MA Kelas XII Bab 1 materi musik mkontemnporerFase F.pdf
PENDIDIKAN MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL
1. MAKALAH
Pendidikan dan Pembelajaran
Disekolah Menghadapi Tantangan
Global
Nama: Sidiq Wahyudin
NIM: A1C108013
Dosen Pembimbing:
Dr. Ali Idrus Mpd, ME
JURUSAN U-MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN ( F K I P )
U N I V E R S I T A S J A M B I
TAHUN 2008/2008
2. BAB I
1. PENDAHULUAN
Di Era reformasi saat ini telah membawa perubahan-perubahan mendasar
dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan
mendasar adalah manajemen negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi
manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah
diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999,
yang kemudian direvisi disempurnakan menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Pedoman pelaksanaannyapun telah dibuat melalui
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah manajemen pendidikan
harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi.
Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud
dalam bentuk perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke
paradigma baru, yang tentu juga berdampak pada paradigma perencanaan
pendidikannya. Secara ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai
kebijakan pendidikan baik kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun
implementatif.
Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud, kemampuan perencanaan
pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan. Dengan kemampuan
perencanaan pendidikan yang baik diharapkan dapat mengurangi kemungkinan
timbulnya permasalahan yang serius. Fiske (1996) menyatakan bahwa berdasarkan
pengalaman berbagai negara sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang
pendidikan, otonomi berpotensi memunculkan masalah: perbenturan kepentingan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam
pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya
gerak dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya
tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas
pendidikan oleh masyarakat.
Kata Abdul Madjid pendidikan hanya dijadikan sebagai “faktor pelengkap”
atau “dokumen tanpa makna” sehingga sering terjadi tujuan yang ditetapkan tidak
tercapai secara optimal.
3. 1.1 Latar Belakang
Dunia pendidikan di Indonesia, menghadapi tantangan yang kian komplek. Isu
penting yang sering dikaitkan dengan dunia pendidikan di Indonesia saat ini adalah,
lemahnya daya saing bangsa dan rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia.
Melimpahnya sumber daya alam dan murahnya tenaga kerja bukan lagi menjadi
faktor utama yang dapat menopang keunggulan bangsa.
Salah satu perubahan mendasar adalah manajemen negara, yaitu dari
manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi,
perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Republik
Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi disempurnakan menjadi
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pedoman
pelaksanaannyapun telah dibuat melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
tersebut adalah manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat
otonomi.
Fiske (1996) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara
sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi
berpotensi memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan,
ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang partisipasi
masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan
oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat.
Kata Abdul Madjid pendidikan hanya dijadikan sebagai “faktor pelengkap”
atau “dokumen tanpa makna” sehingga sering terjadi tujuan yang ditetapkan tidak
tercapai secara optimal.
4. 1.2. Permasalahan
Semakin besarnya tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini dan masa
depan, dunia yang selalu mengalami perubahan-perubahan yang kian kompleks
bahkan rasanya berlari semakin cepat, dan sangat sulit diramalkan mengharuskan
bangsa kita ini “terus melangkah” beriringan, maju ke depan atau kalau perlu
mendahului pergerakan zaman. Kalau tidak, seperti yang sudah terjadi saat ini
terkaget-kaget dalam meghadapi perubahan global khususnya dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu salah satu agenda terpenting yang harus
diperhatikan bangsa Indonesia sekarang adalah membenahi dunia pendidikan. Jika
ingin menjadi bangsa yang besar dan memimpin peradaban.
Pada dasarnya kita juga bergerak, tetapi seperti yang kita ketahui bersama
betapa lambatnya kemajuan pendidikan di negara kita ini bahkan di beberapa hal kita
justru mundur kebelakang adalah:
Pertama, kita hanya sering membicarakan masalah-masalah pendidikan saja,
akan tetapi nasib pendidikan di negara ini belum terselesaikan dan bahkan semakin
terpuruk karena terlalu banyak yang dibicarakan tidak terkait dengan substansi
pendidikan itu sendiri. Tetapi tidak mengkaji kembali sistem pendidikan yang sudah
ada.
Kedua, kurang optimalnya pelaksanaan sistem pendidikan (yg sebenarnya
sudah cukup baik) di Indonesia. Sebenarnya kurikulum Indonesia tidaklah kalah dari
kurikulum di negara maju, tetapi pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal.
Implementasi pendidikan yg kurang benar.
