.
Menurut Morse et al (1993) 10% berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu
sendiri), 7% dari industri, 11% dari detergen, 17% dari pupuk pertanian, 23% dari
limbah manusia, dan yang terbesar, 32%, dari limbah peternakan. Dari data
statistic di atas juga dapat diketahui bahwa 90 % penyebab eutrofikasi adalah
berasal dari aktivitas manusia. Hal ini menunjukkan bahwa eutrofikasi cultural
lebih banyak terjadi daripada eutrofikasi alami.
1. Penyebab Eutrofikasi
Beberapa detergen mengandung phospat, oleh karana itu detergen juga
merupakan sumber penyebab eutrofikasi yang perlu mendapatkan perhatian
khusus. Walaupun banyak undang-undang dan peratauran yang membatasi
atau melarang penggunaan detergen yang mengandung phospat, namun
sampai saat ini belum berdampak pada eliminasi masalah eutrofikasi.
Selain P (fosfor) senyawa lain yang harus di perhatiakan adalah nitrogen.
Distribusi penggunaan pupuk nitrogen terus meningkat dar tahun ke tahun.
Komponen nitrogen sangat mudah larut dan mudah berpindah di dalam tanah,
sedangkan tanaman kurang mampu menyerap semua pupuk nitrogen. Sebagai
akibatnya, rembesan nitrogen yang verasal dari pupuk yang masuk kedalam
tanah semakin meluas, rembesan nitrogen yang berasal dari pupuk yang
masuk kedalam tanah semakin meluas, tidak terbatas pada area sandy soil.
Sejumlah kelebihan nitrogen akan berakhir di air tanah. Konsentrasi nitrogen
dalam bentuk nitrat secara bertahap meningkat di beberapa mata air di areal
pertanian, yang akan menyebabkan terganggunya kesehatan manusia yang
mengkonsumsi air tersebut sebagai air minum.
Dalam tanah, pupuk N akan dengan cepat melepas amonium dan nitrat.
Nitrat sangat mudah larut (kelarutannya tinggi) sehingga mudah hilang
melalui pelepasan. Hampir 30% N hilang melalui leaching (pencucian). Nitrat
masuk kedalam air permuakaan melalui aliran air dibawah permukaan atau
drainase dan masuk kedalam air tanah melalui penapisan lapisan tanah sebelah
bawah. Pada umumnya konsentrasi N di perairan. Pada umumnya konsentrasi
N di perairan meningkat (tinggi) pada saat pemupukan, terutama setelah
hujan. Nitrogen dapat pula hilang sebagai amonia dari penggunaan sumber-
sumber nutrien organik seperti pupuk, pupuk cair (slury). Adanya amonia di
perairan dapat menjadi indikasi terjadinya kontaminasi oleh pemupukan yang
berasal dari material organik. N tinggi juga berasal dari peternakan terbuka.
Dari laporan penelitian di UK ditunjukkan bahwa area peternakan
menghasilkan limbah N lebih dari 600 kg/ha/hari dan yang hilang/lepas
ketanah dapat mencapai 200 kg/ha.
2. Dampak Eutrofikasi di Perairan
Efek dari eutrofikasi pada perairan yang miskin nutrien tidak bersifat
negatif. Peningkatan pertumbuhan alga dan berbagai vegetasi dapat
menguntungkan bagi kehidupan fauna akuatik. Salah satu contoh adalah
produksi ikan meningkat. Jika eutrofikasi terus berlanjut, pertumbuhan
plankton menjadi sangat lebat, sehingga menutupi perairan. Proses ini akan
mengakibatkan gelap di bawah permukaan air, dan kondisi ini berbahaya bagi
vegetasi air. Problem yang serius akibat eutrofikasi ditimbulkan oleh
petumbuhan alga sel tunggal secara hebat, proses dekomposisi dari sel yang
mati akan mengurangi oksigen terlarut. Tanaman akuatik (termasuk alga) akan
mempengaruhi konsentrasi O2 dan pH perairan disekitarnya. Pertumbuhan
alga yang pesat, akan menyebabkan fluktuasi pH dan oksigen terlarut menjadi
besar pula. Hal ini akan menyebabkan terganggunya proses metabolik dalam
organisme, yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Di perairan yang sangat kaya akan nutrien, produksi plankton dapat
menjadi sangat berlebihan. Spesies plankton tertentu muncul secara berkala
dalam kuantitas yang sangat besar, yang sering dikenal sebagai “alga bloom”.
Beberapa alga tertentu dapat menimbulkan bau dan rasa yang tidak sedap di
perairan, dan mengakibatkan konsekuensi yang sama jika perairan menerima
material organik dari sumber-sumber pencemar, yaitu sejumlah besar oksigen
dalam air terkonsumsi ketika sejumlah besar plankton yang mati berpindah ke
dasar perairan dan terdegradasi. Defisiensi oksigen dapat mengurangi
kehiupan bentik dan ikan. Jika perairan menjadi de-oksigenasi, hidrogen sulfid
(H2S) akan meracuni semua bentuk kehidupan di perairan. Akhirnya
eutrofikasi berat dapat menimbulkan pengurangan sejumlah spesies tanama
dan hewan di perairan.
Secara singkat dampak eutrofiaksi di perairan dapat dirangkum sebagai
berikut:
o Rusaknya habitat untuk kehidupan berbagai spesies ikan dan
invertebrata. Kerusakan habitat akan menyebabkan berkurangnya
biodiversitas di habitat akuatik dan spesies lain dalam rantai makanan.
o Konsentrasi oksigen terlarut turun sehingga beberapa spesies ikan dan
kerang tidak toleran untuk hidup.
o Rusaknya kualitas areal yang mempunyai nilai konservasi/ cagar alam
margasatwa.
o Terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan
meracuni ikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi
masyarakat dan merusak industri perikanan. Pada masa kini hubungan
antara pengkayaan nutrien dengan adanya insiden keracunan kerang di
perairan pantai/laut meningkat
o Produksi vegetasi meningkat sehingga penggunaan air untuk navigasi
maupun rekreasi menjadi terganggu. Hal ini berdampak pada pariwisata
dan industri pariwisata.
3. Penanggulangan Eutrofikasi
Teknik untuk menangani eutrofikasi yang disebabkan oleh kelebihan
phospat adalah dengan memakai pendekatan yang terintegrasi untuk mengatur
dan mengontrol semua masukan nutrien, sehingga konsentrasi nutrien dapat
direduksi menjadi cukup rendah sehingga tidak menyebabkan alga bloom.
Pendekatan tersebut juga bermanfaat untuk mengatasi masalah eutrofikasi
yang disebabkan oleh nitrogen. Oleh karena itu kontrol tersebut harus juga
mengurangi kehilangan Posfor dan Nitrogen, dengan demikian hal tersebut
akan mendatangkan keuntungan.
Perlakuan-perlakuan yang cukup signifikan untuk mengontrol eutrofikasi
adalah dengan melakukan perombakan phospat pada buangan kotoran,
pengontrolan phospat yang tersifusi dari pertanian, perombakan phospat dari
detergen, pengalihan tempat pembuangan kotoran. Salah satu cara yang paling
efisien untuk mengurangi dan mengontrol konsentrasi Posfor di perairan
adalah dengan membatasi atau mengurangi beban nutrien dari sumber utama
dan meningkatkan teknologi perombakan nutrien dari buangan kotoran
(sewage). Faktor yang berpengaruh bervariasi dari sistem pertaniannya, tipe
tanah dan kondisi wilayahnya. Namun kehilangan Posfor pada hakikatnya
dapat dikembalikan ke sistem pertanian, sedangkan yang lainnya dapat
dikontrol oleh petani sendiri misalnya dengan menyebar pupuk tidak pada
musim hujan.
Pencegahan dan mengeliminasi aliran nitrogen sangat sulit. Membuat
Wetland yaitu suatu lahan yang jenuh air dengan kedalaman air tipikal yang
kurang dari 0,6 m yang mendukung pertumbuhan tanaman air. Wetland dibuat
sepanjang aliran air dan sungai di areal pertanian untuk menangkap
kandungan nitrogen dalam air yang akan mengalir ke laut. Selain itu upaya
lain yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sistem pengolahan limbah
domestik. Pada saat ini, pengolahan limbah domestik di pesisir pantai dan kota
besar harus melibatkan proses pengurangan nitrogen secara biologi, karena
perlakuan secara kimiawi hanya mengurangi sejumlah kecil kandungan
nitrogen dalam limbah cair. Kemudian pemindahan tempat pembuangan
kotoran menjadi salah satu faktor atau upaya untuk menanggulangi dampak
dari eutrofikasi.
BAB III
DAMPAK SISTEM AKUAKULTUR YANG TIDAK BAIK
TERHADAP EUTROFIKASI PERAIRAN
Dampak limbah akuakultur terhadap kualitas air
Studi yang telah dilaporkan oleh Davidson et al (2016) tentang efek
dari pakan ikan yang ransumnya mengandung tepung ikan (FMF) dan pakan yang
ransumnya tidak mengandung tepung ikan (FM) yang diujikan pada salmon
Atlantik (Salmo salar) dengan teknologi sistem resirkulasi (RAS). Selama durasi
penelitian ternyata total ammonia nitrogen (TAN) pada pakan yang mengandung
tepung ikan lebih tinggi daripada pakan yang tidak mengandung tepung ikan
masing-masing adalah 0,17±0,01 dan 0,13±0,01 mg / L. Nitrit nitrogen masing-
masing adalah 0,05 ± 0,04 dan 0,03±0,02 mg / L untuk FMF dan FM. Nitrat
nitrogen masing-masing adalah 65±2 dan 57±1 mg / L untuk ransum pakan FMF
dan FM. Total fosfor (TP) di dalam air yang pakannya mengandung FMF dan
pakan FM masing-masing adalah 4,3±0,1 dan 0,9 ± 0,0 mg/ L (Tabel 1);
karenanya, pakan FMF menghasilkan total fosfor yang lebih besar dalam air
akuakultur. Air akukultur yang menerima FMF dan FM masing-masing
mengandung kadar TSS rata-rata 1,3 ± 0,2 dan 1,7 ± 0,1 mg / L, terbukti TSS
lebih tinggi pada NTP daripada MTP (Tabel 1). Pada budidaya ikan dan industri
pakan ikan telah cukup lama mengakui dan mengantisipasi masalah yang
berdampak pada keberlanjutan tepung ikan di industri pakan ikan terhadap
lingkungan perairan. Karena keterbatasan pasakon tepung ikan untuk ransum
pakan, maka beberapa peneliti telah mencoba menggembangkan bahan-bahan
protein alternaif, terutama protein nabati. Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja
pertumbuhan ikan trout pelangi yang diberi semua protein nabati tanpa tepung
ikan sebanding dengan kinerja ikan trout yang diberi makan tepung ikan
tradisional (Davidson et al., 2013).
Pada Tabel 2 dilaporkan kualitas air media pemeliharaan ikan rainbow
trout (Oncorhynchus mykiss) dengan RAS dengan dua jenis pakan (protein pakan
bersumber dari tepung ikan dan protein pakan dari biji-bijian). Bahan protein
utama dalam diet GB adalah kedelai dan jagung konsentrat protein. Diet FM
diformulasikan untuk mewakili diet trout khas yang mengandung makanan
menhaden, produk sampingan unggas, tepung kedelai, dan tepung darah.
Penggunaan alternatif selain tepung ikan untuk akuakultur semakin menjadi
kebutuhan karena menurunnya stok perikanan. Dengan demikian, formulasi
makanan dan dampaknya tetap menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan sektor
akuakultur. Bahan tanaman telah berhasil digunakan sebagai alternatif
berkelanjutan untuk pengganti tepung ikan untuk beberapa spesies akuakultur.
Namun, adanya faktor antinutritional di sebagian besar bahan-bahan ini
mengganggu penerimaan pakan dan kinerja hewan, menyebabkan gangguan
metabolisme dan pencernaan. Selain biaya produksi yang meningkat,
kekhawatiran lain juga muncul dari dampak gangguan ini, seperti produksi limbah
yang berasal dari nutrisi yang tidak disimpan dalam biomassa dan dilepaskan di
lingkungan sebagai kerugian feses atau non-feses (Kokou dan Fountoulaki, 2018).
Disisi lain, sumber beban pencemaran air danau Maninjau dominan
berasal dari aktifitas budidaya ikan keramba jaring jaring apung yaitu sisa pakan
ikan, tinja ikan dan ikan mati secara massal (Junaidi et al, 2015; Syandri et al.,
2020; Syandri et al., 2017). Sumber pencemaran tersebut telah berdampak
