Hasil koding koran dan dokumen tentang kebebasan sipil
LANGKAH STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI
1. LANGKAH STRATEGIS DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
MENUJU INDONESIA MAJU TANPA KORUPSI
Oleh :
DR. Jogi Nainggolan, SH. MH
Ada satu ungkapan yang sangat bernilai akan tetapi terkesan sinis dari Jenderal
Besar Abdul Haris Nasution semasa hidupnya, berkata : bahwa musuh negara
yang paling ditakuti bukanlah PKI melainkan kemunafikan.
Ungkapan tersebut di atas ada benarnya dimasa itu, karena korupsi belum menjadi
perhatian pemerintah sekalipun UU No. 3 th 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi
sudah ada, akan tetapi penanganan korupsi di masa itu seperti gayung tidak
bersambut, dan korupsi tampaknya bukanlah barang haram, namun bila dimasa itu
kemunafikan merupakan musuh negara, maka sangatlah tepat bila saat ini musuh
negara yang paling berbahaya adalah korupsi yang didalamnya ada kemunafikan.
Mengapa ungkapan tersebut diawal-awal makalah ini, pemateri sampaikan agar
semua kita menyadari bahwa sehebat apapun konsep yang di keluarkan oleh
negara (institusi penegak hukum) dalam rangka memberantas korupsi, tidak akan
berarti jika kita tidak secara bersama-sama mengakui bahwa musuh negara yang
paling ditakuti saat ini adalah korupsi.
Power tends to corrupt (kekuasaan cenderung untuk berbuat korupsi) satu
ungkapan di dalam tataran ilmiah yang kaitannya dengan abuse of power atau
penyalahgunaan kekuasaan menjadi faktor utama terjadinya korupsi disamping
adanya faktor lain seperti nepotisme dan kolusi.
2. Jika abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan merupakan salah satu
penyebab terjadinya korupsi, dapat dianalogkan bahwa kekuasaan identik
dengan korupsi.
Sebenarnya korupsi dapat terjadi di semua lini birokrat (penyelenggara negara),
jika akal budi tidak bekerja dengan baik untuk merespon keseimbangan hukum,
dalam rangka melahirkan ketertiban dan keadilan.
Manakala ketertiban dan keadilan telah terabaikan, inspirasi dan intuisi akan
berontak untuk menyuarakan keadilan hingga gerbong keadilan dapat dirasakan
kembali oleh masyarakat secara layak sebagai kebahagiaan hukum.
Terkait dengan hal yang terurai di atas, pemateri mengambil satu pemikiran
dari Sudiman Kartohadiprojo, seorang filsuf dan pakar hukum Indonesia, yang
pada awalnya bangga dengan pemikiran para guru besarnya di Belanda yang
memberikan tempat pada kolonialisme yang seolah-olah menampilkan
keadilan di dalamnya.
Pemberontakan yang dilakukan oleh Sudiman terhadap sistem hukum Belanda
yang memberikan tempat kolonialisme yang seolah-olah menampilkan keadilan di
dalamnya bertolak belakang dengan pancasila dan sisi kehidupan masyarakat
Indonesia. Jika saat ini korupsi dapat dikatakan bagian daripada kolonialisme
birokrat dan menjalar menembus kekuasaan yang suci, strategi yang ditawarkan
untuk mengatasi prilaku korupsi tersebut, hanyalah sebuah gerakan energi hukum
yang didalamnya berisi daya dorong dan dobrak untuk membangkitkan hukum agar
bekerja dan penyadaran diri manusia itu sendiri, serta melepaskan kehidupan yang
egois.
3. Jika tampilan-tampilan egois tersebut sulit dihilangkan di dalam tataran birokrat, tidak
menutup kemungkinan korupsi akan selalu berkembang.
Maka berbicara tentang korupsi tidak lepas dari hal yang bersifat ego dan dalam
penanganannya dibutuhkan kebersamaan untuk merubah mindset yang keliru menjadi
yang benar.
Perlu diketahui bahwa untuk menanggulangi korupsi di Indonesia dewasa ini sudah
dilakukan dengan cara-cara ekspsional (extra ordinary measures). Jika saat ini lembaga
khusus yang independen telah dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan khusus,
untuk menangani korupsi, bukan berarti lembaga Polri dan Kejaksaan lepas tanggung
jawab, melainkan harus bersatu padu untuk memberantasnya.