Ketiga, Pendidikan di negara kita belum mampu mengembangkan intelektual
serta pengetahuan secara komprehensif. Kegiatan pembelajaran hanya sekedar
menekankan pada kompetisi akademik (Learning how to learn) Ditambah lagi terlalu
seringnya sistem pendidikan yang digonta-ganti tergantung kondisi politik
Keempat, penerapan Ujian Nasional dijadikan tolok ukur keberhasilan
pendidikan. Karena dengan diterapkannya standart tersebut, siswa justru harus
dibebani dengan kepadatan materi yang tidak banyak membuka ruang diskusi,
perdebatan, polemik dan kebebasan berpendapat dan juga banyak sekolah berlomba-
lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara akademik saja sehingga bahan
pelajaran yang sudah dipecahkan hanya tinggal dihafal saja dam tidak diberi dorongan
melakukan pencarian dan juga adanya dominasi peran guru yang tidak memberi hak
kepada siswa anak didik hanya dianggap seperti bejana kosong yang ditumpahi air.
5. Kelima, Masih banyaknya sekolah belum melaksanakan manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah dengan benar.
Keenam, seringkali bahan pelajaran yang diajarkan kepada murid secara
terpisah dan tidak memiliki kaitan historis dengan kenyataan sosial yang dialami
siswa.
Ketujuh, kata Abdul Madjid pendidikan hanya dijadikan sebagai “faktor
pelengkap” atau “dokumen tanpa makna” sehingga sering terjadi tujuan yang
ditetapkan tidak tercapai secara optimal.
Fiske (1996) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara
sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi
berpotensi memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan,
ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang partisipasi
masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan
oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat.
6. BAB II
PEMBAHASAN
2. PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL
Era Otonomi Daerah yang diatur oleh UU No. 32 tahun 2004 sebagai revisi
UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah sudah berjalan hampir tujuh tahun.
Dalam UU tersebut, bidang pendidikantermasuk salah satu kewenanganpemerintah
pusat yang ikut serta diotonomikan. Setelah otonomi endidikan juga diberlakuka,
ternyata banyak pihaj baik pihak sekolah maupun pemerintah daerah yang belum
memahami apa yang seharusnya dilakukan.
Pendidikan memiliki fungsi penting bagi daerah, terutama ntuk meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dan sumber dana yang memadahi. Sebab,
setelah pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah, daerah harus lebih
bersifat kreatif, mandiri, dan mampu mengembangkan daerahnya demi untuk
kesejahteraan masyarakat melalaui berbagai program pendidikan di daerahnya. Oleh
sebab itu, dalam era otonomi pendidikan, daerah perlu membangun sektor pendidikan
secara baik agar sektor ini mampu dinjadikan penggerak bagi kemajuan daerah.
Meskipun demikian, membangun sektor pendidikan tidak akan pernah
mencapai tujuan akhir yang sempurna dan final. Karena kteks pendidikan selalu
dinamik, berubah dan tidk pernah konstan sesuai dengan perubahan, masyarakat, ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Parameter kualitas pendidikan dilihat dari segi input, process, product,
maupun out come selalu berubah dari waktu ke waktu.
2.1. Tantangan Bagi Pendidikan dan Pembelajaran Kita
2.1.1. Kebijkan Pendidikan yang Adil Bagi Semua
Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan kita yang juga memiliki kaitan
erat dengan sistem adalah kebijakan pemerintah yang banyak dianggap merugikan
rakyat. Pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa belum menjadi pikiran utama
para elite-elite politik pengambil kebijakan, tetapi hanya sebagai sarana perebutan
proyek. Banyak RUU yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat disahkan dengan
mengatasnamakan rakyat.
7. Kurikulum pendidikan sering kali di ubah-ubah demi kepentingan politik dan
proyek jual-beli buku antara penerbit dan siswa layaknya transaksi jual beli dipasar
dengan alasan perbaikan mutu pendidikan. Hal tersebut saya buktikan sendiri dengan
pengalaman saya dimana setiap tahunnya orang tua saya harus menyisihkan anggaran
lebih untuk membeli buku-buku pelajaran adik saya yang hanya selisih dua tahun
karena buku-buku saya sudah tidak dapat dipakai adik saya lantaran berbeda
kurikulum.
Lebih parah lagi, Pendidikan dinegeri ini sudah dimasuki intervensi asing
dimana liberalisasi pendidikan sebagai sesuatu hal yang tidak perlu ditutup-tutupi.