terhadap kualitas air dan status trofik danau. Sulastri et al (2019) telah melaporkan
kualitas air danau Maninjau seperti dipresentasikan pada Tabel 3. Kecerahan
perairan yang ditentukan berdasarkan kedalaman Secchi Dish ratarata berkisar
antara 0.8-2.96 m. Untuk perairan mesotrofik dan eutrofik kedalaman kerahan
(Secchi dish) masing-masing adalah 4-2 m dan 2-1 m (Carlson dan Simpson,
1996). Suhu perairan menunjukkan kondisi umum perairan tropis dan mendukung
untuk pertumbuhan fitoplankton (Affan et al. 2016). Kisaran pH menunjukkan
perairan lebih bersifat alkali. konsentrasi total fosfor rata-rata berkisar antara 0,
021-0,298 mg/L untuk perairan mesotrofik dan eutrofik konsentrasi total fosfor
berkisar masing-masing antara 0,012-0,024 mg/L dan 0,24-0, 96 mg/L, sedangkan
untuk perairan hipertrofik berkisar antara 0.96->0,192 mg/L. Rasio TN:TP pada
umumnya >12 menunjukkan fosfor menjadi faktor pembatas fitoplakton (Sulastri
et al., 2019).
Dampak limbah akuakultur terhadap plankton
Para peneliti telah meloporkan tentang keanekaragaman plankton di perairan
danau Maninjau (Merina et al, 2014; Sulastri et al, 2019). Jenis fitoplankton di
danau Maninjau disajikan pada pada Tabel 4 (Sulastri et al., 2019). Berdasarkan
waktu pengamatan, jumlah jenis yang tinggi adalah phylum Chlorophyta kecuali
pada April, 2018 tidak ditemukan jenis dari alga hijau (Chlorophyta). Synedra
ulna merupakan jenis dari kelompok diatom yang melimpah dan ditemukan
selama pengamatan (Tabel 4). Jenis-jenis dari famili Desmidiaceae (kelompok
desmid) seperti dari genus Cosmarium dan Staurastrum memiliki keanekaragaman
jenis yang tinggi selama pengamatan, kecuali pada bulan April 2018. Jenis dari
phylum alga biru hijau (Cyanophyta) yang selalu ditemukan di danau Maninjau
adalah Microcystis aeruginosa, Anabaena affinis dan Cylindrospermopcis
raciborskii (Tabel 4).
Faktor pertama penyebab ledakan populasi fitoplankton itu biasanya
dipicu oleh zat hara. Suatu perairan yang memiliki konsentrasi zat hara berlebih,
dapat memicu terjadinya ledakan fitoplankton. Karena zat hara tersebut terserap
oleh fitoplankton sebagai nutrisi pertumbuhan dan perkembangannya. Disamping
itu Cyanobacteria merupakan mayoritas fitoplankton di beberapa negara danau
oligotrofik hingga eutrofik besar, dan karena kelimpahannya dan di mana-mana,
hingga 70% fiksasi karbon dalam air dapat dikaitkan dengan cyanobacteria (Yan
et al., 2019). Peningkatan biomassa cyanobacterial secara mekar dapat
menyebabkan degradasi ekosistem perairan dengan meningkatkan proses anaerob,
mengurangi kualitas air dan mengubah keanekaragaman air, dan dengan demikian
menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan manusia (Liao et al., 2016).
Taipale et al (2019) menemukan bahwa nilai gizi fitoplankton, asam
amino, EPA, DHA, dan sterol menunjukkan hubungan kuadratik yang signifikan
dengan status trofik danau. Lebih khusus, kandungan asam amino adalah sama di
danau oligo dan mesotropik, tetapi secara substansial lebih rendah di danau
eutrofik (TP> ug L -1 / 1.13 μmol L -1 56). Kandungan EPA dan DHA tertinggi
di fitoplankton ditemukan di danau mesotropik, sedangkan kandungan sterol
tertinggi di danau oligotropik. Berdasarkan hasil ini, nilai gizi fitoplankton
berkurang dengan terjadinya eutrofikasi, meskipun kontribusi ganggang
berkualitas tinggi tidak berkurang. Oleh karena itu, hasilnya menekankan bahwa
eutrofikasi, sebagai kelebihan TP, mengurangi nilai gizi fitoplankton, yang
mungkin memiliki dampak signifikan pada nilai gizi zooplankton, ikan, dan
hewan air lainnya pada tingkat rantai makanan yang lebih tinggi. Selanjutnya
perubahan komposisi spesies plankton dan kepadatan akibat eutrofikasi dapat
menghasilkan ikan dengan nilai gizi lebih rendah dan dengan demikian
meningkatkan risiko bagi konsumen ikan dengan mengubah ketersediaan Se dan
EPA terhadap MeHg (Razawi et al., 2014).
Dampak limbah akuakultur terhadap eutrofikasi
Danau air tawar adalah salah satu ekosistem terpenting di dunia tetapi
aktivitas yang berhubungan dengan manusia telah mengubah ekosistem secara
bertahap dengan meningkatkan aliran nutrisi anorganik dan zat organik ke dalam
ekosistem, yang selalu dikaitkan dengan peradaban dan urbanisasi. Meskipun
proses pengolahan air limbah dapat mengurangi pembuangan nutrisi, akumulasi
kelebihan pasokan nutrisi dapat mengakibatkan eutrofikasi. Sebagian besar danau
air tawar dan lahan basah menghadapi masalah penurunan kualitas air dan
ketidakseimbangan ekologis karena meningkatnya kegiatan antropogenik
terutama di negara-negara berkembang. Pemahaman tentang mekanisme dan
identifikasi sumber-sumber eutrofikasi sangat bermanfaat untuk mengurangi
masalah melalui kebijakan manajemen yang tepat. Mekanisme dan efek
eutrofikasi serta permodelan untuk mitigasi eutrofikasi telah dijelaskan oleh
banyak peneliti (Bhagowati et al, 2019; Liu et al., 2018;Tang et al., 2019).
Dengan kemajuan pemodelan ekosistem, menjadi layak bagi badan pemerintah
dan pembuat kebijakan untuk mengusulkan skema pengendalian danau dan
program restorasi yang lebih baik, melalui kapasitas prediksi yang lebih baik.
Sementara prediksi dan kontrol eutrofikasi danau sekarang menjadi lebih mudah
daripada sebelumnya, penyempurnaan masih terjadi karena kompleksitas yang
terus meningkat dan masalah khusus danau yang membutuhkan pengalaman yang
lebih luas dan lebih detail. Status pengetahuan saat ini tentang eutrofikasi danau
dan kemajuan dalam pemodelan ekologi dan hidrodinamik akan sangat
bermanfaat bagi prospek pengelolaan danau di masa depan.
Eutrofikasi adalah proses pengayaan nutrisi dan digunakan untuk
mengkarakterisasi keadaan ekosistem perairan. 'Status trofik' badan air digunakan
sebagai deskripsi badan air untuk tujuan ini. Untuk memahami status nutrisi dari
badan air biasanya digunakan istilah oligotrophic, mesotrophic, eutrophic dan
hypertrophic (Walmsley, 2000).
 Oligotropik adalah keadaan konsentrasi nutrisi yang rendah dan tidak
produktif dalam hal kehidupan hewan dan tumbuhan air. Danau-danau ini
memiliki produksi alga yang sangat sedikit dan cocok digunakan untuk air
minum.
 Mesotropik adalah zat gizi tingkat menengah, cukup produktif dalam
hal kehidupan hewan dan tumbuhan air dan menunjukkan inisiasi tandatanda
masalah kualitas air.
 Eutrofik adalah keadaan di mana badan air kaya akan konsentrasi
nutrisi, sangat produktif dalam hal kehidupan hewan dan tumbuhan air dan
menunjukkan tanda-tanda meningkatnya masalah kualitas air. Karena
meningkatnya muatan alga, air menjadi kurang transparan.
 Hipertrofik adalah keadaan di mana konsentrasi nutrisi berlebihan
terjadi, dan pertumbuhan tanaman dapat ditentukan oleh faktor fisik. Masalah
kualitas air serius dan hampir terus menerus. Air menjadi kurang transparan
dan kehidupan akuatik berhenti pada kedalaman yang lebih rendah karena
hilangnya kandungan oksigen terlarut.
Secara umum, fenomena eutrofikasi danau dapat diklasifikasikan
menjadi dua kategori yaitu gejala alam dan aktifitas manusia. Proses
eutrofikasi alami berlangsung sangat lambat dalam waktu umur geologis tetapi
dapat sangat dipercepat oleh kegiatan antropogenik yang umumnya disebut
sebagai eutrofikasi buatan manusia, sebagai contoh aktifitas budidaya ikan
dengan keramba apung. Secara umum dapat diterima bahwa input nutrisi yang
berlebihan terutama nitrogen (N) dan fosfor (P), adalah faktor kunci yang
mempercepat proses eutofikasi dalam ekosistem perairan. Sumber N dan P
dapat berasal dari kegiatan pertanian di luar badan air dan dialirkan ke danau
atau waduk, disatu sisi juga berasal dari badan air itu sendiri.
Ketersediaan fosfor dianggap sebagai faktor terpenting untuk
menentukan kualitas air danau. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa
pemuatan fosfor yang tinggi menyebabkan biomassa fitoplankton tinggi, air
keruh, dan sering terjadi perubahan biologis yang tidak diinginkan. Yang
terakhir termasuk hilangnya keanekaragaman hayati, hilangnya macrophytes
yang terendam, perubahan stok ikan, dan penurunan kontrol top-down oleh
zooplankton pada fitoplankton. Untuk menurunkan tingkat eutrofikasi danau,
banyak upaya telah dilakukan untuk mengurangi pemuatan fosfor ke badan
air.
Beberapa pengelola danau merespon dengan cepat terhadap
pengurangan semacam itu. Tetapi penundaan pemulihan danau sering terlihat
lambat, karena sumbangan fosfor dari aktifitas akuakultur dan pertanian
sangat besar, sehingga membutuhkan waktu untuk menyeimbangkan dengan
tingkat pembebanan baru. Pelepasan fosfor dari sedimen ke dalam kolom air
danau mungkin begitu kuat dan persisten, sehingga memperlambat periode
waktu peningkatan kualitas air setelah pengurangan pembebanan (Zhang et al,
2019; Ni et al, 2018). Eutrofikasi di air tawar memperlihatkan hubungan
antara limbah fosfor dan hilangnya keanekaragaman spesies ikan di air tawar,
seperti di danau, sungai dan waduk, termasuk rawa banjiran. Dalam perairan
tawar, fosfor biasanya ditunjukkan sebagai nutrisi yang membatasi
pertumbuhan fitoplankton (Jorgensen, 1980). Sampai saat ini, upaya untuk
mengontrol pertumbuhan fitoplankton di badan air memang difokuskan
terutama pada pengurangan fosfor. Namun, ada pendapat yang berkembang
bahwa dengan mengurangi fosfor mungkin tidak cukup untuk memperbaiki
kondisi ekologis perairan. Penggabungan pengurangan nitrogen dan fosfor
mungkin bisa memberikan hasil yang lebih baik. Strategi untuk pengendalian
eutrofikasi dengan membatasi jumlah fosfor yang dilepaskan ke badan air
ternyata kurang berhasil pada sejumlah badan air. Namun para peneliti telah
membuktikan bahwa senyawa nitrogen juga harus dipertimbangkan untuk
dikurangi yang lepas ke badan air ((Finlay et al., 2013; Paerl, 2009; Sterner,
2008; Syandri et al, 2017).
Namun demikian, efektivitas langkah-langkah pengurangan nitrogen
untuk mengontrol pertumbuhan fitoplankton juga jauh dari pasti karena
banyak spesies cyanobacteria dapat langsung memperbaiki nitrogen atmosfer
(Yan et al, 2019) dan karena itu dapat mengimbangi muatan nitrogen yang
lebih rendah. Berdasarkan pengetahuan ilmiah saat ini ada peneliti yang sangat
menganjurkan pengurangan gabungan nitrogen dan fosfor untuk mengontrol
eutrofikasi di perairan air tawar (Abell et al., 2010) sementara yang lain sangat
menentangnya dan mendorong hanya kontrol fosfor (Schindler et al., 2008).
Kedua strategi memiliki kisah sukses dan kegagalan dan tampaknya
tergantung pada kondisi hidrologi dari badan air tertentu. Pengurangan beban
nitrogen ke badan air biasanya memiliki biaya lebih tinggi daripada
pengurangan phosphorus karena kompleksitas teknis yang lebih tinggi
mengingat sebagian besar muatan nitrogen berasal dari sumber yang tersebar
dan bukan seperti dari beban phosphorus (Sharpley et al., 2000). Penilaian
variabel kualitas air mesti menganalisis parameter berikut, termasuk tiga
kelompok fitoplankton (cyanobacteria, diatom dan ganggang hijau), oksigen
