1. Pendapat Para Imam Abu Hanifah Tentang Masalah Tauhid 1/2
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=925&bagian=0
Pendapat Para Imam Abu Hanifah Tentang Masalah Tauhid 1...
Kategori :
I'tiqad Al-A'immah
Tanggal : Selasa, 20 Juli 2004 09:15:57 WIB
PENDAPAT PARA IMAM ABU HANIFAH TENTANG MASALAH TAUHID
Oleh
Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais
Pertama :
Aqidah beliau tentang tauhid (pengesaan Allah) dan tentang tawassul syar’i serta kebatilan tawassul bid’i.
[1]. Imam Abu Hanifah berkata : “Tidak pantas bagi seseorang untuk berdoa kepada Allah kecuali dengan
asma’ Allah. Adapun do’a yang diizinkan dan diperintahkan adalah keterangan yang terambil. Dari firman
Allah :
“ Artinya : Bagi Allah ada nama-nama yang bagus (al-asma’-ul-husna), maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asma-ul-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang ilhad (tidak percaya) kepada asma
Allah. Nanti mereka akan mendapatkan balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. “ [Al-A’raf:180] [1]
[2].Imam Abu Hanifah berkata, “Makruh hukumnya seseorang berdo’a dengan mengatakan; saya mohon
kepadamu berdasarkan hak si fulan, atau berdasarkan hak para Nabu-Mu, atau berdasarkan hak al-bait
al-haram dan al-Masyar al-Haram. [2]
[3]. Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak pantas seseorang berdo’a kepada Allah kecuali dengan menyebut
asma’ Alla. Dan saya tidak suka bila ada orang berdo’a seraya menyebutkan ‘dengan sifat-sifat kemuliaan
pada ‘arsy-Mu’, [3]atau dengan menyebutkan ‘dengan hak makhluq-Mu’. [4]
Kedua
Pendapat Imam Abu Hanifah tentang penetapan sifat-sifat Allah dan bantahan terhadap golongan Jahmiyah.
[1]. Imam Abu Hanifah berkata: “Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk. Murka dan ridha Allah
adalah dua dari sifat-sifat Allah yang tidak dapat diketahui keadaannya. Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Allah murka dan ridha. Namun tidak dapat dikatakan, bahwa murka Allah itu adalah siksa-Nya dan
ridha-Nya itu pahala-Nya.
Kita menyifati Allah sebagaimana Allah menyifati diri-Nya sendiri. Allah adalah Esa, Dzat yang pada-Nya
para hamba memohon, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada satupun yang menyamai-nya.
Allah juga hidup, berkuasa, melihat dan mengetahui.”Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang
menyatakan janji setia kepada Rasul. Tangan Allah tidak seperti tangan makluk-Nya. Wajah Allah tidak
seperti wajah-wajah makhluk-Nya.[5]
Halaman 1/2
2. Pendapat Para Imam Abu Hanifah Tentang Masalah Tauhid 1/2
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=925&bagian=0
[2]. Imam Abu Hanifah berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah dan diri seperti disebutkan sendiri oleh
Allah dalam al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan dan diri menunjukkan
bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan
bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat
Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu’tazilah. [6]
[3]. Imam Abu Hanifah juga berkata: “Tidaklah pantas bagi seseorang untuk berbicara tentang Dzat Allah.
Tetapi, hendaknya ia menyifati Allah dengan sifat-sifat yang disebutkan oleh Allah sendiri. Ia tidak boleh
berbicara tentang Allah dengan pendapatnya sendiri. Maha Suci Allah Rabbul ‘Alamin.[7]
[4]. Ketika ditanya tentang turunnya Allah, Imam Abu Hanifah menjawab, “Allah itu turun tanpa cara-cara
seperti halnya turunya makhluk. [8]
[5]. Beliau juga berkata: “Dalam berdo’a kepada Allah, kita memanjatkan do’a ke atas, bukan ke bawah,
karena bawah tidak mengandung sifat Rububiyyah dan Uluhiyah sedikitpun.[9]
[6]. Beliau juga berkata: “Allah itu murka dan ridha. Namun tidak dapat disebutkan bahwa murka Allah itu
siksa-Nya, dan ridha Allah itu pahala-Nya.” [10]
[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik,
Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit
Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Ad-Durr al Mukhtar ma’a Hasyiyat Radd al-Mukhtar, VI/396-397
[2]. Syarh al-Aqidah ath-Thawiyah, hal. 234, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, II/285, Syarah al-Fiqh al Akbar,
hal.108
[3] Imam ABu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan tidka suka apabila seseorang berdo'a dengan
menyebutkan, "Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat kemuliaan dari 'arsy-Mu". Karena do'a
seperti ini tidak ada petunjuk tekstual (nash) yang membolehkan.
Sementara Imam Abu Yusuf membolehkan do'a seperti itu, karena menurut beliau ada nash dari hadits untuk
hal itu, yaitu sebuah hadits di mana Nabi berdo'a, "Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan
tempat-tempat kemuliaan di 'arsy-Mu dan puncak rahmat dari kitab-Mu"
Hadits ini ditulis Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya, Ad-Da'wat Al-Kabirah, ditulis dalam kitab Al-Binayah
IX/382, dan kitab Nasb Ar-Rayah IV/272. Di sanadnya terdapat tiga hal yang dapat menyacatkan hadits.
[a] Daud bin Abu Ashim tidak pernah mendengar hadits dari Ibnu Mas'ud
[b] Abdul Malik bin Juraij adalah seorang mudallis (menyembunyikan kecacatan hadits) dan mursil
(menyebutkan hadits dengan sanad tidak bersambung).
[c] Umar bin Harun dituduh sebagai pendusta. Oleh karena itu, Ibnul Al-Jauzi berkata sebagaimana terdapat
dalam kitab, Al-Binayah IX/382, bahawa hadits ini adalah palsu tanpa diragukan lagi dan sanadnya sangat
parah seperti anda lihat. Lihat Tahdzib At-Tahdzib III/198, VI/405, VII/501 Tarqib At-Tahdzib I/520.
[4] At-Tawasul Wa Al-Wasilah hal, 82. Lihat juga, Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal.198
[5] Al-Fiqh Al-Absath, hal.56
[6] Al-Fiqh Al-Akbar, hal.302
[7] Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah II/427, Editor Dr. At-Turki, Jala Al-Ainain, hal.368
[8] Aqidah As-Salaf Ashhab Al-Hadits hal.42, Dar As-Salafiyah. Al-Baihaqi, Al-Asma' wa As-Sifat, hal. 456,
Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 245 Takhrij Al-Albani, Al-Qari, Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal.60.
[9] Al-Fiqh Al-Absath, hal.51
[10] Ibid, hal.56
Halaman 2/2