Liberalisasi (kapitalisasi) pendidikan tinggi merupakan sistem kapitalisme dalam
dunia pendidikan tinggi, dengan modus utamanya integrasi pendidikan tinggi dengan
pasar global. Liberalisasi pendidikan tinggi berawal dari apa yang dilakukan oleh
aktor-aktornya, yaitu Multi National Corporation(MNC) yang dibantu oleh bank
dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat WTO untuk terjun dalam arus globalisasi
berdasarkan paham neoliberalisme. (M. Shiddiq al-jawi, 2008)
Dalih dari liberalisasi ini adalah dijauhkannya peran dan tanggung jawab negara
dengan istilah yang menipu yakni:”Pembebasan pendidikan dari intervensi negara”
Sebagai contoh adalah pelepasan tanggung jawab Negara ketika UGM di ubah
bentuknya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Akhirnya UGM harus
mencari dana sendiri, antara lain melalui “jalur khusus” dalam menerima mahasiswa.
Di satu sisi, hal positif yang dapat dirasakan adalah terciptanya pendidikan dengan
kulaitas, efisiensi, dan profesionalisme yang bagus. Pihak penyelenggara pendidikan
bisa bebas sesuai dengan kreativitasnya memajukan pendidikan yang dijalankan
berdasarkan strategi yang telah dirancang. Penyelenggara pendidikan pun tidak perlu
terhambat akan adanya jeratan birokrasi yang berbelit-belit seperti yang terjadi selama
ini. Namun di sisi lain, Konsep BHMN secara mudah bisa diidentikkan dengan
sebuah korporasi dalam dunia bisnis, yang akan menyebabkan
2.1.2. komersialisasi pelayanan pendidikan
Adanya konsep otonomi, secara makro, mengesankan upaya terselubung
pemerintah untuk menghindari tanggung jawab penyisihan dana APBN sebesar 20
persen bagi pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi. Masalahnya adalah
kemandirian institusi pendidikan yang dibuat pemerintah juga sampai pada adanya
kemandirian dari segi pendanaan. Walhasil, institusi pendidikan harus memutar otak
8. untuk bisa membiayai jalannya aktivitas pendidikan secara independen (ANDRIY
ARIESSON
Pendidikan Untuk Semua
Dampak terburuk dari Konsep BHMN adalah semakin mahalnya biaya
pendidikan yang berakibat pada semakin banyaknya masyarakat yang tidak mampu
membiayai pendidikan anak-anaknya. Masih banyaknya masyarakat tidakmampu
menekolahkan anaknya karena faktorkemiskinan. Sebagai contoh orang miskin tidak
mampu menyekolahkan anaknya di Fakultas kedokteran, meskipun anaknya
mempunyai potensi.
2.1.3. Beasiswa kurang tepat sasaran
Program beasiswa yng diharapkan membantu masyarakat untuk memperoleh
pendidikan yang layak tidaklah tanpa kendala. Terkadang beasiswa diterima oleh
orang-orang yang tidak berhak menerimanya atau tidak tepat sasaran. Disamping itu
adanya penyelewengan dana pendidikan. Akibatnya harapan sebagian masyarakat
untuk memperoleh pendidikan yang layak hanyalah menjadi hisapan jempol belaka.
2.1.4. Sarana dan Prasarana
Tidak berhenti sampai disini, Carut-marut dunia pendidikan di negara kita ini
semakin parah dengan tidak meratanya sarana dan prasarana pendidikan. Khususnya
di daerah terpencil, suasana belajar dan mengajar sangat jauh dari kondusif karena
banyak gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai sehingga kegiatan belajar
mengajar harus dilakukan dengan segala keterbatasan yang ada Masih terbatasnya
sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar, terutama di daerah terpencil seperti
buku pelajaran, alat laboraturium/ praktek, ruang belajar dan lain-lain perlu menjadi
bahasan khusus bagi para elite politik dinegeri ini..
Sistem pendidikan yang sering berganti-ganti, bukanlah masalah utama, yang
menjadi masalah utama adalah pelaksanaan di lapangan, kurang optimal. Terbatasnya
fasilitas untuk pembelajaran baik bagi pengajar dan yang belajar. (Rena Istri Wangi).
2.1.5. Kualitas dan Kuantitas Pendidik
Dibeberapa daerah masih kekurangan guru, baik dari segi kualitasnya maupun
jumlahnya, namun di daerah lain justru kelebihan guru. Hal ini kurangnya pemerataan
di daerah. Sulitnya menyediakan guru-guru berbobot untuk mengajar di daerah-daerah
tersebut disebabkan profesi guru didaerah-daerah kurang mendapat apresiasi, dimana
guru-guru daerah hanya digaji dengan gaji yang rendah sehingga banyak guru-guru
profesional yang enggan di salurkan ke daerah.
