[Ringkasan]
Studi ini menganalisis kondisi ketersediaan pangan di tiga provinsi pulau besar Indonesia yaitu Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Selatan. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga provinsi mengalami penurunan luas lahan sawah secara signifikan akibat konversi lahan untuk konsesi perkebunan dan pertambangan. Hal ini berdampak pada berkurangnya produksi beras sebesar 409.790,57 hektare atau setara dengan 2,
1. KONSESI
MENCAPLOK
SAWAH
FOOD ESTATE MEMATIKAN PETANI
Analisis Spasial dan Sosial Ekologis
Mengenai Kerawanan Pangan
di Masa Pandemi COVID-19
Menuju tegaknya
kedaulatan rakyat
atas ruang
2.
3. KONSESI MENCAPLOK SAWAH
FOOD ESTATE MEMATIKAN PETANI
Analisis Spasial dan Sosial Ekologis
Mengenai Kerawanan Pangan
di Masa Pandemi COVID-19
jaringan kerja pemetaan partisipatif
4. KONSESI MENCAPLOK SAWAH, FOOD ESTATE MEMATIKAN PETANI
Analisis Spasial dan Sosial Ekologis mengenai Kerawanan Pangan di Masa Pandemi COVID-19
Penulis :
Rahmat Sulaiman
Dewi Sutejo
Laksmi Savitri
Amir Mahmud
M Husen
Imam Mas’ud
Dimas Novian Hartono
Muhammad Al Amien
Hairul Sobri
Kontributor :
SLPP Sumatera Selatan
SLPP Kalimantan Tengah
SLPP Sulawesi Selatan
Layout dan Sampul
Imam Mas’ud
Diterbitkan Oleh
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
Jl. Cimanuk Blok B7 No. 6 Komp. Bogor Baru Taman
Bogor 16152 INDONESIA
Telp/Fax : +62251 – 8379143
Alamat Surel
E-mail : seknas@jkpp.org
Akun Media Sosial
Page Facebook : /peta kampung
Twitter : @petakampung
Instagram : @seknas_jkpp
Website : www.jkpp.org
5. F
ood and Agriculture Organization (FAO)
menyatakan bahwa dunia akan mengalami
krisis pangan di akhir Agustus 2020 sebagai
dampak penyebaran COVID-19 yang belum
dapat dipastikan kapan akan berakhir. Kegagalan
pemerintah untuk menyediakan pangan akan
berdampak pada timbulnya kerawanan pangan,
yaitu kondisi di mana masyarakat tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangan minimal dalam
periode waktu yang lama. Dengan situasi seperti
ini, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
mengkaji tiga provinsi yang terletak di pulau-
pulau besar, yaitu Provinsi Kalimantan Tengah,
Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan untuk
melihat kondisi ketersedian pangan yang
dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi beras
setiap penduduk dengan pendekatan pasokan
dan permintaan (pasokan-permintaan) berbasis
data spasial. Dari analisis ini dapat dimunculkan
wilayah yang dianggap tidak mampu mencukupi
kebutuhan pangannya secara mandiri atau
bisa disebut sebagai defisit produksi pangan
terutama beras, sekaligus memeriksa sebaran
perizinan di lokasi yang dikaji dan laju konversi
lahan sawah. Kedua aspek terakhir diharapkan
dapat memberikan indikasi penyebab kerawanan
pangan dilihat dari alokasi ruang untuk lahan
pangan itu sendiri.
Kajian JKPP menunjukkan bahwa negeri ini
dalam dua dekade terakhir telah mengalami
kehilangan lahan sawah secara signifikan
di ketiga provinsi tersebut, yaitu seluas
409.790,57 hektare atau setara dengan kira-
kira 2.048.952,84 ton, atau hampir sama
dengan volume impor beras pada tahun 2018.
Akar persoalan dari kehilangan lahan sawah dan
produksi beras adalah perluasan konsesi dan izin
yang mencaplok persawahan. Di semua lokasi
kajian, total luas konsesi pada 2017 mencapai 12
% di Sulawesi Selatan, 32% di Sumatera Selatan
dan 47% di Kalimantan Tengah dari luasan total
wilayah administratif setiap provinsi.
Kajian JKPP juga menunjukkan bahwa di
semua provinsi yang dikaji selalu terdapat
wilayah yang defisit beras, meskipun bukan
merupakan wilayah perkotaan. Bahkan salah
satu provinsi, yaitu Kalimantan Tengah, dari 13
kabupaten, 9 kabupaten berada dalam kondisi
defisitpasokanberasnya.Kecenderungandefisit
beras ini berimplikasi pada tingkat pengeluaran
untuk pangan yang harus bertambah. Padahal
wilayah-wilayah defisit beras non-perkotaan
adalah wilayah-wilayah yang angka kemiskinan
rata-ratanya berada di bawah angka kemiskinan
provinsi. Kondisi kemiskinan diperparah oleh
kecilnya nilai tukar petani di semua provinsi
RINGKASAN
6. yang ditandai oleh penggureman atau semakin
sempitnya penguasaan luas lahan sawah oleh
petani.
Maka apabila perluasan cetak sawah baru
skala luas dikelola bukan oleh petani, dapat
dipastikan hal itu akan menjadi awal dari
kematian pertanian skala kecil dan hancurnya
penghidupan petani kecil. Penambahan luas
sawah melalui program-program cetak sawah
yang dianggap sebagai solusi, menurut berbagai
pengalaman dan kajian, telah melipatgandakan
masalah ke persoalan lingkungan dan sosial yang
rumit.Olehsebabitu,JKPPberpandanganbahwa:
1. Seharusnya pemerintah menjalankan
UU Keterbukaan Informasi Publik dan
memberikan hak kepada warga negara
untuk mendapatkan data dan informasi
yang sejelas-jelasnya atas segala kebijakan
yang bertujuan mengubah penguasaan
dan pemilikan tanah, serta mengubah
fungsi dan peruntukan lahan dan wilayah.
2. Seharusnya pemerintah nasional
merubah secara radikal pemberian hak
dan perizinan skala luas untuk usaha
perkebunan, pertanian, kehutanan dan
pertambangan dengan menjalankan
Reforma Agraria sejati, serta pengakuan
hak masyarakat adat atas wilayah adat.
Penambahan luas sawah
melalui program-program
cetak sawah yang dianggap
sebagai solusi, menurut
berbagai pengalaman
dan kajian, telah
melipatgandakan masalah
ke persoalan lingkungan
dan sosial yang rumit.
3. Alih-alih menyerahkan pertanian pangan
pada bisnis korporasi, pemerintah
seharusnya berorientasi pada pemenuhan
pangan berbasiskan pada kedaulatan
pangan dan kearifan lokal untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan
keberlanjutan alam dalam jangka panjang.
4. Dalam jangka waktu secepatnya, pemerintah
seharusnya melakukan diversifikasi pangan
dan mengembangkan pangan lokal yang
tersebar di berbagai belahan negeri di
Indonesia dan melakukan intensifikasi di
lahan-lahan yang cocok atau di lahan eks
Hak Guna Usaha (HGU)/ tanah terlantar
di tanah mineral yang tidak dikelola
oleh perusahaan untuk mengoptimalkan
produksi pangan dan melakukan mekanisasi
teknologi bagi petani, bukan di lahan gambut
yang terbukti produktivitasnya rendah
dan membutuhkan teknologi yang mahal.
5. Pemerintah segera melakukan pengakuan,
perlindungan dan identifikasi lokasi lahan
pertanian dan perladangan masyarakat
secaramenyeluruhyangsaatinimasihmasuk
ke dalam kawasan hutan, terancam dengan
adanya investasi, berapa luasannya, apa saja
jenis pangannya, berapa jumlah produksinya
serta juga melindungi benih-benih lokal
yang saat ini juga terancam akan punah.
7. Ringkasan - I
Pengantar - 1
Bab I Pendahuluan - 3
Bab II Metode Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data - 6
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar - 8
BAB III
Provinsi Sumatera Selatan 12
1 Pasokan-Permintaan Beras 12
2 Petani dan Lahan Pertanian 15
3 Tingkat Kesejahteraan 16
Provinsi Kalimantan Tengah 22
1 Pasokan-Permintaan Beras 22
2 Petani dan Lahan Pertanian 24
3 Tingkat Kesejahteraan 25
Provinsi Sulawesi Selatan 32
1 Pasokan-Permintaan Pangan 32
2 Petani dan Lahan Pertanian 35
3 Tingkat Kesejahteraan 36
Konversi Lahan Pertanian, Tumpang-Tindih Konsesi
dan Kerawanan Pangan - 40
BAB IV
Provinsi Sumatera Selatan 41
1 Konversi Lahan Sawah dan Kehilangan Produksi Beras 41
2 Alih Fungsi Lahan Sawah dan Tumpang-tindih Konsesi 44
Provinsi Kalimantan Tengah 49
1 Konversi Lahan Sawah dan Kehilangan Produksi Beras 49
2 Alih Fungsi Lahan Sawah dan Tumpang-tindih Konsesi 51
Provinsi Sulawesi Selatan 56
1 Konversi Lahan Sawah dan Kehilangan Produksi Beras 56
2 Alih Fungsi Lahan Sawah dan Tumpang-tindih Konsesi 59
DAFTAR ISI
8. Kebijakan Fatal dari ‘Atas’ dan Praktik Baik dari ‘Bawah’ - 65
BAB V
1 Kebijakan Cetak Sawah sebagai Kebijakan Fatal 66
1.2 Kalimantan Tengah dan Kegagalan proyek Food Estate 66
1.3 Sumatera Selatan dan Kegagalan Cetak Sawah di Kabupaten OKI 68
2 Praktik Baik Masyarakat Menjaga Produksi Pangan 70
2.1 Sonor Sebagai Praktik Baik Konservasi Nitrogen yang Terstigma 70
2.2 Menanam Padi Rawang dan Lumbung Bersama 71
2.3 Melawan Sawit dengan Jengkol 73
2.4 Kearifan Lokal Pengelolahan Danau Bangantung: Mewujudkan
Ketahanan Pangan di Sektor Perikanan
77
Menjawab Krisis Lahan Sawah dan Krisis Pangan
di Masa Pandemi - 83
BAB VI
Daftar Rujukan - 87
9. 1
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
I
ndonesia negeri yang kaya akan sumber
daya alam, baik di daratan maupun di
perairan, posisi Indonesia yang terletak di
wilayah tropis mendukung akan suburnya
tanah, sampai ada istilah apapun yang ditanam
akan tumbuh. Segala produksi pangan melimpah
di negeri ini, bagaikan surga dunia yang
menyimpan banyak berkah.
Sementara kondisi saat ini cukup ironis,
Kata
PengantarDeny Rahadian
Koordinator Nasional JKPP
kekayaan alam,
kelimpahan sumber
daya alam dan pangan
tidak sesuai dengan
apa yang dirasakan
oleh masyarakat. Krisis
pangan kerap menjadi
kabar yang diterima,
meninggalnya seorang
ibu warga Kelurahan
Lontabaru, Serang
yang meninggal
karena kelaparan
akibat pandemi bulan
April lalu bukan
satu-satunya kasus
kelaparan di Indonesia
saat pandemi. Ada
yang salah dengan tata kelola pangan di negeri
ini. Amanat Undang-Undang No.19 Tahun 2012
hadir untuk mewujudkan kedaulatan pangan,
seharusnya Indonesia mampu meningkatkan
kemampuanproduksipanganmelaluipenyediaan
sarana produksi pertanian, biodiversitas komoditi
pangan dan pangan yang aman, bermutu serta
bergizi. Sarana produksi pertanian berarti
termasuk lahan pertanian bagi masyarakat petani,
aneka ragam komoditi
pangan artinya harus
mengakomodir komoditi
pangan lokal. Tetapi saat
ini yang terjadi adalah
ketimpangan penguasaan
ruang yang lebih
mengakomodir investasi
rakusruang,pertambangan,
perkebunan monokultur
dan proyek-proyek
infrastruktur lain yang
menggerus kebutuhan
sarana produksi
penyediaan pangan
petani. Pemerintah
mencanangkan kembali
food estate, dengan dalih
Kedaulatan pangan bisa
diwujudkan dengan
memperkuat petani yang
menghasilkan pangan
untuk kita semua dan bukan
membangun food estate
atau cetak sawah baru yang
dikelola oleh korporasi dan
terbukti gagal.
“
Deny Rahadian
Koordinator Nasional JKPP
10. 2
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
penyediaan sarana produksi pertanian, program
cetak sawah dimana-mana untuk mengantisipasi
krisis pangan saat pandemi. Tapi kemudian
pertanyaanya apakah ini menjadi jawaban dalam
memastikan penyediaan pangan masyarakat?
Krisis COVID-19, telah menunjukkan bahwa
negara kita krisis antisipasi, gagap serta tidak
memiliki Contigency Plan dalam menghadapi
pandemi. Padahal menurut David A. Savage dan
Bennon Torgler (2020) manusia beda dengan
hewan, manusia bisa merasakan ancaman pada
masa depan kemudian mempersiapkan diri agar
bisa bertahan saat genting, setidaknya 14 hari
ke depan (sama dengan masa inkubasi corona).
Dampak COVID-19 juga menunjukkan
bahwa selama ini ketergantungan terhadap
impor pangan, dengan adanya pandemi ini
dimana lalu lintas dan perhubungan terputus
berdampak pada kesulitan dalam pemenuhan
kebutuhan pangan. Terutama bagi masyarakat
urban, tetapi bagi masyarakat di kampung-
kampung, pemenuhan pangan masih bisa
berjalan dan saling bantu antar komunitas.
Dampak pandemi ini seharusnya bisa menjadi
pelajaran bagi kita semua, pentingnya sabuk
pengaman yang disiapkan oleh penyelenggara
negara dalam menghadapi krisis pangan akibat
apapun. Pemerintah seharusnya memperkuat,
memperluas sarana produksi pangan bagi
petani kecil yang notabenenya terbukti lebih
bertahan dimasa pandemi. Kedaulatan pangan
bisa diwujudkan dengan memperkuat petani
yang menghasilkan pangan untuk kita semua
dan bukan membangun food estate atau cetak
sawah baru yang dikelola oleh korporasi dan
terbukti gagal.
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada
rekan-rekan SLPP yang sudah berkontribusi
dalam penyusunan Working Paper ini, juga
kepada tim penyelaras akhir, Mbak Laksmi A.
Savitri, Mas Amir Machmud, yang sabar dalam
menunggu pengumpulan, pengolahan data
hingga menemani dalam setiap diskusi yang
substansial. Semoga Working Paper ini dapat
berkontribusi dan bermanfaat bagi publik dan
para pemangku kepentingan.
“Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia,
bukan untuk memenuhi keserakahan manusia
- Mahatma Gandhi -
11. 3
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
P
ada Senin 2 Maret 2020, pemerintah untuk pertama kalinya mengkonfirmasi
datakasusCOVID-19. Hinggasaatlaporaniniditulisterdapatlebihdari63.749
penduduk Indonesia yang dinyatakan positif terinfeksi COVID-19, 29.105
jiwa dinyatakan sembuh dan 3.171 jiwa yang meninggal (data tertanggal
05 Juli 2020). Berbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk menangani
pandemi, salah satunya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), serta
kebijakan lain yang tujuannya untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
Kondisi tersebut kemudian banyak memukul sektor sosio-ekonomi masyarakat
khususnya soal ketersediaan pangan. Food and Agriculture Organization (FAO)
menyatakan bahwa dunia akan mengalami krisis pangan di akhir Agustus 2020
sebagai dampak penyebaran COVID-19 yang belum dapat dipastikan kapan akan
berakhir. Kegagalan pemerintah untuk menyediakan pangan akan berdampak
pada timbulnya kerawanan pangan, yaitu kondisi dimana masyarakat tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangan minimal dalam periode waktu yang lama. Walaupun
pada akhir Maret 2020 Presiden Jokowi pernah meminta kepada seluruh Badan
Usaha Milik Negara untuk membuka lahan-lahan baru khususnya di lahan basah
atau gambut yang akan digunakan untuk aktivitas produksi beras atau komoditas
pangan lainnya, akan tetapi rencana ini belum tentu dapat menjawab permasalahan
kebutuhan pangan. Bahkan, kemungkinan akan menimbulkan masalah baru seperti
yang pernah terjadi pada tahun 90an di era Presiden Suharto dengan program
pembukaan lahan gambut satu juta hektare di Kalimantan Tengah.
