Perusahaan dan Strategi Pemasaran - Bab 2 Prinsip-prinsip Pemasaran Kotler Ar...
Prinsip-prinsip Pemasaran Bab 7 - Strategi Pemasaran yang Digerakkan oleh Pelanggan
1. BAB 7
Strategi
Pemasaran
yang
Digerakkan
oleh Pelanggan
Menciptakan Nilai bagi Pelanggan Sasaran
Kajian Awal Konsep
ejauh ini, Anda telah mempelajari arti pemasaran dan pentingnya memahami
konsumen. Dengan berbekal pengalaman tersebut, sekarang Anda siap menggali
strategi dan taktik pemasaran secara lebih dalam. Bab ini membicarakan lebih jauh
tentang keputusan strategi kunci pemasaran yang digerakkan oleh pelanggan – bagaimana
membagi pasar menjadi kelompok pelanggan yang berarti (segmentation), memilih
kelompok pelanggan yang akan dilayani (targeting), menciptakan penawaran pasar yang
paling mampu melayani pelanggan sasaran (differentiation), dan memposisikan penawaran
dalam pikiran konsumen (positioning). Kemudian, kita akan membicarakan sarana
pemasaran taktis – Empat P – yang digunakan pemasar untuk menghidupkan semua
strategi ini.
Sebagai contoh pembuka segmentation, targeting¸ differentiation dan positioning bekerja,
mari kita lihat Dunkin’ Donuts. Dunkin’ adalah sebuah rantai usaha kafe besar di AS Timur,
mempunyai rencana ambisius untuk memperluas jangkauannya ke tingkat nasional, sejajar
dengan Starbucks. Tetapi Dunkin’ bukan Starbucks. Bahkan, Dunkin tidak ingin menjadi
Starbucks. Dunkin’ menargetkan jenis pelanggan yang sangat berbeda dengan proposisi
nilai yang sangat berbeda pula. Minumlah secangkir kopi dan bacalah terus.
ahun lalu, Dunkin’ Donuts
membayar lusinan pelanggan
setianya di Phoenix, Chicago, dan
Charlotte, Carolina Utara, $100 seminggu
untuk membeli kopi di Starbucks. Pada
saat yang sama, rantai usaha kafe
terkemuka ini membayar pelanggan
Starbucks untuk melakukan hal
sebaliknya. Ketika kemudian Dunkin’
menginterogasi kedua kelompok ini,
Dunkin’ berkata bahwa kedua kelompok
ini begitu terpolarisasi sehingga periset
S
T
2. perusahaan menyebut mereka sebagai
“suku” – di mana masing-masing
kelompok membenci segala sesuatu yang
membuat suku lain setia kepada gerai
kafe mereka. Penggemar Dunkin’
memandang Starbucks sebagai gerai yang
suka pamer dan trendi, sementara
pelanggan setia Starbucks memandang
Dunkin’ sebagai kafe yang monoton dan
tidak asli. “Saya tidak mengerti,” kata
seorang pelanggan tetap Dunkin’ kepada
periset setelah mengunjungi Starbucks.
“Jika saya ingin duduk di sofa, saya akan
tinggal di rumah.”
William Rosenberg membuka
gerai Dunkin’ Donuts yang pertama di
Quincy, Massachusetts, pada tahun 1950.
Penduduk sekitar singgah di gerainya
setiap pagi untuk menikmati kopi dan
donat segar. Rosenberg mulai
mewaralabakan nama Dunkin’ Donuts,
dan rantai usaha itu tumbuh dengan cepat
di seluruh Midwest dan Southeast.
Meskipun demikian, pada awal tahun
1990, Dunkin’ kehilangan penjualan
makan pagi karena pelanggan beralih ke
sandwich McDonald’s dan Burger King.
Starbucks dan kafe mewah lainnya mulai
tumbuh, membawa persaingan baru.
Penjualan tergelincir ketika perusahaan
mempertahankan strateginya untuk
menjual donat bertabur gula dalam porsi
selusin.
Meskipun demikian, pada
pertengahan tahun 1990-an, Dunkin’
mengubah fokusnya dari donat menjadi
kopi dengan harapan bahwa
mempromosikan produk yang lebih
sering dikonsumsi akan menggerakkan
lalu lintas gerai. Dorongan untuk kopi
berhasil – kini kopi meliputi 62% dari
penjualan. Dan penjualan Dunkin’
tumbuh pada angka dua digit, dengan
laba sampai 35% selama dua tahun
terakhir. Berdasarkan kesuksesan
terbarunya ini, sekarang Dunkin’
mempunyai rencana ambisius untuk
memperluas jangkauannya ke tingkat
nasional, sejajar dengan Starbucks, rantai
usaha kafe terbesar di AS. Selama tiga
tahun berikutnya, Dunkin’ berencana
memperbaiki hampir 5.000 gerainya di AS
dan meningkatkan jumlah itu sampai tiga
kali lipat dalam waktu kurang dari 15
tahun.