Namun meskipun demikian, dalam suatu negara hukum, lembaga khusus dengan
kewenangan-kewenangan khususnya harus tetap berkiprah dalam koridor hukum, jadi
harus tetap adil dan terkendali berdasarkan hukum yang berlaku.
Keberadaan Pengadilan Tipikor saat ini, dapat mewadahi peradilan yang fair, objektif
dengan tampilan hakimnya memiliki integritas yang tinggi dan sungguh-sungguh dibekali
dengan pengetahuan tentang makna dan praktek korupsi secara mendalam.
4. Tentunya untuk menjamin independensinya sebagai sebuah pengadilan tipikor, maka
eksistensinya harus terlepas dari kepentingan apapun, selain kepentingan penegakan
hukum, yang menjamin berlangsungnya “due process of law”. Jika eksistensi lembaga-
lembaga yang mempunyai kekuasaan yang demikian besar itu kelak menghasilkan putusan-
putusan hukum yang tidak adil dan menimbulkan akibat-akibat yang lebih buruk bagi hukum
dan keadilan, hendaknya selalu diingat apa yang pernah dikatakan oleh Francis Bacon bahwa
“... there is no worse torture than the torture of laws.” (tidak ada penyiksaan yang lebih buruk
dibanding penyiksaan terhadap hukum).
Demikian juga Samuel S. Leibowitsz mengatakan : “ I hear many people calling out ‘Punish the
Guilty’, but very few are concerned to clear the innocent.” Untuk para koruptor, secara mutatis
mutandis, kita dapat berkata : “Banyak atau semua orang berseru “Hukum para koruptor,
bahkan hukum seberat mungkin dan jika perlu hukum mati. Namun sangat sedikit orang yang
mengatakan : “Bebaskan atau jangan hukum orang yang tidak bersalah”.
Jika kejahatan korupsi sulit untuk diberantas oleh pemerintah (penegak hukum) berarti ada
sesuatu yang salah di dalam Pemerintah, atau dapat dikatakan hukum tidak bekerja. Tidak
bekerjanya hukum, karena penegak hukum belum memaksimalkan upaya penegakan hukum
terhadap kejahatan korupsi yang sering kali di sebut Extra Ordinady Crime.
5. Undang-undang No. 31 tahun 1999 dan perubahannya Undang-undang No. 20
tahun 2002, dan Inpres No. 5 tahun 2004, merupakan hukum positif yang
dijadikan dasar oleh para penegak hukum dalam rangka melakukan penyidikan
tindak pidana korupsi.
Jika kita sadari bahwa ke 2 (dua) UU tersebut dengan ancaman yang sangat
berat khususnya pasal 2 ayat (2) yang menyatakan dalam hal tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Artinya bahwa tidak menutup
kemungkinan bahwa pelaku korupsi dapat dijatuhkan hukuman mati sebagai
bagian dari penegakan hukum.
Pertanyaannya ! mengapa korupsi menjadi idola sedangkan sanksi hukumnya
sudah sangat berat ditambah lagi statemen dari pemerintah bahwa pelaku
korupsi harus dimiskinkan, tentu jawabannya yang paling radikal adalah bahwa
korupsi dapat memperkaya / menguntungkan diri sendiri atau pihak lain atau
korporasi (isi pasal 2 dan pasal 3), sehingga resiko sebesar apapun yang akan
dihadapi menjadi suatu hal yang lumrah tampaknya dan bagi mereka yang
berpikiran demikian perlu dipertanyakan jati dirinya sebagai anak bangsa.
6. Bertitik tolak apa yg telah uraikan di atas, berbicara tentang peranan kepolisian dalam
pemberdayaan aspek hukum dan moral pada pencegahan TPK, maka utk menghindari
penyalahgunaan di dlm pelaksanaan tugas tentu membutuhkan acuan dan konsep-konsep yg
sifatnya umum dan tdk sulit dilaksanakan seperti di bawah ini :
1. Membuat Standar Operasional Penyidikan (SOP), sebagai acuan di dalam melakukan penyidikan
untuk menghindari kesewenang-wenangan.
2. Dalam proses penyidikan, selalu mengedepankan azas equility before the law disamping azas
presumption of innocent.