terlarut, senyawa nitrogen (nitrat, nitrit, amonium, nitrogen organik, nitrogen
teradsorp dan nitrogen total), senyawa fosfor (fosfat, fosfor organik, fosfor
teradsorpsi dan fosfor total), karbon organik partikulat dan terlarut, silika dan
zooplankton (Lindim et al., 2015). Kunci untuk manajemen kualitas air yang
sukses bagi danau yang menerima air masukan dari sungai-sungai besar
tampaknya tidak hanya mengurangi jumlah input eksternal nutrisi tetapi juga
mempertimbangkan beban internal. Sebaliknya danau-danau yang tidak
mempunyai inlet sungai besar input internal harus sangat dipertimbangkan.
Sebagai contoh adalah danau Maninjau. Beban nutrisi yang berasal dari
internal adalah operasional budidaya ikan dengan karamba jaring apung.
Selama musim panas perhatian harus diberikan pada stratifikasi termal pada
himpunan dan durasi karena peningkatan risiko pengembangan cyanobacteria
yang beracun.
Namun ikan mas perak, Hypophthalmichthys molitrix, dan Nile tilapia
telah dianggap efektif dalam menekan mekar cyanobacterial di danau eutrofik
(Miura, 1990; Starling dan Rocha, 1990; Starling, 1993, in Turker et al, 2003).
Turker et al (2013) telah melaporkan bahwa ikan nila menyaring lebih banyak
partikel ukuran yang lebih besar dalam sumber air ganggang hijau dan
cyanobacterial. Sebagai contoh dari jenis ganggang hijau (Scenedesmus,
Tetraedron, Chlorella, Ankistrodesmus), dan Cyanobacteria (Microcystis,
Merismopedia). Perkiraan laju filtrasi ikan nila (mgC / kg / jam) dapat
dihitung dari data literatur. Sebagai contoh, tingkat filtrasi fitoplankton rata-
rata yang ditentukan dari berapa species ikan dicantumkan pada Tabel 5. .
Peningkatan signifikan dalam tingkat filtrasi ikan nila yang dianalisis
karena suhu air meningkat dari 23,8 menjadi 31,2o
C. Nila adalah spesies
tropis, laju pemberian makan diperkirakan akan meningkat saat suhu air
meningkat. Tingkat filtrasi yang lebih tinggi juga terjadi pada ikan yang di
budidayakan pada suhu hangat dibanding dengan ikan yang dipelihara di
dalam laboratorium. Turker et al (2003) menyatakan bahwa nila tilapia secara
efektif dapat menyaring cyanobacteria yang dapat dijadikan sebagai agen
hayati untuk mengendalikan fitoplankton yang mengganggu seperti
Microcystis. Temuan lain menyatakan bahwa danau oligtrofik didominasi oleh
Actinobacteria, dan danau eutrofik didiminasi oleh Cyanobacteria (Ji et al.,
2018).
KESIMPULAN
Operasional akuakultur yang tidak ramah lingkungan telah memberikan
dampak negatif terhadap ekosistem perairan. Dampak limbah akuakultur
bersumber dari pakan ikan, tinja ikan, dan senyawa organik lainnya. Limbah dari
operasional akuakultur telah berdampak negatif terhadap kualitas perairan,
keanekaragaman fitoplankton, termasuk nilai gizi yang terkandung pada
fitoplankton, misalnya asam amino esensial. Selain itu juga berdampak terhadap
keanekaragam spesies ikan, blooming fitoplankton dan eutrofikasi perairan. Ikan
nila dapat dijadikan sebagai salah species ikan yang berfungsi sebagai agen hayati
yang dapat memanen fitoplankton yang mekar di badan air danau dan waduk,
termasuk di kolam ikan.
Eutrofikasi dapat menyebabkan terjadinya “alga bloom” dan
terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuni ikan dan kerang, sehingga
tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan merusak industri perikanan.Perlakuan-
perlakuan yang cukup signifikan untuk mengontrol eutrofikasi adalah dengan
melakukan perombakan phospat pada buangan kotoran, pengontrolan phospat
yang tersifusi dari pertanian, perombakan phospat dari deterjen, pengalihan
tempat pembuangan kotoran.
Kunci untuk manajemen kualitas air yang sukses bagi danau yang
menerima air masukan dari sungai-sungai besar tampaknya tidak hanya
mengurangi jumlah input eksternal nutrisi tetapi juga mempertimbangkan beban
internal. Sebaliknya danau-danau yang tidak mempunyai inlet sungai besar input
internal harus sangat dipertimbangkan seperti di danau Maninjau dan danau lain
dengan kasus yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Abel. J.M, Deniz Özkundakci & David P. H. Nitrogen and Phosphorus Limitation of
Phytoplankton Growth in New Zealand Lakes: Implications for Eutrophication
Control. Ecosystem, 13:966-977.
Affan, MA., El-Sayed Touliabah H, Al-Harbi SM, Abdulwassi NI, Turki Aj, Haque MM,
Khan S, Elbassat RA. 2016. Influence of environmental parameters on toxic
cyanobacterial bloom occurrence in a Lake of Bangladesh. Rend Fis Acc Lincei
27: 473-481
Bhagowati, B., & Ahamad, K. U. (2018). A review on lake eutrophication dynamics and
recent developments in lake modeling. Ecohydrology & Hydrobiology,19(1):
155-166.
Carlson RE, Simpson J. 1996. A coordinator’s guide to volunteer lake monitoring
methods. North American Lake Management Society, Madison, WI.
Davidson, J., Barrows, F. T., Kenney, P. B., Good, C., Schroyer, K., & Summerfelt, S. T.
(2016). Effects of feeding a fishmeal-free versus a fishmeal-based diet on post-
smolt Atlantic salmon Salmo salar performance, water quality, and waste
production in recirculation aquaculture systems. Aquacultural Engineering, 74,
38–51.
Davidson, J., Good, C., Barrows, F. T., Welsh, C., Kenney, P. B., & Summerfelt, S. T.
(2013). Comparing the effects of feeding a grain- or a fish meal-based diet on
water quality, waste production, and rainbow trout Oncorhynchus mykiss
performance within low exchange water recirculating aquaculture systems.
Aquacultural Engineering, 52, 45–57.
De Oliveira, E. G., Pinheiro, A. B., de Oliveira, V. Q., da Silva, A. R. M., de Moraes, M.
G., Rocha, Í. R. C. B., Costa, F. H. F. (2012). Effects of stocking density on the
performance of juvenile pirarucu (Arapaima gigas) in cages. Aquaculture, 370-
371, 96–101.
Finlay J.C, , Gaston E. S, Robert W. S, 2013. Human Influences on Nitrogen Removal in
Lakes. Science, 342, Issue 6155, 247-250.
Ji, B., Qin, H., Guo, S., Chen, W., Zhang, X., & Liang, J. (2018). Bacterial communities
of four adjacent fresh lakes at different trophic status. Ecotoxicology and
Environmental Safety, 157, 388–394.
Jorgensen SE.1980. Lake Manjement, Pergamon Press Ltd, Oxford, UK. Schindler, 1974
Junaidi, Syandri, H, Azrita, 2014. Loading and Distribution of Organic Materials
in Maninjau Lake West Sumatra Province-Indonesia J Aquac Res Development
Kokou, F., & Fountoulaki, E. (2018). Aquaculture waste production associated with
antinutrient presence in common fish feed plant ingredients. Aquaculture, 495,
295–310.
Merina, G, Afrizal dan Izmiarti, 2014. Composition and Structure of Phytoplankton
Community at Maninjau Lake West Sumatera. Jurnal Biologi Universitas
Andalas, 3(6): 267-274.
Liao.J, Lei Z, Xiaofeng C, Jinhua S, Zhe G, Jie W, Dalin J, Hao F, Yi H, 2016.
Cyanobacteria in lakes on Yungui Plateau, China are assembled via niche
processes driven by water physicochemical property, lake morphology and
watershed land-use. Sci. Rep.-UK 6, 36357.
Lindim, C., Becker, A., Grüneberg, B., & Fischer, H. (2015). Modelling the effects of
nutrient loads reduction and testing the N and P control paradigm in a German
shallow lake. Ecological Engineering, 82, 415–427.
Liu, B., McLean, C. E., Long, D. T., Steinman, A. D., & Stevenson, R. J. (2018).
Eutrophication and recovery of a Lake inferred from sedimentary diatoms
originating from different habitats. Science of The Total Environment, 628-629,
1352–1361.
Martin Søndergaard, Jens Peder Jensen & Erik Jeppesen, 2003. Role of sediment and
internal loading of phosphorus in shallow lakes, Hydrobiologia 506, 135–145.
Moriarty, C.M., Moriarty, D.J.W., 1973. Quantitative estimation of the daily ingestion
rate of phytoplankton by Tilapia nilotica and Haplochromis nigripinnis in Lake
George, Uganda. J. Zool. (London) 171, 15 – 23.
Ni, Z., Wu, X., Li, L., Lv, Z., Zhang, Z., Hao, A.,Li, C. (2018). Pollution control and in
situ bioremediation for lake aquaculture using an ecological dam. Journal of
Cleaner Production, 172, 2256–2265.
Paerl, H.W. 2009, Controlling Eutrophication along the Freshwater–Marine Continuum:
Dual Nutrient (N and P) Reductions are Essential. Estuaies and Coast, 32(4):
593-601.
Razavi, N. R., Arts, M. T., Qu, M., Jin, B., Ren, W., Wang, Y., & Campbell, L. M.
(2014). Effect of eutrophication on mercury, selenium, and essential fatty acids in
Bighead Carp (Hypophthalmichthys nobilis) from reservoirs of eastern China.
Science of The Total Environment, 499, 36–46.
Syandri, H, Azrita, Junaidi, A. Mardiah 2017. Levels of available nitrogenphosphorus
before and after fish mass mortality in Maninjau Lake of Indonesia. J. Fish.
Aquat. Sci., 12 (4): 191-196.
Syandri, H, A. Mardiah . Azrita. 2020. Water Quality Status and Pollution Waste Load
from Floating Net Cages at Maninjau Lake, West Sumatera Indonesia. IOP Conf.
Series: Earth and Environmental Science 430 (2020) 012031.
Sulastri, Cynthia H, Sulung N, 2019. Keanekaragaman fitoplankton dan status trofik
Perairan Danau Maninjau di Sumatera Barat, Indonesia. Pros Sem Nas Masy
Biodiv Indon, 2(5): 242-250.
Zhang, Y., Yu, J., Su, Y., Du, Y., & Liu, Z. 2019. Long-term changes of water quality in
aquaculture-dominated lakes as revealed by sediment geochemical records in
Lake Taibai (Eastern China). Chemosphere.
Schindler, D.W, R. E. Hecky, D. L. Findlay, M. P. Stainton, B. R. Parker, M. J. Paterson,
K. G. Beaty, M. Lyng, and S. E. M. Kasian, 2008. Eutrophication of lakes cannot
be controlled by reducing nitrogen input: Results of a 37- year whole-ecosystem
experiment. PNAS August 12, 2008 105 (32) 11254- 11258
Sharpley, A. Bob, F, Paul. W, 2000. Practical and Innovative Measures for the Control of
Agricultural Phosphorus Losses to Water: An Overview.Journal of Environment
Quantity1(29): 1-9.
Taipale, S.J., Vuorio, K., Aalto, S.L., Peltomaa, E., Tiirola, M.,2019. Eutrophication
reduces the nutritional value of phytoplankton in boreal lakes, Environmental
Research, Volume 179, Part B, 108836
Tang, C., Yi, Y., Yang, Z., Zhou, Y., Zerizghi, T., Wang, X., … Duan, P. (2019).
Planktonic indicators of trophic states for a shallow lake (Baiyangdian Lake,
China). Limnologica, 78: 125712.
Turker, H., Eversole, A. G., & Brune, D. E. (2003). Filtration of green algae and
cyanobacteria by Nile tilapia, Oreochromis niloticus, in the Partitioned
Aquaculture System. Aquaculture, 215(1-4), 93–101
Walmsley, R.D., 2000. Perspectives on Eutrophication of Surface Waters: 1214
Policy/Research Needs in South Africa. WRC Report No. KV 129/00. 1215
Water Research Commission, Pretoria, South Africa.
Yan, D., Xu, H., Yang, M., Lan, J., Hou, W., Wang, F.,Goldsmith, Y. 2019. Responses of
cyanobacteria to climate and human activities at Lake Chenghai over the past
100 years. Ecological Indicators.104:755-763Buchari, 2001. Kimia
Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Goldman, C.R. and A.J. Horne. 1983. Limnology. Mc. Graw Hill. International
Book Company : Tokyo.