9. Pendidikan di Indonesia tertinggal jauh karena kurang sadarnya masyarakat mengenai
betapa pentingnya pendidik dalam membentuk generasi mendatang sehingga profesi
ini tidak begitu dihargai dan dipandang sebelah mata (Prof. Nelson Tansu, PhD, 2006)
Banyak sekali kegiatan yang dilakukan depdiknas untuk meningkatkan kompetensi
guru, tetapi tindak lanjut yang tidak membuahkan hasil dari kegiatan semacam
penataran, sosialisasi. Jadi terkesan yang penting kegiatan itu terlaksana selanjutnya,
tanpa memperhatikan manfaat yang dapat diperoleh.
Pemetaan guru yang jelas dan akurat, baik data jumlah dan data kompetensi
yang dikuasai guru dalam mengajar. Dan perlu pengaturan secara propinsi terhadap
penempatan guru, sehingga dengan demikian tidak akan ada suatu daerah tertentu
kekurangan guru sementara daerah lain kelebihan guru.(data Pembinaan Pendidikan
Menengah no.5 program pembinaan pendidikan dan kebudayaan di Kalimantan
Tengah)
Pendidikan Agama dan Kepribadian tidak Menyentuh
Pola pengajaran Agama di Indonesia hanya diorientasikan pada pendidikan
akademis, padahal keberhasilan anak dalam hal ini tidak dapat diukur dari pencapaian
nilai secara kuantitatif tetapi lebih kepada pembentukan akhlaq atau perilaku dan
bukan sekedar teori-teori saja.
Pendidikan sebagai praktek pengamalan ajaran agama secara maksimal
dengan melalui teknik terapan ajaran-ajaran dasar agama. (kesalehan simbolik
menjadi dasar pendidikan) (Eko Prasetyo, 2008)
Ada kasus menarik yang pernah saya amati, dimana ada teman saya yang
mencontek ketika ada ujian pendidikan agama. Hal tersebut sangat ironis, ketika
perbuatan tidak agamis bahkan dilarang oleh agama tetapi dilakukan ketika pelajaran
agama. Hal ini yang kini kita rasakan secara nyata. Ini masalah dan harus disadari
sebagai masalah yang serius bagi perkembangan pendidikan Semestinya pelajaran
keagamaan diberikan tidak sekedar teori akan tetapi praktek-praktek keseharian
sehingga dapat membentuk pribadi yang mulia. kita semua harus menyadarinya
sebagai tantangan
hebat untuk menyambut masa depan Indonesia yang beradab
2.1.6. Kesadaran Masyarakat
Pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa belum menjadi kesadaran
umum, tetapi hanya menjadi kesadaran pribadi-pribadi.(Benny Susetyo PR)
Masih rendahnya motivasi masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan
10. pendidikan. Banyak orang tua yang hanya membiayai pendidikan anaknya tapi kurang
mengawasi perkembangan anaknya. Kita semua harus menyadari bahwa proses
perubahan harus dari diri sendiri, dari hal yang paling kecil kemudian hal-hal yang
lebih besar, lingkungan dan orang lain. Jika kita ibaratkan ketika ketika menunjuk
orang lain salah, sebenarnya pada saat itu ada satu jari yang mengarah pada orang lain
tetapi ada tiga jari yang mengarah pada diri kita. Artinya, kesadaran masyarakat ini
harus dimulai dari diri kita sendiri.
2.1.7. Minat Baca Rendah
Kesadaran masyarakat diatas mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan
suksesnya pendidikan di Indonesia, termasuk juga disini adalah kesadaran dalam hal
membaca.
“Hidup adalah pembelajaran. Belajar dimulai dari membaca. Membaca tulisan,
simbol maupun realitas empirik.....” (Bambang Sudibyo,2008).
Rendahnya minat baca, baik siswa maupun masyarakat pada umumnya menyebabkan
pengetahuan kita secara rata-rata jauh dibandingkan negara negara lain
Kedisiplinan
Kedisiplinan bangsa ini perlu diperbaiki melihat banyak masyarakat kita yang
tidak mau menghargai waktu. Datang kuliah terlambat, suka bermalas-malasan dalam
mengerjakan tugas, adalah contoh dari kurangnya disiplin masyarakat kita. Apalagi
hal tersebut terbawa ketika para siswa ini sudah bekerja sehingga etos kerja bangsa ini
secara umum rendah.