3. Membuka jaringan dengan swadaya masyarakat yang care terhadap pemberantasan korupsi.
4. Kerjasama dengan BPKP dan BPK dalam hal audit investigatif maupun audit perhitungan
kerugian negara.
5. Kerjasama dengan Perguruan Tinggi Negeri seperti ITB untuk pengujian fisik bangunan,
jembatan dan DAM.
6. Kerjasama dengan Lembaga LKPP.
7. Kerjasama dengan Lembaga PPATK.
8. Kerjasama dengan Perbankan.
9. Kerjasama dengan Kejaksaan.
Disamping tugas sebagai penegak hukum seperti yang telah di uraikan di atas, dalam konteks
penyadaran hukum yang telah dilakukan berbagai upaya atau langkah-langkah seperti :
1. Seminar tentang bekerjasama dengan kampus.
2. Melalui pendidikan (Pra Jabatan) di berbagai even terhadap Birokrat (para pejabat) di berbagai
Pemda.
3. Pemasangan spanduk, stiker.
4. Kerjasama dengan pemuka agama.
5. Kerjasama dengan Campus dan sekolah-sekolah.
6. Kerjasama dengan BPK dan BPKP.
7. Kerjasama dengan para Pimpinan Birokrat.
8. Kerjasama dengan Lembaga Criminal Justice System.
7. Jika berbagai upaya tersebut telah dilakukan, akan tetapi
dampaknya belum dapat menurunkan prilaku korupsi ke level yang
ideal (harapan zero crime Corrupt). Indikasi prilaku koruptif selalu
muncul, menunjukkan bahwa prilaku koruptif bukan lagi persoalan
moral, melainkan sudah menjadi persoalan hajat hidup sebagai
alasan utama, sekalipun resiko hukum sangat berat untuk
dihadapi.
Begitu banyaknya korupsi yang terjadi di Indonesia dan terkesan penegakan hukum yang
dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan tidak berjalan dan tidak mampu untuk memberantasnya
karena terkendali dengan faktor-faktor adminstratif dengan lembaga terkait lainnya, campur
tangan kekuasaan dan politik, maka untuk memacu kinerja kedua lembaga penegak hukum
tersebut agar bekerja, kehadiran KPK dengan undang-undangannya No. 30 tahun 2002
dikandung maksud untuk dapat menerobos semua problem yang diuraikan di atas dan
hasilnya dapat di lihat saat ini walaupun masih banyak komentar dari berbagai kalangan.
Keberadaan lembaga KPK saat ini, diharapkan sebagai triger dan
filar penegakan hukum (law enforcement) khususnya terhadap
kejahatan korupsi, dan menjadi daya dorong, dan pendobrak untuk
meredam prilaku koruptif yang telah meraja lela di berbagai sektor
di lingkungan Birokrat.
Banyak sudah hasil kerja KPK, Kejaksaan dan Kepolisian yang telah menyeret Pimpinan
Birokrat, dan telah diadili di pengadilan tipikor maupun di Pengadilan Umum dengan
hukuman yang sangat bervariatif.
8. Karya profesi dibidang penyidikan yang di tampilkan KPK, Kepolisiaan, Kejaksaan sebenarnya
jika dihitung dari sisi matematika, sudah dapat mempresentasikan tingkat penegakan hukum
yang memadai, artinya bahwa di era reformasi sekarang ini tidak ada lagi pejabat yang kebal
hukum jika dibanding sebelum era reformasi. Akan tetapi tampaknya kesadaran hukum para
pejabat publik sepertinya masih belum berubah untuk patuh terhadap hukum. Memang sangat
ironis bahwa sebuah negara yang berlandasan hukum, kepatuhan masyarakatnya, pejabatnya
tidak mencerminkan sikap yang patuh hukum, apakah hal ini merupakan pertanda bahwa
hukum belum menjadi idola dan panglima seperti yang dicita-citakan oleh hukum.
Disamping itu bahwa sistem Pemerintahan kita yang dibangun dengan berbagai perundang-
undangan termasuk di dalamnya UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dan inpres No. 5 tahun 2004 tentang
percepatan penanganan Tindak Pidana Korupsi, tidak membuat prilaku koruptif berkurang dan
nampaknya terus bertambah.