Tetapi Dunkin’ bukan Starbucks.
Bahkan, Dunkin’ tidak ingin menjadi
Starbucks. Agar sukses, Dunkin’ harus
mempunyai visi jelasnya sendiri tentang
pelanggan mana yang ingin dilayaninya
(apa segmentation dan targetingnya) dan
bagaimana (apa positioning atau proposisi
nilainya). Dunkin’ dan Starbucks
menargetkan pelanggan yang sangat
berbeda, yang menginginkan hal yang
berbeda dari gerai kafe favorit mereka.
Starbucks diposisikan dengan kuat
sebagai semacam “tempat ketiga”
berkelas tinggi – di luar rumah dan kantor
– dilengkapi sofa, musik berkelas, akses
internet nirkabel, dan dinding bercorak
seni. Dunkin’ diposisikan untuk kelas
“semua orang” yang lebih rendah.
Dengan perbaikan yang
dilakukannya, Dunkin’ berencana
menaikkan kelasnya – sedikit tetapi tidak
terlalu jauh – untuk menyatakan kembali
dirinya sebagai merek alternatif gerai kopi
khusus dan rantai makanan siap saji yang
berlayanan cepat tetapi menarik. Prototipe
gerai Dunkin’ di Euclid, Ohio, di luar
Cleveland, menampilkan bar kafe
melingkar berlapis granit, di mana para
karyawan membuat minuman espresso
tepat di depan pelanggan. Pastry terbuka
berisi krim yoghurt dan buah segar, dan
3. iringan musik pop lembut
dikumandangkan.
Tetapi Dunkin’ membangun
dirinya untuk memberikan harga murah
kepada pelanggan kelas pekerja. Sedikit
meninggikan kelas tanpa meninggalkan
basis pelanggan ini terbukti sulit. Tidak
akan ada sofa di gerai baru. Dan Dunkin’
mengubah nama sandwich panas barunya
menjadi “isi yang dilelehkan” (stuffed melt)
setelah pelanggan mengeluh bahwa
menyebut sandwich itu sebagai “panini”
merupakan hal yang terlalu mewah.
“Kami berjalan di jalur (yang baik) itu,”
kata Regina Lewis, Wakil Presiden
Dunkin’ untuk pandangan konsumen.
“Satu hal tentang suku Dunkin’ adalah,
mereka melihat melalui publisitas.”
Riset Dunkin’ menunjukkan
bahwa meskipun pelanggan setia Dunkin’
menginginkan gerai yang lebih nyaman,
mereka bingung dan merasa asing oleh
atmosfer Starbucks. Mereka mengeluh
bahwa kerumunan pengguna laptop itu
membuat mereka sulit mendapatkan
tempat duduk. Mereka tidak menyukai
istilah Starbucks seperti “tall”, “grande”,
dan “venti” untuk porsi kecil, sedang, dan
besar. Dan mereka tidak dapat memahami
mengapa seseorang bersedia membayar
$4 untuk secangkir kopi. “Mereka hampir
mirip sekelompok orang Mars yang
berbicara tentang orang Bumi,” kata
seorang eksekutif dari agen periklanan
Dunkin’. Seorang pelanggan berkata
kepada periset bahwa singgah di
Starbucks serasa “merayakan Natal
dengan orang yang tidak Anda kenal.”
Pelanggan Starbucks yang dibayar
Dunkin’ untuk bertukar tempat juga tidak
merasa nyaman dengan gerai Dunkin’.
“Pelanggan Starbucks tidak tahan karena
merasa mereka tidak spesial lagi,” kata
seorang eksekutif periklanan.
Pendapat yang bertentangan
seperti itu tidaklah mengejutkan,
mengingat perbedaan antara pelanggan
kedua toko. Sekitar 45% pelanggan
Dunkin’ Donuts mempunyai pendapatan
rumah tangga tahunan antara $45.000
sampai $100.000 per tahun. Dengan
sekitar 30% pelanggan mempunyai
pendapatan kurang dari $45.000 dan 25%
pelanggan memperoleh pendapatan lebih
dari $100.000. Pelanggan Dunkin’
mencakup pekerja kerah biru dan putih
lintas usia, ras, dan demografi
pendapatan. Sebaliknya, Starbucks
menargetkan kelompok dengan tingkat
pendapatan yang lebih tinggi dan
kalangan yang lebih profesional.
Tetapi periset Dunkin’
menyimpulkan bahwa bukan pendapatan
yang memisahkan kedua kelompok itu, di
mana idealnya: anggota suku Dunkin’
ingin menjadi bagian dari kerumunan
orang, sementara anggota suku Starbucks
ingin berdiri sendiri sebagai individu.
“Suku Starbucks mencari sesuatu yang
membuat mereka merasa lebih penting,”
kata Wakil Presiden Dunkin’ Lewis.
