Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir saya pada semester genap di mata kuliah Perpajakan dan saya dari Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
1. ARTIKEL PENELITIAN
PENAGIHAN PIUTANG PAJAK DI MASA PANDEMI SEBAGAI UPAYA
MENAMBAH PENERIMAAN PAJAK
TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
Disusun untuk memenuhi tugas ujian akhir semester genap pada
mata kuliah Perpajakan
Oleh :
Nurul Ukhuwa Nadia
191600270
Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi & Bisnis
Universitas PGRI Adi Buana
2019/2020
2. PENAGIHAN PIUTANG PAJAK DI MASA PANDEMI SEBAGAI
UPAYA MENAMBAH PENERIMAAN PAJAK
Nurul Ukhuwa Nadia
Sarjana Akuntansi
Universitas PGRI Adi Buana
nadianurul375@gmail.com
Abstrak
Penagihan pajak termasuk dalam proses tindakan yang dilaksanakan terhadap
penanggung pajak agar membayar utang pajak serta biaya penagihan pajak. Dan
penanggung pajak adalah orang maupun badan yang memiliki tanggung jawab atas
pembayaran pajak. Sedangkan pejabat merupakan orang yang memiliki wewenang
untuk mengangkat serta memberhentikan juru sita pajak, dan juru sita pajak adalah
sebagai pelaksana tindakan penagihan pajak yang mencakup penagihan seketika &
sekaligus.
Kata Kunci : Pengertian, Penagihan Pajak
Abstract
Tax collection is included in the process of actions taken against the insurer in order
to pay tax debts as well as tax collection costs. And the tax insurer is the person or
entity that has responsibility for the payment of taxes. While the official is the person
who has the authority to appoint and dismiss the tax bailiff, and the tax bailiff is the
executor of tax collection actions that include instantaneous billing & at once.
Keywords : Definition, Tax Collection
3. Pendahuluan
Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi
baik Global maupun Nasional, untuk meminimalisir dampak ekonomi Covid-19
pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan. Salah satu kebijakan yang
dikeluarkan yaitu Pemberian insentif di sektor ekonomi kepada para wajib pajak,
beberapa insentif tersebut antara lain :
1. Pph pasal 21 pegawai dengan kriteria tertentu dengan Pph final wajib pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu menjadi ditanggung oleh pemerintah atau dtp.
2. Pembebasan Pph pasal 22 impor atas wajib pajak telah ditetapkan sebagai
perusahaan kemudahan impor tujuan ekspor, dan memiliki klasifikasi lapangan usaha
sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri Keuangan PMK Nomor
44/PMK.03/2020 dan PMK Nomor 86/PMK.03/2020 tentang insentif pajak untuk
wajib pajak terdampak pandemi Covid-19.
3. Pengurangan angsuran Pph pasal 25 sebesar 30% da angsuran yang seharusnya
terutang.
4. Pengambilan pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagai PKP berisiko
rendah dengan jumlah lebih bayar paling banyak 5 milyar Rupiah. Selain itu, insentif
juga diberikan dalam bentuk relaksasi waktu penyampaian SPT wajib badan dan
penghapusan sanksi administrasi denda Pasal 7 Kup terhadap wajib pajak orang
pribadi.
Berdasarkan pengalaman lapangan tentang insentif tersebut masih dianggap kurang,
karena insentif yang diberikan belum mencakup relaksasi terhadap penagihan.
Hal ini dianggap sebuah ketimpangan oleh wajib pajak. Berdasarkan ketentuan
perpajakan yang berlaku setidaknya ada dua relaksasi yang diberikanpemerintah
kepada penunggak pajak, antara lain :
1. Relaksasi jatuh tempo Ketetapan Pajak baik dalam bentuk Surat Ketetapan atau
SKP maupun surat tagihan pajak atau SKP, yang mana selama ini jatuh tempo
pembayaran dalam ketetapan adalah 30 hari sejak diterbitkannya. Maka berdasarkan
PMK bisa direlaksasi menjadi 60 hari atau sesuai dengan kebijakan pemangku
kepentingan.
2. Relasasi pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak dalam PMK Nomor
242/PMK.03/2014 tentang cara pembayaran dan penyetoran pajak diatur bahwa
pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak dapat diberikan paling lama dua
4. belas bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pengaturan atau penundaan
pembayaran pajak.