Secara statistik, bahwa Indonesia menempati urutan paling buruk di banding negara-negara
lain di Asean tingkat korupsinya, hal itu menggambarkan bahwa pemerintah tidak dapat
memberantas para pelaku koruptif secara tuntas, walaupun dari data yang dapat kita lihat dari
tahun ke tahun, penegakan Tindak Pidana Korupsi semakin gencar dilakukan, bahkan suport
secara langsung dari Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dalam satu kesempatan
pidatonya di Istana Negara menyatakan, bahwa untuk melawan korupsi Presiden telah
menghunus pedang, artinya pernyataan Presiden tersebut sebagai bukti bahwa kejahatan
korupsi sudah merupakan musuh utama negara maka diperintahkan seluruh perangkat
pemerintahan harus ikut serta untuk bahu membahu memberantas dan mencegahnya.
9. Fakta yang dapat kita lihat, bahwa perkataan Presiden sepertinya belum maksimal di dengar
oleh para birokrat di negara ini dan tidak membuat takut para pejabat birokrat, hal itu dapat
kita lihat secara gamblang, prilaku seorang Gayus Haloman Tambunan seorang pejabat di
Departemen Keuangan dengan pangkat golongan IIIa memiliki uang puluhan milyar rupiah di
beberapa rekening Bank, yang diduga diperoleh dari cara-cara melanggar hukum, kemudian
perkaranya disidik oleh penyidik Polri dan dilimpahkan ke Kejaksaan dan disidangkan di
Pengadilan Negeri Tanggerang dan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanggerang
saudara Gayus Haloman Tambunan di bebaskan.
Timbul banyak pertanyaan terkait dengan putusan bebas tersebut, dan menyeret beberapa
pejabat publik baik dilingkungan Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sebagai bukti bahwa
hukum tidak bekerja sebagaimana mestinya artinya hukum diselewengkan (ultravires).
Contoh kasus di atas menggambarkan bahwa mafia hukum sudah menyebar dan mengakar
dalam penyelesaian kasus korupsi. Uang menjadi dewa sebagai kebenaran pragmatik dengan
menampilkan seolah-olah yang rasionalitas, akan tetapi kepastiannya palsu.
Jika kita melihat kebelakang istilah mafia sebenarnya sudah ada di dalam lingkaran kejahatan
puluhan tahun yang lalu di negara Itali dengan sebutan mafioso terhadap kartel perdagangan
narkoba, dan jika di Asean dikenal dengan negara segitiga emas (Thailand, Kamboja dan
Burma). Sehingga jika sekarang istilah mafia hukum jadi bahan berita di berbagai media
massa dan elektronik, menandakan dan memperlihatkan bahwa hukum telah dimasukin oleh
para mafia, dan untuk memberantas itu Pemerintah akhirnya membentuk satgas anti mafia
hukum dan peradilan.
10. Memang sungguh sangat ironis bahwa Menurut hemat dan pandangan penulis /
prilaku koruptif yang radik telah melahirkan pemateri, dibutuhkan satu terobosan baru
fenomena kemiskinan bagi rakyat Indonesia untuk mengatasinya walaupun sifatnya
dan akibatnya pembangunan di berbagai teoritis dan konseptual yaitu tentang energi
sektor terbengkalai, ketahanan ekonomi hukum yang dalam kontek pengertiannya
terganggu dan bahkan stabilitas keamanan adalah daya batiniah dan nurani untuk
terancam lumpuh karena para mafia hukum mendobrak dan mendorong praksis-praksis
telah jadi penentu di dalam kebijakan pejabat hukum, agar hukum senantiansa efektif
publik. dalam mewujudkan cita hukum, terutama
ketika hukum terancam lumpuh.
Pemahaman teoritis dan konseptual Gerakan energi hukum telah ampuh
tersebut di dalam aplikasinya adalah memutar balikkan satu fakta penanganan
tumbuhnya gerakan moral yang tidak kasus yang menimpa Prita Mulyasari
sektoral akan tetapi bersifat nasional untuk seorang Ibu Rumah Tangga yang harus
melawan praktek-praktek nepotisme dan berhadapan dengan peradilan yang
kolusi di dalam pelaksanaan hukum agar diciptakan yang seolah-olah rasionalitas
hukum bekerja sesuai tatarannya dan tidak pembenarannya dan akan melahirkan
kalah dari kekuasaan yang sifatnya kepastian yang palsu. Gerakan energi
pragmatik (menguntungkan diri sendiri dan hukum dengan cara lahirnya empati dari
kelompok). seluruh komponen lapisan masyarakat dari
kalangan atas dan bawah dengan
menyumbangkan coin per coin uangnya
menjadi simbol lahirnya gerakan energi
hukum yang bernurani dan gerakan tersebut
akhirnya membuahkan hasil yang sangat
mencerminkan rasa keadilan bagi Prita
Mulyasari dan kemenangan bagi keadilan.