Dengan situasi seperti ini, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mencoba
mengkaji di beberapa tempat seperti di Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera
Selatan dan Sulawesi Selatan untuk melihat kondisi ketersediaan pangan yang
dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi beras setiap penduduk dengan
pendekatan pasokan dan permintaan (pasokan-permintaan) berbasis data spasial.
Dari analisis ini dapat dimunculkan wilayah yang dianggap tidak mampu mencukupi
kebutuhan pangannya secara mandiri atau bisa disebut sebagai defisit produksi
Pendahuluan
Kegagalan pemerintah untuk menyediakan pangan
akan berdampak pada timbulnya kerawanan pangan,
yaitu kondisi dimana masyarakat tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangan minimal dalam periode
waktu yang lama
“
Bab
Satu
12. 4
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
pangan terutama beras, sekaligus memeriksa
sebaran perizinan di lokasi yang dikaji dan laju
konversi lahan sawah. Kedua aspek terakhir
diharapkan dapat memberikan indikasi
penyebab kerawanan pangan dilihat dari alokasi
ruang untuk lahan pangan itu sendiri.
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
memilih tiga provinsi (Kalimantan Tengah,
Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan) sebagai
lokasi kajian dengan pertimbangan bahwa:
1. Karakteristik lanskap di Provinsi Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah adalah lahan
gambut yang memiliki kekhasan secara
ekologis dan sosial telah menjadi sasaran
kebijakan pangan, baik pada saat ini maupun
di masa lalu.
a. Provinsi Kalimantan Tengah telah
ditunjuk menjadi salah satu lokasi
rencana untuk food estate. Sudah
dialokasikan sekitar 900,00 ha yang
bisa dimanfaatkan dengan 300,00 ha
diantaranya sudah bisa dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian dan 200,00
ha yang sudah dikuasai oleh BUMN.
Sementara itu, di provinsi Sumatera
Selatan pembukaan lahan gambut untuk
lokasi lahan pertanian telah dilakukan
pada 2018 dengan alokasi anggaran
sebesar Rp23.708.000.000 untuk cetak
sawah baru di Kabupaten Ogan Komering
Ilir (OKI) seluas 900.000 ha, Ogan
Komering Ulu Timur (OKUT) seluas 300
ha dan Musi Banyuasin seluas 300 ha.
Proyek di OKI terbukti gagal dan muncul
isu korupsi. (TEMPO, edisi 4 September
2017)1
b. Menghadapi musim kemarau, Provinsi
Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan
merupakan lokasi yang rawan kebakaran
terutama di lahan gambut. Pengelolaan
sumber daya alam berbasis pengetahuan
lokal masyarakat diharapkan bisa menjadi
alternatif pencegahan Karhutla yang
lebih besar.
2. Peta Partisipatif yang dihasilkan diketiga
provinsi menunjukkan bahwa wilayah-
wilayah ini dibebani oleh banyak izin
penggunaan lahan, baik ke dalam kawasan
hutan maupun di luar kawasan hutan.
Luasan wilayah yang dipetakan secara
partisipatif di Kalimatan Tengah adalah
2.471.771,82 ha, tapi 367.546,75 ha
(14,86%) sudah dibebani izin. Sementara
itu, di Sulawesi Selatan luasan wilayah
yang dipetakan secara partisipatif seluas
947.354,71 ha, dan 279.885,03 ha (29,54%)
sudah dibebani izin. Di Sumatera Selatan
luasan wilayah yang dipetakan secara
partisipatif seluas 729.205,02 ha, dan
438.406,75 ha (60%) sudah dibebani izin.
Dengan demikian, ketiga lokasi ini dapat
memberikan gambaran tingkat kerawanan
pangan selaras dengan kondisi pemberian
izin penggunaan lahan yang berpotensi
mengancam keberadaan sawah. (Sumber:
Hasil Analisis Spasial JKPP)
3. Contoh-contoh pengelolaan lahan pangan
yang berkelanjutan berbasis masyarakat
sudah dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan
dan Provinsi Sumatera Selatan. Contoh-
contoh seperti ini diharapkan bisa menjadi
pengetahuan dan dapat diadopsi oleh
masyarakat/komunitas di tempat lain guna
menjaga keberlanjutan jaminan pangan.
Hasil dari kajian ini diharapkan bisa menjadi
bacaan untuk pertimbangan pemerintah
dalam menjawab isu kerawanan pangan di
masa pandemi. Kegagalan pemerintah dalam
memenuhi kebutuhan pangan akan memicu
krisis yang berkepanjangan. Pada sisi lainnya,
kebijakan pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan stok pangan khususnya beras saat
ini lebih bersifat parsial atau cenderung tambal
sulam. Kebijakan yang diharapkan seharusnya
mampu menciptakan kemandirian atas pangan
yang bertumpu pada terciptanya kedaulatan
pangan yang diawali dengan kedaulatan rakyat
atas ruang.
1
https://majalah.tempo.co/read/nasional/153930/ce-
tak-sawah-cetak-masalah, diakses 12 Juli 2020
13. 5
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Kebijakan pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan stok pangan
khususnya beras saat ini lebih bersifat
parsial atau cenderung tambal sulam.
Kebijakan yang diharapkan seharusnya
mampu menciptakan kemandirian atas
pangan yang bertumpu pada terciptanya
kedaulatan pangan yang diawali dengan
kedaulatan rakyat atas ruang.
“
14. 6
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
D
ata yang diolah dan dianalisis dalam laporan ini sebagian besar dikumpulkan dan bersumber
dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018. Selain dari BPS, sumber data juga
berasal dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) dengan tahun yang beragam (seperti 2008, 2019 dan 2020). Dari pelbagai dokumen
atau laporan resmi kementerian/lembaga itu data dan informasi yang diambil untuk kebutuhan
laporan kajian ini seputar sosial, ekonomi dan spasial pertanian terkait produksi, konsumsi pangan,
dan penggunaan lahan. Lokasi kajian berfokus pada tiga provinsi, yaitu: Sumatera Selatan, Kalimantan
Tengah dan Sulawesi Selatan. Ketiga provinsi dipilih di luar Jawa sebagai lokasi yang mewakili tiga
pulau besar (Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi) yang dikenal menghasilkan
produksi pangan beras, dan ketersediaan data untuk diolah dan dianalisis.
Secara sederhana dari dokumen dan laporan yang dikumpulkan itu kemudian diambil dan disalin
data-datanya kedalam sebuah tabel untuk diolah menjadi informasi. Tabel berisi seputar angka
luas kabupaten/kota, jumlah penduduk, jumlah konsumsi beras per kapita/tahun, luas lahan tanam
pertanian padi, dan jumlah produksi padi. Tabel berisi angka yang tersedia itu selanjutnya dianalisis
berdasarkan Pasokan-Permintaan. Analisis Pasokan-Permintaan menghasilkan kategori Cukup, Defisit
dan Surplus. Kategori Cukup, Defisit dan Surplus diperoleh dari analisis sebagai berikut:
1. Konsumsi pangan padi berpatokan pada jumlah konsumsi per kapita/tahun (2018), yaitu: (1)
Sebesar 0,0933 ton (93,3 kg/kapita/tahun) di Sumatera Selatan; (2) Sebesar 0,0872 ton (87,2
kg/kapita/tahun) di Kalimantan Tengah; dan (3) Sebesar 0,1147 ton (114,7 kg/kapita/tahun) di
Sulawesi Selatan.
2. Untuk memperoleh tiga kategori, maka dibuat jarak angka tertinggi dan terbawah dalam tiap
kategori. Kategori cukup berdasarkan pada patokan konsumsi per kapita/tahun sebagai angka
terbawah, dan ditambah konsumsi per kapita untuk 3 bulan ke depan sebagai angka tertinggi.
Kategori defisit: angka di bawah patokan konsumsi per kapita/tahun sebagai angka tertinggi, dan
dikurangi konsumsi per kapita untuk 3 bulan sebagai angka terendah. Kategori surplus: angka di
atas angka tertinggi dalam kategori cukup sebagai angka terendah, dan ditambah konsumsi per
kapita untuk 2 x 3 bulan ke depan sebagai angka tertinggi. Tiga bulan berasal dari asumsi masa
tanam dan panen untuk menghasilkan padi.
Metode Pengumpulan, Pengolahan
dan Analisis Data
Bab
Dua
Analisis Pasokan-Permintaan dan hasilnya itu (kategori cukup,
defisit dan surplus) diperkaya dengan suatu alas dasar alokasi
penggunaan lahan dan dinamikanya (konversi lahan dan
ekstensifikasi lahan) dari data spasial, dan dilengkapi pula dengan
data yang menunjukkan kondisi sosial ekonomi petani, dan tingkat
pengeluaran ekonomi penduduk (makanan dan non-makanan, dan
biaya produksi) termasuk kalori yang dikonsumsinya.
“
15. 7
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
3. Jarak antar-kategori (cukup, defisit dan
surplus) sebagai berikut: (1) Sumatera
Selatan. Defisit = < 0,07 - 0,0932; Cukup =
0,0933 - 0,1166 dan Surplus = 0,1167 - 0,1399
keatas. (2) Kalimantan Tengah. Defisit = <
0,0654 - 0,0871; Cukup = 0,0872 - 0,1090;
dan Surplus = 0,1091 - 0,1308 ke atas. (3)
Sulawesi Selatan. Defisit = < 0,0860 - 0,1146;
Cukup = 0,1147 - 0,1434 dan Surplus = 0,1435
- 0,1721 ke atas.
Analisis Pasokan-Permintaan dan hasilnya itu
(kategori cukup, defisit dan surplus) diperkaya
dengan suatu alas dasar alokasi penggunaan
lahan dan dinamikanya (konversi lahan dan
ekstensifikasi lahan) dari data spasial, dan
dilengkapi pula dengan data yang menunjukkan
kondisi sosial ekonomi petani, dan tingkat
pengeluaran ekonomi penduduk (makanan dan
non-makanan, dan biaya produksi) termasuk
kalori yang dikonsumsinya. Semua data dan
informasi tersebut untuk menunjukkan kondisi
dan dinamika kemandirian pangan atau
kerawanan pangan.
Untuk keperluan laporan kajian ini, patokan
dan konversi yang digunakan sebagai berikut:
1. Konversi Gabah Kering Giling (GKG) menjadi
Beras sebesar 57,13%.
2. Konversi jenis padi-padian menjadi kalori
dan protein yaitu: (1) 1 kg Beras (beras
lokal, kualitas unggul, impor) mengandung
3.622,00 kilokalori (kkal) dan 84,75 gram
protein, (2) 1 kg Beras ketan mengandung
3.605,00 kkal dan 77,00 gram protein, (3) 1
kg Jagung basah dengan kulit mengandung
361,20 kkal dan 11,48 gram protein, (4) 1
kg Jagung pipilan/beras jagung/jagung titi
mengandung3.200,00kkal,dan82,80gram
protein, (5) 1 kg tepung terigu mengandung
3.330,00 kkal, dan 90,00 gram protein, dan
(6) 1 kg Padi-padian lainnya mengandung
3.570,00 kkal, dan 78,33 gram protein.
Data spasial yang diolah menggunakan
analisis tumpang tindih (overlay) dari berbagai
data spasial, di antaranya analisis tumpang tindih
land-use dengan berbagai perizinan konsesi.
Analisis tumpang tindih ini untuk melihat laju
konversi perubahan lahan pertanian (khususnya
padi sawah) dengan menggunakan analisis
tumpang tindih (overlay) Peta Ketersediaan
Lahan Untuk Pertanian (Kementerian Pertanian
2008) dengan Peta Penutupan Lahan (KLHK
2019).
Tahapan dalam pengumpulan data hingga
pengolahan data, yaitu: pertama, pengumpulan
data spasial terutama berasal dari Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian. Kendala yang dihadapi
dalam pengumpulan data adalah kesulitan akses
data-data spasial dan minimnya ketersediaan
data-data spasial. Data spasial terkait peta
ketersediaan lahan untuk pertanian saja yang
terbaru tidak ada dalam portal resmi Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Pada
akhirnya, dalam kajian ini untuk melihat laju
konversi perubahan lahan pertanian (khususnya
padi sawah) melakukan overlay dengan
menggunakan sumber data lain, yakni data peta
penutupan lahan (KLHK 2019). Secara ideal,
data yang digunakan sebaiknya menggunakan
sumber data yang sama untuk analisis ini.
Namun kendala ketersediaan data dan kesulitan
mengakses data yang relevan dan penting, maka
analisis ini menggunakan data yang tersedia dan
bisa diakses.
Kedua, mendigitasi peta-peta tersebut.
Dalam proses ini ditemukan tingkat eror yang
cukup tinggi disebabkan data yang tidak lengkap.
Salah satu ketidaklengkapan itu berasal dari
data peta ketersediaan lahan untuk pertanian
yang sistem koordinat proyeksinya kurang
lengkap. Konsekuensinya, hasil dari digitasi yang
dilakukan mengalami perbedaan luasan yang
cukup signifikan antara jumlah luasan yang ada
dalam peta tersebut dengan jumlah luasan hasil
digitasi. Kendala kemudahan akses data dan
ketersediaan data yang baik tidak mengurangi
kualitas analisis dalam laporan ini untuk
menunjukkan gradasi tingkat kerawanan pangan
yang disertai dengan dinamika penyusutan lahan
dan penggunaannya.
16. 8
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
T
ingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan setiap wilayah di
Indonesia dipetakan setiap tahun oleh Kementerian Pertanian.
Ada tiga faktor yang dianggap menentukan kerawanan pangan
yaitu: ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan. Menurut
Badan Ketahanan Pangan (2019) ketiga faktor tersebut dijabarkan melalui
sembilan indikator sbb:
1. Indikator pada aspek ketersediaan pangan adalah rasio konsumsi
normatif per kapita terhadap ketersediaan beras, jagung, ubi kayu,
dan ubi jalar
2. Indikator pada akses pangan adalah persentase penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan, persentase rumah tangga dengan
proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65 persen terhadap
total pengeluaran, dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik.
3. Indikator pada aspek pemanfaatan pangan adalah rata-rata lama
sekolah perempuan diatas 15 tahun, persentase rumah tangga tanpa
akses ke air bersih, rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan
terhadap tingkat kepadatan penduduk, persentase balita dengan
tinggi badan di bawah standar (stunting), dan angka harapan hidup
pada saat lahir.
Bab
Tiga
Kondisi Pangan
di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
17. 9
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Dalam menggambarkan kondisi pangan
di Sumsel, Kalteng dan Sulsel, JKPP akan
merefleksikan Peta Ketahanan dan Kerentanan
Pangan 2019 yang diterbitkan oleh Kementerian
Pertanian tersebut dengan memeriksa aspek-
aspek kunci dalam produksi pangan, khususnya
beras, terdiri dari:
1. Ketersediaan lahan sawah terkait
dengan ancaman-ancaman alih
fungsi yang dihadapinya, kondisi
penerimaan dan belanja petani
tanaman pangan, serta
2. Kondisi kemiskinan di wilayah-
wilayah yang produksi berasnya
lebih rendah dari kebutuhan
konsumsinya (defisit).
