1. Nishfu Sya'ban merupakan malam yang kontroversial karena hadis-hadis yang menjelaskan ibadah khusus pada malam itu dianggap lemah atau palsu oleh para ulama.
2. Para ulama berbeda pendapat apakah malam yang dimaksud dalam ayat Al-Quran mengenai "malam yang diberkahi" merujuk kepada Lailatul Qadr atau Nishfu Sya'ban. Kebanyakan ulama berpendapat itu mengacu kep
1. 1
PENGAJIAN JUMAT PETANG BA’DA MAGHRIB
KAJIAN HADITS TEMATIK
MASJID MARGO RAHAYU NAMBURAN KIDUL YOGYAKARTA
Polemik Tentang (Malam) Nishfu Sya'ban
Nishfu Sya'ban atau malam pertengahan bulan Sya'ban yaitu tanggal
15 bulan Sya'ban penanggalan Hijriyah adalah malam penuh misteri dan
penuh kontroversi. Banyak hadits yang diyakini lemah bahkan ajaran atau
pengetahuan untuk merayakannya banyak yang dianggap bid'ah oleh
beberapa golongan Islam. Dapat dipahami memang karena klaim untuk
mendapatkan sah atau tidaknya ibadah memang mengacu pada ulama yang
diyakini lebih pintar, lebih tahu dan karena kedangkalan pengetahuan maka
mereka pun akan segera mengamininya dan bertambah banyak yang
mmercayainya. Banyak sekali ibadah yang dikatakan bid'ah dalam
memeringati atau merayakan keagungan Nishfu Sya'ban, sebagai contoh
adalah: (1) Merayakan malam Nishfu Sya’ban; (2) Mengkhususkan shalat
seratus raka’at pada malam Nishfu Sya’ban dengan membaca surah al-
Ikhlash sebanyak seribu kali. Shalat ini dinamakan Shalat Alfiyah; (3)
Mengkhususkan shalat pada malam Nishfu Sya’ban dan berpuasa pada siang
harinya; (4) Mengkhususkan doa pada malam Nishfu Sya’ban; (5) Shalat
enam raka’at dengan maksud menolak bala’, dipanjangkan umur dan
berkecukupan; (6) Menghidupkan api dan lilin pada malam Nishfu Sya’ban;
(7) Berziarah ke kuburan pada malam Nishfu Sya’ban dan menghidupkan api
di sekitarnya. Dan kadang para perempuan juga ikut keluar; (8)
Mengkhususkan membaca surah Yasin pada malam Nishfu Sya’ban; (9)
Mengkhususkan bershadaqah bagi orang yang telah meninggal; (10)
Meyakini bahwa malam Nishfu Sya’ban adalah (malam) Lailatul Qadr; (11)
Membuat makanan pada hari Nishfu Sya’ban kemudian membagikannya
kepada fakir miskin dengan anggapan makanan untuk kedua orang tua yang
meninggal.
Banyaknya upacara ritual (ibadah) pada saat itu (malam Nishfu
Sya’ban ) yang tidak ada tuntunannya itu, yang kemudian dinyatakan oleh
sebagian ulama sebagai perbuatan bid'ah atau penyimpangan
Diriwayatkan dari ‘Ikrimah - rahimahullâh – bahwasanya ketika ia
menafsirkan firman Allah ta’ala:
2. 2
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala
urusan yang penuh hikmah” [QS ad-Dukhân/44: 3-4], ia berkata: ”Bahwasanya
yang dimaksud malam dalam ayat tersebut adalah malam Nishfu Sya’ban;
dibentangkan padanya perkara sunnah, dihapuskannya kehidupan dari kematian,
dan diwajibkannya haji (dari Allah kepada manusia), maka tidaklah ditambah
padanya atau dikurangi darinya seorang pun” [Lihat: Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li-
Ahkâmil-Qur’ân, juz XVI, hal. 126].