11. Kalau demikian apa yang harus kita lakukan menuju
Indonesia tanpa korupsi? Sebenarnya banyak hal :
1. Bahwa kemunafikan hrs dilepaskan dari diri pribadi
orang per orang.
2. Bahwa law enforcement merupakan harga mati tetapi
tetap mengedepankan berhukum dgn nurani.
3. Bahwa kebersamaan utk mencapai permufakatan di dlm
kehidupan masyarakat hrs tumbuh utk mencegah
terjadinya kolusi, nepotisme yg melanggar hukum, dan
hukum yg hidup di masyarakat (living law) harus tumbuh
selalu mengoreksi prilaku yg menyimpang dan
mengedepankan akal budi yg bersahaja.
4. Kesadaran hukum masyarakat hrs di eksplor (digali), utk
mewujudkan manusia yg cinta akan cita hukum
(keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum).
5. Para akademisi, hrs memberikan ilmu yg berarti bagi
anak didiknya yg akan tumbuh dan menjelma menjadi
tunas-tunas bangsa sbg generasi penerus, sehingga
prilaku koruptif menjadi hal yg menjijikan dalam jiwanya.
6. Para tokoh masyarakat, tokoh agama, praktisi dan organ-
organ kemasyarakatan hrs berperan aktif utk
memberikan kontribusi peningkatan moral dan akhlak,
sehingga jiwa radik koruptif tdk mengakar dlm
kehidupan masyarakat.
7. Kaum wanita juga hrs berperan aktif utk menjaga
moralitas kaum bapak yg menduduki jabatan sbg pejabat
publik, tdk menampilkan sikap yg konsumtif yg dpt
merubah jiwa yg baik kaum bapak menjadi jiwa yg radik
hanya utk memenuhi kebutuhan.
12. Marilah kita bercermin dari pengalaman-pengalaman
kehidupan bernegara di masa lalu, yang memporak-
porandakan hukum di jagad kehidupan, karena
bagaimanapun bahwa hukum itu akan selalu mengiringi
kehidupan manusia dimanapun dia berada seperti yang
diungkapkan oleh para pakar penstudy ilmu hukum yaitu ubi
societes ibi ius, artinya dimana manusia berada maka disitu
ada hukum atau manusia itu adalah hukum karena manusia
sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban.
Jika manusia adalah hukum, maka manusia yang lain tidak boleh
menghancurkan kehidupan manusia disekitarnya karena prilaku koruptif
yang ditampilkan, artinya seberat apapun sisi kehidupan manusia maka
sebaiknya tidak mengorbankan manusia yang lain untuk memenuhi
kehidupannya, karena manusia butuh kehidupan yang layak, sejahtera dan
tentunya mengharapkan adanya kebahagiaan hukum di dalam
kehidupannya.
Renungan pemikiran yang di sampaikan pemateri pada saat ini
sebagai bagian daripada hukum progresif, bahwa berhukum dengan
nurani tidak lagi hanya sekedar ide, melainkan harus menjadi
kenyataan untuk menghindari prilaku yang menyimpang.
13. GAMBARAN KORUPSI DI INDONESIA
Merongrong Keuangan Negara
Korupsi
Korupsi
Bagan ini
menggambarkan
Korupsi
bagaimana korupsi
telah berkembang
Korupsi begitu pesatnya
merongrong
keuangan negara
dan perekonomian
negara
Perekonomian Negara
14. 3 ORGAN PENEGAK HUKUM KORUPSI
Masy / LSM
Polri
Bagan ini menggambarkan
bagaimana peran serta
masyarakat untuk
Kejaksaan Korupsi
mendorong ke tiga
lembaga penegak hukum
KPK memerangi korupsi
Masy / LSM
16. Catatan : Materi ini sebelumnya pernah disampaikan pada seminar nasional di
Universitas Galuh Ciamis pada tanggal 02 April 2011 dan telah mengalami revisi.