Weitere ähnliche Inhalte

Ähnlich wie sistem Lingkungan akuakultur "Eutrofikasi".pdf

Ekologi biogeokimia ppt
Ekologi biogeokimia pptEkologi biogeokimia ppt
Ekologi biogeokimia pptGoogle
 
Daur biogeokimia dan pencemaran lingkungan
Daur biogeokimia dan pencemaran lingkunganDaur biogeokimia dan pencemaran lingkungan
Daur biogeokimia dan pencemaran lingkunganNidya Milano
 
Pencemaranlingkungan
PencemaranlingkunganPencemaranlingkungan
PencemaranlingkunganNina Safitri
 
Pencemaran lingkungan
Pencemaran lingkunganPencemaran lingkungan
Pencemaran lingkunganadraufaa
 
Geografi Bab Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan
Geografi Bab Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Geografi Bab Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan
Geografi Bab Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Rivai Anas Amirul Huda
 
ecology and environment science for senior high school
ecology and environment science for senior high schoolecology and environment science for senior high school
ecology and environment science for senior high schoolBagas Pramana
 
Review Jurnal Evolusi Fotosintesis Pada Tumbuhan
Review Jurnal Evolusi Fotosintesis Pada TumbuhanReview Jurnal Evolusi Fotosintesis Pada Tumbuhan
Review Jurnal Evolusi Fotosintesis Pada Tumbuhandewisetiyana52
 
Siklus biogeokimia
Siklus biogeokimiaSiklus biogeokimia
Siklus biogeokimiashailladita
 
Daur biogeokimia daur carbon
Daur biogeokimia daur carbonDaur biogeokimia daur carbon
Daur biogeokimia daur carbonLukman Nur Candra
 
Tipe tipe ekosistem dan kerawanannya
Tipe tipe ekosistem dan kerawanannyaTipe tipe ekosistem dan kerawanannya
Tipe tipe ekosistem dan kerawanannyaYos F. da-Lopes
 

Ähnlich wie sistem Lingkungan akuakultur "Eutrofikasi".pdf (20)

Ekologi biogeokimia ppt
Ekologi biogeokimia pptEkologi biogeokimia ppt
Ekologi biogeokimia ppt
 
Daur biogeokimia dan pencemaran lingkungan
Daur biogeokimia dan pencemaran lingkunganDaur biogeokimia dan pencemaran lingkungan
Daur biogeokimia dan pencemaran lingkungan
 
Pencemaranlingkungan
PencemaranlingkunganPencemaranlingkungan
Pencemaranlingkungan
 
Pencemaran lingkungan
Pencemaran lingkunganPencemaran lingkungan
Pencemaran lingkungan
 
04 ekologi 4
04 ekologi 404 ekologi 4
04 ekologi 4
 
daur biogeokimia
daur biogeokimiadaur biogeokimia
daur biogeokimia
 
Geografi Bab Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan
Geografi Bab Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Geografi Bab Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan
Geografi Bab Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan
 
ecology and environment science for senior high school
ecology and environment science for senior high schoolecology and environment science for senior high school
ecology and environment science for senior high school
 
Review Jurnal Evolusi Fotosintesis Pada Tumbuhan
Review Jurnal Evolusi Fotosintesis Pada TumbuhanReview Jurnal Evolusi Fotosintesis Pada Tumbuhan
Review Jurnal Evolusi Fotosintesis Pada Tumbuhan
 
Prin besok
Prin besokPrin besok
Prin besok
 
Daur oksigen
Daur oksigenDaur oksigen
Daur oksigen
 
Daur biogeokimia
Daur biogeokimiaDaur biogeokimia
Daur biogeokimia
 
Siklus biogeokimia
Siklus biogeokimiaSiklus biogeokimia
Siklus biogeokimia
 
Daur biogeokimia
Daur biogeokimiaDaur biogeokimia
Daur biogeokimia
 
Eutrofikasi jaguar
Eutrofikasi jaguarEutrofikasi jaguar
Eutrofikasi jaguar
 
Siklus oksigen
Siklus oksigenSiklus oksigen
Siklus oksigen
 
Siklus biogeokimia
Siklus biogeokimiaSiklus biogeokimia
Siklus biogeokimia
 
Daur biogeokimia daur carbon
Daur biogeokimia daur carbonDaur biogeokimia daur carbon
Daur biogeokimia daur carbon
 
Siklus biogeokimia
Siklus biogeokimiaSiklus biogeokimia
Siklus biogeokimia
 
Tipe tipe ekosistem dan kerawanannya
Tipe tipe ekosistem dan kerawanannyaTipe tipe ekosistem dan kerawanannya
Tipe tipe ekosistem dan kerawanannya
 

Mehr von Wiwin Kusuma Atmaja Putra

Wiwin KusumPhycoremediation bagi Lingkungan Aquaculture.pptx
Wiwin KusumPhycoremediation bagi Lingkungan Aquaculture.pptxWiwin KusumPhycoremediation bagi Lingkungan Aquaculture.pptx
Wiwin KusumPhycoremediation bagi Lingkungan Aquaculture.pptxWiwin Kusuma Atmaja Putra
 
EVALUASI KINERJA PRODUKSI DAN RESPONS FISIOLOGIS TERIPANG PASIR dengan MEDIA ...
EVALUASI KINERJA PRODUKSI DAN RESPONS FISIOLOGIS TERIPANG PASIR dengan MEDIA ...EVALUASI KINERJA PRODUKSI DAN RESPONS FISIOLOGIS TERIPANG PASIR dengan MEDIA ...
EVALUASI KINERJA PRODUKSI DAN RESPONS FISIOLOGIS TERIPANG PASIR dengan MEDIA ...Wiwin Kusuma Atmaja Putra
 
OMICS STRATERGY PADA MANAJEMEN PENYAKIT.pptx
OMICS STRATERGY  PADA MANAJEMEN PENYAKIT.pptxOMICS STRATERGY  PADA MANAJEMEN PENYAKIT.pptx
OMICS STRATERGY PADA MANAJEMEN PENYAKIT.pptxWiwin Kusuma Atmaja Putra
 
Presentasi Evaluasi sumber bahan baku pakan Protein Hewani Maggot.pptx
Presentasi Evaluasi sumber bahan baku pakan Protein Hewani Maggot.pptxPresentasi Evaluasi sumber bahan baku pakan Protein Hewani Maggot.pptx
Presentasi Evaluasi sumber bahan baku pakan Protein Hewani Maggot.pptxWiwin Kusuma Atmaja Putra
 
5technical guide line ECOSYSTEM APPROACH TO AQUACULTURE FAO.pdf
5technical guide line  ECOSYSTEM APPROACH TO AQUACULTURE FAO.pdf5technical guide line  ECOSYSTEM APPROACH TO AQUACULTURE FAO.pdf
5technical guide line ECOSYSTEM APPROACH TO AQUACULTURE FAO.pdfWiwin Kusuma Atmaja Putra
 
CARRYING CAPACITY ESTIMATION NITROGEN shrimp culture.pdf
CARRYING CAPACITY ESTIMATION NITROGEN shrimp culture.pdfCARRYING CAPACITY ESTIMATION NITROGEN shrimp culture.pdf
CARRYING CAPACITY ESTIMATION NITROGEN shrimp culture.pdfWiwin Kusuma Atmaja Putra
 
The Environmental Impact of Marine Shrimp Farming Effluents.pptx
The Environmental Impact of Marine Shrimp Farming Effluents.pptxThe Environmental Impact of Marine Shrimp Farming Effluents.pptx
The Environmental Impact of Marine Shrimp Farming Effluents.pptxWiwin Kusuma Atmaja Putra
 
EVALUASI SISTEM DAN PENGELOLAAN PENDEDERAN IKAN KERAPU.pdf
EVALUASI SISTEM DAN PENGELOLAAN PENDEDERAN IKAN KERAPU.pdfEVALUASI SISTEM DAN PENGELOLAAN PENDEDERAN IKAN KERAPU.pdf
EVALUASI SISTEM DAN PENGELOLAAN PENDEDERAN IKAN KERAPU.pdfWiwin Kusuma Atmaja Putra
 
Kinerja Hormon Reproduksi ikan pada matakuliah endokrinologi ikan.pptx
Kinerja Hormon Reproduksi ikan pada matakuliah endokrinologi ikan.pptxKinerja Hormon Reproduksi ikan pada matakuliah endokrinologi ikan.pptx
Kinerja Hormon Reproduksi ikan pada matakuliah endokrinologi ikan.pptxWiwin Kusuma Atmaja Putra
 

Mehr von Wiwin Kusuma Atmaja Putra (18)

Wiwin KusumPhycoremediation bagi Lingkungan Aquaculture.pptx
Wiwin KusumPhycoremediation bagi Lingkungan Aquaculture.pptxWiwin KusumPhycoremediation bagi Lingkungan Aquaculture.pptx
Wiwin KusumPhycoremediation bagi Lingkungan Aquaculture.pptx
 
EVALUASI KINERJA PRODUKSI DAN RESPONS FISIOLOGIS TERIPANG PASIR dengan MEDIA ...
EVALUASI KINERJA PRODUKSI DAN RESPONS FISIOLOGIS TERIPANG PASIR dengan MEDIA ...EVALUASI KINERJA PRODUKSI DAN RESPONS FISIOLOGIS TERIPANG PASIR dengan MEDIA ...
EVALUASI KINERJA PRODUKSI DAN RESPONS FISIOLOGIS TERIPANG PASIR dengan MEDIA ...
 
OMICS STRATERGY PADA MANAJEMEN PENYAKIT.pptx
OMICS STRATERGY  PADA MANAJEMEN PENYAKIT.pptxOMICS STRATERGY  PADA MANAJEMEN PENYAKIT.pptx
OMICS STRATERGY PADA MANAJEMEN PENYAKIT.pptx
 
IMPORT RISK ANALYSIS.pdf
IMPORT RISK ANALYSIS.pdfIMPORT RISK ANALYSIS.pdf
IMPORT RISK ANALYSIS.pdf
 
Presentasi Evaluasi sumber bahan baku pakan Protein Hewani Maggot.pptx
Presentasi Evaluasi sumber bahan baku pakan Protein Hewani Maggot.pptxPresentasi Evaluasi sumber bahan baku pakan Protein Hewani Maggot.pptx
Presentasi Evaluasi sumber bahan baku pakan Protein Hewani Maggot.pptx
 
5technical guide line ECOSYSTEM APPROACH TO AQUACULTURE FAO.pdf
5technical guide line  ECOSYSTEM APPROACH TO AQUACULTURE FAO.pdf5technical guide line  ECOSYSTEM APPROACH TO AQUACULTURE FAO.pdf
5technical guide line ECOSYSTEM APPROACH TO AQUACULTURE FAO.pdf
 
FAO CARRYING CAPACITY Inland LONDON.pdf
FAO CARRYING CAPACITY Inland LONDON.pdfFAO CARRYING CAPACITY Inland LONDON.pdf
FAO CARRYING CAPACITY Inland LONDON.pdf
 
CARRYING CAPACITY ESTIMATION NITROGEN shrimp culture.pdf
CARRYING CAPACITY ESTIMATION NITROGEN shrimp culture.pdfCARRYING CAPACITY ESTIMATION NITROGEN shrimp culture.pdf
CARRYING CAPACITY ESTIMATION NITROGEN shrimp culture.pdf
 
The Environmental Impact of Marine Shrimp Farming Effluents.pptx
The Environmental Impact of Marine Shrimp Farming Effluents.pptxThe Environmental Impact of Marine Shrimp Farming Effluents.pptx
The Environmental Impact of Marine Shrimp Farming Effluents.pptx
 
