SUMBER HUKUM SERTA METODE PENERAPAN
HUKUM PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI’IN
Pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. priode ini
merupakan awal pembentukan fiqih Islam. Sejak zaman
Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, para sahabat
sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang di
taklukkan Islam.
Masing masing Sahabat mengajarkan Al-quran dan Hadis
Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di
Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah
Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), Zaid bin Sabit (11
SH/611 M 45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu
Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masa ini
dimulai pada pemerintahan mu’awiyah, hingga akhir
pertama Hirah.
Para Sahabat ini kemudian berhasil membina kader
masing-masing yang dikenal dengan para tabi’in. Para
Tabi’in yang terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab
(15-114H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-11H) di
Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76H) di Kufah, al-
Hasan al-Basri (21 H/642 M-110 H/728 M) di Basra,
Makhul di Syam (Syuriah) dan Tawus di Yaman.
Dari perbedaan metode yang di kembangkan para sahabat
ini kemudian muncullah dalam fiqih Islam Madrasah al-
hadits, dan madrasah ar-ra’yu. Madrasah al-hadits
kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz
dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra’yu
dikenal dengan sebutan madrasah al-Iraq dan Madrasah al-
Kufah.
Kedua aliran ini menagnut prinsip yang berbeda dalam
metode Ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat
berpegang pada Hadits karena mereka banyak mengetahui
hadits-Hadits rasulullah SAW, di samping kasus kasus yang
mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahanya tidak
banyak memerlukan logika dalam berijtihad.
Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab
permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika
dalam berijtihad.
Sumber sumber perundang
undangan pada priode ini.
Dari jenis jelaslah bagi kita bahwa sumber
pensyariatan (perundang undangan) pada masa
sahabat adalah:
1. Al-quran,
2. As-Sunnah,
3. Ijma’, dan
4. Logika (ra’yu).
Dalam aplikasinya, sumber sumber perundang-
undangan ini dapat diurutkan dalam langkah-langkah
praktis sebagai berikut.
Pertama, meneliti dalam kitab Allah untuk mengetahui
hukumnya.
Kedua, meneliti dalam sunnah Rasulullah SAW jika
tidak ada nash dalam kitab Allah. Jika mereka
menemukan nash dalam kitab Allah atau sunnah yang
menunjukkan hukumnya, mereka pun berhenti di sini
dan mencari hukumnya, berusaha memahami
kandunganya. Terkadang mereka sepakat dan
terkadang berbeda pendapat disebabkan oleh
pemakian bahasa yang berbeda atau karena kondisi
periwayatan.
Ketiga, ijma’ (konsensus bersama), yaitu jika tidak ada
nash dalam kitab Allah atau sunnah Rasulullah SAW
atau ditemukan namun bersifat global, atau nash-nya
banyak dan setiap nash memberi hukum yang
berbeda,
Keempat, ra’yi (pendapat pribadi), maksudnya, setiap
hukum yang ditetapkan bukan berdasarkan petunjuk
nash termasuk qiyas, istihsan, mashalih mursalah,
bara’ah adz-dzimmah, dan sadd adz-dzari’ah.
Metode Hukum di Masa Priode ini
Bila terjadi satu kejadian, maka mereka melakukan
ijtihad. Mereka berpegang dalam urusan tersebut,
kepada;
1. Al-quran. Merupakan sendi Islam, yang mereka
telah dapat memahami dengan sempurna, karena
diturunkan dengan bahasa mereka, dan dapat
mempersaksikan sebab-sebab turunya.
2. Sunnah Rasul. Mereka telah bermufakat mengikuti
sunnah yang mereka percaya kepada perawinya.
Dasar dasar perbedaan pendapat tentang garis
perundang undangan di kalangan para imam
mujtahid itu berpokok pangkal pada perbedaan
mereka mengenai tiga persoalan, yaitu;
1. Perbedaan pendapat di dalam menetapkan
sebagian dari pada sumber sumber perundang
undangan.
2. Perbedaan pendapat tentang pertentangan
pengambilan hukum dari pada sumber sumber
perundang undangan.
3. Petbedaan pendapat tentang sebagian prinsip
prinsip bahasa yang diterapkan di dalam memahami
nash nash.
Defenisi Tabi’in
Tabi’in adalah setiap muslim melihat Nabi SAW namun
ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik
ia meriwayatkan atau tidak darinya.
Dari penjelasan ini jelas bahwa tabi’in tidak harus
melihat baginda Rasulullah SAW sebab jika ia
melihatnya, itu artinya ia termasuk sahabat Rasulullah
SAW. Slain itu juga tidak disyaratkan harus bertemu
dengan sahabat seperti yang dilakukan oleh ulama
hadis, tidak disyaratkan harus meriwayatkan hadis
dari seorang sahabat, namun cukup hanya melihat dan
bertemu ketika ia sudah berusia tamyiz (baligh).