Selain memberikan relaksasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya , tata
cara pembayaran dan penyetoran pajak pemerintah juga memberikan relaksasi tindak
penagihan aktif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
tentang penagihan pajak dengan surat paksa sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 atau yang disebut dengan Undang-Undang
PPSP terdapat dua poin krusial :
1. Soal Pemberitahuan Surat Paksa Wajib Pajak yang sudah diberikan teguran
untuk melunasi utang pajaknya namun tidak kunjung melunasinya akan
diberikan surat paksa, dan dibayarkan paling lama dua kali 24 jam setelah
surat paksa diberitahukan. Jika tidak dilunasi menurut waktu yang telah
ditentukan maka ditindaklanjuti dengan penyitaan dan kondisi wabah seperti
ini, pemerintah memberikan relaksasi jangka waktu perusahaan pajak setelah
mendapatkan pemberitahuan bisa menjadi tujuh hari atau sesuai dengan kajian
pemerintah.
2. Relaksasi pengumuman lelang 14 hari setelah penyiksaan wajib pajak tidak
dapat melunasi utang pajaknya maka akan ditindak lanjutkan dengan
pengumuman calang. Ini dilakukan bertujuan agar negara bisa segera
mendapatkan pemasukan yang sudah lama tidak dibayarkan. Meski barang-
barang sitaan bisa dititipkan dan dipergunakan wajib pajak seperti biasa akan
tetapi pemberian relaksasi terhadap jangka waktu pengumuman lelang tentu
akan menjadi angin segar bagi paar wajib pajak.
Dengan relakasasi ini, tentu wajib pajak atau penanggung pajak akan memiliki
waktu bernafas lebih lama. Tindak penagihan represif yang diatur dalam
Undang-Undang PPSP tidak perlu diberikan relaksasi oleh pemerintah adalah
penyenderaan di mana penanggung pajak punyai utang sekurang-kurangnya
100 juta rupiah dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Maka negara harus bersikap tegas dan cepat mengambil Tindakan itikad yang
tidak baik dari wajib pajak akan sangat menganggu negara yang kondisi
keuangannya sedang tidak baik yang disebabkan oleh pandemic Covid-19 .
5. METODE
Pada penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Penelitian ini
menggambarkan suatu kejadian yang menjadi fenomena penelitian, kemudian
menjelaskan nya berdasarkan data yang telah ditemukan pada artikel di social media.
Dilihat dari latar belakang ilmiah maupun berita dari social media dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi pada keadaan diluar. Agar hasil penelitian juga
dapat ditafsirkan, maka perlu dilakukannya dengan teknik analisi dan dilakukan
dengan cara berfikir secara kritis untuk menanggapi berita tersebut supaya dapat
disajikan dalam artikel yang valid dan dapat dipercaya. penelitian ini menggambarkan
suatu kejadian yang menajdi fenomena penelitian, kemudian menjelaskan nya
berdasarkan data yang telah ditemukan pada artikel di social media
HASIL PEMBAHASAN
Adanya pandemi Covid-19 ini tentunya sangat merugikan bagi kalangan
masyarakat menengah maupun kalangan atas, dimana pekerjaan mereka terbatasi
karena kebijakan pemerintah saat ini dan banyak kegiatan ekonomi yang sampai harus
ditutup. Hal ini menyebabkan perekonomian menurun, sehingga masyarakat kesulitan
dalam pembayaran pajak.
Namun, pemerintah telah memberikan keputusan untuk menurunkan Pajak
Penghasilan (Pph) Badan dan Korporasi dari 25% menjadi 20%, dilakukan secara
bertahap melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu No.1/2020.
Dengan keputusan yang telah dibuat oleh pemerintah tersebut dengan tujuan agar para
pengusaha mampu bertahan selama pandemi Covid-19 ini berlangsung.
Dilihat dari Laporan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN),
menyatakan bahwa sepanjang dari bulan Januari hingga Desember 2020 penerimaan
pajak korporasi minus 37,8% (yoy). penurunan tersebut sudah terjadi selama tahun
2019 dan penerimaan mampu tumbuh positif meski hanya 0,15% (yoy).
Kementrian keuangan mencatat realisasi penerimaan Pph Badan pada tahun
2019 sebesar Rp. 256,74 triliun dan pada tahun 2020 jika dihitung dengan jumlah
defisit yang minus 37,8% maka kementrian keuangan mencatat penerimaan telah
mencapai sebesar Rp. 159,7 triliun.