Aquaculture Toxicology
Aquaculture Toxicology Aquaculture Toxicology
Aquaculture Toxicology
 
The Toxicology of Fishes.pdf
The Toxicology of Fishes.pdfThe Toxicology of Fishes.pdf
The Toxicology of Fishes.pdf
 
EVALUASI SISTEM DAN PENGELOLAAN PENDEDERAN IKAN KERAPU.pdf
EVALUASI SISTEM DAN PENGELOLAAN PENDEDERAN IKAN KERAPU.pdfEVALUASI SISTEM DAN PENGELOLAAN PENDEDERAN IKAN KERAPU.pdf
EVALUASI SISTEM DAN PENGELOLAAN PENDEDERAN IKAN KERAPU.pdf
 
UAS FISREP AVERTEBRATA AIR.pdf
UAS FISREP AVERTEBRATA AIR.pdfUAS FISREP AVERTEBRATA AIR.pdf
UAS FISREP AVERTEBRATA AIR.pdf
 
PERAN NUTRISI PADA SISTEM IMUN IKAN .pdf
PERAN NUTRISI PADA SISTEM IMUN IKAN .pdfPERAN NUTRISI PADA SISTEM IMUN IKAN .pdf
PERAN NUTRISI PADA SISTEM IMUN IKAN .pdf
 
Kinerja Hormon Reproduksi ikan pada matakuliah endokrinologi ikan.pptx
Kinerja Hormon Reproduksi ikan pada matakuliah endokrinologi ikan.pptxKinerja Hormon Reproduksi ikan pada matakuliah endokrinologi ikan.pptx
Kinerja Hormon Reproduksi ikan pada matakuliah endokrinologi ikan.pptx
 
REPRODUKSI BINTANG LAUT.pdf
REPRODUKSI BINTANG LAUT.pdfREPRODUKSI BINTANG LAUT.pdf
REPRODUKSI BINTANG LAUT.pdf
 
Stress pada ikan wiwin.pdf
Stress pada ikan wiwin.pdfStress pada ikan wiwin.pdf
Stress pada ikan wiwin.pdf
 
Buku teknologi tepat guna.pdf
Buku teknologi tepat guna.pdfBuku teknologi tepat guna.pdf
Buku teknologi tepat guna.pdf
 