JKPP memfokuskan pembahasan
pada produksi beras, karena dalam
pandangan JKPP persediaan cadangan
beras bukan hanya persoalan
produktivitas dan neraca produksi-
konsumsi, melainkan juga persoalan
politik kedaulatan pangan. Kedaulatan
pangan lokal diuji secara nyata
ketika berhadapan dengan kondisi
penutupan jalur logistik ekspor-impor
pangan akibat PSBB. Oleh sebab itu,
politik kedaulatan pangan meletakkan
masalah ketersediaan beras di luar
persoalan perdagangan atau ekspor-
impor. Dalam perspektif kedaulatan
pangan, ada atau tidaknya beras
berkaitan erat dengan persoalan
alokasi lahan untuk pertanian pangan
terhadap alokasi ruang keseluruhan
dalam perencanaan tata ruang dan
wilayah, serta akses petani dan warga
miskin terhadap pangan di lokasi-
lokasi defisit beras. Fokus analisis
pada wilayah kabupaten/kota yang
defisit diharapkan dapat memberikan
gambaran yang lebih tajam tentang kondisi
kedaulatan pangan lokal, sebagai pemberi sinyal
antisipasi cepat bagi kerawanan pangan atau
kelaparan kronis.
Bab ini akan menjelaskan terlebih dulu kondisi
produksi beras terkait dengan kecukupan atau
ketidakcukupannya dalam memenuhi konsumsi
beras warga di provinsi yang bersangkutan.
Selanjutnya, analisa kesejahteraan petani dan
tingkat kemiskinan akan difokuskan pada
wilayah-wilayah yang terhitung memiliki
produksi beras defisit.
JKPP memfokuskan pembahasan
pada produksi beras, karena dalam
pandangan JKPP persediaan cadangan
beras bukan hanya persoalan
produktivitas dan neraca produksi-
konsumsi, melainkan juga persoalan
politik kedaulatan pangan.
Dalam perspektif kedaulatan pangan,
ada atau tidaknya beras berkaitan
erat dengan persoalan alokasi lahan
untuk pertanian pangan terhadap
alokasi ruang keseluruhan dalam
perencanaan tata ruang dan wilayah,
serta akses petani dan warga miskin
terhadap pangan di lokasi-lokasi
defisit beras.
“
18. 10
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
PERMINTAAN DAN PASOKAN BERAS
SUMATERA SELATAN
8.370.320 Jiwa
Jumlah Penduduk
PERMINTAAN BERAS
Konsumsi Beras
780.950,86 Ton/tahun
Rata-rata konsumsi setiap penduduk
93,3 kg/kapita/tahun atau 0,0933 ton/
kapita/tahun
PASOKAN BERAS
Luas Panen
513.209 Ha
Produksi GKG
2646.566 ton/tahun
setara Beras 1.511.987 Ton/Tahun
dengan nilai konversi GKP ke
Beras rata - rata 57,13%
=
KATEGORI
DEFISIT
< 0,07 - 0,0932 Ton Kapita/Tahun
CUKUP
0,0933 - 0,1166 Ton Kapita/
Tahun
SURPLUS
0,1167 - diatas 0,1399 Ton Kapita/
Tahun
KETERSEDIAAN BERAS KABUPATEN/KOTA
1. Ogan Kemiring Ulu
2. Muara Enim
3. OKU Selatan
4. PALI
5. Musi Rawas Utara
6. Palembang (Kota)
7. Prabumuli (Kota)
8. Pagar Alam (Kota)
9. Lubuklinggau (Kota)
0.0147
0.2569
0.0704
0.1027
0.1387
0.1244
0.6183
0.0472
0.5272
0.2582
0.1242
0.0425
0.0455
0.0081
0.0003
0.0749
0.0111
0.1806
OganKomeringUlu
OganKemeringIlir
MuaraEnim
Lahat
MusiRawas
MusiBanyuasin
Banyuasin
OKUSelatan
OKUTimur
OganIlir
EmpatLawang
PALI
MusiRawasUtara
Palembang/Kota
Prabumulih/Kota
PagarAlam/Kota
Lubuklinggau/Kota
SumateraSelatan
=
1. Lahat
1. Ogan Kemiring Ilir
2. Musi Rawas
3. Musi Banyuasin
4. Banyuasin
5. OKU Timur
6. Ogan Ilir
7. Empat Lawang
Grafik Pasokan Beras Di Sumatera
Selatan Tahun 2018
Perorang/Ton/Kapita/Tahun
2018
19. 11
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN
SUMATERA SELATAN2018
Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian
1.039.098 RTUP
219.352 RTUP yang
mengusahakan tanaman padi.
Penggunaan Lahan
1.031.088 RTUP
Terdapat kenaikan rumah tangga
petani gurem dari sebanyak
110.932 (2013) naik (24,52%)
menjadi 138.134 (2018).
Penguasaan Lahan
Rata - Rata 16.550.43 m2
Tahun 2013 luas rata - rata penguasaan
lahan 19.499,74 m2
, penurunan
penguasaan lahan juga terjadi pada lahan
sawah pertanian di tahun 2013 sebesar
18.928,78 m2
menjadi 15.921,06 m2
di
tahun 2018
TINGKAT KESEJAHTERAAN
Nilai Tukar Petani
Rata - Rata NTP Sub Sektor
Tanaman Pangan 99,72
dari Januari - Desember 2018
Rata-rata pertumbuhan negatifnya
0,09%, yang artinya telah terjadi
penurunan tingkat kesejahteraan
yang dialami oleh petani.
Rp
Penduduk Golongan Miskin
1.068,27 ribu Jiwa
Pekerjaan Golongan Miskin :
41% Tidak Bekerja
7,84% Bukan Pertanian
51,16% Pertanian
20. 12
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Provinsi Sumatera Selatan
Gambar 1. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2019 (Kementerian Pertanian, 2019)
Provinsi Sumatera Selatan terdiri atas 17
daerah administratif kabupaten/kota yang
memiliki wilayah daratan seluas 86.700,68
km2
. Daerah administratif terluas terletak di
Kabupaten Ogan Komering Ilir (17.024,47 km2
atau 19,64%) dan tersempit di Kota Palembang
(366,48 km2
atau 0,42%). Pada tahun 2018
jumlah penduduk Sumatera Selatan sebanyak
8.370.320 jiwa. Dari segi demografi, Palembang
sebagaikotaterbanyakpenduduknya19,63%dan
Kota Pagar Alam terkecil jumlah penduduknya
1,65% dari total jumlah penduduk di Sumatera
Selatan.
Dalam rekaman peta kerentanan dan
ketahanan pangan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Pertanian pada 2019, memiliki
kabupaten dan kota yang menduduki prioritas
4-6 atau masuk dalam kategori tahan pangan
(Kementerian Pertanian, 2019). Dengan
menggunakan analisis pasokan dan permintaan
pangan,khususnyaberas,kajianinimendapatkan
gambaran rinci kemampuan setiap kabupaten
dan kota dalam memproduksi beras untuk
memenuhi tingkat konsumsi pangan ideal bagi
seluruh penduduknya. Lebih jauh lagi, kajian
ini juga mengaitkan kondisi defisit dan surplus
produksi beras tersebut dengan kondisi petani
dan lahan pertaniannya, serta kesejahteraan
produsen maupun konsumen pangan di wilayah-
wilayah yang terhitung defisit.
1. Pasokan dan Permintaan Beras
Dengan jumlah penduduk Sumatera Selatan
sebesar 8.370.320 jiwa, kebutuhan konsumsi
beras mencapai 780.950,86 ton/tahun dengan
rata-rata konsumsi setiap penduduk 93,3 kg/
kapita/tahun. Dengan luas panen 513.209 ha
21. 13
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
serta tingkat produktivitas rata-rata 5,174 ton/
ha, maka jumlah produksi Gabah Kering Giling
(GKG) yang dihasilkan sebesar 2646.566 ton/
tahun atau 1.511.987 ton produksi padi setara
beras. Jumlah produksi beras sebesar 1.511.987
ton itu dapat memberikan pasokan beras untuk
setiap penduduk di Sumatera Selatan sebesar
180,6 kg/kapita/tahun. Sementara rata-rata
kebutuhan beras di Sumatera Selatan sebanyak
780.950,86 ton. Artinya, ketersediaan beras
yang diperoleh dari produksi pada lahan di
Sumatera Selatan dapat mencukupi rata-rata
kebutuhan beras per kapita/tahun bahkan
ketersediaan itu lebih besar dibandingkan rata-
rata konsumsi beras per kapita/tahun. Pada
level daerah provinsi, Sumatera Selatan dapat
dikatakan cukup untuk pemenuhan kebutuhan
pangan padi sebanyak 1.511.987 ton padi setara
beras.
Gambar 2. Peta Kerawanan Pangan di Provinsi Sumatera Selatan
Analisis tabular dan spasial mengenai pasokan
dan permintaan beras menunjukkan bahwa dari
17 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan,
terdapat 5 daerah kabupaten yang mengalami
defisit produksi pangan, dan daerah kota secara
keseluruhan mengalami defisit produksi pangan
(Tabel 1 dan Gambar 2). Terdapat lima kabupaten
yang status pasokan berasnya defisit dan
terdapat satu kabupaten yang statusnya cukup
atau sedikit saja di atas pemenuhan konsumsi
ideal per kapita per hari.
Lima kabupaten di Sumatera Selatan yang
mengalami defisit antara lain Ogan Kemiring
Ulu (OKU), Penukal Adab Lematang Ilir (PALI),
Musi Rawas Utara, OKU Selatan, dan Muara
Enim dengan tingkat defisit yang bervariatif.
Sebanyak 3 kabupaten berada pada tingkat
defisit melebihi 50% di antaranya Kabupaten
Ogan Kemiring Ulu (OKU) menjadi kabupaten
22. 14
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
dengan tingkat defisit yang paling tinggi sebesar
84,26%; Kabupaten PALI tingkat defisit sebesar
54,44%; dan Kabupaten Musi Rawas Utara
sebesar 51,24%. Artinya, tiga kabupaten tersebut
berturut-turut hanya mampu menyediakan
pasokan sebesar 15,74%; 45,56%; dan 48,76%.
Dua kabupaten yang lain memiliki tingkat defisit
dibawah 50% yaitu OKU Selatan 49,43% dan
Muara Enim 24,54%.
Kabupaten/Kota
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)*
Permintaan Pasokan (Ketersedian)
Keterangan
Konsumsi
Beras Per
orang/kap/
tahun (ton)**
Kebutuhan
beras (ton)
Luas
Panen
(Ha)*
Produksi
GKG (Ton)*
Produktivitas
(Ton/ha)
Produksi
Padi Setara
Beras (Ton)*
Pasokan
Beras
(Ton)
Nilai
Konversi
GKG ke
Beras (%)
OKU 363.617 0,0933 339.325,47 2.110 9.345 4,429 5.340 0.0147 57,14 Defisit
OKI 819.570 0,0933 764.65,88 73.202 368.513 5,034 210.531 0.2569 57,13 Surplus
Muara Enim 627.818 0,0933 585.75,42 16.541 77.363 4,677 44.199 0.0704 57,13 Defisit
Lahat 405.524 0,0933 378.35,39 13.541 72.917 5,385 41.661 0.1027 57,13 Cukup
Musi Rawas 399.075 0,0933 372.33,70 23.506 96.880 4,122 55.348 0.1387 57,13 Surplus
Musi Banyuasin 638.625 0,0933 595.83,71 30.469 139.067 4,564 79.448 0.1244 57,13 Surplus
Banyuasin 844.175 0,0933 787.61,53 185.964 913.635 4,913 521.958 0.6183 57,13 Surplus
OKU Selatan 357.105 0,0933 333.17,90 6.867 29.488 4,294 16.849 0.0472 57,14 Defisit
OKU Timur 670.272 0,0933 625.36,38 94.374 618.580 6,555 353.393 0.5272 57,13 Surplus
Ogan Ilir 425.032 0,0933 396.55,49 37.163 192.099 5,169 109.747 0.2582 57,13 Surplus
Empat Lawang 247.285 0,0933 230.71,69 13.141 53.781 4,093 30.725 0.1242 57,13 Surplus
PALI 187.281 0,0933 174.73,32 3.569 13.933 3,904 7.960 0.0425 57,13 Defisit
Musi Rawas Utara 189.895 0,0933 177.17,20 3.885 15.124 3,893 8.639 0.0455 57,12 Defisit
Palembang/Kota 1.643.488 0,0933 153.337,43 4.078 23.204 5,69 13.257 0.0081 57,13 Defisit
Prabumulih/Kota 184.425 0,0933 172.06,85 21 105 5 60 0.0003 57,14 Defisit
Pagar Alam/Kota 137.909 0,0933 128.66,91 3.565 18.087 5,073 10.332 0.0749 57,12 Defisit
Lubuklinggau/Kota 229.224 0,0933 213.86,60 1.213 4.445 3,664 2.540 0.0111 57,14 Defisit
Sumatera Selatan 8.370.320 0,0933 780.950,86 513.209 2.646.566 5,174 1.511.987 0.1806 57,13 Surplus
Tabel 1. Analisis Pasokan dan Permintaan Produksi Beras Di Sumatera Selatan Tahun 2018
Sumber : * Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka 2019 (BPS)
** Statistik Ketahanan Pangan 2014-2018 (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian)
Dilihat dari segi pasokan, tingginya tingkat
defisit produksi beras di Kabupaten OKU dan
PALI disebabkan oleh dua hal penting. Pertama
sempitnya luas lahan panen. Di Kabupaten OKU
luas panen hanya 2.110 ha atau hanya 0,5% dari
luas administrasi kabupaten, sementara untuk
memenuhi kebutuhan beras dibutuhkan luas
lahan panen sebesar 13.404,73 ha. Di sisi yang
lain, sebesar 47,74 % dari luasan administrasi
Kabupaten sudah berupa Izin Konsensi maupun
HGU yang 75,93% dalam bentuk Izin Usaha
Pertambangan (IUP) (lihat Tabel 7 pada Bab 4).
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan Kabupaten
PALI, sebanyak 95,24 % dari luas wilayah
administratifnya sudah dialokasikan dalam
bentuk Izin Konsensi maupun HGU yang 74,80%
dalam bentuk IUP. Kedua, minimnya tingkat
produksi beras juga diakibatkan oleh rendahnya
tingkat produktivitas. Terdapat dua kabupaten
yang dibawah rata-rata tingkat produktivitas
provinsi yaitu: di OKU tingkat produktivitas
tanaman padi lebih rendah 14,40%, dan di
Kabupaten PALI 24,55%.
Pada wilayah administrasi kota yang secara
keseluruhan mengalami defisit produksi beras
dengan tingkat defisit yang sangat signifikan di
tiga kota yaitu Prabumulih 99,65%, Palembang
91,35% dan Lubuk Linggau 88,12%. Defisit
terendah di Pagar Alam sebesar 19,70%. Jika
dilihat dari besaran konsumsi beras, Kota
Palembang menjadi kota tertinggi konsumsi
23. 15
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
berasnya mencapai 19,13% dari total konsumsi
beras di Sumatera Selatan. Untuk dapat
memenuhi kebutuhan tersebut Kota Palembang
setidaknya membutuhkan luas lahan panen
sebesar 47.168,66 ha atau lebih luas 23,72%
jika dibandingkan dengan luas administrasinya.
Di Prabumulih yang tingkat defisitnya sangat
tinggi, selain dampak dari kepadatan penduduk
juga karena minimnya luas lahan panen yang
besarannya hanya 8,74% dari luas administrasi.