Adapun Ibnu Katsir – rahimahullâh -- ketika menafsirkan ayat yang
sama berkata: ”Allah ta’ala telah berfirman ketika menjelaskan al-Qur’an al-
’Azhim bahwasanya Dia menurunkannya di malam yang diberkahi. Malam
tersebut adalah Lailatul-Qadar sebagaimana firman Allah:
”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan”
(QS al-Qadr/97: 1). Malam tersebut berada di bulan Ramadhan,
sebagaimana firman Allah:
”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an” (QS al-Baqarah/2: 185). Kami
telah menyebutkan beberapa hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut
dalam (pembahasan) QS al-Baqarah sehingga telah mencukupi dan tidak
perlu diulangi kembali” [Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz I, hal. 215-
216].
Beliau berkata pula: ”Barangsiapa yang berkata bahwasanya malam
tersebut adalah malam Nishfu Sya’ban sebagaimana diriwayatkan dari ’Ikrimah,
sungguh hal ini sangat jauh (dari pengertian yang benar). Karena al-Qur’an telah
menetapkannya bahwa hal itu terjadi di bulan Ramadhan” [Ibnu Katsir, Tafsîr al-
Qurân al-‘Azhîm, juz IV, hal. 570].
Dalam menetapkan makna firman Allah: ” ٍةَلْيَلٍةَكَرَابُّم (pada suatu malam
yang diberkahi)” (QS ad-Dukhân/44: 3) -- memang – para ulama terbagi
menjadi dua pendapat:
Pertama, pendapat Jumhur (Mayoritas) Ulama menyatakan bahwa
malam yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah: “Lailatul-Qadr” – dan ini
adalah pendapat jumhur ’ulama’.
3. 3
Kedua, pendapat Ikrimah, yang menyatakan bahwa malam yang
dimaksud adalah: “Malam Nishfu Sya’ban”.
Yang râjih (kuat) menurut para ulama -- wallâhu a’lam -- adalah
pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud malam
yang diberkahi pada ayat tersebut adalah Lailatul-Qadr. Bukan malam Nishfu
Sya’ban . Hal tersebut dikarenakan Allah telah menyatakannya dalam
bentuk global: ”pada suatu malam yang diberkahi”; dan kemudian
menjelaskannya (makna global/umum itu) dalam ayat : ”(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur'an”; dan juga firman Allah : ”Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan” [lihat: Asy-Syaukani,
Fathul-Qâdir , juz IV, hal. 137].
Maka dengan ini, anggapan yang menyatakan bahwa malam tersebut
adalah malam Nishfu Sya’ban – tidak diragukan lagi – merupakan anggapan
yang ‘bâthil’ (salah) yang menyelisihi nash al-Qur’an yang sharîh (jelas). Dan
tidak diragukan lagi bahwa segala sesuatu yang menyelisihi kebenaran maka
hal itu adalah sebuah kebatilan (kesalahan). Adapun beberapa hadits yang
menjelaskan bahwa malam dimaksud adalah malam Nishfu Sya’ban, maka
hadits tersebut telah menyelisihi kejelasan makna yang ditetapkan al-Qur’an
sehingga dinyatakan leh para ulama dengan pernyataan lâ ashla lah (tidak
berdasar), tidak shahih sanadnya sedikit pun, sebagaimana dijelaskan oleh
al-’Arabiy dan yang lainnya dari kalangan muhaqqiqîn (para ulama yang
melakukan pengajian secara mendalam). Sungguh sangat mengherankan jika
ada seorang yang mengaku muslim menyelisihi nash al-Qur’an yang sharîh
(jelas) tanpa adanya sandaran al-Qur’an dan Sunnah yang shahih [lihat: Asy-
Syinqithi, Adhwâul-Bayân, juz VII, hal. 319].