sistem Lingkungan akuakultur "Eutrofikasi".pdf

  • 1. TUGAS MAKALAH MATAKULIAH SISTEM LINGKUNGAN AKUAKULTUR HUBUNGAN LIMBAH AKUAKULTUR DAN EUTROFIKASI Dosen Pengajar: Dr. Kukuh Nirmala, S.Pi, M.Si Disusun Oleh : WIWIN KUSUMA ATMAJA PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA ILMU AKUAKULTUR BOGOR 2022
  • 2. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air dikatakan tercemar apabila ada pengaruh atau kontaminasi zat organik maupun anorganik ke dalam air. Hubungan ini terkadang tidak seimbang karena setiap kebutuhan organisme berbeda beda, ada yang diuntungkan karena menyuburkan sehingga dapat berkembang dengan cepat sementara organisme lain terdesak. Perkembangan organisme perairan secara berlebihan merupakan gangguan dan dapat dikategorikan sebagai pencemaran, yang merugikan organisme akuatik lainnya maupun manusia secara tidak langsung. Pencemaran yang berupa penyuburan organisme tertentu disebut eutrofikasi yang banyak di jumpai khususnya di perairan darat. Pada awal abab ke-20 manusia mulai menyadari adanya gejala eutrofikasi pada badan perairan akibat pengkayaan unsur hara yang masuk ke perairan. Mengingat bahwa eutrofikasi merupakan ancaman yang serius bagi kualitas air di perairan, maka kita harus memahami prosesnya, penyebab, dan dampak dari eutrofikasi bagi usaha akuakultur sehingga kita dapat mencari solusi yang tepat untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Walaupun eutrofikasi pada umumnya merupakan proses alami, namun pada masa kini eutrofikasi antropogenik yaitu eutrofikasi yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Eutrofikasi sendiri dapat diakibatkan oleh aktivitas akuakultur atau aktivitas manusia yang berakibat pada lingkungan akuakultur. 1.2. Identifikasi Masalah Apakah dampak yang ditimbulkan Eutrofikasi ? 1.3. Maksud dan Tujuan Mengetahui dampak yang ditimbulkan Eutrofikasi secara umum dan khusus akuakultur
  • 3. BAB II ISI Lingkungan secara umum terdiri dari komponen hidup (biotik) dan komponen tak hidup (abiotik) yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Untuk mencapainya, dibutuhkan arus materi dan energi yang dikendalikan oleh arus informasi di antara komponen-komponen tersebut (Kristanto, 2004). Keteraturan tersebut menunjukkan suatu kondisi keseimbangan yang tidak statis melainkan dinamis dan selalu berubah (berbentuk siklus). Siklus yang terjadi biasanya merupakan aliran ion ataupun molekul dari nutrien yang dipindahkan dari lingkungan ke organisme (komponen hidup) dan dikembalikan lagi ke komponen tak hidup (abiotik). Siklus ini disebut sebagai siklus biogeokimia. Cakupan dari siklus biogeokimia adalah siklus hidrologi, siklus atmosfer, dan siklus sedimen (Basukriadi, 2011). Siklus biogeokimia yang terpenting adalah siklus karbon dan oksigen, siklus nitrogen dan siklus fosfor, yang berperan terhadap lingkungan tanaman (Jumin, 2002). A. Siklus Hidrologi Siklus ini merupakan siklus air di bumi yang dipengaruhi oleh peran energi matahari dan gaya gravitasi bumi. Proses-proses penting yang terjadi adalah proses penguapan, transpirasi, kondensasi, dan presipitasi. Penguapan (evaporasi) merupakan perubahan fase air dari bentuk cairan menjadi bentuk gas akibat panas matahari di permukaan bumi. Pada proses ini, dikhususkan air yang bukan berasal dari tanaman, contohnya air danau, sungai, lautan dan bagian hidrosfer lainnya. Penguapan ini terjadi sekitar 84% di lautan dan 16% di daratan. Sementara, penguapan yang terjadi pada tanaman disebut transpirasi. Air dalam bentuk uap ini kemudian memasuki atmosfer dan mengalami pendinginan sehingga terjadi kondensasi dan membentuk awan. Awan akan terbawa oleh angin ke bagian lain dari bumi. Setelah itu, terjadi siklus ulang (Buchari, 2001). B. Siklus Atmosfer Siklus ini merupakan siklus yang terkait dengan kandungan gas yang ada di bumi, di mana tempat terjadinya adalah di atmosfer. Siklus ini agak cepat beradaptasi jika ada gangguan akibat wilayah yang luas. Selain itu, siklus ini juga relatif sempurna dalam arti global karena ada peningkatan umpan balik negatif
  • 4. dari alam. Bagian yang terpenting adalah siklus karbon (C), siklus nitrogen (N2) dan oksigen (O2).  Siklus karbon Siklus karbon dapat terbagi menjadi dua macam, yaitu siklus dalam reaksi termonuklir berantai dalam binatang dan siklus karbon di bumi. Siklus di bumi ini lebih terkenal dengan siklus karbondioksida karena material yang berpindah adalah CO2. CO2 dalam udara digunakan oleh tanaman untuk reaksi fotosintesis menjadi materi organik (karbohidrat) dengan adanya gabungan dengan air. reaksi oleh saprovor terkadang lambat sehingga senyawa karbon menumpuk dalam jangka waktu yang lama dalam bentuk gambut, batu bara, minyak bumi, ataupun batu karang(Buchari, 2001). Pada ekosistem laut, terdapat karbon terlarut yang akan berubah menjadi cangkang dan tulang organisme laut dan menjadi sedimen. Selain itu, pengangkatan tektonik membawa karbon ke permukaan laut (Basukriadi, 2011).  Siklus nitrogen Nitrogen ini akan diikat oleh tanaman dalam bentuk gas N2, serta diambil dari tanah dalam bentuk amonia (NH3), ion nitrit (N02- ), dan ion nitrat (N03) dengan bantuan bakteri, misalnya Marsiella crenata. Di dalam tanah, terdapat juga bakteri yang mengikat nitrogen secara langsung yaitu Azotobacter sp. dan Clostridium sp. Mereka menggunakan nitrogen untuk dijadikan senyawa penyusun tubuh yaitu protein. Saat baketri itu mati, timbul zat urai berupa amonia. Amonia akan terlepas ke udara, atau dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus lalu dioksidasi dalam lingkungan aerob sehingga menghasilkan nitrat yang akan diserap oleh akar tumbuhan (proses nitrifikasi). Selanjutnya oleh bakteri denitrifikan, nitrat diubah menjadi amonia kembali,dan amonia diubah menjadi nitrogen yang dilepas ke udara. Nitrogen di udara akan diikat kembali oleh tanaman, dan sebagian bereaksi dengan hidrogen atau oksigen dengan bantuan kilat/ petir. Dengan cara ini, siklus nitrogen berulang (Riastuti, 2011).
  • 5.  Siklus oksigen Dari proses fotosintesis tanaman, dihasilkan oksigen ke udara. Organism berespirasi, menghancurkan bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana (CO2). CO2 ini akan digunakan kembali untuk fotosintesis dengan hasil samping O2 (siklus berulang). Selain itu, O2 digunakan untuk pelapukan oksidatif dan pembakaran bahan baku fosil. Selain itu, O2 di udara dapat berbentuk ion, atom tereksitasi ataupun ozon O3 akibat pengaruh radiasi ultraviolet. Oksigen tereksitasi akan memancarkan cahaya tampak pada panjang gelombang tertentu menimbulkan fenomena cahaya langit (air glow). Sementara, ozon berfungsi sebagai pelindung bumi karena menyerap radiasi UV (Buchori, 2001). C. Siklus Sedimen  Siklus fosfor Fosfor merupakan elemen penting dalam kehidupan karena semua makhluk hidup membutuhkan posfor dalam bentuk ATP (Adenosin Tri Fosfat), sebagai sumber energi untuk metabolisme sel. Ada dua bentuk fosfor yang terdapat di alam, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. ( Adi, 2011)  Siklus belerang (sulfur) Sulfur yang ada di alam berada di kulit bumi. Sulfur terdapat dalam bentuk sulfat anorganik. Sulfur direduksi oleh bakteri menjadi sulfida dan kadang terdapat dalam bentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfide (H2S). H2S ini bisa mengakibatkan kematian bagi mahluk hidup yang berada di perairan. Pada umumnya H2S dihasilkan dari penguraian bahan organik yang telah mati. Tumbuhan berklorofil dan sejumlah bakteri dapat menyerap secara langsung senyawa sulfur dalam bentuk larutan (SOP42-) atau gas.( Adi, 2011) Perpindahan sulfat terjadi melalui proses rantai makanan, lalu semua mahluk hidup mati dan komponen organiknya akan diuraikan oleh bakteri.
  • 6. Beberapa jenis bakteri yang terlibat dalam siklus sulfur, antara lain Desulfomaculum dan Desulfibrio yang akan mereduksi sulfat menjadi sulfida dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S). Kemudian H2S digunakan oleh bakteri fotoautotrof anaerob (seperti Chromatium) untuk melepaskan sulfur dan oksigen. Sulfur dioksidasi menjadi sulfat oleh bakteri kemolitotrof seperti Thiobacillus.( Buchari, 2011). D. Eutrofikasi Eutrofikasi adalah proses pengayaan nutrien dan bahan organik dalam jasad air. Eutrofikasi memberi kesan kepada ekologi dan pengurusan sistem akuatik yang mana selalu disebabkan masuknya nutrien berlebih terutama pada buangan pertanian dan buangan limbah rumah tangga. (Tusseau-Vuilleman, M.H. 2001). Eutrofikasi adalah suatu proses di mana suatu tumbuhan tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan pertumbuhan yang normal. Proses ini juga sering disebut dengan blooming. Dengan kata lain merupakan pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 µg/L. Menurut Goldmen dan Horne (1983), eutrofikasi perairan D. dapat dibagi dua macam yaitu cultural eutrophication dan natural eutrophication. Cultural eutrophication adalah eutrofikasi yang disebabkan karena terjadinya proses peningkatan unsur hara di perairan oleh aktivitas manusia. Natural eutrophication adalah eutrofikasi alami yaitu peningkatan unsure hara di dalam perairan bukan karena alami. Aktivitas manusia yang menyebabkan eutrofikasi banyak sekali macamnya. Menurut Morse et al (1993) 10% berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri), 7% dari industri, 11% dari detergen, 17% dari pupuk pertanian, 23% dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32%, dari limbah peternakan. Dari data statistic di atas juga dapat diketahui bahwa 90 % penyebab eutrofikasi adalah berasal dari aktivitas manusia. Hal ini menunjukkan bahwa eutrofikasi cultural lebih banyak terjadi daripada eutrofikasi alami. 1. Penyebab Eutrofikasi Beberapa detergen mengandung phospat, oleh karana itu detergen juga merupakan sumber penyebab eutrofikasi yang perlu mendapatkan perhatian
  • 7. khusus. Walaupun banyak undang-undang dan peratauran yang membatasi atau melarang penggunaan detergen yang mengandung phospat, namun sampai saat ini belum berdampak pada eliminasi masalah eutrofikasi. Selain P (fosfor) senyawa lain yang harus di perhatiakan adalah nitrogen. Distribusi penggunaan pupuk nitrogen terus meningkat dar tahun ke tahun. Komponen nitrogen sangat mudah larut dan mudah berpindah di dalam tanah, sedangkan tanaman kurang mampu menyerap semua pupuk nitrogen. Sebagai akibatnya, rembesan nitrogen yang verasal dari pupuk yang masuk kedalam tanah semakin meluas, rembesan nitrogen yang berasal dari pupuk yang masuk kedalam tanah semakin meluas, tidak terbatas pada area sandy soil. Sejumlah kelebihan nitrogen akan berakhir di air tanah. Konsentrasi nitrogen dalam bentuk nitrat secara bertahap meningkat di beberapa mata air di areal pertanian, yang akan menyebabkan terganggunya kesehatan manusia yang mengkonsumsi air tersebut sebagai air minum. Dalam tanah, pupuk N akan dengan cepat melepas amonium dan nitrat. Nitrat sangat mudah larut (kelarutannya tinggi) sehingga mudah hilang melalui pelepasan. Hampir 30% N hilang melalui leaching (pencucian). Nitrat masuk kedalam air permuakaan melalui aliran air dibawah permukaan atau drainase dan masuk kedalam air tanah melalui penapisan lapisan tanah sebelah bawah. Pada umumnya konsentrasi N di perairan. Pada umumnya konsentrasi N di perairan meningkat (tinggi) pada saat pemupukan, terutama setelah hujan. Nitrogen dapat pula hilang sebagai amonia dari penggunaan sumber- sumber nutrien organik seperti pupuk, pupuk cair (slury). Adanya amonia di perairan dapat menjadi indikasi terjadinya kontaminasi oleh pemupukan yang berasal dari material organik. N tinggi juga berasal dari peternakan terbuka. Dari laporan penelitian di UK ditunjukkan bahwa area peternakan menghasilkan limbah N lebih dari 600 kg/ha/hari dan yang hilang/lepas ketanah dapat mencapai 200 kg/ha. 2. Dampak Eutrofikasi di Perairan Efek dari eutrofikasi pada perairan yang miskin nutrien tidak bersifat negatif. Peningkatan pertumbuhan alga dan berbagai vegetasi dapat menguntungkan bagi kehidupan fauna akuatik. Salah satu contoh adalah
  • 8. produksi ikan meningkat. Jika eutrofikasi terus berlanjut, pertumbuhan plankton menjadi sangat lebat, sehingga menutupi perairan. Proses ini akan mengakibatkan gelap di bawah permukaan air, dan kondisi ini berbahaya bagi vegetasi air. Problem yang serius akibat eutrofikasi ditimbulkan oleh petumbuhan alga sel tunggal secara hebat, proses dekomposisi dari sel yang mati akan mengurangi oksigen terlarut. Tanaman akuatik (termasuk alga) akan mempengaruhi konsentrasi O2 dan pH perairan disekitarnya. Pertumbuhan alga yang pesat, akan menyebabkan fluktuasi pH dan oksigen terlarut menjadi besar pula. Hal ini akan menyebabkan terganggunya proses metabolik dalam organisme, yang akhirnya dapat menyebabkan kematian. Di perairan yang sangat kaya akan nutrien, produksi plankton dapat menjadi sangat berlebihan. Spesies plankton tertentu muncul secara berkala dalam kuantitas yang sangat besar, yang sering dikenal sebagai “alga bloom”. Beberapa alga tertentu dapat menimbulkan bau dan rasa yang tidak sedap di perairan, dan mengakibatkan konsekuensi yang sama jika perairan menerima material organik dari sumber-sumber pencemar, yaitu sejumlah besar oksigen dalam air terkonsumsi ketika sejumlah besar plankton yang mati berpindah ke dasar perairan dan terdegradasi. Defisiensi oksigen dapat mengurangi kehiupan bentik dan ikan. Jika perairan menjadi de-oksigenasi, hidrogen sulfid (H2S) akan meracuni semua bentuk kehidupan di perairan. Akhirnya eutrofikasi berat dapat menimbulkan pengurangan sejumlah spesies tanama dan hewan di perairan. Secara singkat dampak eutrofiaksi di perairan dapat dirangkum sebagai berikut: o Rusaknya habitat untuk kehidupan berbagai spesies ikan dan invertebrata. Kerusakan habitat akan menyebabkan berkurangnya biodiversitas di habitat akuatik dan spesies lain dalam rantai makanan. o Konsentrasi oksigen terlarut turun sehingga beberapa spesies ikan dan kerang tidak toleran untuk hidup. o Rusaknya kualitas areal yang mempunyai nilai konservasi/ cagar alam margasatwa.