Hal ini berbanding terbalik dengan luasan izin
konsensi dalam bentuk IUP yang besarannya
mencapai 34,71% dari total luas administratif
wilayah (lihat Tabel 7 pada bab selanjutnya).
tingginya tingkat defisit
produksi beras di Kabupaten
OKU dan PALI disebabkan oleh
dua hal penting. Pertama di
sempitnya luas lahan panen. di
OKU sebesar 47,74% dari luasan
administrasi Kabupaten sudah
berupa Izin Konsensi maupun
HGU yang 75,93% dalam bentuk
Izin Usaha Pertambangan
(IUP). di Kabupaten PALI,
sebanyak 95,24% dari luas
wilayah administratifnya
sudah dialokasikan dalam
bentuk Izin Konsensi maupun
HGU yang 74,80% dalam
bentuk IUP. Kedua, minimnya
tingkat produksi beras juga
diakibatkan oleh rendahnya
tingkat produktivitas.
2. Petani dan Lahan Pertanian
Merujuk pada Survei Pertanian Antar Sensus
2018 (SUTAS 2018), jumlah petani di Indonesia
sebanyak 33.487.806 orang dan terdapat
27.682.117 rumah tangga usaha pertanian
(RTUP). Jumlah petani itu terdiri atas laki-laki
25.436.478 orang dan perempuan 8.051.328
orang. Di Sumatera Selatan jumlah petani
sebesar 3,87% atau sebanyak 1.298.888
orang pada tahun 2018 yang terdiri atas laki-
laki 1.015.105 orang dan perempuan 283.783
orang. Jumlah RTUP tahun 2018 meningkat
dibandingkan tahun 2013, dari 958.724 RTUP
menjadi 1.039.098 RTUP.
Jumlah RTUP 2018 itu tersebar dalam
subsektor tanaman pangan (padi dan palawija),
hortikultura, perkebunan, peternakan (ternak
pangan dan ternak non-pangan), perikanan
(budidaya ikan dan penangkapan ikan),
kehutanan, dan jasa penunjang pertanian.
Sekalipunterdapatsebanyak315.285RTUPuntuk
tanaman pangan khususnya padi pada tahun
2018 namun disimak dari jenis usaha utamanya
terdapat 219.352 RTUP yang mengusahakan
tanaman padi. Usaha utama padi dari RTUP itu,
sebanyak 183.774 RTUP mengandalkan sumber
penghasilan utama mereka dari pertanian padi,
dan sebanyak 35.578 RTUP sumber utama
penghasilan bukan dari pertanian padi.
Dari segi penguasaan lahan, jumlah RTUP
tahun 2018 di Sumatera Selatan mengalami
kenaikan dibandingkan tahun 2013 yaitu dari
949.801 RTUP naik 8.59% menjadi 1.039.098
RTUP. Dari RTUP itu terdapat RTUP pengguna
lahan dan bukan pengguna lahan.
Di Sumatera Selatan RTUP pengguna lahan
juga meningkat 8,56% menjadi 1.031.088 tahun
2018. Namun kenaikan RTUP pengguna lahan
ini bersamaan dengan kenaikan rumah tangga
petani gurem dari sebanyak 110.932 (2013) naik
(24,52%) menjadi 138.134 (2018). Dengan begitu
jumlah RTUP pengguna lahan seluas > 0,50 ha
semakin banyak di Sumatera Selatan.
“
24. 16
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Kenaikan jumlah RTUP itu berkebalikan
dengan luas penguasaan terhadap lahan.
Luas rata-rata penguasaan lahan di Sumatera
Selatan mengalami penurunan dari 19.499,74
m2
(sawah pertanian seluas 18.928,78 m2
) tahun
2013 menjadi 16.550.43 m2
(sawah pertanian
seluas 15.921,06 m2
) tahun 2018. Untuk rincian
rata-rata penguasaan lahan pertanian
sebagai berikut: Pada tahun 2018,
sawah 2.231,74 m2
(sawah irigasi
538,94 m2
dan sawah non-irigasi
1.692,80 m2
) dan bukan sawah
13.689,32 m2
, dan pada tahun
2013 rata-rata penguasaan
lahan pertanian oleh RTUP
untuk sawah sebanyak 3.211,59
m2
dan untuk lahan bukan
sawah 15.717,19 m2
. Berdasarkan
golongan luas lahan pertanian
(sawah dan non-sawah) yang dikuasai
(hektare) oleh RTUP pada tahun 2018, yaitu:
(1) Luas < 0,50 sebanyak 145.435; (2) Luas
0,50-0,99 sebanyak 165.956; (3) Luas 1,00-1,99
sebanyak 368.967; (4) Luas 2,00-2,99 sebanyak
209.009; (5) Luas 3,00-3,99 sebanyak 70.371;
(6) Luas 4,00-4,99 sebanyak 35.366; (7) Luas
5,00-9,99 sebanyak 29.393; dan (8) Luas ≥
10,00 sebanyak 5.510. RTUP dengan golongan
luas penguasaan 1,00-1,99 ha terbesar berjumlah
35,82 persen.
3. Tingkat Kesejahteraan
3.1. Nilai Tukar Petani
Dari bulan Januari hingga Desember 2018
rata-rata NTP Gabungan (Tanaman Pangan,
Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat,
Pertenakan dan Perikanan) di Sumatera Selatan
rata-rata sebesar 93,62 yang artinya bahwa
terjadi penurunan tingkat kesejahteraan petani
atau indeks yang diterima petani lebih rendah
dibanding dengan indeks yang dibayar petani,
rata-rata indeks yang diterima (It) petani sebesar
121,20 persen sedangkan indeks yang dibayar
(Ib) petani 129,47 persen. Nilai NTP Gabungan
terendah terjadi pada bulan Desember 2018,
yaitu sebesar 91,5 dan NTUP terendah juga pada
bulan Desember 2018, yaitu 98,48. Perubahan
ini diakibatkan oleh turunnya indeks terima
sebesar 0,34 % dan naiknya indeks bayar sebesar
0,65%. Kenaikan indeks bayar diakibatkan oleh
kenaikan pengeluaran konsumsi rumah
tangga petani sebesar 0,84%. Tingkat
kenaikan terbesar ada di bahan
pangan 1,47%, ditambah dengan
kenaikan biaya produksi
dan penambahan modal
sebesar 0,14%, serta kenaikan
pengeluaran obat-obatan dan
pupuk sebesar 0,23%.
Pada subsektor tanaman
pangan NTP (NTPP) di tahun 2018
nilai rata-rata dari Januari hingga
Desember kondisinya tidak jauh berbeda
dengan NTP gabungan atau masih dibawah 100,
yaitu 99,72. Rata-rata pertumbuhan negatifnya
0,09%, yang artinya telah terjadi penurunan
tingkat kesejahteraan yang dialami oleh petani.
Penurunan ini sangat siginifikan terjadi pada
semester pertama (Januari-Juni) sebesar 1,04%.
Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan negatif
rata-rata indeks terima 0,51% dan terjadi
pertumbuhan positif di indeks bayar sebesar
0,53%.
Penurunan terbesar pada NTPP terjadi
pada bulan Maret nilainya mencapai 2,39%.
Penurunan ini terjadi disebabkan oleh terjadinya
penurunan indeks harga pada kelompok
tanaman padi sebesar 1,86% dan dan indeks
harga pada kelompok tanaman palawija sebesar
1,93%, sedangkan terjadi kenaikan indeks bayar
sebasar 0,53% pada kelompok konsumsi rumah
tangga kenaikannya 0,64% yang tertinggi
kenaikannya ada pada bahan makanan sebesar
1,14% dan untuk kelompok biaya produksi, serta
penambahan modal 0,21% dengan kenaikan
tertinggi ada pada transportasi 1,14%.
25. 17
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
95.66
96.17
95.34
94.01
94.27
93.65
92.17
92.22
92.94
93.09
92.42
91.51
103.61
103.94
103.29
101.86
102.52
102.19
100.84
100.65
100.21
100.04
98.96
98.48
112
114
116
118
120
122
124
126
128
130
132
84
86
88
90
92
94
96
98
100
102
104
106
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) NTP NTUP
Diagram 1.Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Usaha Petani Su-
matera Selatan 2018
102.82
102.12
99.68
97.69
97.64
97.27
97.28
96.63
100.75
100.64
101.95
102.11
110.45
109.25
105.07
105.07
105.55
105.55
106.08
105.02
108.14
107.55
108.55
109.37
122
124
126
128
130
132
134
136
85
90
95
100
105
110
115
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) NTP NTUP
Diagram 2. NTP dan NTUP Sub Sektor Tanaman Pangan
Sumatera Selatan 2018
Kenaikan jumlah rumah tangga petani yang
diikuti oleh peningkatan jumlah petani gurem
dalam jangka waktu lima tahun terakhir tersebut
(2013-2018), kemungkinan besar disebabkan
oleh angka NTP yang selalu rendah. Sepanjang
2018, misalnya, angka NTP di Sumatera Selatan
tidak pernah mencapai 100 atau nilai yang
diperoleh petani dari hasil pertaniannya selalu
lebih rendah dari pengeluaran yang harus
ditanggungnya.
3.2. Kemiskinan, Konsumsi dan Kalori
Mengacu pada Susenas (Survei Sosial
Ekonomi Nasional) bulan Maret 2018, angka
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di
Provinsi Sumatera Selatan sebesar Rp970.078.
Jika dibandingkan antara daerah, rata-rata
pengeluaran per kapita lebih kecil di perdesaan
daripada di perkotaan, yaitu: Rp1.206.545/
kapita/bulan di kota dan Rp829.813/kapita/bulan
di desa. Dari jumlah pengeluaran rata-rata per
kapita per bulan sebesar Rp970.078 itu, porsi
pengeluaran makanan (Rp503.297 atau 51,88%)
lebih besar ketimbang non-makanan (Rp466.781
atau 48,12%). Pengeluaran di perdesaan lebih
tinggi untuk makanan (55,97%) daripada non-
makanan (44,03%), sedangkan di kota lebih
besar non-makanan (52,86%) daripada makanan
(47,14%). Dengan garis kemiskinan sebesar (Rp/
kapita/bulan) Rp397.150 (perkotaan Rp437.983
dan perdesaan Rp374.527), pada tahun 2018
golongan miskin sebanyak 1.068,27 ribu di
Provinsi Sumatera. Pekerjaan golongan miskin ini
berasal dari tidak bekerja 41%, bukan pertanian
7,84%, dan pertanian 51,16%.
Di Sumatera Selatan pengeluaran pangan
berasperkapita/bulansebanyak6,842kgdengan
nilai Rp62.964. Pengeluaran beras di perdesaan
lebih tinggi sebanyak 7,606 kg (Rp69.638)
sedangkan di perkotaan sebesar 5,553 kg
(Rp51.711). Kontribusi pangan beras dalam
pengeluaran per kapita/bulan menyumbang
sebesar 12% dari seluruh pengeluaran makanan,
dan sebesar 6,4% dari seluruh pengeluaran
makanan dan non-makanan. Sebagaimana
diketahui bahwa 1 kg beras (beras lokal, kualitas
unggul, impor) mengandung 3.622,00 kilokalori
(kkal) dan 84,75 gram protein, 1 kg beras ketan
mengandung 3.605,00 kkal dan 77,00 gram
protein.
Berdasarkan konsumsi pangan beras tersebut,
pada tahun 2018 rata-rata konsumsi padi-
padian sebanyak 884,61 Kilokalori (kkal) per
kapita sehari, dan untuk beras/ketan sebanyak
826.01 kkal. Pada tingkat nasional, rata-rata
konsumsi beras sebanyak 800,22 kkal dan ketan
2,52 kkal per kapita sehari. Sumber kalori tidak
hanya berasal dari beras tapi juga dari sumber
padi-padian lain (seperti jagung dan terigu) dan
makanan konsumsi lainnya. Rata-rata konsumsi
kalori di Sumatera Selatan sebesar 2.134,53 kkal,
yang jenis padi-padian menyumbang paling
besar sebanyak 884,61 kkal (41,44%). Dengan
Sumber : Badan Pusat Statitik (BPS) Sumatera Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani dan Inflasi
PedesaanPerdesaan Sumatera Selatan 2018
Sumber : Badan Pusat Statitik (BPS) Sumatera Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani dan Inflasi
PedesaanPerdesaan Sumatera Selatan 2018
26. 18
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
angka patokan kecukupan kalori/energi per
kapita sehari untuk penduduk Indonesia sebesar
2.150 kkal, maka rata-rata konsumsi kalori di
Sumatera Selatan masih berada di bawah angka
patokan.
Di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dan
Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI)
golongan miskin pada Maret 2018 berturut-
turut sebanyak 45,71 ribu (12,61%) dan 25,78
ribu (13,81%). Dari segi persentase, tingkat
kemiskinan di OKU menempati peringkat 9 dari
beberapa kabupaten/kota di Sumatera Selatan
(Musi Rawas Utara 19,12%; Musi Banyuasin
16,52%; Lahat 16,15%; OKI 15,28%; PALI 13,81%;
Musi Rawas 13,76%; Ogan Ilir 13,19%; dan Lubuk
Linggau 13,02%). Dengan garis kemiskinan (Rp/
Kapita/Bulan) sebesar Rp415.785 di OKU, dan
Rp377.160 di PALI, maka sebanyak 68,31%,
dan 63,19% dikeluarkan untuk makanan pada
masing-masing kabupaten.
Jumlah penduduk miskin di OKU berasal
dari tiga sektor pekerjaan, yaitu: tidak bekerja
43,02%, bukan di sektor pertanian 4,25%, dan
sektor pertanian 52,73%. Tidak berbeda jauh
dengan OKU, di PALI sektor pekerjaan yang
menyumbang pada tingkat kemiskinan berasal
dari tidak bekerja 33,93%, bukan di sektor
pertanian 7,67 %, dan sektor pertanian 58,40%.
Dengan begitu, pekerjaan di sektor pertanian
menyumbang besar pada jumlah kemiskinan di
dua kabupaten tersebut.
OKU dan PALI sebagai daerah yang paling
kekurangan pasokan beras memiliki porsi
penduduk sangat miskin sampai dengan rentan
miskin hampir setengah dari keseluruhan
penduduk di masing-masing kabupaten. Di OKU
penduduk yang tergolong sangat miskin sampai
dengan rentan miskin pada 2019 mencapai
45,57%, sedangkan di PALI sedikit lebih rendah
yaitu 38,67%.
Kedua angka proporsi penduduk miskin ini
masing-masing sedikit berada di atas dan di
bawah persentase rata-rata penduduk miskin
di seluruh kabupaten/kota di Sumatera Selatan,
yaitu: 42,82%. Kondisi ini memberi sinyal bahaya
bahwa kemiskinan di daerah-daerah defisit beras
berimplikasi pada kenaikan pengeluaran untuk
makan yang lebih besar, sehingga berpeluang
membuat penduduk yang rentan miskin dan
hampir miskin menjadi lebih miskin lagi, jika
tidak ada peluang ekonomi yang lebih baik.
OKU dan PALI sebagai daerah yang paling kekurangan pasokan beras memiliki
porsi penduduk sangat miskin sampai dengan rentan miskin hampir setengah
dari keseluruhan penduduk di masing-masing kabupaten. Di OKU penduduk
yang tergolong sangat miskin sampai dengan rentan miskin pada 2019
mencapai 45,57%, sedangkan di PALI sedikit lebih rendah yaitu 38,67%.