2.1.8. Gaya Hidup dan Teknologi
Semakin pesatnya teknologi dan informasi justru menjadi masalah dalam
dunia pendidikan di Indonesia karena masyarakat belum mampu mem-filter hal-ha
yng masuk, termasuk gaya hidup hedonis. Para pelajar banyak yang suka meniru hal-
hal yang negatif
Saran
Pemerintah menyediakan kebijakan yang adil bagi semua, berpihak pada kaum
lemah, dan tidak menjadi agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan. Oleh karena itu
kita perlu duduk bersama antara pendidik dan orang tua serta pemerintah dalam
rangka merumuskan bersama kebijakan pendidikan yang berorientasi keindonesiaan.
Kebijakan yang manusiawi yang bisa membuat manusia Indonesia memiliki harapan
ke depan dalam konteks global Selanjutnya, memberikan penyadaran kepada
masyarakat bahwa masyarakat selain mempunyai hak, juga mempunyai kewajiban
11. untuk terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Tentu saja pemerintah sendiri tidak
akan dapat menjalankan sistem pendidikan ini tanpa dukungan dari seluruh komponen
bangsa Indonesia, Saya rasa kita masih harus banyak bekerja dan belajar segiat
mungkin untuk bisa terus mewujudkan cita-cita besar bangsa ini.
Hal yang tidak kalah penting adalah jangan membebani anak didik dengan
kepadatan materi yang tidak banyak membuka ruang diskusi, perdebatan, polemik dan
kebebasan berpendapat. Kepadatan materi hanya akan menyebabkan kegiatan belajar
mengajar berjalan dalam kebekuan dan hanya mengandalkan teknik hafalan dengan
mengabaikan keterampilan.
Dalam hal ini, paradigma baru pendidikan Indonesia dibutuhkan. Harus dan
harus, kita menggali kekayaan dan kebesaran visi misi pendidikan dari Ki Hajar
Dewantara. Mendesak dan amat urgen merumuskan visi pendidikan yang berorientasi
pada pendidikan seutuhnya untuk mencetak manusia Indonesia seutuhnya. (Benny
Susetyo)
Pendidikan seutuhnya dalam maksud Ki Hajar adalah pendidikan yang tidak
mencabut akar budaya yang membuat anak didik menjadi asing dengan realitasnya.
Pendidikan harus membuat manusia Indonesia menjadi peka akan budi pekerti. Hal
tersebut menjadi penegas atas uraian saya tentang pentingnya pendidikan agama yang
tidak sekedar teori tetapi juga praktek Kepekaan inilah yang membuat manusia
Indonesia akan terbentuk sebagai pribadi yang berkehalusan budi serta berkeheningan
batin.
2.2. Beberapa Solusi Masalah Pendidikan dan Pembelajaran Kita
Menghadapi persaingan global di abad ke-21 kemampuan tenaga ahli kita
belum cukup memadai untuk bersaing ditingkat global dunia. Menurut Budiono,
Angkatan kerja kita dilihat dari sisi pendidikannya sungguh sangat memprihatinkan
juga. Sebagian angkata kerja (53%) tidak berpendidikan. Mereka yang hanya
berpendidikan dasar sebanyak 34%; yang berpendidikan menengah 11%; dan yang
telah berpendidikan tinggi (universitas) hanya 2%; padahal tuntutan dari dunia kerja
pada akhir pembangunan jangka panjang II nanti mengharuskan angkatan kerja kita
berpendidikan; 11% tidak berpendidikan; 52% berpendidikan dasar; 32%
berpendidikan menengah; dan 5% dari angkatan kerja harus berpendidikan
universitas.
12. Bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan
kualitas SDM, terutama di era otonomi daerah seperti saat ini, dalam rangka untuk
menghadapi proses globalisasi dihampir semua aspek kehidupan. Meskipun demikian
sistem pendidikan kita masih melahirkan mismatch yang luar biasa terhadap tuntutan
dunia kerja, baik secara nasional maupun regional. Kondisi seperti ini juga berarti
bahwa daya saing kita secara global amat rendah. Padahal tugas utama pendidikan
nasional kita adalah melahirkan SDM yang memiliki kualitas yang berstandar Global.
Kualitas SDM kita saat ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan
negara-negara lain. Bahkan dengan sesama anggota negara ASEAN pun kualitas
SDM kita masuk dalam rangking yang rendah, jika diukur dengan menggunakan
Human Development Index yang diterbitkan oleh UNDP. Tahun 2005 kita kita berada
pada peringkat ke 10 dari 174 negara didunia. Hal ini terjadi karena kurang
berfungsinya bidang pendidikan secara optimal untuk memberdayakan masyarakat
secara keseluruhan. Rendahnya kualitas SDM kita berakibat pada rendahnya daya
saing bangsa indonesia ditengah-tengah percaturan global dalam beberapa aspek
kehidupan. Hal ini juga akn dialami oleh daerah, mana kala setelah era otonomi ini
daerah tidak memperhatikan sektor pendidikan. Jika pendidikan di Daerah tidak maju,
dapat dipastikan dalam jangka panjang daerah yang bersangkutan tidak akan mampu
menggali potensi daerah manjadi kekuatan aktual bagi daya saing daerah yang
bersangkutan.