Menurut para peneliti, hadits-hadits yang menjelaskan amalan-
amalan khusus di waktu Nishfu Sya’ban, mereka menyatakan bahwa
semuanya bukan merupakan hadits yang shahih. Di antara hadits-hadits
tersebut adalah :
1. Hadits riwayat Ibnu Majah dari ’Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ’anhu:
”Apabila datang malam Nishfu Sya’ban , maka lakukanlah shalat di waktu
malamnya dan puasa di waktu siangnya”
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadis nomor 1378, Ibnul-Jauzi
dalam Al-’Ilal, juz II, hal. 561 serta al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân
4. 4
3/378-379 dan Fadhâilul-Auqât, hal. 24. Status hadits ini adalah sangat
lemah atau bahkan palsu. Letak kelemahan hadits ini terletak pada
rawi yang bernama Ibnu Abi Sabrah (Abu Bakr bin ’Abdillah bin
Muhammad bin Abi Sabrah). Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in
berkata tentangnya: ”Seorang yang memalsukan hadits”. [Lihat
selengkapnya dalam komentar Muhammad Nashiruddin al-Albani,
dalam kitab As-Silsilah adh-Dha’îfah, juz V, hal. 134, hadis nomor
2132]. Selanjutnya, Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan
bahwa hadits ini: sangat lemah, atau (bahkan) maudhû’ (palsu)
[Shahîh wa Dha’îf Sunan ibni Mâjah, juz III, hal. 388]
2. Hadits Ibnul Jauzi dari Abu Hurairah radhiyallâhu ’anhu:
”Barangsiapa yang melakukan shalat di malam Nishfu Sya’ban sebanyak 12
raka’at, dimana setiap raka’atnya membaca ”Qul Huwallâhu Ahad”
sebanyak 30 kali, tidaklah ia keluar hingga ia melihat tempat duduknya di
surga dan memberikan syafa’at terhadap 10 orang anggota keluarganya yang
telah ditentukan nasibnya di neraka”.
Hadits ini adalah palsu. Dibawakan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-
Maudhû’ât, juz II, hal. 129. Sanadnya gelap yang terdiri dari para
perawi yang tidak diketahui identitasnya (majhûl). Lihat juga Al-
Manârul-Munîf karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, hadits nomor 177).
3. Hadits Riwayat al-Baihaqi dari ’Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ’anhu:
5. 5
”Aku melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pada malam Nishfu
Sya’ban. Beliau berdiri dan kemudian shalat sebanyak 14 raka’at. Kemudian
beliau duduk setelah selesai dan membaca Al-Fatihah sebanyak 14 kali, Qul-
Huwallâhu Ahad sebanyak 14 kali, Qul A’ûdzu bi Rabbil-Falaq sebanyak 14
kali, Qul A’ûdzu bi Rabbin-Nâs sebanyak 14 kali, dan ayat Kursi sekali;
sungguh akan mendatangi kalian utusan -- dari ayat-ayat tadi -- (QS al-
Taubah, 9: 128). Ketika beliau telah menyelesaikan shalatnya, aku bertanya
tentang apa yang aku lihat dari yang beliau lakukan. Maka beliau
(Rasulullâh) shallallâhu ’alaihi wa sallam menjawab: ”Barangsiapa yang
mengerjakan seperti yang yang engkau lihat tadi, maka baginya seperti 20
kali haji mabrur, puasa yang diterima selama 20 tahun. Apabila di keesokan
harinya dia berpuasa, maka puasanya itu sama dengan puasa dua tahun
lamanya pada masa lampau dan setahun masa yang akan datang”.
Hadits ini adalah palsu, dan ditulis oleh Ibnul-Jauzi dalam kitab
Al-Maudhû’ât, juz II, hal. 131. [Lihat juga komentar yang sama dari
As-Suyuthi, dalam kitab Jâmi’ul Ahâdîts, juz XXX, hal. 371]
Demikian kajian hadits tentang Nishfu Sya’ban, yang ternyata –
dalam penjelasan para ulama – dinyatakan dha’îf (lemah). Bahkan dalam
beberapa komentarnya dinyatakan maudhû’ (palsu). Oleh karena itu,
kesimpulannya adalah: mardûd (tertolak) dan “ghairu ma’mûl bih” (tidak
boleh diamalkan), utamanya berkenaan dengan masalah ibadah.
Wallâhu A'lam bish-Shawâb.