“
27. 19
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Foto: Aji Wihardandi
Sumber : jkpp.org
Negara-negara harus memastikan bahwa petani dan orang yang bekerja
di pedesaan mendapatkan akses fisik dan ekonomis kapan pun untuk
mendapatkan pangan yang layak dan memadai yang diproduksi dan
dikonsumsi secara berkelanjutan dan merata, yang menghormati budaya
mereka, yang menjaga akses pangan untuk generasi mendatang
Pasal 15 ayat 2 - United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in
Rural Areas
28. 20
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
PERMINTAAN DAN PASOKAN BERAS
KALIMANTAN TENGAH
2.660.209 Jiwa
Jumlah Penduduk
PERMINTAAN BERAS
Konsumsi Beras
231.970,22 Ton/tahun
Rata-rata konsumsi setiap penduduk
87,2 kg/kapita/tahun atau 0,0872
ton/kapita/tahun
PASOKAN BERAS
Luas Panen
202.142 Ha
Produksi GKG
742.758 ton/tahun
setara Beras 438.937 Ton/Tahun
dengan nilai konversi GKP ke
Beras rata - rata 59,09%
=
KATEGORI
DEFISIT
< 0,0654 - 0,0871 Ton Kapita/Tahun
CUKUP
0,0872 - 0,1090 Ton Kapita/Tahun
SURPLUS
0,1091 - di atas 0,1308 Ton Kapita/Tahun
KETERSEDIAAN BERAS KABUPATEN/KOTA
1. Kotawaringin Barat
2. Kotawaringin Timur
3. Barito Selatan
4. Barito Utara
5. Sukamara
6. Lamandau
7. Seruyan
8. Gunung Mas
9. Murung Raya
10. Palangkaraya (Kota) =
1. Barito Timur
1. Kapuas
2. Katingan
3. Pulang Pisau
Grafik Pasokan Beras di Kalimantan
Tengah Tahun 2018
Perorang/Ton/Kapita/Tahun
2018
0.0020
0.0851
0.7941
0.0314
0.0254
0.0205
0.0760
0.0321
0.1774
0.3889
0.0119
0.1056
0.0142
0.0001
0.1650
KotawaringinBarat
KotawaringinTimur
Kapuas
BaritoSelatan
BaritoUtara
Sukamara
Lamandau
Seruyan
Katingan
PulangPisau
GunungMas
BaritoTimur
MurungRaya
Palangkaraya/Kota
KalimantanTengah
29. 21
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN
KALIMANTAN TENGAH2018
Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian
287.868 RTUP
89.643 RTUP yang mengusahakan
tanaman padi.
Penggunaan Lahan
276.746 RTUP
Terdapat kenaikan rumah tangga
petani gurem dari sebanyak
77,40% dari 29.083 (2013)
menjadi 51.594 (2018)
Penguasaan Lahan
Rata - Rata 20.363,61 m2
terdapat 59.111 RTUP luas penguasaan
lahan pertanian sebesar < 0,50 Ha
TINGKAT KESEJAHTERAAN
Nilai Tukar Petani
Rata - Rata NTP Sub Sektor
Tanaman Pangan 95,84
dari Januari - Desember 2018
rata-rata indeks yang dibayarkan
petani (Ib) setiap bulannya untuk
kebutuhan konsumsi dan produksi
sebesar 0,43% lebih besar jika
dibandingkan dengan rata-rata
peningkatan indeks yang diterima
petani (It) setiap bulan hanya
sebesar 0,20%
Rp
Penduduk Golongan Miskin
136,93 ribu Jiwa
Pekerjaan Golongan Miskin :
37,16% Tidak Bekerja
12,39% Bukan Pertanian
50,45% Pertanian
30. 22
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Provinsi Kalimantan Tengah
Gambar 3. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2019 (Kementerian Pertanian, 2019)
Kondisi pangan di provinsi Kalimantan
Tengah digambarkan pada peta ketahanan
dan kerentanan pangan yang diterbitkan
Kementerian Pertanian pada 2019 sebagai
wilayah yang memiliki beberapa kabupaten
prioritas 2-3 atau rentan pangan, dan sebagian
besar berada pada prioritas 4-6 atau tahan
pangan. Gambaran tersebut jika dianalisis lebih
rinci sebagaimana digambarkan pada bagian
selanjutnya dari laporan ini didapatkan bahwa
Kalimantan Tengah memang masih mampu
mencukupi kebutuhan berasnya sendiri atau
surplus. Namun demikian, status surplus bukan
merupakan representasi dari kondisi kecukupan
di daerah-daerah defisit beras, terutama
kaitannya dengan kesejahteraan petani dan
akses terhadap pangan dan/atau lahan pertanian.
Mengapa demikian? Bagian selanjutnya akan
menjelaskan hal tersebut.
1. Pasokan-Permintaan Beras
Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas 14
kabupaten/kotadenganluasdaerahadministratif
15.433.397.93 ha. Jumlah penduduk pada tahun
2018 sebanyak 2.660.209 jiwa. Kabupaten/
Kota terluas dan tersempit secara berurutan di
Murung Jaya 15,46%, dan di Palangkaraya 1,69%.
Sementara penduduk terbanyak pada tahun
2018 berada di Kotawaringin Timur (17,16%)
dan terkecil di Sukamara (2,33%). Kebutuhan
beras pada tahun 2018 sebanyak 231.970,22 ton
dengan konsumsi per kapita per tahun sebanyak
0,0872 ton. Produksi padi setara beras pada
tahun 2018 sebanyak 438.937 ton.
31. 23
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Kabupaten/Kota
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)*
Permintaan (Permintaan) Pasokan (Ketersedian)
KeteranganKonsumsi
Beras Per
orang/kap/
tahun (ton)**
Kebutu-
han beras
(ton)
Luas
Panen
(Ha)*
Produksi
GKG (Ton)*
Produkti-
vitas (Ton/
ha)*
Produksi
Padi Setara
Beras
(Ton)*
Pasokan
Beras
(Ton)
Nilai
Konversi
GKG ke
Beras
(%)
Kotawaringin Barat 304.082 0,0872 26.515,95 319 1.028 3,223 606 0,0020 58,9494 Defisit
Kotawaringin Timur 456.409 0,0872 39.798,86 19.797 65.759 3,322 38.862 0,0851 59,0976 Defisit
Kapuas 356.382 0,0872 31.076,51 116.538 478.898 4,109 283.007 0,7941 59,0955 Surplus
Barito Selatan 135.736 0,0872 11.836,18 2.142 7.202 3,362 4.256 0,0314 59,0947 Defisit
Barito Utara 130.019 0,0872 11.337,66 1.998 5.587 2,796 3.303 0,0254 59,1194 Defisit
Sukamara 62.044 0,0872 5.410,24 909 2.153 2,369 1.273 0,0205 59,1268 Defisit
Lamandau 80.512 0,0872 7.020,65 3.295 10.347 3,14 6.115 0,0760 59,0993 Defisit
Seruyan 197.839 0,0872 17.251,56 4.806 10.753 2,237 6.354 0,0321 59,0905 Defisit
Katingan 167.706 0,0872 14.623,96 16.611 50.336 3,03 29.746 0,1774 59,0949 Surplus
Pulang Pisau 126.657 0,0872 11.044,49 25.782 83.354 3,233 49.258 0,3889 59,0949 Surplus
Gunung Mas 117.457 0,0872 10.242,25 1.064 2.369 2,227 1.401 0,0119 59,1389 Defisit
Barito Timur 123.557 0,0872 10.774,17 7.051 22.084 3,132 13.051 0,1056 59,0971 Cukup
Murung Raya 118.197 0,0872 10.306,78 1.819 2.852 1,568 1.684 0,0142 59,0463 Defisit
Palangkaraya/ Kota 283.612 0,0872 24.730,97 11 36 3,273 21 0,0001 58,3333 Defisit
Kalimantan Tengah 2.660.209 0,0872 231.970,22 202.142 742.758 3,674 438.937 0,1650 59,0956 Surplus
Sumber: * Provinsi Kalimantan Tengah Dalam Angka 2019 (BPS)
** Statistik Ketahanan Pangan 2014-2018 (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian)
Tabel 2. Analisis Pasokan-Permintaan Beras di Kalimantan Tengah pada 2018
Dari 14 kabupaten/kota di Kalimantan Tengah
itu, hanya 3 kabupaten saja yang dinyatakan
surplus produksi beras. Kabupaten yang surplus
produksi beras antara lain Kapuas, Katingan, dan
Pulang Pisau. Dari 9 kabupaten yang dinyatakan
defisit beras, terdapat 6
kabupaten tingkat defisitnya
lebih dari 50% seperti
Kabupaten Kotawaringin
Barat tingkat defisitnya
97,71%, Gunung Mas 86,32%,
Murung Raya 83,66%,
Sukamara 76,47%, Barito
Utara 70,87 % dan Seruyam
63,17%. Kota Palangkaraya
mengalami defisit pangan
dengan tingkat defisit 99,92%, Tabel produksi
beras di Kalimantan Tengah di Tabel 2.
Padatahun2019produksipaditertinggiberada
di Kabupaten Kapuas. Angka produksi padi di
Kabupaten Kapuas selama tahun 2019 mencapai
203.408,15 ton dari total luas panen 61.979,64
ha. Sementara produksi padi se-provinsi Kalteng
pada tahun 2019 adalah sebanyak 443.561,33
ton. Sehingga Kabupaten Kapuas saja telah
menyumbang hampir setengah pasokan padi
Provinsi Kalimantan Tengah, tepatnya 45,86
persen. Dibandingkan
dengan tahun 2018, terjadi
penurunan produksi padi yang
cukup signifikan pada tahun
2019. Produksi padi tahun
2018 mencapai 514.769,05
ton atau turun sebanyak
71.207,72 ton. Sementara
untuk produktivitas padi
per hektarenya, Kabupaten
Kapuas masih berada di
peringkat kedua dengan hanya 32,82 ton/ha
sementara produktivitas tertinggi padi berada di
Kabupaten Lamandau yang dapat menghasilkan
hingga 35,56 ton/ha. Rata-rata produktivitas
padi di Provinsi Kalimantan Tengah pada 2019
adalah 28,45 ton/ha.
32. 24
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Gambar 4. Peta Kerawanan Pangan di Kalimantan Tengah
Tingginya angka defisit seperti di Kabupaten
Kotawaringin Barat yang mencapai hingga
97,71%, sebagai akibat dari sempitnya luas lahan
panen yang hanya 319 ha atau 0,4% dari luas
wilayah administrasinya. Jika dibandingkan, luas
konsensidiKotawaringinBaratsebesar210.481,81
ha yang luasan tersebut 660 kali dari luas lahan
panen. Gunung Mas juga dikategorikan dengan
tingkat defisit sangat tinggi 86,32%. Keberadaan
luas konsesi di Gunung Mas mencapai 77,17%
dari luas administrasinya atau 733 kali luas lahan
panen. Kondisi Barito Timur menggambarkan
bahwa sekalipun hasil perhitungan dinyatakan
surplus, namun angka surplus 21,13% sangat
rentan untuk menjadi defisit. Sebab terlihat
masifnya konsensi di Barito Timur yang luasanya
sampai 87,91% dari luas wilayah administratifnya.
Selain sempitnya luas lahan panen dan tingkat
produktivitas tanaman padi di kabupaten yang
dinyatakan defisit maupun surplus serta pada
umumnya di Kalimantan Tengah lebih rendah
jika dibandingkan dengan tingkat produktivitas
nasional di tahun 2018 sebesar 5,192 ton/ha2
.
Misalnya, di Kabupaten Seruyan lebih rendah
56,91% sedangkan untuk rata-rata produktivitas
tanaman padi di Kalimantan Tengah lebih rendah
29,24% dari rata-rata produktivitas tanaman
padi nasional.
2. Petani dan Lahan Pertanian
Mengacu pada SUTAS 2018 petani di
Kalimantan Tengah berjumlah 367.439 orang
(laki-laki 267.867 dan perempuan 99.572) atau
0,20% dari total jumlah petani di Indonesia
pada tahun 2018. Dari jumlah rumah tangga
usaha pertanian (RTUP) di Kalimantan Tengah
sebanyak 287.868 RTUP (1,03%), terdapat
3.
https://www.pertanian.go.id/Data5tahun/TPATAP-2017(pdf)/30-ProdtvPadi.pdf
33. 25
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
89.643 RTUP di subsektor tanaman pangan
(padi), dan selebihnya tersebar pada subsektor
yang lain. Dari RTUP sebesar 1,03% itu pula,
sebanyak 58.044 RTUP jenis usaha utama
yang diusahakan mereka berada di subsektor
tanaman pangan padi. Sekalipun jenis usaha
utama di tanaman padi, namun terdapat 15.968
RTUP yang tidak mengandalkan pada tanaman
pangan padi sebagai sumber penghasilan utama
mereka. Sebaliknya, yang mengandalkan sumber
penghasilan utama dari tanaman pangan padi
sebanyak 42.076 RTUP.
RTUP sebanyak 287.868 itu terbagi dalam
RTUP pengguna lahan dan bukan pengguna
lahan. Jumlah rumah tangga pengguna lahan
di Kalimantan Tengah meningkat 5,94% dari
261.227 (2013) menjadi 276 746 (2018). Kenaikan
itu diikuti dengan kenaikan rumah tangga petani
gurem 77,40% dari 29.083 (2013) menjadi 51.594
(2018). Peningkatan jumlah petani gurem itu
bersamaan pola dengan kondisi penurunan luas
lahan pertanian (sawah dan non-sawah) yang
dikuasai RTUP, yaitu: dari rata-rata 30.202,03
m2
(2013) menjadi rata-rata 20.363,61 m2
(2018). Bila diklasifikasikan berdasarkan kategori
luasan lahan pertanian yang dikuasai (ha) oleh
rumah tangga pertanian sebagai berikut: (1)
Luas < 0,50 sebanyak 59.111; (2) Luas 0,50-0,99
sebanyak 34.714; (3) Luas 1,00-1,99 sebanyak
71.296; (4) Luas 2,00-2,99 sebanyak 49.155;
(5) Luas 3,00-3,99 sebanyak 22.082; (6) Luas
4,00-4,99 sebanyak 13.577; (7) Luas 5,00-9,99
sebanyak 20.145; dan (8) Luas ≥ 10,00 sebanyak
6.478. Golongan luas lahan pertanian 1,00-1,99
ha sebanyak 25,78% RTP dan golongan paling
besar >10,00 ha berjumlah 2,34% RTP.
Peningkatan jumlah petani gurem
itu bersamaan pola dengan kondisi
penurunan luas lahan pertanian
(sawah dan non-sawah) yang
dikuasai RTUP
3.Tingkat Kesejahteraan
3.1. Nilai Tukar Petani (NTP)
NTP gabungan (Tanaman Pangan,
Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat,
Pertenakan dan Perikanan) di Kalimantan
Tengah selama tahun 2018 bernilai 96,76% atau
dibawah 100, hal ini diakibatkan oleh kenaikan
rata-rata indeks yang dibayar petani sebesar
4,06% lebih besar dengan jika dibandingkan
dengan indeks harga yang diterima petani
sebesar 1,16%, artinya terjadi penurunan tingkat
kesejahteraan petani di Kalimantan Tengah dan
jika dibandingkan dengan NTP gabungan rata-
rata di tahun 2017 yang bernilai 98,60%, maka
di tahun 2018 terjadi penurunan NTP gabungan
sebesar 1,84%. Penurunan juga terjadi pada rata-
rata NTUP 2018 sebesar 104,61%, nilainya turun
1,095 jika dibandingkan dengan rata-rata NTUP
2017sebesar105,70%.Penurunaninidiakibatkan
oleh indeks harga yang dibayar untuk BPPBM
(Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal)
sebesar 2,76% lebih besar dibandingkan dengan
kenaikan indeks harga yang diterima petani
sebesar 1,61%. Kondisi ini menunjukkan bahwa
selama tahun 2018 kenaikan tingkat harga
komoditas pertanian lebih tinggi atau tidak
dapat mengimbangi kenaikan harga barang dan
jasa untuk proses produksi.