6. Dalam upaya penagihan pajak, ada pejabat khusus yang menjabat sebagai
yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, pemerintah juga berencana untuk memungut pajak karbon yang
akan diberlakukan mulai 2022. Rencana tersebut sudah dirancang di dalam
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Kebijakan
tersebut akan memberikan efek domino kepada sektor usaha lainnya, selain tentunya
memperburuk iklim investasi, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kembali
pengenaan emisi karbon sebagai barang kena pajak.
Dalam rangka penerimaan pajak, Single Identity Number (SIN) memberikan
solusi konkret nya, karena SIN Pajak mampu menyediakan data wajib pajak yang
belum membayar kewajiban perpajakannya. Dengan begitu, penerimaan pajak dapat
bertambah dengan menggunakan konsep link and match SIN pajak, selanjutnya DJP
dapat memetakan sektor mana yang belum tersentuh pajak atau celah dalam
perpajakan. DJP menyatakan bahwa uang atau harta baik dari sumber legal maupun
ilegal selalu digunakan dalam tiga sektor, yaitu konsumi, investasi, dan tabungan.
Sektor-sektor tersebut harus wajib memberikan data dan interkoneksi dengan sistem
perpajakan. Yang artinya uang dari sumber legal maupun ilegal tersebut dapat
terekam secara utuh dalam SIN Pajak. Hal tersebut dapat menambah penerimaan
pajak negara .
Menteri Keuangan Indonesia (Sri Mulyani), mengakui bahwa masih
mengalami kontraksi dalam hal penerimaan pajak, hal tersebut diakui karena
Penerimaan Pajak baru mencapai Rp. 374,9 triliun pada April 2021, namun bisa
dikatakan masih membaik. Sebeleumnya, penerimaan pajak ini membaik dibandikan
pada Maret 2021 yang minus sebesar 5,6% jika dibandingkan pada April 2020 yang
minus 3%.
Penurunan penerimaan pajak juga berpengaruh karena dampak Covid-19
meskipun sudah mulai pulih tetapi penerimaan pajak hingga April 2021 menunjukan
perubahan arah, Menteri Keuangan Negara tersebut juga menyatakan bahwa ada
beberapa jenis pajak yang dinilai telah mengalami pemulihan seperti; Realisasi
Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan tumbuh sekitar 31,1%, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) mengalami kontraksi secara neto meskipun secara bruto
tumbuh sebesar 6,4%
7. PENUTUP
Kesimpulan; Berdasarkan uraian di atas tersebut adapat disimpulkan. Penurunan
Penerimaan Pajak disebabkan karena adanya pandemic Covid-19 sehingga wajib
pajak kesulitan dalam berbisnis maupun berdagang, hal tersebut berpengaruh pada
Penerimaan Pajak karena kondisi ekonomi saat ini yang masih belum stabil. Meski
begitu, Penagihan Pajak wajib menagih kepada wajib pajak agar keuangan negara
juga stabil. Dalam hal ini, pemerintah juga memberikan beberapa upaya kepada wajib
pajak. Seperti, menurunkan Pajak Penghasilan (Pph) Badan dan Korporasi dari 25%
menjadi 20%. Karena pandemic Covid-19 belum juga berlalu dan masih meluas dan
membuat dunia bisnis maupun usaha dalam kondisi rentan maka pemerintah
memberikan perpanjangan insentif pajak untuk membatu wajib pajak menghadapi
kondisi seperti ini sampai 30 Juni 2021, dan pemerintah juga menyiapkan alokasi
anggaran untuk program PEN sebesar Rp 627,96 triliun. Dan naik 8,3% dari realisasi
PEN 2020 sebesar Rp 579,7 triliun.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4599086/pemerintah-bakal-pungut-pajak-
karbon-mulai-2022-tepatkah
Gara-Gara Corona, Penerimaan Pajak Masih Terkontraksi 0,5 Persen pada April 2021
- Ekonomi Bisnis.com
Penerimaan Pajak | hestanto personal website
Pemerintah Turunkan PPh Badan Agar Pengusaha Bertahan Saat Pandemi - Makro
Katadata.co.id
Hore, Insentif Pajak untuk Karyawan Diperpanjang hingga Akhir 2021 - Bisnis
Liputan6.com
Pemberian Insentif Pembebasan PPh Pasal 22 Impor | Registered Tax Consultant
(konsultanpajaksurabaya.com)
https://kemenkeu.go.id/media/15054/faq-pmk-44-2020.pdf
https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2000_19.pdf