  • 9. o Terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuni ikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi masyarakat dan merusak industri perikanan. Pada masa kini hubungan antara pengkayaan nutrien dengan adanya insiden keracunan kerang di perairan pantai/laut meningkat o Produksi vegetasi meningkat sehingga penggunaan air untuk navigasi maupun rekreasi menjadi terganggu. Hal ini berdampak pada pariwisata dan industri pariwisata. 3. Penanggulangan Eutrofikasi Teknik untuk menangani eutrofikasi yang disebabkan oleh kelebihan phospat adalah dengan memakai pendekatan yang terintegrasi untuk mengatur dan mengontrol semua masukan nutrien, sehingga konsentrasi nutrien dapat direduksi menjadi cukup rendah sehingga tidak menyebabkan alga bloom. Pendekatan tersebut juga bermanfaat untuk mengatasi masalah eutrofikasi yang disebabkan oleh nitrogen. Oleh karena itu kontrol tersebut harus juga mengurangi kehilangan Posfor dan Nitrogen, dengan demikian hal tersebut akan mendatangkan keuntungan. Perlakuan-perlakuan yang cukup signifikan untuk mengontrol eutrofikasi adalah dengan melakukan perombakan phospat pada buangan kotoran, pengontrolan phospat yang tersifusi dari pertanian, perombakan phospat dari detergen, pengalihan tempat pembuangan kotoran. Salah satu cara yang paling efisien untuk mengurangi dan mengontrol konsentrasi Posfor di perairan adalah dengan membatasi atau mengurangi beban nutrien dari sumber utama dan meningkatkan teknologi perombakan nutrien dari buangan kotoran (sewage). Faktor yang berpengaruh bervariasi dari sistem pertaniannya, tipe tanah dan kondisi wilayahnya. Namun kehilangan Posfor pada hakikatnya dapat dikembalikan ke sistem pertanian, sedangkan yang lainnya dapat dikontrol oleh petani sendiri misalnya dengan menyebar pupuk tidak pada musim hujan. Pencegahan dan mengeliminasi aliran nitrogen sangat sulit. Membuat Wetland yaitu suatu lahan yang jenuh air dengan kedalaman air tipikal yang kurang dari 0,6 m yang mendukung pertumbuhan tanaman air. Wetland dibuat
  • 10. sepanjang aliran air dan sungai di areal pertanian untuk menangkap kandungan nitrogen dalam air yang akan mengalir ke laut. Selain itu upaya lain yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sistem pengolahan limbah domestik. Pada saat ini, pengolahan limbah domestik di pesisir pantai dan kota besar harus melibatkan proses pengurangan nitrogen secara biologi, karena perlakuan secara kimiawi hanya mengurangi sejumlah kecil kandungan nitrogen dalam limbah cair. Kemudian pemindahan tempat pembuangan kotoran menjadi salah satu faktor atau upaya untuk menanggulangi dampak dari eutrofikasi.
  • 11. BAB III DAMPAK SISTEM AKUAKULTUR YANG TIDAK BAIK TERHADAP EUTROFIKASI PERAIRAN Dampak limbah akuakultur terhadap kualitas air Studi yang telah dilaporkan oleh Davidson et al (2016) tentang efek dari pakan ikan yang ransumnya mengandung tepung ikan (FMF) dan pakan yang ransumnya tidak mengandung tepung ikan (FM) yang diujikan pada salmon Atlantik (Salmo salar) dengan teknologi sistem resirkulasi (RAS). Selama durasi penelitian ternyata total ammonia nitrogen (TAN) pada pakan yang mengandung tepung ikan lebih tinggi daripada pakan yang tidak mengandung tepung ikan masing-masing adalah 0,17±0,01 dan 0,13±0,01 mg / L. Nitrit nitrogen masing- masing adalah 0,05 ± 0,04 dan 0,03±0,02 mg / L untuk FMF dan FM. Nitrat nitrogen masing-masing adalah 65±2 dan 57±1 mg / L untuk ransum pakan FMF dan FM. Total fosfor (TP) di dalam air yang pakannya mengandung FMF dan pakan FM masing-masing adalah 4,3±0,1 dan 0,9 ± 0,0 mg/ L (Tabel 1); karenanya, pakan FMF menghasilkan total fosfor yang lebih besar dalam air akuakultur. Air akukultur yang menerima FMF dan FM masing-masing mengandung kadar TSS rata-rata 1,3 ± 0,2 dan 1,7 ± 0,1 mg / L, terbukti TSS lebih tinggi pada NTP daripada MTP (Tabel 1). Pada budidaya ikan dan industri pakan ikan telah cukup lama mengakui dan mengantisipasi masalah yang berdampak pada keberlanjutan tepung ikan di industri pakan ikan terhadap lingkungan perairan. Karena keterbatasan pasakon tepung ikan untuk ransum pakan, maka beberapa peneliti telah mencoba menggembangkan bahan-bahan protein alternaif, terutama protein nabati. Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja pertumbuhan ikan trout pelangi yang diberi semua protein nabati tanpa tepung ikan sebanding dengan kinerja ikan trout yang diberi makan tepung ikan tradisional (Davidson et al., 2013). Pada Tabel 2 dilaporkan kualitas air media pemeliharaan ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) dengan RAS dengan dua jenis pakan (protein pakan bersumber dari tepung ikan dan protein pakan dari biji-bijian). Bahan protein utama dalam diet GB adalah kedelai dan jagung konsentrat protein. Diet FM diformulasikan untuk mewakili diet trout khas yang mengandung makanan
  • 12. menhaden, produk sampingan unggas, tepung kedelai, dan tepung darah. Penggunaan alternatif selain tepung ikan untuk akuakultur semakin menjadi kebutuhan karena menurunnya stok perikanan. Dengan demikian, formulasi makanan dan dampaknya tetap menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan sektor akuakultur. Bahan tanaman telah berhasil digunakan sebagai alternatif berkelanjutan untuk pengganti tepung ikan untuk beberapa spesies akuakultur. Namun, adanya faktor antinutritional di sebagian besar bahan-bahan ini mengganggu penerimaan pakan dan kinerja hewan, menyebabkan gangguan metabolisme dan pencernaan. Selain biaya produksi yang meningkat, kekhawatiran lain juga muncul dari dampak gangguan ini, seperti produksi limbah yang berasal dari nutrisi yang tidak disimpan dalam biomassa dan dilepaskan di lingkungan sebagai kerugian feses atau non-feses (Kokou dan Fountoulaki, 2018). Disisi lain, sumber beban pencemaran air danau Maninjau dominan berasal dari aktifitas budidaya ikan keramba jaring jaring apung yaitu sisa pakan ikan, tinja ikan dan ikan mati secara massal (Junaidi et al, 2015; Syandri et al., 2020; Syandri et al., 2017). Sumber pencemaran tersebut telah berdampak
  • 13. terhadap kualitas air dan status trofik danau. Sulastri et al (2019) telah melaporkan kualitas air danau Maninjau seperti dipresentasikan pada Tabel 3. Kecerahan perairan yang ditentukan berdasarkan kedalaman Secchi Dish ratarata berkisar antara 0.8-2.96 m. Untuk perairan mesotrofik dan eutrofik kedalaman kerahan (Secchi dish) masing-masing adalah 4-2 m dan 2-1 m (Carlson dan Simpson, 1996). Suhu perairan menunjukkan kondisi umum perairan tropis dan mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton (Affan et al. 2016). Kisaran pH menunjukkan perairan lebih bersifat alkali. konsentrasi total fosfor rata-rata berkisar antara 0, 021-0,298 mg/L untuk perairan mesotrofik dan eutrofik konsentrasi total fosfor berkisar masing-masing antara 0,012-0,024 mg/L dan 0,24-0, 96 mg/L, sedangkan untuk perairan hipertrofik berkisar antara 0.96->0,192 mg/L. Rasio TN:TP pada umumnya >12 menunjukkan fosfor menjadi faktor pembatas fitoplakton (Sulastri et al., 2019). Dampak limbah akuakultur terhadap plankton Para peneliti telah meloporkan tentang keanekaragaman plankton di perairan danau Maninjau (Merina et al, 2014; Sulastri et al, 2019). Jenis fitoplankton di danau Maninjau disajikan pada pada Tabel 4 (Sulastri et al., 2019). Berdasarkan waktu pengamatan, jumlah jenis yang tinggi adalah phylum Chlorophyta kecuali pada April, 2018 tidak ditemukan jenis dari alga hijau (Chlorophyta). Synedra ulna merupakan jenis dari kelompok diatom yang melimpah dan ditemukan selama pengamatan (Tabel 4). Jenis-jenis dari famili Desmidiaceae (kelompok desmid) seperti dari genus Cosmarium dan Staurastrum memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi selama pengamatan, kecuali pada bulan April 2018. Jenis dari
  • 14. phylum alga biru hijau (Cyanophyta) yang selalu ditemukan di danau Maninjau adalah Microcystis aeruginosa, Anabaena affinis dan Cylindrospermopcis raciborskii (Tabel 4). Faktor pertama penyebab ledakan populasi fitoplankton itu biasanya dipicu oleh zat hara. Suatu perairan yang memiliki konsentrasi zat hara berlebih, dapat memicu terjadinya ledakan fitoplankton. Karena zat hara tersebut terserap oleh fitoplankton sebagai nutrisi pertumbuhan dan perkembangannya. Disamping itu Cyanobacteria merupakan mayoritas fitoplankton di beberapa negara danau oligotrofik hingga eutrofik besar, dan karena kelimpahannya dan di mana-mana, hingga 70% fiksasi karbon dalam air dapat dikaitkan dengan cyanobacteria (Yan et al., 2019). Peningkatan biomassa cyanobacterial secara mekar dapat menyebabkan degradasi ekosistem perairan dengan meningkatkan proses anaerob, mengurangi kualitas air dan mengubah keanekaragaman air, dan dengan demikian menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan manusia (Liao et al., 2016). Taipale et al (2019) menemukan bahwa nilai gizi fitoplankton, asam amino, EPA, DHA, dan sterol menunjukkan hubungan kuadratik yang signifikan dengan status trofik danau. Lebih khusus, kandungan asam amino adalah sama di danau oligo dan mesotropik, tetapi secara substansial lebih rendah di danau eutrofik (TP> ug L -1 / 1.13 μmol L -1 56). Kandungan EPA dan DHA tertinggi di fitoplankton ditemukan di danau mesotropik, sedangkan kandungan sterol tertinggi di danau oligotropik. Berdasarkan hasil ini, nilai gizi fitoplankton berkurang dengan terjadinya eutrofikasi, meskipun kontribusi ganggang berkualitas tinggi tidak berkurang. Oleh karena itu, hasilnya menekankan bahwa eutrofikasi, sebagai kelebihan TP, mengurangi nilai gizi fitoplankton, yang mungkin memiliki dampak signifikan pada nilai gizi zooplankton, ikan, dan hewan air lainnya pada tingkat rantai makanan yang lebih tinggi. Selanjutnya perubahan komposisi spesies plankton dan kepadatan akibat eutrofikasi dapat menghasilkan ikan dengan nilai gizi lebih rendah dan dengan demikian meningkatkan risiko bagi konsumen ikan dengan mengubah ketersediaan Se dan EPA terhadap MeHg (Razawi et al., 2014).
  • 15. Dampak limbah akuakultur terhadap eutrofikasi Danau air tawar adalah salah satu ekosistem terpenting di dunia tetapi aktivitas yang berhubungan dengan manusia telah mengubah ekosistem secara bertahap dengan meningkatkan aliran nutrisi anorganik dan zat organik ke dalam ekosistem, yang selalu dikaitkan dengan peradaban dan urbanisasi. Meskipun proses pengolahan air limbah dapat mengurangi pembuangan nutrisi, akumulasi kelebihan pasokan nutrisi dapat mengakibatkan eutrofikasi. Sebagian besar danau air tawar dan lahan basah menghadapi masalah penurunan kualitas air dan ketidakseimbangan ekologis karena meningkatnya kegiatan antropogenik terutama di negara-negara berkembang. Pemahaman tentang mekanisme dan identifikasi sumber-sumber eutrofikasi sangat bermanfaat untuk mengurangi masalah melalui kebijakan manajemen yang tepat. Mekanisme dan efek eutrofikasi serta permodelan untuk mitigasi eutrofikasi telah dijelaskan oleh banyak peneliti (Bhagowati et al, 2019; Liu et al., 2018;Tang et al., 2019). Dengan kemajuan pemodelan ekosistem, menjadi layak bagi badan pemerintah dan pembuat kebijakan untuk mengusulkan skema pengendalian danau dan program restorasi yang lebih baik, melalui kapasitas prediksi yang lebih baik. Sementara prediksi dan kontrol eutrofikasi danau sekarang menjadi lebih mudah daripada sebelumnya, penyempurnaan masih terjadi karena kompleksitas yang terus meningkat dan masalah khusus danau yang membutuhkan pengalaman yang
  • 16. lebih luas dan lebih detail. Status pengetahuan saat ini tentang eutrofikasi danau dan kemajuan dalam pemodelan ekologi dan hidrodinamik akan sangat bermanfaat bagi prospek pengelolaan danau di masa depan. Eutrofikasi adalah proses pengayaan nutrisi dan digunakan untuk mengkarakterisasi keadaan ekosistem perairan. 'Status trofik' badan air digunakan sebagai deskripsi badan air untuk tujuan ini. Untuk memahami status nutrisi dari badan air biasanya digunakan istilah oligotrophic, mesotrophic, eutrophic dan hypertrophic (Walmsley, 2000).  Oligotropik adalah keadaan konsentrasi nutrisi yang rendah dan tidak produktif dalam hal kehidupan hewan dan tumbuhan air. Danau-danau ini memiliki produksi alga yang sangat sedikit dan cocok digunakan untuk air minum.  Mesotropik adalah zat gizi tingkat menengah, cukup produktif dalam hal kehidupan hewan dan tumbuhan air dan menunjukkan inisiasi tandatanda masalah kualitas air.  Eutrofik adalah keadaan di mana badan air kaya akan konsentrasi nutrisi, sangat produktif dalam hal kehidupan hewan dan tumbuhan air dan menunjukkan tanda-tanda meningkatnya masalah kualitas air. Karena meningkatnya muatan alga, air menjadi kurang transparan.  Hipertrofik adalah keadaan di mana konsentrasi nutrisi berlebihan terjadi, dan pertumbuhan tanaman dapat ditentukan oleh faktor fisik. Masalah kualitas air serius dan hampir terus menerus. Air menjadi kurang transparan dan kehidupan akuatik berhenti pada kedalaman yang lebih rendah karena hilangnya kandungan oksigen terlarut. Secara umum, fenomena eutrofikasi danau dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu gejala alam dan aktifitas manusia. Proses eutrofikasi alami berlangsung sangat lambat dalam waktu umur geologis tetapi dapat sangat dipercepat oleh kegiatan antropogenik yang umumnya disebut sebagai eutrofikasi buatan manusia, sebagai contoh aktifitas budidaya ikan dengan keramba apung. Secara umum dapat diterima bahwa input nutrisi yang berlebihan terutama nitrogen (N) dan fosfor (P), adalah faktor kunci yang mempercepat proses eutofikasi dalam ekosistem perairan. Sumber N dan P
  • 17. dapat berasal dari kegiatan pertanian di luar badan air dan dialirkan ke danau atau waduk, disatu sisi juga berasal dari badan air itu sendiri. Ketersediaan fosfor dianggap sebagai faktor terpenting untuk menentukan kualitas air danau. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa pemuatan fosfor yang tinggi menyebabkan biomassa fitoplankton tinggi, air keruh, dan sering terjadi perubahan biologis yang tidak diinginkan. Yang terakhir termasuk hilangnya keanekaragaman hayati, hilangnya macrophytes yang terendam, perubahan stok ikan, dan penurunan kontrol top-down oleh zooplankton pada fitoplankton. Untuk menurunkan tingkat eutrofikasi danau, banyak upaya telah dilakukan untuk mengurangi pemuatan fosfor ke badan air. Beberapa pengelola danau merespon dengan cepat terhadap pengurangan semacam itu. Tetapi penundaan pemulihan danau sering terlihat lambat, karena sumbangan fosfor dari aktifitas akuakultur dan pertanian sangat besar, sehingga membutuhkan waktu untuk menyeimbangkan dengan tingkat pembebanan baru. Pelepasan fosfor dari sedimen ke dalam kolom air danau mungkin begitu kuat dan persisten, sehingga memperlambat periode waktu peningkatan kualitas air setelah pengurangan pembebanan (Zhang et al, 2019; Ni et al, 2018). Eutrofikasi di air tawar memperlihatkan hubungan antara limbah fosfor dan hilangnya keanekaragaman spesies ikan di air tawar, seperti di danau, sungai dan waduk, termasuk rawa banjiran. Dalam perairan tawar, fosfor biasanya ditunjukkan sebagai nutrisi yang membatasi pertumbuhan fitoplankton (Jorgensen, 1980). Sampai saat ini, upaya untuk mengontrol pertumbuhan fitoplankton di badan air memang difokuskan terutama pada pengurangan fosfor. Namun, ada pendapat yang berkembang bahwa dengan mengurangi fosfor mungkin tidak cukup untuk memperbaiki kondisi ekologis perairan. Penggabungan pengurangan nitrogen dan fosfor mungkin bisa memberikan hasil yang lebih baik. Strategi untuk pengendalian eutrofikasi dengan membatasi jumlah fosfor yang dilepaskan ke badan air ternyata kurang berhasil pada sejumlah badan air. Namun para peneliti telah membuktikan bahwa senyawa nitrogen juga harus dipertimbangkan untuk
  • 18. dikurangi yang lepas ke badan air ((Finlay et al., 2013; Paerl, 2009; Sterner, 2008; Syandri et al, 2017). Namun demikian, efektivitas langkah-langkah pengurangan nitrogen untuk mengontrol pertumbuhan fitoplankton juga jauh dari pasti karena banyak spesies cyanobacteria dapat langsung memperbaiki nitrogen atmosfer (Yan et al, 2019) dan karena itu dapat mengimbangi muatan nitrogen yang lebih rendah. Berdasarkan pengetahuan ilmiah saat ini ada peneliti yang sangat menganjurkan pengurangan gabungan nitrogen dan fosfor untuk mengontrol eutrofikasi di perairan air tawar (Abell et al., 2010) sementara yang lain sangat menentangnya dan mendorong hanya kontrol fosfor (Schindler et al., 2008). Kedua strategi memiliki kisah sukses dan kegagalan dan tampaknya tergantung pada kondisi hidrologi dari badan air tertentu. Pengurangan beban nitrogen ke badan air biasanya memiliki biaya lebih tinggi daripada pengurangan phosphorus karena kompleksitas teknis yang lebih tinggi mengingat sebagian besar muatan nitrogen berasal dari sumber yang tersebar dan bukan seperti dari beban phosphorus (Sharpley et al., 2000). Penilaian variabel kualitas air mesti menganalisis parameter berikut, termasuk tiga kelompok fitoplankton (cyanobacteria, diatom dan ganggang hijau), oksigen terlarut, senyawa nitrogen (nitrat, nitrit, amonium, nitrogen organik, nitrogen teradsorp dan nitrogen total), senyawa fosfor (fosfat, fosfor organik, fosfor teradsorpsi dan fosfor total), karbon organik partikulat dan terlarut, silika dan zooplankton (Lindim et al., 2015). Kunci untuk manajemen kualitas air yang sukses bagi danau yang menerima air masukan dari sungai-sungai besar tampaknya tidak hanya mengurangi jumlah input eksternal nutrisi tetapi juga mempertimbangkan beban internal. Sebaliknya danau-danau yang tidak mempunyai inlet sungai besar input internal harus sangat dipertimbangkan. Sebagai contoh adalah danau Maninjau. Beban nutrisi yang berasal dari internal adalah operasional budidaya ikan dengan karamba jaring apung. Selama musim panas perhatian harus diberikan pada stratifikasi termal pada himpunan dan durasi karena peningkatan risiko pengembangan cyanobacteria yang beracun.
  • 19. Namun ikan mas perak, Hypophthalmichthys molitrix, dan Nile tilapia telah dianggap efektif dalam menekan mekar cyanobacterial di danau eutrofik (Miura, 1990; Starling dan Rocha, 1990; Starling, 1993, in Turker et al, 2003). Turker et al (2013) telah melaporkan bahwa ikan nila menyaring lebih banyak partikel ukuran yang lebih besar dalam sumber air ganggang hijau dan cyanobacterial. Sebagai contoh dari jenis ganggang hijau (Scenedesmus, Tetraedron, Chlorella, Ankistrodesmus), dan Cyanobacteria (Microcystis, Merismopedia). Perkiraan laju filtrasi ikan nila (mgC / kg / jam) dapat dihitung dari data literatur. Sebagai contoh, tingkat filtrasi fitoplankton rata- rata yang ditentukan dari berapa species ikan dicantumkan pada Tabel 5. . Peningkatan signifikan dalam tingkat filtrasi ikan nila yang dianalisis karena suhu air meningkat dari 23,8 menjadi 31,2o C. Nila adalah spesies tropis, laju pemberian makan diperkirakan akan meningkat saat suhu air meningkat. Tingkat filtrasi yang lebih tinggi juga terjadi pada ikan yang di budidayakan pada suhu hangat dibanding dengan ikan yang dipelihara di dalam laboratorium. Turker et al (2003) menyatakan bahwa nila tilapia secara efektif dapat menyaring cyanobacteria yang dapat dijadikan sebagai agen hayati untuk mengendalikan fitoplankton yang mengganggu seperti Microcystis. Temuan lain menyatakan bahwa danau oligtrofik didominasi oleh Actinobacteria, dan danau eutrofik didiminasi oleh Cyanobacteria (Ji et al., 2018).
  • 20. KESIMPULAN Operasional akuakultur yang tidak ramah lingkungan telah memberikan dampak negatif terhadap ekosistem perairan. Dampak limbah akuakultur bersumber dari pakan ikan, tinja ikan, dan senyawa organik lainnya. Limbah dari operasional akuakultur telah berdampak negatif terhadap kualitas perairan, keanekaragaman fitoplankton, termasuk nilai gizi yang terkandung pada fitoplankton, misalnya asam amino esensial. Selain itu juga berdampak terhadap keanekaragam spesies ikan, blooming fitoplankton dan eutrofikasi perairan. Ikan nila dapat dijadikan sebagai salah species ikan yang berfungsi sebagai agen hayati yang dapat memanen fitoplankton yang mekar di badan air danau dan waduk, termasuk di kolam ikan. Eutrofikasi dapat menyebabkan terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuni ikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan merusak industri perikanan.Perlakuan- perlakuan yang cukup signifikan untuk mengontrol eutrofikasi adalah dengan melakukan perombakan phospat pada buangan kotoran, pengontrolan phospat yang tersifusi dari pertanian, perombakan phospat dari deterjen, pengalihan tempat pembuangan kotoran. Kunci untuk manajemen kualitas air yang sukses bagi danau yang menerima air masukan dari sungai-sungai besar tampaknya tidak hanya mengurangi jumlah input eksternal nutrisi tetapi juga mempertimbangkan beban internal. Sebaliknya danau-danau yang tidak mempunyai inlet sungai besar input internal harus sangat dipertimbangkan seperti di danau Maninjau dan danau lain dengan kasus yang sama.
  • 21. DAFTAR PUSTAKA Abel. J.M, Deniz Özkundakci & David P. H. Nitrogen and Phosphorus Limitation of Phytoplankton Growth in New Zealand Lakes: Implications for Eutrophication Control. Ecosystem, 13:966-977. Affan, MA., El-Sayed Touliabah H, Al-Harbi SM, Abdulwassi NI, Turki Aj, Haque MM, Khan S, Elbassat RA. 2016. Influence of environmental parameters on toxic cyanobacterial bloom occurrence in a Lake of Bangladesh. Rend Fis Acc Lincei 27: 473-481 Bhagowati, B., & Ahamad, K. U. (2018). A review on lake eutrophication dynamics and recent developments in lake modeling. Ecohydrology & Hydrobiology,19(1): 155-166. Carlson RE, Simpson J. 1996. A coordinator’s guide to volunteer lake monitoring methods. North American Lake Management Society, Madison, WI. Davidson, J., Barrows, F. T., Kenney, P. B., Good, C., Schroyer, K., & Summerfelt, S. T. (2016). Effects of feeding a fishmeal-free versus a fishmeal-based diet on post- smolt Atlantic salmon Salmo salar performance, water quality, and waste production in recirculation aquaculture systems. Aquacultural Engineering, 74, 38–51. Davidson, J., Good, C., Barrows, F. T., Welsh, C., Kenney, P. B., & Summerfelt, S. T. (2013). Comparing the effects of feeding a grain- or a fish meal-based diet on water quality, waste production, and rainbow trout Oncorhynchus mykiss performance within low exchange water recirculating aquaculture systems. Aquacultural Engineering, 52, 45–57. De Oliveira, E. G., Pinheiro, A. B., de Oliveira, V. Q., da Silva, A. R. M., de Moraes, M. G., Rocha, Í. R. C. B., Costa, F. H. F. (2012). Effects of stocking density on the performance of juvenile pirarucu (Arapaima gigas) in cages. Aquaculture, 370- 371, 96–101. Finlay J.C, , Gaston E. S, Robert W. S, 2013. Human Influences on Nitrogen Removal in Lakes. Science, 342, Issue 6155, 247-250. Ji, B., Qin, H., Guo, S., Chen, W., Zhang, X., & Liang, J. (2018). Bacterial communities of four adjacent fresh lakes at different trophic status. Ecotoxicology and Environmental Safety, 157, 388–394. Jorgensen SE.1980. Lake Manjement, Pergamon Press Ltd, Oxford, UK. Schindler, 1974 Junaidi, Syandri, H, Azrita, 2014. Loading and Distribution of Organic Materials in Maninjau Lake West Sumatra Province-Indonesia J Aquac Res Development Kokou, F., & Fountoulaki, E. (2018). Aquaculture waste production associated with antinutrient presence in common fish feed plant ingredients. Aquaculture, 495, 295–310. Merina, G, Afrizal dan Izmiarti, 2014. Composition and Structure of Phytoplankton Community at Maninjau Lake West Sumatera. Jurnal Biologi Universitas Andalas, 3(6): 267-274. Liao.J, Lei Z, Xiaofeng C, Jinhua S, Zhe G, Jie W, Dalin J, Hao F, Yi H, 2016. Cyanobacteria in lakes on Yungui Plateau, China are assembled via niche processes driven by water physicochemical property, lake morphology and watershed land-use. Sci. Rep.-UK 6, 36357.
  • 22. Lindim, C., Becker, A., Grüneberg, B., & Fischer, H. (2015). Modelling the effects of nutrient loads reduction and testing the N and P control paradigm in a German shallow lake. Ecological Engineering, 82, 415–427. Liu, B., McLean, C. E., Long, D. T., Steinman, A. D., & Stevenson, R. J. (2018). Eutrophication and recovery of a Lake inferred from sedimentary diatoms originating from different habitats. Science of The Total Environment, 628-629, 1352–1361. Martin Søndergaard, Jens Peder Jensen & Erik Jeppesen, 2003. Role of sediment and internal loading of phosphorus in shallow lakes, Hydrobiologia 506, 135–145. Moriarty, C.M., Moriarty, D.J.W., 1973. Quantitative estimation of the daily ingestion rate of phytoplankton by Tilapia nilotica and Haplochromis nigripinnis in Lake George, Uganda. J. Zool. (London) 171, 15 – 23. Ni, Z., Wu, X., Li, L., Lv, Z., Zhang, Z., Hao, A.,Li, C. (2018). Pollution control and in situ bioremediation for lake aquaculture using an ecological dam. Journal of Cleaner Production, 172, 2256–2265. Paerl, H.W. 2009, Controlling Eutrophication along the Freshwater–Marine Continuum: Dual Nutrient (N and P) Reductions are Essential. Estuaies and Coast, 32(4): 593-601. Razavi, N. R., Arts, M. T., Qu, M., Jin, B., Ren, W., Wang, Y., & Campbell, L. M. (2014). Effect of eutrophication on mercury, selenium, and essential fatty acids in Bighead Carp (Hypophthalmichthys nobilis) from reservoirs of eastern China. Science of The Total Environment, 499, 36–46. Syandri, H, Azrita, Junaidi, A. Mardiah 2017. Levels of available nitrogenphosphorus before and after fish mass mortality in Maninjau Lake of Indonesia. J. Fish. Aquat. Sci., 12 (4): 191-196. Syandri, H, A. Mardiah . Azrita. 2020. Water Quality Status and Pollution Waste Load from Floating Net Cages at Maninjau Lake, West Sumatera Indonesia. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 430 (2020) 012031. Sulastri, Cynthia H, Sulung N, 2019. Keanekaragaman fitoplankton dan status trofik Perairan Danau Maninjau di Sumatera Barat, Indonesia. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon, 2(5): 242-250. Zhang, Y., Yu, J., Su, Y., Du, Y., & Liu, Z. 2019. Long-term changes of water quality in aquaculture-dominated lakes as revealed by sediment geochemical records in Lake Taibai (Eastern China). Chemosphere. Schindler, D.W, R. E. Hecky, D. L. Findlay, M. P. Stainton, B. R. Parker, M. J. Paterson, K. G. Beaty, M. Lyng, and S. E. M. Kasian, 2008. Eutrophication of lakes cannot be controlled by reducing nitrogen input: Results of a 37- year whole-ecosystem experiment. PNAS August 12, 2008 105 (32) 11254- 11258 Sharpley, A. Bob, F, Paul. W, 2000. Practical and Innovative Measures for the Control of Agricultural Phosphorus Losses to Water: An Overview.Journal of Environment Quantity1(29): 1-9. Taipale, S.J., Vuorio, K., Aalto, S.L., Peltomaa, E., Tiirola, M.,2019. Eutrophication reduces the nutritional value of phytoplankton in boreal lakes, Environmental Research, Volume 179, Part B, 108836 Tang, C., Yi, Y., Yang, Z., Zhou, Y., Zerizghi, T., Wang, X., … Duan, P. (2019). Planktonic indicators of trophic states for a shallow lake (Baiyangdian Lake, China). Limnologica, 78: 125712.
  • 23. Turker, H., Eversole, A. G., & Brune, D. E. (2003). Filtration of green algae and cyanobacteria by Nile tilapia, Oreochromis niloticus, in the Partitioned Aquaculture System. Aquaculture, 215(1-4), 93–101 Walmsley, R.D., 2000. Perspectives on Eutrophication of Surface Waters: 1214 Policy/Research Needs in South Africa. WRC Report No. KV 129/00. 1215 Water Research Commission, Pretoria, South Africa. Yan, D., Xu, H., Yang, M., Lan, J., Hou, W., Wang, F.,Goldsmith, Y. 2019. Responses of cyanobacteria to climate and human activities at Lake Chenghai over the past 100 years. Ecological Indicators.104:755-763Buchari, 2001. Kimia Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta. Goldman, C.R. and A.J. Horne. 1983. Limnology. Mc. Graw Hill. International Book Company : Tokyo.