Sedangkan pada subsektor tanaman pangan
(padi dan palawija) yang berkaitan langsung
dengan pemenuhan kebutuhan pokok atau
dasar bagi masyarakat sehingga menempati
posisi yang paling strategis, sepanjang tahun
2018 rata-rata NTP subsektor tanaman pangan,
(NTPP) nasibnya tidak jauh berbeda dengan NTP
gabungan, angkanya masih dibawah 100 yaitu
sebesar 95,84%, dimana rata-rata indeks yang
dibayarkan petani (Ib) setiap bulannya untuk
kebutuhan konsumsi dan produksi sebesar
0,43% lebih besar jika dibandingkan dengan
rata-rata peningkatan indeks yang diterima
petani (It) setiap bulan hanya sebesar 0,20%
dan pada kelompok tanaman padi sepanjang
“
34. 26
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
2018 rata-rata peningkatan indeks harganya
sebesar 0,34% dan palawija sebesar 0,64%.
NTPP tertingi terjadi di awal tahun pada
bulan Januari bernilai 98,92% dan kemudian
mengalami penurunan yang signifikan hingga
akhir semester pertama (Juni) dengan rata-rata
tingkat penurunan sebesar 0,43%. Jika dilihat
dari tingkat perubahan NTP-nya (month-to-
month), penurunan tertinggi terjadi pada bulan
Maret dengan nilai sampai sebesar -1,32%.
Sedangkan saat dilihat berdasarkan besaran
NTP-nya, nilai NTPP terendah sepanjang tahun
2018 terjadi pada awal semester ke II (Juli)
sebesar 93,80. Hal ini diakibatkan oleh indeks
yang harus dibayar petani (Ib) bernilai 132,8,
kebutuhan konsumsi
mempunyai peran yang
cukup besar untuk
mempengaruhi turunnya
nilai NTP pada subsektor
tanaman pangan atau
dapat dikatakan bahwa
indeks harga konsumsi
rumah tangga petani
lebih tinggi jika
dibanding dengan indeks
harga biaya produksi
ataupun penambahan
barang modal.
lebih besar 8,23% dibanding dengan indeks yang
diterima petani (IT) yang hanya 123,6. Besarnya
nilai IB diakibatkan karena pada kelompok
konsumsi Rumah Tangga pengeluaran terbesar
ada di bahan makanan bernilai 136,55 dan pada
kelompok BPPBM pengeluaran terbesar ada
pada transportasi yang indeksnya mencapai
nilai 136,36. Di sisi lain NTPP pada tahun 2018
berada pada posisi terendah setelah tanaman
perkebunan rakyat, hal ini menunjukkan bahwa
NTPP dari segi produksi tidak sebaik subsektor
lain.
UntukNTUPpadasubsektortanamanpangan
dapat dikatakan masih rendah dengan nilai
rata-rata sebesar 95,84%, terjadi penurunan
nilai (month-to-month) sebesar 0,06 persen
pada tahun 2018. Hal ini menunjukkan bahwa
kebutuhan konsumsi mempunyai peran yang
cukup besar untuk mempengaruhi turunnya
nilai NTP pada subsektor tanaman pangan atau
dapat dikatakan bahwa indeks harga konsumsi
rumah tangga petani lebih tinggi jika dibanding
dengan indeks harga biaya produksi ataupun
penambahan barang modal.
106.4
106.49
105.73
104.66
104.73
105.63
104.68
104.42
103.25
103.45
102.97
102.9
118
120
122
124
126
128
130
132
88
90
92
94
96
98
100
102
104
106
108
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Indeks Harga Diterima Petani (lt) Indeks Harga Dibayar Petani (lb) NTP NTUP
98.92
97.95
96.63
95.53
94.45
94.13
93.8
94.54 94.55 94.43
93.97
94.78
98.89
97.86
96.62
95.99
95.15 95.22 95.29 95.34
94.96
94.73 94.23
95.77
118
120
122
124
126
128
130
132
134
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Indeks Harga Diterima Petani (lt) Indeks Harga Dibayar Petani (lb) NTP NTUP
Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Kalimantan Tengah. 2019. Nilai Tukar Petani
Provinsi Kalimantan Tengah 2018
Diagram 3. Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Usaha Petani
Kalimantan Tengah 2018
Diagram 4. NTP dan NTUP Sub Sektor Tanaman Pangan
Kalimantan Tengah 2018
Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Kalimantan Tengah. 2019. Nilai Tukar Petani
Provinsi Kalimantan Tengah 2018
“
35. 27
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
3.2. Kemiskinan, Konsumi dan Kalori
Garis kemiskinan di Kalimantan Tengah
sebesar Rp413.529 (Rp/kapita/bulan) pada tahun
2018 dengan rincian di perkotaan Rp387.139
dan di perdesaan sebesar Rp426.596. Mengacu
pada patokan garis kemiskinan sebesar itu,
maka di Kalimantan Tengah terdapat 136,93
ribu penduduk miskin atau sebesar 5,17%.
Berdasarkan sektor pekerjaan, golongan
miskin itu berasal dari kelompok tidak bekerja
37,16%, bukan di sektor pertanian 12,39% dan
sektor pertanian 50,45%. Sebanyak 64,07%
pengeluaran golongan miskin digunakan untuk
makanan. Dari segi persentase jumlah penduduk
miskin, terdapat 10 kabupaten/kota tertinggi di
Kalimantan Tengah sebagai berikut: Seruyan
(7,43%), Barito Timur (6,56%), Murung Raya
(6,28%), Kotawaringin Timur (6,21%), Katingan
(5,22%), Kapuas (5,20%), Gunung Mas (5,10%),
Barito Selatan (4,55%), Pulang Pisau (4,51%) dan
Kotawaringin Barat (4,27%).
PengeluaranperkapitaperbulandiKalimantan
Tengah rata-rata sebesar Rp1.224.307 yang
terbagi antara makanan dan non-makanan
berturut-turut sebesar Rp632.493 (51,66%)
dan Rp591.814 (48,34%). Berdasarkan daerah
kota dan desa, rata-rata pengeluaran per
kapita di perkotaan Rp1.414.633/bulan dan di
perdesaan Rp1.104.915/bulan. Dari persentase
total pengeluaran per kapita per bulan, bagian
pengeluaran makanan lebih besar di perdesaan
daripada di perkotaan (46,67% perkotaan
dan 55,67% perdesaan). Sebaliknya, bagian
pengeluaran non makanan lebih besar di
perkotaan daripada di perdesaan (53,33% di
perkotaan dan 44,33% di perdesaan).
Di Provinsi Kalimantan Tengah, pengeluaran
per kapita per bulan untuk pangan beras sebesar
11,5% dari rata-rata pengeluaran makanan,
dan sebesar 5,9% dari rata-rata pengeluaran
makanan dan non-makanan. Pengeluaran
beras per kapita per bulan sebanyak 6,860 kg
(setara Rp73.111) dengan rincian di perkotaan
sebanyak 5,863 kg (Rp59.657) dan di perdesaan
sebanyak 7,486 kg (Rp81.551). Konsumsi beras
per kapita per bulan lebih banyak di perdesaan
daripada di perkotaan. Dari segi konsumsi
kalori, di Kalimantan Tengah rata-rata konsumsi
kalori per kapita sehari untuk padi-padian
sebanyak 859,11 kilokalori (kkal) atau 38,39%
dari total jumlah kkal yang dikonsumsi. Secara
keseluruhan di Kalimantan Tengah sebanyak
2.181,57 kkal yang dikonsumsi per kapita per
hari berasal dari berbagai jenis makanan seperti
padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur,
susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-
buahan, minyak dan kelapa, bahan minuman,
bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan
jadi dan minuman jadi. Angka kalori sebanyak itu
lebih besar dari patokan yang ditentukan.
Berdasarkan perhitungan garis kemiskinan
Rp413.529 bahwa pendapatan per kapita
per bulan sejumlah itu, seorang penduduk di
Kalimantan Tengah akan menggunakan seluruh
pendapatannya untuk kebutuhan makan per
hari sebesar Rp13.784. Uang sejumlah itu bagi
pendudukkelasmenengahbawahbisadigunakan
untuk satu porsi nasi kuning, satu porsi mie
instan dan segelas teh atau setara dengan 2.100
kalori untuk kebutuhan fisik minimum per orang
dewasa per hari. Berdasarkan rujukan garis
kemiskinan tersebut, sebesar 54,17% dari total
Berdasarkan perhitungan
garis kemiskinan Rp413.529
bahwa pendapatan per
kapita per bulan sejumlah
itu, seorang penduduk di
Kalimantan Tengah akan
menggunakan seluruh
pendapatannya untuk
kebutuhan makan per hari
sebesar Rp13.784.
“
36. 28
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Tengah
berada di Kabupaten Kotawaringin Barat,
Kotawaringin Timur, Kapuas, dan Seruyan (BPS
Kalteng 2018).3
Di kabupaten-kabupaten defisit
beras, seperti Kotawaringin Barat,
terdapat 4,27% penduduknya
tergolong miskin dan lebih
dari setengah penduduk
miskin bukan orang
yang bekerja di sektor
pertanian, sehingga
dapat dipastikan harus
mengakses makanan
dengan membeli. Kondisi
yang sama juga terdapat
di Kabupaten Gunung Mas
yang penduduknya masih
harus menggunakan 64,73%
daripendapatanuntukbiayamakan,
karena lebih dari setengah dari penduduk
miskin tidak bekerja di sektor pertanian. Oleh
sebab itu, angka kemiskinan di Gunung Mas
sedikit lebih tinggi dari Kotawaringin Barat,
yaitu 5,10%. Sementara itu, di Barito Timur yang
angka surplus berasnya hampir defisit, angka
kemiskinan justru meningkat dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya, dan paling tinggi
diantara tiga kabupaten ini, yaitu 6,56%. Dari
gambaran ketiga kabupaten yang rawan dalam
persediaan beras, kemiskinan penduduknya
terancam semakin parah, karena 2/3 dari
pendapatan penduduk sudah dihabiskan hanya
untuk makan.
3
BPS Kalteng. 2018. Potret Kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah 2018.
37. 29
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Lahan gambut sisa terbakar tahun 2015, terletak di eks PLG
Sejuta Hektar Kalteng.
Foto: Ridzki R. Sigit
Sumber : www.mongabay.co.id
Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa
yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan
yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan
sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber
daya lokal.
Pasal 1 ayat 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
38. 30
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
PERMINTAAN DAN PASOKAN BERAS
SULAWESI SELATAN
8.771.070 Jiwa
Jumlah Penduduk
PERMINTAAN BERAS
Konsumsi Beras
1.006.144,96 Ton/tahun
Rata-rata konsumsi setiap penduduk
114,7 kg/kapita/tahun atau 0,1147 ton/
kapita/tahun
PASOKAN BERAS
Luas Panen
1.155.702 Ha
Produksi GKG
5.804.947 ton/tahun
setara Beras 3.313.944 Ton/Tahun
dengan nilai konversi GKP ke
Beras rata - rata 57,09%
=
KATEGORI
DEFISIT
< 0,0860 - 0,1146 Ton Kapita/Tahun
CUKUP
0,1147 - 0,1434 Ton Kapita/Tahun
SURPLUS
0,1435 - di atas 0,1721 Ton Kapita/Tahun
KETERSEDIAAN BERAS KABUPATEN/KOTA
1. Kep Selayar
2. Makasar (Kota)
3. Pare - Pare (Kota)
4. Palopo (Kota)
1. Bulukumba
2. Bantaeng
3. Jeneponto
4. Takalar
5. Gowa
6. Sinjai
7. Maros
8. Pangkep
9. Barru
10. Bone
Grafik Pasokan Beras di Sulawesi
Selatan Tahun 2018
Perorang/Ton/Kapita/Tahun
2018
0.0003
0.2979
0.2805
0.3985
0.2684
0.2175
0.2929
0.3633
0.2344
0.4688
0.7716
0.7192
1.2464
0.9555
0.8805
0.1637
0.4611
0.2281
0.2876
0.3707
0.2574
0.0052
0.0307
0.0707
0.3778
Kep.Selayar
Bulukumba
Bantaeng
Janeponto
Takalar
Gowa
Sinjai
Maros
Pangkep
Barru
Bone
Soppeng
Wajo
Sidrap
Pinrang
Enrekang
Luwu
TanaToraja
LuwuUtara
LuwuTimur
TorajaUtara
Makasar/Kota
ParePare/Kota
Palopo/Kota
SulawesiSelatan11. Soppeng
12. Wajo
13. Sidrap
14. Pinrang
15. Enrekang
16. Luwu
17. Tana Toraja
18. Luwu Utara
19. Luwu Timur
20. Toraja Utara
39. 31
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN
SULAWESI SELATAN 2018
Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian
1.015.232 RTUP
596.427 RTUP yang
mengusahakan tanaman padi.
Penggunaan Lahan
985.088 RTUP
Terdapat kenaikan rumah tangga petani
gurem dari sebanyak 7,78 % dari
338.108 (2013) menjadi 364.426
(2018)
Penguasaan Lahan
Rata - Rata 23.156,57 m2
tahun 2013 yang rata-rata seluas
30.980,60 m2
, Terdapat sebanyak
341.933 RTUP penguasaan lahan
pertanian sebesar Luas < 0,50 Ha
TINGKAT KESEJAHTERAAN
Nilai Tukar Petani
Rata - Rata NTP Sub Sektor
Tanaman Pangan 99.45
dari Januari - Desember 2018
It atau Indeks harga yang diterima
petani rata - rata 134,99 lebih
kecil dengan rata - rata lb atau
indeks harga yang dibayar petani
yang nilainya 135,74
Rp
Penduduk Golongan Miskin
792,64 ribu Jiwa
Pekerjaan Golongan Miskin :
45,08% Tidak Bekerja
20,32% Bukan Pertanian
34,60% Pertanian
40. 32
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Provinsi Sulawesi Selatan
Gambar 5. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2019 Kementerian Pertanian
Sulawesi Selatan sebagai salah satu lumbung
pangan nasional sejak berdekade lalu tentu saja
harus memiliki status tahan pangan dan memiliki
surplus untuk distribusi nasional, sebagaimana
digambarkan pada peta ketahananan dan
kerentanan pangan di atas (Kementerian
Pertanian 2019). Namun demikian, dengan
analisis Pasokan-Permintaan ditemukan kondisi
defisit di satu kabupaten kepulauan dan
beberapa kota. Telaah lebih lanjut mengenai
wilayah-wilayah defisit ini menunjukkan kondisi
ibarat tikus mati di lumbung beras, karena
kondisi defisit beras tersebut diiringi pula oleh
defisit kesejahteraan. Selain itu, analisis terhadap
kondisi petani dan penguasaan lahan pertanian
juga menunjukkan kecenderungan pada
penurunan kesejahteraan petani yang ditandai
oleh peningkatan jumlah petani gurem dan NTP
yang sangat fluktuatif di Sulawesi Selatan.