Salah satu penyebab mangapa bangsa indonesia tidak mampu segera keluar
dari krisis ekonomi, jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga menglami
krisisi ekonomi pada kurun waktu yang sama seperti korea selatan, malaysia,
Thailand, dan Filipina, juga disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang dimiliki.
Rendahya SDM ini, sebagai akibat kurang relevannya program-program
pembangunan pendidikan dalam menghadapi persoalanp-persoalan yang dihadapi
bangsa Indonesia dalam prospek kekinian dan masa depan. Hal ini semua menjadi
ancaman bagi keberlangsungan bangsa kita, mau tidak mau, harus bersaing secara
terbuka pada tatanan dunia baru di era AFTA, NAFTA, dan APEC tahun 2020 nanti.
Oleh karena itu, agar pemerintah daerah mampu mengkualifikasikan potensi daerah
menjadi kekuatan pembangunan yang riil, maka daerah harus bersedia melakukan
investasi dalam bidang pendidikan secara memadahi. Pendidikan di daerah perlu
diperbaharui agar mampu melahirkan generasi daerah yang memiliki keunggulan
kompetif dan komparatif yang tertinggi pada era persaingan global seperti ini.
13. Dalam pembaharuan pendidikan, daerah otonom perlu membangun sistem
pendidikan yang responsip terhadap perubahan dan tuntunan zaman sejak dari pra
sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah. Jika demukian halnya, maka
pembaharuan pendidikan di daerah perlu mencari rumusan, model, sistem, dan juga
kebijakan yang mampu memberi peluang bagi berseminya motivasi, kreativitas, etos,
kerja, kejujuran, kedisiplinan, toleransi ditengah-tengah pluralitas etnis, agama, sosial,
ekonomi, dsb. Bagi semua peserta didik.
Pembaruan pendidikan pada level otonom, menjadi bersifat inperatif bagi
setiap upaya daerah untuk menggali dan mengembangkan berbagai potensi yang
dimilikinya. Oleh karena itu, agar pendidikan daerah dapat berkembang dengan baik,
dan demikian memiliki dampak yang positif bagi pengembangan potensi daerah,
maka pendidikan harus diberi kesempatan berkembang yang seluas-luasnya tanpa ada
kebijakan satupun yang menghambatnya. Dengan demikian adanya gagasan untuk
memungut pajak sektor pendidikan dalam jangka panjang justru akan menjadi kontra
produktif bagi pengembangan potensi daerah. Pajak bagi sektor pendidikan harus
ditiadakan agar sektor ini dapat berkembang menopang perkembangan ekonomi dan
potensi daerah secara riil.
Proses pendidikan sebenarnya memiliki multiplier effect secara ekonomik.
Jika pendidikan didaerah menjadi maju, memiliki kualitas yang unggul, secara tidak
langsung daerah yang bersangkutan akan diuntungkan secara ekonomik. Kalau hal ini
terjadi, berarti Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan terdongkrak. Olaeh karenanya,
jika dilihat dari strategi peningkatan PAD, pendidikan sungguh merupakan sektor
yang cukup strategis bagi daerah untuk dijadikan pilihan investasi ekonomik dalam
jangka panjang, disamping pendidikan itu juga jelas-jelas sebagai hubungan
investement.
Persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa indonesia dalam perspektif
kekinian dan masa depan tersebut dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan
bangsa kita. Maka kita harus mampu bersaing secara terbuka pada tatanan dunia baru
di era AFTA, NAFTA, dan APEC tahun 2020 nanti. Oleh karena itu, Pendidikan
Nasional dan juga pendidikan di daerah otonom perlu selalu ditingkatkan kualitasnya
agar ia mampu melahirkan generasi yang memiliki keungulan komparatif dan
keunggulan kompetitif yang tinggi pada era persaingan global dengan sistem
keterbukaan yang luar biasa nanti.
14. Dalam pembaharuan pendidikan nasional, perlu dibangun sistem pendidikan
yang responsif terhadap perubahan dan tuntunan zaman sejak dari pra sekolah,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pada pendidikan tinggi sekalipun.