Anggota suku Dunkin’ Donuts “tidak
ingin menjadi lebih penting daripada diri
mereka apa adanya.”
Berdasarkan penemuan semacam
itu, eksekutif Dunkin’ telah membuat
banyak keputusan perancangan ulang
lusinan gerainya, besar dan kecil, mulai
dari lokasi penempatan mesin espresso
sampai berapa banyak corak warna
oranye dan merah muda yang menjadi
tanda Dunkin’ untuk menampilkan
produknya yang baru dipanggang. Meja
laminasi persegi disingkirkan, digantikan
4. oleh permukaan meja bundar berlapis
granit imitasi dan kursi yang anggun.
Dunkin’ memoles dinding gerainya
dengan warna coklat espresso dan
mengurangi nuansa warna merah muda
dan oranye. Eksekutif
mempertimbangkan tetapi masih
menunda pemasangan akses internet
nirkabel karena pelanggan “tidak merasa
tempat itu seperti Dunkin’ Donuts.” Para
eksekutif senantiasa berdiskusi untuk
menghilangkan kata “donuts” dari nama
gerainya agar mencerminkan menu baru
mereka yang semakin bervariasi.
Untuk meraih pangsa pelanggan
yang lebih besar, Dunkin’ sedang
memperluas menunya di luar makan pagi
dengan camilan berat yang dapat
menggantikan makan siang, seperti
smoothies dan roti kecil berisi daging.
Gerai baru di Euclid ini menghasilkan
penjualan tiga kali lipat penjualan gerai
lain dalam daerah tersebut, sebagian besar
karena pelanggan ingin membeli menu
baru yang disajikan setelah jam 11 pagi
untuk kue gourmet baru dan Dunkin’
Dawgs, hot dogs yang dibungkus adonan.
Kelompok fokus menyukai roti tawar dan
smoothies, tetapi menolak donat mini yang
diisi dengan berbagai macam rasa.
Pelanggan berkata “mereka sedang
berada pada suatu waktu cocktail yang
mewah,” kata Lewis, dan menganggap
porsinya terlalu kecil.
Stacey Stevens, penduduk Euclid
berusia 34 tahun yang baru-baru ini
mengunjungi gerai prototipe Dunkin’
yang baru, berkata bahwa ia melihat toko
prototipe itu terasa berbeda dengan lokasi
Dunkin’ lainnya. “Saya tidak ingat kalau
ada begitu banyak musik,” katanya, ketika
membeli selusin donat. “Saya suka di
sini.” Ia berkata bahwa gerai itu terasa
“lebih menghentak” daripada Starbucks.
Seorang manajer gerai Euclid bahkan
membujuk Richard Wandersleben untuk
meningkatkan kelas minumannya dari
biasa menjadi latte seharga $2,39 pada
kunjungan baru-baru ini. Pensiunan
pembuat perkakas dan cetakan berusia 73
tahun, yang minum sekitar tiga cangkir
kopi setiap hari, berkata bahwa latte
Dunkin Donuts cocok untuknya. “Latte ini
lebih terasa krimnya daripada kopi biasa,”
katanya.
Dunkin’ tahu bahwa diperlukan
waktu untuk menyegarkan citranya. Dan
apa pun yang terjadi, Dunkin’ berencana
mempertahankan kebutuhan dan selera
suku Dunkin’. “Dunkin’ tidak mengejar
orang-orang sombong di kafe Starbucks,”
kata seorang analis, Dunkin’ “mengejar
Joe biasa.” Proposisi nilai Dunkin’
dirangkum dengan baik dalam kampanye
iklan barunya, yang menampilkan
semboyan “America Runs on Dunkin”.
Iklan itu memperlihatkan semua orang
dari pekerja kantor dan konstruksi yang
memperhatikan keluarga dan bergantung
pada rantai usaha kafe ini untuk
menemani mereka melalui hari-harinya.
Kata salah satu iklan, “Di mana orang-
orang menyelesaikan segala sesuatu
setiap hari.”
Saat ini perusahaan menyadari bahwa mereka tidak dapat memenuhi keinginan semua
pembeli di pasar, atau setidaknya tidak bagai semua pembeli dengan cara yang sama.
Jumlah pembeli juga terlalu banyak, terlalu luas, dan mempunyai kebutuhan dan praktek
pembelian yang terlalu beragam. Lebih jauh lagi, perusahaan sendiri mempunyai
kemampuan yang sangat beragam dalam melayani berbagai segmen pasar. Sebagai
5. gantinya, seperti Dunkin’ Donuts, perusahaan harus mengidentifikasi bagian pasar yang
dapat dilayaninya dengan baik dan paling menguntungkan. Perusahaan harus merancang
strategi pemasaran yang digerakkan pelanggan dan membangun hubungan yang benar
dengan pelanggan yang tepat.