1. Pasokan-Permintaan Pangan
Sulawesi Selatan memiliki luas panen
pada tahun 2018 seluas 1.155.702 ha dan
menghasilkan 5.804.976 ton GKG (dengan rata-
rata tingkat produktivitas 5.02 ton/ha) atau
setara beras 3.313.944 ton. Jumlah produksi
beras tersebut mampu menyediakan beras untuk
setiap penduduk di tahun 2018 yang berjumlah
8.771.070 jiwa sebanyak 377,8 kg/kapita/
tahun. Jumlah ini 3 kali lebih besar dari rata-
rata konsumsi beras setiap penduduknya dalam
satu tahun. Oleh sebab itu, Sulawesi Selatan
dapat menjadi sumber pasokan beras secara
nasional. Hal ini juga ditandai oleh konsistennya
produktivitas lahan produksi padi di 24 provinsi
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, karena
hanya satu wilayah kabupaten mengalami defisit
produksi beras yaitu Kabupaten Kepulauan
41. 33
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Selayar. Bisa dipahami jika semua wilayah
administrasi kota mengalami defisit produksi
beras, tentunya karena tidak lagi memiliki lahan
sawah untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.
Sawah yang ada di Sulawesi Selatan (Sulsel)
dibagi menjadi dua berdasarkan jenisnya,
yaitu sawah tadah hujan dan sawah irigasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka walaupun
luas lahan sawah di Sulsel mencapai 663.254
ha, namun luas sawah panen di Sulsel mencapai
995.335 ha per tahun. Kemudian dari luas
lahan sawah yang ada saat ini, baik sawah baku
maupun sawah panen, produksi beras di Provinsi
Sulawesi Selatan mencapai 5.292.151 ton per
Kabupaten/ Kota
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)*
Permintaan (Permintaan) Pasokan (Ketersedian)
KeteranganKonsumsi
Beras Per
orang/ kap/
tahun (ton)**
Kebutuhan
beras (ton)
Luas
Panen
(Ha)*
Produksi
GKG
(Ton)*
Produkti-
vitas (Ton/
ha)
Produksi Padi
Setara Beras
(Ton)*
Pasokan
Beras
(Ton)
Nilai Kon-
versi GKG
ke Beras
(%)
Kep. Selayar 134.280 0,1147 15.401,92 15 69 4,60 40 0,0003 57,97 defisit
Bulukumba 418.326 0,1147 47.981,99 43.121 218.259 5,06 124.602 0,2979 57,09 surplus
Bantaeng 186.612 0,1147 21.404,40 18.043 91.688 5,08 52.341 0,2805 57,09 surplus
Jeneponto 361.793 0,1147 41.497,66 45.365 252.519 5,57 144.158 0,3985 57,09 surplus
Takalar 295.892 0,1147 33.938,81 32.707 139.125 4,25 79.423 0,2684 57,09 surplus
Gowa 760.607 0,1147 87.241,62 56.752 289.731 5,11 165.401 0,2175 57,09 surplus
Sinjai 242.672 0,1147 27.834,48 25.238 124.494 4,93 71.071 0,2929 57,09 surplus
Maros 349.822 0,1147 40.124,58 47.940 222.640 4,64 127.102 0,3633 57,09 surplus
Pangkep 332.674 0,1147 38.157,71 31.013 136.567 4,40 77.963 0,2344 57,09 surplus
Barru 173.623 0,1147 19.914,56 26.461 142.591 5,39 81.402 0,4688 57,09 surplus
Bone 754.894 0,1147 86.586,34 211.851 1.020.365 4,82 582.507 0,7716 57,09 surplus
Soppeng 226.770 0,1147 26.010,52 53.365 285.687 5,35 163.093 0,7192 57,09 surplus
Wajo 396.810 0,1147 45.514,11 187.657 866.344 4,62 494.579 1,2464 57,09 surplus
Sidrap 299.123 0,1147 34.309,41 85.787 500.650 5,84 285.808 0,9555 57,09 surplus
Pinrang 374.583 0,1147 42.964,67 96.809 577.741 5,97 329.821 0,8805 57,09 surplus
Enrekang 204.827 0,1147 23.493,66 11.263 58.745 5,22 33.537 0,1637 57,09 surplus
Luwu 359.209 0,1147 41.201,27 59.157 290.122 4,90 165.625 0,4611 57,09 surplus
Tana Toraja 232.821 0,1147 26.704,57 21.218 93.007 4,38 53.096 0,2281 57,09 surplus
Luwu Utara 310.470 0,1147 35.610,91 32.781 156.392 4,77 89.281 0,2876 57,09 surplus
Luwu Timur 293.822 0,1147 33.701,38 35.710 190.793 5,34 108.919 0,3707 57,09 surplus
Toraja Utara 229.798 0,1147 26.357,83 25.704 103.600 4,03 59.144 0,2574 57,09 surplus
Makassar/Kota 1.508.154 0,1147 172.985,26 2.844 13.734 4,83 7.841 0,0052 57,09 defisit
Parepare/Kota 143.710 0,1147 16.483,54 1.342 7.737 5,77 4.417 0,0307 57,09 defisit
Palopo/Kota 180.678 0,1147 20.723,77 3.559 22.376 6,29 12.773 0,0707 57,09 defisit
Sulawesi Selatan 8.771.970 0,1147 1.006.144,96 1.155.702 5804.976 5,02 3.313.944 0,3778 57,09 surplus
tahun. Artinya, rata-rata produksi beras di Sulsel
setiap hektare mencapai 7,98 ton per tahun, di
mana Kabupaten Bone, Wajo dan Pinrang masih
berada di posisi atas sebagai daerah produsen
pangan terbesar di Sulawesi Selatan.
Sementara daerah yang paling kecil
memproduksi pangan yakni Kota Parepare, Kota
Makassar dan Kabupaten Kepulauan Selayar.
Sempitnya luas panen di Kabupaten Kepulauan
Selayar berdampak pada tingginya nilai defisit
produksi beras yang mencapai 99,74%. Agar
mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras,
maka dibutuhkan luas panen 5.777,72 ha atau
385 kali dari luas panen pada tahun 2018. Jika
Sumber : * Provinsi Sulawesi Selatan Dalam Angka 2019 (BPS).
** Statistik Ketahanan Pangan 2014-2018 (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian)
Tabel 3. Analisis Pasokan-Permintaan Produksi Beras di Sulawesi Selatan 2018
42. 34
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
dilihat dari penggunaan lahan, sebesar 20,13%
wilayah Kepulauan Selayar masih berupa
kawasan hutan dan di sisi lain sebesar 31,01%
sudah dalam bentuk IUP. Sementara untuk
kabupaten yang dinyatakan surplus diantaranya
Kabupaten Enrekang, namun surplus di Enrekang
sangat berpotensi untuk menjadi defisit karena
surplusnya dibawah 50% atau hanya 42,72%.
Indekspenanamanyanghanya1,054
sertatingkat
produktivitas tanaman padi di Enrekang juga
dibawah rata-rata produktivitas tanaman padi
di Provinsi Sulsel, dan juga yang harus menjadi
catatan bahwa 63.76% wilayah Enrekang berada
pada kawasan hutan serta 7,38% sudah berupa
IUP (lihat Tabel 15 pada bab selanjutnya).
4
Indeks Penanaman (IP) adalah rata-rata masa tanam dalam satu tahun,
rumusnya; Luas Tanam dalam satu tahun/Luas Baku Sawah (Data luas baku Sawah
berdasarkan penggunaan lahan yang terdapat di RTRW Provinsi Sulteng tahun
2017)
Gambar 7. Peta Kerawanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan
Jika dilihat dari besaran konsumsi beras, Kota
Makassar merupakan daerah dengan kebutuhan
beras terbesar mengacu pada jumlah penduduk
1.508.154 jiwa. Pada tahun 2018 kebutuhan
konsumsi beras mencapai 172.985,26 ton/tahun,
sehingga diperlukan luas panen 62.743,28 ha
untuk memproduksi target kebutuhan tersebut.
Namun dengan kondisi luas panen 2.844 ha
saja, produksi padi setara beras mencapai 7.841
ton. Konsekuensinya, kemampuan memasok
kebutuhan beras setiap penduduknya 5,199 kg/
tahun. Berdasarkan data yang diperoleh SLPP
Makassar, setiap tahun sawah-sawah yang
masih tersisa di Kota Makassar hanya mampu
memproduksi beras sekitar 12.490 ton per
tahun. Sementara kebutuhan beras warga Kota
Makassar mencapai 164.940 ton per tahun.
Bila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi
beras Provinsi Sulawesi Selatan, maka defisitnya
sebesar 95,47%. Maka untuk menutupi selisih
kebutuhan beras, harus diperoleh dari berbagai
daerah lainnya. Kondisi ini tentu saja membuat
harga beras di Kota Makassar mengalami kenaikan.
43. 35
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Selain Kota Makassar dan Parepare, Kota
Palopo merupakan kota yang memiliki luas
lahan panen lebih luas atau 45,95% dari luas
keseluruhan luas lahan panen untuk wilayah
administrasi kota. Walaupun dengan jumlah
penduduk yang lebih besar dibandingkan
dengan Kota Parepare namun tingkat defisit
beras di Kota Palopo sebesar 38,37%, lebih
kecil dibandingkan dengan Parepare yang
tingkat defisitnya 73,20%. Di Kota Palopo luas
lahan sawah hanya 7,23% dari luas wilayah
administrasi, dan kondisi ini berbanding terbalik
dengan area konsensi di Kota Palopo seluas
43,58%, yang didominasi 95,07% berupa IUP
(lihat Tabel 15 pada bab selanjutnya).
Dari sisi pasokan, harga gabah di Sulawesi
Selatan terbilang rendah. Satu kilogram gabah
dijual oleh petani antara Rp3.500 sampai
Rp4.000. Kebanyakan pengusaha beras
sekaligus pengumpul gabah di Sulsel berada
di Kabupaten Bone, Wajo, Sidrap, Pirang
dan Parepare. Namun ada juga gabah petani
yang dibeli oleh Bulog namun tidak sebesar
pengumpul. Setelah semua gabah petani terbeli
dan terkumpul di gudang pengumpul, para
pengusaha/pedagang kemudian menjual beras
tersebut ke berbagai daerah di Sulsel hingga ke
berbagai provinsi di Indonesia.
Menurut informasi yang kami peroleh,
pengusaha beras di Sulsel telah memiliki relasi
bisnis dengan pengusaha di daerah lain seperti
Ambon dan Surabaya, maupun di provinsi lain
sepertidiSulawesiTenggara,KalimantanSelatan,
NTT, hingga Papua. Selain itu, pemerintah
provinsi Sulawesi Selatan juga memiliki badan
usaha milik daerah atau perusahaan daerah yang
bergerak di sektor pangan. Perusahaan daerah
ini juga menghimpun dan membeli beras petani
di desa-desa di Sulsel. Setelah itu, mereka jual
beras-beras tersebut ke Perusahaan Daerah
milik pemerintah provinsi lain seperti DKI
Jakarta, dan Pemerintah Daerah Sorong Papua.
2. Petani dan Lahan Pertanian
Jumlah petani di Sulawesi Selatan sebanyak
1.161.692 orang yang terdiri atas laki-laki
960.774 orang dan perempuan 200.918 orang.
Keberadaan petani di Sulawesi Selatan itu
menyumbang 3,46% terhadap jumlah petani
di Indonesia. Dari sebanyak 1.015.232 RTUP
di Sulawesi Selatan, terdapat 596.427 RTUP
yang mengusahakan di subsektor tanaman
pangan padi, dan sebanyak 288.877 RTUP di
subsektor tanaman pangan palawija. Jumlah
RTUP yang lain berada di subsektor hortikultura,
perkebunan, peternakan (ternak pangan dan
ternak non-pangan), perikanan (budidaya ikan
dan penangkapan ikan), kehutanan (budidaya
tanaman kehutanan dan kehutanan lainnya) dan
jasa penunjang pertanian. Dari 1.015.232 RTUP
itu pula, terdapat 484.911 RTUP atau 47,76% yang
usaha utamanya adalah tanaman pangan padi.
Dari usaha utama itu, sebanyak 387.054 RTUP
atau 79,81% yang mengandalkan sebagai sumber
penghasilan utama dari subsektor tanaman
pangan padi, dan selebihnya, sebanyak 97.857
RTUP atau 20,19% yang tidak mengandalkan
subsektor tanaman pangan padi sebagai sumber
penghasilan utama.
Di Sulawesi Selatan pada tahun 2018 terdapat
1.015.232 RTUP, yang pengguna lahan sebanyak
Dari sisi pasokan, harga gabah
di Sulawesi Selatan terbilang
rendah. Satu kilogram gabah
dijual oleh petani antara
Rp3.500 sampai Rp4.000.
Kebanyakan pengusaha beras
sekaligus pengumpul gabah
di Sulsel berada di Kabupaten
Bone, Wajo, Sidrap, Pirang
dan Parepare. Namun ada juga
gabah petani yang dibeli oleh
Bulog namun tidak sebesar
pengumpul.
“
44. 36
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
985.088 dan lainnya bukan pengguna lahan.
RTUP pengguna lahan tahun 2018 naik 3.67%
menjadi 950.241 dari tahun 2013. Peningkatan
itu diikuti oleh kenaikan jumlah rumah tangga
petani gurem sebesar 7,78 % sehingga dari
jumlah 338.108 (2013) naik menjadi 364.426
(2018). Kenaikan jumlah petani gurem ini
seringkali diikuti dengan penurunan luas lahan.
Pada tahun 2018, luas lahan (pertanian dan non-
pertanian) yang dikuasai RTUP rata-rata seluas
23.156,57 m2.
Jumlah ini lebih kecil daripada
tahun 2013 yang rata-rata seluas 30.980,60 m2
.
Untuk lahan pertanian saja, pada tahun 2018
3. Tingkat Kesejahteraan
3.1. Nilai Tukar Petani (NTP)
Rata-rata NTP Gabungan (tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan rakyat, pertenakan,
perikanan, perikanan tangkap dan perikanan
budidaya) di tahun 2018 besarannya 102,96 lebih
tinggi 1,43% dibandingkan rata-rata NTP tahun
2017 yang nilai rata-ratanya 100,85. Tingginya
nilai NTP gabungan ditopang oleh tingginya 3
(tiga) subsektor peternakan, hortikultura dan
perikanan budidaya, sedangkan untuk NTP
terendah ada di subsektor perkebunan rakyat
yang nilainya 96,16% berikutnya ada di subsektor
tanaman pangan nilainya masih dibawah 100,
yaitu 99,45%, dimana indeks yang dibayar petani
untuk konsumsi rumah tangga serta BBPBM
(Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal)
yang nilainya 135,74% lebih besar 0,75% jika
dibandingkan dengan nilai Indeks yang diterima
petani (IT) dari kelompok tanaman padi dan
palawija yang nilainya sebesar 134,99%.
NTP subsektor tanaman pangan (NTPP)
sepanjang tahun 2018 cenderung fluktuatif
setiap bulannya. Hal ini menunjukkan bahwa
secara umum NTPP sangat rentan terhadap laju
pertumbuhan barang dan jasa di pasaran. Pada
semester pertama (Januari-Juni) 2018 rata-rata
NTPP 98,95 dengan rata-rata pertumbuhan
negatif 0,23. Penurunan signifikan terjadi pada 4
(empat) bulan berturut-turut dari bulan Febuari
hingga bulan Mei dari -97%, -0,61%, -0,72%,
-0,95%. Tingginya penurunan indeks NTPP pada
bulan Febuari diakibatkan oleh turunnya indeks
yang diterima petani (IT) -0,22. Penurunan
signifikan terjadi pada kelompok tanaman
palawija hingga -1.55% dan untuk kelompok
tanamanpadihanyanaik0,44%.Sedangkanpada
lB (indeks yang dibayar petani) terjadi kenaikan
hingga 1,21%, pada kelompok pengeluaran
Konsumsi Rumah Tangga. Pengeluaran terbesar
ada pada pengeluaran bahan makanan yang
nilainya mencapai 150,16 dan pada kelompok
BPPBM (Biaya Produksi dan Penambahan
RTUP menguasai rata-rata seluas 20.363,61 m2
(sawah 2.227,00 m2
dan non-sawah 18.136,61 m2
)
sedangkan pada tahun 2013 seluas 30.202,03
m2
(sawah 2.524,13 m2
dan non-sawah 27.677,9
m2
). Berdasarkan kategori penguasaan lahan
pertanian (ha) di Sulawesi Selatan, maka
sebarannya sebagai berikut: (1) Luas < 0,50
sebanyak 341.933; (2) Luas 0,50-0,99 sebanyak
234.043; (3) Luas 1,00-1,99 sebanyak 230.101;
(4) Luas 2,00-2,99 sebanyak 83.238; (5) Luas
3,00-3,99 sebanyak 31.430; (6) Luas 4,00-4,99
sebanyak 13.760; (7) Luas 5,00-9,99 sebanyak
14.946; dan (8) Luas ≥ 10,00 sebanyak 2.368.