Jika demikian halnya, maka pembaruan pendidikan nasioanal perlu mencari rumusan,
model, sistem, dan kebijaka yang mampu memberi bagi berseminya motivasi,
kreativitas, etos kerja, kejujuran, kedisiplinan, toleransi ditengah-tengah pluralitas
etnis, agama, sosial, ekonomi dan sebagainya bagi peserta didik. Pembaruan
pendidikan nasional dengan demikian menjadi bersifat imperatif bagi
keberlangsungan bangsa indonesia dalam jangka panjang.
Hal semua itu perlu diterjemahkan kedalam program pendidikan yang lebih
relevan di daerah-daerah otonom. Daerah otonom perlu melakukan reformasi
pendidikan dengan program yang jelas dalam rangka memberdayakan warga
masyarakat secara keseluruhan. Pembangunan pendidikan untuk mencpai kualitas
unggul tidak akan pernah selesai. Sebagai contoh, dinegara amerika, yang sudah
memeliki tigkat teknilogi yang sangat maju pun masih tetap melakukan reformasi dan
pembangunan sektor pendidikan secara terus menerus. Untuk itulah daerah otonom
perlu meniru emangat amerika dalam membangun pendidikan di daerahnya.
Dalam pembaharuan pendidikan, daerah otonom perlu membangun sistem
pendidikan yang responsip terhadap perubahan dan tuntunan zaman sejak dari pra
sekolah, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Jika demikian halnya, maka
pembaruan pendidikan didaerah perlu mencari rumusan, model, sistem, dan juga
kebijakan yang mampu memberi peluang bagi berseminya motivasi, kreativitas, etos
kerja, kejujuran, kedisiplinan, toleransi di tengah-tengah pluralitas etnis, agama,
sosial, ekonomi, dan sebagainya, bagi semua peserta didik.
Pembaharuan pendidikan pada level daerah otonom, dengan demikian,
menjadi bersifat imperatif bagi setiap upaya daerah untuk menggali dan
mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, agar pendidikan
di daerah dapat berkembang dengan baik, dan dengan demikian memiliki dampak
yang positif bagi pengembangan potensi daerah.
2.1.1. Profesionalisme Layanan Pendidikan
Pembangunan pendidikan didaerah dalam rang ka unutk menggali dan
mengembangkan potensi yang dimilikinya perlu melahirkan profesionalisme. Dengan
demikian, berbagai resources yang ada di daerah akan dapat dikelola dan
dikembangkan secara baik demi kemamuran masyarakat.
15. Banyak kajian tentang otonomi pendidikan dengan tujuan melakukan
reformasi bidang pendidikan dalam skala nasional, pada lingkup pemerintah pusat dan
daerah. Dari berbagai kajian dapat ditarik benang merah yang jelas bahwa kunci
keberhasilan Otomi Pendidikan terletak di unit otonom yang terkecil, yaitu sekolah.
Itulah sebabnya Sirotnik dan Clark (1988) berkata : ” The ultimate power of change
is-and always been – in the hands, and hearts of the educators who work in the
schools.”
Menurut pengalaman negara-negara maju, ada delapan tujuan yang saling
berkaitan yang kemudian akan mendorong terjadinya perubahan dan pembaruan
(reformasi) pendidikan, Yaitu:
(1) Akselerasi pembangunan ekonomi melalui modernisasi institusi
(2) Peningkatan efesiensi manajemen
(3) Realokasi tanggung jawab keuangan ( dari pusat ke daerah )
(4) Penumbuhkembangan demokrasi
(5) Peningkatan pengawasan oleh daerah melelui deregulasi
(6) Pengenalan system pendidikan berdasarkan kekuatan pasar
(7) Netralisasi kompetisi antar pusat kekuatan yang berpengaruh pada sektor
Pendidikan
(8) Peningkatan kualitas pendidik
2.1.2. Kesetaraan dan Keseimbangan
Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru
adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tidak ada
lagi istilah satuan pendidikan "plat merah" atau "plat kuning"; semuanya berhak
memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu. Demikian juga
adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen
Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen
Agama yang memiliki ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang
pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh
Departemen Agama (madrasah, dst.). Dengan demikian UU Sisdiknas telah
menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).
Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan
keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan
16. pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3).
Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan
antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) , dimana
peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi,
seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.
2.1.3. Jalur Pendidikan
Perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi 3
jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan perubahan
mendasar dalam Sisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal
(keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun termasuk dalam jalur
pendidikan luar sekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak konkrit.
Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi (pasal 14), dengan jenis pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15).
Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat (pasal
16).
Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI)
atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajat (pasal 17 ayat 1 dan 2).
Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 6 tahun
diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk
mengikuti pendidikan dasar (pasal 28 dan penjelasannya). Pendidikan anak usia dini
dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, raudatul athfal, dan bentuk lain yang
sejenis), nonformal (kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau
informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh
lingkungan).
17. Pendidikan menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri
atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, serta berbentuk sekolah menengah
atas (SMA) , madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan
madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat (pasal 18).
Pendidikan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah, mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, dan doktor,
yang diselenggarakan dengan sistem terbuka (pasal 19 ayat 1-3). Perguruan tinggi
dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas, yang
berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada
masyarakat, dan dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan/atau vokasi
(pasal 20 ayat 1- 3). Perguruan tinggi juga dapat memberikan gelar akademik, profesi
atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan (pasal 21 ayat
1). Bagi perguruan tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar
doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh
penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni (pasal
22).
Selain itu masalah yang cukup aktual dan meresahkan masyarakat, seperti
pemberian gelar-gelar instan, pembuatan skripsi atau tesis palsu, ijazah palsu dan lain-
lain, telah diatur dan diancam sebagai tindak pidana dengan sanksi yang juga telah
ditetapkan dalam UU Sisdiknas yang baru (Bab XX Ketentuan Pidana, pasal 67-71).
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah,
dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat, dan berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26 ayat 1 dan 2). Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik
(pasal 26 ayat 3). Satuan pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis
taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat
18. dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses
penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan
pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan (pasal 26 ayat
6)
Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan
oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang
hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik
lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27).
2.1.4. Manajemen Berbasis Sekolah
Dalam Era Otonomi Daerah, Pendidikan perlu di kelola dengan
memperhatikan kepentingan sekolah itu sendiri untuk berkembang secara optimal dan
mendiri. Oleh karena itu, manajemen berbasis sekolah merupakan pilihan yang baik
unutk dilakukan oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, otonomi sektor
pendidikan akan memasuki kondisi yang membahayakan jika tidak ada proses
penanganan yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah. Saat ini pemerintah
daerah memiliki euforia yang sangat tinggi, sehingga secara subjetif, mereka sudah
siap untk mengelola pendidikan yang ada di daerahnya masing-masing tanpa
melakukan refleksi dengan cara: mencermati kelemahan, kelebihan, peluang yang
mungkin ada di daerahnya masing-masing.
Dalam otonomi pendidikan, menejemen pendidikan berbasis sekolah dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu pendekatan yang mampu menjanjikan peningkatan
kualitas dan relevansi pendidikan di setiap daerah.
Menurut Carlson (1965) keberhasilan inovasi dalam bidang pendidikan masih
akan ditentukan oleh lima karakteristik dari program yang di inovasikan, yaitu:
a) Relatife advantage; b) Compability c) Compleksity d) Divisibility
e) Communicability
Juga dirumuskan oleh Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah, Direktorat Sekolah Lanjutan Pertama (2001: 29-46) yang mencakup
langkah-langkah sbb:
a) Melakukan Sosialisasi
b) Mengidentifikasikan Tantangan Nyata Sekolah
c) Merumuskan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Sekolah
d) Mengidentifikasikan Fungsi-fungsi yang diperlukan unutk mencapai
sasaran
19. e) Melakukan Analisis SWOT
f) alternatif Langkah Pemecahan Masalah
g) Menyusun rencana dan program
h) Melaksanakan rencana peningkatan mutu
i) Melakukan evaluasi pelaksanaan
j) Merumuskan sasaran mutu baru.
Menejemen pendidikan berbasis sekolah di negara-negara lain juga telah
terbukti keefektifannya dalam meningkatkan kualiatas sekolah dipemerintah daerah
secara otonom.
BAB III
PENUTUP
Semakin besarnya tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini dan masa
depan, dunia yang selalu mengalami perubahan-perubahan yang kian kompleks
bahkan rasanya berlari semakin cepat, dan sangat sulit diramalkan mengharuskan
bangsa kita ini “terus melangkah” beriringan, maju ke depan atau kalau perlu
mendahului pergerakan zaman. Kalau tidak, seperti yang sudah terjadi saat ini
terkaget-kaget dalam meghadapi perubahan global khususnya dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu salah satu agenda terpenting yang harus
diperhatikan bangsa Indonesia sekarang adalah membenahi dunia pendidikan. Jika
ingin menjadi bangsa yang besar dan memimpin peradaban
menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan,
ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang partisipasi
masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan
oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat.