Teks tersebut membahas dua perspektif yang berbeda terhadap epistemologi ilmu perbandingan hukum. Perspektif pertama menganggap ilmu perbandingan hukum sebagai ilmu pengetahuan yang independen dan bersifat idealis untuk memahami hukum dalam konteks sosialnya. Sedangkan perspektif kedua menganggap ilmu ini bersifat tergantung dan praktis, dengan fokus pada pencarian persamaan dan perbedaan hukum.
2. On the name
What’s in a name?
that which we call a rose;
By any other name would smell
as sweet.
(Romeo and Juliet by William
Shakespeare)
3. “Global systematic legal comparison is
essential for an accurate definition of law
as a social phenomenon and for the
understanding of the nature of law and its
function in society generally.”
(W.J. Kamba, “Comparative Law: A Theoretical
Framework,” International and Comparative Law
Quarterly 23 (1976): 494)
4. Epistemology & Ontology
Geoffrey Samuel, An Introduction to Comparative Law Theory and Method,
2014, hal. 49.
Epistemology
What (new)
knowledge will
the comparison
produce?
What validates
this knowledge ?
Ontology
What objects will
be compared?
What makes
these objects
comparable?
5. Ilmu Perbandingan Hukum
• Independent knowledge
– Metode kritis terhadap ilmu pengetahuan hukum
(critical method of legal science)
– “An integral part of the more comprehensive universe
of social and human science.” (H. Yntema)
– Tidak sekedar ilmu pengetahuan yang bertugas
memperbandingkan berbagai hukum, akan tetapi
lebih sebagai ilmu pengetahuan sosial yang
cakupannya lebih besar dari sekedar kajian hukum itu
sendiri.
– Lebih filosofis, general dan all-embracing. Orientasi
keilmuannya lebih idealis, tidak mau terjerembab
dalam hal-hal praksis kegiatan perbandingan tersebut
6. • “Comparative law, understood as a science,
necessarily aims at the better understanding of
legal data. Ulterior tasks such as the
improvement of the law or interpretation are
worthy of the greatest consideration but
nevertheless are only secondary ends of
comparative research.” R. Sacco, “Legal Formants:
A Dynamic Approach to Comparative Law (Installment I
of II), “American Journal of Comparative Law 49 (1991),
hal. 4-5.
• Deductive approach
7. • Perspektif yang idealis membawa kita pada suatu
pendekatan baru yang lebih luas, dimana keilmuan
perbandingan hukum tidak hanya dibatasi pada
pendekatan law as a rule tetapi lebih luas lagi
difokuskan pada aktifitas akademik untuk
memahami hukum dalam konteksnya dan hukum
sebagai sebuah budaya yang hidup di tengah
masyarakat, sehingga kita mampu memperoleh
pemahaman yang mendalam tentang subyek
(hukum) yang diteliti sekaligus secara induktif
mampu merefleksikan penemuan itu dalam
perspektif fenomena hukum yang lebih luas lagi.
8. • Akibat positifnya adalah bahwa pendekatan
yang idealis dan modern terhadap keilmuan
perbandingan hukum ini akan
menghindarkan orang dari perangkap
positivisme hukum, karena hukum tidak
hanya dilihat dalam perspektif sempitnya
sebagai sistem aturan an sich. Disinilah
karenanya, ilmu perbandingan hukum dapat
memainkan peran pentingnya dalam
memahami suatu culture juridique.
9. • Dalam bahasa Inggris, muncul terma-terma baru seperti
“Comparison of Laws”, “Law Compared”, atau
“Compared Law”; dalam bahasa lain dikenal terma
“Rechtsverglichung” atau “Rechsverkelijking”, “Droit
Comparé”, “Mukayeseli Hukuk” atau “Karşilaştirmali
Hukuk”.
• Kelompok ini lebih tertarik untuk menyebutnya
“Comparative law” atau “Comparative Legal Studies”,
atau dalam bahasa Indonesia “Perbandingan Hukum”,
yang menunjukkan keterlepasan kajian ini dari
pendekatan sempit dan normatif dari bentuk-bentuk
kajian perbandingan hukum tradisional yang
menekankan sepenuhnya pada kajian perbandingan
terhadap aturan hukum saja tanpa konsern dengan
konteks hukum yang melingkupinya.
10. • Dependent knowledge
– Perbandingan hukum tidak lain adalah keilmuan yang
secara spesifik dan praktis berusaha untuk menemukan
persamaan maupun perbedaan berbagai tradisi dan
sistem hukum yang ada. Dia bukanlah ilmu pengetahuan
yang bisa dilepaskan dari tujuan praktisnya itu sendiri,
yaitu memperbandingkan berbagai aturan hukum.
– Lebih spesifik dan practical-oriented. Orientasi
keilmuannya lebih praktis dan fokus hanya pada persoalan
pencarian persamaan dan perbedaan hukum itu sendiri.
– Keilmuan perbandingan hukum sebetulnya tidak eksis,
dan kalaupun ada dia tidaklah bisa berdiri sendiri sebagai
suatu kajian yang mandiri.
– Inductive approach.
11. • “Bukan hanya tidak ada aturan hukum perbandingan tetapi lebih
dari itu tidak pernah kita dapati suatu transaksi atau hubungan
hukum yang dapat kita sebut sebagai komparatif.” (Harold
Gutteridge)
• “Comparative Law” diterjemahkan sebagai “Hukum
Perbandingan”, dan bukannya “Perbandingan Hukum”.
• Hukum perbandingan itu tidak pernah eksis karena memang
tidak mempunyai subyek kajian (subject matter); ia juga tidak
masuk dalam berbagai kategori hukum yang ada selama ini.
Karena itu, yang bisa dilakukan hanyalah kajian perbandingan
terhadap berbagai area hukum yang ada tersebut, misalnya
perbandingan terhadap hukum keluarga, perbandingan hukum
pidana.
12. • Kajian komparatifnya tidak menjadi elemen sentral dari
kegiatan akademik itu, melainkan area hukumnyalah yang
menjadi fokus kajiannya, yang memang dilakukan untuk
tujuan tehnis tertentu, misalnya harmonisasi hukum, reformasi
hukum, dan lain-lain.
• Ide pemisahan ilmu perbandingan hukum dari ilmu hukum
normatif adalah ide yang absurd dan keliru, karena beberapa
alasan: (1) ide pemisahan tersebut secara filosofis
meragukan; (2) karena semua kajian hukum pada dasarnya
melibatkan kajian komparatif, maka tidak tepat bahkan
bahaya melepaskan kajian perbandingan itu menjadi sistem
ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari induk kajiannya; (3)
ilmu perbandingan hukum, kalau memang ada, tidak
mempunyai subyek kajian yang jelas.