Kategori luas < 0,50 ha sebesar 35,92% RTUP
dan ≥ 10,00 ha sebanyak 0,25% RTUP.
Kenaikan jumlah petani
gurem seringkali diikuti
dengan penurunan luas
lahan.
“
45. 37
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Barang & Modal) pengeluaran terbesar ada
pada transportasi yang nilainya 134,58 dan pada
semester kedua (Juli-Desember) rata-rata NTPP
sebesar 116,48. Apabila dibandingkan dengan
semester I, tingkat kesejahteraan petani pada
semester I lebih rendah daripada kondisinya di
semester ke II.
101.52
101.01
101.33
101.91
103.31
103.14
102.15
101.97
102.08
102.3
103.32
103.31
112.36
112.39
112.68
113.14
114.72 115.02 114.4
114.11 113.77 113.59
114.57 114.56
124
126
128
130
132
134
136
138
140
90
95
100
105
110
115
120
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES
Indeks Harga yg Diterima Petani (It) Indeks Harga yg DibayarPetani (Ib) NTP NTUP
100.79
99.82
99.21
98.49
97.54
97.82
97.53
97.97
98.98
100.68
102.31
102.25
109.83
109.21
108.66
107.66
106.76
107.6
107.72 108.17
108.77
110.17
111.94 111.79
126
128
130
132
134
136
138
140
142
90
95
100
105
110
115
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES
Indeks Harga yg Diterima Petani (lt) Indeks Harga Yg Dibayar Petani (lb) NTP NTUP
Diagram 5. Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Usaha Petani
Sulawesi Selatan 2018
Diagram 6 NTP dan NTUP Sub Sektor Tanaman Pangan
Sulawesi Selatan 2018
Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Sulawesi Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani
Provinsi Sulawesi Selatan 2018
Sumber Badan Pusat Statitik (BPS) Sulawesi Selatan. 2019. Nilai Tukar Petani
Provinsi Sulawesi Selatan 2018
Dengan demikian, sebagaimana digambarkan
pada Diagram 5 dan 6, sepanjang tahun
2018, petani tanaman pangan di Sulawesi
Selatan mengalami tingkat kesejahteraan yang
fluktuatif dan diombang-ambingkan oleh harga
kebutuhan harian dan modal produksi yang
harus dipenuhinya.
Salah satu aspek yang menyumbang
pada volatilitas pendapatan petani tanaman
pangan adalah rantai pasok yang panjang.
Dari wawancara dengan petani padi di wilayah
yang paling besar memproduksi pangan beras
mengenai jalur distribusi pangan di Sulawesi
Selatan, hampir semua menjelaskan bahwa hasil
produksi petani rata-rata dijual ke pengumpul. Di
lain tempat, terkhusus bagi petani sawah tadah
hujan, kebanyakan dari mereka tidak menjual
hasil panen mereka. Mereka menyimpannya
untuk stok pangan keluarga.
3.2. Kemiskinan, Konsumsi dan Kalori
Golongan miskin di Sulawesi Selatan pada
tahun 2018 berjumlah 792,64 ribu orang (9,06%)
dengan garis kemiskinan Rp306.545 (Bln/Kap).
Kemiskinan di perkotaan sebesar Rp314.549,
sedangkan di perdesaan sebesar Rp299.917.
Pekerjaan golongan miskin ini berasal dari
tidak bekerja 45,08%, bukan pertanian 20,32%
dan pertanian 34,60%. Pengeluaran per kapita
sebulan di Sulawesi Selatan rata-rata sebesar
Rp1.016.244 yang terbagi dalam makanan
(Rp495.465) dan non-makanan (Rp520.779).
Berdasarkan daerah kota dan desa, pengeluaran
per kapita per bulan lebih tinggi di perkotaan
(Rp1.305.899) daripada di perdesaan (809.343).
Bila digambarkan dalam persentase pengeluaran
untuk makanan dan non makanan, maka di
perkotaan sebesar 45,46% makanan dan 54,54%
non makanan, dan di perdesaan sebesar 52,55%
makanan dan 47,45% non makanan. Pengeluaran
di perdesaan rata-rata lebih banyak digunakan
untuk makanan sedangkan penggunaan di
perkotaan lebih besar untuk non-makanan.
Pengeluaran per kapita per bulan untuk
pangan beras rata-rata sebesar 7,680 kg yang
setara nilai Rp58.780. Di Sulawesi Selatan total
pengeluaran beras sebesar 11,8% dari total
pengeluaran makanan, dan sebesar 5,7% dari
total pengeluaran makanan dan non makanan.
Dari konsumsi pangan padi tersebut, rata-rata
konsumsi per kapita sehari dari padi-padian
sebesar 993,34 kilokalori (kkal). Bila diperinci
berdasarkan kelompok padi-padian tersebut,
pada tingkat nasional konsumsi kalori per kapita
sehari untuk beras sebanyak 800,22 kkal, beras
ketan 2,52 kkal, dan padi-padian lainnya 0,91
46. 38
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
kkal. Di Sulawesi
Selatan rata-rata
konsumsi kalori per
kapitaseharisebanyak
2.183,61 kkal. Kalori
tersebut tidak hanya
berasal dari beras
atau padi-padian
tapi juga dari jenis
pangan lainnya. Tentu
saja sumber kalori
terbesar masih berasal
dari padi-padian
(45,49%) termasuk
beras dibandingkan
dari sumber pangan
lainnya.
Di Sulawesi
Selatan kabupaten
dengan tingkat
kemiskinan yang
menempati 7 teratas sebagai berikut: Jeneponto
(15,48%), Pangkep (15,10%), Luwu Utara
(13,69%), Toraja Utara (13,37%), Luwu (13,36%),
Kepulauan Selayar (13,13%), dan Enrekang
(12,49%). Kabupaten/Kota yang mengalami
defisit di Sulawesi Selatan meliputi Kepulauan
Selayar, Kota Makassar, Kota Parepare, dan
Kota Palopo. Sebagai kabupaten yang terhitung
rawan pasokan beras, Kepulauan Selayar
memiliki angka kemiskinan 13%, dan berada
di atas rata-rata provinsi (9,38%). Artinya,
ada 13% penduduk di Kepulauan Selayar yang
pendapatannya Rp306.545 atau kurang, yang
sebagian besar atau semua pendapatannya
dihabiskan untuk kebutuhan kalori minimum
per hari. Dari persentase penduduk miskin ini,
di Kepulauan Selayar 45% tidak bekerja dan
30,50% bekerja di pertanian. Di Kota Makassar
dan Kota Parepare kemiskinan sebanyak 4,41% dan
5,59%. Di dua kota tersebut jumlah golongan miskin
berdasarkan pekerjaan disumbangkan oleh tidak
bekerja (Kota Makassar 52,94% dan Kota Parepare
53,01%) bukan pertanian (Kota Makassar 2,33%
dan Kota Parepare 0,28%) dan pertanian (Kota
Makassar 44,73% dan
Kota Parepare 46,71%).
Dengan tingkat
kemiskinan demikian,
akan semakin
rawan kondisi akses
terhadap pangan bagi
masyarakat miskin
di kabupaten/kota
karena mereka yang
miskin dan tidak
bekerjaakanmengarah
kepada kondisi
kelaparan kronis, jika
tidak ditanggulangi.
Sementara itu,
distribusi pangan ke
wilayah kota, seperti
Makassar, lebih
banyak diperankan
oleh pedagang/
pengusaha lokal. Pengusaha tersebut membeli
beras di pengumpul yang tersebar di beberapa
kabupaten, lalu menjualnya ke pedagang pasar,
maupun ke usaha-usaha lain seperti rumah
makan dan hotel. Maka sudah dipastikan bahwa
harga beras di Kota Makassar naik 25 % dari
harga jual di kabupaten.
Dengan demikian, berdasarkan informasi dan
penelusuran yang dilakukan oleh SLPP Makassar
sejak Maret-Mei 2020, memperlihatkan bahwa
lebih dari 60 persen hasil produksi beras Sulsel
didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat di provinsi lain, baik di
Pulau Sulawesi maupun di luar Pulau Sulawesi.
Berdasarkan sejumlah informasi tersebut, para
pengusaha/pengumpul beras lah yang paling
banyak mendapatkan keuntungan dari produski
beras di Sulawesi Selatan. Padahal, di daerah-
daerah penghasil beras telah terjadi kenaikan
proporsi petani gurem, serta NTP yang sangat
fluktuatif sebelum pandemi, yang menandakan
bahwa kondisi kesejahteraan petani di Sulawesi
Selatan semakin mengarah pada penurunan,
meskipun berada di lumbung padi nasional
Berdasarkan informasi dan penelusuran
yang dilakukan oleh SLPP Makassar
sejak Maret-Mei 2020, memperlihatkan
bahwa lebih dari 60 persen hasil
produksi beras Sulsel didistribusikan
untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat di provinsi lain, baik di
Pulau Sulawesi maupun di luar Pulau
Sulawesi. Berdasarkan sejumlah
informasi tersebut, para pengusaha/
pengumpul beras lah yang paling banyak
mendapatkan keuntungan dari produksi
beras di Sulawesi Selatan.
“
47. 39
Kondisi Pangan di Tiga Provinsi Pulau-Pulau Besar
Proses penjemuran gabah di Desa Simbang
Kabupaten Maros.
Doc SLPP Makasar
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen
dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas
Konsiderans Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
48. 40
Konsesi Mencaplok Sawah, Food Estate Mematikan Petani
Bab
Empat
Konversi Lahan Pertanian,
Tumpang-Tindih Konsesi
dan
Kerawanan Pangan.
D
alam perspektif kedaulatan pangan, untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi per kapita/tahun secara mandiri baik di tingkat provinsi
maupun di tingkat kabupaten/kota, maka target produksi harus
tercapai sesuai dengan kebutuhan jumlah konsumsi penduduk.
Bahkan jika memungkinkan produksi digenjot melebihi target dan batas
kebutuhan konsumsi penduduk dalam kerangka menjaga harga pangan
stabil dan pasokan pangan aman dalam periode waktu tertentu. Pencapaian
target produksi tersebut harus didukung di antaranya oleh luas lahan sawah
yang memadai untuk menghasilkan produksi pangan beras.
Bab ini akan memberi gambaran bahwa kondisi lahan sawah di beberapa
kabupaten/kota di tiga provinsi menghadapi ancaman baik potensial maupun
nyata dalam penyusutan luas lahan sawah. Ancaman itu di antaranya
dengan merebaknya sebaran perizinan untuk pertanian non-pangan dan
non-pertanian khususnya di lokasi lahan untuk pangan. Kondisi lahan sawah
yang tetap dan produksi yang stagnan juga berpotensi menemui ancaman
di masa depan dengan peningkatan jumlah penduduk secara eksponensial.
Melihat gejala dari kondisi di atas beserta dinamika yang menyertainya,
maka kerawanan pangan diprediksi menjadi ancaman baik jangka pendek
maupun jangka panjang.
49. 41
Konversi Lahan Pertanian, Tumpang-Tindih Konsesi dan Kerawanan Pangan
Provinsi Sumatera Selatan
1. Konversi Lahan Sawah dan
Kehilangan Produksi Beras
Pada tahun 2015 luas baku sawah di Sumatera
Selatan sebesar 774.502 ha (8,88%) yang
kemudian menyusut menjadi 470,739 ha (5,40%)
pada tahun 2020. Luas penyusutan lahan baku
sawah selama 5 tahun mencapai 303.763 ha
dengan rata-rata tingkat penyusutan per tahun
sebesar 60.753 ha (Tabel 4). Konsekuensi dari
penyusutan lahan seluas 303.763 ha tersebut
terdapat kehilangan 769.178,32 ton beras
dengan produktivitas 5,174 ton/ha atau rata-
rata kehilangan 208.678,70 ton beras per tahun
selama lima tahun (2015-2020) sebagaimana
ditampilkan pada Tabel 5. Luas lahan baku
sawah terluas terletak di Banyuasin (29,25%
pada 2015 dan 35,81% pada 2020 dari total luas
baku sawah) disusul OKI (24,02% di tahun 2015
dan 21,38% di tahun 2020) dengan rata-rata
penyusutan masing-masing kabupaten itu seluas
11.589 ha/tahun dan 17.071 ha/tahun. Luas baku
sawah terkecil terletak di Prabumulih (0,09%
tahun 2015 dan 0,01% tahun 2020) disusul
Lubuk Linggau (0,24% tahun 2015 dan 0,26%
tahun 2020) dengan rata-rata penyusutan
masing-masing 127 ha/tahun dan 135 ha/tahun.
Dari segi proporsi luas baku sawah terhadap
luas administrasi kabupaten/kota, maka
diperoleh luas baku sawah terluas terdapat
di Ogan Komering Ilir atau OKI (28,26%) dan
Ogan Komering Ulu Timur atau OKU Timur
(25,09%) pada 2015. Pada 2020 terdapat sedikit
perubahan, luas baku sawah terluas di OKU
Timur (16,95%) dan Banyuasin (15,19%). Ogan
Komering Ilir mengalami penyusutan rata-rata
sebesar 7,467 ha/tahun, dan OKU Timur sebesar
5,555 ha/tahun selama lima tahun. Penyusutan
sawah yang lebih tinggi di OKI dibandingkan
OKU Timur kemungkinan menjadi penyebab
bergesernya peringkat tertinggi luas baku sawah
Sumsel dari OKI ke OKU Timur.
Luas baku sawah tersempit atas luas
administrasi terdapat di Musi Rawas Utara dan
Prabumulih dengan perbedaan tingkat pada
tahun yang berbeda, secara berurutan 1,22% dan
1,72% di tahun 2015 dan 0,38% dan 0,16% tahun
2020. Rata-rata penyusutan selama lima tahun
di Musi Rawas 977 ha/tahun dan Prabumulih
127 ha/tahun. Bila diurutkan berdasarkan
persentase luas baku sawah terluas terhadap
luas administrasi kabupaten tahun 2020, maka
diperoleh enam kabupaten, yaitu: Prabumulih
(0,16%), Musi Rawas Utara (0,38), OKU (1,08%),
OKU Selatan (1,65%), Musi Rawas (2,08%), dan
PALI (2,35%).
Kondisi lahan sawah di beberapa kabupaten/kota di tiga
provinsi menghadapi ancaman baik potensial maupun
nyata dalam penyusutan luas lahan sawah. Ancaman itu
di antaranya dengan merebaknya sebaran perizinan untuk
pertanian non-pangan dan non-pertanian khususnya di lokasi
lahan untuk pangan. Kondisi lahan sawah yang tetap dan
produksi yang stagnan juga berpotensi menemui ancaman
di masa depan dengan peningkatan jumlah penduduk secara
eksponensia
“